31
12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) 2.1.1.1. Pengertian Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja, memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional (Iman dan Adi, 2009). Usaha Mikro Kecil dan menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha, yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar, yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang UMKM, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu kekuatan pendorong terdepan dalam pembangunan ekonomi. Gerak sektor UKM amat vital untuk menciptakan pertumbuhan dan lapangan pekerjaan. UKM cukup fleksibel serta dapat dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

  • Upload
    lamnhi

  • View
    223

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

2.1.1.1. Pengertian Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan kegiatan usaha

yang mampu memperluas lapangan kerja, memberikan pelayanan ekonomi secara

luas kepada masyarakat, berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan

pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam

mewujudkan stabilitas nasional (Iman dan Adi, 2009).

Usaha Mikro Kecil dan menengah adalah usaha ekonomi produktif yang

berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha, yang bukan

merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,

atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau

usaha besar, yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,

Kecil dan Menengah.

Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang UMKM, Usaha Kecil

dan Menengah (UKM) merupakan salah satu kekuatan pendorong terdepan dalam

pembangunan ekonomi. Gerak sektor UKM amat vital untuk menciptakan

pertumbuhan dan lapangan pekerjaan. UKM cukup fleksibel serta dapat dengan

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

13

mudah beradaptasi dengan pasang surut dan arah permintaan pasar. Mereka juga

menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan dengan sektor usaha

lainnya, dan mereka cukup terdiversifikasi serta memberikan kontribusi penting

dalam ekspor dan perdagangan. Secara keseluruhan.

Sedangkan kriteria UMKM menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang

UMKM adalah

Tabel 2.1

Kriteria UMKM menurut UU No.20 Tahun 2008 No. URAIAN KRITERIA

ASSET OMZET

1 USAHA MIKRO Maks. 50 Juta Maks. 300 Juta

2 USAHA KECIL > 50 Juta - 500 Juta > 300 Juta - 2,5 Miliar

3 USAHA MENENGAH > 500 Juta - 10 Miliar > 2,5 Miliar - 50 Miliar

Sumber : www.depkop.go.id

Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan

usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,

Kecil dan Menengah. Kriteria usaha mikro adalah sebagai berikut :

1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh

juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga

ratus juta rupiah).

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

14

Kementerian Koperasi dan UKM mengelompokkan usaha mikro kecil dan

menengah menjadi 3 (tiga) kelompok berdasarkan total asset, total penjualan tahunan,

dan status usaha dengan kriteria sebagai berikut:

1. Usaha mikro adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan bersifat

tradisional dan informal, dalam arti belum terdaftar, belum tercatat dan

belum

2. berbadan hukum. Hasil penjualan bisnis tersebut paling banyak Rp. 100

juta. Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memenuhi kriteria

antara lain:

1. Usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.

200.000.000,- (dua ratus juta) tidak termasuk tanah dan bangunan

tempat usaha.

2. Usaha yang memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp. 1

miliyar.

3. Usaha yang berdiri sendiri, bukan perusahaan atau cabang

perusahaan Yang dimiliki, dikuasai atau terafiliasi baik langsung

maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau skala besar.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

15

4. Berbentuk usaha yang dimiliki orang perorangan, badan usaha

yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan

hukum, termasuk koperasi.

2.1.1.2. Komponen Laporan Kriteria Usaha Kecil dan Menengah.

Menurut World Bank,2009 dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu :

1. Small Enterprise, dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 30 orang,

pendapatan setahun tidak melebihi $ 3 juta, jumlah aset tidak melebihi $ 3

juta.

2. Micro Enterprise, dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 10 orang,

pendapatan setahun tidak melebihi $ 100 ribu, jumlah aset tidak melebihi

$ 100 ribu.

2.1.1.3. Tujuan dan Peranan Usaha Mikro Kecil dan Menengah.

Tujuan usaha mikro menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yaitu bertujuan menumbuhkan

danmengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional

berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Usaha mikro mempunyai peran

yang penting dalam pembangunan ekonomi, karena intensitas tenaga kerja yang

relatif lebih tinggi dan investasi yang lebih kecil, sehingga usaha mikro lebih

fleksibel dalam menghadapi danberadaptasi dengan perubahan pasar. Hal ini

menyebabkan usaha mikro tidakterlalu terpengaruh oleh tekanan eksternal, karena

dapat mengurang impor dan memiliki kandungan lokal yang tinggi. Oleh karena itu

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

16

pengembangan usahamikro dapat memberikan kontribusi pada diversifikasi ekonomi

dan perubahanstruktur sebagai prakondisi pertumbuhan ekonomi jangka panjang

yang stabil dan berkesinambungan.

Disamping itu UKM memiliki tingkat penciptaan lapangan kerja lebih

tinggi pada usaha mikro dari pada yang terjadi di perusahaan besar (Sutrisno

dan Sri,2006).Peran usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam

perekonomianIndonesia paling tidak dapat dilihat dari (Kementerian Koperasi

dan UKM, 2005 dalam Neddy, 2006 ):

1. Kedudukannya sebagai pemain utama dalam kegiatan ekonomi di

berbagai sektor penyedia lapangan kerja yang terbesar

2. Pemain penting dalam pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan

pemberdayaan masyarakat

3. Pencipta pasar baru dan sumber inovasi

4. Sumbangannya dalam menjaga neraca pembayaran melalui kegiatan

ekspor.

