Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Review Hasil Penelitian Terdahulu
Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu mereview hasil
penelitian yang telah diteliti oleh peneliti sebelumnya melalui beberapa jurnal
nasional maupun jurnal internasional. Review hasil penelitian terdahulu sangat
berguna untuk dijadikan sebagai bahan dasar penelitian dan menambah
pengetahuan dan wawasan dalam memperoleh data informasi penelitian. Judul
yang akan dibahas tentang “Pengaruh Manajemen Modal Kerja Terhadap Financial
Distress Dengan Ukuran Perusahaan Sebagai Variabel Kontrol”, penulis akan
memaparkan penjelasan teori tersebut dan beberapa hasil penelitian terdahulu.
Beberapa review hasil penelitian terdahulu adalah sebagai berikut:
Penelitian pertama yang telah diteliti oleh Ramly, dkk (2019). Di dalam
penelitian ini bertujuan untuk memprediksi financial distress dengan menggunakan
informasi fundamental seperti menguji hubungan antara current ratio, debt to
equity ratio, return on asset, dan inventory turnover terhadap financial distress.
Dalam penelitian ini menggunakan data yang berupa laporan keuangan pada
perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari
tahun 2014 sampai tahun 2018. Teknik analisis data yang digunakan adalah Teknik
analisis regresi linear. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa variabel current
ratio dan return on asset memberikan pengaruh positif terhadap financial distress.
Sedangkan variabel debt to equity ratio berpengaruh negatif terhadap financial
distress dan variabel inventory turnover tidak berpengaruh terhadap financial
distress.
Penelitian kedua yang dilakukan oleh Lubis dan Patrisia (2019). Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh variabel independent yaitu activity ratio
(ITO, RTO, LTDER), leverage (DR), dan firm growth (SG) terhadap variabel
dependen adalah financial distress pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia periode 2013 hingga 2017. Penelitian ini dalam pengambilan
sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan populasi yang diambil
sebanyak 152 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI dan memperoleh
sampel penelitian sebanyak 119 sampel. Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian adalah teknik analisis regresi logistik. Hasil penelitian ini menyatakan
bahwa activity ratio, leverage, dan firm growth memiliki pengaruh signifikan
terhadap financial distress dan selain itu juga inventory turnover, receivable
turnover dan long term debt to equity ratio berpengaruh terhadap financial distress
Penelitian ketiga yang dilakukan oleh Nugraha dan Fajar (2018). Tujuan di
dalam penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh current ratio, debt to asset
ratio, working capital turnover dan net profit margin perusahaan terhadap financial
distress pada PT Panasia Indo Resources Tbk periode 2012-2016. Metode dalam
penelitian ini adalah explanatory survei dengan pendekatan kuantitatif. Sumber
data dalam penelitian ini merupakan sekunder yang dilihat dari laporan keuangan.
Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa current ratio dan net profit margin
berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Sedangkan debt to assets ratio
dan working capital turnover tidak berpengaruh signifikan terhadap financial
distress.
Penelitian keempat dilakukan oleh Dimyati dan Maulidianty (2018). Dalam
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah variabel bebas yaitu rasio
keuangan (current ratio, return on asset, total turnover asset, debt to total assets)
dapat memprediksi variabel terikat yaitu kesulitan keuangan di perusahaan
pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Penelitian ini memperoleh
17 sampel penelitian yang telah memenuhi kriteria. Penelitian ini menggunakan
metode analisis data yaitu analisis diskriminan dan Anova. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa semua variabel independen yaitu current ratio, return on
asset, total turnover asset, dan debt to total assets dapat memprediksi financial
distress, tetapi hanya variabel return on asset yang bisa membentuk fungsi
diskriminan dalam memprediksi financial distress pada perusahaan pertambangan.
Penelitian kelima yang dilakukan oleh Kariani dan Budiasih (2017).
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel independent
yaitu likuiditas (current ratio), leverage (debt to total asset ratio), operating
capacity (perputaran total aset) pada variabel dependen yaitu financial distress
dengan firm size sebagai variabel pemoderasi. Populasi penelitian meliputi
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012 sampai
2015 dan memperoleh populasi sebanyak 121 perusahaan. Metode yang digunakan
di penelitian ini adalah metode purposive sampling sehingga memperoleh sampel
penelitian sebanyak 13 perusahaan. Hipotesis diuji dengan menggunakan analisis
regresi moderasi. Hasil dari analisis penelitian ini menunjukkan bahwa likuiditas
tidak berpengaruh terhadap financial distress, leverage memberikan pengaruh
negatif pada financial distress, dan operating capacity tidak memberikan pengaruh
pada financial distress. Sedangkan pengaruh likuditas dan operating capacity tidak
mampu dimoderasi dengan variabel firm size, tetapi pengaruh leverage mampu
dimoderasi dengan variabel firm size.
Penelitian internasional yang dilakukan oleh Zulkifli, et al (2019).
