Upload
trinhdan
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Permukaan Okular
Permukaan mata terdiri dari kornea, konjungtiva dan lapisan air mata yang
membentuk suatu unit fungsional. Konjungtiva adalah membran mukosa
transparan yang menutup sklera, dibentuk dari epitel nonkeratin skuamosa
berlapis dan lamina propria dengan ketebalan epitel bervariasi dari margo
palpebra sampai limbus. Konjungtiva dibagi menjadi tiga bagian yaitu
konjungtiva palpebral, forniks dan bulbar. Sel lain yang berada dalam lapisan
epitelial antara lain sel epitel, sel goblet, melanosit, sel langerhans, dan limfosit
(Knop, et al., 2007 ; Gillan, 2008).
Integritas permukaan okular sangat dipengaruhi oleh adanya musin dalam
lapisan air mata. Lapisan musin pada lapisan air mata melapisi mikroplika sel
epitel kornea superfisial dan membentuk jaringan dengan permukaan konjungtiva.
Fungsi musin antara lain merubah epitel kornea dari hidrofobik ke hidrofilik,
stabilisasi lapisan air mata, sebagai pelembab saat kelopak mata bergesekan
dengan bola mata, dan melindungi permukaan luar mata dari berbagai patogen,
bahan kimia dan toksin (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
Musin disekresi oleh sel goblet konjungtiva. Sel goblet berfungsi
mensintesis, menyimpan dan mengeluarkan musin yaitu kompeks glikoprotein
dengan berat molekul tinggi dan secara spesifik mengekspresikan MUC5AC yang
8
merupakan gel pembentuk musin. Produksi musin oleh sel goblet konjungtiva
adalah 2-3 µL/hari (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
Kemampuan sel goblet sebagai penghasil utama musin tergantung pada
jumlah sel goblet yang fungsional pada konjungtiva serta kemampuan mensintesis
musin. Bagian konjungtiva dengan densitas sel goblet tertinggi yaitu inferonasal
konjungtiva bulbi, konjungtiva palpebra, bagian temporal konjungtiva bulbi,
sedangkan bagian dimana sel goblet sedikit atau bahkan tidak ada adalah
permukaan okular yang terpapar dan corneo-scleral junction. Masing-masing sel
goblet berukuran 25µ x 25µ. Kepadatan sel goblet konjungtiva antara 1000-
56.000 sel/mm2 (Shatos, et al., 2003). Kepadatan sel goblet sesuai dengan gradasi
Nelson pada konjungtiva normal atau gradasi 0 yaitu >500 sel/mm2; gradasi 1
yaitu 350-500 sel/mm2 ; gradasi 2 yaitu 100-350 sel/mm2 ; gradasi 3 yaitu <100
sel/mm2 atau tidak tampak sel goblet. Penelitian lain menyatakan bahwa jumlah
sel goblet 100-300 sel/mm2 masih dalam batas normal (Singh, et al., 2005).
Kepadatan sel goblet bervariasi dan dapat berubah oleh faktor-faktor
eksternal yang menyebabkan peningkatan maupun penurunan jumlah sel.
Gravitasi akuous ke sakus konjungtiva bawah, pembentukan danau lakrimal dan
akumulasi air mata pada kantus medial mengakibatkan hidrasi maksimal forniks
nasal bawah dan konjungtiva nasal palpebra inferior sehingga kepadatan sel
goblet maksimal. Jenis kelamin tidak mempengaruhi kepadatan sel goblet
(Pepperl, et al., 2006).
Perubahan inti sel goblet tampak pada orang normal pengguna lensa
kontak, dimana penelitian terbaru menyatakan bahwa pemakaian lensa kontak
9
lunak selama beberapa tahun menyebabkan penurunan kepadatan sel goblet.
Kondisi yang menyebabkan hilangnya sel goblet adalah trauma kimia, Stevens-
Johnson syndrome, hipovitaminosis A, ocular pemphigoid, Sjogren’s syndrome.
Pengobatan dengan antiglaukoma topikal juga menyebabkan penurunan kepadatan
sel goblet. Kepadatan sel goblet konjungtiva dapat menjadi indikator yang lebih
baik untuk integritas permukaan okular (Pepperl, et al., 2006).
