20
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Pengertian Soejadi mendefinisikan konsep merupakan abstraksi suatu ide untuk menggolongkan kumpulan objek-objek (wafiyah, 2011). Konsep juga didefinisikan oleh Tayubi (2005) yaitu “konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antara sesama manusia dan yang memungkinkan manusia berfikir”.Menurut skemp pengajaran konsep matematika harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) Pengajaran konsep dengan tingkatan lebih tinggi dari pada yang telah dimiliki oleh siswa tidak dapat dikomunikasikan dengan menggunakan definisi,tetapi hanya dengan contoh- contoh yang mengarahkan siswa kepada contoh-contoh yang bertentangan dengan kumpulan contoh tersebut,(2) Karena dalam matematika contoh-contoh tersebut hampir semuanya berhubungan dengan konsep-konsep lain, maka harus dipastikan bahwa contoh-contoh tersebut telah terbentuk dalam pikiran siswa (Zulva, 2013). Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep merupakan ide abstrak yang memungkinkan menggolong-nggolongkan mana contoh dan mana bukan contoh. 2.1.2 Kriteria Konsep Konsep merupakan materi esensial dalam kurikulum pendidikan. Oleh karena itu, konsep memiliki kriteria menurut Nuryani (2005) yaitu sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 2.1 - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/39670/3/BAB II.pdfcontoh yang mengarahkan siswa kepada contoh-contoh yang bertentangan dengan kumpulan contoh tersebut,(2)

  • Upload
    lyliem

  • View
    229

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Pengertian

Soejadi mendefinisikan konsep merupakan abstraksi suatu ide untuk

menggolongkan kumpulan objek-objek (wafiyah, 2011). Konsep juga

didefinisikan oleh Tayubi (2005) yaitu “konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri

sesuatu yang mempermudah komunikasi antara sesama manusia dan yang

memungkinkan manusia berfikir”.Menurut skemp pengajaran konsep matematika

harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) Pengajaran konsep

dengan tingkatan lebih tinggi dari pada yang telah dimiliki oleh siswa tidak dapat

dikomunikasikan dengan menggunakan definisi,tetapi hanya dengan contoh-

contoh yang mengarahkan siswa kepada contoh-contoh yang bertentangan dengan

kumpulan contoh tersebut,(2) Karena dalam matematika contoh-contoh tersebut

hampir semuanya berhubungan dengan konsep-konsep lain, maka harus

dipastikan bahwa contoh-contoh tersebut telah terbentuk dalam pikiran siswa

(Zulva, 2013). Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep merupakan ide abstrak yang

memungkinkan menggolong-nggolongkan mana contoh dan mana bukan contoh.

2.1.2 Kriteria Konsep

Konsep merupakan materi esensial dalam kurikulum pendidikan. Oleh

karena itu, konsep memiliki kriteria menurut Nuryani (2005) yaitu sebagai

berikut:

8

1) Konsep menunjang tercapainya tujuan

Konsep/subkonsep merupakan suatu bahan kjian yang diperlukan untuk

menunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Tujuan dalam pembelajaran yaitu

berupa aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pembelajaran konsep diharapkan

tidak hanya mendapatkan konsep tetapi juga penanaman moral serta peningkatan

keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam konsep yang dipelajari. Berbagai

aspek inilah diharapkan sampai kepada peserta didik karena inilah tujuan yang

sesungguhnya.

1) Konsep merupakan konsep dasar

Konsep-konsep yang diberikan bersifat memberikan dasar-dasar dari

berbagai cabang ilmu pengetahuan. Konsep dasar ini merupakan konsep yang

diajarkan terlebih dahulu sebelum mempelajari konsep yang baru dan pada

dasarnya bersifat umum.

2) Konsep itu mengandung aplikasi tinggi

Konsep yang dipelajari dapat meningkatkan kemampuan berpikir,

keterampilan dan kreatifitas siswa. Kemampuan siswa berpikir sesuai dengan

tingkatan aspek kognitif yang sudah diumumkan oleh beberapa ahli seperti

Bloom. Disini peserta didik diharapkan memiliki keterampilan mulai dari aspek

pemahaman, analisis, sintesis dan evaluasi suatu program. Konsep yang

mengandung aplikasi tinggi akan merangsang pengembangan berpikir siswa.

3) Konsep sebagai prasyarat materi berikutnya

Bila konsep ini tidak diberikan maka akan menyebabkan kurang

pemahaman suatu konsep karena tidak adanya kesinambungan materi yang

sebelumnya dengan materi yang selanjutnya.

