Upload
nguyenliem
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sistem Informasi Manajemen
Dalam setiap organisasi, informasi merupakan bahan pokok bagi pembuatan
keputusan, infromasi dapat menuokong penuh bagi pembuatan keputusan apabila
berlangsung dalam sebuah system. Scanian (dalam Davis, 1985:50) mengemukakan bahwa
system merupakan keseluruhan yang kompleks dan teratur, suatu rancangan atau gabungan
dari bagian yang membentuk suatu kesatuan menyeleuruh.
Kebutuhan organisasi dalam system informasi berkaitan dengan teknik
pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan dengan mudah menemukan kembali saat
diperlukan serta penyaluran informasi. Sebuah system informasi adalah melakukan semua
pengolahan transaksi yang perlu untuk organisasi serta memberikan dukungan informasi
dan pengolahan untuk fungsi manajemen termasuk dalam hal pengambilan keputusan.
Membahas konsep informasi tidak terlepas dari komunikasi, oleh karena informasi
akan atau baru memiliki nilai bilamana telah dikomunikasikan. Oleh Davis (dalam
Darsowiyono, 1984:83) mengemukakan pendapatnya tentang konsep komunikasi sebagai
proses penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain (the
process of passing information and understanding from one person to another). makna yang
dapat diperoleh ketika informasi dikomunikasikan adalah terdapatnya pemahaman yang
serupa antara dua orang atau lebih yang melakukan komunikasi. Karena dengan adanya
2
kesamaan pemahaman atau persepsi merupakan tujuan komunikasi, sebagaimana
dikemukakan Gondokusumo (1992:1) bahwa tujuan utama dari komunikasi adalah supaya kedua
pihak menangkap informasi dan ide itu dengan pengertian yang sama seperti pengertian pihak
pertama, atau dengan kata lain tujuan komunikasi adalah penyampaian informasi sehingga ada
kesesuaian paham.
Komunikator haruslah menguasai informasi yang akan disampaikan. Apabila
komunikator kurang atau tidak tepat dalam memberikan informasi, maka akan terjadi kekaburan
dalam diri komunikan, sehingga komunikasi tersebut tidak berkualitas.
Untuk memberikan gambaran konseptual komunikasi informasi yang berkualitas, perlu
memiliki ukuran tentang informasi itu sendiri, seperti dikemukakan Supriyono (1987:298) bahwa
ukuran untuk mengetahui berkualitas atau tidaknya informasi, berupa
1) Akurat, informasi harus benar dan sesuai realitas;
2) Tepat waktu, tidak terlambat dan baru serta masih segar;
3) Relevan, informasi bermanfaat bagi pemakainya merupakan koreksi terhadap informasi
sebelumnya.
Informasi yang akurat, tepat waktu dan relevan dapat digunakan dalam manajemen.
Untuk memberikan pemahaman tentang manajemen itu sendiri, pakar Longenecker dan Pringle
(1984:4) mengemukan pengertian konsep manajemen sebagai proses pencapaian dan
pengkombinasian sumber-sumber daya manusia, financial, dan fisikal guna mencapai tujuan
primer organisasi yakni memproduksi sebuah produk atau jasa yang diinginkan oleh segmen
tertentu dalam masyarakat. Bilamana dikaitkan informasi dengan manajemen itu sendiri maka
informasi diperlukan dalam proses organisasi mencapai tujuan utamanya, termasuk dalam hal
3
memproduksi barang dan jasa yang disediakan untuk keperluan masyarakat selaku pengguna
barang dan jasa.
Dalam manajemen terdapat sistem-sistem yang kompleks, seperti dikemukakan Cleland
dan King, 1983 (dalam Nisjar dan Winardi, 1997:48), sistem-sistem kompleks telah berhasil
menemukan sejumlah keterampilan yang menurut pakar ini berkaitan erat dengan manajemen
yang baik dalam berbagai lingkungan baru. Lebih lanjut Cleland dan King berpendapat bahwa
manajemen dengan sistim-sistim kompleks, harus memiliki:
1) Suatu pemahaman tentang teknologi bisnis mereka
2) Suatu pemahaman tentang konsep-konsep dasar manajemen
3) Suatu gaya interpersonal yang menunjang kemampuan mereka untuk melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan dan tugas-tugas tertentu dengan bantuan pihak lain
4) Suatu kemampuan untuk mengkonseptualisasikan dan beroperasi dengan memanfaatkan
sebuah pendekatan system.
2.2 Tingkat Kinerja Pelayanan Kinerja atau sering dikenal sebagai performance berkaitan dengan kepengelolaan atau
manajemen suatu organisasi dalam upaya mencapai tujuan yang telah disepakati sebelumnya.
Karena kinerja berkaitan dengan kepengelolaan, maka istilah manajemen kinerja seringkali
dijumpai jika dibandingkan dengan istilah kinerja secara parsial.