2.2 Fungsi dan Komposisi Air Mata
Air mata berfungsi membersihkan, melumasi, dan memelihara permukaan
okular, serta memberikan perlindungan fisik dan kekebalan tubuh terhadap infeksi
dan trauma mekanik. Lebih dari 98% total lapisan air mata adalah air dengan
ketebalan rata-rata bervariasi antara 4,0–9,0 µm (Lemp, 2008).
Air mata terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan lipid superfisial setebal 0,1
µm diproduksi terutama oleh kelenjar meibom dan memiliki kontribusi penting
untuk mencegah penguapan air mata. Lapisan tengah yaitu air atau akuous dengan
tebal 6–7 µm diproduksi oleh kelenjar lakrimal dan aksesori, bertanggung jawab
untuk membawa faktor pertumbuhan penting untuk epitel dan membasuh sisa-sisa
epitel, unsur-unsur racun dan benda asing. Musin di bagian dalam setebal 0,02–
0,05 µm berasal dari sel-sel goblet konjungtiva serta sel-sel epitel konjungtiva dan
kornea (Laqua, 2004 ; American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
Air mata terdiri dari elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium,
klorida,bikarbonat), protein, vitamin, asam amino, glukosa, musin dan lipid.
Komposisi air mata menyerupai serum. Kalium, natrium, dan klorida terdapat
10
dalam konsentrasi lebih tinggi dalam air mata daripada plasma. Derajat keasaman
(pH) rata-rata air mata adalah 7,35. Dalam keadaan normal, cairan mata bersifat
isotonik (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
2.3 Glaukoma
Glaukoma merupakan sekumpulan penyakit yang memiliki karakteristik
neuropati optik dengan kelainan lapang pandang yang khas dimana peningkatan
tekanan intra okular (TIO) merupakan faktor risiko utamanya. Tekanan intra
okular tinggi apabila terukur dua standar deviasi (SD) di atas TIO rata-rata pada
populasi normal, di atas 21mmHg. Tekanan intra okular normal pada populasi
adalah 10-21 mmHg (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
Tekanan intra okular, perfusi okular, dan produksi air mata diregulasi oleh
sistem saraf autonom. Gangguan pada sistem saraf autonom mengakibatkan
gangguan pada TIO dan produksi air mata basal. Aqueous tear-deficient dry eye
(ADDE), adalah mekanisme yang mungkin mendasari terjadinya penurunan
produksi air mata basal pada pasien glaukoma (Sitompul, et al., 2011).
2.3.1 Dinamika Humor Akuos
Aliran keluar humor akuos dapat melalui dua jalur, jalur konvensional
(jalur trabekular) dan jalur uveosklera. Jalur konvensional humor akuos melewati
trabecular meshwork (TM), melewati dinding bagian dalam kanalis Schlemm
menuju lumennya, dan akhirnya menuju saluran pengumpul, vena akuos, dan
keluar melalui sistem vena episklera. Sedangkan untuk jalur non konvensional,
sekitar 10-20% humor akuos melewati uveal meshwork (UM), bagian anterior
11
dari otot siliaris menuju ruang suprakoroid dan akhirnya keluar melalui sklera.
Humor akuos diproduksi dengan laju rata-rata 2,0 – 2,5 µL/menit (American
Academy of Ophthalmology, 2014-2015 ; Riyanto, et al., 2007).
2.3.2 Pemeriksaan Glaukoma
Pemeriksaan klinis yang dilakukan adalah pemeriksaan tajam penglihatan
pasien, pengukuran TIO penderita dengan beberapa alat yang tersedia, evaluasi
kemungkinan ada penyebab primer dari peningkatan TIO serta penyulit yang
mungkin ada, serta evaluasi papil saraf optik (Philippin, et al., 2012 ; American
Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
2.3.3 Klasifikasi Glaukoma
Glaukoma diklasifikasikan sebagai glaukoma sudut terbuka, sudut tertutup
dan glaukoma developmental (glaukoma kongenital primer dan glaukoma terkait
sindrom) yang selanjutnya dibedakan menjadi glaukoma primer atau sekunder.