9

4) Konsep memberikan motivasi bagi siswa

Konsep yang dipelajari peserta didik dapat memacu motivasi siswa dalam

belajar, berkreasi, dan kreatifitas serta pengembangan sikap peserta didik.

5) Konsep terkait dengan mata pelajaran lain

Konsep yang diterapkan dapat menunjang dari mata pelajaran adalah

penting untuk dipelajari karena dapat mengokohkan pemahaman peserta didik

terhadap konsep tersebut.jadi keterkaitan antar konsep memang seharusnya ada

seiring dengan jenjang pendidikan berlangsung.

6) Konsep mengandung unsur pengembangan IPTEK

IPTEK merupakan hal yang sangat penting dilakukan dalam dunia

pendidikan karena selain dapat memajukan serta mensejahterakan manusia.

Pendidikan yang berjalan seiring kemajuan iptek mampu bersaing dengan

pendidikan di luar negeri.

7) Konsep terkait dengan lingkungan

Konsep akan lebih mudah diajarkan jika memanfaatkan sumber belajar yang

ada di sekitar seperti lingkungan. Lingkungan dapat digunakan melalui

lingkungan sekitar kemudian yang lebih jauh seperti ke kebun raya.

8) Konsep itu mudah dilaksanakan untuk

Konsep itu mudah dilaksanakan untuk proses belajar mengajar di sekolah,

sebaiknya dirasakan oleh siswa ataupun guru yang mengelola pembelajarannya

adalah anggapan konsep esensial

9) Kebutuhan masyarakat luas

Konsep yang diajarkan dapat menunjang kebutuhan hidup serta dari

sebagian besar masyarakat

10

10) Konsep sesuai tuntutan pembangunan

Konsep yang diajarkan sesuai dengan tuntutan pembangunan di daerahnya

masing-masing. Konsep yang diajarkan menunjang pengembangan IPTEK.Jika

kriteria konsep diatas dilakukan maka tentu saja konsep menadi materi yang

bermanfaat bagi semua orang dan mudah dilakukan dan dipahami.

2.1.3 Derajat Pemahaman Konsep

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi pemahaman

konsep dengan mengacu pada kriteria yang telah ditetapkan. Renner seperti

dikutip dalam Sukisman (2012) telah menyusun kriteria untuk mengelompokkan

pemahaman konsep seperti pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Pengelompokan Derajat Pemahaman Konsep

No. Kriteria Derajat

Pemahaman Kategori

1 Tidak ada jawaban/kosong

menjawab “saya tidak tahu” Tidak ada respon

Tidak memahami 2 Mengulang pernyataan,

menjawab tapi tidak

berhubungan dengan

pertanyaan atau tidak jelas

Tidak memahami

3 Menjawab dengan penjelasan

tidak logis Miskonsepsi

Miskonsepsi

4 Jawaban menunjukkan ada

konsep yang dikuasai tetapi

ada pernyataan dalam

menjawab yang menunjukkan

miskonsepsi

Memahami

sebagian dengan

miskonsepsi

5 Jawaban menunjukkan hanya

sebagian konsep yang dikuasai

tanpa ada miskonsepsi

Memahami

sebagian

Memahami 6 Jawaban menunjukkan konsep

dipahami dengan semua

penjelasan benar

Memahami

konsep

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kategori pemahaman dibagi menjadi 3

yaitu paham konsep, miskonsepsi dan tidak memahami konsep. Untuk siswa yang

memahami konsep yaitu siswa yang paham konsep secara menyeluruh atau

11

sebagian tetapi tepat dalam menjawab. Siswa yang paham konsep apabila ditanya

mengenai pertanyaan maka dapat menjawab dengan benar dan mengemukakan

alasan dengan penjelasan yang benar. Meskipun belum sepenuhnya konsep

dikuasai tetapi konsep yang dimilikinya termasuk konsep yang benar tanpa

miskonsepsi didalamnya.

Sedangkan kriteria miskonsepsi yaitu siswamasih dalam memahami konsep

dan terlihat saat menjelaskan dengan bahasanya sendiri. Siswa yang miskonsepsi

ini bukan berarti ia tidak mempelajari konsep, hanya saja konsep yang dimilikinya

masih terdapat miskonsepsi terutama ketika ia menjelaskan dengan menggunakan

bahasa sendiri. Siswa yang mengalami miskonsepsi bisa saja ketika diminta

penjelasan ia langsung menjawab dengan jawaban yang tidak sesuai dengan

konsep yang benar.

