24
BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.3 Kajian Teoritis 1.3.1 Pengertian Bakso Menurut Andarwulan, pakar teknologi pangan dari Institut Pertanian Bogor bakso merupakan produk gel dari protein daging, baik dari daging sapi, ayam ikan, maupun udang dan dibentuk bulatan-bulatan kemudian direbus. Selain protein hewani, aneka daging itu juga mengandung zat-zat gizi lainnya, termasuk asam amino esensial yang penting bagi tubuh (dalam Cahyadi, 2009:292-293). Saat ini, ada tiga jenis bakso yang biasa dijual di pasaran. Ada bakso yang terbuat dari daging sapi, ikan, udang atau ayam. Bakso yang baik, tentu harus dibuat dari bahan yang berkualitas. Daging yang tidak berlemak, merupakan bahan yang baik untuk membuat bakso. Daging yang berkadar lemak tinggi mengakibatkan tekstur bakso menjadi kasar. Selain daging, bakso membutuhkan bahan lainnya. Bahan yang tak kalah pentingnya berupa tepung tapioka. Kualitas bakso akan makin baik, bila komponen daging lebih banyak dari tepung tapioka. Bakso yang berkualitas biasanya mengandung 90% daging dan 10% tepung tapioka. Agar terasa lebih lezat, tambahkan bumbu seperti bawang merah, bawang putih, merica bubuk, dan garam. Adapula yang menambahkan telur saat membuat bakso, sehingga adonan bakso menjadi lebih halus dan rasanya lebih enak. Selain bumbu, ada bahan lain yang biasa tambahkan ketika membuat bakso. Bahan yang dimaksud adalah pengenyal. Adapun bahan pengenyal yang aman digunakan adalah Sodium Tripoli Fosfat (STF). Bahan kimia yang aman tersebut

BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.3 Kajian Teoritiseprints.ung.ac.id/3960/6/2013-1-13201-811409055-bab2... · 2014-02-20 · dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1.3 Kajian Teoritis

1.3.1 Pengertian Bakso

Menurut Andarwulan, pakar teknologi pangan dari Institut Pertanian Bogor

bakso merupakan produk gel dari protein daging, baik dari daging sapi, ayam

ikan, maupun udang dan dibentuk bulatan-bulatan kemudian direbus. Selain

protein hewani, aneka daging itu juga mengandung zat-zat gizi lainnya, termasuk

asam amino esensial yang penting bagi tubuh (dalam Cahyadi, 2009:292-293).

Saat ini, ada tiga jenis bakso yang biasa dijual di pasaran. Ada bakso yang

terbuat dari daging sapi, ikan, udang atau ayam. Bakso yang baik, tentu harus

dibuat dari bahan yang berkualitas. Daging yang tidak berlemak, merupakan

bahan yang baik untuk membuat bakso. Daging yang berkadar lemak tinggi

mengakibatkan tekstur bakso menjadi kasar. Selain daging, bakso membutuhkan

bahan lainnya. Bahan yang tak kalah pentingnya berupa tepung tapioka. Kualitas

bakso akan makin baik, bila komponen daging lebih banyak dari tepung tapioka.

Bakso yang berkualitas biasanya mengandung 90% daging dan 10% tepung

tapioka. Agar terasa lebih lezat, tambahkan bumbu seperti bawang merah, bawang

putih, merica bubuk, dan garam. Adapula yang menambahkan telur saat membuat

bakso, sehingga adonan bakso menjadi lebih halus dan rasanya lebih enak.

Selain bumbu, ada bahan lain yang biasa tambahkan ketika membuat bakso.

Bahan yang dimaksud adalah pengenyal. Adapun bahan pengenyal yang aman

digunakan adalah Sodium Tripoli Fosfat (STF). Bahan kimia yang aman tersebut

berfungsi sebagai pengemulsi sehingga dihasilkan adonan yang lebih merata.

Adonan yang lebih merata, akan menghasilkan bakso yang lebih baik. Sayangnya

tidak semua bakso yang dijual dipasaran menggunakan Sodium Tripoli Fosfat

(STF) sebagai pengenyal.

Bakso yang dijual murah biasanya mengandung boraks. Menurut

Andarwulan, pakar teknologi pangan dari Institut Pertanian Bogor bakso yang

menggunakan boraks cenderung lebih kenyal di banding bakso yang

menggunakan STF (Cahyadi,2009:293).

hSumber : (Dokumentasi Peneliti)

Gambar 2.1 Bakso

Ciri lain dari bakso yang menggunakan boraks adalah warnanya tampak

lebih putih. Hal itu berbeda dengan bakso yang baik, biasanya berwarna abu – abu

segar merata disemua bagian, baik pinggir maupun tengah. Bakso memiliki

keasaman rendah dan pH yang tinggi. Sehingga makanan favorit berbagai

kalangan itu tidak bertahan lama. Terlebih bakso memiliki kadar air yang tinggi,

sehingga bakteri mudah berkembang karena itu penyimpanannya harus baik. Saat

ini banyak penyimpangan yang dilakukan produsen nakal agar baksonya bertahan

lama. Mereka mencelupkan kelarutan formalin, agar baksonya lebih tahan lama.

Padahal itu sangat berbahaya bagi kesehatan. Penggunaan formalin pada bakso

sulit dideteksi dengan mata. Karena penggunaan zat kimia pengawet mayat itu

tidak mengubah warna. Meski begitu anda kita bisa mendeteksinya, selain lebih

kenyal penambahan formalin akan membuat aroma khas dari bakso tidak akan

tercium. Selain itu apabila anda melihat bakso yang dipajang di etalase penjual

bakso, lebih dari enam jam tidak akan didatangi lalat dan tidak mengeluarkan

aroma khas bakso, maka dicurigai bakso tersebut menggunakan formalin.

Penyimpangan lain yang biasa dilakukan produsen bakso adalah mencelupkan

kedalam air terusi , yaitu zat kimia mengandung Cu. Tujuannya sama, agar bakso

tersebut dapat lebih awet. Namun, zat itu sangat berbahaya bagi kesehatan. Untuk

membuat bakso lebih awet dan yang lebih aman adalah pada saat pengemasan

dan penyimpanan lansung dikemas atau di bungkus rapat, kemudian disimpan di

dalam freezer dengan suhu -18oC.

2.1.2. Bahan Tambahan Makanan

Dalam SNI 01-0222-1995 Bahan Tambahan Makanan Bab I Pasal I

menyebutkan bahwa, Bahan tambahan makanan adalah bahan yang biasanya tidak

digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas

makanan, rnempunyai atau tidakmempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja

ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik)

pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan,

penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan

menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu komponen atau

mempengaruhi sifat khas makanan tersebut.

Pengertian bahan tambahan pangan secara umum adalah bahan yang

biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan

komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang

dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi pada

pembuatan, pengolahan penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan

penyimpanan (Cahyadi, 2006).

Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan

gizi pangan pada bab 1 pasal 1 menyebutkan, yang dimaksud dengan bahan

tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan kedalam makanan untuk

mempengaruhi sifat atau bentuk pangan atau produk pangan.

Atas dasar tujuannya, penggunaan bahan tambahan pangan dapat

meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi, meningkatkan kualitas,

mengurangi limbah, meningkatkan penerimaan konsumen, meningkatkan kualitas

daya simpan, menbuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta

mempermudah preparasi bahan pangan (Cahyadi, 2009:251).Bahan tambahan

pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila :

1. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dan

pengolahan.

2. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau

tidak memenuhi persyaratan.

3. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan

cara produksi yang baik untuk pangan.

4. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan.

Dalam kaitannya dengan bahan pangan, perlu dibedakan antara toksisitas

(toxicity) dan bahaya (hazard). Toksisitas merupakan kapasitas suatu bahan

menghasilkan cacat atau luka (injury). Bahaya merupakan kemungkinan

timbulnya cacat atau luka akibat penggunaan secara sengaja. Telah diketahui

bahwa banyak komponen pangan, baik alami maupun yang ditambahkan bersifat

toksis pada kadar tertentu, namun tidak merugikan atau bahkan dari sudut gizi

bersifat esensial pada kadar yang rendah (Cahyadi, 2009:251).

Menurut PERMENKES NO 033 TAHUN 2012 Tentang Bahan Tambahan

Pangan yang di larang digunakan sebagai bahan tambahan pangan adalah sebagai

berikut :

Tabel 2.1

Bahan yang dilarang digunakan sebagai Bahan Tambahan Pangan

No. Nama Bahan

1. Asam borat dan senyawanya (Borid acid)

2. Asam salisilat dan garamnya (Salicyl acid and its salt)

3. Dietilpirokarbonat (Dethylpgrocarbo nate, DEPC)

4. Dulsin (Dullcin)

5. Formalin (Formaldehyde)

6. Kalium bromat (Potassiurn bromate)

7. Kalium Clorat (Potassium clorate)

8. Kloramfenikol (Chloramphenikol)

9. Minyak nabati yang dibrominasi ( Brominated vegetable oils)

10. Nitrofurazone (Nitrofurazone)

11. Dulkamara (Dulcamara)

12. Kokain (Cocaine)

13. Nitrobenzen ( Nitrobenzene)

14. Sinamil antranilat (Cynnamil anthranilate)

15. Dihidrosafrol ( Dyhidrosafrole)

16. Biji tonka (Tonka bean)

17. Minyak Kalamus (Calamus oil)

18. Minyak Tansi (Tansy oil)

19. Minyak Sasafras (Sasafras oil) Sumber PERMENKES NO 033 TAHUN 2012

Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan

besar, yaitu sebagai berikut (Winarno, 1997) :

1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam

makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud

penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan

membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pengeras.

2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan

yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara

tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat

perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan. Bahan

ini dapat pula merupakan residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja

ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya

yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang akan dikonsumsi.

Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah residu

pestisida (termasuk insektisida, herbisida, fungisida, dan rodentisida),

antibiotik, dan hidrokarbon aromatik polisiklis.

2.1.3. Sanitasi Makanan

Sanitasi makanan tidak dapat dipisahkan lagi dari sanitasi lingkungan karena

sanitasi makanan adalah usaha untuk mengamankan dan menyelamatkan makanan

agar tetap bersih, sehat, dan aman. Sanitasi makanan yang buruk dapat disebabkan

oleh tiga faktor, yaitu faktor fisik, faktor kimia dan faktor mikrobiologis.

a. Faktor fisik

Yang dimaksud dengan faktor fisik di sini adalah ruangan yang kurang

mendapat pertukaran udara yang kurang lancar, suhu panas atau lembab, dan

lain-lain. Untuk menghindari kerusakan makanan yang disebabkan oleh faktor

fisik maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut :

1. Sanitasi ruang dapur

2. Sanitasi pembuangan sampah

3. Sanitasi tempat penyimpanan bahan makanan

4. Sanitasi alat dapur

5. Sanitasi wilayah Steward

b. Faktor kimia

Sanitasi makanan yang buruk yang disebabkan oleh faktor kimia karena hal-hal

sebagai berikut :

1. Adanya pencemaran gas atau cairan yang merugikan kesehatan atau adanya

partikel-partikel yang beracun, misalnya alat-alat dapur yang dibuat dari

bahan yang mudah bereaksi dengan makanan yang diolah, seperti alat

dapur yang terbuat dari tembaga dengan kuningan yang digunakan untuk

mengolah bahan makanan yang asam.

2. Obat-obatan penyemprot yang digunakan untuk sayuran dan buah ketika

ditanam.

3. Zat-zat kimia yang digunakan untuk mempertahankan kesegaran bahan

makanan.

4. Zat pewarna tekstil yang digunakan untuk memberi warna makanan.

5. Ketidaktahuan masyarakat atas penggunaan obat insektisida yang

disemprotkan pada ikan yang sedang mengalami proses pengasinan dengan

tujuan agar ikan tersebut tidak dihinggapi lalat. Kalau lalat tersebut hinggap

maka ia akan membawa mikroorganisme pada ikan asin tersebut dan hal ini

menyebabkan ikan tidak tahan lama.

6. Penggunaan wadah bekas obat-obatan pertanian untuk kemasan makanan

dan lain-lain.

c. Faktor mikrobiologis

Sanitasi makanan yang buruk yang disebabkan oleh faktor mikrobiologis

karena adanya pencemaran oleh bakteri, virus, jamur dan parasit. Umumnya,

yang terbanyak disebabkan oleh bakteri (Widyati, 2002:43-51).

Perkembangbiakan bakteri dalam makanan ditentukan oleh keadaan

lingkungan serta temperatur yang cocok, selain ketersediaan zat gizi sebagai

sumber makanan.

1. Faktor yang sangat mendukung berkembangnya bakteri adalah sebagai

berikut :

a. Adanya makanan yang diperlukan

b. Tersedianya air

c. Temperatur yang sesuai

d. Waktu yang cukup untuk berkembang

Bahaya atau tidaknya dari berkembangnya bakteri tersebut bergantung pada

jenis mikroorganisme apa yang berkembang dan hasil samping dari

pertumbuhannya.

2. Kemungkinan masuknya bakteri ke dalam makanan adalah sebagai berikut:

a. Pada waktu makanan disiapkan

b. Pada waktu makanan diolah

c. Pada waktu makanan disimpan

d. Pada waktu makanan disajikan

Makanan merupakan salah satu media yang diperlukan bagi tumbuhnya

bakteri, ada yang tumbuh baik pada makanan yang tingkat keasamannya rendah,

ada yang memerlukan gula, dan ada yang memerlukan protein untuk

petumbuhannya.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya bakteri

adalah sebagai berikut :

a. Temperatur yang sesuai tumbuhnya bakteri yang menimbulkan

penyakit patogen secara cepat ialah pada suhu 37oC, tetapi ia dapat

tumbuh antara suhu 10oC-60

oC.

b. Dengan merebus atau memanaskan sampai mendidih selama berapa

menit bakteri akan mati, tetapi untuk memusnahkan toksinnya harus

direbus minimal setengah jam, sedangkan membunuh bakteri yang

tahan panas tinggi harus dipanaskan pada suhu 120oC.

c. Menyimpan makanan pada suhu rendah (minimal 37oC) bukan berarti

bakteri akan mati, melainkan hanya membuat bakteri tersebut nonaktif.

Bila temperatur yang diperlukan untuk tumbuhnya bakteri tersebut

memungkinkan maka ia akan aktif kembali.

d. Dalam pertumbuhannya bakteri memerlukan air. Oleh karena itu, bahan

makanan yang mengandung cairan lebih cepat busuk dibandingkan

dengan bahan makanan atau makana kering.

e. Setiap 20 menit bakteri akan berkembang. Oleh karena itu, dalam

jangka 5-6 jam, berjuta – juta bakteri akan tumbuh.

