17
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Ilmu Pengetahuan Alam 2.1.1.1. Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam Hakikat ilmu pengetahuan Alam (IPA) adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena alam dan segala sesuatu yang ada di alam. IPA merupakan pengetahuan yang ilmiah, yaitu pengetahuan yang diperoleh secara ilmiah. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Powler (Khalimah, 2010). Proses pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah, Usman Samatowa (2006). Pendidikan IPA adalah lebih dari sekedar kumpulan yang dinamakan fakta. IPA merupakan kumpulan pengetahuan dan juga proses. Pembelajaran IPA di sekolah di harapkan memberi berbagai pengalaman pada anak yang mengijinkan mereka melakukan berbagai penelusuran ilmiah yang relevan, Agus. S. (Khalimah, 2010). Secara sistematis, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan IPA dapat dimasukkan dalam klasifikasi ilmu pendidikan karena dimensi pendidikan IPA sangat luas dan sekurang-kurangnya meliputi unsur-unsur (nilai-nilai) sosial budaya, etika, moral dan agama. Oleh sebab itu, belajar IPA bukan hanya sekedar memahami konsep ilmiah dan aplikasi dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengembangkan berbagai nilai yang terkandung dalam dimensi Pendidikan IPA. Dan dari penjelasan di atas dapat disimpulkan Pengertian IPA, IPA merupakan ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang terdapat di alam, baik itu zat yang terkandung atau gejala yang terdapat di alam. IPA merupakan pengetahuan mempunyai kebenaran melalui metode ilmiah baik secara induktif ataupun deduktif, dengan ciri: objektif, metodik, sistimatis, universal, dan tentatif . 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.1. 2.1.1.1. Pengertian Ilmu ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/985/3/T1_292008277_BAB II.pdfDan dari penjelasan di atas dapat disimpulkan Pengertian

Embed Size (px)

Citation preview

6

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teori 2.1.1. Ilmu Pengetahuan Alam 2.1.1.1. Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam

Hakikat ilmu pengetahuan Alam (IPA) adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena alam dan segala sesuatu yang ada di alam. IPA merupakan pengetahuan yang ilmiah, yaitu pengetahuan yang diperoleh secara ilmiah. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Powler (Khalimah, 2010). Proses pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah, Usman Samatowa (2006). Pendidikan IPA adalah lebih dari sekedar kumpulan yang dinamakan fakta. IPA merupakan kumpulan pengetahuan dan juga proses. Pembelajaran IPA di sekolah di harapkan memberi berbagai pengalaman pada anak yang mengijinkan mereka melakukan berbagai penelusuran ilmiah yang relevan, Agus. S. (Khalimah, 2010). Secara sistematis, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan IPA dapat dimasukkan dalam klasifikasi ilmu pendidikan karena dimensi pendidikan IPA sangat luas dan sekurang-kurangnya meliputi unsur-unsur (nilai-nilai) sosial budaya, etika, moral dan agama. Oleh sebab itu, belajar IPA bukan hanya sekedar memahami konsep ilmiah dan aplikasi dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengembangkan berbagai nilai yang terkandung dalam dimensi Pendidikan IPA.

Dan dari penjelasan di atas dapat disimpulkan Pengertian IPA, IPA merupakan ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang terdapat di alam, baik itu zat yang terkandung atau gejala yang terdapat di alam. IPA merupakan pengetahuan mempunyai kebenaran melalui metode ilmiah baik secara induktif ataupun deduktif, dengan ciri: objektif, metodik, sistimatis, universal, dan tentatif.

6

7

IPA diperlukan dalam kehidupam sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk pada lingkungan. Di tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan,pembelajaran salingtemas (Sains, Lingkumgan, Tekhnologi, dan Masyarakat) yang diarahkan pada penglaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara biujaksana (Bowo:2009).

Berdasarkan pengertian IPA dapat ditarik kesimpulan bahwa IPA pembelajaran yang bersifat kongkirit, abstrak, rasional atau bersifat rill dan nyata sehingga pada saat pembelajaran dapat di kaitkan antara materi dan topik pembelaaran dengan kehidupan sehari-hari.