Siswa yang termasuk dalam kategori tidak paham konsep yaitu siswa yang

benar-benar tidak tahu konsep. Siswa yang tidak tahu konsep ini bisa berasal dari

faktor diri sendiri yaitu berupa minat siswa dalam memahami konsep pada suatu

mata pelajaran, kemauan siswa dalambelajar serta perkembangan kognitif atau IQ.

Dari ketiga faktor inilah yang membuat siswa tidak memahami konsep. Sehingga

ketika siswa diminta untuk menjelaskan konsep maka siswa tidak dapat menjawab

atau jik menjawab tidak memiliki hubungan pada konsep tersebut.

2.1.4 Kegunaan Konsep

Belajar konsep berguna dalam rangka pendidikan siswaatau paling tidak

punya pengaruh tertentu. Adapun kegunan konsep menurut Oemar (2005) yaitu

sebagai berikut:

12

1) Konsep-konsep membantu kita untuk mengidentifikasi objek-objek yng ada di

sekitar kita dengan cara mengenali ciri-ciri masing-masing objek

2) Konsep-konsep mengurangi kerumitan lingkungan. Lingkungan adalah sangat

kompleks. Untuk mempelajari tentu sangat sulit apabila tidak dirinci menjadi

unsur-unsur yang lebih sederhana.

3) Konsep membantu kita untuk mempelajari sesuatu yang baru lebih luas dan

lebih maju. Sisws tidak harus belajar secara konstan, tetapi dapat menggunkan

konsep-konsep yang dimilikinya untuk mempelajari sesuatu yang baru.

2.2 Miskonsepsi

2.2.1 Pengertian

Suparno (2005) menjelaskan miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada

suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang

diterima para pakar dalam bidang itu. Sedangkan menurut Oemar (2005)

miskonsepsi adalah kesalahan dalam memahami suatu konsep yang ditunjukkan

dengan kesalahan dalam menjelaskan suatu konsep dengan bahasa sendiri. Dan

menurut Jeanne (2009) pengertian miskonsepsi adalah kepercayaan yang tidak

sesuai dengan penjelasan yang diterima umu dan terbukti tidak sahih tentang suatu

fenomena/peristiwa. Jadi dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah kesalahan

konsep yang diyakini benar oleh seseorang padahal tidak sesuai dengan konsep

sesungguhnya. Kesalahan konsep tersebut tercermin ketika dijabarkan dengan

bahasa sendiri.

Miskonsepsi telah ada sejak lama dan telah menjadi inti riset empiris

pembelajaran Sains sehingga telah lama muncul tulisan ilmiah mengenainya.

Munculnya miskonsepsi yang paling banyak menurut Viridi (2008) adalah

13

sebelum ia memasuki proses yang disebut prakonsepsi. Prakonsepsi ini bersumber

dari pemikiran siswa yang masih terbatas munculnya pada alam sekitarnya atau

sumber-sumber lain yang dianggap lebih tahu akan tetapi tidak dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya (D. Siwi, 2013).

Menurut Sriati, (2003) miskonsepsi siswa dalam mengerjakan soal

matematika adalah: (1) miskonsepsi terjemahan, adalah kesalahan mengubah

informasi keungkapan matematika atau kesalahan dalam memberi makna suatu

ungkapan matematika; (2) miskonsepsi konsep, adalah kesalahan memahami

gagasan abstrak; (3) miskonsepsi strategi, adalah kesalahan yang terjadi jika siswa

memilih jalan yang tidak tepat yang mengarah ke jalan buntu; (4) miskonsepsi

sistematik, adalah kesalahan yang berkenaan dengan pemilihan yang salah atas

teknik ekstrapolasi; (5) miskonsepsi tanda, adalah kesalahan dalam memberikan

atau menulis tanda atau notasi matematika dan; (6) miskonsepsi hitung, adalah

kesalahan menghitung dalam operasi matematika.Miskonsepsi yang terjadi pada

siswa sangat berbahaya karena bersifat sulit diubah dan akan terbawa terus pada

tingkat yang lebih tinggi bila guru tidak mengetahui konsep-konsep yang

mengalami miskonsepsi dan penyebab dari miskonsepsi tersebut (Viyandari,

2012).

2.2.2 Penyebab Miskonsepsi

Miskonsepsi disebabkan oleh bermacam-macam hal.Secara garis besar

terdapat 5 kelompok penyebab miskonsepsi menurut Suparno (2005) yaitu

miskonsepsi yang berasal dari siswa, buku teks, guru, metode mengajar dan

konteks.