Manajemen kinerja merupakan salah satu kebutuhan bagi setiap organisasi untuk
dijalankan, dengan mengutamakan bentuk kerjasama dalam organisasi secara harmonis dan
terpadu terhadap penyelenggara organisasi baik sebagai pimpinan maupun sebagai bawahan,
dengan orientasi kepada proses pelaksanaan, hasil serta evaluasi yang dicapai.
4
Dalam organisasi publik dikenal istilah laporan akuntabilitas, yang pada intinya memuat
tentang seberapa besar tingkat pencapaian organisasi dalam menyelenggarakan tugas dan
fungsinya. Kondisi demikian dapat diartikan bahwa laporan yang dimaksud pada hakekatnya
merupakan bentuk capaian kinerja yang disampaikan menurut tata pelaporan yang telah
ditentukan. Laporan terhadap hasil kegiatan suatu organisasi publik selanjutnya menjadi bahan
evaluasi bagi organisasi lainnya yang memiliki tugas dan fungsi melakukan evaluasi terhadap
capaian kegiatan yang dilaporkan oleh suatu organisasi.
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi
organisasi, senantiasa dilaksanakan secara terpadu dan harmonis diantara pegawai yang terlibat,
baik sebagai pimpinan maupun sebagai bawahan, adalah dimaksudkan untuk mencapai tujuan
organisasi itu sendiri. Sebagai tolok ukur keberhasilan suatu organisasi dapat dilihat dari kinerja
personil yang terlibat didalamnya, dengan melakukan evaluasi. Oleh LAN (200:6) menentukan
indikator-indikator dalam melakukan evaluasi terhadap kinerja, karena melalui evaluasi kinerja
dapat memerankan fungsi-fungsi sebagai berikut:
1. Memberi informasi yang valid mengenai kinerja kebijakan, program dan kegiatan yaitu
mengenai seberapa jauh kebutuhan, nilai kesempatan telah dicapai.
2. Memberikan sumbangan pada klarifikasi dan kritik.
3. Memberikan sumbangan pada aplikasi metedo analisis kebijakan, termasuk perumusan
masalah dan rekomendasinya.
Fungsi-fungsi evalusi kinerja sebagaimana dikemukakan oleh LAN tersebut di atas,
memberikan gambaran bahwa evaluasi kinerja merupakan salah satu cara untuk menemukenali
permasalahan yang dihadapi organisasi dalam kaitannya dengan proses penyelenggaraan
5
kegiatan oleh karyawan atau personil didalamnya. Dengan teknik ini maka setiap permasalahan
yang dihadapi dapat diatasi dalam proses penyelenggaraan kegiatan organisasi dimasa
berikutnya.
Selain permasalahan yang dihadapi suatu organisasi dalam penyelenggaraan kegiatannya,
melalui evaluasi kinerja dapat diketahui tingkat keberhasilan organisasi secara keseluruhan atau
terhadap keberhasilan bagian organisasi, sehingga pada kondisi demikian evaluasi kinerja dapat
dijadikan sebagai stimulus bagi sub organisasi lain yang kinerjanya belum maksimal, dengan
cara mengidentifikasi factor penghambat untuk dicarikan pemecahannya, dan mempertahankan
kesuksesan yang telah dicapai.
Balanced Score Card yang diperkenalkan oleh Kaplan (1996) dikembangkan dengan
penilaian kinerja yang menggabungkan ukuran kualitatif dan kuantitatif melalui 4 (empat)
perspektifnya yaitu customer perspective, financial perspective, internal bisnis process
perspectif, dan learning and growth perspective dengan six sigma balanced score card
diharapkan dapat menjadi ukuran yang valid dan sekaligus sebagai pendekatan yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan publik melalui perumusan strategy pemerintah
yang terintegrasi, berorientasi masa depan, kepuasan pelanggan, dan pandangan secara
menyeluruh.
Dengan mengukur perubahan kepuasan pelanggan dari waktu ke waktu atau dari satu
sistem ke sistem yang berbeda pada kondisi regulasi yang sama, akan dapat diuji hasil apakah
keberadaan sebuah sistem informasi yang dikembangkan telah memenuhi harapan masyarkat
yang dilayani.
Tuntutan reformasi birokrasi, khususnya peningkatan kualitas layanan publik dengan
dinamika lingkungan dampak dari globalisasi dan perkembangan teknologi informasi tidak
6
dengan mudah dipenuhi pemerintah, hal ini dipersulit dengan belum tersusunnya strategi
nasional yang menyeluruh (komprehensif dan terpadu) dan sistematis untuk mewujudkan good
governance di Indonesia (Dwiyanto, 2005),
Meskipun langkah-langkah perbaikan seperti beberapa undang-undang (UU No.32 /2004
tentang Pemerintah Daerah, UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, UU No.8/2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-
undang) telah ditetapkan sebagai kerangka acuan penyelenggaraan pemerintah daerah. Kesulitan
yang dihadapi tersebut menyangkut :
1) Implementasi good governance memiliki dimensi yang luas, sehingga banyak aspek yang
saling terkait dan memerlukan intervensi dan koordinasi antar berbagai pihak yang
terkait,
2) informasi yang merupakan salah satu aspek yang sangat strategis dan menjadi gerbang
utama reformasi birokrasi belum tersedia secara cepat, tepat dan akurat, dengan
ketersediaan informasi tersebut merupakan prioritas utama (entry point) untuk
memperbaiki kinerja government menuju birokrasi yang diharapkan pada masa depan
3) perbedaan kondisi antar instansi dan antar daerah yang beragam mengakibatkan
peningkatan kompleksitas permasalahan governance, dan
4) komitmen dan kepedulian dari stakeholders mengenai reformasi governance berbeda-
beda dan secara umum masih rendah. Dengan kendala tersebut, maka wajar masyarakat
mengharapkan peningkatan kualitas pelayanan publik segera dilakukan pemerintah,
7
sebagai tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat sesuai dengan amanat
pembukaan UUD 1945.