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti faktor-faktor penentu efisiensi pada
perusahaan financial distress di Malaysia dan juga menncari bukti yang
menunjukkan relevansi dari inventory turnover to current asset, account
receivable, inventory turnover, firm size, return on asset, working capital, total
asset turnover, liquidity, tangible asset, dan investment opportunities yang
menunjukkan pentingnya faktor-faktor ini dalam menentukan tingkat efisiensi
dalam perusahaan financial distress. Didalam penelitian ini populasi yang di ambil
adalah seluruh perusahaan yang mengalami tertekan secara finansial dan terdaftar
oleh Bursa Malaysia dengan persyaratan Catatan Praktek 4 (PN4), Catatan Praktek
17 (PN17) dan Amandemen PN17 (APN 17) masing-masing dari 15 februari 2001
hingga 31 desember 2011. Daftar seluruh emiten perusahaan yang terkena financial
distress diperoleh dari pengumuman media siaran dan situs web Bursa Malaysia
dari januari 2001 sampai desember 2011. Sampel penelitain yang diperoleh terdiri
dari 190 perusahaan yang memenuhi kriteria data tidak hilang. Hasil dari penelitian
menyatakan bahwa inventory turnover to current asset, account receivable, dan
inventory turnover berpengaruh signifikan untuk menentukan tingkat efisiensi
terhadap perusahaan yang terkena financial distress. Selain itu juga firm size, return
on asset, working capital, total asset turnover, liquidity, tangible asset, dan
investment opportunities tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap
perusahan yang terkena financial distress.
Penelitian internasional selanjutnya yang telah dilakukan oleh Onyango dan
Ngahu (2018). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh variabel
independent yaitu manajemen modal kerja (Cash conversion cycle) terhadap
variabel dependen yaitu kesulitan keuangan di industri perhotelan di Nairobi.
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif. Populasi penelitian yang terdiri
dari 100 hotel di Nairobi dan menargetkan seluruh manajer keuangan di semua
hotel. Untuk pengambilan sampel penelitian, peneliti menggunakan metode
pengambilan sampel acak sederhana untuk memilih 50 hotel dengan petugas
keuangan sebagai responden. Pengumpulan data yang dilakukan dengan
menggunakan kuesioner. Data analisis dalam penelitian ini menggunakan statistic
deskriptif. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa manajemen modal kerja
diproksikan dengan siklus konversi tunai (cash conversion cycle mempengaruhi
secara signifikan terhadap manajemen financial distress.
Penelitian internasional yang dilakukan oleh Delavar, dkk (2015). Tujuan
dalam penelitian ini adalah untuk meneliti hubungan antara manajemen modal
kerja, kinerja perusahaan dan financial distress pada perusahaan yang terdaftar di
Bursa Efek Teheran. Penelitian ini diklasifikasikan sebagai studi kuantitatif,
induktif, dan terapan yang bertujuan untuk menemukan hubungan antar variabel.
Populasi penelitian yang diambil berupa semua perusahaan yang terdaftar di TSE
dan memperoleh sampel penelitian sebesar 71 perusahaan yang terdaftar di Bursa
Efek Teheran periode 2004 sampai 2012. Dalam penelitian ini untuk mengukur
kinerja dengan cara menggunakan Tobin Q-ratio, sedangkan untuk financial
distress diukur dengan cara indeks Zscore, dan untuk manajemen modal kerja
diukur dengan siklus perdagangan bersih. Dalam pengujian hipotesis, penelitian ini
menggunakan model regresi berganda dengan menggunakan perangkat lunak
SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara manajemen modal kerja dan kinerja perusahaan dan hasil selanjutnya
menunjukkan bahwa kesulitan keuangan tidak berpengaruh pada hubungan antara
manajemen modal kerja dan kinerja keuangan perusahaan yang terdaftar di Bursa
Efek Tehran.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Analisis Laporan Keuangan
Menurut Prastowo dan Rifka dalam Suprihatin dan Mansur (2016), Analisis
laporan keuangan merupakan suatu proses pertimbangan dalam mengevaluasi
posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan pada masa sekarang, pada masa
lampau dan pada masa depan. Dan tujuan utama perusahaan menganalisis laporan
keuangan adalah untuk memprediksi dan menentukan mengenai nilai dari hasil
kinerja perusahaan di masa depan. Analisis laporan keuangan merupakan salah satu
alat dalam memprediksi perusahaan yang sedang mengalami kebangkrutan.
Menurut Subramanyam dan Wild (2017), Analisis Laporan Keuangan
(financial statement analysis) merupakan bagian yang penting dari bidang analisis
bisnis. Analisis bisnis adalah proses mengevaluasi atas prospek ekonomi dan risiko
perusahaan untuk bertujuan pengambilan keputusan. Hal tersebut meliputi analisis
atas lingkungan bisnis, strateginya, serta posisi keuangan dan kinerja. Analisis
laporan keuangan merupakan alat dan teknik analitis terhadap laporan keuangan
bertujuan untuk memperoleh estimasi dan kesimpulan yang berguna dalam analisis
bisnis (Subramanyam, 2017).
Terdapat 3 (tiga) teknik analisis laporan keuangan yang lazim yang
digunakan, yaitu:
1. Analisis horizontal yaitu analisis dengan cara membandingkan neraca dan
laporan laba rugi beberapa tahun terakhir secara berurutan. Tujuannya untuk
memperoleh gambaran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam
neraca maupun laporan laba rugi, sehingga dapat memperoleh suatu gambaran
selama beberapa tahun terakhir apakah terjadi kenaikan atau penurunan.
2. Analisis vertikal adalah analisis dengan cara menghitung proporsi pos-pos
dalam neraca dengan suatu jumlah tertentu dari neraca atau proporsi dari unsur-
unsur tertentu dengan jumlah tertentu dari laporan laba rugi.
3. Analisis rasio adalah menunjukkan hubungan diantara pos-pos terpilih dari
data laporan keuangan. Rasio adalah pedoman dalam mengevaluasi posisi dan
operasi perusahaan dan melakukan perbandingan dengan hasil-hasil dari tahun
sebelumnya atau perusahaan-perusahaan lain.
2.2.2 Financial Distress
2.2.2.1 Pengertian Financial Distress
Menurut Platt dan Platt dalam Fahmi (2019: 93), Financial distress
didefinisikan sebagai dimana suatu perusahaan sedang mengalami terjadinya
penurunan kondisi kinerja keuangan sebelum terjadinya kebangkrutan atau
likuidasi. Awal bermulanya terjadinya financial distress ketika perusahaan
mengalami ketidakmampuan dan tidak tersedianya dana untuk melunasi kewajiban-
kewajiban jangka pendek yaitu kewajiban likuiditas dan kewajiban solvabilitas
yang telah jatuh tempo kepada kreditur. Kondisi financial distress memiliki banyak
cara untuk mengindetifikasinya seperti penelitian yang dilakukan Brahmana (2007)
dalam Golijot dan Mahardika (2019) menyatakan apabila perusahaan sedang
mengalami kondisi financial distress berarti laba bersih (net income), laba operasi,
dan nilai buku ekuitas yang dimiliki oleh perusahan selama beberapa tahun
memiliki sifat negatif. Menurut Kordestani dalam Yudiawati dan Indriani (2016)
apabila perusahaan mengalami kerugian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dapat
di katakan bahwa perusahaan tersebut terindikasi financial distress. Ginting (2017)
kesulitan keuangan (financial distress) disebabkan oleh biaya modal perusahaan
yang dikeluarkan lebih besar daripada pendapatan yang diperoleh. Kondisi ini dapat
membuat perusahaan mengalami kesulitan keuangan (financial distress) yang bisa
mengarah kepada kebangkrutan.
2.2.2.2 Dampak Financial Distress
Menurut Fachrirudin dalam Ginting (2017), ada beberapa definisi financial
distress menurut tipe, yaitu:
1. Economic failure (kegagalan ekonomi); yaitu dimana kondisi perusahaan
memiliki pendapatan perusahaan yang tidak cukup untuk menutupi biaya-biaya
yang dikeluarkan termasuk cost of capital dan bisnis perusahaan tetap
melanjutkan operasinya sepanjang kreditur mau bersedia menerima tingkat
pengembalian di bawah pasar.
2. Business failure; yaitu dimana keadaan perusahaan menghentikan operasinya
dikarenakan mengalami kerugian terus-menerus.
3. Technical insolvency; yaitu dimana ketidakmampuan perusahaan untuk
memenuhi kewajiban ketika jatuh tempo. Hal ini menunjukan bahwa perusahaan
sedang mengalami kekurangan likuiditas sementara dan harus diberikan
beberapa waktu untuk perusahaan dapat melunasi kewajibannya. Disisi lain,
technical insolvency merupakan tanda gejala awal kegagalan ekonomi yang
mungkin perhentian pertama perusahaan menuju kebangkrutan.
4. Insolvency in bankruptcy; yaitu dimana perusahaan memiliki nilai buku utang
lebih besar daripada nilai pasar aset saat ini. Kondisi tersebut sangat serius
karena dapat mengarahkan pada likuidasi bisnis.
5. Legal bankruptcy; yaitu perusahaan dapat dikatakan mengalami kebangkrutan
secara hukum apabila perusahaan mengajukan tuntutan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2.2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Financial Distress
Menurut Yadiati, ada beberapa faktor yang mempengaruhi financial
distress yaitu:
1. Usia perusahaan; semakin lama perusahaan itu ada, maka kemungkinan kecil
perusahaan akan mengalami kebangkrutan.
2. Ukuran perusahaan; semakin besar perusahaan, maka semakin kecil perusahaan
mengalami kebangkrutan.
3. Pertumbuhan; tingkat pertumbuhan yang meningkat, maka perusahaan akan
lebih cenderung bertahan.
4. Kondisi ekonomi makro; tingkat kegagalan perusahaan selama resesi.
5. Sektor; tingkat kegagalan perusahaan yang tinggi biasanya di beberapa sektor
industry.
6. Manusia; tingkat kegagalan perusahaan terjadi karena akibat dari tingkat
pendidikan, usia, dan pengalaman sebelumnya dari pemilik manajer.
7. Jenis perusahaan; ada sedikit kegagalan dalam waralaba.
8. Lokasi; lokasi menentukan tingkat kegagalan perusahaan. Tingkat kegagalan
yang rendah di daerah lokasi pendesaan.
2.2.2.4 Penyebab Terjadinya Financial Distress
Penyebab perusahaan berada dalam kondisi kesulitan keuangan (financial
distress) yaitu akibat dari pengelolaan si perusahaan buruk atau belum baik
meskipun perusahaan memiliki susunan aset dan struktur keuangan baik.
Pengelolaan yang buruk dapat disebabkan konflik keagenan antara manajer dan
pemegang saham (Fardiana et al, 2019). Menurut Damoran dalam Ginting (2017),
penyebab perusahaan mengalami financial distress disebabkan oleh factor internal
dan eksternal. Faktor-faktor dari dalam perusahaan yaitu :
1. Permasalahan pada arus kas,
Permasalahan pada arus kas disebabkan ketika pendapatan yang diterima
perusahaan dari hasil kegiatan operasi seperti penjualan tidak cukup menutupi
pengeluaran-pengeluaran yang timbul atas aktivitas operasi perusahaan dan
terjadinya kesalahan manajemen ketika mengelola arus kas dalam pembiayaan
operasional perusahan sehingga memperburuk kondisi perusahaan dikarenakan
arus kas perusahaan mengalami defisit.
2. Jumlah utang yang semakin besar,
Perusahaan dalam mengatasi kesulitan keuangan biasanya melakukan
peminjaman melalui bank akibat dari biaya-biaya yang timbul dari aktivitas
perusahaan. Hal ini menimbulkan kewajiban baru bagi perusahaan untuk
melunasi hutang di masa mendatang dengan pembayaran pokok dan bunga
pinjaman. Ketika tagihan tersebut jatuh tempo, dan keadaan perusahaan tidak
memiliki dana untuk melunasi tagihan hutang tersebut, maka pihak kreditur akan
menyita harta perusahaan untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang tidak
dapat dipenuhi oleh perusahaan.
3. Mengalami kerugian selama beberapa tahun
Kerugian operasional perusahaan dapat menimbulkan arus kas yang
negatif dikarenakan beban operasional lebih besar daripada pendapatan yang
diterima perusahaan sehingga perusahaan tidak mampu untuk menutupi biaya-
biaya yang timbul dari aktivitas perusahaan. Hal ini menyebabkan perusahaan
mengalami kesulitan keuangan (financial distress)
Penyebab faktor internal belum tentu salah satu penyebab perusahaan
mengalami financial distress, karena selain itu masih terdapat faktor yang
disebabkan dari eksternal perusaaan. Faktor eksternal perusahaan biasanya lebih
bersifat makro dimana cakupannya cukup luas. Contoh faktor eksternal yaitu dari
kebijakan pemerintah dan kebijakan lembaga bank atau nonbank. Dimana
kebijakan pemerintah berupa tarif pajak yang meningkat yang menyebabkan beban
usaha yang ditanggung oleh perusahaan pun meningkat, selain itu kebijakan
lembaga bank atau nonbank berupa suku bunga pinjaman yang meningkat, yang
dapat mengarah pada peningkatan beban bunga perusahaan.
2.2.3.5 Manfaat Informasi Financial Distress
Informasi financial distress mempunyai beberapa kegunaan adalah sebagai
berikut:
1. Mempermudah tindakan manajemen untuk melakukan pencegahan masalah
sebelum terjadinya kesulitan keuangan.
2. Membantu manajemen dalam mengambil tindakan merger atau take over
bertujuan agar perusahaan mampu mengelola perusahaan dengan baik dan
melunasi hutang-hutangnya
3. Sebagai peringatan dini mengenai bahaya dari kebangkrutan di masa datang.
2.2.3 Manajemen Modal Kerja
Manajemen modal kerja adalah kegiatan yang mencakup keseluruhan
fungsi manajemen mengenai aktiva lancar dengan kewajiban lancar suatu
perusahaan. Manajemen modal kerja bisa menjadi salah satu aspek yang harus
diperhatikan didalam perusahaan. Jika perusahaan tidak dapat mengelola dan
mempertahankan tingkat modal kerja, maka kemungkinan perusahaan akan berada
dalam keadaan insolvency. Dimana perusahaan memiliki aktiva lancar yang cukup
sedikit sehingga perusahaan tidak mampu menutupi keseluruhan hutang lancar dan
perusahaan terpaksa harus dilikuidasi. Aktiva lancar yang cukup tinggi akan dapat
menutupi seluruh hutang lancar sehingga hal ini menggambarkan tingkat keamanan
(margin of safety) (Olfimarta, et al 2019). Manajemen modal kerja melibatkan
pengendalian dan perencanaan asset lancar dan hutang lancar dengan cara
menghilangkan risiko ketidakmampuan dalam memenuhi hutang jangka pendek
dan menghindari kelebihan investasi dalam aset. Menurut Martono & Harjito
(2004) didalam Olfimarta, et al (2019), ada beberapa alasan yang mendasari
seberapa pentingnya manajemen modal kerja:
a. Aktiva lancar dari perusahaan harus memiliki aktiva lancar yang cukup bessar
dibanding jumlah aktiva lainnya secara keseluruhan.
b. Adanya hubungan secara langsung antara pertumbuhan dengan kebutuhan
dana untuk membeli aktiva lancar.
c. Manajer keuangan perlu memberikan porsi waktu yang sesuai untuk mengelola
hal-hal yang berkaitan dengan modal kerja.
d. Keputusan modal kerja akan berdampak secara langsung pada laba, dan harga
saham perusahaan.
Modal kerja merupakan suatu dana perusahaan yang tersedia untuk
diinvestasikan dalam bentuk aktiva lancar seperti kas dan setara kas, persediaan,
sekuritas (surat-surat berharga), dan piutang. Modal kerja memiliki peran yang
sangat penting bagi perusahaan dalam mempertahankan hidup operasional
perusahaan karena modal kerja digunakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan
kegiatan operasional sehari-hari seperti membiayai hutang yang telah jatuh tempo,
pembelian bahan baku, membiayai gaji karyawan, membiayai seluruh biaya
operasional, dan pembayaran lainnya. Dana modal kerja yang dialokasikan
diharapkan menerima pengembalian dan hasil penjualan yang dihasilkan selama
dalam waktu periode yang tidak lama. Dana yang diterima tersebut dapat
dipergunakan kembali untuk melakukan kegiatan operasional perusahaan
selanjutnya dan dana akan terus berputar selama perusahaan tersebut masih
beroperasi (Fadli, 2017).
Jika modal kerja dikelola dengan baik, maka perusahan tidak perlu
mengalami kesulitan dan hambatan dalam menjalankan kegiatan operasionalnya
serta tidak perlu meminjam uang dari pihak lain seperti kreditur dan hanya perlu
meningkatkan kualitas perusahaan termasuk kualitas keuangannya agar para
investor tertarik dalam menanamkan modal (saham) mereka ke dalam perusahaan
sehingga perusahaan dapat memenuhi seluruh kewajiban jangka pendeknya yang
jatuh tempo. Sebaliknya jika pengelolaan modal kerja tidak baik akan
menyebabkan aktivitas operasional perusahaan menjadi terganggu sehingga
menyebabkan kemungkinan terjadi kegagalan perusahaan dalam mempertahankan
perusahaan dan berpotensi akan mengalami financial distress atau dilikuidasi.
Penggunaan modal kerja yang efektif dan efisien akan memperoleh peningkatan
aktiva dan penurunan passive.
2.2.3.1 Tujuan manajemen Modal Kerja
Menurut Kasmir (2018), tujuan manajemen modal kerja bagi perusahaan,
yaitu:
1. Untuk memenuhi kebutuhan likuditas perusahaan
2. apabila modal kerja perusahaan yang dimiliki cukup, maka perusahaan
mempunyai potensi kemampuan dalam memenuhi kewajiban pada waktu jatuh
tempo.
3. Kemungkinan perusahaan memperoleh tambahan dana dari para kreditur,
apabila rasio keuangannya memenuhi syarat.
4. Untuk memaksimalkan penggunaan aktiva lancar guna meningkatan penjualan
dan laba.
5. Dapat mempertahankan kelangsungan perusahaan apabila sewaktu-waktu
terjadi krisis modal kerja akibat turunnya nilai aktiva lancar.
6. Dapat memenuhi kebutuhan pelanggan dikarenakan memungkinkan perusahaan
memiliki persediaan yang cukup.
2.2.3.2 Sumber Manajemen Modal kerja
Menurut Kasmir didalam (Fadli, 2017), sumber modal kerja adalah
kebutuhan modal kerja yang mutlak disediakan perusahaan dalam bentuk apapun.
Sehingga untuk memenuhi kebutuhan itu perusahaan memerlukan sumber-sumber
modal yang dapat dicari dari berbagai sumber yang tersedia. Tetapi dalam
pemilihan sumber modal perlu diperhatikan untung rugi dari modal kerja kerja
tersebut dan pertimbangan ini harus dilakukan agar tidak menjadi sebuah beban
perusahaan untuk dimasa depan atau akan menimbulkan masalah yang diinginkan”.
Sumber modal kerja yang digunakan yaitu terdiri dari:
1. Hasil Operasi perusahaan
2. Penjualan aktiva tetap
3. Penjualan surat berharga
4. Penjualan obligasi
5. Dana hibah
6. Memperoleh pinjaman
7. Keuntungan dari penjualan surat-surat berharga, dan
8. Sumber lainnya
2.2.4 Pengertian Current Ratio
Rasio lancar (Current Ratio) merupakan rasio yang menggambarkan apakah
perusahaan mampu memenuhi seluruh kewajiban lancarnya dengan aktiva lancar.
Menurut Subramanyam (2017), alasan menggunakan rasio lancar (current ratio)
dikarenakan kemampuannya dapat mengukur:
a. Cakupan liabilitas jangka pendek. Semakin tinggi jumlah aktiva lancar
terhadap liabilitas jangka pendek, maka semakin tinggi jaminan liabilitas jangka
pendek perusahaan yang akan dibayarkan.
b. Penyangga saat terjadinya kerugian. Semakin tinggi penyangga, maka
semakin kecil risiko. Hal ini dikarenakan tersedianya margin of safety untuk
menutup penurunan nilai aset lancar non kas dan akhirnya aset tersebut dapat
dilikuidasi.
c. Cadangan dana likuid. Rasio lancar sebagai ukuran margin of safety terhadap
ketidakpastian arus kas perusahaan. Ketidakpastian ini seperti kerugian yang
luar biasa yang sewaktu-waktu dapat menurunkan arus kas.
Aset lancar (current ratio) diharapkan dapat direalisasikan sebagai kas atau
dijual atau dikonsumsi dalam jangka satu tahun. Jika perbandingan aset lancar yang
dimiliki semakin tinggi daripada utang jangka pendeknya berarti semakin tinggi
perusahaan dapat menutupi utang-utang jangka pendek tersebut yang telah jatuh
tempo. Tetapi menurut munawir dalam Ginting (2017), tingkat current ratio yang
tinggi, belum tentu juga suatu perusahaan dapat menjamin membayar utang-utang
tersebut yang sudah jatuh tempo dikarenakan distribusi dari aktiva lancar tidak
menguntungkan. Dikarenakan apabila tingkat jumlah persediaan yang tinggi
daripada tingkat penjualan yang relatif rendah, maka tingkat perputaran persediaan
suatu perusahaan akan rendah sehingga menunjukkan over investment dalam
persediaan tersebut.
Menurut Kasmir (2018:135), standar rasio current ratio yakni 200 % (2:1)
dianggap telah cukup baik atau memuaskan bagi suatu perusahaan. Artinya dengan
hasil rasio seperti itu dapat dikatakan perusahaan telah berada di titik aman dalam
jangka pendek dan juga standar rasio ini belum tentu dapat ditentukan untuk seluruh
perusahaan. Dikarenakan jumlah modal kerja dan besarnya rasio tergantung pada
beberapa faktor.
2.2.6 Pengertian Perputaran Persediaan (Inventory Turnover)
Perputaran persediaan (inventory turnover) adalah rasio yang
menggambarkan berapa kali persediaan barang dijual dan diadakan kembali setiap
periode akuntansi. Perputaran persediaan yang tinggi menunjukkan perputaran
tersebut dalam satu tahun semakin tinggi sehingga ini menandakan bahwa
manajemen mampu mengelola persediaannya dengan efisien dan juga
menandakann bahwa persediaan dapat terjual dengan cepat sehingga keuntungan
yang diperoleh semakin tinggi (Syafitri dan Wibowo, 2016). Sebaliknya jika
perputaran persediaan semakin menurun, maka menandakan bahwa kurangnya
efektivitas manajemen persediaan dalam mengelola persediaan (Hanafi, 2012:78)
dikarenakan jumlah persediaan yang tersimpan digudang akan kecil sehingga
apabila sewaktu-waktu terjadi kejadian diluar perhitungan, maka aktivitas produksi
perusahaan menjadi terganggu dan hal ini berpengaruh pada sisi penjualan serta
perolehan keuntungan (Fahmi, 2014).
Menurut Fahmi (2014) Tingkat perputaran persediaan dapat diketahui dari:
a. Perputaran persediaan bahan baku (raw material turnover), yaitu jumlah bahan
baku yang digunakan dalam suatu periode dibagi rata-rata persediaan bahan
baku selama periode tersebut.
b. Perputaran persediaan barang dalam proses (work in process turnover), yaitu
jumlah pekerjaan yang ditransfer menjadi produk jadi dibagi rata-rata
pekerjaan dalam proses persediaan selama periode tersebut.
c. Perputaran persediaan barang jadi (finished goods turnover), yaitu dinyatakan
seluruh biaya produk yang dijual dibagi rata-rata biaya persediaan barang jadi.
Perputaran persediaan mengukur berapa lama (dalam hari) rata-rata
persediaan yang tersimpan sehingga pada akhirnya terjual (Hery, 2015:214).
Menurut Surya, dkk (2017), perputaran akan meningkat apabila persediaan
meningkat seiring juga permintaan konsumen meningkat. Kalau persediaan
meningkat berarti penjualan yang diterima perusahaan menjadi semakin banyak
sehingga perolehan laba yang diterima semakin maksimal. Cara menghitung rasio
perputaran persediaan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu: pertama, dengan
membandingkan antara pokok barang yang dijual dengan nilai persediaan dan
kedua, dengan membandingkan antara penjualan nilai sediaan (Kasmir, 2018).
2.2.7 Perputaran Total Aset (Total Asset Turnover)
Perputaran total asset (total asset turnover ratio) merupakan rasio yang
digunakan untuk menggambarkan sejauh mana keseluruhan aset yang dimiliki oleh
perusahaan terjadi perputaran secara efektif (Fahmi, 2014). Selain itu, perputaran
total aset merupakan rasio yang mengukur semua aktiva yang dimiliki perusahaan
dan mengukur berapa jumlah penjualan yang diperoleh dari tiap rupiah aktiva
(Kasmir, 2018:185). Apabila Total Asset Turnover suatu perusahaan bernilai
rendah berarti perusahaan memiliki kelebihan total aset sehingga perusahaan belum
mampu memanfaatkan total aset yang dimiliki secara maksimal untuk menciptakan
penjualan sehingga perusahaan kemungkinan berpotensi mengalami financial
distress (Agustini dan Wirawati, 2019). Sebaliknya semakin tinggi perputaran total
aset maka semakin efektif pengelolaan total aset perusahaan untuk menghasilkan
penjualan. Rasio ini dapat menjadi sinyal bagi investor dan kreditur untuk
melakukan investasi dan kreditnya di perusahaan karena perusahaan tersebut telah
dinilai baik dalam pengelolaan perusahaan.
2.2.8 Debt to Total Asset Ratio
Menurut Hery (2017), Debt to asset ratio (DAR) menggambarkan seberapa
besar utang perusahaan yang digunakan untuk membiayai aset. Rasio ini mengukur
persentase penggunaan dana dari kreditur yang dihitung dengan membandingan
antara total utang perusahaan dengan total aktiva yang dimiliki (Curry dan
Banjarnahor,2018). Rasio ini juga mengukur seberapa besar utang perusahaan
berpengaruh terhadap pengelolaan aktiva (Kasmir, 2018). Dari hasil pengukuran,
apabila tingkat debt to asset ratio semakin tinggi menunjukkan semakin berisiko
perusahaan dikarenakan semakin besar utang yang digunakan untuk pembelian
asset. Sehingga dikhawatirkan perusahaan berpotensi mengalami ketidakmampuan
dalam memenuhi seluruh utang-utangnya dengan aktiva yang dimiliki dan
pemegang saham akan kehilangan seluruh investasinya, serta perusahaan semakin
sulit untuk memperoleh tambahan pinjaman dari kreditur. Sebaliknya apabila
tingkat debt to asset ratio semakin rendah, maka semakin kecil perusahaan dibiayai
dengan utang (Kasmir, 2018).
2.2.9 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan adalah suatu ukuran yang menunjukkan besar kecilnya
suatu perusahaan yang diukur dengan berbagai macam cara, seperti nilai total aset,
log size, nilai pasar saham, dan lain sebagainya. Skala ukuran perusahaan umumnya
dibagi dalam 3 kategori, yaitu perusahaan besar, perusahaan menengah dan
perusahaan kecil. Variabel kontrol ukuran perusahaan didalam penelitian ini harus
didasarkan oleh total aktiva yang dimiliki oleh suatu perusahaan. Menurut Harahap
(2017), Perusahaan yang memiliki total aset yang tinggi akan kemungkinan
perusahaan berpotensi mengalami kebangkrutan semakin kecil. Hal ini dikarenakan
total aktiva yang besar dapat dikatakan bahwa perusahan tersebut tergolong pada
ukuran perusahaan yang besar sehingga pertumbuhan laba yang diperoleh
perusahaan juga cenderung semakin tinggi, sebaliknya jika perusahaan memiliki
total aktiva yang kecil berarti perusahaan tersebut tergolong pada ukuran
perusahaan yang kecil sehingga cenderung memperoleh perumbuhan laba yang
rendah dan kemungkinan perusahaan akan berpotensi mengalami financial distress
menjadi tinggi.
Menurut Mulyawan, 2015:247, ukuran perusahaan dapat menentukan
bahwa apabila suatu perusahaan semakin besar, maka semakin besar pula tingkat
utang perusahaan dan menurut hasil penelitian yang dilakukan Harahap (2017),
ukuran perusahaan tidak memiliki pengaruh terhadap financial distress. Hal ini
dikarenakan besar kecilnya ukuran perusahaan tidak membuktikan bahwa
perusahaan akan terhindar dari masalah keuangan sehingga dapat diartikan bahwa
perusahaan yang tergolong ukuran perusahaan yang besar akan tetap mengalami
masalah keuangan/ kesulitan keuangan dan begitu dengan sebaliknya perusahaan
yang tergolong pada ukuran perusahaan yang kecil juga akan mengalami masalah
keuangan.
2.3 Hubungan Antar Variabel Penelitian
Hubungan antar variabel yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
2.3.1 Pengaruh Current Ratio Terhadap Financial Distress
Current ratio merupakan rasio yang mengukur dengan cara
membandingkan aset lancar dengan kewajiban lancar perusahaan dan menunjukkan
kesanggupan perusahaan dalam membayar kewajiban lancarnya dengan
menggunakan aktiva lancar. Aset lancar suatu perusahaan dapat dijadikan uang
dalam waktu yang singkat, sedangkan utang lancar yaitu hutang perusahaan jangka
pendek yang mesti dilunasi dalam waktu paling lama satu tahun (Kasmir,
2010:134).
Menurut Yudiawati dan Indriani (2016) menyatakan bahwa current ratio
berpengaruh positif dan signifikan terhadap financial distress. Hal ini dikarenakan
bahwa apabila current ratio semakin tinggi maka semakin besar aset lancar yang
tidak diperlukan, sehingga tidak memberikan pendapatan. aset yang tidak
diperlukan tersebut tidak dapat digunakan oleh perusahaan untuk membayar
keseluruhan kewajiban lancarnya. Sehingga kemungkinan perusahaan mengalami
financial distress semakin tinggi. Tetapi hal ini bertentangan dengan Pratama
(2020) yang menyatakan bahwa likuiditas yang diproksikan current ratio tidak
berpengaruh terhadap financial distress. Hal ini ditunjukkan bahwa likuiditas yang
tinggi berarti perusahaan memiliki aset yang lebih besar daripada hutangnya, maka
kemungkinan perusahaan tidak mengalami financial distress. Sebaliknya apabila
perusahaan memiliki aset yang kecil daripada hutangnya, maka kemungkinan
perusahaan akan mengalami financial distress.
2.3.2 Pengaruh Perputaran Persediaan Terhadap Financial Distress
Perputaran persediaan adalah rasio yang mengukur berapa kali dana yang
ditanam dalam persediaan dalam satu periode (Kasmir, 2018:180). Perputaran
persediaan juga mengukur berapa lama (dalam hari) rata-rata persediaan yang
tersimpan sehingga pada akhirnya terjual (Hery, 2015:214). Dengan kata lain, rasio
ini menggambarkan seberapa cepat persediaan barang dagang berhasil dijual
kepada pelanggan.
Perputaran persediaan yang semakin tinggi menandakan bahwa manajemen
mampu mengelola modal kerjanya berupa persediaan dengan efisien dan juga
menandakan bahwa persediaan dapat terjual dengan jangka waktu yang relatif
semakin singkat sehingga keuntungan yang diperoleh semakin tinggi (Hery,
2017:187) dan selain itu semakin kecil kemungkinan perusahaan mengalami
financial distress.
Apabila perusahaan persediaan semakin rendah, maka hal ini menandakan
bahwa kurang efisien manajemen perusahaan dalam mengelola persediaan (Hanafi,
2012:78). Hal ini disebabkan modal kerja yang tertanam dalam persediaan
mengalami penumpukan di Gudang (over investment) karena lambannya penjualan
persediaan dan hal ini mengakibatkan rendahnya tingkat pengembalian investasi.
Sehingga semakin tinggi tingkat kemungkinan perusahaan mengalami financial
distress. Penelitian yang dilakukan Permadi dan Isynuwardhana (2020)
menyatakan bahwa inventory turnover berpengaruh negatif terhadap financial
distress. Namun hal ini bertentangan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Andayani, dkk (2016) yang menyatakan bahwa operating capacity yang
diproksikan inventory turnover tidak berpengaruh terhadap financial distress.
2.3.3 Pengaruh Perputaran Total Asset Terhadap Financial Distress
Rasio perputaran total aset (Total Asset Turnover) mengukur keefektivitas
suatu perusahaan dalam mengelola asetnya. Menurut Agustini dan Wirawati (2017)
menunjukkan bahwa rasio aktivitas yang diproksikan perputaran total aset
berpengaruh negatif terhadap financial distress. Karena jika perputaran total asset
semakin tinggi, hal ini menunjukkan bahwa semakin efektif perusahaan mampu
mengelola asetnya untuk menghasilkan sebuah penjualan. Perputaran total asset
yang tinggi akan membuat sinyal bagi investor maupun kreditur untuk melakukan
menanam sahamnya atau pinjamannya karena perusahaan yang diinvestasikannya
itu telah dinilai baik dalam pengelolaan perusahaan. Apabila perusahaan tidak dapat
mengelola keseluruhan aset perusahaan secara maksimal, maka penjualan
perusahaan juga tidak akan bisa maksimal. Sehingga perusahaan kemungkinan
akan berpotensi mengalami financial distress. Sedangkan pernyataan tersebut
bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aisyah, et al (2017)
menyatakan bahwa total asset turnover tidak berpengaruh terhadap financial
distress. Karena besar atau kecilnya nilai total asset turnover yang dimiliki
perusahaan dapat mengalami financial distress.
2.3.4 Pengaruh Debt to Total Assets Terhadap Financial Distress
Debt to total asset ratio adalah rasio yang membandingkan hutang jangka
pendek dengan total aktiva. Rasio ini digunakan untuk mengetahui resiko financial
yang akan terjadi di masa sekarang atau di masa depan. Karena apabila nilai rasio
ini semakin kecil, maka kondisi keuangan perusahaan akan semakin aman dan
terhindar resiko kesulitan keuangan. Menurut Hery (2017), Debt to asset ratio
(DAR) menggambarkan seberapa besar utang perusahaan yang digunakan untuk
membiayai aset. Apabila tingkat debt to asset ratio semakin tinggi menunjukkan
semakin berisiko perusahaan dikarenakan semakin besar utang yang digunakan
untuk pembelian asset. Sehingga perusahaan berpotensi mengalami kesulitan
keuangan dan pemegang saham akan kehilangan seluruh investasinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Mulyani (2019) serta Golijot dan
Mahardika (2019) mengatakan bahwa debt to asset ratio memiliki pengaruh positif
terhadap financial distress dan hal ini menyimpulkan bahwa apabila tingkat debt to
asset ratio semakin tinggi maka semakin besar utang yang digunakan untuk
pembelian aset. Sehingga hal ini mengurangi kemampuan perusahaan untuk
mendapatkan tambahan pinjaman dari kreditur karena dikhawatirkan bahwa
perusahaan tidak mampu melunasi utang-utangnya dengan keseluruhan aset yang
dimilikinya dan akibatnya tingkat resiko kemungkinan perusahaan mengalami
financial distress semakin tinggi. Namun hal ini bertentangan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Aisyah, dkk (2017) menyatakan bahwa debt to asset ratio tidak
memiliki pengaruh terhadap financial distress.
2.3.5 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Financial Distress
Ukuran perusahaan menggambarkan seberapa besar total aset yang dimiliki
oleh suatu perusahaan. Semakin besar total aset suatu perusahaan, maka kondisi
financial perusahaan akan lebih stabil sehingga potensi perusahaan untuk
mengalami financial distress akan semakin kecil. Sebaliknya, semakin kecil total
aset yang dimiliki oleh perusahaan, maka kemungkinan perusahaan akan berpotensi
mengalami financial distresss (Harahap, 2017).
2.3 Pengembangan Hipotesis Penelitian
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai
berikut:
H1 : Current ratio berpengaruh negatif terhadap financial distress.
H2 : Perputaran persediaan berpengaruh negatif terhadap financial distress.
H3 : Perputaran total aktiva berpengaruh negatif terhadap financial distress.
H4 : Debt to asset rasio berpengaruh positif terhadap financial distress.
H5 : Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap financial disress.
2.4 Kerangka Konseptual Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini dapat diringkas menjadi kerangka pemikiran.
Dalam gambaran ini menunjukkan bahwa penelitian ini menggunakan financial
distress sebagai variabel dependen yang akan dipengaruhi oleh manajemen modal
kerja yang diproksikan dengan current ratio, inventory turnover, total asset
turnover, debt to asset ratio sebagai variabel independent dan ukuran perusahaan
sebagai variabel control. Gambaran kerangka konseptual dapat dilihat dari gambar
pada dibawah ini:
Gambar 2.4
Kerangka Konseptual Penelitian
Manajemen Modal
Kerja
Current Ratio
Inventory
Turnover Ratio
Total Asset
Turnover Ratio
Debt to Total
Asset Ratio
Financial
Distress
Variabel Kontrol:
Ukuran perusahaan
Variabel Independent: Variabel
Dependent: