Upload
dadanpriyana
View
93
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Keperawatan
Citation preview
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Tujuan dan Fungsi Sistem Imun
Sistem imun bertujuan untuk mempertahankan tubuh dari serangan
mikroorganisme dan dapat melindungi tubuh.
Sedangkan Fungsi-fungsi sistem imun yaitu :
1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit. Menghancurkan dan
menghilangkan mikroorganisme atau subtansi asing seperti bakteri,
parasit, jamur, virus serta tumor yang masuk ke dalam tubuh
2. Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak untuk perbaikan
jaringan
3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal
4. Untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan
komponen tubuh yang telah tua
B. Pembagian/ Kategori Kelainan Dalam Sistem Imum
Kelainan/status imunopatologik digolongkan dalam berbagai kelainan
imunologik yang mencakup:
1. Imunodefisiensi
Adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketidaan respon imun
normal. Imunodefisiensi dapat secara primer, yang pada umumnya di
dasar kelainan genetik yang diturunkan dan secara sekunder akibat
penyakit primer lainnya, misalnya infeksi, akibat penyakit primer
lainnya, misalnya infeksi, akibat pengobatan kemoterapi, sitostatika,
radiasi, imunosupresan. Di samping itu, yang kedua dapat disebabkan
karena kondisi fisik tertentu misalnya usia lanjut dan malnutrisi.
Imunodefisiensi primer
a. Agammaglobulinemia tipe bruton, yang terkait pada kromoson X ( X-
linked)
b. Common Variable immunodeficiency (CVI)
c. Defisiensi IgA selektif (Isolated
3
4
d. Sindroma di Goerge (Hipoplasia Timus)
e. Sindroma Wiskott-aldrich (Imunodefisiensi disertai trombositopenia
dan eksema
f. Penyakit imonudefisiensi gabungan yang berat (Severe Combined
Immunodeficiensy Disease=SCID)
g. Defisiensi sitsem komplemen
h. Cacat fungsi sitem fagosit
Imunodefisiensi sekunder
Kehilangan imunodefisiensi sekunder misalnya HIV (Human
Immunodeficiency Virus). Etiologi virus HIV yang tergolong retrovirus.
Patogenesis yang melibatkan sistem imun dapat dilihat dari masuknya
virus yang diawali dengan ikatan molekul gp 120 yang merupakan unsur
glikoprotein selubung virus, dengan molekul CD4 yang merupakan
reseptor spesifiknya. Molekul CD4 adalah molekul yang terdapat pada
permukaanlimfosit T penolong dan makrofag.
2. Reaksi Hipersensitivitas
a. Hipersensitivitas jenis I (anafilatik)
b. Hipersensitivitas jenis II (antibodi dependent)
c. Hipersensitivitas jenis III (immune complekx- mediated)
d. Penyakit kompleks imun sistemik penyakit serum
e. Penyakit kompleks imun lokal (reaksi Arthus)
f. Hipersensitivitas jenis IV (delayed/cytotoxic type cell mediated
hypersensitivity)
3. Penyakit Autoimun
Faktor-faktor yang berpengaruh pada perkembangan penyakit
autoimun. Penyakit autoimun timbul akibat patahnya toleransi kekebalan
diri dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersifat (multi faktor).
Faktor-faktor yang bersifat predisposisi dan/atau bersifat kontribusif
adalah genetik, kelamin, infeksi, sifat autoantigen, obat-obatan, dan umur
4. Penyakit imunoproliferatif
Penyakit imunoproliferatif adalah neoplasma sistem
5
C. Perbedaan Reaksi Hipersensitivitas
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya
menguntungkan bagi tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau
pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak
menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut hipersensitivitas
atau dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh
baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T.
Aktivitas berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan
menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi
hipersensitivitas (Arwin dkk, 2008).
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas
terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi
hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat
dibagi menurut berbagai cara (Baratawidjaja, 2009).
Menurut Robbins (2007) ada empat tipe. Tiga tipe (tipe I, II, III)
merupakan variasi pada cidera yang diperantarai oleh antibody, sedangkan
tipe IV diperantai oleh sel.
1. Tipe I (Reaksi Anapilataksis)
Gambar 2.1 Reaksi Anapilataksis
a. Reaksi hipersensitivitas tipe cepat.
b. Merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar antigen
spesifik yang dikenal sebagai allergen.
c. Ig yang berperan : Ig E.
6
d. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20
jam.
e. Contoh : asma, rinitis, dermatitis atopi, urtikaria, anafilaksis.
f. Ag merangsang sel B untuk membentuk Ig E dengan bantuan sel
Th. Ig E kemudian diikat oleh mastosit melalui reseptor Fc.
Bila terpajan ulang dengan Ag yang sama, maka Ag tersebut akan diikat
oleh Ig E yang sudah ada pada permukaan mastosit. Ikatan ag – Ig E →
degranulasi mastosit. Degranulasi menyebakan pelepasan mediator
inflamasi primer dan sekunder.
1. Mediator inflamasi primer yaitu Histamin, yang merupakan mediator
primer terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskular,
vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus.
Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan
bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta faktor
kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan
dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral
(misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah
komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan
inflamasi tambahan (misalnya, C3a).
2. Mediator Sekunder yaitu Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen
vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasra
molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam
meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk
neutrofil, eosinofil, dan monosit.
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh
jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan
bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain,
mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin dan
bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk neutrofil
dan eosinofil.
7
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6)
dan kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I
melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam
sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi,
emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor
pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE
oleh sel B.
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas
tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A=
eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah
satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam
granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF
= neotrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian
merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang
berperan pada reaksi tipe I (Arwin dkk, 2008).
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu
fase cepat dan fase lambat.
a. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat, yaitu reaksi
hipersensitivitas yang terjadi beberapa menit setelah pajanan
antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam
walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi.
b. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya
reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar
diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang
menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi
alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase
cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan
sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi.
Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan
permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.
8
2. Tipe II
Gambar 2.2 Reaksi Sitotoksik
a. Merupakan reaksi Sitotoksik atau sitolitik
b. Contoh : reaksi transfusi, AHA, Reaksi obat, Sindrom Good posture,
miastenia gravis, pemvigus.
c. Adanya Ag yang merupakan bagian sel pejamu,menyebabkan
dibentuknya AB Ig G / Ig M → mengaktifkan sel K yang memiliki
reseptor Fc sebagai efektor ADCC.
d. Ikatan Ag-Ab → aktifkan komplemen → lisis.
Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai
reseptor untuk Fc
3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen
Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik yaitu
Reaksi Transfusi
Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan
yaitu A, B, AB dan O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung
antibodi (anti B berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B,
darah golongan B mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang
mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak
mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O
9
mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit
golongan A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.
Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi.
Bentuk yang paling sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada
ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi
yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan reaksi alergi
seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat
membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem yang
lepas.
Reaksi Antigen Rhesus
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat
pada bayi baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah
Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah
Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu
waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk anti
Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian.
Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada
permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis.
Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan
reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus
dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan
dalam usaha menyelamatkan bayi.
Anemia Hemolitik autoimun
Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang
membentuk Ig terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via
reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang
dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin, tergantung dari suhu yang
dibutuhkan untuk aglutinasi.
Antibiotik tertentu seperti penicilin, sefalosporin dan streptomisin dapat
diabsorbsi nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk
kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa antibodi
10
yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen
menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif (Baratawidjaja, 2009).
Reaksi Obat
Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit
yang menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid
dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan
menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat
mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah
merah.
Sindrom Goodpasture
Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan
membran basal glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal
dan paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat pada
imunoflouresen.
Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran
paru. Dalam penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian steroid,
imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan transplantasi.
3. Tipe III
Gambar 2.3 Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
a. Reaksi kompleks imun
Co : SLE(Autoimun), Farmer’s lung, demam reumatik, artritis
reumatoid.
11
b. Komplex Ag.AB (Ig G / Ig M) yang tertimbun dalam jaringan →
mengaktifkan komplemen → melepaskan MCF → makrofag ke
daerah tsb → melepaskan enzim → merusak jaringan.
c. Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks
tersebut terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ ,
atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau
kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada tempat
khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya
jejas jarungan adalah sama; namun, urutan kejadian dan kondisi yang
menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda. Pada keadaan
normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke
hati, limpa dan di sana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear,
terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada
umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat
dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut
sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam
sirkulasi. Diduga bahwa ganggua fungsi fagosit merupakan salah satu
penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun
kompleks imun berada dalam sirkulasi untuk jangka waktu yang lama,
biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks
imun tersebut mengendap di jaringan (Baratawidjaja, 2009).
d. Penyakit oleh kompleks imun
Tabel 2.1 Jenis Penyakit Kompleks Imun
Penyakit Spesifitas antibodi Mekanisme
Manifestasi
klinopatologi
Lupus
eritematosus DNA, nukleoprotein
Inflamasi
diperantarai
komlplemen dan
reseptor Fc
Nefritis,
vaskulitis,
arthritis
Poliarteritis
nodosa
Antigen permukaan
virus hepatitis B
Inflamasi
diperantarai
Vaskulitis
12
komplemen dan
reseptor Fc
Glomreulone
fritis post-
streptokokus
Antigen dinding sel
streptokokus
Inflamasi
diperantarai
komplemen dan
reseptor Fc Nefritis
(Abbas,2004)
5. Tipe IV
Gambar 2.4 Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
a. Reaksi Hipersensitivitas lambat : > 24 jam
Contoh : reaksi Jones Mote, hipersensitivitas kontak, Reaksi
tuberkulin, Reaksi granuloma.
b. Akibat respon sel T yang sdh disensitisasi Ag → dilepaskan limfokin
( MIF, MAF) → makrofag yg diaktifkan → merusak jaringan.
c. Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan
asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus,
mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat menembus
kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier.
Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen
yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah
13
karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini
menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target).
d. Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini
ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis,
lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur
(candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis,
schitosomiasis).
e. Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit
T, termasuk sel T CD4+ dan CD8+. Sel T CD4+ yang memediasi
hipersensitivitas ini dapat mengakibatkan inflamasi kronis. Banyak
penyakit autoimun yang diketahui terjadi akibat inflamasi kronis yang
dimediasi oleh sel T CD4+ ini. Dalam beberapa penyakit autoimun sel
T CD8+ juga terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus maka
yang lebih dominan adalah sel T CD8+ (Abbas, 2004)
f. Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ yang merupakan
kategori hipersensitivitas reaksi lambat terhadap antigen eksogen.
Reaksi imunologis yang sama juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi
kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17 keduanya
berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ-spesifik yang dimana
inflamasi merupakan aspek utama dalam patologisnya. Reaksi
inflamasi yang berhubungan dengan sel TH1 akan didominasi oleh
makrofag sedangkan yang berhubungan dengan sel TH17 akan
didominasi oleh neutrofil (Abbas, 2004)
g. Reaksi yang terjadi di hipersensitivitas ini dapat dibagi menjadi
beberapa 2 tahap: Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+ sel T CD4+
mengenali susunan peptida yang ditunjukkan oleh sel dendritik dan
mensekresikan IL2 yang berfungsi sebagai autocrine growth factor
untuk menstimulasi proliferasi antigen-responsive sel T. Perbedaan
antara antigen-stimulated sel T dengan TH1 atau Th17 adalah terrlihat
pada produksi sitokin oleh APC saat aktivasi sel T. APC (sel dendritik
dan makrofag) terkadang akan memproduksi IL12 yang menginduksi
diferensiasi sel T menjadi TH1. IFN-γ akan diproduksi oleh sel TH1
14
dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin seperti IL1,
IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- β
untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi TH17. Beberapa dari
diferensiasi sel ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di
memory pool selama waktu yang lama (Abbas, 2004).
h. Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan
antigen yang berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen
yang dipresentasikan oleh APC. Sel TH1 akan mensekresikan sitokin
(umumnya IFN-γ) yang bertanggung jawab dalam banyak manifestasi
dari hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi makrofag yang akan
memfagosit dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai
sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul
MHC II, yang memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut.
Makrofag juga mensekresikan TNF, IL1 dan kemokin yang akan
menyebabkan inflamasi. Makrofag juga memproduksi IL12 yang akan
memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme tersebut akan
mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi
tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi kan
berlanjut dan jaringan yang luka akan menjadi semakin luas. TH17
diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan bisa juga oleh self-
antigen dalam penyakit autoimun. Sel TH17 akan mensekresikan
IL17, IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain. Kemokin ini akan
merekrut neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses
inflamasi. TH17 juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat
proses Th17 sendiri (Abbas, 2004).
i. Reaksi sel T CD8+ sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa
antigen. Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting
dari banyak penyakit yang dimediasi oleh sel T, sepert diabetes tipe I.
CTLs langsung melawan histocompatibilitas dari antigen tersebut
yang merupakan masalah utama dalam penolakan pencakokan.
Mekanisme dari CTLs juga berperan penting untuk melawan infeksi
virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan memperlihatkan molekul
15
MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T CD8+.
Pembunuhan sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya
infeksi tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan sel (Abbas,
2004).
j. Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi
oleh sel T melibatkan perforins dan granzymes yang merupakan
granula seperti lisosom dari CTLs. CTLs yang mengenali sel target
akan mensekresikan kompleks yang berisikan perforin , granzymes,
dan protein yang disebut serglycin yang dimana akan masuk ke sel
target dengan endositosis. Di dalam sitoplasma sel target perforin
memfasilitasi pengeluaran granzymes dari kompleks. Granzymes
adalah enzim protease yang memecah dan mengaktivasi caspase, yang
akan menginduksi apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga
mengekspresikan Fas Ligand, molekul yang homolog denga TNF,
yang dapat berikatan dengan Fas expressed pada sel target dan
memicu apoptosis. Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-γ)
yang terlibat dalam reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap
infeksi virus dan terekspos oleh beberapa agen kontak (Abbas, 2004).
D. Mekanisme - Mekanisme yang Beresiko Menyebabkan Penyakit
Autoimun
Penyakit autoimun terjadi karena gangguan pada toleransi terhadap diri
sendiri (self-tolerance) yaitu suatu keadaan non responsif yang normal
terhadap antigen-diri sendiri.
1. Toleransi Imunologik, toleransi dapat bersifat sentral atau perifer:
a. Toleransi sentral: Banyak anti-gen sendiri (self-antigen) diekspresikan
dalam kelenjar timus dan disampaikan oleh APCs kelenjar timus
bersama dengan molekul HLA. Klon sel-T dengan reseptor sel-T yang
memiliki afinitas tinggi untuk antigen-diri sendiri dihapus dalam
kelenjar timus selama perkembagannya. Seleksi negatif yang serupa
juga terjadi selama perkembangan sel-B. Akan tetapi, delesi klon tidak
sempurna, dan banyak sel B normal yang bereaksi terhadap antigen-diri
16
sendiri (misalnya DNA, mielin, kolagen dan tiroglobulin) dapat
ditemukan dengan imunoglobulin permukaan.
b. Toleransi perifer: Sel T autoreakti yang bisa menghindari delesi
kelenjar timus dapat dihilangkan atau dibuat inaktif di dalam jaringan
perifer lewat sala satu mekanisme berikut ini:
Anergi: Inaktivasi fungsional sel T yang ireversibel dapat terjadi ketika
sel tersebut mengenali antigen sendiri tanpa adanya sinyal kostimulasi
yang diperlukan dari sel parenkim yang normal.
Supresi oleh sel T regulator: Sel T regulator (terutama dikenali lewat
ekspresi konstitutif CD4 dan rantai α pada reseptor IL2 (CD25) dapat
menghambat aktivasi limfosit dan fungsi efektor dengan mensekresikan
sitokin seperti IL10 serta TGF-β (transforming growth factor-β).
Delesi klonal karena kematian sel yang ditimbulkan oleh aktivasi:
Antigen-diri sendiri yang berlimpah di dalam jaringan perifer dapat
menyebabkan aktivasi sel T swareaktif yang persisten sehingga terjadi
ekspresi FasL pada sel ini. Sel tersebut kemudian melakukan apoptosis
lewat pengikatan Fas yang menglami ko-ekspresi pada sel ini.
Sekuestrasi antigen: Tempat yang memiliki keistimewaan dalam hal
imunitas seperti testis, mata dan otak dapat melakukan sekuestrasi
antigen jaringan yang melewati sawar darah-otak yang relatif tidak
permeabel.
2. Mekanisme Penyakit Autoimun
Karena sel T-helper mengendalikan imunitas selular maupun humoral,
toleransi sel T-helper dianggap sangat penting bagi pencegahan penyakit
autoimun. Ada lebih dari satu jalur yang memungkinkan toleransi dapat
dipintas, dan semua jalur tersebut meliputi kombinasi gen suseptibilitas
serta pemicu dari lingkungan (khususnya infeksi).
a. Peranan gen suseptibilitas
Meskipun penyakit autoimun yang multipel sangat berkaitan
dengan alel HLA yang spesifik, tetapi eskpresi molekul HLA tertentu
tidak dengan sendirinya menjadi penyebab autoimunitas. Defek pada
jalur yang secara normal akan mengatur toleransi sentral atau perifer
17
juga ikut terlibat; jadi, defek pada jalur Fas-FasL atau molekul-molekul
lain yang terlibat dalam proses kematian yang ditimbulkan oleh aktivasi
dapat mencegah apoptosis sel T autoreaktif. Perkembagnan sel T
regulator yang cacat atau ekspresi antigen sendiri yang cacat oleh
epitelium kelenjar timus juga merupakan jalur yang dapat dipintas
toleransi. Sebagian besar penyakit autoimun pada manusia memiliki
pola suseptibilitas atau kerentanan yang kompleks, multigenik dan tidak
dapat dikaitkan hanya dengan mutasi gen yang tunggal.
b. Peranan infeksi
Onset banyak penyakit autoimun secara temporer berkaitan dengan
infeksi. Hal ini dapat terjadi karena infeksi meningkatkan ekspresi
molekul kostimulator pada APCs dan mengatasi jalur toleransi perifer.
Infeksi dapat pula mengganggu toleransi lewat mikikri molekular di
tempat agen penyebab infeksi berbagai epitop dengan antigen sendi;
karena itu, respons imun terhadap epitop tersebut dapat pula merusak
jaringan tubuh yang normal. Jejas jaringan yang terjadi dalam proses
respons terhadap infeksi dapat mengubah struktur antigen sendiri atau
melepaskan antigen sendiri yang normal; molekul-molekul ini dapat
mengaktifkan sel-sel T yang tidak toleran terhadap antigen yang sudah
berubah atau terhadap antigen tersembunyi sebelumnya.
Begitu terinduksi, penyakit autoimun cenderung bersifat progresif
(sekalipun dalam perjalanannya akan terjadi beberapa relaps dan
remisi). Mekanisme yang penting untuk terjadinya persistensi dan
evolusi autoimunitas adalah fenomena penyebaran epitop. Struktur
molekular antigen sendiri tertentu normalnya mencegah pemajanan
beberapa epitop sendiri terhadap sel-sel T yang berkembang; dengan
demikian, sel-sel T tidak dibuat toleran terhadap epitop yang bersifat
kriptic tersebut. Akan tetapi, jika epitop tersebut dapat dikenali dalam
kehidupan pascanatal akibat perubahan melekular pada antigen sendiri,
sel T yang reaktif terhadap epitop semacam ini dapat menimbukan
autoimunitas yang persisten. Fenomena tersebut dinamakan penyebaran
18
epitop karena respons imun menyebar kepada determinan yang pada
awalnya tidak dikenali.
Dalam Pringgoutomo mekanisme koordinasi kerja sel dan mediator pada
respon imun ada dua yaitu:
a. Respon imun humoral
Antigen akan diproses oleh makrofag, sel dendritik atau sel
Langerhans, dan kemudian disajikan kepada sel T. Sel T akan
tersensitisasi oleh antigen, kemudian menjadi aktif mengeluarkan
limfokin-limfokin. Interleukin 1 (IL-1) dibentuk oleh makrofag dan IL-
2 dibentuk oleh sel T, yang merangsang proses diferensiasi dan
proliferasi sel B. Sel plasma, yaitu hasil akhir proses diferensiasi sel B,
membentuk dan mengeluarkan antibodi spesifik. Secara selektif
antibodi spesifik akan berkaitan dengan antigen dan terjadi proses
netralisasi antigen (termasuk mikroba atau toksin kuman) atau lisi
kuman atau sel, atau memacu makrofag untuk melakukan fagositosis
setelah antigen dilapisi oleh antibodi (proses opsonisasi). Antibodi yang
menyelubungi antigen atau sel juga dapat mamacu aktifasi komplemen
sehingga dapat melisiskan sel atau antigen.
b. Respon imun selular
Sel Th yang dirangsang oleh antigen akan mengeluarkan sitokin
berupa IL2 yang bersifat memacu proliferasi sel Th sendiri secara
autokrin. Sel Tc juga dapat dipacu untuk membunuh sel atau antigen
melalui reaksi antara reseptor Fc di permukaan Tc dan fragmen Fc
molekul imunoglobulin (antibodi) yang telah melapisi sel sasaran
(reaksi ADCC = antibody dependent cellular cytotoxicity).
E. Patofisiologi Umum Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun terjadi karena sistem imum gagal membedakan antara
antigen asing dan antigen diri serta melakukan serangan yang merusak satu
atau lebih jaringan tubuh sendiri. Keadaan ini menyebabkan terjadinya
kegagalan toleransi. Keadaan dimana sistem imun gagal untuk mengenal dan
toleran terhadap antigen diri yang berkaitan dengan jaringan tertentu disebut
19
penyakit autoimun. Identifikasi dan toleransi sel antigen terbentuk sejak
perkembangan embrio. Selama masa ini, agressif dan toleransi sel reaktif
( autoreaktif) limfosit dihilangkan atau ditekan.
Umumnya, Sel B dan T limfosit berperan sebagai mediator spesifik
adaptasi imun. Sel B berfungsi sebagai mediator humoral yang memproduksi
antibody sedangkan sel T berfungsi untuk mengenali antigen asing di dalam
sel serta menghancurkan antigen yang terinfeksi virus atau kanker. Untuk
mencapai kekebalan terhadap antigen spesifik harus mampu mengenali dan
jangkauan besar antigen asing namun tidak akan kembali aktif pada jaringan
sel. Perbedaan antara sel dan bukan sel dirinya membutuhkan proses
pembangunan limfosit kompleks di mana limfosit reaktif diri dihancurkan
dan limfosit yang mungkin bermanfaat dipelihara. Protein MHC memiliki
peran utama dalam memungkinkan limfosit untuk bereaksi terhadap antigen
asing, namun tetap toleran terhadap antigen diri. Tetapi toleransi sel ini tidak
selalu efektif dan dapat mengalami kegagalan yang menyebabkan terjadinya
penyakit autoimun. Kegagalan toleransi disebabkan oleh;
1. Terpajan dengan antigen diri yang dalam keadaan normal tidak dapat
diakses memicu serangan imun terhadap antigen-antigen tersebut.
Keadaan tidak pernah terpajan dengan antigen tersembunyi menyebabkan
sistem imun tidak belajar toleran terhadap mereka. Pajanan secara tidak
sengaja pada antigen tersembunya dapat disebabkan oleh cedera atau
kerusakan jaringan sehingga memicu serangan imun cepat pada jaringan
yang terkena, seolah-olah protein ini adalah benda asing.
2. Antigen diri mungkin mengalami modifikasi oleh factor-faktor seperti
obat, bahan kimia lingkungan, virus, atau mutasi genetic sehingga tidak
lagi dapat dikenal dan ditoleransi oleh sistem imun.
3. Terpajannya sistem imun ke suatu antigen asing yang secara structural
hampir identik dengan suatu antigen diri, dapat memicu produksi antibody
atau mengaktifkan limfosit T yang tidak sengaja berinteraksi dengan
antigen asing tersebut tetapi juga bereaksi silang dengan antigen tubuh
yang mirip tersebut ( mimikri molekul).
20
4. Penyakit ini juga lebih banyak pada wanita karena berkaitan dengan
kehamilan. Sel janin yang dapat akses ke dalam darah ibu sewaktu trauma
persalinan dan kelahiran, kadang beredar di dalam darah ibu selama
beberapa decade. Dan sistem imun biasanya membersihkan sel-sel ini dari
tubuh ibu. Tetapi sel-sel janin bisa mengalami persisten dan menetap
sebagai antigen asing. Antigen yang serupa atau mirip dengan antigen ibu
dapat tersamar dan berbalik menyerang antigen-antigen ibu yang mirip.
F. Contoh Penyakit Autoimun dan Penyakit Karena Mekanisme
Hipersensitivitas
1. Contoh Penyakit Autoimun
a. Systemic Lupus Erythematosus (Sle)
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit
inflamasi kronik yang idiopathic, mengenai kulit, sendi, ginjal, paru-
paru, membrana serosa, sistem saraf, hati dan berbagai organ tubuh
yang lain. Seperti penyakit autoimun yang lain kejadiannya ditandai
oleh periode remisi dan relaps. Gejala yang paling sering ditemukan
adalah kelelahan. Demam, penurunan berat badan, myalgia dan
arthralgia juga merupakan gejala yang sering ditemukan.
Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan
dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi yang beredar dalam
sirkulasi. Sejumlah antibodi dikenali berhubungan dengan kejadian
SLE, yang terutama adalah antinuclear antibodi (ANA). Dahulu
dikenali faktor serum yang menyebabkan fenomena lupus
erythematosus (LE), suatu autoantibodi yang diketahui melawan
nukleoprotein (DNA-histone), namun saat ini fenomena sel LE tidak
penting untuk diagnosis dan sudah digantikan oleh pemeriksaan
immunofluorescent terhadap ANA yang berperan sebagai uji saring
dalam diagnostik awal terhadap penderita yang dicurigai mengidap
SLE.
b. Antiphospholipid Syndrome (Aps)
21
Adalah suatu keadaan autoimun yang ditandai dengan produksi
antibodi antiphospholipid dalam kadar sedang sampai tinggi dan
dengan gambaran klinis tertentu seperti trombosis (vena maupun
arteri termasuk stroke), trombositopenia autoimun dan abortus.
Kemungkinan terjadinya APS lebih sering pada penderita dengan
penyakit autoimun seperti SLE disebut APS sekunder, namun dapat
pula terjadi pada wanita yang tidak mempunyai penyakit autoimun
(APS primer). Pemeriksaan laboratorium APS masih sulit dan
membingungkan, kendalanya karena hanya sedikit laboratorium
yang dapat melakukan pemeriksaan dengan kualitas yang baik.
Pemeriksaan antibodi antiphospholipid dan lupus anticoagulant (LA)
harus dilakukan bersama berhubung karena hanya 20% penderita
APS yang dengan lupus anticoagulant positif. Pada tahun 1987 telah
dibuat kesepakatan pada International Anti-Cardiolipin Workshop
mengenai interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium yang
dilaporkan secara semikuantitatif dan dibagi menjadi, negatif, positif
rendah, positif sedang dan positif tinggi. Pemeriksaan yang
dilakukan adalah IgG aCL, IgM aCL dan IgA aCL. Mayoritas
penderita APS mempunyai LA dan IgG aCL.
Beberapa peneliti memperkirakan bahwa LA dan aCL
merupakan immunoglobulin yang sama yang dideteksi dengan
metode pemeriksaan yang berbeda sebab mereka menemukan bahwa
pada penderita APS ditemukan salah satu dari LA atau aCL namun
tidak pernah menemukan keduanya bersamaan. Pemeriksaan lain
yang ditawarkan saat ini adalah b2-glycoprotein I (b2-GPI) yang
relevan dengan antigen aPL. Banyak peneliti saat ini meyakini
bahwa aPL bekerja melawan glycoprotein ini atau lebih mungkin
terhadap glycoprotein ini dan phospholipid, namun belum ada bukti
bahwa pemeriksaan ini mempunyai informasi diagnostik yang lebih
baik dari pemeriksaan LA dan aCL.
22
Tabel 2.2 Kriteria klinis untuk sindroma antiphospholipid
Kriteria diagnostik
Ditemukan satu atau lebih :
Thrombosis vena / arteri
Abortus berulang
Persalinan prematur sebelum 34 minggu yang berhubungan dengan
preeklamsia atau PJT
Gambaran klinis lain
Trombositopenia dan anemia hemolititk
Livedo reticularis
Gangguan di otak khusunya epilepsi, infark otak, chorea dan
migrain
Penyakit katup jantung khususnya katup mitral
Hipertensi
Hipertensi pulmonal
Ulkus di tungkai bawah
c. Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit arthritis yang kronik
pada sendi synovial. Penyakit ini mengenai sendi pergelangan
tangan, lutut, bahu, metakarpal-phalangeal dengan perlangsungan
progresif lambat yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi.
Sampai sekarang etiologinya belum diketahui, pada pemeriksaan
histologi tampak synovial diinflitrasi oleh sel-sel inflamasi
khususnya limfosit. Ditemukan anti bodi yang khas disebut
rheumatoid factor yang bereaksi dengan antigen membentuk
kompleks imun yang ditemukan pada synovial dan cairan pleura.
Kerusakan inflamasi yang terjadi pada synovial menimbulkan
perubahan erosif yang khas pada sendi.
d. Systemic Sclerosis
Merupakan penyakit yang jarang, dikenal pula dengan nama
lain scleroderma, yang ditandai dengan fibrosis kulit, pembuluh
darah dan organ viscera yang progresif. Penyebabnya belum
23
diketahui, namun target utama dari penyakit ini adalah sel endotel,
suatu faktor serum yang toksik terhadap endotel telah ditemukan
pada beberapa penderita.
Gambaran klinisnya bervariasi dan morbiditas penyakit ini
tergantung pada luasnya permukaan kulit dan organ dalam yang
terkena. Sering ditemukan fenomena Raynauld khususnya pada
pasien dengan sindroma CREST (calcinosis pada kulit, fenomena
Raynauld, dismotilitas esofagus, sclerodactyly dan telangiectasis).
Penderita dengan penyakit yang difus akan menampakkan gejala
arthritis pembengkakan tangan dan jari serta penebalan kulit yang
dimulai pada jari dan tangan dan bisa meluas ke muka dan leher.
Pada kelainan yang berat maka permukaan kulit yang terkena lebih
luas dan terjadi deformitas pada tangan dan jari. Fenomena Raynauld
dan kerusakan organ dalam yang terkena menandakan adanya
fibrosis arteriole dan arteri-arteri kecil, sehingga bila terjadi respons
vasokonstriksi karena berbagai rangsangan seperti udara yang dingin
akan menyebabkan obliterasi pembuluh darah yang komplit.
Pada sebagian besar penderita ditemukan ANA (anti-nuclear
antibody) namun anti-ANA tidak ditemukan, hampir setengah
penderita mempunyai serum cryoglobulin. Antibodi terhadap
centromere ditemukan pada penderita dengan sindroma CREST
namun tidak ditemukan pada kelainan yang difus.
e. Myasthenia Gravis
Myasthenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai
oleh kelemahan dari otot wajah, orofaringeal, ekstraokuler dan otot
anggota gerak. Kelemahan dari otot-otot wajah dapat menyebabkan
kesukaran untuk tersenyum, mengunyah dan berbicara. Tanda utama
dari penyakit ini adalah peningkatan kelemahan otot pada aktivitas
otot yang berulang. Merupakan penyakit yang jarang dengan insiden
1 per 100.000, wanita dua kali lebih banyak dibanding pria.
Penyebabnya diduga karena serangan autoimun terhadap reseptor
asetilkolin pada neuro-muscular junction. Antibodi terhadap reseptor
24
asetilkolin atau receptor-decamethonium complex (anti-AchR)
ditemukan dalam serum dari tigaperempat penderita Myasthenia
gravis (MG).
Abnormalitas thymus juga ditemukan pada sebagian besar
penderita MG, sekitar 75% dengan hiperplasia folikel kelenjar dan
10-15% dengan tumor thymic jenis lymphoblastic atau epithelial.
Tindakan thymectomy menyebabkan remisi dan perbaikan pada
masing-masing 35% dan 50% penderita sehingga diduga MG
berhubungan dengan serangan autoimun terhadap antigen pada
thymus dan motor endplate atau abnormal clone dari sel-sel imun di
thymus.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis dan prosedur konfirmasi diagnostik, dengan pemberian
antikolinesterase kerja pendek (endrophonium) 210 mg intravena
maka kekuatan otot secara dramatis dapat dipulihkan. Tes lain yang
lebih canggih dengan elektromyografi serabut tunggal dan
pemeriksaan rangsangan saraf berulang.
2. Penyakit Karena Mekanisme Hipersensitivitas
a. Tipe I : Anafilakti
Antigen bereaksi dengan antibodi IgE yang terikat ke
permukaan sel mast; menyebabkan pelepasan mediator dan efek
mediator Uji gores alergi yang positif.
Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang bersifat akut, menyeluruh
dan bisa menjadi berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang
sebelumnya telah mengalami sensitisasi akibat pemaparan terhadap
suatu alergen. Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan
alergen. Pada pemaparan kedua atau pada pemaparan berikutnya,
terjadi suatu reaksi alergi. Reaksi ini terjadi secara tiba-tiba, berat
dan melibatkan seluruh tubuh. Alergi saluran napas dan juga bisa
serangga
25
b. Tipe II : Sitotoksik
Antibodi berikatan dengan antigen yang merupakan bagian dari
sel atau jaringan tubuh; terjadi pengaktifan komplemen, atau
fagositosis sel sasaran dan mungkin sitotoksisitas yang diperantarai
oleh sel yang dependen-antibodi.
1) Anemia hemolitik imun
2) Sindrom goodpasture
c. Tipe III : Kompleks Imun
Penyatuan antigen dan antibodi membentuk suatu kompleks
yang mengaktifkan komplemen, menarik leukosit dan menyebabkan
kerusakan jaringan oleh produk-produk leukosit.
1) Serum sickness
2) Beberapa bentuk glomerulonefritis
3) Lesi pada lupus eritematosus sistemik
d. Tipe IV
Diperantarai Sel Reaksi limfosit T dengan antigen menyebabkan
pelepasan limfokin, sitotoksisitas langsung dan pengerahan sel-sel
reaktif.
1) Dermatitis kontak alergi
2) Penolakan alograf
3) Lesi/uji kulit tuberkulosis
G. Pengkategorian Imunodefisiensi.
Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau
ketiadaaan respon imun normal. Pasien dengan imunodefisiensi menunjukkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan bentuk kanker. Jenis infeksi
pada seorang pasien tergantung pada komponen sistem imun yang terkena.
Berdasarkan etiologinya imunodefisiensi dibagi 2 yaitu :
1. Imunodefisiensi Primer
Keadaan imunodefisiensi primer jarang terjadi / langka, bersifat
genetik dan mempengaruhi imunitas spesifik (humoral atau seluler
imunitas adaptif ) ataupun mekanisme pertahanan penjamu non spesifik
26
yang diperantarai oleh protein komplementer dan sel seperti sel fagosit
dan NK. Terutama ditemukan pada bayi & anak-anak berusia 6 bulan –
2 tahun. Gejala timbul pada awal kehidupan, setelah perlindungan oleh
antibody maternal menurun yang ditandai dengan timbulnya infeksi
recurrent, jenis kuman penyebab tergantung dari defek yang menyertai.
Tanpa terapi, jarang yg bisa bertahan hidup sampai dewasa.
2. Imunodefisiensi sekunder
Imunodefisiensi sekunder lebih sering / umum terjadi dibanding
dengan imunodeisiensi primer. Tidak bersifat genetik dan merupakan
akibat dari proses penyakit yg mendasari. Penyebab umum: malnutrisi,
stres kronik, luka bakar, uremia, diabetes mellitus, kelainan autoimun,
virus tertentu, kontak dengan obat/ zat kimia yg imunotoksik, &
penggunaan sendiri obat & alcohol. Beberapa keadaan imunodefisiensi
ini disebabkan oleh hilangnya immunoglobulin ( pada penyakit ginjal
proteinurik ), sisntesis immunoglobulin yang tidak memadai ( pada
malnutrisi ), atau deplesi limfosit ( karena obat atau infeksi yang berat ).
Imunodefisiensi juga dapat dibedakan berdasarkan komponen sel imun yang
terjangkit, misalnya defisiensi imunitas humoral ( sel B ), defisinesi
imunitas seluler ( sel T ), defisisnsi imunitas humoral dan seluler ( sel B dan
sel T ), defisiensi komplemen dan defisiensi sistem fagositik.
H. Gambaran Klinik dari Imunidefesiensi
1. Imunodefisiensi Primer menunjukkan gejala kliniknya pada masa anak –
anak yaitu antara usia 6 bulan – 2 tahun dan berwujud sebagai infeksi yang
berulang.
a. Agammaglobulinemia tipe Bruton,yang terkait pada kromosom X ( X –
linked)
Merupakan defisiensi system imunitas humoral ,yang paling sering
di temukan pada umumnya hanya laki – laki. Penyakit ini di turunkan
melalui kromosom X. Mekanismenya adalah berkurangnya sel limfosit
B pada darah tepi dan organ imun perifer spt tonsil,limpa.
27
Tanda dan gejala :
1) infeksi berulang misalnya : Konjungtivitis, Otitis media,
Faringitis, Bronchitis, Pneumonia dan Infeksi kulit
2) Penyakit autoimun misalnya : Artritis rheumatoid, Lupus
eritematosus, Dermatomiositis
Pemeriksaan darah menunjukkan tidak adanya limfosit B dan
immunoglobulin
b. Common variable immunodeficiency (CVI)
Defisiensi immunoglobulin yang bervariasi,( bisa primer/skunder).
Pada kelainan ini secara umum jumlah sel B cukup namun terdapat
cacat pada proses diferensiasi atau fungsi terminalnya. Cacat tersebut
dapat berupa kegagalan sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma
sehingga pembentukan immunoglobulin kurang memadai jumlahnya .
walaupun set T penolong memadai dan sel T penekan di tiadakan, sel B
tetap tidak mampu membentuk Imunoglobulin . sering di temukan
mutasi gen. mekanisme lainnya adalah fungsi abnormal sel T
penolong , dimana pembentukan limfokin yang merangsang
pembentukan imunoglobin yaitu IL2 dan IFN gamma,kurangnya
jumlah atau karena jumlah sel T penekan meningkat. Di temukan pada
laki – laki dan perempuan pada usia lebih muda dan dewasa. Tanda dan
gejala :
1) Menunjukkan infeksi bakteri yang berulang
2) Rentan terhadap infeksi entero virus,virus herpes zoster,dan diare
persisten akibat giardiasis
3) Cenderung menderita penyakit autoimun
4) Keganasan sel limfoid
5) Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah limfosit yang cukup,
namun sel plasma kurang
6) Hipogammaglobulinemia
c. Defisiensi IgA selektif (Isolated IgA deficiency)
28
Kelainan ini banyak di temukan pada orang kulit putih. Dapat
terjadi secara familiar atau sekunder akibat infeksi campak, toxoplasma
atau virus lainnya. Mekanisme yang mendasari adalah cacat pada proses
diferensiasi sel B pembentuk IgA. Pada kebanyakan penderita jumlah
sel b pembentuk Iga cukup banyak, tetapi menunjukkan fenotip yang
imatur yaitu di tandai dengan koekspresi dengan IgD dan IgM, sehingga
hanya sebagian dari sel B tersebut yang dapat berdiferensiasi menjadi
sel plasma. Tanda & gejala :
1) Bisa asimtomatik
2) Infeksi berulang pada daerah mukosa seperti ; pernafasan, saluran
cerna, dan urogenital
3) Cenderung mengalami alergi dan autoimun
d. Sindroma DieGeorge ( hipoplasia timus)
Kelainan ini di sebabkan oleh kegagalan perkembangan kantong
faringeal ke 3 dan 4 pada masa embrional sekitar minggu ke 8 masa
kehamilan. Akibatnya terjadi hipoplasia atau aplasia kelenjar timus dan
paratiroid, serta malformasi jantung dan pembuluh darah besar, bentuk
mulut ,hidung dan muka juga bisa abnormal. Tanda dan gejala :
1) Rentan terhadap infeksi virus dan jamur di sertai tetani akibat aplasia
kelenjar tiroid
2) Pemeriksaan darah tepi : limfosit tidak ada
e. Sindroma Wiskott-Aldrich ( Imunudeficiency di sertai trombositopenia
dan eksema )
Kelainan ini bersifat X – linked recesivve . mekanisme yang
mendasari kelainan ini adalah cacat pada glinileonisasi protein
membrane dan cacat pada pematangan sel pokok hematopoetik.
Berkurangnya ekspresi protein membrane mis ; sialoprotein
diantaranya sialoprotein CD 43 yang biasanya terekspresi cukup pada
limfosit B dan T, makroag,netrofil dan trombosit. Tanda dan gejala :
1) Mengalami infeksi berulang
2) Rentan terhadap penyakit keganasan limfoid
3) Jumlah sel T menurun
29
4) Kadar immunoglobulin bervariasi : IgM rendah, IgG normal, IgE
meningkat
5) Menunjukkan pembentukan antibody normal terhadap antigen
protein namun berespon buruk terhadap antigen polisakarida
f. Imunodefisiensi Gabungan yang berat ( severe combined
immunodeficiency dieases = SCID)
Merupakan kombinasi defisiensi imun seluler dan humoral. Ada 2
kelompok kelainan yaitu : yang di turunkan secara autosomal recessive
dan X – linked recessive. Tanda dan gejala :
1) Secara klinis menunjukkan kerentanan terhadap infeksi, jamur
maupun bakteri
2) Immunoglobulin pada darah tidak ada
3) Secara histopatologik kelenjar timus hipoplastik
g. Defisiensi system komplemen
Merupakan substansi penting dalam reaksi radang dan respon imun
akan menyebabkan gangguan fungsi. Defisiansi C3 akan berdampak
pada kerentanan terhadap infeksi bakteri piogenik. Defisiensi Clq 2dan
4 rentan terhadap penyakit kompleks imun dan sirkulasi. Defisiensi C5-
8 akan menyebabkan rentan terhadap golongan Neiseria (gonore atau
meningokok). Tanda dan gejala : Pembengkakan pada kulit dan mukosa
yang berulang
h. Cacat fungsi system fagosit
Bermanifestasi sebagai radang granulomatosa yang di kenal
sebagai job syndrome dan beberapa kelainan congenital lainnya.
Gangguan ini menyebabkan kegagalan untuk melawan infeksi.
2. Imunodeficiency Sekunder
Merupakan penyakit dengan immunodeficiency yang menyerang
system imunitas dan susunan saraf pusat. Virus menyebar ke sel limfosit
lain sehingga terjadi fusi dari kedua sel. Di awali denganikatan molekul
gpl 20. Lisisnya sel yang mengandung CD4 mengakibatkan rasio sel CD4
+/CD8+ berkurang. Kualitas dan fungsi limfosit Th menurun. Pada SSP
30
berkaitan dengan monosit/ makrofag yang terinfeksi dengan strainHIV.
Tanda dan gejala :
a. Tahap dini / fase akut.
1) Viremia, ¯ CD4 + sel T
2) penyakit akut yang sembuh sendiri = 6 – 12 mg ,nyeri tenggorokan,
mialgia non spesifik, meningitis aseptik.
b. Tahap menengah, fase kronik
1) Keadaan laten secara klinis, replikasi rendah, CD4 + ¯ perlahan
2) Kel. Limfe.
3) Akhir tahap : demam, kemerahan kulit, kelelahan, viremi.
4) 7 – 10 tahun
c. Tahap akhir, fase krisis = AIDS.
1) Pertahanan ¯ cepat : CD4 + rendah, BB ¯, diare, inf. oportunistik,
keganasan sekunder.
2) AIDS : HIV (+) dan sel T CD4 + < 200 sel / Ul.