2.1.1.2. Pembelajaran IPA

Pendidikan IPA adalah IPA lebih dari sekedar kumpulan yang dinamakan fakta. IPA merupakan kumpulan pengetahuan dan juga proses. Pembelajaran IPA di sekolah diharapkan memberi berbagai pengalaman pada anak yang mengijinkan mereka melakukan berbagai penelusuran ilmiah yang relevan, KTSP (2006).

Menurut teori perkembangan kognitif Piaget (Wiji Suwarno 2008: 58) bahwa anak membangun sendiri skemanya serta membangun konsep-konsep melalui pengalaman- pengalamannya. Piaget (Wiji Suwarno 2008) membedakan perkembangan kognitif seorang anak menjadi empat taraf, yaitu 1) taraf sensori motor (0- 2 th), (2) taraf pra-operasional (2- 7 th), (3) taraf operasional konkrit (7- 11 th), dan (4) taraf operasional formal (11- 15 th). Walaupun ada perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan, tetapi teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungan. Piaget (dalam Wiji Suwarno, 2008: 58) menyatakan peran guru sebagai fasilitator, bukan sebagai pemberi informasi. Prinsip-prinsip Piaget dalam pengajaran diterapkan dalam program-program yang menekankan pembelajaran melalui penemuan dan pengalaman-pengalaman nyata dan pemanipulasian alat, bahan, atau media belajar yang lain serta peranan guru sebagai

8

fasilitator yang mempersiapkan lingkungan dan memungkinkan siswa dapat memperoleh berbagai pengalaman belajar.

Pendidikan adalah bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa agar secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan kepada siswa atau peserta didik pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendirilah yang harus membangun pengetahuan mereka sendiri. Tugas guru bukan lagi sebagai pentransfer pengetahuan dari otaknya kepada otak siswa. Tugas guru berubah menjadi lebih sebagai fasilitator yang membantu agar siswa sendiri belajar dan menekuni bahan yaitu dengan menggunakan ketrampilan proses.

Terdapat Implikasi teori kognitif Piaget pada pendidikan yaitu: 1. Memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada

hasilnya. Selain kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut. Pengalaman-pengalaman belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap fungsi kognitif dan hanya jika guru penuh perhatian terhadap metode yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guruberada dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksud.

2. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan jadi (ready made knowledge) tidak mendapat tekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungan. Oleh karena itu, selain mengajar mempersiapkan beranekaragam kegiatan secara langsung dengan dunia fisik.

3. Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda.

Menurut uraian pembelajaran IPA disimpulkan ketrampilan proses dalam pembelajaran IPA melalui tabel 2.1.

9

Tabel 2.1 Kesimpulan Ketrampilan Proses Pembelajaran IPA

Ketrampilan Proses

IPA Definisi

Mengamati Mempergunakan semua indera menyadari adanya objek atau alat bantu untuk memperluas pengamatan.

Mengklasifikasikan Menyusun atau mendistribusikan objek, kejadian, atau informasi dalam golongan-golongan menurut satu sistem.

Membuat model Memperagakan informasi dengan mempergunakan alat atau ilustrasi grafik atau alat-alat lain.

Merumuskan hipotesis

Menyusun suatu pernyataan yang bersifat tentatif yang merupakan jawaban sementara.

Membuat generalisasi Menarik kesimpulan dari hal-hal yang khusus. Membuat inferensi Membuat kesimpulan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki

untuk menjelaskan pengetahuan. Menginterpretasikan data

Menganalisis data yang didapat dan mengorganisasikannya dengan cara menentukan pola yang nyata atau menentukan keterhubungan antara data-data.

Mengambil keputusan Mengidentifikasi alternatif-alternatif dan memilih tindakan-tindakan alternatif setelah mendasarkan penentuan pada alasan yang tepat.