Berdasarkan faktor-faktor diatas maka bila ingin menyimpan makanan harus

menghindari situasi dan kondisi yang memungkinkan untuk berkembangnya

bakteri secara baik. Kelompok bakteri yang menyebabkan keracunan makanan

pada manusia salah satunya adalah keracunan karena infeksi Eschericia coli

disebabkan oleh hal-hal seperti pendingin yang tidak sempurna, waktu memasak

yang tidak cukup matang, alat-alat kurang bersih, dan higiene dari tenaga

pengolah yang kurang baik. Gejala-gejala orang yang terkena infeksi ini adalah

sakit perut, diare, muntah, demam, menggigil, pusing, dan otot-otot pegal

(Widyawati,2002:53).

2.1.4. Asam Borat

Asam borat (H3BO3) merupakan senyawa bor yang dikenal juga dengan

nama borax. Di Jawa Barat juga dengan nama “ bleng”, di Jawa Tengah dan Jawa

Timur dikenal dengan nama “pijer”. Digunakan atau ditambahkan ke dalam

pangan atau bahan pangan sebagai pengenyal ataupun sebagai bahan pengawet.

Komposisi dan bentuk asam borat mengandung 99,0% dan 100,5% H3 BO3.

Mempunyai bobot molekul 61,38% dengan B = 17,50% ; H = 4,88%; O = 77,62%

berbentuk serbuk hablur kristal transparan atau granul putih tak berwarna dan tak

berbau serta agak manis ( Cahyadi, 2009:252).

Boraks adalah nama lain dari natrium tetraborat ( NaB4O7) dan berbentuk

padat. Jika terlarut dalam air, akan menjadi natrium hidroksida dan asam borat

(H3BO3) . Dengan demikian bahaya boraks identik dengan bahaya asam borat

(Nurchasanah, 2008:135).

Senyawa asam borat ini mempunyai sifat-sifat kimia sebagai berikut : jarak

lebur sekitar 171oC. Larut dalam 18 bagian air dingin, 4 bagian air mendidih, 5

bagian gliserol 85%, dan tak larut dalam eter. Kelarutan air bertambah dengan

penambahan asam klorida, asam sitrat, atau asam tartat. Mudah menguap dengan

pengawasan dan kehilangan satu molekul airnya pada suhu 100oC yang secara

perlahan berubah menjadi asam metaborat( HBO2). Asam borat merupakan asam

lemah dan garam alkalinya bersifat basa. Satu gram asam borat larut sempurna

dalam 30 bagian air, menghasilkan larutan yang jernih dan tak berwarna. Asam

borat tak tercampur dengan alkali karbonat dan hidroksida.

Efek farmakologi dan toksisitas senyawa boron atau asam borat merupakan

bakterisida lemah. Larutan jenuhnya tidak membunuh Staphylococcus Aureus.

Oleh karena toksisitas lemah sehingga dapat di gunakan sebagai bahan pengawet

pangan. Walaupun demikian, pemakaian berulang atau absorpsi berlebihan dapat

mengakibatkan toksik (keracunan). Gejala dapat berupa mual, muntah, diare, suhu

tubuh menurun, lemah, sakit kepala, rash erythematous, bahkan dapat

menimbulkan shock. Kematian pada orang dewasa dapat terjadi dalam dosis 15-

25 gram, sedangkan pada anak dosis 5-6 gram. Asam borat dapat juga bersifat

terarogenik pada anak ayam. Absorpsinya melalui saluran cerna, sedangkan

ekskresinya yang utama melaui ginjal. Jumlah yang relatif besar ada pada otak,

hati dan ginjal sehingga perubahan patologinya dapat dideteksi melalui otak dan

ginjal. Dilihat dari efek farmakologi dan toksisitasnya, maka asam borat dilarang

digunakan dalam pangan (Cahyadi, 2009:253)

Asam borat dan garamnya utamanya boraks atau sodium tetraborat secara

luas digunakan pada industri gelas, fiberglass, porselin, enamel, keramik glasur

dan meta alloy. Senyawa ini juga digunakan sebagai fire retardant, pupuk, bahan

laundry, herbisida dan insektisida (Anonim, 2004 dalam silalahi). Produk

pestisida yang mengandung boraks dan asam borat banyak digunakan sebagai

insektisida, fungisida dan herbisida. Sebagai insektisida boraks dan asam borat

merupakan racun perut untuk semut, kecoa, ngengat dan rayap dan menyebabkan

kerusakan eksoskeleton. Sebagai herbisida boraks menghambat fotosintesis

tanaman dan sebagai fungisida digunakan sebagai pengawet kayu untuk

menghambat pertumbuhan jamur dengan mencegah produksi konidia atau spora

aseksual. Asam borat dan boraks adalah juga merupakan bahan tetap pada produk-

produk pestisida sebagai sekuestran atau pengikat bahan logam (USEPA 2008

dalam silalahi).

Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering pula digunakan sebagai

pengawet makanan. Boraks sering disalahgunakan untuk mengawetkan berbagai

makanan seperti bakso, mie basah, pisang molen, siomay, lontong, ketupat dan

pangsit. Selain bertujuan untuk mengawetkan, boraks juga dapat membuat tekstur

makanan menjadi lebih kenyal dan memperbaiki penampilan makanan (Nuri

dalam Cahyadi, 2009:294).

Boraks ditambahkan ke dalam makanan untuk memperbaiki tekstur

makanan sehingga menghasilkan rupa yang bagus. Bakso mengandung boraks

memiliki kekenyalan khas yang berbeda dari kekenyalan bakso yang

menggunakan banyak daging. Bakso yang mengandung boraks sangat kenyal,

lebih disukai dan tahan lama. Boraks menimbulkan efek racun pada manusia,

toksisitas boraks yang terkandung di dalam makanan tidak langsung dirasakan

oleh konsumen. Boraks apabila terdapat pada makanan, maka dalam waktu jangka

lama walau hanya sedikit akan terjadi akumulasi (penumpukan) dalam otak, hati,

ginjal dan jaringan lemak. Pemakaian dalam jumlah banyak dapat menyebabkan

demam, depresi, kerusakan ginjal, nafsu makan berkurang, gangguan pencernaan,

kebodohan, kebingungan, radang kulit, anemia, kejang, pingsan, koma bahkan

kematian.

2.1.5. Bakteri Escherichia coli

Istilah bakteri berasal bahasa Yunani, yaitu bakterion yang artinya batang

kecil. Sel – sel bakteri berukuran sangat kecil sehingga hanya dapat diamati

dengan mikroskop. Pada umumnya, panjang sel bakteri berkisar antara 2 -10 µm

dengan diameter sekitar 0.5-1 µm. Beberapa jenis bakteri memiliki panjang lebih

dari 100 µm dengan diameter 0.1-0.2 µm.

Escherichia Coli pertama kali diidentifikasikan oleh dokter hewan Jerman,

Theodor Escherich dalam studinya mengenai sistem pencernaan pada bayi hewan.

Pada 1885, beliau menggambarkan organisme ini sebagai komunitas bakteri coli

(Escherich 1885) dengan membangun segala perlengkapan patogenitasnya di

infeksi saluran pencernaan. Nama “Bacterium Coli” sering digunakan sampai

pada tahun 1991. Ketika Castellani dan Chalames menemukan genus Escherichia

dan menyusun tipe spesies E. coli. Bakteri juga berasal dari kata latin yaitu

bacterium (jamak : bacteria), adalah kelompok raksasa dari organisme

hidup.Bentuk dasar bakteri terdiri atas bentuk bola (kokus), batang (basil), dan

spiral (spirilia).Superdomain : Phylogenetica, Filum : Proterobacteria, Kelas :

Gamma Proteobacteria, Ordo : Enterobacteriales, Family : Enterobacteriaceae,

Genus : Escherichia, Species : Escherichia Coli.

E. coli dari anggota family Enterobacteriaceae. Ukuran sel denganpanjang

2,0-6,0 μm dan lebar 1,1-1,5 μm, tersususn tunggal, berpasangan, dengan flagella

peritikus. Bakteri ini menggunakan asetat sebagai sumber karbon, tetapi tidak

dapat menggunakan sitrat. Glukosa dan beberapa karbohidrat lainnya dipecah

menjadi piruvat, dan fermentasi lebih lanjut menghasilkan laktat asetat dan

format. E. coli tumbuh pada suhu antara 10-40oC, dengan suhu optimum 37

oC. pH

optimum untuk pertumbuhannya adalah pada 7,0-7,5 pH minimum 4,0 dan

maksimum pada pH 9,0. Nilai aw minimum untuk pertumbuhan E. Coli adalah

0,96 (Supardi dkk,1999:184). E. coli merupakan penghuni normal usus, seringkali

menyebabkan infeksi.Kapsula atau mikrokapsula terbuat dari asam – asam

polisakarida.Mukoid kadang – kadang memproduksi pembuangan ekstraselular

yangtidak lain adalah sebuah polisakarida dari speksitifitas antigen K tententuatau

terdapat pada asam polisakarida yang dibentuk oleh banyak E.coli seperti pada

Enterobacteriaceae. Selanjutnya digambarkan sebagaiantigen M dan

dikomposisikan oleh asam kolanik.Biasanya sel ini bergerak dengan flagella

petrichous. E. colimemproduksi macam – macam fimbria atau pili yang berbeda,

banyakmacamnya pada struktur dan speksitifitas antigen, antara lain

filamentus,proteinaceus, seperti rambut appendages di sekeliling sel dalam

variasijumlah. Fimbria merupakan rangkaian hidrofobik dan mempunyaipengaruh

panas atau organ spesifik yang bersifat adhesi. Hal itumerupakan faktor virulensi

yang penting. E. coli merupakan bakteri fakultatif anaerob, kemoorganotropik,

mempunyai tipe metabolisme fermentasi dan respirasi tetapipertumbuhannya

paling sedikit banyak di bawah keadaananaerob.

Bakteri Eschericia coli hidup di kolon usus (usus besar) manusia, berfungsi

membantu membusukkan sisa pencernaan juga menghasilkan vitamin B12, dan

vitamin K yang penting dalam proses pembekuan darah. Dalam organ pencernaan

berbagai hewan ternak dan kuda, bakteri anaerobik membantu mencernakan

selulosa rumput menjadi zat yang lebih sederhana sehingga dapat diserap oleh

dinding usus.

Escherichia coli merupakan bakteri fecal indicator yang digunakan untuk

mendeteksi adanya kontaminasi oleh feses pada air dan mendeteksi keberadaan

pathogen usus. Kriteria sebagai fecal indicator adalah :

a. Bakteri ini hanya terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan

b. Harus ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak di dalam feses

c. Harus memiliki daya tahan hidup yang tinggi pada lingkungan di luar usus

d. Relatif mudah diisolasi dan dideteksi meskipun dalam jumlah yang sangat

sedikit.

Penyebaran E. coli dapat terjadi dengan cara kontak langsung atau

bersentuhan, berjabatan tangan dan sebagainya. Kemudian diteruskan melalui

mulut, akan tetapi E. colipun dapat ditemukan tersebar di alam sekitar kita.

Penyebaran secara pasif dapat terjadi melalui makanan atau minuman (Melliawati

2004 ).Escherichia coli yang menyebabkan penyakit pada manusia disebut Entero

Pathogenic Escherichia coli (EPEC). Ada 2 (dua) golongan Escherichia coli

penyebab penyakit pada manusia yaitu :

1. Entero Toxigenic Escherichia coli (ETEC)

Yaitu mampu menghasilkan enterotoksin dalam usus kecil dan menyebabkan

penyakit seperti kolera. Waktu inkubasi penyakit ini 8-24 jam dengan gejala

diare, muntah-muntah dan dehidrasi serupa dengan kolera.

2. Entero Invasive Escherichia coli (EIEC)

Yaitu mampu menembus dinding usus dan menimbulkan kolitis (radang usus

besar) atau gejala demam, sakit kepala, kejang perut dan diare berdarah.

Pangan yang sering terkontaminasi bakteri ini adalah susu, air minum, daging,

keju dan lain-lain).

Di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya menggunakan bakteri Eschericia

coli untuk pengujian air minum. Bakteri Eschericia coli lebih mudah

mengisolasinya daripada jenis bakteri lainnya. Keberadaan bakteri Eschericia coli

dalam sumber air atau makanan merupakan indikasi pasti terjadinya kontaminasi

tinja manusia Karena itulah jika air atau makanan mengandung E. coli, hendaknya

harus dipertimbangkan penolakan pemakaian untuk air minum, sebab besar

kemungkinan air atau makanan tersebut tercemar bahan-bahan kotor.

2.1.6. Bakteri Clostridium perfringens

Clostridium perfringens adalah spesies bakteri gram-positif yang dapat

membentuk spora dan menyebabkan keracunan makanan. Beberapa karakteristik

dari bakteri ini adalah non-motil (tidak bergerak), sebagian besar memiliki kapsul

polisakarida, dan dapat memproduksi asam dari laktosa. C. perfringens dapat

ditemukan pada makanan mentah, terutama daging dan ayam karena kontaminasi

tanah atau tinja. Bakteri ini dapat hidup pada suhu 15-55°C, dengan suhu

optimum antara 43-47°C. Clostridium perfringens dapat tumbuh pada pH 5-8,3

dan memiliki pH optimum pada kisaran 6-7.Sebagian C. perfringens dapat

menghasilkanenterotoksin pada saat terjadisporulasi dalam usus manusia. Spesies

bakteri ini dibagi menjadi 5tipe berdasarkan eksotoksin yangdihasilkan, yaitu A,

B, C, D, dan E. Sebagian besar kasus keracunanmakanan karena C. perfringens

disebabkan oleh galur tipe A, dan adapula yang disebabkan oleh galur tipe C.

Clostridium perfringens secara luas dapat ditemukan dalam tanah dan

merupakan flora normal dari saluran usus manusia dan hewan-hewan tertentu.

Bakteri ini dapat tumbuh cepat pada makanan yang telah dimasak dan

menghasilkan enterotoksin yang dapat mengakibatkan penyakit diare. Sayuran

dan buah-buahan akan terkontaminasi sporanya melalui tanah. Makanan asal

hewan (daging dan olahannya) akan terkontaminasi melalui proses pemotongan

dengan spora dari lingkungan atau dari saluran usus hewan yang dipotong.

Makanan-makanan kering sering menjadi sumber bakteri ini dan pembentuk spora

lainnya. Keracunan makanan oleh Clostridium perfringens hampir selalu

melibatkan peningkatan temperatur dari makanan matang. Hal ini dapat dicegah

dengan cara makanan matang segera dimakan setelah dimasak, atau segera

disimpan dalam refrigerator bila tidak dimakan, dan dipanaskan kembali sebelum

dikonsumsi untuk membunuh bakteri vegetatif. Klostridia menghasilkan sejumlah

besar toksin dan enzim yang mengakibatkan penyebaran infeksi. Toksin alfa

Clostridium perfringens tipe A adalah suatu lesitinase, dan sifat letaknya

sebanding dengan laju pemecahan lesitin menjadi fosforilkolin dan digliserida.

Toksin tetap mempunyai efek hemolitik dan nekrotik yang serupa tetapi bukan

suatu lesitinase. Dnase dan hialuronidase, suatu kolagenase yang mencernakan

kolagen jaringan subkutan dan otot, dihasilkan juga.

Beberapa strain Clostridium perfringens menghasilkan enterotoksin yang

kuat, terutama bila tumbuh dalam masakan daging. Kerja enterotoksin

Clostridium perfringens meliputi hipersekresi yang nyata dalam jejunum dan

ileum, disertai kehilangan cairan dan elektrolit padadiare. Bila lebih dari 108 sel

vegetative termakan dan bersporulasi dalam usus, terbentuk enterotoksin.

Enterotoksin adalah suatu protein yang tampaknya identik dengan komponen

pembungkus spora, berbeda dengan toksin klostridia lainnya, menyebabkan diare

hebat dalam 6-18 jam penyakit ini cenderung sembuh sendiri. Keracunan

makanan karena Clostridium perfringens biasanya terjadi setelah memakan

sejumlah besar klostridia yang tumbuh dalam makanan daging yang dihangatkan.

Proses patogenesisnya adalah mula-mula spora klostridia mencapai jaringan

melalui kontaminasi pada daerah-daerah yang terluka (tanah, feses) atau dari

saluran usus. Spora berkembangbiak pada keadaan potensial reduksi-oksidasi

rendah, sel-sel vegetative berkembangbiak, meragikan karbohidrat yang terdapat

dalam jaringan dan membentuk gas. Peregangan jaringan dan gangguan aliran

darah, bersama-sama dengan sekresi toksin yang menyebabkan nekrois dan enzim

hialuronidase, mempercepat penyebaran infeksi. Nekrosis jaringan bertambah

luas, memberi kesempatan untuk peningkatan pertumbuhan bakteri,

anemiahemolitik, dan akhirnya toksemia berat dan kematian.

Clostridium perfringens secara normal ditemukan pada usus sapi dewasa

dan dapatbertahan hidup cukup lama di tanah. Kondisi perubahan program pakan

yang secara mendadak yang dimakan berlebih dapat mengakibatkan proses

pencernaan makanan yang kurangsempurna, memperlambat pergerakan usus,

menproduksi gula, protein dan konsentrasi oksigenyang rendah yang berujung

pada lingkungan yang cocok untuk mempercepat pertumbuhan bakteri

Clostridium. Kondisi basah dan lembab juga diinginkan oleh bakteri ini.Beberapa

strain Clostridium menyebabkan penyakit ringan sampai sedang yang

membaiktanpa pengobatan. Strain yang lainnya menyebabkan gastroenteritis

berat, yang sering berakibatfatal. Beberapa racun tidak dapat dirusak oleh

perebusan, sedangkan yang lainnya dapat. Daging yang tercemar biasanya

merupakan penyebab terjadinya keracunan makanan karena Clostridium

perfringens.

Cara penularan adalah karena menelan makanan yang terkontaminasi oleh

tanah dan tinja dimana makanan tersebut sebelumnya disimpan dengan cara yang

memungkinkan kuman berkembangbiak. Hampir semua Kejadian Luar Biasa

yang terjadi dikaitkan dengan proses pemasakan makanan dari daging (pemanasan

dan pemanasan kembali) yang kurang benar, misalnya kaldu daging, daging

cincang, saus yang dibuat dari daging sapi dan ayam. Spora dapat bertahan hidup

pada suhu memasak normal. Spora dapat tumbuh dan berkembang biak pada saat

proses pendinginan, atau pada saat penyimpanan makanan pada suhu kamar dan

atau pada saat pemanasan yang tidak sempurna.

2.1.7. Kontaminasi E. coli Pada Makanan Dan Pencegahannya

Mikroba indikator adalah golongan atau spesies bakteri yang kehadirannya

dalam makanan dalam jumlah diatas batas (limit) tertentu merupakan pertanda

bahwa makanan telah terpapar dengan kondisi-kondisi yang memungkinkan

berkembangbiaknya mikroba pathogen. Mikroba indikator digunakan untuk

menilai kemanan dan mutu mikrobiologi makanan (Damanik dalam BPOM,

2008). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) batas cemaran mikroba dalam

pangan khususnya pada produk olahan daging yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.2

Batas Cemaran Mikroba dalam Pangan

No.