Glaukoma diklasifikasikan sebagai glaukoma primer apabila tidak ada penyakit
mendasari yang teridentifikasi yang dapat mengakibatkan hambatan aliran keluar
humor akuos, dan diklasifikasikan sebagai sekunder apabila adanya abnormalitas
yang diduga berperan dalam hambatan keluar humor akuos. Peningkatan
resistensi pada TM terjadi pada glaukoma sudut terbuka primer (primary open
angle glaucoma/POAG) sehingga menyebabkan hambatan aliran keluar humor
akuos. Lokasi resistensi pada TM belum diketahui secara pasti, namun
diperkirakan terdapat pada juxtacanalicular dari TM. Aposisi iris perifer ke arah
TM terjadi pada glaukoma sudut tertutup primer (primary angle closure
12
glaucoma/PACG) sehingga mengakibatkan hambatan aliran ke luar humor akuos
(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
2.3.4 Penatalaksanaan Glaukoma
Tujuan terapi glaukoma adalah melindungi lapang pandangan pasien dan
mencegah penurunan fungsi visual dengan fokus melalui tiga target terapi, yaitu:
tekanan intraokular, fasilitas pembuangan (outflow) dan sel ganglion retina
(Riyanto, et al., 2007).
Target tekanan intraokular dapat didefinisikan sebagai suatu perkiraan
rata-rata tekanan intraokular yang diperoleh dengan terapi yang diharapkan dapat
mencegah kerusakan lebih lanjut. Penurunan TIO pada tingkatan yang tepat akan
mengurangi resiko kerusakan visus. Target yang ditentukan tergantung pada
beberapa faktor, yaitu TIO awal, derajat kerusakan, harapan hidup pasien, umur
pasien dan riwayat kesehatan pasien. Pasien glaukoma dengan kerusakan ringan
(penggaungan papil saraf optik tanpa gangguan lapang pandangan), target TIO
permulaan adalah 20%-30% lebih rendah dari TIO awal. Pasien dengan kerusakan
lebih lanjut, target tekanannya dapat diturunkan menjadi 40% atau lebih dari
tekanan awal (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
Penatalaksanaan pasien dengan glaukoma terdiri dari pengobatan
medikamentosa dan pembedahan. The European Glaucoma Society (EGS),
menyebutkan bahwa penatalaksanaan awal dari glaukoma adalah menurunkan
tekanan intraokular dengan terapi farmakologikal. Terdapat dua mekanisme
primer untuk menurunkan tekanan intraokular. Pertama adalah menurunkan
produksi humor akuos dengan beta bloker (timolol, betaxolol, carteolol,
13
metipranolol) dan karbonik anhidrase inhibitor (brinzolamid, dorzolamid). Kedua
adalah meningkatkan aliran keluar humor akuos melalui jalur trabekular dan
uveoskleral menggunakan derivat prostaglandin (latanoprost, travoprost), obat-
obatan simpatomimetik dan kolinergik/parasimpatomimetik (pilokarpin)
(Sitompul, dkk., 2011).
Pembedahan dilakukan apabila pengobatan dengan obat-obatan tidak
memberikan hasil yang diinginkan dan progresifitas glaukoma terus berlangsung.
Pembedahan merupakan terapi primer pada glaukoma kongenital (infantil) dan
glaukoma yang disebabkan blok pada pupil (American Academy of
Ophthalmology, 2014-2015).
Terapi medikamentosa topikal merupakan terapi lini pertama yang
menjadi pilihan. Suatu penelitian menemukan prostaglandin analog secara umum
digunakan dalam menurunkan TIO dan variasi diurnal. Pemilihan prostaglandin
analog untuk terapi dini karena efikasi yang tinggi dalam menurunkan TIO dan
waktu kerja yang lama (Abelson, et al., 2014).
2.4 Latanoprost
Latanoprost merupakan salah satu obat anti glaukoma terkait prostaglandin
yang memiliki efek yang kuat dalam menurunkan tekanan intraokular dengan
meningkatkan aliran keluar melalui jalur uveosklera. Penelitian jangka panjang
menunjukkan pemakaian latanoprost 0,005% satu kali sehari menunjukkan
penurunan tekanan intraokular yang sama efektifnya dengan β-adrenergik
antagonis. Latanoprost dapat ditoleransi dengan baik secara lokal serta memiliki
14
efek samping minimal secara sistemik dibandingkan dengan timolol. Latanoprost
menjadi pilihan utama karena dosis pemberian sekali sehari dan efikasi yang baik
dalam menurunkan TIO (Aquino, et al., 1999 ; Darhad, et al.,2007).