Berkaitan dengan pengembangan good governance yang memiliki kompleksitas tinggi, e-
government melalui penerapan system informasi manajemen menjadi salah satu variabel yang
menentukan tingkat keberhasilan kinerja sektor publik atau organisasi pemerintah.
Aspek penyelenggaraan pelayanan publik dapat dipergunakan sebagai langkah awal dan
penggerak utama guna mewujudkan perubahan penyelenggaraan good governance dengan
tujuan akhir adalah customer satisfaction.
Dijadikannya pelayanan publik sebagai indikator pendorong (lead indicator), karena
perubahan dalam pelayanan publik dapat dilakukan dan diukur secara mudah, serta dampak
terlihat secara lebih nyata (Dwiyanto, dkk, 2003).
Selain itu, dalam penyelenggaraan organisasi publik atau pemerintahan, aspek
kepemimpinan yang sekaligus sebagai inti dari manajemen, merupakan bagian strategis terhadap
keberhasilan pencapaian tujuan suatu organisasi, sebagaimana pendapat yang menyebutkan
bahwa kepemimpinan sebagai tambahan pengaruh yang melebihi dan mengatasi kepatuhan
mekanis pada pengarahan rutin organisasi (Katz dan Kahn, 1966:302 dalam Steers, 1977:169).
Makna kepemimpinan yang dikemukakan pakar ini, dapat ditafsirkan bahwa proses
kepemimpinan menciptakan daya partisipasi atau kesukarelaan bawahan dalam menjalankan
tugas dan pekerjaan yang dibebankan, tanpa ada tekanan dengan dominasi rasa takut terhadap
kewajiban seseorang/personil dalam organisasi.
Kondisi ini pula yang membedakan apakah suatu organisasi dapat terselenggara secara
efektif dan tidak efektif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan
8
faktor yang menentukan efektivitas organisasi termasuk organisasi pemerintahan dalam
menyelenggarakan pelayanan publik.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No:
63/KEP/M.PAN/7/2003, Variabel-variabel pengukur dalam pelayanan publik dengan orientasi
hasil (lag indicator) adalah kepuasan pengguna jasa layanan publik/masyarakat yang
dicerminkan tingkat capaian efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi mudah untuk
diimplementasikan. Sehingga pengembangan sistem pelayanan publik yang berwawasan good
governance dengan obyektif kepuasan pelanggan relatif lebih mudah jika dibandingkan upaya
membudayakan nilai-nilai tersebut dalam keseluruhan aspek kegiatan masyarakat.
Menurut Parasuraman (1988), kepuasan akan jasa layanan publik dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu :
1) Kualitas jenis layanan
2) Kualitas pelayanan, yang dipersepsikan lima dimensi ukuran servqual yaitu :
a) bukti nyata (tangible)
b) kehandalan (reliability)
c) daya tanggap (responsiveness)
d) keyakinan (assurance)
e) dan kepedulian (emphaty)
3) Faktor emosional
4) Kepuasan harga/biaya layanan dan
5) Biaya dan kemudahan.
Kepuasan pengguna akan jasa layanan akan meningkat apabila persepsi pengguna
layanan akan seluruh atau sebagian unsur-unsur tersebut meningkat (memenuhi
9
harapan/expectation). Menurut Albrecht & Zemke (1990), kualitas pelayanan publik merupakan
hasil interaksi berbagai aspek, yaitu sistem pelayanan, sumber daya manusia, sumber pelayanan,
strategi dan pengguna jasa layanan/pelanggan (customer).
Berbagai alasan pelayanan publik relatif lebih mudah diimplementasikan karena :
1) Semua pihak menuntut perbaikan system penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga
pelayanan publik menjadi satu hal yang dipentingkan masyarakat sebagai pengguna
jasa layanan publik (hak masyarakat), pelaku pasar (lokal dan global), dan pemerintah
(pemberi layanan). Bagi pemerintah meningkatnya penyelenggaraan pelayanan publik
dapat memperkecil biaya birokrasi, sehingga pada gilirannya kesejahteraan
masyarakat akan meningkat dan mekanisme pasar akan semakin efisien
2) Pelayanan publik merupakan ranah dari ketiga unsur (three parted) governance untuk
melakukan interaksi. Melalui pelayanan publik baik pemerintah, masyarakat sebagai
pengguna jasa layanan, dan pelaku pasar masing-masing akan melakukan check-
balanced, hal ini sesuai dengan positive theory (Watts and Zimmerman, 1986).