2.1.1.3. Tujuan Mata Pelajaran IPA di Sekolah Dasar Arinil:2011 Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan: 1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat. 4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan. 5. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam 6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. 7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

10

2.1.2. Pengertian Hasil Belajar Secara umum hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa

setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley (Nana Sudjana;2008) membagi tiga macam hasil belajar, yakni : (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (b) sikap dan cita-cita. Sedangkan Gagne membagi lima kategori hasil belajar, yakni : (a) informasi verbal,(b) keterampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap dan, (e) keterampilan motoris. Menurut Bloom (Nana Sudjana,2008) membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris. Ranah kognitif berkenan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.Ranah afektif berkenan dengan sikap terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah psikomotor berkenan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek psikomotoris, yakni (a) gerakan reflex, (b) keterampilan gerakan dasar, (c) kemampuan persptual, (d) keharmonisan atau ketepatan, (e) gerakan keterampilan kompleks, (f) gerakan ekspresif dan interpretative. 1. Ranah Kognitif a. Tipe hasil belajar : pengetahuan Istilah pengetahuan dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata knowledge dalam taksonomi Bloom. b. Tipe hasil belajar : pemahaman Tipe hasil belajar pemahaman lebih tinggi daripada pengetahuan adalah pemahaman. c. Tipe hasil belajar : aplikasi Aplikasi adalah penggunaan abstraksi pada situasi kongkret atau situasi khusus. d. Tipe hasil belajar : analisis adalah usaha memilah suatu integritas menjadi unsure-unsur atau bagian-bagian sehingga jelas hierarkinya dan atau susunannya. e. Tipe hasil belajar : sintesis Pernyataan unsure-unsur atau bagian-bagian ke dalam bentuk-bentuk menyeluruh disebut sintesis. f. Tipe hasil belajar : evaluasi

11

Evaluasi adalah pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari segi tujuan, gagasan, cara bekerja, pemecahan, metode, materil. 2. Ranah afektif Ranah afektif berkenan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. 3. Ranah psikomotoris Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk keterampilan (skil) dan kemampuan bertindak individu. Berdasarkan pengertian hasil belajar bahwa hasil belajar kemampuan yang telah di terima siswa setelah mereka menerima kegiatan belajar dengan cara bersikap,berpikir dan berprilaku. 2.1.3. Pengertian Model Pembelajaran Menurut Kemp (Rusman,2011) model pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Kemp, Dick and Carey,(Rusman,2011) menyebutkan bahwa strategi pembelajaran itu adalah suatu perangkat materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada peserta didik atau siswa. Joyce dan Weil (Rusman,2011) berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya. Berdasarkan pengertian model pembelajaran bahwa model pembelajaran proses belajar mengajar yang dilaksanakan oleh guru bersama siswa sesuai yang di rencanakan. 2.1.4. Contextual Teaching and Learning 2.1.4.1. Pengertian Contextual Teaching and Learning

Contextual Teaching Learning (CTL). Kata contextual berasal dari kata contex yang berarti “hubungan, konteks, suasana, atau keadaan”. Dengan demikian contextual

12

diartikan ”yang berhubungan dengan suasana (konteks). Sehingga Contextual Teaching

Learning (CTL) dapat diartikan sebagi suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu. Elaine B. Jhonson (Rusman,2011) mengatakan pembelajaran CTL adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. Secara umum Kontekstual adalah adanya keterkaitan terhadap setiap materi atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata. Untuk mengaitkannya bias dilakukan berbagai cara, selain memang karena materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi factual, juga bisa disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media dan lain sebagainya. Nurhadi (Rusman,2011) mengatakan CTL konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antar materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Howey R, Keneth (Rusman,2011) pembelajaran CTL yang memungkinkan terjadinya proses belajar di mana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulative atau pun nyata.

Pembelajaran CTL didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (Rusman,2011) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekelilingnya. Pengajaran CTL sendiri pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat yang diawali dengan dibentuknya Washington State Consortum for Contextual oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Antara tahun 1997 sampai tahun 2001 sudah diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji, serta melihat efektifitas penyelenggaraan pengajaran matematika secara kontekstual. Proyek tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi, dan 18 sekolah dengan mengikutsertakan 85 orang guru dan profesor serta 75 orang guru yang sudah diberikan pembekalan sebelumnya.