1. Siswa

14

Penyebab miskonsepsi dari siswa dapat dikelompokkan dalam beberapa hal,

antara lain :

a. Konsep Awal Siswa (Prakonsepsi)

Banyak siswa yang sudah memiliki konsep awal atau prakonsepsi tentang

suatu bahan sebelum siswa mengikuti pembelajaran formal dikelas dengan

bimbingan guru. Konsep awal tersebut sering kali mengandung miskonsepsi.

Adanya salah konsep awal ini jelas tentu akan menyebabkan miskonsepsi pada

saat mengikuti pelajaran berikutnya, sampai kesalahan itu diperbaiki (Suparno,

2005).

b. Pemikiran Humanistik

Menurut Gilbert, dkk dalam buku Suparno (2005) Siswa kerap kali

memandang semua benda dari pandangan manusiawi. Benda-benda dan situasi

dipikirkan dalam term pengalaman orang dan secara manusiawi.

c. Pemikiran Asosiatif Siswa

Asosiatif siswa terhadap istilah-istilah sehari-hari kadang juga membuat

miskonsepsi. Menurut Marshall dan Gilmour dalam buku Suparno (2015),

melaporkan bahwa pengertian yang berbeda dari kata-kata antara siswa dan guru

juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Kata dan istilah yang digunakan oleh guru

dalam proses pembelajran diasosiasikan lain oleh siswa, karena dalam kehidupan

mereka kata dan istilah itu mempunyai artikata yang lin.

d. Minat Belajar

Siswa yang berminat cenderung mempunyai miskonsepsi lebih rendah

daripada siswa yang tidak berminat. Siswa yang tidak berminat apabila salah

dalammenangkap suatu bahan maka tidak berminat juga untuk mencari mana

15

yang benar dan megubah konsep yang salah tersebut sehingga kesalahan yang

dibangun berdasarkan miskonsepsi akan semakin menumpuk.

e. Kemampuan Siswa

Kemampuan siswa juga mempunyai pengaruh pada miskonsepsi siswa.

Siswa yang kurang berbakat dalam suatu pelajaran, maka akan sering mengalami

kesulitan dalammenangkap konsep yang benar dalam proses belajar. Meskipun

buku teks ditulis sesuai dengan pengertian para ahli, meskipun guru telah

mengkomunikasikan bahan secara benar dan pelan-pelan, namun pengertian yang

mereka tangkap dapat tidk lengkap bahkan salah (Suparno, 2005).

f. Tahap Perkembangan Kognitif Siswa

Perkembangan kognitif siswa yang tidak sesuai dengan bahan yang digeluti

dapatmenjadi penyebab miskonsepsi. Secara umum, siswa yang masih dalam

operasional konkret jika mempelajari suatu bahan yang abstrak Sulit menangkap

dan sering salah mengerti tentang konsep bahan tersebut (Suparno, 2005).

g. Penalaran yang Salah/Tidak Lengkap

Menurut Comins dalam buku Suparno (2005), miskonsepsi juga dapat

disebabkan oleh penalaran siswa yang tidak lengkap atau salah. Alasan yang tidak

lengkap disebabkan karena informasi yang diperoleh tidak lengkap, pengamatan

yang tidak lengkap dan teliti serta logika yang salah dalam mengambil

kesimpulan. Akibatnya, siswa menarik kesimpulan secara salah dan ini

menyebabkan timbulnya miskonsepsi siswa.

h. Instuisi yang Salah

Intuisi yang salah dan perasaan siswa juga dapat menyebabkan miskonsepsi.

Instuisi adalah suatu perasaan dalam diri seseorang yang secara spontan

16

mengungkapkan sikap atau gagasannya tentang sesuatu sebelum secara objektif

dan rasional diteliti.

2. Buku Teks

Buku teks dapat menyebarkan miskonsepsi yang disebakan oleh bahasanya

yang sulit dipahami atau penjelasan yang tidak benar (Suparno, 2005). Buku teks

merupakan tulisan yang menyajikan materi-materi yang akan dipelajari oleh guru

atau siswa. Ketika sumber ini memiliki penjelasan yang salah maka dapat

memberikan pemahaman yang keliru juga kepada orang yang membacanya karena

buku teks merupakan sumber belajar utama.

3. Guru/Pengajar

Miskonsepsi siswa dapat terjadi pula karena miskonsepsi siswa yang dibawa

oleh guru. Guru yang tidak menguasai bahan atau mengerti bahan secara tida

benar, akan menyebabkan siswa mendapatkan miskonsepsi. Kadang juga

beberapa guru memberikan penjelasan secara sangat sederhana untuk membantu

siswa lebih mudah menangkap bahan yang disajikan. Demi menyederhanakan

bahan itu, terkadang dalam menjelaskan tidak lengkap atau menghilangkan

sebagian unsur yang penting. Akibatnya siswa sqalah menangkap inti bahan itu

(Suparno, 2005).