Menurut Dwiyanto (2003), Muara akhir dari pelayanan publik adalah meningkatnya
customer satisfaction, yang ditunjukkan oleh peningkatan trust dari pelaku pasar dan masyarakat
terhadap pemerintah, Governance and Decentralization Survey 2002 (GDS, 2002) menunjukkan
bahwa sebagian warga menganggap wajar terhadap praktik pungutan liar dan justru merasa lega
karena proses pelayanan cepat selesai.
Pengembangan tolok ukur dan indikator penyelenggaraan pelayanan publik dalam
kerangka good governance dapat dengan mudah diimplementasikan apabila didukung oleh
10
sumber daya manusia aparatur yang tanggap akan tuntutan masyarakat dan dinamisasi perubahan
lingkungan local dan global, berkualitas dan memiliki kompetensi sehingga mampu
melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan cepat, tepat, dan akurat sesuai dengan
kewenangan, komitmen tinggi, dan kapasitas yang dimilikinya.
Sehingga tercipta koordinasi dan sinergi antar beberapa instansi, unit, dan pihak terkait
yang semakin mantap, serta didukung dengan tersedianya sarana dan prasarana penunjang yang
memadai yang memungkinkan penyelenggaraan pelayanan publik secara cepat, tepat, murah,
non diskriminatif, transparan, akuntabel, efesien, dan efektif.
Faktor lain yang tidak kalah penting penyelenggaraan pelayanan public juga harus
didukung oleh organisasi, kelembagaan, manajemen proses pelayanan publik yang saling terpadu
dalam jalinan mata rantai system (value chain) yang saling terkait satu sama lain guna
meningkatkan kepuasan pengguna jasa layanan publik (customer satisfaction).
Terdapat empat pola/model penyelenggaraan pelayanan publik (Kep.MENPAN :
63/KEP/M.PAN/7/2003) yaitu
1) Fungsional
2) Terpusat
3) Terpadu, yang meliputi
a. Terpadu satu atap
b.Terpadu satu pintu
c. Gugus tugas.
11
Seiring dengan desentralisasi maka pola penyelenggaraan pelayanan publik terpadu
dibedakan menjadi 2(dua) yaitu satu atap (stand alone), dan satu pintu (one stop service).
Pada prinsipnya terdapat 4 (empat) model penyelenggaraan pelayanan publik terpadu
yang berkembang di Indonesia saat ini yaitu :
1) Terpadu satu atap-one stop service (one roof system-one stop service),
2) Terpadu satu atap proses berdiri sendiri (one roof system-stand alone),
3) Terintegrasi penuh dan satu atap (one stop service)
4) Terintegrasi namun tidak satu atap/berdiri sendiri (stand alone).
Pemisahan terpadu/ terintegrasi dibedakan atas keterhubungan proses back office dan
front office dan keterkaitan satu jenis/unit layanan dengan lainnya. Masing-masing jenis pola
tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Perbedaan tersebut juga
menyebabkan perbedaan support systemnya baik kompetensi SDM, koordinasi, teknologi, sarana
dan prasarana, maupun prosedur masing-masing pola.
Menurut Wibowo (2007:4) kinerja merupakan inplementasi dari rencana yang telah
disusun. Implementasi rencana dilakukan oleh sumber daya manusia yang memiliki kemampuan,
kompetensi, motivasi, dan kepentingan. Wibowo juga mengemukakan bahwa kinerja organisasi
menunjukkan proses berlangsungnya kegiatan untuk mencapai tujuan.
Didalam proses pelaksanaan aktivitas harus selalu dilakukan monitoring, penilaian, dan
review atau peninjauan ulang terhadap kinerja personil sebagai sumber daya manusia. Melalui
monitoring dilakukan pengukuran dan penilaian kinerja secara periodik, sedangkan untuk
mengetahui pencapaian kemajuan kinerja dilakukan prediksi apakah terjadi deviasi pelaksanaan
terhadap rencana yang dapat menganggu pencapaian tujuan.
12
Atas dasar penilaian tersebut, dilakukan review bersama antara atasan dan bawahan untuk
mengetahui apakah terdapat kesalahan dalam proses kinerja. Berdasarkan hasil review, diberikan
umpan balik untuk melakukan koreksi terhadap perencanaan kinerja maupun implementasi
kinerja.
Di sisi lain untuk meningkatkan kinerja, dilakukan pembinaan personil atau sumber daya
manusia melalui coaching, mentoring, dan counseling. Kemampuan sumber daya manusia selalu
ditingkatkan melalui pelatihan dan pengembangan.
Pengukuran kinerja dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat deviasi antara progress
yang direncanakan dengan kenyataan. Apabila terdapat deviasi berupa progress yang lebih
rendah, perlu dilakukan langkah-langkah untuk memacu kegiatan agar tujuan yang diharapkan
dapat dicapai. Seberapa jauh tujuan tersebut dapat dicapai mencerminkan hasil kerja atau prestasi
kerja dan seringkali dinyatakan sebagai kinerja organisasi dan menunjukkan performa organisasi.
Hasil kerja organisasi dapat sama dengan tujuan yang ditetapkan, namun dapat pula lebih besar
atau bahkan lebih kecil dari harapan.
Demikian halnya dengan kinerja pelayanan yang menjadi fokus penelitian dalam karya
tulis ini, yang meneliti tentang proses pelayanan surat ijin usaha perdagangan di Kota Tangerang.
Dengan proses penilitian yang lebih fokus lagi terhadap jenis usaha kecil dan jenis usaha
menengah (sekaligus dalam penelitian ini bertindak sebagai variable dummy).
Kinerja pelayanan organisasi pemerintah daerah di Kota Tangerang yang diteliti, dengan
mengacu pada prosedur dan ketentuan penyelenggaraan pelayanan yang telah ditetapkan, dan
membandingkan dengan realitas pelayanan yang diselenggarakan pegawai organisasi.
13
Dalam kondisi demikian evaluasi terhadap penyelenggaraan pelayanan dapat dilakukan
dan bahkan lebih cocok jika masyarakat selaku pengguna jasa layanan yang melakukan evaluasi.
Walaupun dikeketahui bahwa dalam organisasi pemerintah, terdapat mekanisme evaluasi kinerja
yang dicapai dengan teknik pengukuran secara berkala.
Bilamana kinerja pelayanan ditempatkan pada posisi tingkat keberhasilannya melalui
evaluasi oleh masyarakat selaku pengguna jasa, maka keadaan ini akan turut mempengaruhi
sejauh mana layanan yang diterima masyarakat yang disediakan pemerintah (provider) adalah
sejalan dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.
Karena dengan kesesuaian kebutuhan dan harapan akan memudahkan untuk mengukur
tingkat kepuasan masyarakat dari proses penyelenggaraan pelayanan publik yang
diselenggarakan pemerintah daerah, termasuk di Kota Tangerang.
2.3 Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan obyek bahasan yang menarik, karena dapat dimulai dari sudut
mana saja untuk diteropong. Dan dari waktu ke waktu kepemimpinan menjadi perhatian
manusia.
Kepemimpinan diperlukan manusia karena adanya keterbatasan dan kelebihan-kelebihan
tertentu pada manusia. Disatu pihak manusia terbatas kemampuannya untuk memimpin, dipihak
lain ada orang yang mempunyai kelebihan kemampuan untuk memimpin. Disinilah awal
timbulnya pemimpin dan kepemimpinan.
Jika ditelusuri lebih lanjut, betapa pentingnya pemimpin dan kepemimpinan dalam suatu
kelompok jika terjadi suatu konflik atau perselisihan di antara orang-orang dalam kelompok, dan
pada saat demikian orang-orang membutuhkan cara penyelesaian untuk menjamin tumbuh dan
14
terjaminnya keteraturan dan dapat ditaati bersama. Disini orang-orang mulai menidentifikasi
dirinya pada kelompok, kehidupan bersama sangat diperlukan, dan konflik perlu dihindarkan.
Dalam kondisi ini peranan pemimpin sangat diperlukan.
Konsep dan pengertian kepemimpinan kadangkala diartikan sebagai pelaksanaan otorita
dan pembuatan keputusan (Dubin, 1967:1), dan sebagai suatu bentuk inisiatip untuk bertindak
dan menhasilkan suatu pola yang konsisten dalam rangka mencari jalan pemecahan dari suatu
persoalan bersama (Hemphill, 1954).
Namun, pengertian kepemimpinan yang banyak kita ketahui seperti yang dikemukakan
Terry (1960:493) dalam bukunya Principle of Management, sebagai kegiatan atau aktivitas untuk
mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi.
Jika dikaitkan dengan pendapat pakar-pakar tersebut di atas, secara sederhana dapat
dikemukakan bahwa dalam suatu organsisasi terdapat struktur dan hirarki yang berada pada level
atas adalah juga berfungsi sebagai pimpinan atau pemimpin.
Dalam peran ini, diarahkan untuk terjadinya gerakan atau aktivitas organisasi yang
sejalan dengan prosedur kerja dan diarahkan pada proses pencapaian tujuan. Kepemimpinan
dalam hal ini berperan sebagai energi untuk menggerakkan orang-orang yang berada dalam
sebuah organisasi untuk bekerja dengan sebaik-baiknya dan memberikan jaminan rasa aman
serta kesejahteraan pelaksanaan kerja dalam organisasi.
Dalam konsep kepemimpinan terdapat model kepemimpinan kontijensi yang
dikembangkan oleh Fiedler (1976). Model ini berisi tentang hubungan gaya kepemimpinan
dengan situasi yang menyenangkan. Adapun situasi tersebut dalam hubungannya dengan
dimensi-dimensi empiris, yaitu:
15
1) Hubungan pemimpin-anggota
2) Derajat dari struktur tugas
3) Posisi kekuasaan pemimpin yang dicapai lewat otoritas formal.
Dimensi-dimensi empiris tersebut merupakan dimensi yang penting untuk menimbulkan
situasi menyenangkan, dengan ketentuan semakin tinggi dimensi-dimensi tersebut maka semakin
tinggi situasi menyenangkan dalam menyelenggarakan kepemimpinan organisasi. Dengan kata
lain suatu situasi akan menyenangkan jika:
a. Pemimpin diterima oleh para pengikutnya (derajat dimensi pertama tinggi)
b. Tugas-tugas dan semua yang berhubungan dengannya ditentukan dengan jelas (derajat
dimensi kedua tinggi)
c. Penggunaan otoritas dan kekuasaan secara formal diterapkan pada posisi pemimpin
(derajat dimensi ketiga juga tinggi)
Demikian halnya jika terjadi sebaliknya, maka akan terjadi situasi yang tidak
menyenangkan. Dalam situasi yang menyenangkan, maka roda organisasi akan berjalan secara
efektif, karena didukung dengan regulasi atau ketentuan secara baik dan para pengikut dengan
setia mengikuti segala arahan yang disampaikan pemimpin.
Kaitannya dengan obyek yang diteliti dalam penulisan karya tulis ini, karena dalam
kepemimpinan yang efektif akan menjamin efektivitas penyelenggaraan organisasi maka dapat
disebutkan bahwa peran kepemimpinan dalam organisasi publik akan mempengaruhi produk
yang dihasilkan organisasi baik berupa barang maupun jasa publik secara baik atau berkualitas,
sehingga bermuara pada produk yang sesuai harapan dan berujung pada kepuasan masyarakat.
2.4 Kepuasan Masyarakat
Day (dalam Tse dan Wilton, 1988) mendefinisikan kepuasan pelanggan (pengguna
layanan pada layanan publik) sebagai respon pengguna layanan terhadap evaluasi
16
ketidaksesuaian (disconfirmation) yang dipersepsikan dan kinerja actual yang dirasakan dan
diterima oleh pengguna jasa layanan.
Sedangkan, Kotler (1997) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai tingkat perasaan
seseorang setelah membandingkan kinerja yang diterima dan dirasakan dibandingkan dengan
harapan (expectation).
Foster (1997) menyatakan bahwa terdapat 101 cara yang relevan untuk meningkatkan
kepuasan diantaranya yaitu:
1) Kemudahan dihubungan dan akses atas lokasi pelayanan publik
2) Non stop service (tidak tutup pada waktu jam kerja)
3) Cepat dalam memberikan respon atas permintaan pengguna layanan (customer)
4) Terbuka akan feed back
5) Menangani antrian secara cepat dan baik
6) Mengurangi waktu untuk proses pelayanan
7) Menyediakan waktu tunggu yang memadai
8) Jjaminan kepastian pelayanan selesai dilaksanakan
9) Tidak membebankan biaya layanan yang tidak semestinya.
10) Peningkatan kualitas produk dan SDM dengan menghasilkan produk/jenis layanan yang
bermutu, dan sesuai dengan keinginan pengguna layanan
11) Memberikan sesuatu kepada pengguna layanan yang lebih daripada harapan pengguna
layanan
17
12) Selalu mencari solusi kearah perbaikan yang berkesinambungan
13) Menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru
14) Mempertahankan loyalitas pelanggan
15) Memelihara proses bisnis dan menjaga hubungan baik dengan pengguna layanan
16) Melakukan komunikasi yang baik kepada pelanggan/pengguna jasa layanan
17) Jujur dalam berbuat, menepati janji, dan meningkatkan jaminan kepastian
18) Prosedur dan petunjuk diberikan secara jelas dan disosialisasikan secara cukup.
Gaspersz (1997) mengemukakan beberapa karakteristik dasar system pelayanan modern
yaitu:
1) Berorientasi pada pelanggan/pengguna jasa layanan
2) Adanya partisipasi aktif dan dipimpin oleh manajemen puncak dengan proses
peningkatan terus menerus (continuing improvement)
3) Aktifitas berorientasi pada tindakan pencegahan perusakan, didasarkan pada filosofi
bahwa kualitas adalah jalan hidup (way of life).
Lebih lanjut Gronoos (1990) mengemukakan bahwa kualitas jasa akan dapat memenuhi
kepuasan pengguna jasa layanan apabila :
1) Pemberi layanan dalam memberi layanan memiliki kemampuan dan profesional,
2) Sikap dan kelakuan pemberi layanan baik
3) Aksesibilitas dan fleksibilitas proses dan prosedur layanan
4) Reliabilitas dan tingkat kepercayaan, reputasi dan kredibilitas penyelenggara jasa layanan
publik yang tinggi
5) Reaksi atas kepuasan pengguna jasa layanan dapat diketahui melalui laporan langsung
kepuasan pelanggan, laporan ketidakpuasan, dan rating performa . kepentingan.