Penyelenggaraan program ini berhasil dengan sangat baik untuk level perguruan tinggi sehingga hasilnya direkomendasikan untuk segera disebarluaskan pelaksanaannya. Untuk tingkat sekolah, pelaksanaan dari program ini memperlihatkan

13

suatu hasil yang signifikan, yakni meningkatkan ketertarikan siswa untuk belajar, dan meningkatkan partisipasi aktif siswa secara keseluruhan.

Pembelajaran CTL berbeda dengan pembelajaran konvensional, Departemen Pendidikan Nasional (2002:5) mengemukakan perbedaan antara pembelajaran Contextual

Teaching Learning (CTL) dengan pembelajaran konvensional sebagai berikut: Tabel 2.2.

Tabel Perbedaan Pembelajaran CTL dan Konvensional

Berdasarkan pengertian Contextual Teaching and Learning, dalam materi Ilmu Pengetahuan Alam mengenai energi bunyi. pembahasan materi nya mengenai: 1. Pengertian energi bunyi 2. Melakukan pengamatan langsung yang dapat menghasilkan energi bunyi Terlebih dahulu siswa harus memahami energi bunyi setelah itu siswa baru dapat melakukan pengamatan terhadap benda yang enghasilkan energi bunyi. Dengan adanya pengamatan yang dilakukan oleh siswa, siswa telah belajar melalui benda nyata dan akan menjadi pengalaman bagi siswa. Sehingga siswa akan lebih mudah memahami materi yang di sampaikan.

CTL Konvensional

Pem ilihan in formasi kebutuhan individu siswa.

Pemilihan informasi ditentukan oleh guru.

Cenderung m engintegrasikan beberapa bidang (disiplin ).

Cenderung terfokus pada satu bidang (dis iplin) tertentu.

Selalu mengkaitkan in formasi dengan pengetahuan awal yang telah dim iliki siswa.

Memberikan tumpukan informasi kepada s iswa sampai pada saatnya diperlukan.

Menerapkan penilaian autentik melalui melalu i penerapan praktis dalam pemecahan masalah.

Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa ujian/ulang.

14

Berdasarkan pengertian contextual teaching and learning bahwa contextual teaching and learning dapat membantu proses belajar melalui benda nyata, berdasrkan pengalaman siswa sehingga pembelajaran tidak bersifat menghafal. 2.1.4.2. Latar Belakang Filosofis CTL

CTL banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari pemikiran epistomologi Giambatista Vico (Wina Sanjaya,2007). Vico mengungkapkan ‘Tuhan adalah pencipta dalam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaannya.’ Mengetahui, menurut Vico, berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Artinya seseorang mengetahui manakala menjelaskan unsure-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Oleh karena itu menurut Vico, (Wina Sanjaya,2007) pengetahuan itu tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu. Pandangan filsafat konstruktivisme tentang hakikat pengetahuan memengaruhi konsep tentang proses belajar, bahwa belajar bukanlah bukanlah sekedar menghafal, tetapi proses mengkostruksi pengetahuan melalui pengalaman. 2.1.4.3. Latar Belakang Psikologis CTL

Pembelajaran melalui Kontekstual pada dasarnya mendorong agar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman. Pengetahuan yang hanya diberikan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus anda pahami tentang belajar dalam konteks Kontekstual. 1. Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksikan pengetahuan

sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. 2. Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. 3. Belajar adalah proses pemecahan masalah. 4. Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari yang

sederhana menuju yang kompleks. 5. Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Contekstual Teaching and Learning yaitu:

15

Kelebihan 1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan. 2.Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran Kontekstual menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”. Kelemahan 1. Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL, guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya. 2.Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula. 2.1.4.4. Langkah- Langkah Pembelajaran CTL Untuk mencapai kompetensi yang sama dengan menggunakan Kontekstual guru melakukan langkah-langkah pembelajaran seperti di bawah ini. a. Pendahuluan

16

1. Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari proses pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan di pelajari.