4. Metode Mengajar

Beberapa metode mengajar yang digunakan guru, terlebih yang menekankan

satu segi saja dari konsep bahan yang digeluti, meskipun dapat membantu siswa

menangkap bahan, tetapi sering mempunyai dampak jelek, yaitu memunculkan

miskonsepsi siswa. Maka guru perlu kritis dengan metode yang digunakan dan

tidak membatasi diri dengan satu metode saja (Suparno, 2005). Misalnya ketika

17

guru mengajar hanya menggunakan metode ceramah dan tulis secara terus

menerus tanpa melakukan tanya jawab dan interaksi dengan siswa maka hal

tersebut tidak dapat meremidiasi miskonsepsi. Padahal tugas guru adalah

meremidiasi miskonsepsi dan menanamkan konsep yang benar kepada siswanya.

5. Konteks

Konteks juga dapat menyebabkan miskonsepsi siswa. Menurut Suparno

(2005), konteks tersebut antara lain pengalaman siswa, bahasa sehari-hari, teman,

serta keyakinan dan ajaran agama. Pengalaman seseorang memang tidak ada yang

sama walaupun mereka kembar. Seseorang yang senang belajar kelompok tentu

akan sering berdiskusi suatu konsep yang dipelajari. Ketika ada seseorang yang

dominan di kelompok tersebut dan menyampaikan suatu konsep yang salah

kepada temannya tentu miskonsepsi tersebut akan berpindah ke teman

diskusinya.

Sedangkan menurut Kurniati (2007) menyebutkan penyebab miskonsepsi

ada 5, yaitu : 1) Konsep yang dimiliki siswa tidak cukup dapat menyelesaikan

permasalahan matematika pada materi yang diajarkan; 2) Salah dalam

memaknakan soal, sehingga siswa mengalami miskonsepsi dalam memodelkan

matematika; 3) Siswa yang tidak memiliki kemampuan kognitif cukup untuk

memahami konsep-konsep yang diajarkan; 4) Pengalaman siswa dalam

menyelesaikan permasalahan matematika, maksutnya siswakurang latihan

mengerjakan soal-soal matematika yang ada di buku/literatur lain yang berkaitan

dengan materi yang diajarkan sehingga siswa tidak dapat mengembangkan

pengetahuannya; 5) Konsep yang dimiliki siswa dalam menyelesaikan

permasalahan matematika sudah benar tetapi tidak diterapkan pada soal yang

18

diberikan.Mencari penyebab miskonsepsi menjadi unsur penting sebelum

menentukan cara mengatasinya. Banyak guru membantu siswa mengatasi

miskonsepsi dengan cara mengulangi penjelasan bahan beberapa kali. Akibatnya,

siswa yang sudah mengerti menjadi bosan dan siswa yang mempunyai

miskonsepsi tetap tidak terbantu karena tidak tahu letak kesalahannya (Suparno,

2005).

2.2.3 Sumber Miskonsepsi

Menurut Tekaya (2002) ada beberapa poin untuk mengidentifikasi sumber

miskonsepsi, diantaranya :

a. Miskonsepsi muncul ketika siswa menggabungkan suatu konsep yang telah

dipelajari dengan konsep yang baru

b. Miskonsepsi yang berasal dari kata-kata yang digunkan sehari-hari yang

memiliki arti dalam kehidupan sehari-hari.

c. Miskonsepsi muncul dari pengalaman pribadi siswa yaitu dari lingkungan ia

berinteraksi dengan orang lain atau teman bermainnya.

d. Dari beberapa konsep dalam pembelajaran, miskonsepsi juga berasal dari guru

yang salah atau ketidak akuratan dalam menyampaikan konsep ketika proses

pembelajaran.

e. Faktor lain juga berkontribusi terhadapmunculnya miskonsepsi yaitu, buku

teks, dimana di dalamnya terdapat penjelasan atau informasi yang salah dan

tidak tepat.

Menurut Subhan yang terdapat pada kutipan Effendi (2007) bahwa ada 3

penyumbang miskonsepsi yaitu :

a. Penjelasan atau pengajaran guru yang salah.

19

b. Ide yang salah yang berpusat pada pengalaman sehari-hari dan bahasa yang

mereka gunakan.

c. Kesalahan konsep yang terbentuk selama proses pengajaran yang berpusat dari

pemahaman yang tidak tetap terhadap suatu konsep yang dijelaskan oleh guru.

2.2.4 Mendeteksi Miskonsepsi

Miskonsepsi bukanlah hal yang sederhana dan mudah diabaikan dan lebih

uniknya setiap siswa akan mengalami miskonsepsi yang berbeda-beda.

Miskonsepsi akan sangat mengganggu jika tidak segera diatasi. Adanya

miskonsepsi dapat menganggu proses pengolahan konsep dalam struktur kognitif

yang dilakukan oleh siswa. Oleh karena itu sebagai fasilitator guru seharusnya

mengetahui cara-cara untuk mendeteksi miskonsepsi yang terjadi pada siswanya

agar siswa dapat memperoleh kebenaran akan suatu konsep yang dipelajari.

Berikut cara mendeteksi miskonsepsi menurut Suparno (2005):

a. Tes Pilihan Ganda dengan Pertanyaan Terbuka

Pertanyaan pilihan ganda dengan memberikan alasan mengapa memilih

jawaban itu.

b. Wawancara

Guru memilih beberapa konsep yang diperkirakan sulis dimengerti siswa,

atau beberapa konsep yang pokok dari bahan yang hendak diajarkan. Kemudian

siswa diajak untuk mengekpresikan gagasan mereka mengenai konsep-konsep

tersebut. Dari sini dapat dimengerti konsep alternatif yang ada dan sekaligus

ditanyakan dari mana mereka memperoleh konsep alternatif tersebut.

20

c. Tes Esai Tertulis

Guru sebaiknya membuat esai tertulis yang berisi konsep-konsep yang akan

dipelajari atau yang sudaah dipelajari.

d. Peta Konsep

Peta konsep mampu menghubungkan konsep-konsep dan gagasan-gagasan

pokok yang disusun secara hirarkis. Bisanya miskonsepsi dapat dilihat dari

proporsi yang salah dan tidak adanya hubungan yang lengkap antar konsep.

e. Praktikum dengan Tanya Jawab

Praktikum yang disertai dengan tanya jawab antar guru dengan siswa yang

melakukan praktikum juga dapat mendeteksi miskonsepsi siswa tentang konsep

pada praktikum itu. Selama praktiku, guru sebaiknya selalu bertanya bagaimana

konsep siswa dan bagaimana siswa menjelaskan persoalan dalam paktikum

tersebut.

f. Diskusi dalam Kelas

Dalam kelas siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang

konsep yang sudah diajarkan atau yang hendak diajarkan. Dari diskusi di kelas itu

dpat dideteksi juga apakah gagasan mereka itu tepat atau tidak. Dari diskusi itu

guru atau seorang peneliti dapat megerti konsepkonsep alternatif yang dipunyai

siswa. Cara ini lebih cocok digunakan pada kelas besar, dan juga sebagai

penjajakan awal. Yang perlu diperhatikan guru adalah membantu siswa agar

setiap siswa berani berbicara untuk mengungkapkan pikiran mereka tentang

permasalahan yang dibahas.

Dari beberapa cara untuk mendeteksi miskonsepsi tersebut, beberapa

peneliti menggunakan cara-cara itu bersama-sama untuk melengkapi, seperti tes

21

esai dengan wawancara. Selain beberapa cara diatas, untuk mendeteksi siswa yang

mengalami miskonsepsi atau tidak bisa menggunakan Certainty of Response

Index (CRI) seperti cara yang telah dilakukan oleh Salem Hasan. Cara ini dapat

mengungkapkan siswa yang tidak paham konsep dan siswa yang mengalami

miskonsepsi.

2.3 Menganalisis Miskonsepsi menggunakanCertainty of Response Index

(CRI)

Certainty Of Response Index (CRI) merupakan teknik untuk mengukur

miskonsepsi seseorang dengan cara mengukur tingkat keyakinan atau kepastian

seseorang dalam menjawab setiap pertanyaan yang diberikan(Liliawati &

Ramalis, 2009).Metode CRIini merupakan metode yang diperkenalkanoleh

Saleem Hasan, Diola Bagayoko, dan Ella L. Kelley untuk mengukur

suatumiskonsepsi yang tengah terjadi(Muna, 2015). CRI sering digunakan dalam

survei-survei terutama yang meminta rensponden untuk memberikan derajat

kepastian yang dia miliki dari kemampuannya untuk memilih dan membangun

pengetahuan, konsep-konsep, atau hukum-hukum yang terbentuk dengan baik

dalam dirinya untuk menentukan jawaban dari suatu pertanyaan (Tayubi, 2005) .

CRI biasanya didasarkan pada suatu skala yang diberikan bersamaan dengan

setiap jawaban suatu soal. Tingkat kepastian jawaban tergambarkan dalam skala

CRI yang diberikan. CRI yang rendah menunjukkan ketidakpastian siswa dalam

menjawab suatu pertanyaan. Hal ini jawaban ditentukan atas dasar menebak.

Sebaliknya CRI yang tinggimenggambarkan kepastian yang tinggi pada siswa

dalam menjawab pertanyaan. Hal ini menunjukkan unsur menebak sangat kecil

(Zulva, 2013). Siswa yang mengalami miskonsepsi atau tidak tahu konsep dapat

22

dilihat dari perbandingan benar tidaknya ia dalam menjawab soal dan tinggi

rendahnya index CRI yang diberikan.

Dalam penelitian Tayubi skala CRI yang dikemukakan oleh Saleem Hasan

didasarkan pada skala enam (0 - 5) seperti pada tabel 2.2berikut :

Tabel 2.2 CRI dan Kriterianya

No. CRI Kriteria

1. 0 Jawaban menebak(Totally guessed answer)

2. 1 Jawaban hampir menebak (Almost guess)

3. 2 Jawaban tidak yakin(Not Sure)

4. 3 Jawaban yakin(Sure)

5. 4 Jawaban hampir benar(Almost certain)

6. 5 Jawaban pasti benar(Certain)

(Saleem Hasan, et al:1999:296)

Jika skala keyakinan rendah (CRI 0-2), maka hal ini menggambarkan bahwa

proses penebakan (guesswork) memainkan peranan yang signifikan dalam

menentukan jawaban. Tanpa melihat jawaban benar atau salah, nilai CRI

yangrendah menunjukkan adanya unsur penebakan yang mencerminkan

ketidaktahuan konsep pada siswa(Tayubi, 2005).

Jika skala keyakinan tinggi (CRI 3-5), maka hal ini menggambarkan siswa

memiliki tingkat kepastian yang tinggi dalam menggunakan pengetahuan yang

dimiliki untuk sampai pada jawaban. Jika (CRI 3-5) dan jawaban siswa benar,

maka hal ini menunjukkan tingkat keyakinan yang tinggi akan kebenaran

pengetahuan telah teruji (justified) dengan baik. Namun, jika jawaban siswa salah

ini menunjukkan adanya miskonsepsi dalam pengetahuan tentang suatu materi

yang siswa miliki. Berdasarkan ketentuan di atas, menunjukkan bahwa dengan

CRI yang diminta bersamaan dengan jawaban suatu pertanyaan, memungkinkan

23

untuk dapat membedakan antara siswa yang mengalami miskonsepsi dan tidak

mengetahui konsep(Tayubi, 2005).

Adapun kemungkinan kombinasi jawaban soal dan CRI menurut Saleem

Hasan ditunjukkan padatabel 2.3.

Tabel 2.3 Ketentuan Untuk Setiap Pertanyaan yang Diberikan Berdasarkan

Kombinasi dari Jawaban Benar atau Salah dan Tinggi Rendahnya CRI

Kriteriajawaban CRI rendah (<2,5) CRI tinggi (>2,5)

Jawaban benar Jawaban benar tapi CRI

rendahberarti tidaktahu

konsep (luckyguess)

Jawaban benar danCRI

tinggi berartimenguasai

konsepdengan baik

Jawaban salah Jawaban salah dan CRI

rendahberarti tidak tahu

konsep

Jawaban salah tapiCRI

tinggi berartiterjadi

miskonsepsi

(Saleem Hasan, et al:1999:296)

Tabel 2.3 menunjukkan empat kemungkinan kombinasi dari jawaban (benar

atau salah) dan CRI (tinggi atau rendah) untuk tiap responden secara individu.

Untuk seorang responden dan untuk suatu pertanyaan yang diberikan, jawaban

benar dengan CRI rendah menandakan tidak tahu konsep, dan jawaban benar

dengan CRI tinggi menunjukkan penguasaankonsep yang tinggi. Jawaban salah

dengan CRI rendah menandakan tidak tahu konsep, sementara jawaban salah

dengan CRI tinggi menandakan terjadinya miskonsepsi (Tayubi, 2005).

2.4 Kajian Materi Operasi Hitung Campuran Pada Bilangan Bulat

Materi pembelajaran padapenelitian ini berkaitan dengan bilangan

bulat.Bilangan bulat merupakan salah satu konsep dalam matematika yang sangat

luas aplikasinya terutama dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Saepuddin

(2009) menyatakan bahwa “Bilangan bulat adalah suatu bilangan yang terdiri dari

24

bilangan bulat positif, bilangan nol, dan bilangan negatif”. Saleh (2007)

mendefinisikan bilangan bulat negatif adalah bilangan bulat yang lebih kecil dari

bilangan nol yang pada garis bilangan terletak disebelah kiri bilangan nol;

bilangan bulat positif adalah bilangan bulat yang lebih besar dari bilangan nol

yang pada garis bilangan terletak disebelah kanan bilangan nol; bilangan nol,

bilangan nol tersebut tidak termasuk bilangan bulat negatif dan tidak termasuk

bilangan bulat positif.

Ada beberapa operasi hitung bilangan bulat yaitu operasi penjumlahan,

pengurangan, perkalian, pembagian dan operasi campuran bilangan bulat.

Operasi-operasi hitung tersebut sangat berkaitan erat dengan pemahaman konsep

dan keterampilan hitung yang satu dengan pemahaman konsep dan keterampilan

hitung yang lainnya (saepuddin, 2009).

Menurut Heruman (2010) bahwa “operasi hitung campuran merupakan

operasiatau pengerjaan hitungan yang melibatkan lebih dari dua bilangan danlebih

dari satu operasi. Pengerjaan operasi hitung campuran merujukpada aturan

tertentu”. Menurut Purnomo (2010) dalam menyelesaikan operasi hitung

campuran bilangan bulat, terdapat dua hal yang perlu kalian perhatikan, yaitu :

1) Tanda operasi hitung

2) Tanda kurung.

Apabila dalam suatu operasi hitung campuran bilangan bulat terdapat tanda

kurung,pengerjaan yang berada dalam tanda kurung harus dikerjakan terlebih

dahulu.Apabila dalam suatu operasi hitung bilangan bulat tidak terdapat tanda

kurung, pengerjaannyaberdasarkan sifat-sifat operasi hitung berikut :

25

1. Operasi penjumlahan (+) dan pengurangan (–) sama kuat, Artinya operasi

yang terletak di sebelah kiri dikerjakan terlebih dahulu.

2. Operasi perkalian (x) dan pembagian (:) sama kuat, Artinya operasi yang

terletak di sebelah kiri dikerjakan terlebih dahulu.

3. Operasi perkalian (x) dan pembagian (:) lebih kuat daripada operasi

penjumlahan (+) dan pengurangan (–), artinya operasi perkalian (x) dan

pembagian (:) dikerjakan terlebih dahulu daripada operasi penjumlahan (+)

dan pengurangan (-).

2.5 Indikator Miskonsepsi

Berdasarkan masalah yang peneliti kemukakan di atas, maka dalam

pelaksanaan penelitian ini dibuat beberapa indikator yang mengatakan

miskonsepsi pada siswa. Hal ini dapat dinyatakan dalam Tabel 2.4 berikut:

Tabel 2.4 Indikator Miskonsepsi

No Konsep Miskonsepsi

Ya Tidak

1. Siswa mampu melakukan operasi

hitung campuran pada bilangan

bulat

2. Siswa dapat melakukan

perhitungan atau operasi dengan

benar ketika mengerjakan soal

operasi hitung campuran bilangan

bulat

3. Siswa dapat memilih jalan yang

tepat untuk menyelesaikan soal

cerita tentang operasi hitung

campuran bilangan bulat

26

2.6 Skema Penerapan CRI dalam Menyelesaikan Operasi hitung Campuran

Bilangan Bulat

Penelitian ini menerapkan metode CRI untuk mengetahui siswa yang

mengalami miskonsepsi atau tidak tahu konsep dalam menyelesaikan operasi

hitung campuran bilangan bulat. Dalam hal ini siswa menjawab soal dengan

memberikan tingkat keyakinan siswa dalam menjawab soal tersebut.

Adapun skema penerapan tingkat keyakinan dalam menjawab soal terhadap

operasi hitung bilangan bulat campuran adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1: Skema Penerapan CRI dalam menyelesaikan operasi hitung

bilangan bulat

Siswa menjawab benar dan

memberikan CRI rendah,

maka siswa menjawab

dengan menebak

Siswa diberikan soal

tentang operasi hitung

campuran bilngan bulat

Siswa menjawab soal

dengan memberikan tingkat

keyakinan (CRI)

Siswa menjawab benar dan

memberikan CRI tinggi,

maka siswa memahami

konsep dengan benar

Siswa menjawab salah dan

memberikan CRI rendah,

maka siswa tidak tahu

konsep

Siswa menjawab salah dan

memberikan CRI tinggi,

maka siswa mengalami

miskonsepsi