Kat

Pangan

Kategori Pangan

Produk olahan

daging, daging unggas

dan daging hewan

buruan,dihaluskan

Jenis Cemaran

Mikroba Batas Maksimum

0.83

Daging olahan dan

daging ayam

olahan(bakso, sosis,

nuget dan burger)

ALT(30oC,72 Jam) 1x10

5koloni/g

APM Coliform 10/g

APM Eschericia coli <3/g

Salmonella sp Negatif/25

Stapylococcus aureus 1x102koloni/g

Clostridium

perfingens

1x102koloni/g

Sumber SNI 7388:2009

Pengujian terhadap bebas tidaknya dari jasad renik yang menimbulkan

penyakit adalah tes sangkaan terhadap kemungkinan adanya bakteri coliform yang

meliputi suatu spesies yaitu Escherichia coli dan Aerobacter aerogenes.

E. coli merupakan flora normal didalam saluran pencernaan hewan dan

manusia yang mudah mencemari air. Oleh karena itu, kontaminasi bakteri ini pada

makanan biasanya berasal dari kontaminasi air yang digunakan. Bahan makanan

yang sering terkontaminasi E. coli diantaranya adalah daging ayam, daging sapi,

daging babi selama penyembelihan, ikan dan makanan-makanan hasil laut

lainnya, telur dan produk olahannya, sayuran, buah-buahan, sari buah, serta bahan

minuman seperti susu dan lainnya.

Alat-alat yang digunakan dalam industri pengolahan pangan yang sering

terkontaminasi oleh E. coli yang berasal dari air yang digunakan untuk mencuci.

Kontaminasi bakteri ini pada makanan atau alat-alat pengolahan merupakan suatu

tanda praktek sanitasi yang kurang baik (Supardi dan Sukamto, 1998:188-189) .

2.1.8. Cemaran Mikroba pada Daging dan Produk Olahannya

Bahan pangan yang berasal dari hewan merupakan sumber utama bakteri

penyebab infeksi dan intoksikasi . Mikroorganisme yang terdapat pada hewan

hidup dapat terbawa ke dalam daging segar dan mungkin bertahan selama proses

pengolahan (Siagian, 2002). Daging mudah rusak dan merupakan mediayang

cocok bagi pertumbuhan mikroba, karena tingginya kandungan air dan giziseperti

lemak dan protein. Kerusakandaging dapat disebabkan oleh perubahandalam

daging itu sendiri (faktor internal) maupun karena faktor lingkungan (eksternal).

Daging yang tercemar mikroba melebihi ambang batas akan menjadi berlendir,

berjamur, daya simpannya menurun, berbau busuk dan rasa tidak enak serta

menyebabkan gangguan kesehatan bila dikonsumsi. Beberapa mikroba patogen

yang biasa mencemari daging adalah E.coli, Salmonella, dan Staphylococcus sp.

Kandungan mikroba pada daging dapat berasal dari peternakan dan rumah potong

hewan yang tidak higienis. Proses pengolahan daging yang cukup lama juga

memungkinkan terjadinya cemaran mikroba pada produk olahannya (Titiek F.

Djaafar dan Siti Rahayu, 2008). Selain itu juga, penggilingan daging dalam

pembuatan daging cincang dapat menyebarkan mikroorganisme, sehingga daging

cincang merupakan produk daging yang berisiko tinggi. Produk olahan daging

seperti kornet, bakso dan sosis harus memenuhi syarat mutu yang sudah

ditetapkan. Berdasarkan SNI 7388:2009, cemaran E.coli pada sosis, bakso, nuget

dan burger yang terbuat dari daging harus >3/g, Salmonella pada sosis, bakso,

nuget dan burger yang terbuat dari daging harus negatif, Clostridium perfringens

1x102 koloni/g, dan S. aureus maksimal 1x10

2 koloni/g.

2.2. Kerangka Berpikir

2.2.1. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian ini mengacu pada PERMENKES No.033

2012 tentang Bahan Tambahan Pangan dan SNI No.7388:2009 Batas Maksimum

Cemaran Mikroba Dalam Pangan. Kualitas bakso dapat dipengaruhi oleh sanitasi

makanan yang dapat dilihat dari faktor fisik, kimia, dan biologis serta bahan

tambahan pangan dapat di pengaruhi oleh adanya boraks pada jajanan bakso.

Gambar 2.2 Bagan Kerangka Teori

Bakso

Bakteri

Faktor

Mikrobiologis

Mikroorganisme

Bahan tambahan

pangan

Faktor Kimia Boraks

Faktor Fisik

Permenkes no 033

Tahun 2012 BTP dan

SNINo.7388:2009 E. coli

Sanitasi

makanan

2.2.2. Kerangka Konsep

Keterangan :

: variabel independen

: variabel dependen

: variabel yang diteliti

Gambar 2.3 Bagan Kerangka Konsep

Boraks

Kandungan

E. coli

Bakso