2.4.1 Mekanisme Kerja Latanoprost
Latanoprost merupakan suatu prostaglandin F2-alpha isopropil ester
prodrug (17-phenyl substituted PGF2-alpha), yang dihidrolisasi cepat oleh
esterase di kornea menjadi asam latanoprost aktif, kemudian mengalami
metabolisme pertama di hepar, sebelum dieksresi melalui urin dan feses.
Metabolit utama yang terdeteksi pada urin dan feses adalah bentuk 1,2-dinor dari
asam latanoprost dan fraksi polar lainnya yang kemudian ditemukan adalah
metabolit 1,2,3,4-tetranor dari asam latanoprost. Ketika latanoprost diaplikasikan
secara topikal pada mata, kornea akan menghantarkan latanoprost dengan lambat
ke segmen anterior. Konsentrasi maksimum ditemukan pada iris setelah satu jam
aplikasi, diikuti bilik mata depan dan korpus siliaris. Eliminasi paruh waktu pada
jaringan ini sekitar 3-4 jam, walaupun sisa bahan masih dapat dijumpai dalam 24
jam. Analisa menunjukkan latanoprost tidak mencapai segmen posterior bola
mata, hanya terdeteksi pada jaringan anterior (Russo, et al., 2008).
Data imunohistokimia menunjukkan penurunan TIO dengan PGF2-alpha
topikal terkait dengan reduksi kolagen dalam jalur uveoscleral outflow. Korpus
siliaris berisi beberapa reseptor prostaglandin (terutama reseptor FP dan EP2),
yang jika aktif merangsang second messenger cascade untuk sintesis
metalloproteinase. Respon korpus siliaris terhadap latanoprost adalah terjadi
pengurangan kolagen I, III, IV, fibronectin, laminin dan hyaluronan, serta
15
peningkatan metalloproteinase 2 dan 3. Penemuan ini menjelaskan peranan
latanoprost dalam merubah matrix ekstraselular dalam memudahkan aliran keluar
humor akuos melalui serat muskulus siliaris (Russo, et al., 2008).
Gambar 2.1. Struktur kimia latanoprost (ChemicalBook, 2010).
Sharif et al. (2003), menyebutkan prostaglandin analog menstimulasi
reseptor FP prostaglandin pada sel trabekular manusia sehingga meningkatkan
matrix metalloproteinase dalam meshwork dan merubah matriks ekstraseluler.
Penelitian oleh Lim et al. (2008), meneliti efek prostaglandin analog pada
dinamika akuos dan menemukan bahwa prostaglandin analog menurunkan TIO
dengan meningkatkan aliran keluar melalui trabekular meshwork dan jalur
uveoskleral (Sharif, et al.,2003 ; Lim, et al., 2008).
2.4.2 Efikasi Latanoprost
Eviden klinis pada tahun pertama pemakaian latanoprost menunjukkan
pemakaian satu kali sehari adalah paling efektif dibandingkan pemakaian dua kali
sehari. Belum diketahui secara pasti alasan pemberian satu kali sehari, namun
diduga terkait penurunan regulasi dari reseptor subsensitivitas yang berakibat
terhadap penurunan efek (Linden, et al., 1998).
16
Pemakaian tetes mata latanoprost 0,005% topikal dosis tunggal, dapat
menurunkan TIO maksimal dalam 8-12 jam dan TIO tetap rendah tanpa diterapi
dalam 24 jam. Latanoprost diberikan satu kali sehari pada malam hari
menyebabkan penurunan TIO konstan. Terapi jangka panjang latanoprost tidak
memberikan efek klinis secara signifikan pada permeabilitas blood-aqueous
barrier (Quaranta, et al., 2006).
Penelitian terdahulu memberikan hasil pemakaian latanoprost 0.005% satu
kali sehari pada malam hari secara statistik menunjukkan hasil yang signifikan
lebih efektif dibandingkan dengan pemakaian timolol 0,5% dua kali sehari dalam
menurunkan tekanan intra okular diurnal setelah 6 minggu terapi dan kemudian
sama efektifnya setelah pemakaian setelah 12 minggu (Aquino, et al., 1999).
