44
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Tujuan dan Fungsi Sistem Imun Sistem imun bertujuan untuk mempertahankan tubuh dari serangan mikroorganisme dan dapat melindungi tubuh. Sedangkan Fungsi-fungsi sistem imun yaitu : 1.Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit. Menghancurkan dan menghilangkan mikroorganisme atau subtansi asing seperti bakteri, parasit, jamur, virus serta tumor yang masuk ke dalam tubuh 2.Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak untuk perbaikan jaringan 3.Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal 4.Untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan komponen tubuh yang telah tua B. Pembagian/ Kategori Kelainan Dalam Sistem Imum Kelainan/status imunopatologik digolongkan dalam berbagai kelainan imunologik yang mencakup: 1. Imunodefisiensi Adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketidaan respon imun normal. Imunodefisiensi dapat secara primer, yang pada umumnya di dasar kelainan genetik yang diturunkan dan secara sekunder akibat penyakit primer lainnya, misalnya 3

Bab II imun

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Keperawatan

Citation preview

Page 1: Bab II imun

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Tujuan dan Fungsi Sistem Imun

Sistem imun bertujuan untuk mempertahankan tubuh dari serangan

mikroorganisme dan dapat melindungi tubuh.

Sedangkan Fungsi-fungsi sistem imun yaitu :

1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit. Menghancurkan dan

menghilangkan mikroorganisme atau subtansi asing seperti bakteri,

parasit, jamur, virus serta tumor yang masuk ke dalam tubuh

2. Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak untuk perbaikan

jaringan

3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal

4. Untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan

komponen tubuh yang telah tua

B. Pembagian/ Kategori Kelainan Dalam Sistem Imum

Kelainan/status imunopatologik digolongkan dalam berbagai kelainan

imunologik yang mencakup:

1. Imunodefisiensi

Adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketidaan respon imun

normal. Imunodefisiensi dapat secara primer, yang pada umumnya di

dasar kelainan genetik yang diturunkan dan secara sekunder akibat

penyakit primer lainnya, misalnya infeksi, akibat penyakit primer

lainnya, misalnya infeksi, akibat pengobatan kemoterapi, sitostatika,

radiasi, imunosupresan. Di samping itu, yang kedua dapat disebabkan

karena kondisi fisik tertentu misalnya usia lanjut dan malnutrisi.

Imunodefisiensi primer

a. Agammaglobulinemia tipe bruton, yang terkait pada kromoson X ( X-

linked)

b. Common Variable immunodeficiency (CVI)

c. Defisiensi IgA selektif (Isolated

3

Page 2: Bab II imun

4

d. Sindroma di Goerge (Hipoplasia Timus)

e. Sindroma Wiskott-aldrich (Imunodefisiensi disertai trombositopenia

dan eksema

f. Penyakit imonudefisiensi gabungan yang berat (Severe Combined

Immunodeficiensy Disease=SCID)

g. Defisiensi sitsem komplemen

h. Cacat fungsi sitem fagosit

Imunodefisiensi sekunder

Kehilangan imunodefisiensi sekunder misalnya HIV (Human

Immunodeficiency Virus). Etiologi virus HIV yang tergolong retrovirus.

Patogenesis yang melibatkan sistem imun dapat dilihat dari masuknya

virus yang diawali dengan ikatan molekul gp 120 yang merupakan unsur

glikoprotein selubung virus, dengan molekul CD4 yang merupakan

reseptor spesifiknya. Molekul CD4 adalah molekul yang terdapat pada

permukaanlimfosit T penolong dan makrofag.

2. Reaksi Hipersensitivitas

a. Hipersensitivitas jenis I (anafilatik)

b. Hipersensitivitas jenis II (antibodi dependent)

c. Hipersensitivitas jenis III (immune complekx- mediated)

d. Penyakit kompleks imun sistemik penyakit serum

e. Penyakit kompleks imun lokal (reaksi Arthus)

f. Hipersensitivitas jenis IV (delayed/cytotoxic type cell mediated

hypersensitivity)

3. Penyakit Autoimun

Faktor-faktor yang berpengaruh pada perkembangan penyakit

autoimun. Penyakit autoimun timbul akibat patahnya toleransi kekebalan

diri dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersifat (multi faktor).

Faktor-faktor yang bersifat predisposisi dan/atau bersifat kontribusif

adalah genetik, kelamin, infeksi, sifat autoantigen, obat-obatan, dan umur

4. Penyakit imunoproliferatif

Penyakit imunoproliferatif adalah neoplasma sistem

Page 3: Bab II imun

5

C. Perbedaan Reaksi Hipersensitivitas

Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya

menguntungkan bagi tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau

pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak

menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut hipersensitivitas

atau dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh

baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T.

Aktivitas berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan

menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi

hipersensitivitas (Arwin dkk, 2008).

Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas

terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi

hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat

dibagi menurut berbagai cara (Baratawidjaja, 2009).

Menurut Robbins (2007) ada empat tipe. Tiga tipe (tipe I, II, III)

merupakan variasi pada cidera yang diperantarai oleh antibody, sedangkan

tipe IV diperantai oleh sel.

1. Tipe I (Reaksi Anapilataksis)

Gambar 2.1 Reaksi Anapilataksis

a. Reaksi hipersensitivitas tipe cepat.

b. Merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar antigen

spesifik yang dikenal sebagai allergen.

c. Ig yang berperan : Ig E.

Page 4: Bab II imun

6

d. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20

jam.

e. Contoh : asma, rinitis, dermatitis atopi, urtikaria, anafilaksis.

f. Ag merangsang sel B untuk membentuk Ig E dengan bantuan sel

Th. Ig E kemudian diikat oleh mastosit melalui reseptor Fc.

Bila terpajan ulang dengan Ag yang sama, maka Ag tersebut akan diikat

oleh Ig E yang sudah ada pada permukaan mastosit. Ikatan ag – Ig E →

degranulasi mastosit. Degranulasi menyebakan pelepasan mediator

inflamasi primer dan sekunder.