18
Indonesian Customer Satisfaction Indeks (1999) menggunakan ukuran kepuasan
pelanggan melalui 5 drive yaitu kualitas produk, kualitas pelayanan, faktor emosional, kualitas
harga atau value, kualitas biaya dan kemudahan untuk mendapatkan pelayanan. Model penilaian
kepuasan pelanggan ISCI dapat digambarkan sebagaimana berikut :
Sedangkan menurut model American Customer Satisfaction Index (ACSI) kepuasan
pelanggan merupakan hubungan antara total perceived quality, customer expectation, dan
perceived value. Sementara customer satisfaction akan menurunkan customer complaints, dan
meningkatkan customer loyalty. Model dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2. 2 Model Kepuasan Pelanggan American Customer Satisfaction Index
Overall Customer Satisfaction
Price
Cost Acquiring
Emotional Faktor
Service Quality
Product Quality
LOYALTY
Gambar 2. 1 Model Pengukuran Kepuasan Pelanggan Frontier (1999)
19
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor :
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelengaraan Pelayanan Publik, prinsip
pelayanan publik pemerintah Indonesia yang meliputi 10 (sepuluh) prinsip pelayanan yaitu
kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung jawab, kelengkapan
sarana prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan, dan keramahtamahan, serta
kenyamanan seluruhnya bertujuan akhir yaitu kepuasan pelanggan,
Untuk dapat memenuhi kepuasan pelanggan terdapat enam tahap yang harus dilakukan
oleh pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik yaitu
1) Penyelenggara pelayanan mendefinisikan pengguna layanan, produk dan jasa layanan
2) Mengidentifikasi tingkat SDM aparatur saat ini dan kepuasan pengguna layanan
3) Merumuskan dan mengumumkan dimana, serta bagaimana pelayanan dapat diberikan
4) Mengidentifikasi area yang potensial untuk dikembangkan
5) Mengembangkan dan mengimplementasikan rencana perbaikan/ pengembangan
6) Memonitor, melaporkan, dan melakukan perubahan secara berkesinambungan
Dengan enam langkah yang dilakukan secara berkelanjutan maka harapan pengguna jasa
, melalui standart layanan yang dikomunikasi, dan dilakukan benchmark, diukur dan feedback
akan dapat meningkatkan kepuasan pengguna jasa layanan. Demikian pula harapan dari SDM
aparatur yang memberikan layanan, dengan melalui training, pengarahan, komunikasi,
pemberdayaan, pengukuran kinerja dan pengakuan dan pemberian reward akan dapat
meningkatkan kepuasan SDM aparatur, sehingga personal motivation akan meningkat.
Peningkatan motivasi karyawan yang diimbangi dengan perbaikan bisnis proses akan
meningkatkan kepuasan pengguna jasa layanan.
Pelayanan publik menurut Ndhara (2003) adalah hak, kebutuhan dasar, dan tuntutan
setiap orang lepas dari suatu kewajiban. Layanan publik tidak diperjualbelikan atau
diperdagangkan bebas, penyediaannya dimonopoli dan merupakan kewajiban pemerintah.
20
Pelayanan publik juga tidak boleh diprivatisasi. Lebih lanjut Ndhara, menyebutkan bahwa
birokrasi pelayanan publik bersifat terbuka dan responsive, hal ini sejalan dengan pendekatan
Hampden—Turnerian (1994).
Sejalan dengan perkembangan manajemen pelayanan penyelenggaraan negara,
paradigma pelayanan publik berkembang mengarah pada pengelolaan layanan publik yang
berorientasi pada kepuasan pengguna jasa layanan (customer driven government). Terdapat ciri
yang berbeda dengan paradigma layanan yaitu lebih berfokus pada fungsi pengaturan, melalui
pengaturan kebijakan yang mengakomodasi perkembangan lingkungan agar lebih kondusif dan
partisipatif bagi terselenggaranya layanan.
Terdapat lima tahap menuju pelayanan publik yang excellence Straling(1979) yaitu
1) Identification of needs, identifikasi kebutuhan apa yang diperlukan oleh pengguna dan
calon pengguna jasa layanan publik
2) Formulation of policy proposal, memformulasikan rencana kebijakan publik yang terdiri
dari faktor-strategik, alternatif-alternatif, analisis resiko, dampak kebijakan, efektifitas
biaya, pemanfaatan teknologi,
3) Adoption, menganalisis kelayakan kebijakan dari beberapa aspek yaitu politik, perilaku ,
dan ekonomi
4) Operation program, kelengkapan struktur organisasi, prosedur dan proses, jadwal,
penetapan biaya, dan penyusunan rencana skenario, penyusunan standar kinerja
5) Evaluation, yaitu berkaitan dengan evaluasi keberhasilan kebijakan publik
Salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing adalah dengan peningkatan kualitas
pelayanan, kualitas pelayanan akan menjadi pemicu kepuasan pengguna jasa layanan.Kepuasan
pengguna jasa layanan akan mempengaruhi persepsi pengguna terhadap pemerintah sebagai
21
penyedia jasa layanan publik (Kotler 1997, Fitzsimons 1994, Parasuraman, Zeithaml dan Berry
1998). Kepuasan pengguna jasa layanan akan tercapai apabila persepsi diharapkan sama dengan
layanan yang diberikan oleh pemberi layanan.
Model yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan yang akan dikembangkan
dalam penelitian ini adalah model Parasuraman Zeithaml dan Berry (PZB) (Parasuraman,
Zeuthaml, Berry, 1985) dikenal dengan SERVQUAL, yang menekankan pada 5 (lima ) gap yaitu
:
1) Gap harapan dan persepsi manajemen perusahaan,
2) Gap persepsi manajemen terhadap harapan pengguna jasa layanan dan spesifikasi kualitas
layanan,
3) Gap antara spesifikasi kualitas layanan dengan penyampaian layanan
4) Gap antara penyampaian dan komunikasi eksternal
5) Gap antara layanan yang dirasakan dan jasa yang diberikan.
Kinerja pelayanan akan ditentukan oleh persepsi kepuasan pengguna jasa layanan. Oleh
karena itu kinerja layanan dipengaruhi oleh birokrasi, mekanisme pasar, dan lembaga swadaya
masyarakat Ouchi (1981).
Birokrasi adalah pihak pemberi layanan, masyarakat adalah customer atau pengguna jasa
layanan, sedangkan LSM adalah pihak pengawas/ pengendali yang diharapkan akan lebih
memantapkan mekanisme sistem check and balanced. Variabel yang digunakan untuk mengukur
kualitas pelayanan adalah responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas Levine (1982)
Inpres nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Pengembangan Electronic
Government (e-Govt), menuntut pembangunan e-Govt mengarah pada peningkatan pelayan back
office dan pelayanan masyarakat (front office) yang baik.
22
Tantangan penyelenggaran pelayanan publik dewasa dapat dikategorikan dalam 4
(empat) kategori yaitu pengendalian dan koordinasi, penyampaian pelayanan, dan pendukung,
dan teknologi(Daniel, 2002).
Layanan publik yang akan diberikan kepada masyarakat dapat dikembangkan langsung
dari basic service layer atau melalui aplikasi yang dikembangkan yang didasarkan pada
cooperative services layer.
Basic services layer dapat berupa informasi daaan komunikasi baik satu arah maupun dua
arah, sedangkan untuk cooperative pada umumnya berupa transaksi yang memerlukan
kerjasama (koordinasi yang baik antar pemberi layanan), dan integrasi, serta inter-operability
system penunjang pelayanan .
Menurut Riyanto (2003), agar dapat memberikan kepuasan optimal bagi pengguna jasa
layanan, sistem pelayanan terpadu, e-government dan e-administration dibagi dalam 3 (tiga)
kategori yaitu front office, back office, dan policy development dan evaluation. Arsitektur yang
demikian ini dapat memungkinkan kerumitan birokrasi berkurang.
E-govt dan e-administration yang perlu dikembangkan di Indonesia lebih lanjut Bambang
(2003) menjelaskan bahwa sistem harus mampu memberikan layanan yang bersifat elektronik
dan terintegrasi dengan pengelolaan data dan informasi dilakukan secara terdistribusi di
departemen dan unit terkait dengan data dan informasi tersebut.
Sedangkan bagi pengguna layanan, system pelayanan dengan proses pengelolaan data
atau pengambilan informasi yang dapat dilakukan pada satu titik/lokasi akan mempercepat akses,
waktu, menurunkan biaya layanan, dan meningkatkan kepuasan atas layanan pemerintah.
Dengan fungsi pemerintah untuk menyelenggarakan dan menyediakan pelayanan kepada
masyarakat, yang berorientasi pada model dan proses pelayanan yang memuaskan masyarakat,
23
maka terhadap keadaan ini pemerintah perlu menetapkan regulasi tentang tolok ukur kepuasan
masyarakat sebagai standar bagi pelayanan publik yang mengarah pada kepuasan masyarakat.
Adapun regulasi yang mengatur tentang Indeks Kepuasan Masyarakat sebagaimana yang
diatur pada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : Kep/25/M.Pan/2/2004
Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi
Pemerintah.
Dalam ketentuan yang dikeluarkan Menpan tersebut, terdapat unsur minimal yang harus
ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat sebagai berikut:
1) Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan
2) Persyaratan Pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk
mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya
3) Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan
pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggung jawabnya)
4) Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan
pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku
5) Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab
petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan
6) Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki
petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat
7) Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang
telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan
24
8) Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak
membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani
9) Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap petugas dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat secara sopan dan ramah
10) Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya
yang ditetapkan oleh unit pelayanan
11) Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya
yang telah ditetapkan
12) Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan
13) Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi,
dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan
14) Keamanan Pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit pelayanan.