2.4.3 Efek Samping Latanoprost
Secara umum, latanoprost dapat ditoleransi dengan baik terkait efek
samping yang minimal terhadap sistemik jika dibandingkan dengan dengan
timolol. Efek samping okular terbanyak akibat pemakaian latanoprost adalah
hiperemi konjungtiva, yang biasanya terjadi dalam 2 hari sejak terapi dimulai dan
berkurang dari waktu ke waktu (Russo, et al., 2008).
Pemakaian latanoprost dikaitkan dengan hiperpigmentasi yang terjadi pada
bulu mata, kelopak mata, dan iris. Hiperpigmentasi pada bulu mata dan kelopak
mata bersifat reversibel, sedangkan hiperpigmentasi pada iris bersifat menetap.
Efek samping ini biasanya bersifat ringan dan terjadi sekitar 10% dari seluruh
pasien yang diterapi dengan latanoprost lebih dari 3 tahun. Namun penelitian lain
17
menyebutkan hiperpigmentasi iris dapat terjadi dalam 24 bulan pemakaian
latanoprost (Uisitalo, et al., 2010).
Pemakaian latanoprost dapat mengakibatkan perubahan permukaan okular
dari waktu ke waktu hingga menimbulkan ocular surface disease (OSD).
Antiglaukoma topikal dilaporkan dapat meningkatkan jumlah fibroblas dan sel
inflamasi pada substansia propria konjungtiva dan merangsang metaplasia epitel.
Konsentrasi tinggi dari makrofag, limfosit, sel mast dan fibroblas serta penurunan
kepadatan sel goblet adalah efek samping yang pernah dilaporkan pada pemakaian
antiglaukoma topikal. Mekanisme OSD pada pemakaian antiglaukoma topikal
belum diketahui secara pasti dan masih menjadi perdebatan. Penelitian terdahulu
menyatakan bahwa latanoprost tidak secara langsung memicu terjadinya inflamasi
yang mengakibatkan adesi molekul abatu antigen kelas II. Toksisitas akibat
pemakaian latanoprost dikaitkan dengan kemasan komersil latanoprost yang
mengandung bahan pengawet Benzalkonium klorida (Faria, et al., 2013).
Benzalkonium klorida adalah suatu cationic surface-acting agent yang
berasal dari kelompok quaternary ammonium, yang dapat merusak membran sel
bakteri bahkan memicu kematian sel. Formula BAK untuk konsumen terdapat
dalam sediaan solution. Konsentrasi maksimum BAK adalah 0,1% dimana pada
konsentrasi tersebut BAK tidak menyebabkan iritasi primer. Benzalkonium
klorida merupakan bahan pengawet yang banyak digunakan pada obat topikal
glaukoma, dengan rentang konsentrasi sekitar 0,004% sampai 0,01%.
Benzalkonium klorida mengandung surfaktan yang dapat memecah lapisan lemak
air mata sehingga meningkatkan penetrasi obat (Kahook, et al., 2008).
18
Aktivitas biosidal terbesar BAK dihubungkan dengan C12 dodecyl dan
C14 myristyl dari derivat alkil. Mekanisme dari bakterisidal atau mikrobisidal
berhubungan kuat dengan gangguan dari interaksi intermolekular. Hal ini dapat
menyebabkan disosiasi dari cellular membran lipid bilayer, dimana hal ini
mengendalikan permeabilitas seluler dan meningkatkan kebocoran dari isi sel.
Kompleks biomolekular yang lain dalam sel bakteri juga mengalami disosiasi.
Larutan BAK adalah agen fast-acting biosidal, aktif melawan bakteri, virus, jamur
dan protozoa, namun spora bakteri diperkirakan resisten. Larutan bersifat
bakteriostatik atau bakterisidal tergantung dari konsentrasinya. Bakteri gram
positif secara umum lebih peka dibandingkan dengan bakteri gram negatif.
Aktivitas dari larutan ini tidak dipengaruhi oleh pH tetapi meningkat efeknya pada
temperatur yang tinggi dan pemakaian yang lama (Kahook, et al., 2008).
Benzalkonium klorida berperan penting dalam menimbulkan efek samping
seperti hiperemi konjungtiva, mengurangi pergantian air mata, mengurangi tear
film break-up time (BUT), dan infiltrasi pada kornea akibat sel inflamasi.
Penelitian pada kelinci menunjukkan BAK disimpan di jaringan dan dapat
bertahan hingga 168 jam setelah aplikasi 1 tetes BAK 0,01%, dengan waktu paruh
sekitar 20 jam pada epitel kornea dan jaringan konjungtiva (Russo, et al., 2008).
Gambar 2.2. Struktur kimia Benzalkonium klorida (ChemicalBook, 2010).
19
Pemakaian BAK jangka panjang dapat menyebabkan efek toksik secara
langsung dan tidak langsung pada permukaan okular. Pemakaian BAK dapat
menyebabkan ketidakstabilan lapisan air mata, metaplasia skuamosa konjungtiva,
apoptosis, kerusakan barier epitel kornea, dan hilangnya sel goblet konjungtiva.
Mekanisme terjadinya efek tersebut belum diketahui secara pasti, diduga
keterlibatan reaksi immunoinflammatory dengan melepaskan sitokin
proinflammatory, apoptosis, stres oksidatif yang berinteraksi secara langsung
dengan lapisan lipid air mata (Mastropasqua, et al., 2013).
Penelitian oleh Costa dan rekan menunjukkan pasien glaukoma merupakan
kelompok terbesar yang membutuhkan air mata buatan dibandingkan dengan
kelompok lainnya, dimana terapi dengan golongan prostaglandin analog adalah
yang tersering. Latanoprost (Xalatan®; Pfizer) mengandung 0.02% BAK
(merupakan obat komersil dengan kandungan BAK tertinggi). Penelitian oleh
Costa juga menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan, pemakaian obat anti
glaukoma jangka panjang dengan dua atau lebih terapi kombinasi meningkatkan
kebutuhan terhadap air mata buatan (Costa, et al.,2013).
2.5 Sitologi Impresi
Morfologi permukaan okular dapat diinvestigasi melalui sitologi impresi
konjungtiva. Prosedur sitologi impresi pertama kali dikenalkan oleh Larmande
dan Timsit untuk mendiagnosis neoplasia skuamosa permukaan okular pada tahun
1954. Egbert et al. (1977), mendokumentasikan penggunaan sitologi impresi
20
konjungtiva untuk memeriksa gangguan permukaan okular dan kepadatan sel
goblet (Schober, et al., 2006).
Tabel 2.1. Kriteria Sitologi Impresi Nelson. Derajat ≥ 2 dinyatakan abnormal
(Singh, et al., 2005).
Derajat
Gambaran
0 >500 sel goblet/mm2
Sel epitel kecil, bulat dengan nukleus besar
1 350-500 sel goblet/mm2
Sel epitel sedikit besar, bentuk lebih poligonal dengan
nukleus kecil
2 100-350 sel goblet/mm2
Sel epitel besar dan poligonal, multinucleated, dengan
variasi pewarnaan sitoplasma, nukleus kecil
3 <100 sel goblet/mm2
Sel epitel besar, poligonal dengan nukleus piknotik kecil
Gambar 2.3. Gambaran sitologi impresi. A) Sitologi impresi permukaan kornea
normal. B) Sitologi impresi zona transisi normal dari kornea ke limbus (Singh, et
al., 2005).
21
Gambar 2.4. Gambaran hasil sitologi impresi (pewarnaan PAS dan hematoksilin,
pembesaran 100x) pada pasien dengan dry eye syndrome. A) Derajat 0, normal. B)
Derajat 1, kehilangan sel goblet awal. C) Derajat 2, kehilangan sel goblet total. D)
Derajat 3, keratinisasi awal. E) Derajat 4, keratinisasi sedang. F) Derajat 5,
keratinisasi berat (Kim, et al., 2009).
Teknik sitologi impresi menggunakan sepotong kertas saring Millipore
yang ditekan secara ringan pada area tertentu dari permukaan konjungtiva (atau
dalam kasus yang jarang terjadi, kornea) untuk mengangkat 1-3 lapis sel-sel epitel
permukaan, selanjutnya lakukan fiksasi dan pewarnaan dengan H&E atau PAS
atau Papanicolaou untuk menunjukkan sel-sel goblet dan sel epitel. Kertas saring
Millipore memiliki keuntungan metode menjadi cepat, mudah diterapkan dan
mudah ditransportasikan dengan alat mekanis yang stabil (Singh, et al., 2005).