1. Mediator inflamasi primer yaitu Histamin, yang merupakan mediator

primer terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskular,

vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus.

Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan

bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta faktor

kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan

dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral

(misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah

komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan

inflamasi tambahan (misalnya, C3a).

2. Mediator Sekunder yaitu Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen

vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasra

molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam

meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam menyebabkan

kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk

neutrofil, eosinofil, dan monosit.

Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh

jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan

bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus.

Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain,

mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin dan

bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk neutrofil

dan eosinofil.

Page 5: Bab II imun

7

Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6)

dan kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I

melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam

sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi,

emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor

pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE

oleh sel B.

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas

tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A=

eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah

satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam

granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF

= neotrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian

merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang

berperan pada reaksi tipe I (Arwin dkk, 2008).

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu

fase cepat dan fase lambat.

a. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat, yaitu reaksi

hipersensitivitas yang terjadi beberapa menit setelah pajanan

antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam

walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi.

b. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya

reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar

diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang

menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi

alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase

cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan

sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi.

Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan

permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.

Page 6: Bab II imun

8

2. Tipe II

Gambar 2.2 Reaksi Sitotoksik

a. Merupakan reaksi Sitotoksik atau sitolitik

b. Contoh : reaksi transfusi, AHA, Reaksi obat, Sindrom Good posture,

miastenia gravis, pemvigus.

c. Adanya Ag yang merupakan bagian sel pejamu,menyebabkan

dibentuknya AB Ig G / Ig M → mengaktifkan sel K yang memiliki

reseptor Fc sebagai efektor ADCC.

d. Ikatan Ag-Ab → aktifkan komplemen → lisis.

Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :

1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence

2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai

reseptor untuk Fc

3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen

Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik yaitu

Reaksi Transfusi

Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan

yaitu A, B, AB dan O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung

antibodi (anti B berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B,

darah golongan B mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang

mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak

mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O

Page 7: Bab II imun

9

mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit

golongan A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.

Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi.

Bentuk yang paling sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada

ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi

yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan reaksi alergi

seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat

membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem yang

lepas.

Reaksi Antigen Rhesus

Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat

pada bayi baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah

Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah

Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu

waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk anti

Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian.

Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada

permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis.

Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan

reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus

dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan

dalam usaha menyelamatkan bayi.

Anemia Hemolitik autoimun

Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang

membentuk Ig terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via

reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang

dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin, tergantung dari suhu yang

dibutuhkan untuk aglutinasi.

Antibiotik tertentu seperti penicilin, sefalosporin dan streptomisin dapat

diabsorbsi nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk

kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa antibodi

Page 8: Bab II imun

10

yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen

menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif (Baratawidjaja, 2009).

Reaksi Obat

Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit

yang menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid

dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan

menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat

mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah

merah.

Sindrom Goodpasture

Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan

membran basal glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal

dan paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat pada

imunoflouresen.

Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran

paru. Dalam penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian steroid,

imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan transplantasi.

3. Tipe III

Gambar 2.3 Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

a. Reaksi kompleks imun

Co : SLE(Autoimun), Farmer’s lung, demam reumatik, artritis

reumatoid.

Page 9: Bab II imun

11

b. Komplex Ag.AB (Ig G / Ig M) yang tertimbun dalam jaringan →

mengaktifkan komplemen → melepaskan MCF → makrofag ke

daerah tsb → melepaskan enzim → merusak jaringan.

c. Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks

tersebut terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ ,

atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau

kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada tempat

khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya

jejas jarungan adalah sama; namun, urutan kejadian dan kondisi yang

menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda. Pada keadaan

normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke

hati, limpa dan di sana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear,

terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada

umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat

dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut

sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam

sirkulasi. Diduga bahwa ganggua fungsi fagosit merupakan salah satu

penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun

kompleks imun berada dalam sirkulasi untuk jangka waktu yang lama,

biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks

imun tersebut mengendap di jaringan (Baratawidjaja, 2009).

d. Penyakit oleh kompleks imun

Tabel 2.1 Jenis Penyakit Kompleks Imun

Penyakit Spesifitas antibodi Mekanisme

Manifestasi

klinopatologi

Lupus

eritematosus DNA, nukleoprotein

Inflamasi

diperantarai

komlplemen dan

reseptor Fc

Nefritis,

vaskulitis,

arthritis

Poliarteritis

nodosa

Antigen permukaan

virus hepatitis B

Inflamasi

diperantarai

Vaskulitis

Page 10: Bab II imun

12

komplemen dan

reseptor Fc

Glomreulone

fritis post-

streptokokus

Antigen dinding sel

streptokokus

Inflamasi

diperantarai

komplemen dan

reseptor Fc Nefritis

(Abbas,2004)

5. Tipe IV

Gambar 2.4 Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

a. Reaksi Hipersensitivitas lambat : > 24 jam

Contoh : reaksi Jones Mote, hipersensitivitas kontak, Reaksi

tuberkulin, Reaksi granuloma.

b. Akibat respon sel T yang sdh disensitisasi Ag → dilepaskan limfokin

( MIF, MAF) → makrofag yg diaktifkan → merusak jaringan.

c. Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan

asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus,

mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat menembus

kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier.

Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen

yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah

Page 11: Bab II imun

13

karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini

menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target).

d. Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini

ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis,

lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur

(candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis,

schitosomiasis).

e. Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit

T, termasuk sel T CD4+ dan CD8+. Sel T CD4+ yang memediasi

hipersensitivitas ini dapat mengakibatkan inflamasi kronis. Banyak

penyakit autoimun yang diketahui terjadi akibat inflamasi kronis yang

dimediasi oleh sel T CD4+ ini. Dalam beberapa penyakit autoimun sel

T CD8+ juga terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus maka

yang lebih dominan adalah sel T CD8+ (Abbas, 2004)

f. Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ yang merupakan

kategori hipersensitivitas reaksi lambat terhadap antigen eksogen.