2. Guru menjelaskan prosedur pembelajaran CTL: - Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa; - Tiap kelompok melakukan pengamatan mengenai energy bunyi. - Melalui pengamatan siswa ditugaskan untuk mencatat sifat-sifat energi bunyi. 3. Guru melakukan tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan oleh setiap siswa. b. Inti Di lapangan 1. Siswa melakukan pengamatan diluar kelas sesuai dengan pembagian tugas kelompok 2. Siswa mencatat hal-hal yang mereka amati sesuai dengan apa yang mereka amati. Di dalam kelas 3. siswa mendiskusikan hasil pengamatan mereka sesuai dengan kelompoknya masing-masing 4. Siswa melaporkan hasil diskusi. 5. Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh kelompok yang lain. c. Penutup 1. Dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil pengamatan sekitar masalah dengan indicator hasil belajar yang harus dicapai. 2.1.5. Pendekatan Konstruktivisme

Wina Sanjaya, 2007. Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan dikembangkan dan diperdalam oleh Jean Piaget menganggap bahwa pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata, tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya. Piaget (Wina Sanjaya, 2007) menyatakan hakikat pengetahuan sebagai berikut: a. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

17

b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsep itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang. Asumsi itu yang kemudian melandasi Kontekstual. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir ( filosofis ) dalam CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Oleh karena itu, dalam CTL strategi untuk membelajarkan siswa menghubungkan antara setiap konsep dengan kenyataan merupakan unsur yang diutamakan dibandingkan dengan penekanan terhadap seberapa banyak pengetahuan yang harus diingat oleh siswa..(Rusman, 2011). Menurut Piaget pendekatan konstruktivisme mengandung empat kegiatan inti, yaitu: 1). Mengandung pengalaman nyata (Experience); 2). Adanya interaksi sosial (Social interaction); 3). Terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (Sense making); 4). Lebih memperhatikan pengetahuan awal (Prior Knowledge).

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.

Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Berdasarkan pada pernyataan tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan (Depdiknas, 2003:6). Sejalan dengan pemikiran Piaget (Wina Sanjaya, 2007) mengenai kontruksi pengetahuan dalam otak. Manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Setiap kotak itu akan diisi oleh pengalaman yang dimaknai berbeda-beda oleh setiap individu. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak yang sudah berisi pengalaman lama sehingga dapat dikembangkan. Struktur pengetahuan dalam otak manusia dikembangkan melalui dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi.

18

Berdasakan pengertian konstruktivisme bahwa belajar lebih menekankan pada aspek kognitif siswa berdasarkan pengalaman yang siswa terima pada saat dirumah maupun di sekolah. 2.2. Kajian Penelitian yang Relevan Adapun Pembelajaran dengan model CTL ini juga pernah diteliti oleh

Barnawi.M.Si.(Eka Deny Wahyu Saputra,2010) Hasil penelitiannya yaitu sebagai berikut: Pembelajaran yang bercorak tradisional cenderung teacher centered, top down, siswa pasif, dan sangat text book. Model pembelajaran tersebut tidak saja menjenuhkan bagi peserta didik, akan tetapi juga membunuh kreatifitas, daya nalar, dan tidak meaningful karena apa yang dipelajari siswa di kelas sangat jauh dengan realitas yang ada, bahkan cenderung abstrak. Implementasi pembelajaran kontekstual pada mata pelajaran matematika dalam penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan daya tarik siswa terhadap materi pelajaran matematika, meningkatkan prestasi belajar matematika, dan menjadikan matematika sebagai bagian dalam kehidupan peserta didik.Jenis penelitian ini adalah penelitian terapan yang bertujuan untuk menerapkan konsepsi tentang multiple