2.6 Air Mata Buatan
Preparat air mata buatan membentuk lapisan yang menutup permukaan
kornea untuk melembabkan dan melindungi dari kekeringan. Bahan aktif yang
terkandung dalam air mata buatan antara lain polyvinyl alcohol, selulosa,
A B C
D E F
22
metilselulosa dan derivatnya (hydroxypropyl cellulose, hyroxyethylcellulose,
hydroxypropyl methyl-cellulose/HPMC, dan carboxymethylcellulose). Bahan lain
yang juga sering digunakan seperti gliserin, polysorbate 80, polyethylene glycol
(PEG)-400, dextran 70, povidone, dan propylene glycol. Kekentalan air mata
buatan bervariasi tergantung pada konsentrasi wetting agent. Semakin parah dry
eye, maka semakin tinggi viskositas air mata buatan yang diperlukan (American
Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
Penelitian oleh Demiryay et al., menunjukkan terjadi peningkatan sel
goblet konjungtiva pada pasien yang diterapi dengan air mata buatan topikal (pada
penelitian tersebut menggunakan kombinasi HPMC dan Dextran 70).
Hydroxypropyl methyl-cellulose dikatakan mampu melapisi dan melindungi
permukaan epitel serta mengembalikan fungsi proteksi dari musin (Pflugfelder, et
al., 2007 ; Demiryay, et al., 2013).
Beberapa prinsip dapat digunakan sebagai panduan dalam pemilihan
preparat air mata buatan. Secara umum air mata buatan yang lebih kental
sebaikmya digunakan saat keparahan dry eye meningkat. Suatu penelitian
mungkin diperlukan untuk menilai keterlibatan titrasi dan frekuensi penggunaan
sesuai dengan aktivitas pasien sehari-hari. Produk tanpa bahan pengawet
disarankan jika dibutuhkan pemakaian yang lebih sering, contohnya pada dry eye
yang berat. Namun, produk tanpa bahan pengawet memiliki resiko terkontaminasi
bakteri sehingga harus diganti dalam beberapa jam penggunaan, walaupun vial
masih tertutup baik setelah dibuka (American Academy of Ophthalmology, 2014-
2015).
23
Air mata buatan yang umumnya tersedia di pasaran mengandung sistem
polimer hidrofilik (contoh : HPMC dan dextran). Hydroxypropyl methylcellulose
merupakan hydrogels yang membuat air mata buatan menjadi lebih kental dan
bertahan pada permukaan okuli dalam jangka waktu yang lebih lama (Srividya, et
al., 2000).
Nama lain dari HPMC adalah hypromellose, methocel, metolose,
pharmacoat. Secara luas digunakan sebagai suatu eksipien dalam sediaan topikal
dan oral. Dibandingkan dengan metilselulose, HPMC menghasilkan cairan lebih
jernih, dan digunakan sebagai zat pengemulsi, agen pensuspensi, dan agen
penstabil di dalam sediaan salep dan gel. Sifat merekat dari HPMC apabila
sediaan menggunakan bahan pelarut organik. Hydroxypropyl methylcellulose
diakui sebagai bahan tidak beracun dan non iritasi (Amna, 2012).
Gambar 2.5. Struktur kimia HPMC (Khairunnisya, 2011).
Dextran merupakan polisakarida yang memiliki rantai cabang
monosakarida yaitu glukosa. Dextran dibentuk dari aktivitas bakteri yang
membentuk plak yaitu suatu lapisan kasar dan lengket pada area gigi akibat
banyaknya konsentrasi sukrosa yang mengakibatkan kerusakan gigi. Cairan
24
Dextran sintetik komersial digunakan untuk operasi atau pengobatan darurat
terhadap shock, untuk meningkatkan volume plasma darah dalam sirkulasi darah.
Dextran digunakan pada tetes mata sebagai pelumas yang menjaga kelembaban
permukaan bola mata (Medscape, 2013).
Gambar 2.6. Struktur kimia Dextran 70 (Medscape, 2013).