Reaksi imunologis yang sama juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi

kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17 keduanya

berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ-spesifik yang dimana

inflamasi merupakan aspek utama dalam patologisnya. Reaksi

inflamasi yang berhubungan dengan sel TH1 akan didominasi oleh

makrofag sedangkan yang berhubungan dengan sel TH17 akan

didominasi oleh neutrofil (Abbas, 2004)

g. Reaksi yang terjadi di hipersensitivitas ini dapat dibagi menjadi

beberapa 2 tahap: Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+ sel T CD4+

mengenali susunan peptida yang ditunjukkan oleh sel dendritik dan

mensekresikan IL2 yang berfungsi sebagai autocrine growth factor

untuk menstimulasi proliferasi antigen-responsive sel T. Perbedaan

antara antigen-stimulated sel T dengan TH1 atau Th17 adalah terrlihat

pada produksi sitokin oleh APC saat aktivasi sel T. APC (sel dendritik

dan makrofag) terkadang akan memproduksi IL12 yang menginduksi

diferensiasi sel T menjadi TH1. IFN-γ akan diproduksi oleh sel TH1

Page 12: Bab II imun

14

dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin seperti IL1,

IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- β

untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi TH17. Beberapa dari

diferensiasi sel ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di

memory pool selama waktu yang lama (Abbas, 2004).

h. Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan

antigen yang berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen

yang dipresentasikan oleh APC. Sel TH1 akan mensekresikan sitokin

(umumnya IFN-γ) yang bertanggung jawab dalam banyak manifestasi

dari hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi makrofag yang akan

memfagosit dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai

sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul

MHC II, yang memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut.

Makrofag juga mensekresikan TNF, IL1 dan kemokin yang akan

menyebabkan inflamasi. Makrofag juga memproduksi IL12 yang akan

memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme tersebut akan

mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi

tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi kan

berlanjut dan jaringan yang luka akan menjadi semakin luas. TH17

diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan bisa juga oleh self-

antigen dalam penyakit autoimun. Sel TH17 akan mensekresikan

IL17, IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain. Kemokin ini akan

merekrut neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses

inflamasi. TH17 juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat

proses Th17 sendiri (Abbas, 2004).

i. Reaksi sel T CD8+ sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa

antigen. Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting

dari banyak penyakit yang dimediasi oleh sel T, sepert diabetes tipe I.

CTLs langsung melawan histocompatibilitas dari antigen tersebut

yang merupakan masalah utama dalam penolakan pencakokan.

Mekanisme dari CTLs juga berperan penting untuk melawan infeksi

virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan memperlihatkan molekul

Page 13: Bab II imun

15

MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T CD8+.

Pembunuhan sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya

infeksi tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan sel (Abbas,

2004).

j. Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi

oleh sel T melibatkan perforins dan granzymes yang merupakan

granula seperti lisosom dari CTLs. CTLs yang mengenali sel target

akan mensekresikan kompleks yang berisikan perforin , granzymes,

dan protein yang disebut serglycin yang dimana akan masuk ke sel

target dengan endositosis. Di dalam sitoplasma sel target perforin

memfasilitasi pengeluaran granzymes dari kompleks. Granzymes

adalah enzim protease yang memecah dan mengaktivasi caspase, yang

akan menginduksi apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga

mengekspresikan Fas Ligand, molekul yang homolog denga TNF,

yang dapat berikatan dengan Fas expressed pada sel target dan

memicu apoptosis. Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-γ)

yang terlibat dalam reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap

infeksi virus dan terekspos oleh beberapa agen kontak (Abbas, 2004).

D. Mekanisme - Mekanisme yang Beresiko Menyebabkan Penyakit

Autoimun

Penyakit autoimun terjadi karena gangguan pada toleransi terhadap diri

sendiri (self-tolerance) yaitu suatu keadaan non responsif yang normal

terhadap antigen-diri sendiri.

1. Toleransi Imunologik, toleransi dapat bersifat sentral atau perifer:

a. Toleransi sentral: Banyak anti-gen sendiri (self-antigen) diekspresikan

dalam kelenjar timus dan disampaikan oleh APCs kelenjar timus

bersama dengan molekul HLA. Klon sel-T dengan reseptor sel-T yang

memiliki afinitas tinggi untuk antigen-diri sendiri dihapus dalam

kelenjar timus selama perkembagannya. Seleksi negatif yang serupa

juga terjadi selama perkembangan sel-B. Akan tetapi, delesi klon tidak

sempurna, dan banyak sel B normal yang bereaksi terhadap antigen-diri

Page 14: Bab II imun

16

sendiri (misalnya DNA, mielin, kolagen dan tiroglobulin) dapat

ditemukan dengan imunoglobulin permukaan.

b. Toleransi perifer: Sel T autoreakti yang bisa menghindari delesi

kelenjar timus dapat dihilangkan atau dibuat inaktif di dalam jaringan

perifer lewat sala satu mekanisme berikut ini:

Anergi: Inaktivasi fungsional sel T yang ireversibel dapat terjadi ketika

sel tersebut mengenali antigen sendiri tanpa adanya sinyal kostimulasi

yang diperlukan dari sel parenkim yang normal.

Supresi oleh sel T regulator: Sel T regulator (terutama dikenali lewat

ekspresi konstitutif CD4 dan rantai α pada reseptor IL2 (CD25) dapat

menghambat aktivasi limfosit dan fungsi efektor dengan mensekresikan

sitokin seperti IL10 serta TGF-β (transforming growth factor-β).

Delesi klonal karena kematian sel yang ditimbulkan oleh aktivasi:

Antigen-diri sendiri yang berlimpah di dalam jaringan perifer dapat

menyebabkan aktivasi sel T swareaktif yang persisten sehingga terjadi

ekspresi FasL pada sel ini. Sel tersebut kemudian melakukan apoptosis

lewat pengikatan Fas yang menglami ko-ekspresi pada sel ini.

Sekuestrasi antigen: Tempat yang memiliki keistimewaan dalam hal

imunitas seperti testis, mata dan otak dapat melakukan sekuestrasi

antigen jaringan yang melewati sawar darah-otak yang relatif tidak

permeabel.

2. Mekanisme Penyakit Autoimun

Karena sel T-helper mengendalikan imunitas selular maupun humoral,

toleransi sel T-helper dianggap sangat penting bagi pencegahan penyakit

autoimun. Ada lebih dari satu jalur yang memungkinkan toleransi dapat

dipintas, dan semua jalur tersebut meliputi kombinasi gen suseptibilitas

serta pemicu dari lingkungan (khususnya infeksi).

a. Peranan gen suseptibilitas

Meskipun penyakit autoimun yang multipel sangat berkaitan

dengan alel HLA yang spesifik, tetapi eskpresi molekul HLA tertentu

tidak dengan sendirinya menjadi penyebab autoimunitas. Defek pada

jalur yang secara normal akan mengatur toleransi sentral atau perifer

Page 15: Bab II imun

17

juga ikut terlibat; jadi, defek pada jalur Fas-FasL atau molekul-molekul

lain yang terlibat dalam proses kematian yang ditimbulkan oleh aktivasi

dapat mencegah apoptosis sel T autoreaktif. Perkembagnan sel T

regulator yang cacat atau ekspresi antigen sendiri yang cacat oleh

epitelium kelenjar timus juga merupakan jalur yang dapat dipintas

toleransi. Sebagian besar penyakit autoimun pada manusia memiliki

pola suseptibilitas atau kerentanan yang kompleks, multigenik dan tidak

dapat dikaitkan hanya dengan mutasi gen yang tunggal.

b. Peranan infeksi

Onset banyak penyakit autoimun secara temporer berkaitan dengan

infeksi. Hal ini dapat terjadi karena infeksi meningkatkan ekspresi

molekul kostimulator pada APCs dan mengatasi jalur toleransi perifer.

Infeksi dapat pula mengganggu toleransi lewat mikikri molekular di

tempat agen penyebab infeksi berbagai epitop dengan antigen sendi;

karena itu, respons imun terhadap epitop tersebut dapat pula merusak

jaringan tubuh yang normal. Jejas jaringan yang terjadi dalam proses

respons terhadap infeksi dapat mengubah struktur antigen sendiri atau

melepaskan antigen sendiri yang normal; molekul-molekul ini dapat

mengaktifkan sel-sel T yang tidak toleran terhadap antigen yang sudah

berubah atau terhadap antigen tersembunyi sebelumnya.

Begitu terinduksi, penyakit autoimun cenderung bersifat progresif

(sekalipun dalam perjalanannya akan terjadi beberapa relaps dan

remisi). Mekanisme yang penting untuk terjadinya persistensi dan

evolusi autoimunitas adalah fenomena penyebaran epitop. Struktur

molekular antigen sendiri tertentu normalnya mencegah pemajanan

beberapa epitop sendiri terhadap sel-sel T yang berkembang; dengan

demikian, sel-sel T tidak dibuat toleran terhadap epitop yang bersifat

kriptic tersebut. Akan tetapi, jika epitop tersebut dapat dikenali dalam

kehidupan pascanatal akibat perubahan melekular pada antigen sendiri,

sel T yang reaktif terhadap epitop semacam ini dapat menimbukan

autoimunitas yang persisten. Fenomena tersebut dinamakan penyebaran

Page 16: Bab II imun

18

epitop karena respons imun menyebar kepada determinan yang pada

awalnya tidak dikenali.

Dalam Pringgoutomo mekanisme koordinasi kerja sel dan mediator pada

respon imun ada dua yaitu:

a. Respon imun humoral

Antigen akan diproses oleh makrofag, sel dendritik atau sel

Langerhans, dan kemudian disajikan kepada sel T. Sel T akan

tersensitisasi oleh antigen, kemudian menjadi aktif mengeluarkan

limfokin-limfokin. Interleukin 1 (IL-1) dibentuk oleh makrofag dan IL-

2 dibentuk oleh sel T, yang merangsang proses diferensiasi dan

proliferasi sel B. Sel plasma, yaitu hasil akhir proses diferensiasi sel B,

membentuk dan mengeluarkan antibodi spesifik. Secara selektif

antibodi spesifik akan berkaitan dengan antigen dan terjadi proses

netralisasi antigen (termasuk mikroba atau toksin kuman) atau lisi

kuman atau sel, atau memacu makrofag untuk melakukan fagositosis

setelah antigen dilapisi oleh antibodi (proses opsonisasi). Antibodi yang

menyelubungi antigen atau sel juga dapat mamacu aktifasi komplemen

sehingga dapat melisiskan sel atau antigen.

b. Respon imun selular

Sel Th yang dirangsang oleh antigen akan mengeluarkan sitokin

berupa IL2 yang bersifat memacu proliferasi sel Th sendiri secara

autokrin. Sel Tc juga dapat dipacu untuk membunuh sel atau antigen

melalui reaksi antara reseptor Fc di permukaan Tc dan fragmen Fc

molekul imunoglobulin (antibodi) yang telah melapisi sel sasaran

(reaksi ADCC = antibody dependent cellular cytotoxicity).