Peran UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) selama ini diakui berbagai

pihak cukup besar dalam perekonomian nasional. Beberapa peran strategis UMKM

menurut Bank Indonesia antara lain: jumlahnya yang besar dan terdapat dalam setiap

sektor ekonomi; menyerap banyak tenaga kerja dan setiap investasi menciptakan

lebih banyak kesempatan kerja; memiliki kemampuan untuk memanfaatkan bahan

baku lokal dan menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat luas

dengan harga terjangkau.

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

17

2.1.1.4. Karakteristik Usaha Kecil dan Menengah

Penelitian yang dilakukan LM-FEUI (Lembaga Manajemen Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia) pada tahun 1994 menemukan karakteristik usaha

kecil (mikro) di Indonesia sebagai berikut (Ahmad, n.d dalam afifah 2012):

1. Hampir setengah perusahaan mikro kecil dan menengah hanya

menggunakan kapasitas terpasang60% atau kurang. Hal ini disebabkan

karena kesalahan dalam perencanaan dan ketidak mampuan memperbesar

pasar, dan lebih dari setengahperusahaan kecil didirikan sebagai

pengembangan usaha kecil kecilan.

2. Masalah utama yang dihadapi berbeda menurut tahap pengembangan

usaha.Pada masa pengembangan (sebelum investasi) terdapat dua

masalah yaitu, permodalan dan kemudahan berusaha (lokasi dan

perijinan). Pada tahap selanjutnya sektor usaha UMKM menghadapi

kendala permodalan dan pengadaan bahan baku. Selain hal itu juga

karena kurangnya keterampilan teknis dan administrasi.

3. Tingkat ketergantungan terhadap bantuan pemerintah berupa permodalan,

pemasaran dan pengadaan bahan baku relatif masih tinggi.

4. Hampir 60% masih menggunakan teknologi tradisional.

5. Hampir 70% usaha kecil melakukan pemasaran langsung terhadap

konsumen.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

18

6. Sebagian besar pengusaha UMKM dalam memperoleh bantuan

perbankanmerasa rumit dan dokumen yang harus disiapkan sukar

dipenuhi.

2.1.1.5. Tantangan dan Permasalahan Usaha Mikro

Sebagaimana diketahui dari berbagai studi, bahwa dalam mengembangkan

usahanya, UMKM menghadapi berbagai kendala baik yang bersifat internal maupun

eksternal, permasalahan-permasalahan tersebut antara lain: aksesbilitas, manajemen,

permodalan, teknologi, bahan baku, informasi dan pemasaran, infrastruktur, birokrasi

dan pungutan, kemitraan. Dari beragamnya permasalahan yang dihadapi UMKM,

nampaknya permodalan tetap menjadi salah satu kebutuhan penting guna

menjalankan usahanya, baik kebutuhan modal kerja maupun investasi (Sri, n.d dalam

afifah 2012).

Menurut Haryadi ( 2010), ada beberapa faktor penghambat berkembangnya

UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) antara lain kurangnya modal dan

kemampuan manajerial yang rendah. Meskipun permintaan atas usaha mereka

meningkat karena terkendala dana maka sering kali tidak bisa untuk memenuhi

permintaan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan untuk mendapatkan

informasi tentang tata cara mendapatkan dana dan keterbasan kemampuan dalam

membuat usulan untuk mendapatkan dana.

Kebanyakan UMKM dalam menjalankan usaha tanpa adanya perencanaan,

pengendalian maupun juga evalusi kegiatan usaha. Menurut Afifah (2012),

permasalahan UMKM dapat dikategorikan sebagai berikut:

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

19

Permasalahan yang bersifat klasik dan mendasar pada UMKM

(basicproblems), antara lain berupa permasalahan modal, bentuk badan hukumyang

umumnya non formal, sumber daya manusia (SDM), pengembangan produk dan

akses pemasaran;

1. Permasalahan lanjutan (advanced problems), antara lain pengenalan dan

penetrasi pasar ekspor yang belum optimal, kurangnya pemahaman

terhadap desain produk yang sesuai dengan karakter pasar, permasalahan

hukum yang menyangkut hak paten, prosedur kontrak penjualan serta

peraturan yang berlaku di negara tujuan ekspor;

2. Permasalahan antara (intermediate problems), yaitu permasalahan dari

instansi terkait untuk menyelesaikan masalah dasar agar mampu

menghadapi persoalan lanjutan secara lebih baik. Permasalahan tersebut

antara lain dalam

3. hal manajemen keuangan, agunan dan keterbatasan dalam

kewirausahaan.

4. Dengan pemahaman atas permasalahan di atas, akan dapat ditengarai

berbagai problem dalam UMKM dalam tingkatan yang berbeda, sehingga

solusi dan penanganannyapun seharusnya berbeda pula. Menurut I Gusti

(2011) dalam afifah (2012) tantangan yang dihadapi UMKM dan

Koperasi,antara lain :

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

20

1. Teknologi

Penelusuran studi mengatakan bahwa komoditi yang dihasilkan

pengusaha mikro, kecil dan menengah & koperasi masih

mempergunakan teknologi relatif rendah. Sementara negara maju

lainnya pengembangannya berorientasi kepada teknologi maju.

Berangkat darisituasi tersebut daya saing produknya didaerah relatif

kalah bersaing dibanding produk-produk dari negara-negara yang

sudah berorientasi pada teknologi maju. Kendala Universitas Sumatera

Utara penggunaan teknologi terbesar adalah biayanya yang cukup

besar (mahal). Sering terjadi peluang pasar meningkat tetapi tak

mampu memanfaatkannya karena tidak tersedianya teknologi yang

memungkinkan peningkatan produktivitas.

2. Sumber Daya Manusia (SDM)

Selama ini sebagian besar tenaga kerja yang bergerak dalam usaha

mikro, kecil dan menengah & koperasi bukan merupakan tenaga kerja

yang profesional, yang mampu mengelola usaha dengan baik.

3. Manajemen

Manajemen Pengusaha Mikro, Kecil dan Menengah & Koperasi

merupakan salah satu faktor daya saing yang sangat penting. Banyak

perusahaan yang punya teknologi, sumber daya manusia dengan skill

yang memadai dan modal yang cukup, namun kinerja masih belum

memenuhi harapan.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

21

4. Permodalan

Perkembangan permodalan para pengusaha mikro, kecil dan

menengah hingga kini masih relatif lambat, dan karenanya masih

sering memerlukan bantuan baik dari pemerintah maupun dari

pengusaha besar. Modal adalah bagian yang tak terpisahkan dalam

usaha pengembangan suatu bisnis, karena itu akses modal baik yang

berwujud kredit, barang produksi merupakan sarana yang sangat

diperlukan dalam meningkatkan daya saing pengusaha mikro, kecil

dan menengah dan koperasi. Kalangan perbankan masih sering menilai

para pengusaha mikro, kecil dan menengah & koperasi belum

Bankable.

5. Organisasi dan Kelembagaan

Masih banyak terjadi bahwa perusahaan-perusahaan yang termasuk

UMKM & Koperasi belum menunjukkan kejelasan prinsip-prinsip

organisasi seperti kejelasan tujuan, kejelasan misi, kejelasan aktivitas,

kejelasan rentang kendali. Adalah kenyataan pada umumnya para

Pengusaha Mikro, Kecil dan Menengah & Koperasi sering

menggunakan tipe organisasi yang sangat sederhana yang akibatnya

berpengaruh terhadap perkembangan dan peningkatan daya saing.

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

22

2.1.2. Usaha Kecil Menengah Kota Bandung

2.1.2.1. Gambaran Umum Usaha Kecil Menengah Kota Bandung

Usaha Kecil Menengah (UKM) di Kota Bandung berkembang semenjak tahun

2000an, hal ini disebabkan oleh perkembangan perekonomian di Kota Bandung yang

terus menunjukan perkembangan setiap tahunnya sehingga, menjadi sebuah sektor

industry yang meningkatkan perekonomian.

Tabel 2.2

UKM Kota Bandung Tahun 2013 s/d 2014

SEKTOR/KEGIATAN

KRITERIA

2013 2014

USAHA KECIL 10.861 11.219

USAHA MENENGAH 2.265 2.374

TOTAL UKM 13.126 13.593

Sumber : Diskoperindag Kota Bandung Tahun 2014 bidang UKM

Kota Bandung memiliki potensi yang besar bagi pelaku Usaha Kecil

Menengah yang baru. Potensi pariwisata belanja merupakan peluang terbesar bagi

pelaku UKM bandung untuk mengembangkan potensi tersebut. Walaupun ribuan

Usaha Kecil dan Menengah di Kota Bandung terhitung banyak, tetapi UKM di Kota

Bandung masih terbilang memiliki kekurangan dalam menerapkan standar – standar

yang sudah ditetapkan.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

23

2.1.3. Pendapatan

2.1.3.1.Pengertian Pendapatan

Pendapatan menurut Theodurus M.Tuanakotta dalam buku “Teori Akuntansi”

menyatakan bahwa :

“Pendapatan (Revenue) dapat didefinisikan secara umum sebagai hasil dari

suatu perusahaan. Pendapatan adalah darah kehidupan dari suatu perusahaan.

Mengingat pentingnya sangat sulit mendefinisikan pendapatan sebagai unsur

akuntansi pada dirinya sendiri. Pada dasarnya pendapatan adalah kenaikan

laba. Seperti laba pendapatan adalah proses arus penciptaan barang atau jasa

oleh suatu perusahaan selama suatu kurun waktu tertentu. Umumnya,

pendapatan dinyatakan dalam satuan moneter (uang)”. (2000;152)

Pengertian pendapatan adalah salah satu aktiva lancar yang penting, karena

menyangkut kegiatan operasi perusahaan. Pendapatan merupakan bagian yang

penting baik untuk perusahaan jasa maupun perusahaan perdagangan.

Pengertian pendapatan menurut Ikatan Akuntansi Indonesia dalam buku

“Standar Akuntansi Keuangan” adalah sebagai berikut :

“Pendapatan adalah Arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari

aktivitas normal perusahaan selama satu periode bila arus masuk itu

mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi

penanaman modal”. (2002;23.2)

Sedangkan pendapatan menurut Kusnadi dalam buku “Akuntansi Keuangan

Menengah (Intermediate):Prinsip, Prosedur, dan Metode“ menyatakan bahwa :

“Pendapatan adalah suatu penambahan aktiva (harta) yang

mengakibatkan bertambahnya modal tetapi bukan karena penambahan

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

24

modal dari pemilik atau bukan hutang melainkan melalui penjualan

barang atau jasa kepada pihak lain, karena pendapatan ini dapat

dikatakan sebagai kontra prestasi yang diterima atas jasa-jasa yang telah

diberikan kepada pihak lain“. (2000;9)

Pendapatan menurut Theodorus. M. Tuanakotta dalam buku “Teori

Akuntansi” adalah sebagai berikut :

“Pendapatan adalah inflow of assets ke dalam perusahaan sebagai akibat

penjualan barang dan jasa”. (2000;153)

Dari pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa pendapatan adalah suatu

jumlah yang diperoleh dari hasil penjualan barang atau jasa yang dilakukan oleh

suatu perusahaan.

2.1.3.2. Pengukuran dan Pengakuan Pendapatan

Menurut SAK ETAP (2009:20.3-20.4) Entitas harus mengukur

pendapatan berdasarkan nilai wajar atas pembayaran yang diterima atau

masih harus diterima. Nilai wajar tersebut tidak termasuk jumlah diskon

penjualan dan potongan volume.

Entitas harus memasukkan dalam pendapatan manfaat ekonomi yang

diterima atau masih harus diterima secara bruto. Entitas harus mengeluarkan

dari pendapatan sejumlah nilai yang menjadi bagian pihak ketiga seperti

pajak penjualan, pajak atas barang dan jasa, dan pajak pertambahan nilai.

Dalam hubungan keagenan, entitas memasukkan dalam pendapatan hanya

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

25

sebesar jumlah komisi. Jumlah yang diperoleh atas nama pihak prinsipal

bukan merupakan pendapatan entitas tersebut.

Seusai dengan Standar Akuntansi Keuangan Tanpa Entitas Akuntan Publik

(SAK ETAP 2009:20) dalam akuntansi untuk pendapatan yang muncul sebagai akibat

dari transaksi atau kejadian berikut:

1. Penjualan barang (baik diproduksi oleh entitas untuk tujuan produksi atau

dibeli untuk dijual kembali);

2. Pemberian jasa;

3. Kontrak konstruksi;

4. Penggunaan aset entitas oleh pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti

atau dividen.

Jika hasil transaksi yang melibatkan penyediaan jasa dapat diestimasi secara

andal, maka entitas harus mengakui pendapatan yang berhubungan dengan transaksi

sesuai dengan tahap penyelesaian dari transaksi pada akhir periode pelaporan

(terkadang dimaksudkan sebagai metode persentase penyelesaian). Hasil suatu

transaksi dapat diestimasi secara andal jika memenuhi semua kondisi berikut:

1. Jumlah pendapatan dapat diukur secara andal;

2. Ada kemungkinan besar bahwa manfaat ekonomis yang berhubungan

dengan transaksi akan mengalir kepada entitas;

3. Tingkat penyelesaian transaksi pada akhir periode pelaporan dapat diukur

secara andal; dan

4. Biaya yang terjadi dalam transaksi dan biaya penyelesaian transaksi dapat

diukur secara andal.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

26

2.1.3.3. Pendapatan dari Penjualan Barang

Berdasarkan (SAK ETAP 2009:20.3-20.4) Entitas harus mengakui

pendapatan dari suatu penjualan barang jika semua kondisi berikut terpenuhi:

1. Entitas telah mengalihkan risiko dan manfaat yang signifikan dari

kepemilikan barang kepada pembeli;

2. Entitas tidak mempertahankan atau meneruskan baik keterlibatan

manajerial sampai kepada tingkat dimanabiasanya diasosiasikan

dengan kepemilikan maupun kontrol efektif atas barang yang terjual;

3. Jumlah pendapatan dapat diukur secara andal;

4. Ada kemungkinan besar manfaat ekonomi yang berhubungan dengan

transaksi akan mengalir masuk ke dalam entitas; dan

5. Biaya yang telah atau akan terjadi sehubungan dengan transaksi dapat

diukur secara andal.

Entitas tidak boleh mengakui pendapatan jika entitas mempertahankan risiko

kepemilikan yang signifikan. Contoh dari situasi dimana entitas diperbolehkan

mempertahankan risiko dan manfaat yang signifikan dari kepemilikan adalah sebagai

berikut:

1. Ketika entitas mempertahankan kewajiban atas kinerja yang tidak

memuaskan yang tidak tercakup dalam kewajiban diestimasi untuk

garansi normal;

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

27

2. Ketika penerimaan pendapatan dari penjualan tertentu adalah

kontinjen pada pembeli yang menjual barang;

3. Ketika barang yang dikirimkan memerlukan instalasi daninstalasi

tersebut adalah bagian signifikan dari kontrak danbelum dikerjakan;

4. Ketika pembeli memiliki hak untuk membatalkan pembelian dengan

alasan yang dicantumkan dalam kontrak penjualan dan entitas tidak

yakin dengan kemungkinan pengembalian.

2.1.3.4. Pendapatan dari Penyediaan Jasa

Berdasarkan SAK ETAP (2009:20.3-20.4) Jika hasil transaksi yang

melibatkan penyediaan jasa dapat diestimasi secara andal, maka entitas harus

mengakui pendapatan yang berhubungan dengan transaksi sesuai dengan tahap

penyelesaian dari transaksi pada akhir periode pelaporan (terkadang dimaksudkan

sebagai metode persentase penyelesaian). Hasil suatu transaksi dapat diestimasi

secara andal jika memenuhi semua kondisi berikut:

1. Jumlah pendapatan dapat diukur secara andal;

2. Ada kemungkinan besar bahwa manfaat ekonomis yang berhubungan

dengan transaksi akan mengalir kepada entitas;

3. Tingkat penyelesaian transaksi pada akhir periode pelaporan dapat

diukur secara andal; dan

4. Biaya yang terjadi dalam transaksi dan biaya penyelesaian transaksi

dapat diukur secara andal.

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

28

Jika dalam periode waktu tertentu jasa diberikan melalui beberapa pekerjaan

yang tidak ditentukan jumlahnya, maka entitas mengakui pendapatan secara garis

lurus selama periode tersebut, kecuali terdapat bukti bahwa metode lain dapat lebih

baik untuk menunjukkan tingkat penyelesaian. Jika suatu pekerjaan tertentu menjadi

lebih signifikan dibandingkan dengan pekerjaan lainnya, maka entitas menunda

pengakuan pendapatan sampai pekerjaan signifikan tersebut dilaksanakan.

Jika hasil transaksi melibatkan penyediaan jasa tidak dapat diestimasikan

secara andal, maka entitas harus mengakui pendapatan hanya sampai dengan beban

yang dapat diperoleh kembali.

2.1.3.5. Pendapatan dari Kontrak Kontruksi

Menurut SAK ETAP (2009:20.3-20.4) Jika hasil kontrak konstruksi dapat

diestimasi secara andal, maka entitas harus mengakui pendapatan kontrak dan biaya

kontrak yang berhubungan dengan kontrak konstruksi masing-masing sebagai

pendapatan dan beban yang disesuaikan dengan tingkat penyelesaian aktivitas

kontrak pada akhir periode pelaporan (seringkali dimaksudkan sebagai metode

persentase penyelesaian). Estimasi hasil yang andal membutuhkan estimasi tingkat

penyelesaian, biaya masa depan dan kolektabilitas tagihan yang andal.

Persyaratan dalam Bab ini biasanya diberlakukan secara terpisah pada setiap

kontrak konstruksi. Namun, dalam beberapa hal adalah penting untuk menerapkan

bagian ini terhadap komponen yang dapat diidentifikasikan secara terpisah dalam

suatu kontrak tunggal atau terhadap suatu kelompok

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

29

kontrak dalam rangka merefleksikan substansi dari suatu kontrak atau suatu

kelompok kontrak. Ketika suatu kontrak meliputi sejumlah aset, konstruksi dari setiap

aset harus diperlakukan sebagai suatu kontrak konstruksi yang terpisah jika:

1. proposal yang terpisah telah diserahkan untuk setiap aset;

2. setiap aset telah dinegosiasikan secara terpisah dan kontraktor dan

pelanggan telah menerima atau menolak bagian kontrak tersebut yang

berhubungan dengan setiap aset; dan

3. biaya dan pendapatan setiap aset dapat diidentifikasi.

Suatu kontrak gabungan, baik dengan pelanggan tunggal maupun dengan beberapa

pelanggan, harus diperlakukan sebagai suatu kontrak konstruksi tunggal ketika:

1. kelompok kontrak tersebut dinegosiasikan sebagai paket tunggal;

2. kontrak-kontrak tersebut saling berhubungan erat sehingga mereka,

sebagai akibatnya, menjadi bagian dari suatu proyek tunggal dengan

suatu margin laba keseluruhan; dan

3. kontrak-kontrak tersebut dikerjakan bersama-sama atau

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

30

2.1.3.6. Pendapatan dari Bunga, Royalti, dan Deviden

Berdasarkan SAK ETAP (2009:20.3-20.4) Entitas harus mengakui

pendapatan yang muncul dari penggunaan aset oleh entitas yang lain yang

menghasilkan bunga, royalti, dan dividen atas dasar yang ditetapkan ketika:

a. ada kemungkinan bahwa manfaat ekonomis yang berhubungan dengan

transaksi akan mengalir kepada entitas; dan

b. jumlah pendapatan tersebut dapat diukur secara andal.

Entitas harus mengakui pendapatan atas dasar berikut:

1. bunga harus diakui secara akrual;

2. royalti harus diakui dengan menggunakan dasar akrual sesuai

dengan substansi dari perjanjian yang relevan; dan

3. dividen harus diakui ketika hak pemegang saham untuk

menerima pembayaran telah terjadi.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

31

2.1.4. Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik

2.1.4.1. Pengertian SAK ETAP

Pada tanggal 19 Mei 2009, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK)

mengesahkan Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas tanpa Akuntabilitas Publik

(SAK ETAP).

SAK ETAP ini nampak seide dengan International Financial Reporting

Standard for Small and Medium-sized Entities (IFRS for SMEs). Meskipun memiliki

judul yang berbeda, namun baik SAK ETAP maupun IFRS for SMEs sama-sama

diperuntukkan bagi entitas tanpa akuntabilitas publik, hanya saja istilah yang

digunakan sebagai judul pada IFRS adalah small and medium-sized entities (SMEs).

Jadi, apabila kita membandingkan judul pada IFRS for SMEs dan SAK

ETAP, maka istilah entitas tanpa akuntabilitas publik) sama pengertiannya dengan

small and medium-sized entities. Apabila SAK ETAP telah disahkan pada bulan Mei

2009, IFRS for SMEs sendiri baru disahkan pada bulan Juli 2009.

Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik

(SAK ETAP) adalah standar akuntansi yang disusun sebagai acuan dan dimaksudkan

untuk digunakan entitas tanpa akuntabilitas publik.

2.1.4.2. Manfaat SAK ETAP

Berdasarkan SAK ETAP (2009:20.3-20.4) SAK ETAP dimaksudkan agar

semua unit usaha menyusun laporan keuangan sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan. Setiap perusahaan memiliki prinsip going concern yakni menginginkan

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

32

usahanya terus berkembang. Untuk mengembangkan usaha perlu banyak upaya yang

harus dilakukan. Salah satu upaya itu adalah perlunya meyakinkan publik bahwa

usaha yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam akuntansi wujud

pertanggungjawaban tersebut dilakukan dengan menyusun dan menyajikan laporan

keuangan sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Penyajian laporan keuangan

yang sesuai dengan standar, akan membantu manajemen perusahaan untuk

memperoleh berbagai kemudahan, misalnya: untuk menentukan kebijakan

perusahaan di masa yang datang; dapat memperoleh pinjaman dana dari pihak ketiga,

dan sebagainya.

Standar ETAP ini disusun cukup sederhana sehingga tidak akan menyulitkan

bagi penggunanya yang merupakan entitas tanpa akuntabilitas public (ETAP) yang

mayoritas adalah perusahaan yang tergolong usaha kecil dan menengah. ETAP

sebagaimana kepanjangan yang telah diuraikan di atas merupakan unit kegiatan yang

melakukan aktifitas tetapi sahamnya tidak dimiliki oleh masyarakat atau dengan kata

lain unit usaha yang dimiliki oleh orang perorang atau sekelompok orang, dimana

kegiatan dan modalnya masih terbatas. Jenis kegiatan seperti ini di Indonesia

menempati angka sekitar 80 %. Oleh sebab itu perlu adanya perhatian khusus dari

semua pihak yang berkepentingan dalam hal penyajian laporan keuangan.

2.1.4.3. Karakteristik SAK ETAP

Menurut SAK ETAP (2009:20.3-20.4) Standar Akuntansi Keuangan Entitas

Tanpa Akuntabilitas Publik memiliki karakteristik sebagai berikut

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

33

1. Stand alone accounting standard (tidakmengacukeSAK Umum)

2. Mayoritas menggunakan historical cost concepts

3. Hanya mengatur transaksi yang umum dilakukan Usaha Kecil dan

Menengah

4. Pengaturan lebih sederhana dibandingkan SAK Umum

a. Alternatif yang dipilih adalah alternatif yang paling sederhana

b. Penyerdehanaan pengakuan dan pengukuran

c. Pengurangan pengungkapan

5. Tidak akan berubah selama beberapa tahun

2.1.4.4. Karakteristik Pengguna SAK ETAP

Berdasarkan SAK ETAP (2009:20.3-20.4) Standar Akuntansi Keuangan

untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) dimaksudkan untuk

digunakan entitas tanpa akuntabilitas publik. Entitas tanpa akuntabilitas publik adalah

entitas yang:

1. tidak memiliki akuntabilitas publik signifikan; dan

2. menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose

financial statement) bagi pengguna eksternal. Contoh pengguna

eksternal adalah pemilik yang tidak terlibat langsung dalam

pengelolaan usaha, kreditur, dan lembaga pemeringkat kredit.

Entitas memiliki akuntabilitas publik signifikan jika:

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

34

1. entitas telah mengajukan pernyataan pendaftaran, atau dalam proses

pengajuan pernyataan pendaftaran, pada otoritas pasar modal atau

regulator lain untuk tujuan penerbitan efek di pasar modal; atau

2. entitas menguasai aset dalam kapasitas sebagai fidusia untuk

sekelompok besar masyarakat, seperti bank, entitas asuransi, pialang

dan atau pedagang efek, dana pensiun, reksa dana dan bank investasi.

Entitas yang memiliki akuntabilitas publik signifikan dapat menggunakan

SAK ETAP jika otoritas berwenang membuat regulasi mengizinkan penggunaan

SAK ETAP.

2.1.4.5. Implementasi SAK ETAP

Menurut SAK ETAP (2009) SAK ETAP mulai diberlakukan pada akhir

tahun 2011. Penggunaan PSAK ini harus konsisten untuk tahun-tahun berikutnya.

Apalagi yang sudah memutuskan untuk menggunakan PSAK umum dalam penyajian

laporan keuangan, maka untuk selanjutnya tidak boleh merevisi kebijakannya ke

PSAK ETAP.

Entitas dapat menerapkan SAK ETAP secara retrospektif, namun jika tidak

praktis, maka entitas diperkenankan untuk menerapkan SAK ETAP secara prospektif.

Entitas yang menerapkan secara prospektif dan sebelumnya telah menyusun laporan

keuangan maka:

1. Mengakui semua aset dan kewajiban yang pengakuannya

dipersyaratkan dalam SAK ETAP;

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

35

2. Tidak mengakui pos-pos sebagai aset atau kewajiban jika SAK ETAP

tidak mengijinkan pengakuan tersebut;

3. Mereklasifikasikan pos-pos yang diakui sebagai suatu jenis aset,

kewajiban atau komponen ekuitas berdasarkan kerangka pelaporan

sebelumnya, tetapi merupakan jenis aset, kewajiban, atau komponen

ekuitas yang berbeda berdasarkan SAK ETAP;

4. Menerapkan SAK ETAP dalam pengukuran seluruh aset dan

kewajiban yang diakui.

Penerapan secara retrospektif artinya bahwa kebijakan akuntansi yang baru

diterapkan seolah-olah kebijakan akuntansi tersebut telah digunakan sebelumnya.

Oleh karena itu, kebijakan akuntansi yang baru, diterapkan pada kejadian atau

transaksi sejak tanggal terjadinya kejadian atau transaksi tersebut. Sedangkan

penerapan secara prospektif artinya kebijakan akuntansi yang baru, diterapkan pada

kejadian atau transaksi yang terjadi setelah tanggal perubahan. Tidak ada penyesuaian

yang dilakukan terhadap periode sebelumnya.

Kebijakan akuntansi yang digunakan oleh entitas pada saldo awal neracanya

berdasarkan SAK ETAP mungkin berbeda dari yang digunakan untuk tanggal yang

sama dengan menggunakan kerangka pelaporan keuangan sebelumnya. Hasil

penyesuaian yang muncul dari transaksi, kejadian atau kondisi lainnyasebelum

tanggal efektif SAK ETAP diakui secara langsung pada saldo laba pada tanggal

penerapan SAK ETAP.

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

36

Pada tahun awal penerapan SAK ETAP, entitas yang memenuhi persyaratan

untuk menerapkan SAK ETAP dapat menyusun laporan keuangan tidak berdasarkan

SAK ETAP, tetapi berdasarkan PSAK non-ETAP sepanjang diterapkan secara

konsisten. Entitas tersebut tidak diperkenankan untuk kemudian menerapkan SAK

ETAP ini untuk penyusunan laporan keuangan berikutnya. Entitas yang menyusun

laporan keuangan berdasarkan SAK ETAP kemudian tidak memenuhi persyaratan

entitas yang boleh menggunakan SAK ETAP, maka entitas tersebut tidak

diperkenankan untuk menyusun laporan keuangan berdasarkan SAK ETAP. Entitas

tersebut wajib menyusun laporan keuangan berdasarkan PSAK non- ETAP dan tidak

diperkenankan untuk menerapkan SAK ETAP

Entitas yang sebelumnya menggunakan SAK non-ETAP dalam menyusun

laporan keuangannya dan kemudian memenuhi persyaratan entitas yang dapat

menggunakan SAK ETAP, maka entitas tersebut dapat menggunakan SAK ETAP ini

dalam menyusun laporan keuangan.

2.2. Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian-penelitian yang dijadikan referensi pada penelitian ini

ditampilkan dalam tabel berikut:

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

37

Tabel 2.3

Penelitian Terdahulu

No. Peneliti Jurnal Judul Hasil

1. Arri Alfitri,

Ngadiman,

Sohidin (2014)

Jurnal UNS,

Vol 2, NO 2,

Hal 135 s/d

147

Penerapan Standar

Akuntansi Keuangan

Entitas Tanpa

Akuntabilitas Publik

(SAK ETAP Pda

Usaha Mikro Kecil

Menengah Perajin

Mebel DEsa

Gondangsari

Kecamatan Juwiring

Kabupaten Klaten

Kurangnya pengetahuan

perajin mebel tentang

SAK-ETAP.

Belum adanya tenaga

akuntansi yang

profesional pada UMKM

perajin mebel

Sebagian besar perajin

mebel mengaku tidak

menganggap penting

pencatatan atau

pembukuan dan

penyusunan laporan

keuangan.

Kurang efektifnya

sosialisasi dari pihak

yang berwenang tentang

SAK-ETAP

2. Lilya Andriani,

Anantawikrama

Tungga Atmadja,

Ni Kadek

Sinarwati (2014)

e-Journal S1

Ak Universitas

Pendidikan

Ganesha

Jurusan

Akuntansi

Program S1

(Vol: 2 No: 1

Tahun 2014)

Analisis Penerapan

Pencatatan Keuangan

Berbasis SAK ETAP

pada usaha mikro

kecil menengah

(UMKM) (Sebuah

Studi Intrepetatif

Pada Peggy Salon)

kurangnya pengetahuaan

pemilik

Peggy Salon mengenai

standar akuntansi

dalam penyusunan laporan

keuangan.

tidak melakukan

pencatatan

akuntansi berbasis SAK

ETAP disebabkan

pula karena tidak adanya

pengawasan

dari pihak-pihak yang

berkepentingan

terhadap laporan keuangan

UMKM

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

38

No. Peneliti Jurnal Judul Hasil

3. Adetula(formerly

Oyerinde),

Dorcas Titilayo

(Ph.D, ACA)

(2014)

European

Journal of

Accounting

Auditing and

Finance

Research

Vol.2, No.4,

pp.33-38, June

2014

International

Financial Reporting

Standards (IFRS) for

SMES Adoption

Process in Nigeria

Findings show that a

major factor why IFRSs

would be adopted by

Nigeria is because other

countries have adopted

them

The preparers of financial

reports of small firms

perceive IFRS for SMEs

promulgated by the IASB

to be very relevant to

small firms in Nigeria.

The study shows that the

level of preparation by

SMEs in Lagos is not yet

satisfactory.

4. Edi Siswono.

(2014)

Indonesian

Article

Research

Network: Vol.

2 No. 2, Juli-

Desember 2014

Penerapan

Penyusunan Laporan

Keuangan Pada

Usaha Kecil

Menengah Berbasis

Standar Akuntansi

Keuangan Entitas

Tanpa Akuntablitas

Publik (Studi Kasus

UKM Brebes Fried

Chicken)

Dalam pembuatan laporan

keuangan kendala-

kendalanya antara lain

kurangnya sumber daya

manusia yang memiliki

kemampuan dalam

menyusun laporan

keuangan serta kurangnya

waktu yang difokuskan

untuk membuat laporan

keuangan karena waktu

yang ada lebih

dimaksimalkan pada

kegiatan operasi usaha.

5. David H.M

Hasibuan,

Annria

Magdakena, dan

Yosep Gunawan

(2011)

Jurnal Ilmiah

Rangga

Gading Vol.

11 No.2, Hal

142 s/d 149,

Oktober 2011

Evaluasi Atas

Pengakuan

Pendaapatan Pada

Perusahaan Jasa

Kontruksi Kaitannya

terhadap Laba Rugi

Perusahaan (Studi

Kasus pada PT Nusa

Sukses Jaya)

PT Nusa Sukses Jaya

hanya mengakui

pendapatan saja. Ini

menimbulkan pencatatan

yang tidak sewajarnya

karena tidak diketahui

laba/rugi proyek tersebut

dalam laporan keuangan

Sumber: Data Diolah Sendiri

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

39

2.3. Kerangka Pemikiran

Standar Akuntansi Keuangan Tanpa Entitas Akuntan Publik (SAK ETAP)

digunakan oleh entitas yang tidak memiliki akuntabilitas publik (ETAP) dan dapat

digunakan oleh entitas yang memiliki akuntabilitas publik signifikan jika otoritas

yang berwenang mengizinkan. Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.

11/37/DKBU tanggal 31 Desember 2009 BPR diperkenankan untuk menggunakan

ETAP. (SAK ETAP 1:2011) Dari pernyataan di atas peneliti menyimpulkan bahwa

SAK ETAP diperkenankan untuk dipergunakan oleh pelaku usaha tanpa entitas

publik, dalam hal ini disebut Usaha Kecil Menengah.

Kesadaran Usaha Kecil Menengah terhadap penggunaan standar akuntansi

yang dalam hal ini adalah SAK ETAP masih rendah, hal ini disebabkan karena

kurangnya informasi, advokasi, dan pelatihan terhadap UKM mengenai SAK ETAP

itu sendiri (Dr. Sony Warsono:2010). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan

bahwa Kesadaran UKM terhadap SAK ETAP masih rendah.

Menurut (Rias Tuiti, 7:2014) Meskipun pelaku UMKM tidak berasal dari latar

belakang pendidikan Ekonomi/Akuntansi atau bahkan hanya menempuh jenjang

pendidikan yang rendah, tetapi mereka pernah mengikuti pelatihan atau sosialisasi

dan sejenisnya yang erhubungan dengan akuntansi. Pelatihan tersebut secara tidak

langsung mengajarkan proses penyusunan laporan keuangan berdasarkan SAK

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

40

ETAP. Kegiatan tersebut menyebabkan UMKM dapat memahami penyusunan

laporan keuangan berdasarkan SAK ETAP.

Dari artikel (Suhairi, 2007) yang berjudul Overload Standar Akuntansi

Keuangan dan Analisis Teknik Serta Prosedur Akuntansi untuk Pengembangan

Penerapan Akuntansi pada UMKM di Indonesia memberikan salah satu kesimpulan

yaitu teknik dan proses akuntansi yang digunakan diterapkan UMKM di Indonesia

masih banyak terpengaruh dengan sistem tata buku sehingga banyak yang tidak

mampu menyiapkan laporan keuangan secara lengkap. Umumnya, UMKM

menggunakan buku kas harian yang kemudian dari buku tersebut disusun pada

laporan laba rugi. Sedangkan untuk menyusun laporan keuangan lainnya, ditemukan

berbagai kesulitan sehingga banyak yang tidak mampu menyiapkan laporan

keuangan.

Penerapan SAK ETAP membawa dampak yang luas terhadap pengembangan

akuntansi di Indonesia, baik secara praktik maupun akademik. Standar baru ini

memengaruhi pakem teori akuntansi di Indonesia, yang berdampak pada perubahan

dalam penyusunan laporan keuangan entitas. Dengan diadopsinya SAK Etap sebagai

standar akuntansi yang baru maka mahasiswa sebagai calon akuntan harusnya

menguasai ketentuan dan penggunaan SAK Etap. Apalagi sebagian kecil perusahaan

telah mensyaratkan “SAK ETAP capability” pada job vacancies yang mereka buka.

Ini membuktikan bahwa dunia bisnis menuntut lulusan akuntansi siap pakai untuk

mengaplikasi dan menyusun laporan keuangan yang sesuai dengan SAK Etap. Dalam

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

41

hubungannya dengan kualitas lulusan akuntansi, maka akuntan pendidik merupakan

salah satu profesi akuntansi yang melaksanakan proses penciptaan profesi akuntan

yang wajib mengetahui regulasi akuntansi yang berkaitan dengan standar akuntansi

termasuk pengetahuan akan SAK Etap (Wiraharja dan Wahyuni, 2009).

Dari beberapa pernyataan diatas dapat dismpulkan bahwa SAK ETAP

diperlukan oleh UKM. Sehingga penerapan SAK ETAP di butuhkan oleh Usaha

Kecil Menengah. Dalam hal penerapan pengakuan pendapatan yang sesuai SAK

ETAP, oleh sebab itu maka peneliti menggambarkan hubungan variabel penelitian

sebagai berikut

Gambar 2.3

Hubungan Variabel X dengan Y

Dalam penelitian ini peneliti akan menganalisis bagaimana penerapan

Standar Akuntansi Keuangan Tanpa Entitas Akuntan Publik (SAK ETAP) di Kota

Bandung.

Pengakuan pendapatan

UKM Kota Bandung sesuai

SAK ETAP

(Y)

Penerapan SAK

ETAP

(X)

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro

42

2.4. Hipotesis Pemikiran

Berdasarkan berbagai kajian asumsi dan kerangka pemikiran yang telah

dijabarkan, maka dibuat hipotesis sebagai berikut:

H1: Kesadaran UKM terhadap adanya Standar Akuntansi Keuangan Tanpa Entitas

Akuntan Publik (SAK ETAP) mempengaruhi tingkat penerapannya

H2: Pemahaman UKM Standar Akuntansi Keuangan Tanpa Entitas Akuntan

Publik (SAK ETAP) mempengaruhi tingkat penerapannya

H3: Terdapat kendala – kendala yang terjadi pada proses pengakuana pendapatan

UKM di Bandung dalam menerapkan SAK ETAP