58
14 BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep dan Pengertian Perjanjian Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda adalah overeenscomstrecht. Pasal 1313 KUHPdt mengatakan “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Subekti 17 memberikan pengertian bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan KRMT Tirtodingingrat 18 mendefinisikan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan pada kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat- akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang. Sudikno Mertokodumo menyimpulkan bahwa perjanjian terdiri dari 19 : a. Ada pihak-pihak Sedikitnya dua orang atau lebih, pihak ini disebut subyek perjanjian, dapat manusia atau badan hukum dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum seperti yang di tetapkan oleh Undang-undang. 17 Subekti Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta 1996, hal. 1 18 A. Qirom Meliala, Pokok-pokok Hukum Perikatan beserta perkembanganya, Liberty, Yogyakarta 1985, hal. 8 19 Sudikno Mertokoesumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta 1999, hal. 82

BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1 ... · 1319 KUHPerdata hanya disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu perjanjian nominaat (bernama) dan perjnjian

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 14

    BAB II

    HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

    A. Tinjauan Pustaka

    1. Konsep dan Pengertian Perjanjian

    Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract of

    law, sedangkan dalam bahasa Belanda adalah overeenscomstrecht. Pasal 1313

    KUHPdt mengatakan “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana orang

    atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Subekti17

    memberikan pengertian bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

    seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji

    untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan KRMT Tirtodingingrat18

    mendefinisikan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan

    pada kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-

    akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang. Sudikno

    Mertokodumo menyimpulkan bahwa perjanjian terdiri dari19 :

    a. Ada pihak-pihak

    Sedikitnya dua orang atau lebih, pihak ini disebut subyek perjanjian, dapat

    manusia atau badan hukum dan mempunyai wewenang untuk melakukan

    perbuatan hukum seperti yang di tetapkan oleh Undang-undang.

    17Subekti Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta 1996, hal. 1 18 A. Qirom Meliala, Pokok-pokok Hukum Perikatan beserta perkembanganya, Liberty, Yogyakarta 1985, hal. 8 19 Sudikno Mertokoesumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta 1999, hal. 82

  • 15

    b. Ada persetujuan antara pihak-pihak

    Persetujuan antara pihak-pihak tersebut sifatnya tetap bukan merupakan

    suatu perundingan. Dalam perundingan umumnya dibicarakan mengenai

    syarat-syarat dan obyek perjanjian maka timbulah persetujuan.

    c. Ada prestasi yang akan di laksanakan

    Prestasi merupakan kewajiban yang harus di penuhi oleh pihak sesuai

    dengan syarat – syarat perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban untuk

    membayar harga barang dan penjual berkewajiban untuk menyerahkan

    barang.

    d. Ada bentuk tertentu lisan atau tulisan

    Perlunya bentuk tertentu karena ada ketentuan dalam Undang-undang yang

    menyebutkan bahwa dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai

    kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.

    e. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian

    Dari syarat-syarat tertentu dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak.

    Syarat-syarat ini terdiri dari syarat pokok yang menimbulkan hak dan

    kewajiban pokok.

    f. Ada tujuan yang hendak di capai

    Tujuan yang hendak di capai dalam perjanjian adalah isi dari perjanjian itu

    sendiri dalam menentukan isi perjanjian meskipun didasarkan atas

    kebebasan berkontrak akan tetapi tidak boleh bertentangan dengan

    ketertiban umum, kesusilaan dan tidak di larang oleh Undang-undang.

  • 16

    2. Jenis Perjanjian

    Jenis perjanjian dapat di lihat dari sumber hukumnya, namanya,

    bentuknya, maupun aspek kewajibanya. Contoh nya adalah :

    a. Perjanjian menurut sumber hukumnya

    Merupakan penggolongan perjanjian yang di dasarkan pada tempat

    perjanjian itu di temukan. Sudikno Mertoekusumo menggolongkan

    perjanjian dari segi hukumnya. Ia membagi perjanjian menjadi 5

    yaitu :

    1) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, contohnya

    adalah perkawinan

    2) Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, contohnya

    pengalihan benda atau hak milik

    3) Perjanjian obligator yang menimbulkan kewajiban

    4) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, disebut sebagai

    bewijsovereenkomst

    5) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, disebut dengan

    publieck rechtelijke overeenkomst

    b. Perjanjian menurut namanya

    Ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum dalam pasal

    1319 KUHPerdata hanya disebutkan dua macam kontrak menurut

    namanya, yaitu perjanjian nominaat (bernama) dan perjnjian

    inominaat (tidak bernama). Yang termasuk dalam perjanjian

    inominaat adalah tukar-menukar-menukar, sewa-menyewa,

    persekutuan perdata dan lain sebagainya. Sedangkan perjanjian

  • 17

    innominaat seperti perjanjian yang tumbuh dan timbul dalam

    masyarakat.

    c. Perjanjian menurut bentuknya

    Walaupun tidak di sebutkan secara jelas dalam KUHPerdata, tetapi

    dapat di simpulkan bahwa menurut bentuknya dapat dibagi menjadi

    dua yaitu tertulis dan tidak tertulis. Perjanjian secara lisan adalah

    pejanjian yang dibut secara lisan atu kesepakatan kedua belah pihak

    (pasal 1320 KUHPerdata) sedangkan perjanjian tertulis adalah

    perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang di tuangkan dalam

    bentuk tulisan.

    d. Perjanjian berdasarkan sifatnya

    Perjanjian ini dibagi menjadi empat yaitu pertama perjanjian

    kebendaan perjanjian kebendaan adalah perjanjian yang ditimbulkan

    hak kebendaan. Sedangkan kedua perjanjian obligator adalah

    perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban. Kemudian yang

    ketiga adalah perjanjian yang bersifat pokok, merupakan perjanjian

    yang utama yaitu perjanjian utang-piutang. Yang terakhir adalah

    perjanjian yang bersifat accesoir adalah merupakan perjanjian

    turunan atau perjanjian tambahan dari perjanjian pokok.20

    e. Perjanjian timbal balik

    Jenis perjanjian ini dapat dilihat dari hak dan kewajibanya.

    Perjanjian ini dibagi menjadi dua macam yaitu yang pertama

    20 Salim H.S . Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyususnan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta 2003, hal. 28

  • 18

    perjanjian timbal balik tidak sempurna, perjanjian ini hanya

    menimbulkan kewajiban pokok bagi salah satu pihaknya, sedangkan

    pihak lainya wajib melakukan sesuatu prestasi. Sedangkan jenis

    perjanjian timbal balik yang kedua adalah perjanjian sepihak ini

    merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajibanya

    hanya pada satu pihak.21

    3. Asas- Asas dalam Perjanjian

    Menurut Peter Mahmud Marzuki22 aturan-aturan hukum yang

    menguasai perjanjian sebenarnya merupakan dasar dari filosofis yang

    terdapat pada asas hukum secara umum. Kaitanya dengan asas hukum

    perjanjian terdapat empat macam asas yaitu:

    a. Asas Kebebasan Berkontrak

    Asas kebebsan berkontrak dilatarbelakangi oleh paham

    individualism yang lahir pada zaman Yunani, dilanjutkan oleh kaum

    Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman Renaissance (dan

    semakin ditumbuh kembangkan pada zaman Aufklarung melalui

    antara lain ajaran-ajaran Hugo De Groot (1583-1645), Thomas

    Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Jean-Jacques

    Rousseau (1712-1778) . Perkembangan ini mencapai puncaknya

    21 Ibid, hal. 29 22 Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak , majalah Yuridika vol 18 no.3 2003 hal. 214-222

  • 19

    setelah periode Revolusi Perancis.23 Menurut paham individualisme

    setiap orang berhak untuk memperoleh apa yang di kehendaki

    sementara itu dalam hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan

    dalam asas kebebasan berkontrak. Dalam pengaturan Buku II BW

    yang merupakan sistem tertutup atau dengan kata lain bersifat

    memaksa dimana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan

    yang ada di dalam buku II BW ini. Berbeda dengan pengaturan buku

    III BW yang merupakan sistem terbuka atau sebagai pengatur atau

    pelengkap saja, karenanya buku II BW ini memberikan keleluasaan

    kepada pihak-pihak untuk mengatur sendiri pola hukumnya. Sistem

    terbuka ini dapat dilihat dari pasal 1338 (1) BW yang menjelaskan

    bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

    undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

    Subekti24 menyimpulkan asas kebebasan berkontrak adalah jalan

    menekankan pada perkataan “semua” yang ada dimuka “perjanjian”.

    Bahwa pasal 1338 ayat (1) seolah-olah membuat satu pernyataan

    bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan

    mengikat kita sebagai mengikatnya undang-undang. Sutan Remy

    Sjahdeini25 asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian

    Indonesia meliputi ruang lingkup:

    1) Kebebasan untuk membuat atau tidak suatu perjanjian.

    23 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesi, Jakarta 1993, hal.75 24 Subekti, Aneka Perjanjian, Cet keenam, Alumni, Bandung 1995, hal.4-5 25 Sutan Remy Sjahdeini Op, Cit, hal 47.

  • 20

    2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa akan melakukan

    pejanjian.

    3) Kebebasan untuk memilih atau menentukan kausa dari

    perjanjian yang akan dibuat.

    4) Kebebasan untuk menentukan ojek perjanjian.

    5) Kebebasan untuk menentukan bentuk dari perjanjian.

    6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan-

    ketentuan undang-undang yang bersifat opsional.

    Menurut penulis bahwa kebebasan berkontrak harus dilihat

    secara keseluruhan, terlebih kepada keseimbangan posisi pihak-

    pihaknya. Pendapat penulis ini juga diperkuat dengan pendapat

    Konrad Zwieght dan Hein Kotz26 yang menyatakan bahwa

    kebebasan berkontrak yang sebenarnya akan eksis jika pihakya

    memiliki keseimbangan, secara ekonomi maupun sosial.

    Demikian juga golongan ekonomi yang luas memiliki peluang

    besar untuk mendominasi terhadap golongan ekonomi yang lemah.

    Ada pula faktor yang membatasi atau mempengaruhi kebebasan

    berkontrak, misalnya:27

    1) Semakin berpengaruhnya ajaran itikad baik dimana ikatan baik

    tidak hanya pada pelaksanaan perjanjian tetapi juga harus ada

    pada saat dibuatnya suatu perjanjian.

    26 A.G Guest, Konrad Z weight & Hein Kotz dalam Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, FH UI, Pascasarjana 2003 hal. 1-2 27 Ridwan Khairandy, Op. Cit., hal.2

  • 21

    2) Semakin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan

    (misbruik van omstandigheden atau undue influence)

    Setiawan28 menyatakan bahwa pembatasan kebebasan

    berkontrak dipengaruhi oleh:

    1) Berkembangnya doktrin itikad baik

    2) Berkembangnya doktrin penyalahgunaan keadaan

    3) Makin banyaknya perjanjian baku

    4) Berkembangnya hukum ekonomi

    Sedangkan Purwahid Patrik29 menyatakan bahwa terjadinya

    berbagai pembatasan perjanjian disebabkan oleh :

    1) Berkembangnya ekonomi yang membentuk persekutuan

    dagang, badan-badan hukum atau atau perseroan dan

    golongan masyarakat lain

    2) Terjadinya permasyarakatan keinginn adanya keseimbangan

    antar-individu dan masyarakat yang tertuju kepada keadian

    sosial

    3) Timbulnya formalism perjanjian

    4) Makin banyak peraturan dibidang hukum tata usaha Negara.

    Menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan30 pembatasan

    kebebasan berkontarak akibat adanya :

    28 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung 1992, hal. 179-180 29 Ridwan Khairandy, Loc, Cit. 30 Ibid. hal.3

  • 22

    1) Perkembangan masayarakat dibidang sosial ekonomi

    2) Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi

    kepentingan umum atau pihak yang lemah

    3) Adanya aliran dalam masyarakat yang menginginkan

    adanya kesejahteaan sosial.

    Sebagai asas yang universal, asas kebebasan berkontrak

    diakui sebagai asas fundamental dalam hubungan kontraktual

    para pihak. Dengan demikian yang harus dipahami bahwa asas

    kebebasan berkontrak sebagaimana yang tertuang dalam pasal

    1338 (1) BW tersebut harusnya dibaca dan dipahami dengan cara

    berfikir dengan menempatkan posisi para pihak dalam keadaan

    seimbang.

    b. Asas Konsesualisme

    Asas konsesualisme memiliki hubungan yang erat dengan asas

    kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat

    didalam pasal 1338 (1) BW. Subekti31 juga berpendapat bahwa asas

    konssualisme terdapat dalam pasal 1320 jo 1338 BW. Jika terjadi

    pelanggaran dalam ketentuan ini maka akan mengakibatkan

    perjanjian itu menjadi tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai

    undang-undang. Sedangkan Rutten32 menggaris bawahi bahwa

    perjanjian itu sebenarnya pada umumnya dibuat bukan secara formal

    31 Mariam Darus Badrulaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung 2001 hal. 37 32 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan , Mandar Maju, Bandung 1994, hal.66

  • 23

    melainkan secara konsesual, dengan kata lain perjanjian itu selesai

    karena persesuain kehendak atau consensus semata.

    Dalam bahasa latin “Consensus” berarti sepakat, maka dari itu

    pihak-pihak dalam sebuah perjanjian haruslah sepakat dengan apa

    yang ingin mereka perjanjikan, dan degan adanya kata sepakat

    tersebut maka timbulah suatu perjanjian, dengan kata lain perjanjian

    lahir setelah adanya kata sepakat. Berlakunya asas ini bukan saja

    memiliki daya kerja pada waktu perjanjian dilaksanakan, tetapi juga

    sudah mulai bekerja pada waktu perjanjian itu dibuat artinya

    perjanjian yang dibuat tanpa berdasarkan kesepakatan dapat segera

    dimintakan pembatalan sehingga daya ikat perjanjian tersebut tidak

    efektif.

    Mengingat asas konsesualisme yang diakui oleh KUHPerdata

    pada dasarnya termasuk sebagai syarat subjektif sehinggga daya

    kerjanya tetap berlaku jika tidak dimintakan pembatalan, perlu ada

    pembuktian yang menyatakan bahwa kesepakatan terjadi atas dasar

    keterpaksaan. Keterpaksaan dapat terjadi akibat ketidakadilan bagi

    salah satu pihak yang membuat perjanjian karena tidak sama

    posisinya atau tidak mempunyai posisi tawar-menawar (bargaining

    position) yang seimbang.

    Biasanya kesepakatan terjadi dalam bentuk perjanjian baku yang

    telah menjadi kewajaran dalam dunia bisnis. Didalam perjanjian

    tersebut sangat kuat kemungkinan adanya kesepakatan sebagai suatu

    kehendak yang bebas dimana salah satu pihak bebas menentukan

  • 24

    persyaratan, sedangkan kebebasan yang tersisa bagi pihak lain

    hanya berupa pilihan antara menerima atau menolak (take it or leave

    it) syarat-syarat perjanjian baku tersebut, padahal seharusnya

    kesepakatan tidak dapat dipaksakan atau tidak dapat timbul yang

    disebabkan ketiadaan pilihan bagi pihak lain selain harus

    menerimanya.

    Ridwan khairandy33 mengatakan bahwa asas konsensualisme

    dan asas kebebasan berkontrak berada pada periode prakontrak,

    sehingga lahir kontrak yang disepakati dengan adanya janji kemauan

    yang timbul bagi para pihak untuk saling berprestasi dan ada

    kemauan untuk saling mengikatkan diri. Menurut Konrad Zieght34

    Konsensualisme merupakan bayangan dalam kebebasan

    menyatakan kontrak, sehingga secara sendiri consensus merupakn

    induk dalam pengikatan kontrak. Asas kekuatan mengikatnya

    kontrak menjadi dasar penting bahwa didalam hukum kontrak

    seseorang harus mematuhi janji.

    Asas konsesualisme ini tercermin didalam pasal 1338 ayat (1)

    KUHPerdata yang menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara

    sah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya.35

    Konsensualisme juga merupakan bagian kesepakatan yang

    disampikan dalam bentuk penerapan asas keseimbangan

    (evenwhichstbeginsel) yang bermakna sebagai “keadaan pembagian

    33 Ridwan Khairandy, Kekuatan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak, Universitas Indonesia, Jakarta 2011, hal. 37 34 Ibid 35 Ibid

  • 25

    beban di kedua sisi sehingga berada dalam keadaan seimbang”.

    Makna konsensualisme dibatasi oleh kemampuan dan keyakinan

    para pihak, serta mencapai keuntungan sesuai kesepakatan yang

    dikehendaki secara proporsional. Hal demikian merupakan suatu

    syarat kesepakatan yang seimbang.36

    Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa teori yang

    menentukan kapan suatu kesepakatan kehendak terjadi, sehingga

    saat itu pula perjanjian dianggap telah berlaku.37 Teori tersebut

    diantaranya sebagai berikut.

    1) Teori Penawaran dan Penerimaan (offer and acceptance) yaitu

    perjanjian terwujud pada saat para pihak bersama-sama

    menemukan kesamaan antara kebutuhan para pihak yang

    memberikan penawaran dan salah satu pihak lainnya menerima

    penawaran. Adanya tawaran dan penerimaan merupakan

    consensus yang sama diantara para pihak untuk memperoleh

    kebutuhan yang diperjanjikan salah satu pihak. Ketika kedua

    belah pihak menemukan konsensus dalam titik kesepakatan,

    yang lainnya berupa karakteristik barang dan biaya, akan

    menemukan konsensus atau kesepakatan.38

    2) Teori Kehendak (wils theorie) yaitu kesepakatan dimulai ketika

    para pihak mempertemukan kehendak masing-masing dan

    kemudian dilanjutkan dengan komitmen untuk menjalankan

    36 Ibid 37 Ibid 38 Dr. Agus Yudho Hernoko, Op. Cit., hal. 99

  • 26

    perjanjian sesuai dengan isi kehendaknya. Kehendak

    dirumuskan secara tertulis dalam perjanjian, sehingga secara

    konseptual perjanjian memberikan dasar untuk menciptakan

    kehendak yang tertulis secara seimbang dan menjadikan

    kehendak sebagai dasar hukum untuk melaksanakan kehendak

    sesuai dengan hak dan kewajiban yang ditentukan.39

    3) Teori Pernyataan (verklarings theorie) yaitu konsensus

    dipertemukan pada saat adanya pernyataan yang disampaikan

    kedua belah pihak. Pernyataan para pihak tersebut merupakan

    dasar kemufakatan dalam pelaksanaan perjanjian. Ketika kedua

    belah pihak menyatakan pernyataan atas kesepakatan dan

    kepuasan dalam menemukan kehendaknya, maka keduanya

    bersepakat. Ketiadaan pernyataan kehendak yang sama akan

    mengurangi atau meniadakan kesepakatan itu sendiri.40

    4) Teori Pengiriman (verzending theorie) yaitu konsensus

    diwujudkan dalam adanya sikap untuk saling menyatakan

    kehendak dalam suatu pernyataan yang sama melalui bentuk

    pengiriman barang yang dinyatakan sama. Sebagai contoh,

    ketika kehendak mengenai prinsip diwujudkan dengan tanda

    tangan yang harus disampaikan secara tertulis dan dikirimkan

    formulirnya, pengiriman tanda tangan adalah wujud kesepakatan

    yang dikehendaki para pihak.41

    39 Ibid 40 Ibid 41 Ibid

  • 27

    5) Teori Kotak Pos (mailbox theorie) yaitu kehendak disampaikan

    secara sama dalam suatu sarana yang disepakati para pihak.

    Ketika para pihak menyatakan kesepakatan diwujudkan dengan

    saling mengirimkan dalam suatu sarana, sarana mempertemukan

    kehendak adalah kesepakatan itu sendiri.42

    6) Teori Pengetahuan (verneming theorie) yaitu kehendak

    disepakati dengan memahami pengetahuan masing-masing para

    pihak, sehingga sepakat telah terbentuk pada saat orang yang

    menawarkan tersebut mengetahui bahwa penawarannya telah

    disetujui oleh pihak lainnya, sehinggga yang menawarkan

    seharusnya sudah mengetahui tawarannya diterima dan

    diketahui pihak lainnya.43

    7) Teori Penerimaan (ontvangs theorie) yaitu kesepakatan terjadi

    pada saat kehendak yang dinyatakan itu diterima oleh pihak yang

    menerima tawaran. Dengan kata lain, kata sepakat terbentuk

    pada saat diterimannya jawaban oleh pihak yang kepadanya

    telah ditawarkan perjanjian, karena sejak saat penerimaan

    tersebut, semua pihak telah sepakat.44

    8) Teori kepercayaan (vetrouwens theorie) yaitu kesepakatan

    terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak (secara

    objektif) diterima oleh pihak yang menawarkan. Dengan

    42 Ibid., hal.107 43 Ibid. hal. 111. 44 Ibid. hal. 112.

  • 28

    demikian para pihak saling memahami dan mempercayai

    kehendak yang akan diperjanjikan.45

    9) Teori Ucapan (uitings theorie) yaitu kesepaktan kehendak

    terjadi manakala pihak yang menerima penawaran telah

    menyampaikan secara lisan menerima tawaran tersebut.46

    10) Teori Dugaan yaitu teori yang bersifat subjektif di mana

    kesepakatan dianggap sebagai saat terjadinya perjanjian adalah

    pada saat pihak yang yang menerima tawaran telah mengirim

    surat jawaban dan dia secara patut dapat menduga pihak lainnya

    (pihak yang menawarkan) telah mengetaui isi surat itu.47

    Perlu pula dicatat bahwa keseimbangan mempengaruhi

    perjanjian yang sah. Artinya, perjanjian harus memenuhi syarat yang

    ditentukan undang-undang, sehingga diakui oleh hukum (legalle

    concluded contract)48 dalam hal demikian, kesepakatan merupakan

    pemenuhan yang bersifat rasionalitas49 subjektif dan bergantung

    pada kepentingan para pihak dalam kontrak.

    c. Asas Pacta Sunt Servanda

    Asas pacta sunt servanda sebagaimana dimaksud didalam pasal

    1338 KUHPerdata adalah semua perjanjian yang dibuat secara sah

    45 Ibid. hal. 46 Ibid 47 Ibid 48 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1990, hal. 66 49 Rasional menurut Wikipedia merupakan sebuah aksi, keyakinan, atau keinginan yang rasional jika harus memilih. Rasionalitas merupakan konsep normative yang mengacu pada kesesuaian keyakinan seseorang dengan alasan seseorang untuk percaya, atau tindakan seseorang dengan alasan seseorang untuk bertindak.

  • 29

    berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatknya, sehingga

    adanya konsensus dari para pihak bersifat mengikat sebagaimana

    layaknya undang-undang. Niewenhuis50 menyatakan bahwa

    kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas

    kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan dan

    kemandirian kepada para pihak. Pada situasi tertentu daya

    berlakunya di batasi oleh dua hal, yaitu:

    1) Daya mengikat perjanjian itu dibatasi oleh itikad baik

    sebagaimana diatur dalam pasal 1338 ayat (3) BW, bahwa

    perjanjian itu harus dilaksanakan dengan baik.

    2) Adanya overmacht atau force majeure (daya paksa) juga dapat

    membatasi daya mengikatnya perjanjian terhadap para pihak

    yang membuat perjanjian tersebut. Pada prinsipnya perjanjian

    itu harus dipenuhi para pihak, jika tidak maka akan terjadi

    wanprestasi dan bagi kreditur melekat hak mengajukan

    gugatan, baik pemenuhan ganti rugi, maupun pembubaran

    perjanjian. Namun jika ada overmacht dan force majeure, maka

    gugatan kreditur akan dikesampingkan, karena tidak adanya

    prestasi yang terjadi karena diluar kesadaran debitur.

    Perjanjian-perjanjian yang lahir dari ketentuan buku III BW

    pada umumnya merupakan perjanjian obligator, yang artinya

    50 J.H Niewenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Terjemahan Djasadin Saragih) Surabaya 1985, hal (selanjutnya disingkat J.H Niewenhuis III)

  • 30

    perjanjian itu pada dasarnya melahirkan kewajiban kepada pihak

    yang membuatnya. Kekuatan mengikatnya perjanjian pada

    prinsipnya mempunyai daya kerja (strekking) sebatas para pihak

    yang membuatnya. Ini menunjukan bahwa hak yang lahir

    merupakan hak perorangan yang bersifat relatif.51 Dapat disimak

    dari ketentuan pasal 1317 BW yang menyatakan “lagi pula

    diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkanya suatu janji guna

    kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan

    perjanjian, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau

    suatu pemberian yang dilakukanya kepada seorang lain memuat

    janji seperti itu.” Ketentuan lain yang menunjukan adanya perluasan

    daya kerja (strekking) mengikatnya perjanjian, seperti terdapat

    dalam pengaturan pasal 1318,1365, dan 1576 BW. Pasal tersebut

    sebagai contoh menguatnya hak perorangan (personlijkrecht) yang

    pada prinsipnya bersifat relatif (hanya mengikat para pihak) ternyata

    dalam situasi tertentu menampakan sosok yang kuat. Kondisi in

    disebut dengan verzakelijking atau menguatnya hak perorangan

    serta menampakan ciri-ciri hak kebendaan.52

    d. Asas Itikad Baik

    Asas Itikad Baik disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) BW yang

    berbunyi “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas

    51 M. Isnaeni, Hopotek Pesawat Udara di Indonesiaa,Dharma Muda, Surabaya 1996 , hal. 32 (hak relative adalah suatu hak yang hanya dapat berlaku terhadap orang tertentu, atausuatu hak untuk menuntut sesuatu dari orang tertentu. 52 Soetojo Prawirohamdjojo dan Mareta Pohan, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya 1978, hal.16

  • 31

    beritikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu kreditur dan

    debitur harus melaksanakan substansi perjanjian berdasarkan

    kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para

    pihak. Wirjono Prodjodikoro53 membagi itikad baik menjadi dua

    macam, yaitu:

    1) Itikad baik pada mulai berlakunnya suatu hubungan hukum.

    Biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa

    syarat-syarat yang diperlukan yang di butuhkan untuk hubungan

    hukum telah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan

    perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedangkan

    untuk pihak yang beritikad tidak baik harus bertanggung jawab

    dan menanggung resiko.

    2) Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban yang

    bersangkutan dengan hubungan hukum tersebut. Titik berat

    itikad baik disini lebih di fokuskan pada tindakan yang akan

    dilaksanakan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai

    pelaksana suatu hal.

    Menurut Arthur S. Hartkamp54 ada dua model pengujian ada atau

    tidaknya itikad baik dalam perjanjian, yaitu pengujian objektif

    (objective test) yang dikaitkan dengan kepatutan yakni salah satu pihak

    tidak dapat membela diri dengan mengatakan bahwa ia telah bertindak

    jujur padahal dia bertindak dengan tidak jujur. Kemudian pengujian

    53 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata, Sumur, Bandung 1992, hal 56-62 54 Periksa Y.Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak dalam pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Program Pasca Sarjana Uiversitas Airlangga, Surabaya 2005, hal.39

  • 32

    secara subjektif (subjective test) pengujian ini dikaitkan dengan keadaan

    ketidaktahuan.

    4. Syarat-Syarat Perjanjian

    Didalam pasal 1320 BW mengatakan bahwa suatu perjanjian sah

    apabila memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:

    a. Kesepakatan

    Kesepakatan adalah dimana pihak-pihak pelaku perjanjian

    menerima segala sesuatu yang timbul dari adanya perjanjian yang

    mereka buat, baik itu hak dan kewajiban. Sedangkan J.H

    Niewenhuis55 memberikan pengertian kesepakatan mengandung

    pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak

    masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan

    pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan

    pihak yang lain. Namun pernyataan menyetujui tidak selalu

    diutarakan dengan tegas, melainkan dapat juga dinyatakan melalui

    gerak-gerik tau hal lain yang mengungkapkan pernyataan

    kehendak pihak-pihak.

    Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak pihak-

    pihak dibentuk oleh 2 unsur yaitu penawaran dan penerimaan.

    Penawaran diartikan sebagai pernyataan kehendak yang

    mengandung gagasan untuk membuat perjanjian.56 Sedangkan

    penerimaan adalah pernyataan setuju atau tidak dari pihak lawan

    55 J.H Niewenhuis-lll , Op. Cit , hal. 2 56 Setiawan, Op. Cit , hal. 50

  • 33

    yang membuat perjanjian.57 Kemudian dasar keterikatan

    kontraktual ini berasal dari pernyataan kehendak, yang dibedakan

    dalam dua unsur yaitu kehendak dan pernyataan.58 Untuk

    menganalisis adanya dasar keterikatan kontraktual berlandaskan

    pada kehendak atau pernyataan dapat dikaji dar perkembangan

    tiga teori:

    1) Teori Kehendak, menyatakan bahwa keterikatan kontraktual

    baru ada hanya jika ada sejauh pernyataan berlandaskan pada

    putusan kehendak yang sungguh-sungguh sesuai dengan itu.

    Keberatan terhadap teori ini karena dalam lalu lintas hukum

    sangat sulit untuk mengetahui apakah pernyataan yang dibuat

    seseorang itu sesuai dengan kehendaknya. Sehingga selalu

    menimbulkan pertanyaan apakah ada kepastian hukum

    mengenai lahirnya keterikatan kontraktual.59

    2) Teori Pernyataan, menyatakan bahwa seseorang itu terikat

    dengan pernyataanya. Kelemahan dari teori ini apabila

    terdapat pernyataan yang ternyata tidak sesuai dengan

    kehendak.60

    3) Teori Kepercayaan, merupakan teori jalan tengah yang

    menjembatani kekurangan kedua teori sebelumnya. Teori ini

    menyatakan yang menjadi landasan keterikatan kontraktual

    57 Ibid. 58 Wirjono Projodikoro, Op. Cit , hal 38 59 J.H Niewenhuis III , Op. Cit , hal.8 60 Ibid.

  • 34

    adalah pernyataan yang selayaknya menimblkan kepercayaan

    bahwa hal itu sesuai dengan putusan kehendak.61

    b. Kecakapan

    Kecakapan yang dimaksud dalam pasal 1320 BW adalah

    kecakapan yang melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk

    melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan

    untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat

    diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat.62 Kecakapan untuk

    melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar,

    sebagai berikut:

    1) Person (pribadi), diukur dari standard usia kedewsaan.

    Kedewasaan biasanya diukur dari usia seseorang, walaupun

    adanya perdebatan tentang batas usia minimum seseorang

    dikatakan dewasa. dalam pasal 1330 BW jo 330 BW dikatakan

    usia cakap seseorang adalah 21 tahun, namun pada sisi lain

    usia kedewasaan seseorang juga mengacu pada usia 18 tahun

    sebagaimana ditulis pasal 47 jo 50 Undang-Undang Nomor 1

    tahun 1974 tentang Perkawinan.

    2) Rechtpersoon (badan hukum), diukur dari aspek kewenangan.

    Setelah dinyatakan mempunyai kewenangan hukum maka

    diberikan kepada mereka kewenangan untuk melaksanakan

    hak dan kewajiban. Menurut pasal 1329 BW “Setiap orang

    61 Ibid. 62 Ibid, hal. 20

  • 35

    adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh

    undang-undang dinyatakan tidak cakap”. Kemudian di dalam

    pasal 1330 BW dinyatakan bahwa yang dimaksud tidak cakap

    untuk membuat perjanjian adalah :

    a) Orang-orang yang belum dewasa

    b) Mereka yang ditaruh di dalam pengampuan

    c) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan

    oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang

    kepada siapa undang-undang telah melarang membuat

    perjanjian-perjanjian tertentu.

    c. Suatu Hal Tertentu

    Yang dimaksud suatu hal tertentu atau objek tertentu adalah

    prestasi yang menjadi pokok perjanjian tersebut. Untuk lebih

    lanjut mengenai hal tertentu atau objek tertentu dapat dilihat dari

    substansi pasal berikut :

    1) Pasal 1332 BW mengatakan :

    Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat

    menjadi pokok perjanjian.

    2) Pasal 1333 BW mengatakan :

    Suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu

    barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Jumlah

    barang itu tidak perlu pasti, asal barang itu kemudian

    jumlahnya dapat ditentukan atau dihitung.

  • 36

    3) Pasal 1334 BW mengatakan :

    Barang yang baru aka nada pada waktu yang akan datang,

    dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidak

    diperkenankan untukmelepaskan suatu warisan yang belum

    terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal

    mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang

    yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi

    pokok perjanjian itu, dengan tidak mengurangi ketentuan

    pasal 169, 176, dan 178.

    Substansi pasal-pasal tersebut memberikan pedoman bahwa

    dalam perjanjian harus dipenuhi hal atau objek tertentu. Hal ini

    dimaksudkan agar sifat dan luasnya kewajiban para pihak

    (prestasi) dapat dilaksanakan oleh para pihak.

    d. Kausa yang diperbolehkan

    Terkait pengertian “kausa yang diperbolehkan” atau juga

    dapat di terjemahkan “kausa yang halal” beberapa sarjana

    memberikan pemikiran antara lain H.F.A Vollmar63 dan

    Wirjono Prodjodikoro64 yang memberikan pengertian sebab

    (kausa) sebagai maksud atau tujuan dari perjanjian. Sedangkan

    Subekti65 menyatakan bahwa sebab adalah isi perjanjian itu

    63 H.F.A Vollmar , Hukum Benda Menurut KUHPerdata, Tarsito, Bandung 1990 , hal.160 64 Wirjono Prodjodikoro , Op. Cit. hal 35 65 Subekti , Op.Cit. hal. 20

  • 37

    sendiri, dengan demikian kausa merupakan prestasi dalam

    kontra prestasi yang saling dipertukarkan oleh para pihak.

    Pengertian kausa atau sebab sebagaimana dimaksud pasal

    1320 BW syarat 4 harus dihubungkan dalam konteks pasal 1335

    dan 1337 BW. Meskipun undang-undang tidak memberikan

    penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan sebab atau

    kausa, namun yang dimaksud adalam menujuk kepada hubungan

    tujuan, yaitu apa yang menjadi tujuan para pihak untuk menutup

    perjanjian atau apa yang hendak dicapai para pihak saat

    penutupan perjanjian.66 Didalam pasal 1335 BW ditegaskan

    bahwa “suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat

    dengan sebab palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.”

    Adapun sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa

    apa yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian tersebut

    harus disertai itikad baik dan tidak bertentangan dengan

    peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan

    kesusilaan.

    Selanjutnya dalam pasal 1337 BW ditegaskan bahwa “suatu

    sebab adalah terlarang, apabila dilarang olh undang-undang,

    atau apabila bertentangan dengan desusilaan atau ketertiban

    umum.” Berdasarkan dari kedua pasal tersebut dapat

    disimpulkan bahwa perjanjian tidak mempunyai kekuatan

    hukum apabila perjanjian tersebut :

    66 J.H Niewenhuis-lll Op, Cit. hal 25

  • 38

    1) Tidak mempunyai kausa

    2) Kausanya palsu

    3) Kausanya bertentangan dengan undang-undang

    4) Kausanya bertentangan dengan kesusilaan

    5) Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum

    5. Perkembangan Perjanjian Umum ke Perjanjian Baku

    Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu

    contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda adalah

    overeenscomstrecht. BW (pasal 1313 BW) memberikan pengertian

    perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana orang atau lebih

    mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Subekti67

    memberikan pengertian bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

    seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling

    berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan KRMT

    Tirtodingingrat68 mendefinisikan bahwa perjanjian adalah suatu

    perbuatan hukum berdasarkan pada kata sepakat diantara dua orang atau

    lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan

    oleh undang-undang. Seperti yang telah diketahui diatas, perjanjian

    mengenal 4 asas, yakni (1) asas kebebasan berkontrak, (2) asas

    konsesualisme, (3) asas mengikatnya perjanjain, dan (4) asas itikad baik.

    Dalam era globalisasi dan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat

    saat ini, maka memicu tingginya frekuensi perjanjian yang terjadi dalam

    67 Subekti, Op. Cit., hal. 1 68 A. Qirom Meliala, Op. Cit., hal. 8

  • 39

    sektor bisnis, hal demikianlah yang menjadi penyebab banyaknya

    pelaku usaha membuat perjanjian baku dengan alasan kepraktisan,

    menghemat biaya dan juga waktu. Perjanjian baku dibuat secara sepihak

    oleh pelaku usaha, karena dibuat secara sepihak maka klausula atau isi

    dari perjanjian tersebut ditentukan sepihak oleh pelaku usaha sehingga

    dapat disebut klausula baku.

    Klausula dapat mencakup tentang hak, kewajiban, sampai pada

    berakhirnya perjanjian, ganti rugi, bahkan terkadang mengandung

    klausula eksenorasi. I.P.M Ranuhandoko B.A memberikan pengertian

    klausula eksenorasi adalah membebaskan seseorang atau badan usaha

    dari suatu tuntutan atau tanggung jawab. Perjanjian yang

    mencantukmkan klausula baku atau bisa di sebut perjanjian standar,

    dapat diartikan sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausulanya

    dibakukan oleh pembuatnya dan pihak yang lain tidak mempunyai

    kesempatan memusyawarahkan isi perjanian tersebut atau meminta

    perubahan.

    Bentuk perjanjian standar dengan klausula baku umumnya terdiri

    dari atas (1) perjanjian yang dituangkan dalam bentuk dokumen

    perjanjian, (2) dalam bentuk persyaratan-persyaratan. Perjanjian baku

    dalam bentuk persyaratan dapat berupa ketentuan yag tercantum dalam

    kwitansi, tanda terima atau tanda penjualan, brosur, papan

    pengumuman, atau secarik kertas tertentu yang disertakan dalam

  • 40

    kemasan atau wadah produk terkait.69 Dalam bentuk dokumen

    perjanjian, perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah

    dipersiapkan terlebih dahulu oleh pelaku usaha. Disamping memuat

    aturan yang umumnya tercantum dalam suatu perjanjian, dokumen

    perjanjian memuat pula hal-hal yang sifatnya khusus berkaitan dengan

    pelaksanaan perjanjian sampai pada akhirnya perjanjian. Dokumen

    perjanjian dapat berupa formulir yang disertai dengan ketentuan atau

    klausula perjanjian yang sedemikian rupa disusun oleh pelaku usaha

    tanpa campur tangan lawan perjanjianya. Klausula tersebut biasanya

    berisi tentang hak dan kewajiban para pihak, ganti rugi, jaminan, sanksi,

    berakhirnya perjanian, dan lain sebagainya, yang dianggap oleh pelaku

    usaha perlu di cantumkan.70

    Perjanjian tersebut akan berlaku hanya apabila kreditur telah

    menyetujuinya. Pilihan untuk setuju atau tidak setuju sepenuhnya

    berada di pihak kreditur, dan tentunya pihak pelaku usaha atau debitur

    tidak berhak untuk memaksa. Dengan demikian perjanjian baku adalah

    perjanjin yang dibuat secara sepihak, tetapi mengandung ketentuan yang

    bersifat umum. Oleh sebab itu kreditur hanya memiliki dua pilihan yaitu

    menyetujui maka kreditur dipersilahkan untuk menandatangani

    perjanjian tersebut (take it) atau menolaknya (leave it) , inilah sebabnya

    69 Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen : Suatu Pengantar, CV Triarga Utama, Jakarta 2002, hal. 95-96 70 Ibid.

  • 41

    perjanjian baku ini kemudian dikenal dengan penyebutan “take it or

    leave it contract”.71

    Meskipun demikian dimungkinkan terdapat unsur keterpaksaan,

    karena biasanya kreditur sangat membutuhkan apa yang ditawarkan

    oleh pihak pelaku usaha. Dalam hal ini kreditur tidak memiliki kekuatan

    untuk mengatur isi perjanjian. Hal ini menyebabkan kreditur tetap

    menyetujui perjanjian baku tersebut, walaupun sebenarnya isi dari

    perjanjian tersebut tidak sesuai kehendak yang di inginkan kreditur. Ini

    menimbulkan pihak-pihak dalam perjanjian tersebut tidak memiliki

    bargaining position yang seimbang.72

    Dalam praktiknya “kerja” kebebasan berkontrak harus dibatasi agar

    perjanjian yang dibuat berlandaskan asas tersebut tidak menjadi

    perjanjian yang berat sebelah. Asas kebebasan berkontrak pada dasarnya

    tidak bersifat bebas mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan

    dalam ketentuan KUHPerdata terhadap asas ini sehingga menjadikanya

    tidak terbatas, antara lain pasal 1320 BW ayat (1), ayat (2), dan ayat (4),

    pasal 1332, pasal 1337 dan pasal 1338 ayat(3).73

    Ketentuan pasal 1320 ayat (1) memberikan petunjuk bahwa hukum

    perjanjian dikuasa oleh “asas konsesualisme” yang mengandung

    pengertian kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian

    dibatasi oleh sepakat pihak lainya. Dengan kata lain, asas kebebasan

    71 Shidarta, Op. Cit, hal. 120 72 Ridwan Khairandy Op. Cit, jal.1-2 73 Dr. RH. Wiwoho, Op, Cit, hal. 82

  • 42

    berkontrak dibatasi oleh asas konsesualisme. Pasal 1320 ayat (2) terlihat

    adanya kebebasan orang membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapanya

    membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-

    undang tidak cakap membuat perjanjian, ia sama sekali tidak

    mempunyai kebebasan membuat perjanjian.74

    Tetapi sekalipun kebebasan berkontrak dibatasi, namun dalam

    praktiknya kebebasan berkontrak masih sangat longgar, sehingga

    menimbulkan ketidak adilan bagi para pihaknya. Kedudukan para

    pihaknya pun tidak sama kuat atau mempunyai bargaining position

    yang tidak sama.75

    Agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap asas kebebasan

    berkontrak oleh pihak yang berkedudukan kuat, diperlukan campur

    tangan undang-undang ataupun pengadilan.campur tangan pengadilan

    dapat dijumpai pada alasan penyebab putusnya perjanjian, yang dikenal

    dengan istilah penyalahgunaan keadaan (misbruik van

    omstandigbeden).76 Campur tangan undang-undang dilakukan dengan

    membatasi pihak pelaku usaha dalam membuat kalausula baku. di

    Indonesia hal ini terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen (UUPK). Pengertian klausula baku diartikan dalam pasal 1

    angka 10 UU Nomor 8 Tahun 1999 yang menyatakan : ”klausula baku

    adalah setiap aturan atau ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang

    74 Ibid. 75 Sjahdeni, Op. Cit, hal. 45 76 Az. Nasution, Op. Cit, hal. 120

  • 43

    telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara spihak oleh

    pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjnjian

    yang mengikat dan wajib dipenuhi konsumen”

    Pengaturan pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha diatur

    dalam pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 yang menyatakansebagai

    berikut:

    (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang

    ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau

    mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau

    perjanjian apabila:

    a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

    b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

    kembali barang yang dibeli konsumen;

    c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

    kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang

    dibeli oleh konsumen;

    d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku

    usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk

    melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan

    barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

    e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang

    atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

  • 44

    f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat

    jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjdi

    obyek jual beli jasa;

    g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang

    berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan

    lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa

    konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

    h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku

    usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak

    jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara

    angsuran.

    (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak

    atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,

    atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

    (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada

    dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

    (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan

    dengan Undang-undang ini.

    Ketentuan pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 merupakan batasan

    yang diberikan undang-undang berkaitan dengan klausula baku yang

    dibuat oleh pihak pelaku usaha agar sedapat mungkin klausula baku

    tersebut tidak merugikan konsumen.

  • 45

    6. Teori Keseimbangan dan Teori Keadilan

    Teori Keseimbangan beberapa sarjana memberikan pendapat

    anatara lain Sutan Remy Sjahdeini, Mariam Darus Bdrulzaman, Sri Gambir

    Melati Hatta, serta Ahmad Miru, secara umum memaknai keseimbangan

    sebagai keseimbangan posisi para pihak dalam sebuah perjanjian. Jika

    terjadi ketidak seimbangan posisi yang mengakibatkan adanya gangguan

    terhadap isi dari perjanjian tersebut diperlukan adanya campurtangan

    pihak-pihak tertentu (pemerintah).

    Sedangkan istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang

    berarti ‘tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar,

    sepatutnya, tidak sewenang-wenang’. Keadilan juga merupakan suatu

    tuntutan bagi seseorang untuk memperlakukan sesamanya sesuai hak dan

    kewajiban. Aristoteles mengatakan bahwa keadilan adalah kelayakan

    dalam tindakan manusia sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstren

    yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Keadilan yang merupakan tindakan

    yang terletak diantara memberikan terlalu banyak dan terlalu sedikit, dalam

    artian bahwa dalam memberikan sesuatuberdasarkan haknya. Sedangkan

    Thomas Hubbes memberikan pendapat bahwa keadilan adalah sesuatu

    perbutan yang adil apabila didasarkan pada perjanjian yang telah

    disepakati.77

    77 Richard Kraut, Aristotle on the Human Good, Pricenton University Press, 1989 hal.34

  • 46

    7. Keseimbangan dan Keadilan dalam Perjanjian

    Keseimbangan dimaksudkan dalam kedudukan posisi para pihak yang

    mengadakan perjanjian. Beranjak dari itu konsumen atau debitur perlu

    diberdayakan dan di seimbangkan posisi tawarnya. Tujuan dari

    keseimbangan ini adalah hasil akhir yang menempatkan posisi para pihak

    seimbang (equal) dalam menentukan hak dan kewajibanya. Terwujudnya

    keseimbangan dapat juga dilihat dari proses negosiasi (pra perjanjian)

    antara pihak-pihaknya. Negosiasi bertujuan unttuk menciptakan bentuk-

    bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan

    (kepentingan) melalui proses tawar-menawar.78 Jika para pihak menyetujui

    antara hak dan kewajiban yang telah di negosiasikan makan akan di

    tuangkan kedalam naskah perjanjian, sebaliknya jika pihak tidak

    menyetujuinya makan perjanjian tersebut tidak dapat dilanjutkan. Namun

    pada kenyataanya keseimbangan para pihak sulit terwujud karena posisi

    tawar menawar para pihaknya cenderung tidak seimbang. Dimana pihak

    satu memiliki posisi tawar yang lebih tinggisedangkan pihak lawan

    memiliki posisi tawar yang rendah. Posisi tawar yang tidak seimbang ini

    seringkali dimanfaatkan pihak kreditur untuk membuat klausula-klausula

    yang menguntungkan dirinya. Sedangkan debitur yang memiliki posisi

    tawar rendah mau tidak mau harus menyetujuinya. Dengan demikian posisi

    keseimbangan para pihak sering kali diabaikan oleh pihak-pihak yang

    membuat perjanjian.

    78 Agus Yudho Hernoko, Op. Cit, hal.1

  • 47

    Keadilan dalam perjanjian dapat berarti meletakan kepercayaan kepada

    individu untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu perbuatan.

    Plato membagi keadilan menjadi dua, yakni keadilan moral, yaitu keadilan

    yang terjadi apabila mampu memberikan perlakuan yang seimbang antara

    hak dan kewajibanya, kemudian keadilan procedural, yakin keadilan yang

    terjadi apabila seseorang melaksanakan perbuatan sesuai dengan tata cara

    yang diharapkan.

    B. Hasil Penelitian

    1. Latar Belakang Munculnya Perjanjian Baku

    a. Awal mula munculnya perjanian baku

    Perjanjian baku telah digunakan lebih dari delapan puluh

    tahun lalu, pada saat terjadinya Revolusi industri awal abad ke-16.79

    Munculnya pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan awalnya

    memang tidak menimbulkan apa-apa, namun lama-kelamaan

    standarisasi produksi dari perusahaan-perusahaan tersebut yang

    membuat perubahan sehingga memaksa perusahaan tersebut

    membakukan perjanjian-perjanianya, kemudian dari sinilah

    perjanjian baku dikenal. Dalam membuat perjanjian juga

    dibutuhkan kemampuan khusus dalam bidang hukum yang hanya

    dimiliki oleh ahli hukum atau pengacara yang tentu saja

    membutuhkan biaya yang mahal. Atas dasar itulah perusahaan

    menggunakan perjanjian yang sama dan dibuat secara masal untuk

    79 Purwahid Patrik, Perjanjian Baku dan Penyalahgunaan Keadaan Hukum Kontrak di Indonesia, ELIPS, Jakarta 1998, hal. 146.

  • 48

    mengurangi biaya yang dikeluarkan. Salim HS dan Erlies Septiana

    Nurbani dalam buakunya mengatakan bahwa sejarah dari perjanjian

    ini sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu ketika Mesir dan Negara

    Dua Sungai, dibuat tulisan-tulisan pertama, dan hampir di saat yang

    bersamaan syarat-syarat perjanjian muncul dan dibakukan pertama

    kali. Sesudah itu banyak gejala peradaban yang melepaskan doktrin

    dari model-model perjanjian yang diterapkan rohaniawan. Namun

    sebaliknya penggunaan dari syarat-syarat baku ini akan bertambah,

    kebutuhan akan syarat baku ini bertambah di Eropa Barat karena

    timbulnya transaksi-transaksi perdagangan yang semakin menjamur

    dan timbulnya konsentrasi-konsentrasi modal yang semakin besar,

    membuat pemakaian perjanjian-perjanjian ini penting.80

    b. Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya perjanjian baku

    Ada berbagai faktor yang mempengaruhi munculnya

    perjanjian baku, seperi yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa

    dalam membuat perjanjian diperlukan kemampuan khusus dibidang

    hukum seperti ahli hukum atau pengacara. Dengan demikian

    membuat sebuah perjanjain memerlukan biaya yang mahal.

    Kemudian faktor yang mempengaruhi selanjutnya adalah

    dalam menentukun isi suatu perjanjian memerlukan negosiasi-

    negosiasi antara para pihaknya, sehingga agar lebih efisien pelaku

    80 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di

    Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2014, hal.101

  • 49

    usaha membuat perjanjian tersebut secara masal agar lebih

    mempersingkat waktu pembuatan perjanjian tersebut.

    Plato mengatakan81 tumbuhnya perjanjian baku adalah

    keadaan sosial dan ekonomi, perusahaan yang besar, perusahaan

    semi pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah

    mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk

    kepentingan mereka menentukan syarat-syarat tertentu secara

    sepihak, pihak lawannya (waderpartiji) yang pada umumnya

    mempunyai kedudukan (ekonomi) lemah, baik karena posisinya

    maupun karena ketidaktahuannya hanya menerima apa yang

    disodorkan itu. Hal-hal tersebut yang mempengaruhi munculnya

    perjanjian baku

    c. Perjanjian baku masa kini

    Dalam era globalisasi dan pertumbuhan ekonomi yang

    sangat pesat saat ini, mengakibatkan tingginya frekuensi transaksi

    bisnis di Indonesia oleh karena itu untuk menjamin kepastian hukum

    para pihak yang bertransaksi dibutuhkan perjanjian guna untuk

    melindungi para pihak. Karena tingginya frekuensi perjanjian yang

    terjadi di Indonesia tersebut makan banyak perusahaan-perusahaan

    yang membuat perjanjian dengan perjanjian standar/baku, tidak

    terkecuali perjanjian kredit Bank, dengan alasan lebih praktris,

    mempersingkat waktu, dan juga biaya.

    81Ibid. hal. 101-102.

  • 50

    Pihak pelaku usaha akan melakukan perjanjian dengan

    lawan janjinya menggunakan perjanjian yang telah dipersiapkan

    sebelumnya oleh pihak perusahaan. Perjanjian standar ini biasanya

    berisi klausula-klausula yang telah di bakukan oleh pihak

    perusahaan, oleh sebab itu disebut perjanjian baku. UUPK

    memberikan pengertian bahwa: “Klausula Baku adalah setiap aturan

    atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan

    ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang

    dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang

    mengikat dan wajib dipenuhi oleh debitur”.82

    Bentuk perjanjian standar dengan klausula baku ini

    umumnya terdiri dari, perjanjian yang dituangkan dalam bentuk

    dokumen perjanjian, dan dalam bentuk persyaratan-persyaratan.

    Perjanjian baku dalam bentuk persyaratan dapat berupa ketentuan

    yang tercantum dalam kuitansi, tanda terima atau tanda penjualan,

    brosur, papan pengumuman, atau secarik kertas tertentu yang

    disertakan dalam kemasan atau wadah produk terkait.83 Dalam

    bentuk dokumen perjanjian, perjanjian baku memuat aturan yang

    umumnya memuat hal-hal yang sifatnya khusus berkaitan dengan

    pelaksanaan perjanjian sampai pada akhirnya perjanjian. Dokumen

    perjanjian dapat berupa formulir yang disertai dengan ketentuan

    atau klausula perjanjian yang sedemikian rupa disusun oleh

    82 Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 83 Az Nasution, Op. Cit., hal. 95

  • 51

    kreditur tanpa campur tangan lawan perjanjianya. Klausula tersebut

    biasanya berisi tentang hak dan kewajiban para pihak, ganti rugi,

    jaminan, sanksi, berakhirnya perjanian, dan lain sebagainya, yang

    dianggap oleh kreditur perlu di cantumkan.84

    d. Kelemahan perjanjian baku dan perlindungan para pihak

    Selain memudahkan pelaku usaha karena lebih praktis dalam sisi

    biaya dan waktu, perjanjian baku memiliki kelemahan yaitu

    kurangnya kesempatan debitur bernegosiasi dalam menentukan isi

    perjanjian tersebut, sehingga dalam perjanjian tersebut tidak ada

    keseimbangan dan keadilan posisi para pihak. Debitur terpaksa

    menyetujui isi dari perjanjian tersebut karena daya tawar yang tidak

    seimbang. Perjanjian tersebut memuat kepentingan-kepentingan

    yang menguntungkan pihak yang membuat perjanjian tersebut.

    Walaupun dalam pasal 1320 KUHPdt telah dikatakan bahwa sayarat

    sah suatu perjanjian adalah sepakat, jika tidak terpenuhi unsur

    tersebut maka perjanjian dapat dibatalkan. Walaupun debitur tidak

    sepenuhnya sepakat dengan isi dari perjanjian tersebut, namun disisi

    lain debitur merasakan kekhawatiran karena tidak terpenuhinya

    kepentingnan dirinya, sehingga debitur tidak secara bebas

    menyepakati isi dari perjanjian tersebut.

    Dalam dunia perbankan seluruh kegiatanya dilaksanakan atas

    dasar kepercayaan dari warga masyarakat. Oleh sebab itu bank harus

    84 Ibid.

  • 52

    tetap menjaga kepercayaan warga masyarakat tersebut, dan

    pemerintah harus berusaha untuk melindungi masyarakat dari

    tindakan atau oknum yang tidak bertanggung jawab yang mungkin

    akan merusak kepercayaan masyarakat tersebut. Debitur sebagai

    konsumen wajib mendapatkan perlindungan hukum terkait tentang

    hak dan kewajibanya dalam perjanian baku yang telah dibuat pihak

    bank.

    Dalam pasal 29 ayat 3 Undang-Undang No. 10 tahun 1998

    tentang Perbankan menyebutkan bahwa “dalam memberikan kredit

    atau pembiayaan dalam prinsip syariah, dan melakukan kegiatan

    usaha lainya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak

    merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan

    dananya kepada bank” kemudian dilanjutkan dengan ayat 4 yang

    mengatakan “untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan

    informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian

    sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui

    bank” dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa untuk meminimalisir

    masalah atau gugatan ke pengadilan yang akan timbul dikemudian

    hari maka bank tidak boleh melakukan hal-hal yang akan merugikan

    nasabahnya.

    Dalam pasal 18 Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang

    Perlindungan Kosumen menyebutkan apabila dalam perjanjian

    memuat tunduknya konsumen pada peraturan baru yang dibuat

    secara sepihak oleh pelaku usaha maka perjanjian tersebut batal

  • 53

    demi hukum. Larangan-larangan dalam pembuatan klausula baku

    tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan

    keadaan pihak yang kuat. Namun, dalam pasal ini terdapat

    kelemahan karena dapat dipastikan pihak bank tidak akan mematuhi

    ketentuan dalam pasal 18 tesebut khususnya huruf g, kalaupun

    mematuhinya maka dalam konsidi tertentu bank akan bangkrut.

    Oleh karena itu diperlukan kebijakan-kebijakan dari pemerintah

    untuk menjamin pihak bank tidak dirugikan jika mematuhi pasal

    tersebut.

    2. Keseimbangan dan Keadilan dalam Perjanjian Baku di Bank

    Mandiri

    a. Pentingnya asas keseimbangan dalam perjanjian

    Asas keseimbangan dalam membuat perjanjian sangat penting

    agar terjadi persamaan hak dan kewajiban diantara para pihak yang

    membuat perjanjian tersebut. Dalam kamus KBBI, kata

    “keseimbangan berarti keadaan seimbang (seimbang-sama berat,

    setimbang, sebanding, setimpal); dalam ilmu fisika diartikan sebagai

    keadaan yang terjadi bila semua gaya dan kecenderungan yang ada

    pada setiap benda atau sistem persis dinetralkan atau dilawan oleh

    gaya atau kecenderungan yang sama besar, tetapi mempunyai arah

    yang berlawanan.85 Harlien Budiono berpendapat bahwa tujuan

    keseimbangan adalah untuk menyelaraskan pranata-pranata hukum

    85 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hal. 75

  • 54

    dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal dalam KUHPdt.

    Dengan mendasarkan pada pemikiran dan latar belakang

    individualisme pada satu pihak dan pihak lain pada cara pikir bangsa

    Indonesia.86 Mariam Darus Badrulzaman, Sri Gambir Melati Hatta,

    setra Ahmadi Miru secara umum memberikan pengertian bahwa

    asas keseimbangan sebagai keseimbangan posisi antara pihak yang

    berjanji, maka pemahaman akan daya kerja dari asas keseimbangan

    yang menekankan keseimbangan posisi para pihak dalam perjanjian

    terasa dominan kaitannya dengan perjanjian konsumen.87 Penulis

    juga memberikan pengertian tentang asas keseimbangan dengan

    didukung pendapat para ahli sebelumnya. Penulis berpendapat

    bahwa asas keseimbagan sangat penting dalam sebuah perjanjian

    untuk memastikan kedudukan para pihak dalam perjanjian tersebut

    seimbang sehingga tercipta keadilan bagi para pihak yang berjanji

    antara hak dan kewajibanya, sehingga tidak akan timbul

    kesewenangan dari salah satu pihak karena adanya posisi lemah dan

    kuatnya pihak-pihak dalam perjanjian.

    Perjanjian itu sendiri memiliki beberapa aspek penting yang

    dimunculkan sebagai faktor penguji adanya keseimbangan atau

    tidak, aspek tersebut antaralain88 :

    1) Perbuatan para pihak,

    86 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya Di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2010, hal. 29. 87 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, h.79 88 Herlin Budiono, Op, Cit., hal. 334

  • 55

    Perbuatan para pihak dalam hal ini kreditur dan yang melakukan

    perbuatan hukum,

    2) Isi perjanjian yang disepakati para pihak

    Isi perjanjian merupakan objek dari perjanjian itu sendiri yang

    berupa prestasi yang harus dilaksanakan apa yang dikehendaki

    dalam perjanjian tersebut. Dan isi dari perjanjian tidak bertentangan

    dengan Undang-Undang.

    3) Pelaksanaan perjanjian

    Dalam pelaksanaan perjanjian hendaknya dilakukan berdasarkan

    itikad baik, dimana kedua pihak harus melaksanakan prestasi

    masing-masing.

    Perjanjian dapat dikatakan seimbang jika memenuhi beberapa aspek

    yang telah disebutkan diatas. Sehingga dalam pemenuhan hak dan

    kewajiban masing-masing pihak berada pada posisi sama rata dan tidak

    ada pihak yang kuat maupun pihak yang lemah. Fase dalam perjanjian

    dibagi menjadi 3, yakni pra perjanjian, pelaksanaan perjanjian,

    selesainya perjanjian. Sehingga dalam 3 fase tersebut juga dapat dilihat

    ada atau tidaknya keseimbangan dalam perjanjian tersebut.

    Ada beberapa faktor yang menyebabkan terabaikanya asas

    keseimbangan dalam perjanjian kredit perbangkan

    1) Yang pertama adalah perkembangan dunia bisnis yang sangat pesat,

    yang kemudian mendorong para pelaku usaha (bank) untuk

    membuat perjanjian yang telah dipersiapakn sebelumnya, karena

    alasan kepraktisan dan lain sebagainya. Perjanjian semacam ini

  • 56

    adalahh perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh pihak bank tanpa

    campur tangan debitur. Sehingga menimbulkan ketidak seimbangan

    posisi pihaak-pihaknya.

    2) Kemungkinan digunakanya asas kebebasan berkontrak, karena isi

    dari asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang dapat melakukan

    perjanian dengan siapapun dan macam perjanjian apapun asalkan

    tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan

    ketertiban umum. Dan dalam pasal 1338 KUHPdt juga

    menyebutkan “semua perjanajian yang dibuat secara sah berlaku

    sebagai undang-undang bagi mereka yang membautnya”. Namun

    dengan demikian asas kebebasan berkontrak harusnya tidak

    mengenyampingkan asas keseimbangan, karena yang dimaksudkan

    di dalam asas kebebasan berkontrak adalah tetap adanya batasan-

    batasan yang membatasi dan tidak dapat diartikan sebagai bebas

    mutlak.

    3) Daya tarik yang sangat kuat dari pihak bank, perjanjian memang

    dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu. Pihak bank yang

    memiliki kekuatan ekonomi yang kuat, kemudian menjadi alasan

    seseorang untuk melakukan perjanjian dengan bank karena daya

    tawarnya sangat kuat, dan karena terdesak satu dengan lain hal mau

    tidak mau debitur sebagai pihak yang lemah menyetujui perjanjian

    yang diberikan oleh bank tanpa mengindahkan asas keseimbanga.

    Sehingga dengan demikian debitur tidak punya pilihan selain

    menyetujui perjanjian yang menguntungkan pihak lainya.

  • 57

    Faktor-faktor tersebut yang menyebabkan terabaikanya asas

    keseimbangan dalam perjanjian kredit bank sehingga dalam perjanjian

    kredit bank sulit sekali dijumapi adanya keseimbangan antar pihaknya.

    Kemudian ada faktor lain juga untuk membuktikan ada atau tidakanya

    keseimbangan para pihak dalam perjanjian kredit bank, seperti isi dari

    perjanjian kredit tersebut, ini sangat penting karena isi dari perjanjian

    tersebut merupakan subjek dari perjanjian. Debitur sebagai nasabah

    berhak mendapatkan pinjaman dari pihak bank, namun juga debitur

    berkewajiban untuk membayar secara bertahap pinjaman tersebut sesuai

    dengan perjanjian yang telah dibuat oleh bank. Walaupun perjanjian

    tersebut telah dibakukan oleh pihak bank, bukan berarti pihak bank

    dapat melakukan hal yang semena-mena terhadap nasabahnya dengan

    memberatkan posisi debitur mengingat debitur tidak ikut andil dalam

    membuat perjanjian tersebut.

    Seperti dicontohkan sebelumnya, perjanjian kredit memuat pasal

    “Bank dapat mengakhiri jangka waktu kredit sebelum berakhirnya

    jangka waktu sesuai dalam perjanjian ini dan menyatakan seluruh

    jumlah utang menjadi jatuh tempo dan debitur wajib membayar seluruh

    hutangnya secara seketika dan sekaligus lunas apabila debitur

    diberhentikan/ PHK atau mengundurkan diri dari perusahaan/ instansi

    dimana debitur bekerja” dari isi perjanjian tersebut dapat dilihat tidak

    adanya asas keseimbangan. Mengigat pentingya asas keseimbangan

    maka dapat dikatakan bahwa perjanjian kredit ini tidak seimbangan,

  • 58

    karena tujuan dari asas keseimbangan ini adalah untuk

    menyeimbangkan posisi antara hak dan kewajiban pihak-pihak yang

    berjanji.

    Adanya asas keseimbangan sering kali diabaikan sehingga membuat

    ketidak setaraan kedudukan antar pihaknya, oleh sebab itu asas

    keseimbangan ini perlu diperjuangkan untuk mencapai keadilan bagi

    pihak-pihaknya. Tujuan awal dibuatnya perjanjian adalah untuk

    mencapai kepentingan-kepentingan pihaknya. Asas keseimbangan juga

    berfungsi untuk menyeimbangkan kepentingan-kepentingan tersebut.

    Pengabaian asas keseimbangan dalam perjanjian ini sebenarnya tidak

    diinginkan oleh pihak debitur, namun mengingat tingginya daya tawar

    kreditur yang menyebabkan debitur mau tidak mau untuk menerima

    perjanjian tersebut. Karena perjanjian tersebut berbentuk perjanjian

    baku, yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh kreditur, dengan alasan

    lebih efisien dan lain sebagainya, namun seharusnya pihak bank juga

    mempertimbangkan keseimbangan kedudukan dari debitur dengan

    mencantumkan kalusula-klausula yang tidak memberatkan debitur.

    Pentingnya asas keseimbagan dalam perjanjian juga dapat

    mempengaruhi berjalanya perjanjian tersebut. Jika terdapat

    keseimbangan dalam perjanjian antara hak dan kewajiban masing-

    masing pihak, maka akan kecil pula resiko yang akan terjadi. Seperti

    tidak terpenuhinya prestasi debitur kepada kreditur, jika adanya

    keseimbangan antar pihak maka kerugian-kerugian yang akan timbul

    karena wanprestasi debitur akan terminimalisir. Kemugkinan kecil pula

  • 59

    dengan adanya upaya-upaya tuntutan hukum yang timbul karena

    wanprestasi tersebut. Jika pihak bank dalam menentukan klausula-

    klausula tersebut mengindahkan asas keseimbangan, maka

    kemungkinan-kemungkinan tersebut dapat diminimalisir dan menjadi

    keuntungan-keuntungan bagi para pihak.

    b. Karakteristik perjanjian kredit di bank Mandiri

    Dalam perjanjian tentunya memiliki karakteristiknya masing-masing,

    termasuk perjanjian kredit bank mandiri berikut ini karakteristik

    perjanjian kredit bank mandiri :

    1) Jenis perjanjian

    Jenis perjanjian disini dimaksudkan untuk mengetahun jenis

    pinjaman kredit debitur, salah satu contohnya adalah “perjanjian

    kredit pinjaman mikro”. Biasanya jenis perjanjian tersebut berada

    pada halaman paling depan perjanjian tersebut dengan diikuti jadwal

    angsuran pinjaman.

    2) Pihak-pihak

    Sesuai dengan pengertian perjanjian, setiap perjanjian

    melibatkan antara 2 orang atau lebih. Dalam perjnajian kredit ini

    menyebutkan beberapa pihak yang dapat disebut sebagai kreditur

    dan debitur.

    3) Jumlah kredit

  • 60

    Dalam perjanjian tentu ada kepentingan yang menjadi objek dari

    perjanjian itu, dalam hal ini adalah uang. Dalam perjanjian kredit

    harus di sebutkan dengan jelas berapa besaran nominal yang akan

    depinjamkan kepada debitur.

    4) Tujuan

    Dalam melakukan suatu perjanjian, tentu saja ada tujuan yang

    ingin di capai para pihaknya, tidak terkecuali perjanjian kredit ini.

    Contoh dalam perjanjian kredit ini misalnya modal kerja, atau

    banyak juga yang lainya, sesuai dengan tujuan masing-masing

    pihak.

    5) Sifat

    Perjanjian kredit juga memiliki sifat, salahsatunya yakni bersifat

    non revolving yakni kredit tak berulang, atau kredit yang telah satu

    transaksi selesai tidak dapat digunakan untuk transaksi berikutnya.89

    6) Jangka waktu

    Setiap perjanjian memiliki jatuh tempo pelunasan yang di

    tunjukan dengan adanya kurun waktu seberti bulan maupun tahun.

    Salah satu contohnya 36 bulan sejak tanggal pencairan kredit

    tersebut.

    7) Angsuran

    Angsuran atau cicilan biasanya dilakukan bertahap, tahapan ini

    biasanya telah disetujui para pihak yang melakukan perjanjian

    dengan nominal yang sudah diperhitungkan dengan jatuh temponya

    89 KBBI non revolving credits

  • 61

    pelunasan pinjaman kredit tersebut. Sebagai contohnaya

    pembayaran/cicilan dapat dilakukan pada saat jatuh tempo cicilan,

    namun jika melebihi jatuh tempo maka debitur akan dikenai denda

    sesuai yang diperjanjikan.

    8) Kejadian Kelalaian

    Kelalaian adalah tidak terpenuhinya ketentuan-ketentuan dalam

    perjanjian tersebut oleh debitur. Kelalaian tersebut diikuti dengan

    sanksi-sanksi yang telah ditetapkan dan disetujui sebelumnya oleh

    para pihak.

    9) Pencairan Kredit

    Berisi tentang tata cara pencairan uang perpindahan ke rekening

    debitur. Seperti contohnaya perjanjian kredit dilakukan sekaligus

    dengan cara dipindahkan kerekening tabungan atas nama debitur

    dengan nomer rekeningnya.

    10) Pembayaran Kembali

    Debitur berkewajiban membayar untuk melunasi hutangnya

    beserta bunga ataupun denda yang timbul sesuai dengan perjanjian

    tersebut. Sebagai contoh debitur mengikatkan diri untuk melunasi

    kredit yang diterimanya berikut dengan bunga, denda maupun

    kewajiban-kewajiban lainya.

    11) Pembukuan dan Pembuktian

    Pembukuan adalah pencatatan-pencatatan yang dilakukan sesuai

    dengan sistem akutansi yang berlaku pada bank tesebut. Debitur

  • 62

    akan menerima baik pembukuan dan catatan Bank ssebagai bukti

    yang sah tentang jumlah hutang.

    12) Agungan dan Asuransi

    Agungan adalah barang yang dijadikan jaminan oleh debitur.

    Agungan tersebut dicantumkan dalam perjanjian ini dan

    menyatakan bahwa agungan tersebut adalah benar milik debitur.

    Debitur juga wajib mengasuransikan agungan tersebut dengan

    ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam peranjian tersebut.

    13) Kesanggupan Debitur

    Kesanggupan debitur berisi tentang janji-janji debitur kepada

    kreditur. Seperti debitur berjanji kepada pihak bank dan

    menyanggupi untuk melakukan suatu hal seperti mengijinkan bank

    untuk mengalihkan hak-haknya berdasarkan perjanjian kredit ini

    kepada pihak lain.

    14) Kuasa-Kuasa

    Berisi memberikan kuasa-kuasa sesuai dalam perjanjian tersebut

    dari debitur kepada kreditur. Kuasa-kuasa ini diberikan kepada bank

    dari debitur jika dianggap perlu oleh bank salah satunya untuk

    memblokir rekening tabungan dan atau rekening-rekening lainya

    atas nama debitur yang ada pada bank.

    15) Ketentuan dan Kedudukan Hukum

    Berisi tentang pengakhiran perjanjian tersebut debitur

    mengesampingkan semua peraturan perundang-undangan yang

  • 63

    mensyaratkan adanya suatu putusan pengadilan untuk mengakhiri

    perjanjian tersebut.

    c. Penggunaan klausula baku dalam perjanjian kredit bank Mandiri

    Dalam prakteknya selama ini bank selalu menggunakan perjanjian

    yang telah mereka persiapkan terlebih dahulu. Ketika bank telah

    mengambil keputusan menyetujui permohonan kredit,kemudian bank

    memberikan blangko atau formulir perjanjian yang sebelumnya telah

    dibuat kepada nasabahnya. Maksud dari penyerahan perjanjian tersebut

    adalah memberikan kesempatan kepada nasabah untuk menyetujui atau

    tidak menyetujui perjanjian tersebut.

    Kebanyakan nasabah menyetujui apa yang ada dalam pejanjian

    tersebut, karena terdesak satu hal dan lainya maka jarang sekali ditemui

    nasabah yang menolak perjanjian tersebut, karena sama saja dengan

    menyulitkan diri mereka sendiri, sehingga nasabah cenderung terpaksa

    untuk menyetujui perjanjian tersebut. Ada dua jenis paksaan, yakni

    secara fisik dan secara psikis. Dalam perjanjian baku kredit ini

    kebanyakan dengan paksaan psikis bukan dengan fisik. Karena jika

    nasabah tidak menyetujui perjanjian tersebut maka timbul kekhawatiran

    tersendiri yang dirasakan nasabah karena kepentinganya tidak

    terpenuhi. Dengan demikian debitur tidak secara bebas menyepakati

    perjanjian baku tersebut. Kata sepakat merupakan salah satu syarat

    sahnya perjanjian yang tercantum pada pasal 1320 KUHPdt, apabila

    tidak terpenuhinya syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap

  • 64

    tidak sah dan dapat dibatalkan. Namun jarang sekali ditemui pembatalan

    perjanjian baku ini di dalam pengadilan. Walaupun dapat dikatakan

    perjanjian ini cacat hukum tetapi karena perjanjian ini tidak dibatalkan

    makan perjanjian tersebut tetap sah dan mengikat pihak-pihaknya.

    Dalam perjanjian kredit bank Mandiri pasal 8 yang memuat

    kesanggupan debitur, terlihat angka 2 yang berbunyi “mengizinkan

    bank untuk mengalihkan hak-haknya berdasarkan perjanjian kredit ini

    kepada pihak lain” kemudian dalam pasal 10 yang berbunyi :

    (1) untuk pengakhiran peranjian kredit, debitur dengan ini

    mengesampingkan semua peraturan perundang-undangan yang

    mensyaratkan asanya suatu putusan pengadilan untuk

    pengakhiran suatu perjanjian dan untuk pengakhiran perjanjian

    kredit ini oleh bank, bank tidak dapat diwajibkan atau dituntut

    intuk membayar ganti rugi dalam jumlah berapapunjuga kepada

    debitur

    (2) bank dapat mengakhiri jangka waktu kredit sebelum berakhirnya

    jangka waktu yang ditentukan dalam ketentuan pasal 1 ayat 7

    diatas dan menyatakan seluruh jumlah terhutang menjadi jatuh

    tempo dan debitur wajib untuk membayarkan seluruh jumlah

    terhutang secara seketika dan sekaligus lunas atas tagihan

    pertama bank, apabila debitur diberhentikan/PHK atau

    mengundurkan diri dari perusahanna/instansi dimana debitur

    bekerja atau debitur mutasi kerja yang mengakibatkan pindah

    lokasi kantor

  • 65

    Dalam membuat perjanjiaan yang menggunakan klausula baku yang

    diperbolehkan adalah yang tidak mengandung 8 unsur yang terdapat

    pada pasal 18 ayat 1 UUPK yaitu :

    a) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

    b) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

    kembali barang yang dibeli konsumen;

    c) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

    kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang

    dibeli oleh konsumen;

    d) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku

    usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk

    melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan

    barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

    e) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang

    atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

    f) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat

    jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjdi

    obyek jual beli jasa;

    g) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang

    berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan

    lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa

    konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

  • 66

    h) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku

    usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak

    jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara

    angsuran

    Dalam perjanjian kredit tersebut diatas dapat dilihat dari UUPK

    pasal 18 pada huruf g, bahwa perjanjian tersebut merupakan peraturan

    baru yang dibuat secara sepihak oleh pihak bank, oleh sebab itu

    penggunaan klausula baku tersebut dilarang oleh undang-undang.

    Adanya klausula-klausula tersebut dapat melemahkan posisi debitur

    sehingga dapat menimbulkan kerugian kepada debitur. Pelanggaran

    terhadap pasal 18 ayat (1) tersebut mengakibatkan perjanjian tersebut

    batal demi hukum. Dalam hal penyalahgunaan keadaan, kekuatan

    dalam perjanjian ini dapat tidak mengikat dengan cara pembatalan

    kalusula yang merugikan debitur dengan mengajukan permohonan

    pembatalan kepada hakim.

    d. Tidak adanya Keseimbangan dan Keadilan antara hak dan kewajiban

    dalam perjanjian kredit bank Mandiri

    Dalam terminologi hukum, hak dan kewajiban adalah sesuatu yang

    seharusnya diterima atau dilaksanakan atas apa yang telah diperjanjikan.

    Dalam perjanjian kredit telah dituanagkan hak-hak da kewajiban-

    kewajiban untuk pihak-pihaknya. Pemenuhan hak dan kewajiban para

    pihak dalam hukum perjanjian dijamin oleh undang-undang.

  • 67

    Dalam perjanjian kedit bank Mandiri debitur berhak atas pencairan

    kredit secara sekaligus yang dipindahkan kedalam rekening atas nama

    debitur (pasal 4), kemudian debitur mempunyai kewajiban-

    kewajibanyang harus dilaksanakan, antara lain debitur wajib :

    1. Membayar tagihan sesuai dengan jangka waktu yang ada dalam

    perjanjian tersebut serta denda jika terjadi keterlambatan (pasal

    1)

    2. Membayar sejumlah bunga (pasal 1)

    3. Debitur wajib menutup asuransi jiwa kredit dengan nilai

    pertanggungan minimal sebesar baki debet/sisa pokok kredit

    (pasal 2)

    4. Menyerahkan agungan dan mengasuransikan agungan tersebut

    (pasal 7)

    Kemudian hak-hak yang dimiliki kreditur antara lain adalah :

    1. Mendapat/menagih cicilan pelunasan dari debitur sesuai dengan

    jangka waktu dalam perjanjian tersebut serta denda juga terjadi

    keterlambatan (pasal 1)

    2. Berhak mendapat bunga dari debitur (pasal1)

    3. Kreditur berhak membuat surat peringatan atau tegura jika

    debitur lalai dalam melaksanakan kewajibanya (pasal 3)

    4. Mendapat agungan jika debitur tidak dapat melunasi hutangnya

    (pasal 7)

    Sedangkan kreditur berkewajiban untuk :

  • 68

    1. Memberikan pinjaman uang yang dicairkan secara sekaligus ke

    rekening debitur (pasal 4)

    2. Membuat pembukuan sesuai dengan sistem akutansi bank (pasal

    6)

    Dapat disimpulkan dari uraian hak dan kewajiban antara debitur dan

    kreditur diatas bahwa antar hak dan kewajiban tidak seimbang. Karena

    dalam pelaksanaan isi perjanjian tersebut penumpukan hak terjadi

    kepada kreditur sedangnkan penumpukan kewajiban terjadi kebada

    debitur, hak yang dimiliki kreditur tidak seimbang dengan kewajibanya,

    kreditur lebih dominan karena posisinya yang kuat. Sedangkan debitur

    memiliki banyak kewajiban pemenuhan prestasi yang harus

    dilaksanakan.

    Asas keseimbangan bertujuan untuk menyelaraskan antara hak dan

    kewajiban para pihaknya agar berkedudukan sama atau seimbang

    sehingga adil untuk para pihak yang berjanji. Dalam perjanjian kredit

    bank mandiri dijumpai juga beberapa kalusula yang dianggap tidak

    mencerminkan keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak

    seperti yang disebutkan dalam pasal 8 khususnya ayat 2 tentang

    kesanggupan debitur yang mengatakan “mengijinkan bank untuk

    mengalihkan hak-haknya berdasarkan perjanjian ini kepada pihak lain”

    artinya bahwa selama debitur masih terikat perjanjian dengan bank,

    maka bank dapat mengalihkan hak-hak yang dimiliki debitur kepada

    pihak lain kapanpun kreditur inginkan. Jelas dalam pasal ini tidak

  • 69

    seimbang karena selama debitur dapat melaksanakan kewajibanya

    sebagai debitur, maka debitur berhak pula atas hak-hak yang timbul

    dalam perjanjian ini.

    Selanjutnya ketidak adilan dalam perjanjian kredit ini dapat dilihat

    juga dalam pasal 10 ayat 1 dan 2 tentang aneka ketentuan dan

    kedudukan hukum. Bunyi dari klausula tersebut adalah “untuk

    pengakhiran perjanjian kredit, debitur dengan ini mengesampingkan

    semua peraturan perundang-undangan yang mensyaratkan adanya suatu

    putusan pengadilan untuk pengakhiran perjanjian kredit ini oleh bank,

    bank tidak dapat diwajibkan atau dituntut untuk membayar ganti rugi

    dalam jumlah berapapun juga kepada debitur” kemudian ayat

    selanjutnya “bank dapat mengakhiri jangka waktu kredit sebelum

    berakhirnya jangka waktu yang ditentukan dalam ketentuan pasal 1 ayat

    7 diatas dan menyatakan seluruh jumlah terhutang menjadi jatuh tempo

    dan debitur wajib untuk membayarkan seluruh jumlah terhutang secara

    seketika dan sekaligus lunas atas tagihan pertama bank, apabila debitur

    diberhentikan/PHK atau mengundurkan diri dari perusahanna/instansi

    dimana debitur bekerja atau debitur mutasi kerja yang mengakibatkan

    pindah lokasi kantor” dapat disimpulkan bahwa bank tidak

    menempatkan posisinya dengan debitur secara adill, bank juga hanya

    melindungi kepentingan-kepentinganya saja. Istilah

    “diberhentikan/PHK” merupakan suatu keputusan diluar kuasa debitur

    yang barang kali debitur tidak menginginkan hal tersebut. Sehingga

  • 70

    sangat tidak adil manakala bank harus menjatuh tempokan hutang

    debitur secara sekaligus saat itu juga.

    Atas dasar ketidak seimbangan dan keadilan dalam perjanjian

    tersebut sehingga debitur membuat gugatan ke pengadilan UUPK

    memberikan perlindungan hukum bagi debitur dalam pasal 62 ayat (1)

    menyebutkan bahwa “pelaku usaha yang melanggar ketentuan

    sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 dipidana penjara paling lama 5

    (lima) tahun atau denda paling banya Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar

    rupiah). Demikian juga dalam Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan

    Nomor 1/POJK.07/2013 pasal 22 ayat 1 menyebutkan “dalam hal

    pelaku usaha jasa keuangan menggunakan perjanjian baku, perjanjian

    baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang-

    undangan”. Apabila perjanjian baku melanggar ketentuan pasal 18

    UUPK maka berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun ini

    tidak berarti batalnya perjanjian tersebut secara keseluruhan, hakim

    dapat meminta bank untuk menyeseuaikan isi perjanjian tersebut sesuai

    dengan ketentuan UUPK pasal 18. Kemudian pengaturan lainya yang

    harus diperhatikan dalam pencantuman klausula baku adalah POJK

    Nomor 1/POJK.07/2013 pasal 21 menyebutkan “pelaku usaha jasa

    keuangan wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran

    dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen”.

    Dari apa yang telah di uraikan diatas jika bank ingin terhindar dari

    resiko hukum, seharusnya memberikan penjelasan-penjelassan yang

  • 71

    mendalam terhadap klausula-klausula yang ada kepada debitur,

    sehingga debitur paham dan bukan hanya diberikan saja untuk kemudian

    ditandatangani. Karena jika suatu perjanjian tersebut bertentangan

    dengan UUPK dan POJK maka perjanjian tersebut berakibat batal demi

    hukum.