intelegences dan pembelajaran kontekstual. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan action research. Action reseach merupakan kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya. Langkah-langkah dalam penelitian tindakan kelas meliputi perencanaan, tindakan, observasi, dan diakhiri dengan refleksi dalam setiap siklusnya. Hasil penelitian menunjukkan 97,6% (42 dari 43 siswa) menyatakan tertarik dengan model pembelajaran CTL. 2,4% (1 dari 43 siswa) menyatakan tidak tertarik dengan pembelajaran CTL karena adanya kolaborator dan peneliti (sekelas dua guru) sehingga siswa merasa seperti diawasi dalam pembelajaran. 81,4% (35 dari 43 siswa) menyatakan lebih mudah memahami pembelajaran dengan model CTL dengan alasan banyak latihan soal, aktif, dan menjadi kreatif. 9,3% (4 dari 43 siswa) menyatakan tingkat pemahaman dalam pembelajaran CTL biasa-biasa saja, dengan alasan pemahaman sangat tergantung pada ketekunan dalam berlatih sendiri. 9,3% (4 dari 43 siswa) menyatakan tingkat pemahaman dalam pembelajaran CTL sangat relatif (kadang mudah paham kadang tidak) tergantung tingkat kesukaran materi. 100% siswa baru

19

mengaplikasikan model card short, power of two, modelling the way di kelas pada pelajaran matematika, dan belum menerapkan pada mata pelajaran lain baik diluar maupun di dalam kelas. Nugraheni, Diah. 2007.(Eka Deny Wahyu Saputra,2010). Judul penelitian

Meningkatkan Minat Belajar Sains ( IPA ) dengan menggunakan Pendekatan Kontekstual (

Contoxtual Teaching and Learning ) pada Pokok Bahasan Cahaya Siswa Kelas V

Semester II Sekolah Dasar Negeri Kedungmundu 01 Semarang Tahun Pelajaran

2006/2007. Jurusan Fisiki, FMIPA, UNNES. Hasil penelitian menunjukan rata-rata hasil belajar kognitif pada siklus 1 diperoleh 75,50 dan siklus 2 meningkat menjadi 77,69. Nilai rata-rata hasil belajar afektif minat pada Siklus 1 diperoleh 85,10 dan siklus 2 meningkat menjadi 91,83. Nilai hasil belajar afektif sikap pada siklus 1 diperoleh 85,38 dan pada siklus 2 meningkat menjadi 90,19. Nilai rata-rata hasil belajar afektif pada siklus 1 di peroleh 84,42 dan pada siklus 2 meningkat menjadi 89,04. Nilai rata-rata hasil belajar psikomotorik pada siklus 1 83,85 meningkat menjadi 92,40 pada siklus 2. Sedangkan criteria minat belajar siswa pada siklus 1 adalah berminat dengan skor 64,83 dan meningkat menjadi sangat berminat dengan skor 70,67. Hasil yang di peroleh, peneliti dengan mengginakan Pendekatan Kontekstual (Contexstual Teaching and Learning) pada siswa Sekolah Dasar Negeri Kedungmundu 01 dapat meningkat minat dan hasil belajar siswa secara optimal. Fuad Hayim.(Eka Deny Wahyu Saputra,2010) mahasiswa pendidikan matematika

fakultas matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang dengan

Judul Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pokok Bahasan Hitung Campuran Kelas iii MI Ma’

arif Blotongan Salatiga Mengginakan Alat Peraga Kartu Mainan dan Pendekatan

Contextual Teaching and Learning ( CTL ) Tahun Ajaran 2005/2006.

Penelitian ini menggunakan media kartu mainan dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning ( CTL ) untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Permasalahan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah apakah hasil belajar matematika pokok bahasan soal cerita hitung campuran menggunakan alat peraga kartu mainan pada siswa kelas III MI Ma’arif Blotongan Salatiga tahun pelajaran 2005/2006 dapat ditingkatkan. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini untuk meningkatkan hasil belajar siswa pokok bahasan

20

soal cerita hitung campuran menggunakan pendekatan CTL adapun subyek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas III MI Ma’arif Blotongan Salatiga tahun pelajaran 2005/2006. Penelitian ini dilakukan dengan 2 siklus . Yang terdiri : perencanaan, Tindakan, Observasi dan Refleksi. Hasil yang diperoleh setelah diadakan siklus 1 dengan skor . 7,5 sebanyak 25% dari 22 siswa ( 5 anak ), kemudian setelah diadakan siklus II di peroleh nilai > 7,5 sebanyak 75% dari 22 siswa ( 17 anak ).Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa pada pokok bahsan soal cerita hitung campuran dengan menggunakn media kartu mainan dengan pendekatan CTL dapat ditingkatkan sehingga siswa lebih mudah memahaminya. Saran yang dapat diajukan bahwa untuk menyelesaikan soal cerita hitung guru dapat mengginakan kartu mainan dengan pendekatan CTL. Istiqomah, Ni’matul. 2010. .(Eka Deny Wahyu Saputra,2010) Penerapan

