Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Hukum Tanah di Indonesia
Konsep hukum tanah di Indonesia memberikan gambaran umum
mengenai bagaimana gambaran mengenai keberadaan tanah dimata hukum.
Menurut Purnamasari18 dengan konsep ini akan mempermudah dalam
melihat posisi negara, warga negara dan lembaga-lembaga lain termasuk
lembaga adat dalam kaitannya dengan masalah pertanahan. Dalam konsep
hukum tanah di Indonesia, dinyatakan bahwa pada dasarnya seluruh tanah
yang ada di Indonesia merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa
kepada seluruh Bangsa Indonesia.Oleh karena itu, seluruh tanah di
Indonesia adalah milik Bangsa Indonesia.Dengan demikian, dalam
hukum tanah dikenalistilah Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 UU Nomor
5 Tahun 1960-UUPA).
Negara sebagai organisasi kekuasaan yang ada di Indonesia
berwenang mengatur pemilikan, peruntukan, peralihandan pendaftaran atas
hak bangsa Indonesia.Hak Negara untuk mengatur inilah yang disebut
sebagai Hak Menguasai Negara (Pasal 2 juncto Pasal 8 UUPA).Apabila tidak
ada pengaturan dari Negara, peruntukan dan pemilikan tanah menjadi
kacau.Setiap orang cenderung mempunyai keinginan untuk memiliki tanah
yang lebih besar dan lebih luas.Kekacauan dari usaha memiliki tanah
18 Purnamasari, Panduan Lengkap HUkum Praktis Populer: Kiat- Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan, Mizan Pustaka, Bandung, 2010, hlm4-7
14
ataupun lahan berlebih inilah yang menimbulkan berbagai peperangan antara
kerajaan–kerajaan pada zaman Majapahit dulu. Tanpa adanya hak dari
negara untuk mengatur peruntukan dan pemilikan tanah, setiaporang pasti
akan berlomba-lomba untuk memiliki lebih banyak tanah yang ada.
Hukum agraria adalah hukum yang mengatur hak-hak penguasaan
atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya sebagaimana ditetapkan dalam ketetapan MPR RI No.
IX/MPR/2001 tanggal 9 November 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam dinyatakan, bahwa:
sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air,
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai
Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia
merupakan kekayaan nasional yang wajib di syukuri, oleh
karena itu harus di kelola dan di manfaatkan secara optimal
bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Adapun yang disebut dengan hukum tanah oleh Boedi Harsono
dalam bukunya adalah19:
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah yang disusun menjadi satu kesatuan
sistem. Ketentuan hukum mengenai penguasaan tanah itu
ada yang sebagai lembaga hukum dan ada pula sebagai
hubungan konkrit.
Sementara itu menurut pendapat Sri Harini dalaam bukunya
berpendapat bahwa20:
19 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm.26. 20 Sri Harini, Hukum Agraria, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2016, hlm 9
15
Hukum Agraria adalah hukum yang mengatur sumber –
sumber daya alam atau BARA( Bumi,Air,Ruang Angkasa/
udara dan Kekayaan alam yang terkadung di dalamnya).
Pengertian Hukum Agraria berbeda dengan Hukum Tanah.
Adapun Hukum Tanah adalah kaidah-kaidah hukum yang
mengatur permukaan bumi saja. Sehingga Hukum Tanah
merupakan bagian dari Hukum Agraria yang melahirkan
hak-hak atas tanah.
Pernyataan demikian dijumpai juga dalam konsideran “menimbang”
Pasal1 dan Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA). Tanah dalam pengertian hukum adalah permukaan bumi,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 UUPA. Adapun hukum tanah adalah
bidang hukum yang mengatur hak- hak penguasan atas tanah yang terdiri
atas hak bangsa, hak menguasai dari negara, hak pengelolaan, hak ulayat,
wakaf dan hak-hak atas tanah serta hak tanggungan.
2. Subjek Hukum Hak Atas Tanah
Subjek hukum adalah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum.
Pada kehidupan sehari-hari, subjek hukum dalam sistem hukum Indonesia,
yang sudah barang tentu bertitik tolak dari sistem hukum Belanda, adalah
individu (orang), dan badan hukum (perusahaan, organisasi, atau institusi).
Dalam dunia hukum, subjek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak,
yakni manusia (naturlijk person) dan badan hukum (recht persoon). Menurut
hukum, tiap-tiap manusia sudah menjadi subjek hukum secara kodrati atau
alami. Manusia dianggap sebagai subjek hukum mulai ia dilahirkan sampai
dengan meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan
16
juga bisa dianggap sebagai subjek hukum, bila terdapat urusan atau
kepentingan yang menghendakinya.
Namun ada beberapa golongan yang menurut hukum dipandang
sebagai subjek hukum yang tidak cakap hukum. Maka dalam melakukan
perbuatan- perbuatan hukum, mereka harus diwakili atau dibantu orang lain.
Golongan tersebut seperti anak dibawah umur, belum dewasa, atau belum
menikah; atau orang yang berada dalam pengampuan, yaitu orang yang sakit
ingatan, pemabuk dan pemboros.
Badan hukum (recht person) adalah suatu badan yang terdiri dari
kumpulan orang yang diberi status person menurut hukum. Sehingga,
mereka mempunyai hak dan kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan
perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia, seperti melakukan
perjanjian.
Hukum publik adalah badan hukum yang didirikan menurut hukum
publik oleh pemerintah. Tujuan pendiriannya untuk kepentingan publik atau
orang banyak dan negara umumnya. Artinya, badan hukum negara yang
dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang
berlaku, dan dijalankan secara fungsional oleh eksekutif (pemerintah) atau
badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu. Yang termasuk badan hukum
publik adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota, Bank Indonesia, dan perusahaan negara.
17
Badan hukum privat adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum sipil atau perdata oleh masyarakat, yang menyangkut kepentingan
banyak orang di dalam badan hukum itu. Badan hukum privat merupakan
badan hukum swasta, yang didirikan oleh sekelompok orang, untuk
mendapatkan keuntungan atau laba dibidang industri, perdagangan, jasa, dan
pembiayaan menurut hukum yang berlaku secara sah. Misalnya perseroan
terbatas, koperasi dan yayasan.
Menurut pasal 9 jo. Pasal 21 ayat (1) UUPA, hanya warga negara
Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik kepada
warga negara asing dilarang (pasal 26 ayat (2)). Orang-warga negara asing
dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian
juga pada dasarnya badan- badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik
(pasal 21 ayat (2)). Adapun pertimbangan melarang badan-badan hukum
untuk mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum
tidak perlu mempunyai hak milik, tetapi cukup hak-hak lainnya, asal ada
jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus (hak
guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35, dan 41
UUPA).
Apabila subjek hukum dikaitkan dengan hak atas tanah, UUPA telah
tegas mengatur. Pihak yang bisa menjadi subjek hak atas tanah adalah orang,
yaitu WNI dan WNA yang berkedudukan di Indonesia. Dan badan hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia,
serta badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
18
WNI yang menjadi subjek hak tas tanah bisa perorangan
ataupun bersama-sama. Tidak semua subjek hukum tersebut bisa menjadi
subjek hak atas tanah. Ada beberapa pembatasan-pembatasan, misalnya
warga negara asing hanya bisa menjadi subjek hak pakai dan hak sewa atas
bangunan. Badan hukum pada dasarnya tidak bisa menjadi subjek hak milik
atas tanah kecuali yang ditentukan pemerintah. Tidak ada pembedaan laki-
laki dan perempuan sebagai subjek hak atas tanah. Artinya laki-laki maupun
perempuan bisa menjadi subjek hak atas tanah.
Pengertian Warga Negara Indonesia yang dimaksudkan dalam
Undang-Undang Pokok Agraria pasal 26 Ayat (2) juga dengan tegas
menyatakan bahwa: Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian
dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing,
kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan
hukum, kecuali yang ditetapkan pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat
(2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan
ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak
dapat dituntut kembali.
19
3. Pengaturan Tanah Dalam UUPA
Politik hukum yang mengantarkan lahirnya UUPA berkisar pada
dua tataran dasar, yaitu :
1) Hendak mewujudkan sistem hukum agraria yang seragam (unifikasi)
di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini
merupakan konsekuensi logis sebagai negara merdeka, yang sedang
mengarah pada pembaharuan hukum dan sistem hukum.
2) Dimaksudkan untuk mewujudkan suatu bangunan masyarakat,
khususnya masyarakat kalangan bawah pada kondisi yang
lebihbermartabat. Undang-undang ini memberikan kemungkinan
perolehan akses terhadap sumber daya ekonomi, khususnya tanah.
Sehingga, distorsi pemilikan dan penguasaan tanah dapat
dieliminasi. Harapannya, tercipta suatu masyarakat yang berkeadilan
dan bermartabat.21
Lahirnya UUPA tidak dapat dilepas-pisahkan dari hukum adat.
Hukum adat dipakai sebagai dasar hukum agraria nasional karena sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia, karena hukum adat adalah hukum asli
bangsa Indonesia. Dengan demikian, hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sebagaimana yang di
sebutkan dalam Pasal 5 UUPA.
21 I Gede AB Wiranata, Reorientasi Terhadap Tanah Sebagai Objek Investasi, Penerbit Unila, Bandar Lampung, 2007, hlm.88
20
Hukum adat yang dipakai sebagai hukum agraria yang baru adalah
hukum adat yang sudah di “saneer”22. Maka dalam hal ini, ditentukannya
hukum adat menjadi dasar hukum agraria yang baru disertai syarat-syarat :23
a. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa.;
b. Tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia;
c. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan yang
tercantum dalam UUPA;
d. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan lainnya.
Ketentuan tentang hukum adat sebagai dasar hukum agraria
nasional yang tertuang dalam UUPA juga berlaku mengenai tanah
4. Asas-asas Dalam Hukum Agraria Nasional
Hukum agraria nasional sebagai dasar hukum tanah di Indonesia
sudah tentu dalam pembentukkannya memilikki asas-asas dijadikan sebagai
dasar hukum tersebut. Banyak asas-asas yang terdapat dalam hukum agraria
nasional tetapi pada tulisan ini hanya beberapa asas-asas yang akan diuraikan
karena pada hakikatnya berkaitan secara langsung ataupun tidak langsung
dengan penguasaan hak atas tanah oleh warga negara asing di Indonesia.
22 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Opcit, hlm. 140. 23 Ibid
21
1) Asas Ketuhanan
Asas ini dapat ditemukan dalam pasal 1 dan 2 UUPA sebagai dasar
juridisnya. Dimana seluruh bumi,air, dan ruang angkasa berserta
segala isinya yang terkandung dalamnya merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa, merupakan kekuasaan nasional secara kolektif yang
dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.24
2) Asas Nasionalitas
Asas ini terdapat dalam pasal 9 ayat 1 dan pasal 21 UUPA sebagai
juridisnya. Menyatakan bahwa hanya warga negara Indonesia saja
yang dapat memiliki hubungan sepenuhnya debgab BARA. Hal ini
penting untuk menjaga persatuan bangsa dan negara khususnya
dalam hubungan antara hukum agraria dengan HANKAM.
‘Hubungan hukum sepenuhnya’ yang dimaksud oleh pasal 9 ayat 1
ini dalam wujud pemilikan HM,HGU,HGB, sehingga warga negara
asing tidak boleh memiliki tiga hak tersebut tetapi selebihnya
diperbolehkan.
3) Asas Pemihasan Horisontal
Asas ini tidak terkandung secara eksplisit maupun emplisit dalam
pasal-pasal UUPA maupun peraturan pelaksanaanya. Asas ini
menjadi asas dalam UUPA karena prinsip pembentukan hukum
agraria nasional didasarkan pada hukum adat dan karena di dalam
hukum adat dikenal asas pemisahan hosrisontal makan asas ini secara
24 Sri Harini, Op.cit. hlm 13
22
mutatis mutandis merupakan asas bagi hukum agraria nasional.
Maksud asas ini adlah bahwa kepemilikan bidang tanah bisa berbeda
dengan kepemilikkan hal-hal yang di atas tanah.25
4) Asas Tanah Mengandung Fungsi Sosial
Setiap hak atas tanah pada seseorang tidak dibenarkan untuk
dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata demi
kepentingan pribadi. Apalagi, sampai merugikan masyarakat.
Penggunaan tanah harus sesuai dengan keadaan, sifat, dan haknya.
Sehingga, hal itu bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan
pemiliknya maupun bagi masyarakat dan negara. Rumusan
tersebut tertuang dalam Pasal 6 UUPA, yaitu semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial. Selanjutnya, penjelasan UUPA
menegaskan fungsi sosial tidak hanya untuk hak milik, namun
melingkupi semua hak-hak atas tanah.
5. Hak Penguasaan Atas Tanah
a) Penguasaan
Sistem pertanahan atau agraria di Indonesia tentu memiiki beberapa
aspek di dialamnya salah satu aspek tepenting yaitu aspek penguasaan.
Aspek penguasaan tanah ini dapat menjadi ukuran sosial dari masyarakat.
Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda,
yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan
pemanfaatan”. Aspek “penguasaan dan pemilikan” jelas berbeda dengan
25 Ibid
23
aspek “penggunaan dan pemanfaatan”, karena aspek “penguasaan dan
pemilikan” berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan
tanah, sedangkan yang kedua yaitu aspek “penggunaan” dan “pemanfaatan”
membicarakan bagaimana tanah (dan sumber daya agraria lain) dugunakan
dan dimanfaatkan. Pada hakikatnya ketika subjek hukum atas tanah memiliki
aspek penguasaan dan pemilikkan sudah pasti mereka dapat
menggunakannya dan memafaatkannya untuk kepentingan peribadi. Hak
penguasaan merupakan hal yang paling pokok yang terdapat dalam sistem
agraria di satu negara maupun satu kelompok masyarakat.
Arti kata penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik dan dalam arti
yuridis. Selain itu, pengertian penguasaan dapat beraspek privat dan
beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang
dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi
kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang
dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat
dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain. Bisa juga
penguasaan yuridis ada pada pemilik tanah tetapi penguasaan secara fisik
ada pada pihak lain, misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak
mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak
lain.
Penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban
dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai
tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat,
yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok
24
ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam
Hukum Tanah. Hak atas tanah bersumber pada hak menguasai dari negara
atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik WNI maupun WNA,
sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan
hukum privat maupun badan hukum publik.26
Adapun istilah penguasaan tanah dalam hukum tanah Indonesia
diambil dengan cara konstitusional dari bunyi rumusan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 dan penjelasannya. “Di kuasai Negara” yang kemudian
dikembangkan dan di jabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2 UUPA: “bumi,
air, dan ruang angkasa serta kekayaan yang ada didalamnya di kuasai
Negara”.
Hak-hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat
diberikan dan dipunyai oleh orang-orang dan badan hukum atas hak
menguasai tanah dari Negara itu diartikan pula sebagai: “kewenangan untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan” (Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)
UUPA). Boedi Harsono membedakan pengertian penguasaan atau
menguasai ini kedalam arti fisik dan dalam arti yuridis. Penguasaan yuridis
baik yang beraspek perdata maupun publik dilandasi hak yang di lindungi
hukum27.
b) Jenis-jenis hak penguasaan atas tanah
26 Sri Harini, Op.cit. hlm 17 27 Boedi Harsono, Op.cit. hlm. 22.
25
Hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah adalah hak-
hak yang masing-masing berisikan kewenangan, tugas/kewajiban dan/atau
larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan bidang tanah
yang dihaki, apa yang boleh, wajib ataupun di larang untuk di perbuat
itulah yang membedakan hak penguasaan atas tanah satu dengan lainnya.
Berdasarkan konsepsi yang bersumber utama pada hukum adat dan
dilengkapi lembaga- lembaga hukum dari sumber lain sebagaimana
dikemukakan di atas hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah
nasional tetap disusun dalam tata susunan berjenjang sebagai berikut:
a) Hak bangsa, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1 UUPA
merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi
semua tanah dalam wilayah Negara yang merupakan tanah
bersama. Hak bangsa ini dalam penjelasan umum angka II UUPA
dinyatakan sebagai hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang
paling atas, yaitu ada tingkat nasional yang meliputi semua tanah di
seluruh wilayah negara. Pernyataan bahwa tanah yang dikuasai oleh
bangsa Indonesia adalah tanah bersama menunjukkan adanya
hubungan hukum yang bersifat perdata, tetapi bukan merupakan hak
kepemilikan melainkan hak kepunyaan yang memungkinkan
penguasaan bagian-bagian tanah bersama tersebut dengan hak milik
secara individual. Selain bersifat perdata hak bangsa mengandung
tugas kewenangan untuk mengatur dan mengelola tanah bersama
tersebut bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
26
b) Hak menguasai dari negara, yang di sebut dalam Pasal 33 ayat (3)
UUD1945 tersebut merupakan hak penguasaan atas tanah sebagai
penugasan pelaksanaan hak bangsa yang termasuk bidang hukum
publik dan meliputi semua tanah yang berada di Indonesia.
Sepanjang mengenai tata cara pengambilan tanah yang diperlukan
berlaku asas bahwa memperoleh tanah kepunyaan siapapun untuk
keperluan apapun dan oleh siapapun harus dilakukan melalui
musyawarah dengan pihak yang empunya tanah untuk mencapai
kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya maupun
imbalan yang di terima.
c) Hak ulayat, masyarakat-masyarakat hukum adat merupakan
hak penguasaan atas tanah bersama masyarakat hukum adat tertentu.
Pasal 3 UUPA mengandung pernyataan pengakuan mengenai
keberadaan hak ulayat dalam hukum tanah nasional sepanjang
menurut kenyataanya masih ada. Dikaitkan dengan pengaturan hak-
hak penguasaan atas tanah, ketentuan-ketentuan yang mengaturnya
sebagai hubungan hukum konkrit, yaitu mengatur hal-hal mengenai28
B. Hasil Penelitian
1. Gambaran cara-cara penguasaan tanah dan hunian oleh warga negara
asing di Indonesia
a) Nominee
Hak Milik sebagai hak terkuat dan terpenuh seperti telah dibahas
sebelumnya dilarang dimiliki oleh WNA. Namun, bagi WNA yang ingin
28 Boedi Harsono, 2000, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, hlm. 17
27
“memiliki” rumah atau bangunan dapat melakukan perbuatan hukum yang
kemudian disebut dengan Nominee/Trustee Arrangement. Konsep
Nominee/Trustee Arrangement mekanismenya diatur bahwa pemilik rumah
dan bangunan gedung adalah seorang WNI dengan biaya yang bersumber
pada WNA tersebut. Kepemilikan yang dimaksud adalah sebuah kepemilikan
yang tidak langsung yang tercipa dari hubungan hukum antara WNI dan
WNA yang diikatkan dalam suatu perjanjian yang disebut dengan
Nominee/Trustee Arrangement, perjanjian tersebut berisikan tentang
pernyataan hubungan hukum WNI dan WNA yang menyatakan bahwa
kepemilikan hak atas tanah tersebut pada dasarnya adalah milik dari WNA
dan WNI yang bersangkutan dapat memerintahkan berbagai tindakan hukum
terhadap hak yang “dimiliki” oleh WNA yang dipercaya yang
mengelolanya (trustee). Semisal, memerintahkan tindakan hukum berupa
penjaminan atas benda tersebut, terdiri atas Perjanjian Induk yang terdiri dari
Perjanjian Pemilikan Tanah (Land Agreement) dan surat kuasa, Perjanjian
Opsi, Perjanjian Sewa-Menyewa (Lease Agreement), Kuasa Menjual (Power
of Sell), Hibah Wasat dan Surat Pernyataan Waris.29
Perjanjian yang demikian dimungkinkan karena pada dasarnya tidak
memindahkan hak kepemilikan secara langsung.Namun, memindahkan tanah
kelembagaan hak atas tanah (HM dan HGB). Beberapa aspek yang
menunjukkan pemindahan hak kepemilikan secara langsung dari perjanjian-
perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:30
29 Sumardjono, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan bagi Wagra Negara Asing dan Badan hukum Asing,Kompas, Jakarta,2007,hlm 41 30 Ibid., hm 42
28
1) Perjanjian Pemilikan Tanah
Dalam PPT pihak WNI mengakui bahwa tanah HM yang terdaftar
atas namanya bukanlah miliknya, tetapi milik WNA yang telah
menyediakan dana untuk pembelian tanah HM beserta bangunan.
Selanjutnya pihak WNI memberi kuasa yang tidak dapat ditarik
kembali kepada pihak WNA untuk melakukan segala tindankan
hukum terhadap tanah HM dan bangunan.
2) Perjanjian Opsi
Pihak WNI memberikan opsi untuk membeli tanah HM dan
bangunan kepada pihak WNA karena dana untuk pembelian
tanah HM dan bangunan disediakan oleh WNA.
3) Perjanjian sewa menyewa
Pada prinsipnya dalam perjanjian ini diatur tentang jangka waktu sewa
berikut opsi untuk perpanjangannya beserta hak dan kewajiban pihak
yang menyewakan (WNI) dan penyewa (WNA).
4) Kuasa untuk menjual, berisikan pemberian kuasa dengan hak
substitusi dari pihak WNI (pemberi kuasa) kepada WNA
(penerima kuasa) untuk perpanjangannya beserta hak dan
kewajiban pihak yang memberi hak sewa (WNI) dan pihak peyewa
(WNA).
5) Hak Hibah
Pihak WNI mengibahakan tanah berserta bangunan yang atas
namanya kepada WNA.
6) Surat pernyataan wasiat
29
Istri pihak WNI dan anaknya menyatakan bahwa walaupun tanah HM
dan bangunan terdaftar atas nama suaminya, tetapi suaminya
bukanlah pemilik sebenarnnya atas tanah HM dan bangunan tersebut.
Meskipun demikian, selain bentuk perjanjian-perjanjian tersebut di atas
masih terdapat perjanjian-perjanjian lain yang juga bermaksud memindahkan
HM secara tidak langsung kepada WNA dalam bentuk sebagai beriku:31
1) Akta pengakuan utang.
2) Pernyataan pihak WNI bahwa telah mendapatkan pinjaman uang dari
WNA untuk membuka usaha.
3) Pernyataan dari pihak WNI bahwa HM adalah milik pihak WNA.
4) Kuasa menjual, pihak WNI member kuasa dengan hak substitusi
kepada pihak WNA untuk menjual, melepaskan atau memindahkan
tanah HM yang terdaftar atas nama WNI;
5) Kuasa Roya, pihak WNI memberi kuasa dengan hak substitusi
kepada pihak WNA untuk secara khusus kepada WNA untuk
menjual, melepaskan atau memindahkan tanah HM yang terdaftar atas
nama WNI
6) Sewa-menyewa tanah, WNI sebagai pihak yang menyewakan
tanah memberikan hak sewa kepada WNA sebagai penyewa selama
jangka waktu tertentu, misalnya 25 tahun , dapat diperpanjang dan
tidak dapat dibatalkan sebelum berakhirnya jangka waktu sewa
7) Perpanjangan sewa-menyewa. Pada saat bersamaan dengan
pembuatan perjanjian–menyewa tanah (angka 6), dibuat sekaligus
31 Ibid., hlm 44
30
perpanjangan sewa menyewa selama 25 tahun dengan ketentuan sama
pada angka 6
8) Perpanjangan sewa menyewa. Sekali lagi pada saat yang sama dengan
pembuatan perjanjian sewa-menyewa tanah (angka 6 dan 7),
dibuatperpanjangan sewa menyewa lagi untuk waktu 25 tahun dengan
ketentuan yang sama pada angka 6 dan 7; dan
9) Kuasa, pihak WNI memberi kuasa dengan hak substitusi kepada
pihak WNA (penerima kuasa) untuk mewakili dan bertindak untuk
atas nama WNI dalam mengurus segala urusan, memperhatikan
segala kepentingannya dan mewakili hak-hak pemberi kuasa untuk
menyewakan dan mengurus izinmendirikan bangunan (IMB),
menandatangani surat pemberitahuan pajak dan surat-surat lain yang
diperlukan menghadap pejabat yang berwenang serta
menandatangani semua dokumen yang diperlukan.
b) Akta pengakuan hutang
WNI yang disuruh membeli tanah Hak Milik tersebut membuat Akta
Pengakuan Utang, yang menunjukkan bahwa si WNI telah terikat kepada
WNA karena hubungan utang piutang. Keterikatan tersebut tidak akan
berakhir bila utang WNI kepada WNA tersebut ditak dilunasinya. Agar tanah
itu berada dalam kewenangan WNA sebagai kreditur, WNI tersebut
menjaminkan tanah Hak Milik tersebut kepada WNA sehingga dengan jaminan
tersebut sewaktu-waktu diperlukan dapat dieksekusi. Namun kedua bentuk
hubungan hukum itu bukan merupakan tujuan yang sebenarnya, karena maksud
dari WNA adalah untuk menguasai dan memanfaatkan tanah. Warga negara
31
asing dan badan hukum pada dasarnya tidak dapat menjadi subjek hak milik.
Oleh karena itu, peralihan hak milik kepada warga negara asing dan badan
hukum adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara.
2. Pengaturan penguasaan tanah untuk warga negara asing di Indonesia
Di Indonesia terkena imbas positif dalam era globalisasi, karena para
investor asing yang ingin menanamkan investasinya di Indonesia semakin
bertambah banyak. Namun, tidak semua warga negara asing yang mempunyai
uang dapat memiliki hak atas tanah di Indonesia, sebab ada ketentuan yang
membatasi pemilikan tanah dan bangunan bagi warga negara asing dan badan
hukum asing dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan berbagai peraturan pelaksananya.32
Terkait dengan hal tersebut, Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja
menyatakan:
Atas dasar hak menguasai dari negara itu, ditentukan
adanya macam-macam hak atas tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang-orang
lain, serta badan-badan hukum (Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang Pokok Agraria). Hak-hak atas tanah yang
diberikan tersebut memberikan wewenang kepada yang
bersangkutan untuk mempergunakannya (Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Pokok Agraria), semuanya dengan
32 Listyowati Sumanto,Pembatasan Pemilikan Hak Atas Tanah Oleh Orang Asing dan Badan Hukum Asing (Studi Perbandingan Indonesia-Turki), Jurnal Hukum Prioris Vol.3 No.3, Tahun 2013
32
memperhatikan akan fungsi hak atas tanah yang berfungsi
sosial (Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria).33.
a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA)
Wewenang dalam menguasai tanah di Negara Republik Indonesia ini
diberikan oleh negara secara langsung untuk diberdayagunakan untuk
kemakmuran rakyat negara Indonesia. Pasal 2 Ayat 2 menyebutkan Hak
menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi
wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air
dan ruang angkasa.
Hak atas negara sangat mutlak tersirat dalam UUPA hal ini dapat kita
lihat pada Pasal 4 ayat (1) UUPA menegaskan bahwa
“atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam
Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang,
33 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,2007, hlm. 24-25.
33
baik sendiri maupun bersama- sama dengan orang-orang lain serta badan-
badan hukum.”
Menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA tersebut, atas dasar hak menguasai
tanah oleh negara, negara berwenang untuk menentukan macam-macam hak
atas tanah yang selanjutnya diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA.
Macam-macam hak atas tanah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yang
menyatakan bahwa: Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) ialah:
1) hak milik,
2) hak guna usaha,
3) hak guna bangunan,
4) hak pakai,
5) hak sewa,
6) hak membuka tanah,
7) hak memungut hasil hutan,
8) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut
diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak
yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.
Hak-hak atas tanah tersebut dapat diberikan kepada setiap warga
negara serta badan-badan hukum, namun warga negara yang mendiami
Indonesia bukan hanya Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI),
tetapi ada juga Warga Negara Asing (selanjutnya disebut WNA). Sesuai
ketentuan di dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 45 UUPA yang
34
menguraikan secara terperinci macam-macam hak atas tanah yang telah
disebutkan di dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa orang asing
atau WNA hanya dapat diberikan hak atas tanah berupa Hak Pakai dan Hak
Sewa
Pada Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan bahwa hak
milik adalah hak turun-temurun yang terkuat dan terpenuh yang dimiliki
seseorang atas sebidang tanah. Sementara itu sifat terkuat dan terpenuh
tersebut tidak berarti bahwa hak milik merupakan hak mutlak, tidak terbatas,
serta tidak dapat diganggu gugat. Subjek dari hak milik yang terdapat dalam
Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria merupakan Warga Negara Indonesia.
Hak milik sebagai hak atas tanah yang mempunyai kekuatan paling mutlak
hanya dapat dikuasai oeh WNI. Jelas dalam hal ini pemerintah ingin
melindungi hak-hak Warga Negaa Indonesia dalam hak penguasaan tanah di
Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Negara
Republik Indonesia. Dapat terlihat dari tujuan pasal ini Warga Negara Asing
tidak dapat mengusai sepenuhnya tanah dan bangunan di Indonesia dengan
alasan apapun.
Pasal 20
(1) Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam
pasal 6.
(2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain
Pasal 21
(1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
35
(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
Selanjutnya di dalam Pasal 21 ayat (3) dan (4) UUPA menyatakan
bahwa:
(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini
memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara
Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang
ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka
waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik
itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya
jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung.
(4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah
dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini.
Ketentuan tersebut di atas mengatur status hak atas tanah bagi WNA yang
memperoleh hak milik karena warisan wajib melepaskan hak tersebut dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Begitu pula hak
milik yang diperoleh WNA karena percampuran harta (tanpa adanya
perjanjian perkawinan) akibat perkawinan campuran. Selain itu, bagi WNI
yang mempunyai hak milik kemudian kehilangan kewarganegaraannya,
36
wajib pula melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
ia kehilangan kewarganegaraannya.
Terjadinya hak milik atas tanah merupakan rangkaian pemberian hak
atas tanah yang diatur di dalam UUPA, yang di dalam pasal 22 UUPA
disebutkan:
(1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini hak milik terjadi karena :
a. penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
b. ketentuan Undang-undang
Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, sesuai
dengan pasal 20 ayat (2) UUPA. Dalam pasal 23 UUPA diatur mengenai:
(1). Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan
pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-
ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan
pembebanan hak tersebut.
Batasan mengenai hak milik dapat dipindahkan haknya kepada pihak
lain (dialihkan) dengan cara jual-beli, hibah, tukar menukar, pemberian
37
dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak milik tersebut diatur dalam pasal 26 UUPA:
(1) Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat,
pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat
dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak
langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang
warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang
ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal
karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa
hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua
pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Hak guna usaha dalam Undang-Undang Pokok Agraria terdapat dalam
Pasal 28 menyatakan bahwa Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana
tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan. Hak guna usaha hanya dapat digunakan dalam tanah seluas paling
sedikit 5 heaktare dengan jangka waktu paling lama 25 tahun. Subjek dalam
hak guna usaha yaitu hanya warga negara Indonesia yang dapat memiliki hak
guna usaha.
38
Hak guna bangunan menurut Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 35
menyatakan Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri,
dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun
yang hanya dapat digunakan oleh warga negara Indonesia. Dalam pengertian
tersebut, maka pemegang HGB adalah sekaligus pemegang hak atas tanah dan
bangunannya. Dengan perkataan lain, hak atas tanah dan bangunan berada di
satu tangan atau tidak terpisah. Apabila di atas HGB itu akan dibebani dengan
hak lain, maka satu-satunya kemungkinan yang terbuka adalah
pembebanannya dengan hak sewa-menyewa adalah bangunannya dan
bukan (hak atas) tanahnya.
Konstruksi yuridis HGB tidak memungkinkan bahwa seseorang
mempunyai bangunannya saja tanpa menjadi pemegang hak atas tanahnya.
Dalam kepemilikan hak atas tanah dengan status HGB asas pemisahan
horizontal tidak berlaku. Melalui pemilikan bangunan yang berada di atas
HGB maka akan sulit untuk mengadakan pengawasan terhadap pemindahan
hak atas tanah agar tidak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan UUPA,
misalnya yang berkaitan dengan persyaratan subjek hak atas tanah. Memang
dalam regulasi (UUPA) tidak dinyatakan dengan tegas yakni mengenai
dilarangnya perbuatan hukum yang langsung atau tidak langsung bermaksud
untuk memindahkan hak atas tanah, namun tidak berarti bahwa apabila tidak
secara tegas dilarang maka hal tersebut diperbolehkan. Karena itu pemaksaan
berlakunya kepemilikan bangunan dengan perjanjian sewa menyewa sama
saja dengan pemindahan HGB secara terselubung bagi warga negara asing.
39
Ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA untuk hak milik mutatis mutandis berlaku
untuk HGB.34
Pasal 41 Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan Hak pakai
adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya
oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan
pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Menurut subjeknya hak pakai
merpakan salah satu hak tanah yang dapat dikuasai oleh warga negara asing
tanpa batas waktu yang ditentukan.
Dalam Pasal 42 UUPA dinyatakan bahwa warga negara asing yang
dapat mempunyai hak pakai ialah warga negara asing yang berkedudukan di
Indonesia. Penafsiran berkedudukan tidak dijumpai dalam UUPA namun dari
segi hukum tata negara, pengertian berkedudukan adalah sama dengan
bertempat tinggal. Orang asing yang diperbolehkan tinggal di Indonesia
dibagi menjadi dua golongan. Pertama, mereka yang mendapatkan “izin
masuk” (admission) dengan memperolah hak untuk tinggal di Indonesia untuk
jangka waktu tertentu. Kedua, mereka yang dipebolehkan untuk tinggal di
Indonesia dan dipandang sebagai penduduk dengan dasar menetap
(gevestigd). Penafsiran apapun yang dipergunakan, apabila terjadi bahwa
34 Sumardjono, Maria S.W., Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Buku Kompas,Jakarta,2005,hlm 164-166
40
terhadap warga negara asing yang bersangkutan izin masuknya dicabut atau
tidak diperpanjang lagi, sebagai konsekuensinya hak pakai akan hapus karena
syarat sebagai subjek hak tidak dipenuhi lagi, tentunya dengan memberikan
kewajiban kepada warga negara asing
Selain hak pakai warga negara asing juga dapat menguasai tanah
dengan hak sewa. Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa
atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk
keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang
sebagai sewa. Dari macam-macam hak yang disebutkan di atas, Warga Negara
Asing hanya berhak menguasai tanah yang dibelinya dengan hak guna usaha,
hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, sesuai dengan pasal 30, 36, 42 dan
pasal 45 UUPA
b) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah
Ketentuan lebih lanjut tentang hak guna usaha (HGU), hak guna
bangunan (HGB) maupun hak pakai diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
Atas Tanah (PP No.40 Tahun 1996).
1) Hak Guna Usaha
HGU merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara untuk aktivitas usaha di bidang pertanian, perkebunan,
perikanan dan atau peternakan. Menurut Pasal 2 PP No. 40 Tahun 1996, selain
WNI, yang dapat mempunyai HGU adalah badan hukum yang didirikan
41
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. PP No. 40 Tahun
1996 juga menentukan, bahwa luas minimum tanah yang dapat diberikan
dengan HGU adalah 5 hektar, dan luas maksimum tanah yang dapat diberikan
adalah dua puluh lima hektar. Batas waktu pemilikan HGU adalah paling lma
35 (tigapuluh lima) tahun dan dapat diperpanjang oleh pemegang hak untuk
jangka waktu paling lama 25 (duapuluh lima) tahun. Apabila jangka waktu
HGU dan perpanjangannya berakhir, maka pemegang hak dapat diberikan
pembaharuan HGU di atas tanah yang sama. permohonan perpanjangan jangk
waktu maupun pembaharuan HGU harus diajukan selambat-lambatnya 2 (dua)
tahun sebelum berakhirnya masa waktu HGU tersebut.
HGB dapat diberikan kepada badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. HGB adalah hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri, baik statusnya, tanah negara, tanah hak pengelolaan, maupun
tanah hak milik. HGB atas tanah negara atau atas tanah hak pengelolaan, harus
didaftar pada Kantor Pertanahan, dan sejak pendaftaran itu diakui terjadinnya
HGB. Sebagai tanda bukti hak pemegang HGB harus diberikan sertifikat hak
atas tanah. Terhadap HGB atas tanah hak milik, harus dilakkan dengan akta
yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2) Hak Guna Bangunan
HGB atas tanah negara dan tanah hak pengelolaan, diberikan untuk
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun yang dapat diperpanjang
untuk paling lama 25 (dua puluh lima) tahun. Setelah jangka waktu HGB dan
42
perpanjangannya berakhir, bekas pemegang hak dapat memohon pembaharuan
HGB di atas objek tanah yang sama. permohonan perpanjangan atau
pembaharuan HGB harus diajukan paling lambat 2 (dua) tahun sebelum HGB
atau perpanjangannya berakhir. Perpanjangan atau pembaharuan HGB harus
dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.
Bagi pemegang HGB di atas tanah hak milik, Pasal 29 PP No. 40
Tahun 1996 menentukan, jangka waktu maksimum yang diberikan adalah 30
(tiga puluh) tahun. Berdasarkan atas kesepakatan antara pemegang HGB
dengan pemegang hak milik, maka HGB atas tanah hak milik dapat
diperbaharui dengan pemberian HGB baru dengan akta yang dibuat oleh
PPAT dan hak tersebut wajib didaftarkan.
3) Hak Pakai
Berbeda dengan HGU dan HGB, baik UUPA (Pasal 42 maupun PP
No. 40 Tahun 1996 secara tegas menyebutkan bahwa Hak Pakai dapat dimiliki
oleh warga negara asing. Warga negara asing dimaksud adalah warga negara
asing yang kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi
pembangunan nasional. Undang-undang mendefinisikan Hak Pakai sebagai
hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang langsung
dikuasai oleh egara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan UUPA (Pasal 42 ayat 1 UUPA).
43
Pada dasarnya hak pakai dapat diberikan oleh pemerintah maupun oleh
pemegang hak milik atas tanah (orang pribadi atau badan-badan hukum yang
mempunyai tanah hak milik). Artinya tanah yang dapat diberikan dengan hak
pakai adalah tanah negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik (Pasal
41 PP No. 40 Tahun 1996). Hak Pakai atas tanah negara diberikan dengan
keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk dan bila
hak pakai berasal dari hak pengelolaan maka pemberiannya didasarkan atas
usul pemegang hak pengelolaan. Terhadap hak pakai atas tanah hak milik,
terjadi dengan pemberian tanah oleh pemegang hak milik dengan akta yang
dibuat oleh PPAT. Semua bentuk hak pakai tersebut, oleh PP No. 40 Tahun
1996 diwajibkan untuk didaftarkan dalam buku tanah pada kantor pertanahan
(Pasal 43 dan 44 PP No. 40 Tahun 1996).
Jangka waktu yang diberikan kepada pemilik hak pakai atas tanah
negara atau hak pengelolaan, paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun atau
diberikan jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tertentu (Pasal 45 PP No. 40 Tahun 1996). Maksud
diberikannya waktu yang tidak ditentukan tersebut adalah guna menjamin
dipenuhinya keperluan tanah untuk keperluan tertentu secara berkelanjutan,
misalnya untuk keperluan kantor lembaga pemerintah, untuk kantor
perwakilan negara asing dan perwakilannya serta untuk keperluan
pelaksanaan fungsi badan keagamaan dan sosial. Hak pakai dengan jangka
waktu tertentu ini juga tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Bila sudah
44
tidak diperlukan lagi maka hak tersebut dapat dilepaskan oleh pemegang
haknya sehingga kembali menjadi hak negara.
Apabila masih diperlukan, sesudah jangka waktu hak pakai dan
perpanjangannya habis, mengajukan pembaharuan hak pakai atas tanah
yang sama. Permohonan perpanjangan jangka waktu maupun pembaharuan
hak pakai harus diajukan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum
jangka waktu hak pakai tersebut berakhir. Khusus untuk hak pakai atas
tanah hak milik, paling lama jangka waktunya adalah 25 (duapuluh lima)
tahun dan tidak dapat diperpanjang. Namun atas kesepakatan pemegang hak
pakai dengan pemegang hak milik maka hak pakai tersebut dapat diperbaharui
dengan aktu yang dibuat oleh PPAT yang selanjutnya hak tersebut wajib
utntuk didaftarkan.
c) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di
Indonesia,
PP Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilkan Rumah Tempat Tinggal
Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia merupakan
peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). PP Nomor 41 Tahun 1996 ini
secara langsung menyebutkna bahwa orang asing yang berkedudukan di
Indonesia hanya dapat memiiki rumah dengan menggunakan hak pakai. Pasal
2 PP Nomor 41 Tahun 1996 mengungkapkan:
Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh orang
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah :
45
1. Rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang tanah :
a. Hak Pakai atas tanah Negara;
b. Yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas
tanah.
2 Satuan Rumah Susun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai
atas tanah Negara
Mencari tempat tinggal yang berdiri diatas tanah dengan hak pakai
cukup menyulitkan bagi warga negara asing yang ingin memiliki tempat
tinggal di Indonesia. Butuh waktu dan proses yang tidak mudah untuk
menemukan tempat tinggal sesuai dengan Pasal 2 PP Nomor 41 Tahun 1996.
Warga negara asing yang telah menemukan tempat tinggl yang berdiri di atas
tanah dengan hak pakai harus mengurus perjanjian yang merupakan perjanjian
tertulis pada Pejabat Pembuat Akte Tanah. Ketentuan tersebut sesuai dengan
Pasal 3 PP Nomor 41 Tahun 1996 yang menyebutkan:
(1) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dibuat
secara tertulis antara orang asing yang bersangkutan dengan pemegang
hak atas tanah.
(2) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam dalam ayat (1)
harus dibuat dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Jangka waktu yang diterima oleh orang asing dalam perjanjian hak atas
tanah diatur dalam Pasal 5 PP Nomor 41 Tahun 1996 yang isinya:
“(1) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dibuat
untuk jangka waktu yang disepakati, tetapi tidak lebih lama dari dua
puluh lima tahun.
46
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperbaharui untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari dua puluh
lima tahun, atas dasar kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian
yang baru, sepanjang orang asing tersebut masih berkedudukan di
Indonesia.”
Pemberian jangka waktu penguasaan hak pakai oleh orang asing di Indonesia
menurut PP Nomor 41 Tahun 1996 adalah 25 tahun dengan kesempatan
pembahruan jangka waktu 25 tahun lagi.
d) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang
Berkedudukan di Indonesia.
PP Nomor 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia
merupakan peraturan pelaksana dari UUPA dan sebagai pengganti PP Nomor
41 Tahun 1996 Tentang Pemilkan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh
Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia. Diberlakukannya PP Nomor
103 Tahun 2015 sebagai bentuk perubahan dari PP Nomor 41 Tahun 1996,
telah mampu memberikan dampak positif untuk perkembangan ekonomi
bangsa Indonesia di bidang investasi, karena dalam PP Nomor 103 Tahun
2015 tersebut memungkinkan bagi WNA untuk dapat memiliki hunian di
Indonesia. Namun, apabila dianalisis lebih mendalam, selain kelebihan, juga
terdapat kelemahan dalam pemberlakuan suatu peraturan pemerintah,
khususnya PP Nomor 103 Tahun 2015.Hal ini berkaitan dengan adanya
ketentuan yang mengatur tentang pemberian jangka waktu hunian bagi WNA,
mengingat perubahan yang paling signifikan dari peraturan yang lama dengan
47
peraturan terbaru ini terdapat pada pemberian jangka waktu hunian bagi WNA
tersebut.
Sebagai tindak lanjut ketentuan UUPA tentang jangka waktu hunian
yang dapat dimiliki oleh WNA, maka diterbitkan PP Nomor 103 Tahun 2015,
dimana dalam peraturan tersebut memuat ketentuan pada Pasal 1 yang
menjelaskan mengenai WNA yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki
sebuah rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak atas tanah
tertentu, dimana WNA tersebut merupakan pihak yang telah memenuhi syarat
dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga
oleh negara diperkenankan untuk memiliki sebuah rumah tempat tinggal yang
berdiri sendiri (selanjutnya disebut hunian) atau satuan rumah susun yang
dibangun di atas tanah Hak Pakai.35 Berdasarkan PP Nomor 103 Tahun 2015
Pasal 2 Ayat 1, menyatakan bahwa salah satu hak penguasaan atas tanah yang
dapat dijadikan suatu obyek hunian bagi WNA hanyalah hak pakai atau hak
pakai di atas hak milik.
Selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015
yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 terdapat
pengaturan mengenai WNI yang melaksanakan perkawinan campuran yakni
tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015
tersebut. Secara lengkap Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun 2015 menyatakan
bahwa:
35 Maria Sumardjono, Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan, (Jakarta: Buku Kompas, 2007), hlm. 7.
48
(1) Warga Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan dengan
orang asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan Warga
Negara Indonesia lainnya.
(2) hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan
merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian
pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta
notaris.
Pemberlakuan PP Nomor 103 Tahun 2015, sesungguhnya tidak terlalu
mendapat perhatian yang mendalam dari masyarakat. PP Nomor 103 Tahun
2015 tersebut kemudian menjadi perhatian,karena yang menjadi titik
perubahan adalah jangka waktu hak pakai sebagaimana yang temuat di dalam
Pasal 7, yang isinya:
(1) Rumah Tinggal yang diberikan di atas tanah Hak Pakai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a angka 1, diberikan untuk
jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun;
(2) Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun;
(3) Dalam hal jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berakhir, Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30
(tiga puluh) tahun.
sehingga dari ketentuan sebagaimana tersebut diatas, maka memungkinkan
bagi WNA untuk memiliki Hunian diatas Hak Pakai bagi WNA, untuk jangka
waktu 80 (delapan puluh) tahun dengan tambahan proses perpanjangan dan
pembaharuan atas Hak Pakai yang dimaksud.
49
e) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Pemberian, Pelepasan Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan
Di Indonesia
Menurut peraturan menteri agraria ini orang asing dapat menguasai
hak pakai terdapat pada Pasal 3
(1) Orang Asing pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, dapat memiliki rumah untuk tempat
tinggal atau hunian dengan Hak Pakai
(2) Dalam hal Orang Asing meninggal dunia, maka rumah tempat
tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwariskan.
(3) Dalam hal ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan Orang Asing, maka ahli waris harus mempunyai izin tinggal di
Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jenis rumah tempat tinggal atau hunian
Pasal 4 (1) Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh
Orang Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan:
a. Rumah Tunggal, di atas tanah:
1. Hak Pakai;
2. Hak Pakai atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian
pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik dengan akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah; atau
3. Hak Pakai yang berasal dari perubahan Hak Milik atau Hak Guna
Bangunan.
b. Sarusun yang:
50
1. dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai;
2. berasal dari perubahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
Jumlah waktu yang diberikan terdapat pada pasal 7 yang berbuunyi
(1) Rumah tempat tinggal di atas Hak Pakai yang berasal dari Hak
Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) diberikan dengan jangka
waktu 30 (tiga puluh) tahun.
(2) Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
(3) Dalam hal jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berakhir, Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30
(tiga puluh) tahun.
C. Analisis
1. Pengaturan Penguasaan Tanah Untuk Warga Negara Asing di Indonesia
a. Pemaknaan arti kata warga negara asing di Indonesia
Pengertian warga negara asing di sini dapat dilihat dari Pasal 1
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, bahwa
warga negara asing adalah orang bukan Warga Negara Indonesia. Begitu pula
pengertian warga negara asing yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 tentang keimigrasian, warga negara asing adalah orang yang
bukan Warga Negara Indonesia. Adrian Sutadi mengatakan bahwa warga
negara asing berkedudukan di Indonesia adalah orang asing yang
melaksanakan kegiatan ekonomi di Indonesia dan pada waktu melakukan
kegiatannya di Indonesia yang dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu,
51
ia membutuhkan untuk mempunyai rumah tempat tinggal atau hunian di
Indonesia.36
Definisi atau makna dari kalimat warga negara asing pada pasal 1 ayat
2 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 mengemukakan bahwa warga
negara asing yang berkedudukan di Indonesia merupakan warga negara asing
yang kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan
nasional. Warga negara asing dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
1996 diharuskan memiliki manfaat yang dapat dirasakan atau dampak
langsung terhadap pembangunan nasional Negara Indonesia. Sedangkan bila
kita lihat dalam ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok
Agraria Pasal 42, disebutkan bahwa selain Warga Negara Indonesia, badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, juga
terdapat warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia yang dapat
mempunyai hak atas tanah dengan hak pakai di Indonesia.
Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang
Berkedudukan di Indonesia memberikan pengertian yang lebih luas, yaitu
orang yang bukan Warga Negara Indonesia yang keberadaannya memberikan
manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia. Pengertian
warga negara asing yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103
Tahun 2015 tersebut memberikan pesan bahwa warga negara asing yang
36 Adrian Sutadi,Tinjauan Hukum Pertanahan, Pradnya Paramita, Jakarta, 2009, hlm, 268
52
berkedudukan di Indonesia harus memiliki pekerjaan, serta dapat memberikan
manfaat di Indonesia, hal ini tentunya supaya dapat mencegah warga negara
asing tersebut justru menjadi beban untuk Indonesia kalau ia tidak memiliki
penghasilan selama berada di Indonesia.
Hal serupa juga ditemukan pada arti kata orang asing yang terdapat
dalam Permen Agraria/ Kepala Pertanahan nomor 29 tahun 2016 pasal 1 ayat
2 berbunyi: Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia yang selanjutnya
disebut Orang Asing adalah orang yang bukan Warga Negara Indonesia yang
keberadaanya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau
berinvestasi di Indonesia.
Pengertian berkedudukan di Indonesia tidak harus diartikan sama
dengan tempat kediaman atau domisili, akan tetapi warga negara asing
tersebut melaksanakan kegiatan ekonomi di Indonesia dan pada waktu
kegiatan tersebut dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu. Di bidang
ekonomi, orang dapat memiliki kepentingan yang harus dipelihara tanpa harus
menunggunya secara fisik apalagi untuk waktu yang cukup panjang dan secara
terus-menerus. Dengan kemajuan di bidang teknologi transportasi dan
komunikasi memungkinkan orang memelihara kepentingan yang dimilikinya
di negara lain tanpa harus menunggui sendiri. Kadang kala, mereka cukup
hadir secara berkala. Dalam keadaan seperti itu, yang mereka perlukan adalah
53
fasilitas tempat tinggal atau hunian bila secara berkala tetapi teratur harus
datang untuk mengurus atau memelihara kepentingannya.37
b. Warga Negara Asing memiliki hunian atau tempat tinggal di Indonesia
Secara umum, semua hunian berdiri di atas tanah dan melekat dengan
tanahnya, yang menurut ketentuan dalam hukum agraria yang berlaku,
penguasaan atas tanah telah dibedakan dalam beberapa hak, tergantung dari
subjek penguasaannya. Penguasaan tanah oleh WNA yang berkedudukan di
Indonesia diatur dalam Pasal 42 dan 45 UUPA, yang selanjutnya diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, yang mana, dijelaskan bahwa
bagi WNA yang berkedudukan di Indonesia hanya dapat diberikan Hak
Pakai.38
Berdasarkan PP Nomor 103 Tahun 2015, menyatakan bahwa warga
negara asing dapat memiliki tempat tingggal di Indonesia dengan berdasar hak
pakai di atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian pemberian Hak
Pakai di atas Hak Milik dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang
dimaksud adalah warga negara asing dapat memiliki tempat tinggal rumah
tunggal/rumah susun di Indonesia dengan ketentuan rumah yang dapat
dimiliki ialah rumah yang dibangun degan hak pakai dari hak milik atas
tanahnya.
PP Nomor 41 Tahun 1996 menjelaskan lebih rinci dan jelas dengan
menyebutkan bahwa rumah atau hunian yang dapat dimiliki oleh warga negara
37 Urip Santoso,Hukum Perumahan, Kencana, Surabaya, 2014, halaman 355 38 Maria Sumardjono, Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan, (Jakarta: Buku Kompas, 2007), hlm. 7
54
asing dengan hak pakai merupakan bangunan rumah yang berdiri diatas hak
pakai atas tanah tanah negara,dan bagunan rumah yang berdiri dengan
perjanjian dengan si pemegang hak milik atas tanah (WNI).
Permen Agraria No 29 Tahun 2016 menyebutkan warga negara asing
dapat memiliki rumah tempat tinggal dengan Hak Pakai atas Hak Milik yang
dikuasai berdasarkan perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik
dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah; atau . Hak Pakai yang berasal dari
perubahan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan. Dan Sarusun dengan
dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai.
2. Pembaharuaan dan perluasaan pengaturan
Pemberian jangka waktu hunian bagi WNA merupakan suatu hal yang
sangat penting. Urgensi tersebut mengacu pada seberapa lama WNA dapat
memiliki hunian di atas hak pakai di Indonesia, hal tersebut berkaitan juga
dengan perjanjian yang akan dibuat oleh WNA dengan pemegang hak milik
atas tanah yang akan digunakan sebagai hunian bagi WNA (mengingat hak
pakai di atas tanah hak milik), yang kemudian perjanjian tersebut harus dibuat
dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib dicatat dalam buku tanah serta
sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan, sehingga, apabila pemberian
jangka waktu tersebut telah jelas dan berjalan sesuai dengan prosedur yang
seharusnya, maka dengan demikian hal tersebut sudah seharusnya dapat
memberikan kepastian hukum bagi WNA yang memiliki hunian di Indonesia.
Pemberlakuan PP Nomor 103 Tahun 2015 sebagai penganti PP Nomor
41 Tahun 1996 memungkinkan banyak perubahan yang didasarkan sebagai
55
penyempurnaan dari pengaturan hak atas tanah dan hunian bagi warga negara
asing. Dalam peraturan ini jangka waktu hak pakai juga alah satu ketentuan
yang dirubah,hal tersebut yang temuat di dalam Pasal 7, yang isinya:
“(1) Rumah Tinggal yang diberikan di atas tanah Hak Pakai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a angka 1, diberikan untuk
jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun;
(2) Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun;
(3) Dalam hal jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berakhir, Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30
(tiga puluh) tahun.”
Sehingga dari ketentuan sebagaimana tersebut diatas, maka
memungkinkan bagi WNA untuk memiliki Hunian diatas Hak Pakai bagi
WNA, untuk jangka waktu 80 (delapan puluh) tahun dengan tambahan proses
perpanjangan dan pembaharuan atas Hak Pakai yang dimaksud. Pemberian
jangka waktu hak pakai selama 80 (delapan puluh) tahun tersebut oleh
Pemerintah tentu didasari oleh pertimbangan faktor ekonomi, karena
berlakunya PP Nomor 103 Tahun 2015 ini sangat mendukung dan
mengembangkan prospek industri di bidang properti di Indonesia.
Tujuan Pemerintah dalam mengejar pertumbuhan ekonomi sepatutnya
harus didukung karena hal tersebut semata-mata demi kesejahteraan rakyat
Indonesia. Namun disisi lain, semangat pemerintah dalam meningkatkan
56
pertumbuhan ekonomi jangan sampai melanggar tatanan serta bangunan
hukum yang telah terbangun, bahkan mengesampingkan kepentingan rakyat
Indonesia untuk bisa memiliki properti di bidang pertanahan dalam situasi
yang sangat berat ditengah persaingan dengan WNA.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada sub-bab pembahasan
sebelumnya, bahwa sebenarnya, jangka waktu Hak Pakai di atas tanah hak
milik telah lama diatur dalam Pasal 49 PP Nomor 40 Tahun 1996 yang isinya:
“(1) Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu
paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang;
(2) Atas kesepakatan antar pemegang Hak Pakai dengan pemegang
Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan
pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan.”
Hak pakai bagi WNA hanya terbatas sampai jangka waktu 25 (dua
puluh lima) tahun, dan apabila telah berakhir, maka WNA tersebut harus
melakukan proses pembaharuan saja, dengan demikian, menunjukkan bahwa
pemberian hak pakai bagi WNA sangat ketat karena melalui proses pengkajian
secara administrasi untuk menilai apakah WNA memenuhi ketentuan
perundang-undangan untuk menerima Hak Pakai di Indonesia.
Berdasarkan 2 (dua) ketentuan peraturan perundang-undangan yang
telah Penulis uraikan diatas, apabila ditinjau dari segi penerapannya, maka
terdapat perbaikan substansi antar peraturan perundang-undangan mengenai
57
pemberian jangka waktu hak pakai di atas tanah hak milik yang diatur dalam
Pasal 7 PP Nomor 103 Tahun 2015 dengan Pasal 49 PP Nomor 40 Tahun
1996. Sebagai bentuk perbandingan dari segi substansi hukum, perluasan
pemberian jangka waktu hunian bagi WNA yang diatur pada Pasal 7 PP
Nomor 103 Tahun 2015 terlihat lebih jelas,bilamana dibandingkan dengan
peraturan yang pernah diberlakukan sebelumnyadan saat ini sudah dicabut,
yaitu PP Nomor 41 Tahun 1996, (sebagaimana diubah menjadi PP Nomor 103
Tahun 2015), ternyata lebih konsisten atau seirama dengan PP Nomor 40
Tahun 1996, konsistensi tersebut dapat dilihat dalam Pasal 5 PP Nomor 41
Tahun 1996 yang isinya:
“(1) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dibuat
untuk jangka waktu yang disepakati, tetapi tidak lebih lama dari dua puluh
lima tahun.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperbaharui untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari dua puluh lima
tahun, atas dasar kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian yang baru,
sepanjang orang asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia.”
Dalam ketentuan diatas, dapat dilihat adanya kesesuaian pemberian
jangka waktu hak pakai bagi WNA antara PP nomor 40 tahun 1996 dengan PP
Nomor 41 Tahun 1996, yang mana, keduanya sama-sama mengatur bahwa
pemberian jangka waktu hak pakai bagi WNA adalah selama 25 (dua puluh
lima) tahun, dengan demikian pula memperlihatkan adanya konsistensi hukum
yang baik dan keseimbangan antar peraturan perundang-undangan yang satu
58
dengan yang lainnya, karena dengan peraturan hukum yang konsisten maka
akan melahirkan suatu keharmonisan hukum, hal tersebut berlaku juga
sebaliknya.
Melihat perkembangan pengaturan tentang Hak Pakai dengan
ditempatkannya Hak Pakai sebagai alas hak dari suatu hunian bagi WNA
mencerminkan bahwa Hak Pakai dipandang sangat bermanfaat untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama bagi masyarakat kecil serta
pihak yang memberikan Hak Pakai bagi WNA berdasarkan perjanjian akan
menarik minat pemodal asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang
akan bermanfaat bagi pembangunan di Indonesia. Berkaitan dengan hak asing
yang dapat menguasai hak pakai ini, menurut Tampil Anshari Siregar perlu
diingat bahwa hak pakai atas tanah yang diberikan kepada WNA harus benar-
benar memiliki status kedudukan yang sah (termasuk dokumen yang
diperlukan) di Indonesia dan/atau badan hukum asing yang mempunyai
perwakilan di Indonesia dalam pengertian bahwa aktivitas WNA dan badan
hukum asing dimaksud harus benar-benar memberi manfaat bagi
pembangunan nasional Indonesia.39 Oleh karena itu, diperlukan adanya
pengaturan yang harmonis serta dukungan dari aparat penegak hukum dalam
menegakkan peraturan hukum, sehingga tujuan dari dibentuknya PP Nomor
103 Tahun 2015 dapat diwujudkan dengan optimal.
Dalam ketentuan Pasal 4 huruf a ayat (2) PP Nomor 103 Tahun 2015
ini, memberikan hak kepada WNA untuk melakukan perpanjangan atas hak
39 Tampil Anshari Siregar, Pendalaman Lanjutan Undang-Undang Pokok Agraria, Cetakan Pertama, Pustaka Bangsa Press,Medan, 2005, hlm. 263.
59
pakai yang diberikan kepadanya untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan
dapat diperbaharui kembali untuk jangka waktu maksimal 30 (tiga puluh)
tahun, sehingga total jangka waktu yang diberikan kepada WNA untuk
menguasai hunian atas hak pakai adalah 80 (delapan puluh) tahun. Total
jangka waktu tersebut, lebih lama dibandingkan dengan total jangka waktu
yang diatur dalam PP Nomor 40 Tahun 1996. Pemberian jangka waktu
sebagaimana tersebut di atas, tentu telah ditetapkan dengan berbagai
pertimbangan, sehingga di kemudian hari tidak menimbulkan dampak negatif
dalam pelaksanaannya.Namun, apabila dilakukan analisis secara lebih
mendalam, terdapat kelonggaran secara administrasi, terkait dengan ketentuan
dapat dilakukannya perpanjangan atas hak pakai bagi WNA.
Dalam hal ini, perpanjangan hak, hanya memberikan tambahan jangka
waktu kepada pemegang hunian atas hak pakai tanpa diikuti dengan
pembaruan syarat-syarat, padahal dimungkinkan setelah melebihi jangka
waktu 30 (tiga puluh) tahun sejak dikuasainya hunian berdasarkan hak pakai
telah terdapat perubahan, diantaranya,
a. segi subjek, misalnya pemegang hak pakai meninggal dunia
sehingga terjadi waris;
b. segi administrasi, berkaitan dengan ijin WNA untuk tinggal di
Indonesia;
c. ketentuan hukum maupun persyaratan yang ditentukan oleh undang-
undang, misalnya terdapat perubahan bukti maupun syarat karena
diberlakukannya Peraturan Pemerintah baru maupun peraturan yang sejajar
60
lainnya,yang bila hal tersebut disertakan dalam permohonan maupun dalam
perjanjian dengan pemegang hak milik, dikhawatirkan akan menimbulkan
permasalahan hukum maupun kerugian baik bagi pemegang hak milik
maupun bagi negara dikemudian hari, mengingat waktu perpanjangan yang
diberikan cukuplah lama, yaitu 20 (dua puluh) tahun. Sedangkan dalam hal
pembaruan hak, pemegang hunian atas hak pakai, mengajukan permohonan
baru kepada pejabat yang berwenang untuk itu, dengan menyertakan bukti-
bukti baru, sehingga baik secara hukum maupun secara administrasi dapat
diperoleh kebaruan dari bukti-bukti yang ada, sebagai syarat untuk
mengajukan atau pendaftaran hak.
Meskipun pemberlakukan PP Nomor 103 Tahun 2015 yang merupakan
pembaharuan dari PP Nomor 40 Tahun 1996 merupakan peraturan yang lebih
khusus yang mengatur Hunian di atas Hak Pakai bagi WNA, yang didalamnya
memuat ketentuan mengenai pemberian jangka waktu hak pakai atas suatu
huniannya dan masih sama, sehingga apabila terjadi suatu kasus hukum yang
menggunakan peraturan perundan-gundangan maka dapat diselesaikan dengan
menerapkan asas lex specialis derogat legi generali.
Secara yuridis pengaturan penguasaan hak atas tanah oleh warga
negara asing di Indonesia sudah cukup lengkap dari UUPA hingga
pengautran pelaksananya.Pengaturan pengaturan tersebut terutama PP
Nomor 103 Tahun 2015 sangat memberikan perluasaan ataupun kelonggaran
untuk warga negara asing dalam memiliki hak atas tanah dan bangunan
tempat tinggal .