E. Patofisiologi Umum Penyakit Autoimun

Penyakit autoimun terjadi karena sistem imum gagal membedakan antara

antigen asing dan antigen diri serta melakukan serangan yang merusak satu

atau lebih jaringan tubuh sendiri. Keadaan ini menyebabkan terjadinya

kegagalan toleransi. Keadaan dimana sistem imun gagal untuk mengenal dan

toleran terhadap antigen diri yang berkaitan dengan jaringan tertentu disebut

Page 17: Bab II imun

19

penyakit autoimun. Identifikasi dan toleransi sel antigen terbentuk sejak

perkembangan embrio. Selama masa ini, agressif dan toleransi sel reaktif

( autoreaktif) limfosit dihilangkan atau ditekan.

Umumnya, Sel B dan T limfosit berperan sebagai mediator spesifik

adaptasi imun. Sel B berfungsi sebagai mediator humoral yang memproduksi

antibody sedangkan sel T berfungsi untuk mengenali antigen asing di dalam

sel serta menghancurkan antigen yang terinfeksi virus atau kanker. Untuk

mencapai kekebalan terhadap antigen spesifik harus mampu mengenali dan

jangkauan besar antigen asing namun tidak akan kembali aktif pada jaringan

sel. Perbedaan antara sel dan bukan sel dirinya membutuhkan proses

pembangunan limfosit kompleks di mana limfosit reaktif diri dihancurkan

dan limfosit yang mungkin bermanfaat dipelihara. Protein MHC memiliki

peran utama dalam memungkinkan limfosit untuk bereaksi terhadap antigen

asing, namun tetap toleran terhadap antigen diri. Tetapi toleransi sel ini tidak

selalu efektif dan dapat mengalami kegagalan yang menyebabkan terjadinya

penyakit autoimun. Kegagalan toleransi disebabkan oleh;

1. Terpajan dengan antigen diri yang dalam keadaan normal tidak dapat

diakses memicu serangan imun terhadap antigen-antigen tersebut.

Keadaan tidak pernah terpajan dengan antigen tersembunyi menyebabkan

sistem imun tidak belajar toleran terhadap mereka. Pajanan secara tidak

sengaja pada antigen tersembunya dapat disebabkan oleh cedera atau

kerusakan jaringan sehingga memicu serangan imun cepat pada jaringan

yang terkena, seolah-olah protein ini adalah benda asing.

2. Antigen diri mungkin mengalami modifikasi oleh factor-faktor seperti

obat, bahan kimia lingkungan, virus, atau mutasi genetic sehingga tidak

lagi dapat dikenal dan ditoleransi oleh sistem imun.

3. Terpajannya sistem imun ke suatu antigen asing yang secara structural

hampir identik dengan suatu antigen diri, dapat memicu produksi antibody

atau mengaktifkan limfosit T yang tidak sengaja berinteraksi dengan

antigen asing tersebut tetapi juga bereaksi silang dengan antigen tubuh

yang mirip tersebut ( mimikri molekul).

Page 18: Bab II imun

20

4. Penyakit ini juga lebih banyak pada wanita karena berkaitan dengan

kehamilan. Sel janin yang dapat akses ke dalam darah ibu sewaktu trauma

persalinan dan kelahiran, kadang beredar di dalam darah ibu selama

beberapa decade. Dan sistem imun biasanya membersihkan sel-sel ini dari

tubuh ibu. Tetapi sel-sel janin bisa mengalami persisten dan menetap

sebagai antigen asing. Antigen yang serupa atau mirip dengan antigen ibu

dapat tersamar dan berbalik menyerang antigen-antigen ibu yang mirip.

F. Contoh Penyakit Autoimun dan Penyakit Karena Mekanisme

Hipersensitivitas

1. Contoh Penyakit Autoimun

a. Systemic Lupus Erythematosus (Sle)

Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit

inflamasi kronik yang idiopathic, mengenai kulit, sendi, ginjal, paru-

paru, membrana serosa, sistem saraf, hati dan berbagai organ tubuh

yang lain. Seperti penyakit autoimun yang lain kejadiannya ditandai

oleh periode remisi dan relaps. Gejala yang paling sering ditemukan

adalah kelelahan. Demam, penurunan berat badan, myalgia dan

arthralgia juga merupakan gejala yang sering ditemukan.

Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan

dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi yang beredar dalam

sirkulasi. Sejumlah antibodi dikenali berhubungan dengan kejadian

SLE, yang terutama adalah antinuclear antibodi (ANA). Dahulu

dikenali faktor serum yang menyebabkan fenomena lupus

erythematosus (LE), suatu autoantibodi yang diketahui melawan

nukleoprotein (DNA-histone), namun saat ini fenomena sel LE tidak

penting untuk diagnosis dan sudah digantikan oleh pemeriksaan

immunofluorescent terhadap ANA yang berperan sebagai uji saring

dalam diagnostik awal terhadap penderita yang dicurigai mengidap

SLE.

b. Antiphospholipid Syndrome (Aps)

Page 19: Bab II imun

21

Adalah suatu keadaan autoimun yang ditandai dengan produksi

antibodi antiphospholipid dalam kadar sedang sampai tinggi dan

dengan gambaran klinis tertentu seperti trombosis (vena maupun

arteri termasuk stroke), trombositopenia autoimun dan abortus.

Kemungkinan terjadinya APS lebih sering pada penderita dengan

penyakit autoimun seperti SLE disebut APS sekunder, namun dapat

pula terjadi pada wanita yang tidak mempunyai penyakit autoimun

(APS primer). Pemeriksaan laboratorium APS masih sulit dan

membingungkan, kendalanya karena hanya sedikit laboratorium

yang dapat melakukan pemeriksaan dengan kualitas yang baik.

Pemeriksaan antibodi antiphospholipid dan lupus anticoagulant (LA)

harus dilakukan bersama berhubung karena hanya 20% penderita

APS yang dengan lupus anticoagulant positif. Pada tahun 1987 telah

dibuat kesepakatan pada International Anti-Cardiolipin Workshop

mengenai interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium yang

dilaporkan secara semikuantitatif dan dibagi menjadi, negatif, positif

rendah, positif sedang dan positif tinggi. Pemeriksaan yang

dilakukan adalah IgG aCL, IgM aCL dan IgA aCL. Mayoritas

penderita APS mempunyai LA dan IgG aCL.

Beberapa peneliti memperkirakan bahwa LA dan aCL

merupakan immunoglobulin yang sama yang dideteksi dengan

metode pemeriksaan yang berbeda sebab mereka menemukan bahwa

pada penderita APS ditemukan salah satu dari LA atau aCL namun

tidak pernah menemukan keduanya bersamaan. Pemeriksaan lain

yang ditawarkan saat ini adalah b2-glycoprotein I (b2-GPI) yang

relevan dengan antigen aPL. Banyak peneliti saat ini meyakini

bahwa aPL bekerja melawan glycoprotein ini atau lebih mungkin

terhadap glycoprotein ini dan phospholipid, namun belum ada bukti

bahwa pemeriksaan ini mempunyai informasi diagnostik yang lebih

baik dari pemeriksaan LA dan aCL.

Page 20: Bab II imun

22

Tabel 2.2 Kriteria klinis untuk sindroma antiphospholipid

Kriteria diagnostik

Ditemukan satu atau lebih :

Thrombosis vena / arteri

Abortus berulang

Persalinan prematur sebelum 34 minggu yang berhubungan dengan

preeklamsia atau PJT

Gambaran klinis lain

Trombositopenia dan anemia hemolititk

Livedo reticularis

Gangguan di otak khusunya epilepsi, infark otak, chorea dan

migrain

Penyakit katup jantung khususnya katup mitral

Hipertensi

Hipertensi pulmonal

Ulkus di tungkai bawah

c. Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit arthritis yang kronik

pada sendi synovial. Penyakit ini mengenai sendi pergelangan

tangan, lutut, bahu, metakarpal-phalangeal dengan perlangsungan

progresif lambat yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi.

Sampai sekarang etiologinya belum diketahui, pada pemeriksaan

histologi tampak synovial diinflitrasi oleh sel-sel inflamasi

khususnya limfosit. Ditemukan anti bodi yang khas disebut

rheumatoid factor yang bereaksi dengan antigen membentuk

kompleks imun yang ditemukan pada synovial dan cairan pleura.

Kerusakan inflamasi yang terjadi pada synovial menimbulkan

perubahan erosif yang khas pada sendi.

d. Systemic Sclerosis

Merupakan penyakit yang jarang, dikenal pula dengan nama

lain scleroderma, yang ditandai dengan fibrosis kulit, pembuluh

darah dan organ viscera yang progresif. Penyebabnya belum

Page 21: Bab II imun

23

diketahui, namun target utama dari penyakit ini adalah sel endotel,

suatu faktor serum yang toksik terhadap endotel telah ditemukan

pada beberapa penderita.

Gambaran klinisnya bervariasi dan morbiditas penyakit ini

tergantung pada luasnya permukaan kulit dan organ dalam yang

terkena. Sering ditemukan fenomena Raynauld khususnya pada

pasien dengan sindroma CREST (calcinosis pada kulit, fenomena

Raynauld, dismotilitas esofagus, sclerodactyly dan telangiectasis).

Penderita dengan penyakit yang difus akan menampakkan gejala

arthritis pembengkakan tangan dan jari serta penebalan kulit yang

dimulai pada jari dan tangan dan bisa meluas ke muka dan leher.

Pada kelainan yang berat maka permukaan kulit yang terkena lebih

luas dan terjadi deformitas pada tangan dan jari. Fenomena Raynauld

dan kerusakan organ dalam yang terkena menandakan adanya

fibrosis arteriole dan arteri-arteri kecil, sehingga bila terjadi respons

vasokonstriksi karena berbagai rangsangan seperti udara yang dingin

akan menyebabkan obliterasi pembuluh darah yang komplit.

Pada sebagian besar penderita ditemukan ANA (anti-nuclear

antibody) namun anti-ANA tidak ditemukan, hampir setengah

penderita mempunyai serum cryoglobulin. Antibodi terhadap

centromere ditemukan pada penderita dengan sindroma CREST

namun tidak ditemukan pada kelainan yang difus.

e. Myasthenia Gravis

Myasthenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai

oleh kelemahan dari otot wajah, orofaringeal, ekstraokuler dan otot

anggota gerak. Kelemahan dari otot-otot wajah dapat menyebabkan

kesukaran untuk tersenyum, mengunyah dan berbicara. Tanda utama

dari penyakit ini adalah peningkatan kelemahan otot pada aktivitas

otot yang berulang. Merupakan penyakit yang jarang dengan insiden

1 per 100.000, wanita dua kali lebih banyak dibanding pria.

Penyebabnya diduga karena serangan autoimun terhadap reseptor

asetilkolin pada neuro-muscular junction. Antibodi terhadap reseptor

Page 22: Bab II imun

24

asetilkolin atau receptor-decamethonium complex (anti-AchR)

ditemukan dalam serum dari tigaperempat penderita Myasthenia

gravis (MG).

Abnormalitas thymus juga ditemukan pada sebagian besar

penderita MG, sekitar 75% dengan hiperplasia folikel kelenjar dan

10-15% dengan tumor thymic jenis lymphoblastic atau epithelial.

Tindakan thymectomy menyebabkan remisi dan perbaikan pada

masing-masing 35% dan 50% penderita sehingga diduga MG

berhubungan dengan serangan autoimun terhadap antigen pada

thymus dan motor endplate atau abnormal clone dari sel-sel imun di

thymus.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan

fisis dan prosedur konfirmasi diagnostik, dengan pemberian

antikolinesterase kerja pendek (endrophonium) 210 mg intravena

maka kekuatan otot secara dramatis dapat dipulihkan. Tes lain yang

lebih canggih dengan elektromyografi serabut tunggal dan

pemeriksaan rangsangan saraf berulang.

2. Penyakit Karena Mekanisme Hipersensitivitas

a. Tipe I : Anafilakti

Antigen bereaksi dengan antibodi IgE yang terikat ke

permukaan sel mast; menyebabkan pelepasan mediator dan efek

mediator Uji gores alergi yang positif.

Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang bersifat akut, menyeluruh

dan bisa menjadi berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang

sebelumnya telah mengalami sensitisasi akibat pemaparan terhadap

suatu alergen. Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan

alergen. Pada pemaparan kedua atau pada pemaparan berikutnya,

terjadi suatu reaksi alergi. Reaksi ini terjadi secara tiba-tiba, berat

dan melibatkan seluruh tubuh. Alergi saluran napas dan juga bisa

serangga

Page 23: Bab II imun

25

b. Tipe II : Sitotoksik

Antibodi berikatan dengan antigen yang merupakan bagian dari

sel atau jaringan tubuh; terjadi pengaktifan komplemen, atau

fagositosis sel sasaran dan mungkin sitotoksisitas yang diperantarai

oleh sel yang dependen-antibodi.

1) Anemia hemolitik imun

2) Sindrom goodpasture

c. Tipe III : Kompleks Imun

Penyatuan antigen dan antibodi membentuk suatu kompleks

yang mengaktifkan komplemen, menarik leukosit dan menyebabkan

kerusakan jaringan oleh produk-produk leukosit.

1) Serum sickness

2) Beberapa bentuk glomerulonefritis

3) Lesi pada lupus eritematosus sistemik

d. Tipe IV

Diperantarai Sel Reaksi limfosit T dengan antigen menyebabkan

pelepasan limfokin, sitotoksisitas langsung dan pengerahan sel-sel

reaktif.

1) Dermatitis kontak alergi

2) Penolakan alograf

3) Lesi/uji kulit tuberkulosis

G. Pengkategorian Imunodefisiensi.

Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau

ketiadaaan respon imun normal. Pasien dengan imunodefisiensi menunjukkan

peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan bentuk kanker. Jenis infeksi

pada seorang pasien tergantung pada komponen sistem imun yang terkena.

Berdasarkan etiologinya imunodefisiensi dibagi 2 yaitu :

1. Imunodefisiensi Primer

Keadaan imunodefisiensi primer jarang terjadi / langka, bersifat

genetik dan mempengaruhi imunitas spesifik (humoral atau seluler

imunitas adaptif ) ataupun mekanisme pertahanan penjamu non spesifik

Page 24: Bab II imun

26

yang diperantarai oleh protein komplementer dan sel seperti sel fagosit

dan NK. Terutama ditemukan pada bayi & anak-anak berusia 6 bulan –

2 tahun. Gejala timbul pada awal kehidupan, setelah perlindungan oleh

antibody maternal menurun yang ditandai dengan timbulnya infeksi

recurrent, jenis kuman penyebab tergantung dari defek yang menyertai.

Tanpa terapi, jarang yg bisa bertahan hidup sampai dewasa.

2. Imunodefisiensi sekunder

Imunodefisiensi sekunder lebih sering / umum terjadi dibanding

dengan imunodeisiensi primer. Tidak bersifat genetik dan merupakan

akibat dari proses penyakit yg mendasari. Penyebab umum: malnutrisi,

stres kronik, luka bakar, uremia, diabetes mellitus, kelainan autoimun,

virus tertentu, kontak dengan obat/ zat kimia yg imunotoksik, &

penggunaan sendiri obat & alcohol. Beberapa keadaan imunodefisiensi

ini disebabkan oleh hilangnya immunoglobulin ( pada penyakit ginjal

proteinurik ), sisntesis immunoglobulin yang tidak memadai ( pada

malnutrisi ), atau deplesi limfosit ( karena obat atau infeksi yang berat ).

Imunodefisiensi juga dapat dibedakan berdasarkan komponen sel imun yang

terjangkit, misalnya defisiensi imunitas humoral ( sel B ), defisinesi

imunitas seluler ( sel T ), defisisnsi imunitas humoral dan seluler ( sel B dan

sel T ), defisiensi komplemen dan defisiensi sistem fagositik.

H. Gambaran Klinik dari Imunidefesiensi

1. Imunodefisiensi Primer menunjukkan gejala kliniknya pada masa anak –

anak yaitu antara usia 6 bulan – 2 tahun dan berwujud sebagai infeksi yang

berulang.

a. Agammaglobulinemia tipe Bruton,yang terkait pada kromosom X ( X –

linked)

Merupakan defisiensi system imunitas humoral ,yang paling sering

di temukan pada umumnya hanya laki – laki. Penyakit ini di turunkan

melalui kromosom X. Mekanismenya adalah berkurangnya sel limfosit

B pada darah tepi dan organ imun perifer spt tonsil,limpa.

Page 25: Bab II imun

27

Tanda dan gejala :

1) infeksi berulang misalnya : Konjungtivitis, Otitis media,

Faringitis, Bronchitis, Pneumonia dan Infeksi kulit

2) Penyakit autoimun misalnya : Artritis rheumatoid, Lupus

eritematosus, Dermatomiositis

Pemeriksaan darah menunjukkan tidak adanya limfosit B dan

immunoglobulin

b. Common variable immunodeficiency (CVI)

Defisiensi immunoglobulin yang bervariasi,( bisa primer/skunder).

Pada kelainan ini secara umum jumlah sel B cukup namun terdapat

cacat pada proses diferensiasi atau fungsi terminalnya. Cacat tersebut

dapat berupa kegagalan sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma

sehingga pembentukan immunoglobulin kurang memadai jumlahnya .

walaupun set T penolong memadai dan sel T penekan di tiadakan, sel B

tetap tidak mampu membentuk Imunoglobulin . sering di temukan

mutasi gen. mekanisme lainnya adalah fungsi abnormal sel T

penolong , dimana pembentukan limfokin yang merangsang

pembentukan imunoglobin yaitu IL2 dan IFN gamma,kurangnya

jumlah atau karena jumlah sel T penekan meningkat. Di temukan pada

laki – laki dan perempuan pada usia lebih muda dan dewasa. Tanda dan

gejala :

1) Menunjukkan infeksi bakteri yang berulang

2) Rentan terhadap infeksi entero virus,virus herpes zoster,dan diare

persisten akibat giardiasis

3) Cenderung menderita penyakit autoimun

4) Keganasan sel limfoid

5) Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah limfosit yang cukup,

namun sel plasma kurang

6) Hipogammaglobulinemia

c. Defisiensi IgA selektif (Isolated IgA deficiency)

Page 26: Bab II imun

28

Kelainan ini banyak di temukan pada orang kulit putih. Dapat

terjadi secara familiar atau sekunder akibat infeksi campak, toxoplasma

atau virus lainnya. Mekanisme yang mendasari adalah cacat pada proses

diferensiasi sel B pembentuk IgA. Pada kebanyakan penderita jumlah

sel b pembentuk Iga cukup banyak, tetapi menunjukkan fenotip yang

imatur yaitu di tandai dengan koekspresi dengan IgD dan IgM, sehingga

hanya sebagian dari sel B tersebut yang dapat berdiferensiasi menjadi

sel plasma. Tanda & gejala :

1) Bisa asimtomatik

2) Infeksi berulang pada daerah mukosa seperti ; pernafasan, saluran

cerna, dan urogenital

3) Cenderung mengalami alergi dan autoimun

d. Sindroma DieGeorge ( hipoplasia timus)

Kelainan ini di sebabkan oleh kegagalan perkembangan kantong

faringeal ke 3 dan 4 pada masa embrional sekitar minggu ke 8 masa

kehamilan. Akibatnya terjadi hipoplasia atau aplasia kelenjar timus dan

paratiroid, serta malformasi jantung dan pembuluh darah besar, bentuk

mulut ,hidung dan muka juga bisa abnormal. Tanda dan gejala :

1) Rentan terhadap infeksi virus dan jamur di sertai tetani akibat aplasia

kelenjar tiroid

2) Pemeriksaan darah tepi : limfosit tidak ada

e. Sindroma Wiskott-Aldrich ( Imunudeficiency di sertai trombositopenia

dan eksema )

Kelainan ini bersifat X – linked recesivve . mekanisme yang

mendasari kelainan ini adalah cacat pada glinileonisasi protein

membrane dan cacat pada pematangan sel pokok hematopoetik.

Berkurangnya ekspresi protein membrane mis ; sialoprotein

diantaranya sialoprotein CD 43 yang biasanya terekspresi cukup pada

limfosit B dan T, makroag,netrofil dan trombosit. Tanda dan gejala :

1) Mengalami infeksi berulang

2) Rentan terhadap penyakit keganasan limfoid

3) Jumlah sel T menurun

Page 27: Bab II imun

29

4) Kadar immunoglobulin bervariasi : IgM rendah, IgG normal, IgE

meningkat

5) Menunjukkan pembentukan antibody normal terhadap antigen

protein namun berespon buruk terhadap antigen polisakarida

f. Imunodefisiensi Gabungan yang berat ( severe combined

immunodeficiency dieases = SCID)

Merupakan kombinasi defisiensi imun seluler dan humoral. Ada 2

kelompok kelainan yaitu : yang di turunkan secara autosomal recessive

dan X – linked recessive. Tanda dan gejala :

1) Secara klinis menunjukkan kerentanan terhadap infeksi, jamur

maupun bakteri

2) Immunoglobulin pada darah tidak ada

3) Secara histopatologik kelenjar timus hipoplastik

g. Defisiensi system komplemen

Merupakan substansi penting dalam reaksi radang dan respon imun

akan menyebabkan gangguan fungsi. Defisiansi C3 akan berdampak

pada kerentanan terhadap infeksi bakteri piogenik. Defisiensi Clq 2dan

4 rentan terhadap penyakit kompleks imun dan sirkulasi. Defisiensi C5-

8 akan menyebabkan rentan terhadap golongan Neiseria (gonore atau

meningokok). Tanda dan gejala : Pembengkakan pada kulit dan mukosa

yang berulang

h. Cacat fungsi system fagosit

Bermanifestasi sebagai radang granulomatosa yang di kenal

sebagai job syndrome dan beberapa kelainan congenital lainnya.

Gangguan ini menyebabkan kegagalan untuk melawan infeksi.

2. Imunodeficiency Sekunder

Merupakan penyakit dengan immunodeficiency yang menyerang

system imunitas dan susunan saraf pusat. Virus menyebar ke sel limfosit

lain sehingga terjadi fusi dari kedua sel. Di awali denganikatan molekul

gpl 20. Lisisnya sel yang mengandung CD4 mengakibatkan rasio sel CD4

+/CD8+ berkurang. Kualitas dan fungsi limfosit Th menurun. Pada SSP

Page 28: Bab II imun

30

berkaitan dengan monosit/ makrofag yang terinfeksi dengan strainHIV.

Tanda dan gejala :

a. Tahap dini / fase akut.

1) Viremia, ¯ CD4 + sel T

2) penyakit akut yang sembuh sendiri = 6 – 12 mg ,nyeri tenggorokan,

mialgia non spesifik, meningitis aseptik.

b. Tahap menengah, fase kronik

1) Keadaan laten secara klinis, replikasi rendah, CD4 + ¯ perlahan

2) Kel. Limfe.

3) Akhir tahap : demam, kemerahan kulit, kelelahan, viremi.

4) 7 – 10 tahun

c. Tahap akhir, fase krisis = AIDS.

1) Pertahanan ¯ cepat : CD4 + rendah, BB ¯, diare, inf. oportunistik,

keganasan sekunder.

2) AIDS : HIV (+) dan sel T CD4 + < 200 sel / Ul.