Pembelajaran dengan Menggunakan Pendekatan Contexstual Teaching and Learning (

CTL ) Melalui Metode Kooperatif Teknik Picture And Picture Untuk Meningkatkan Hasil

Belajar IPS Ekonomi Siswa Kelas VIII SMP Negeri 12 Magelang.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas ( classroom action research ). Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus yang terdiri dari 5 tahapan yaitu: perencanaan pelaksanaan, observasi, refleksi, dan resived plan. Teknik pengumpulan data hasil belajar kognitif adalah dengan tes hasil belajar. Hasil belajar afektif peningkatannya diukur melalui observasi dan angket siswa. Sedangkan hasil belajar psikomotorik diukur melalui observasi dan angket siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran pendekatan Contextual Teaching and Learning ( CTL ) metode kooperatif teknik picture and picture meningkatkan hasil belajar siswa dalam hal kognitif, afektif, dan psukomotor . Hasil belajar rata-rata kognitif pre test pada siklus 1 sebesar 43,9 % dan pada post test sebesar 80,4%. Hasil belajar rata-rata kognitif pada pre test siklus II adalah sebesar 66,9% dan pada post tes sebesar 86%. Hasil belajar afektif metode observasi pada siklus I sebesar 70,92 % dan pada siklus II meningkat menjadi 79,6%. Pada metode angket afektif siswa yang tuntas sebesar 48,6% dan pada siklus II siswa yang tuntas meningkat menjadi 89,1%. Pada hasil belajar psikomotor metode observasi hasil belajar siswa siklus I sebesar 77,4% dan meningkat menjadi 81,3% pada siklus II. Pada metode angket psikomotor, hasil belajar psikomotor

21

siswa yang belum tuntas menunjukkan persentasi sebesar 63,9% dan pada siklus II siswa yang tuntas menunjukkan hasil sebesar 91,7%. Saran yang diberikan kepada sekolah disarankan untuk mencoba pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL metode kooperatif teknik picture and picture. Bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tentang teknik pembelajarn picture and picture diharapkan dapat mencobanya dengan pendekatan dan metode pembelajaran lain. 2.3. Kerangka Berpikir Pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh siswa dan guru dengan berbagai fasilitas dan materi untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Model pembelajaran Contextual Teaching and Learning ( CTL ) memberi kesemptan kepada siswa untuk belajar di kaitkan dengan kehidupan nyata atau pengalaman. Menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning ( CTL ),

diharapkan siswa dapat berperan aktif , reaksi siswa cukup baik terhadap lingkungan belajar di kelas maupun di luar kelas, dan guru lebih mudah merencanakan pengajaran. Dengan upaya-upaya dalam model Contextual Teaching and Learning ( CTL ) diharapkan prestasi atau hasil belajar IPA siswa kelas IV dapat meningkat. Adapun skema kerangka berpikir sebagai berikut:

2.1. Gambar kerangka berpikir

Dalam penelitian ini akan membandingkan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen dimana kelas kontrol dilakukan di dalam kelas yang sudah biasa diterapkan di SD. Sedangkan kelas eksperimen menggunakan pembelajaran CTL. Dalam alat ukur hasil evaluasi antara kelas eksperimen dan kontrol adalah sama. Untuk pre test diambil

22

dari alat evaluasi pada kelas uji coba dan hasil pre test kedua yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen tidak menunjukkan adanya yang signifikan. 2.4. Hipotesis Penelitian Berdasarkan deskripsi teoritis dan kerangka berpikir, maka hipotesis penelitian yaitu hasil belajar (tingkat ketuntasan) kelas IV mata pelajaran IPA dengan model pembelajran Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih tinggi dibanding tanpa menggunakan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL ).