Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hakikat Nilai
Mulyana (dalam Aeni, 2004: 33) nilai merupakan sesuatu yang dianggap
penting, dan bermanfaat bagi kehidupan manusia untuk menentukan pilihan. Suatu
yang diyakini tersebut berasal dari pribadi yang utuh atau nilai yang berkaitan
dengan konsep benar dan salah yang dianut oleh golongan atau masyarakat
tertentu. Di masyarakat, ukuran dalam pentingnya kegunaan suatu, tingkah laku,
tindakan, dan yang lainnya banyak sekali kriterianya berupa moral, budaya, politik,
dan agama.
Encycklopedi Britania menyatakan bahwa nilai merupakan suatu penetapan
ukuran pada kualitassuatu objek. Jadi yang dimaksud dengan nilai adalah sesuatu
yang selalu dijunjung tinggi, dihargai, serta digunakan oleh manusia agar
memporelah apa yang ingin dicapai. Keberadaan nilai dapat memberikan manusia
kepuasan. Secara fungsional nilai merupakan sesuatu yang abstrak dan mempunyai
ciri pembeda (Gusal, 2015).
Sehubungan dengan konsep nilai, Salfia (2015) bahwa nilai merupakan
suatu yang penting atau hal-hal yang berguna untuk manusia atau kemanusiaan
yang dijadikan sumber patokan dalam sebuah karya sastra. Nilai adalah pemikiran
yang menggambarkan serta membentuk suatu proses dalam ruang lingkup
masyarakat sosiali berhubungan secara terus menerus sejak kehidupan sejak zaman
dahulu.
12
Sejalan dengan pendapat tersebut, nilai merupakan suatu hal yang tertanam
pada diri manusia yang digunakan untuk pertimbangan sebelum bertindak atas
dasar pilihannya sehingga menghasilkan perilaku yang baik. Dalam bertingkah
laku, sebuah nilai akan ditetapkan sebagai pedoman yang dapat terwujud pada
kehidupan manusia sehari-hari, seperti budaya gotong royong, religius, dan lain-
lain.
2.2 Karakter
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku setiap orang yang dilakukan
dalam kesehariannya. Hal tersbut dapat dilakukan berkaitan dengan lingkungan
keluarga, bermasyarakat, bangsa dan negara. Seorang yang mempunyai karakter
positif adalah seorang yang mempunyai rasa tanggung jawab atas semua tindakan
yang telah dibuat. Dalam hal tersebut perilaku karakter yang dimaksud yakni
tindakan yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan sekitar, dan kebangsaan negara (Samani dan Hariyanto, 2012:
41).
Karakter dalam hal ini memfokuskan pada penerapan nilai kebaikan dalam
bertingkah laku. Selain itu, karakter dapat didefinisikan sebagai jiwa, hati, bawaan,
kepribadian, personalitas, budi pekerti, perilaku, sifat, tabiat, temperamen, dan
watak. Seseorang yang belum melaksanakan nilai-nilai kebaikan, seperti tidak jujur,
rakus, kejam, dan perilaku kurang baik lainnya dapat disebut orang yang memiliki
karakter kurang baik, tetapi orang yang bertingkah laku sesuai dengan moral yang
berlaku pada masyarakat dapat disebut karakter yang mulia (Suyitno, 2012: 3).
13
Menurut Yaumi (2016: 07) karakter merupakan tingkatan paling tinggi dari
kebiasaan yang dihasilkan dari tingkah laku, etika, dan sifat yang dimiliki oleh
setiap individu. Sifat tersebut dapat berupa nilai moral yang utama walaupun
terkadang tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Keinginan sesorang untuk
melakukan yang terbaik, kognisi dari pemikiran kritis dan alasan moral, kepedulian
terhadap kesejahteraan orang lain, dan pengembangan keterampilan impersonal dan
emosional yang menyebabkan seseorang untuk bekerja sama setiap saat. Semua hal
tersebut merupakan cakupan dari karakter.
Berdasarkan penjelasan tersebut, karakter dapat diartikan sebagai sifat atau
kepribadian seseorang yang diwujudkan melalui nilai moral dan di terapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Hal tersebut diwujudkan sebagai fondasi terbentuknya
seseorang yang berkualitas yang berperilaku sesuai dengan aturan yang berlaku
pada masyarakat. Hal tersebut diharapkan akan menjadi manusia yang memiliki
prinsip integritas yang baik dan dipertanggung jawabkan.
2.3 Nilai Karakter
Nilai karakter dapat diartikan sebagai segala usaha dalam menerapkan
keyakinan atas dasar pilihan seseorang, sehingga menghasilkan suatu perilaku yang
baik. Hal tersebut dilakukan agar mudah dalam memahami perilaku seseorang yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama manusia,
peduli sosial, dan kebangsaan negara yang tertuang pada sikap, pemikiran, perasaan
seseorang, perkataan, dan perbuatan. Hal tersebut berdasarkan norma-norma yang
berlaku pada agama, tata krama, hukum, budaya, dan adat istiadat (Citra, 2012:
238).
14
Menurut Kemendikbud (2017: 07) nilai-nilai Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK) merupakan lanjutan dari dari Gerakan Nasional Pendidikan
Karakter Bangsa Tahun 2010. Selain itu, PPK juga termasuk dari bagian integral
Nawacita. Dalam hal ini butir 8 Nawacita salah satunya berupa Revolusi Karakter
Bangsa dan Gerakan Revolusi Mental yang telah dicanangkan oleh pemerintah.
Dalam dunia pendidikan, hendaknya mendoroyong seluruh lapisan pendidikan
untuk melaksanakan perubahan paradigma, yaitu perubahan tingkah laku dan pola
pikir dalam sekolah. Oleh karena itu, Gerakan PPK menempatkan nilai karakter
sebagai dimensi terdalam dalam Pendidikan yang membudayakan dan
memberadabkan pada para pelaku pendidikan. Terdapat lima nilai utama karakter
yang saling berkesinambungan untuk membentuk nilai yang perlu dikembangkan
sebagai prioritas Gerakan PPK. Kelima nilai utama karakter bangsa tersebut adalah
sebagai berikut:
2.3.1 Religius
Nilai karakter religius merupakan sikap dan perilaku yang taat dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, toleran
terhadap pemeluk agama lain, hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain.
Nilai karakter religius ini mencakup tiga aspek dalam kehidupan, yaitu hubungan
Manusia dengan Tuhan Yang Mahas Esa, manusia dengan manusia, dan manusia
dengan lingkungan. Terdapat subnilai pada karakter religius antara lain cinta damai,
toleransi, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya
diri, kerja sama dengan pemeluk agama dan kepercayaan, antibuli dan kekerasan,
15
persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak, mencintai lingkungan,
melindungi yang kecil dan tersisih (Kemendikbud, 2017: 08).
2.3.2 Nasionalis
Nilai karakter nasionalis merupakan tidakan seseorang sebagai Warga
Negara Indonesia (WNI) dalam mengapresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga
kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta tanah air,
menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghormati keragaman budaya, suku,
dan agama (Kemendikbud, 2017: 08).
2.3.3 Mandiri
Menurut Kemendikbud (2017: 09) nilai karakter mandiri merupakan sikap
dan perilaku yang tidak bergantung segala hal kepada orang lain dan memfaatkan
segala tenaga, pikiran, waktu untuk mewujudkan harapan, mimpi dan cita-cita pada
diri seseorang. Sub nilai mandiri antara lain etos kerja (kerja keras), tangguh tahan
banting, ndaya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan menjadi pembelajar
sepanjang hayat.
2.3.4 Gotong Royong
Nilai karakter gotong royong mencerminkan tindakan menghargai
semangat kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama dalam
lingkup keluarga maupun masyrakat. Perlilaku gotong royong dapat ditunjukkan
dengan menjalin komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan atau pertolongan
kepada orang lain. Sub nilai gotong royong antara lain menghargai, kerja sama,
16
komitmen atas keputusan bersama, musyawarah mufakat, tolong menolong,
solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti kekerasan, cinta damai, dan sikap
kerelawanan (Kemendikbud, 2017: 09).
2.3.5 Integritas
Nilai karakter integritas merupakan nilai yang mendasari perilaku pada diri
seseorang. Nilai ini menjadikan seseorang memiliki rasa percaya diri yang dapat
dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan
kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral (integritas moral). Sikap tersebut
dapat diwujudkan dengan tanggung jawab sebagai warga negara, naktif terlibat
dalam kehidupan sosial, kejujuran, cinta pada kebenaran, setia, komitmen moral,
anti korupsi, keadilan, keteladanan, dan menghargai martabat setiap orang
(terutama penyandang disabilitas) (Kemendikbud, 2017: 09).
Kelima nilai karakter tesebut merupakan nilai yang tidak bisa dipisahkan
dan berdidi sendiri, tetapi saling berkesinambungan untuk menumbuhkan karakter
pada diri seseorang sebagai manusia yang berbudi pekerti. Nilai religius menjadi
yang paling utama atau menjadi fondasi untuk meleburkan dengan nilai-nilai yang
lain. Jadi kelima nilai tersebut harus berjalan secara seimbang dengan berdasarkan
pada nilai religiusyaitu beriman dan bertakwa (Kemendikbud, 2017: 10).
Sedangkan menurut Samani (2012: 47) terdapat 18 butir-butir nilai karakter
yang dikelompokkan menjadi nilai utama yaitu:
a. Nilai karakter yang berhubungan dengan Tuhan (religius), yang berarti sikap
atau perilaku seseorang yang sesuai dengan ajaran agama.
17
b. Nilai karakter dalam hubungan dengan diri sendiri, yang meliputi nilai jujur,
tanggung jawab, hidup sehat, disiplin, kerja keras, percaya diri, berfikir logis,
kritis dan inovatif, mandiri, ingin tahu, dan cinta ilmu.
c. Nilai karakter dalam hubungan dengan sesama manusia, yang meliputi
menyadari akan hak dan kewajibannya kepada orang lain, taat pada aturan-
aturan sosial, melakukan gotong royong, menghargai karya orang lain, bersikap
santun, dan demokratis.
d. Nilai karakter dalam hubungan dengan lingkungan sekitar, yang berarti selalu
menanamkan perilaku untuk menjaga lingkungan sekitar, berusaha untuk
memperbaiki kerusakan lingkungan yang telah terjadi, dan memiliki rasa untuk
menolong orang lain yang membutuhkan bantuan.
e. Nilai karakter dalam hubunganya dengan kebangsaan, meliputi nasionalis dan
menghargai keberagaman yang ada.
2.4 Karakter Gotong Royong
Gotong royong dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan dalam bentuk
kerja sama demi tujuan yang telah di sepakati dengan asas timbal balik. Hal tersebut
memunculkan adanya hubungan sosial antar individu sehingga menjadikan rasa
kemasayarakatan yang kuat. Selai itu, gotong royong dapat dilaksanakan secara
spontan dan didasari tanpa pamrih karena menemukan kewajiban sosial yang harus
dilaksanakan (Depdikbud, 1979: 115).
Effendi (2013: 05) menyatatakan secara konseptual, gotong royong adalah
hubungan kerja sama yang telah disepakati bersama. Dari perspektif sosial budaya,
bahwa nilai gotong royong merupakan semangat yang telah diintegrasikan dalam
18
tingkah laku atau tindakan manusia yang dilaksanakan tanpa pamrih (mengharap
balasan) untuk membantu orang lain. Hal tersebut dilakukan secara bersama-sama
untuk kepentingan individu tertentu atau bersama.
Karakter gotong royong merupakan upaya dalam pembentukan kepribadian
pada diri seseorang sejak dini yang berhubungan dengan tindakan sosial. Dalam hal
ini kepedulian sudah mulai ada dalam diri seorang anak dalam melakukan hal yang
sederhana seperti melakukan kegiatan kerja sama. Dengan adanya kerja sama dapat
memberikan perilaku tanggung jawab yang sudah dijalankan dan disepakati seacara
bersama. Terbentuknya karakter gotong royong tertuju pada masing-masing
individu. Dalam pembentukan karakter gotong royong didapatkan dengan cara
yang alamiah melalui lingkungan. Terdapat beberapa nilai dalam karakter gotong
royong yakni menghargai, kerja sama, komitmen atas keputusan bersama,
musyawarah mufakat, tolong-menolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti
kekerasan, cinta damai, dan sikap kerelawanan (Yudhawardhana, 2017: 02).
Adanya karakter gotong royong kepribadian seorang anak akan terwujud
dengan baik. Hal tersebut dapat terlihat pada contoh dalam dunia pendidikan, yakni
sekolah yang menerapkan kegiatan Jumat bersih. Dengan adanya kegiatan tersebut
dapat terbentuknya karakter gotong royong yang menghasilkan interaksi sosial
yang baik. Secara tidak langsung karakter pada diri siswa terbentuk secara
kelompok dalam lingkungan sosial. Gotong royong dapat dijadikan sarana
berkegiatan yang mengarah pada perilaku sosial secara individu atau kelompok.
Individu dalam hal tersebut yakni unsur jasmani dan rohani (Yudhawardhana,
2017: 03).
19
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa karakter gotong
royong merupakan suatu tindakan individu kepada individu yang dikerjakan secara
bersama-sama untuk membentuk kepribadian sosial seseorang demi mencapai
suatu hasil yang diinginkan. Selain itu, sikap karakter gotong royong harus
ditanamkan sejak dini agar menjadi manusia saling berinteraksi dalam lingkungan
sosialnya serta dapat mengurangi permasalahan pada ruang lingkup pendidikan
karakter.
2.5 Hubungan Gotong Royong dengan Nilai Sosial Budaya
Budaya gotong royong merupakan tindakan sosial yang sudah mengakar
pada tataran kehidupan. Tindakan sosial tersebut sudah melekat pada sifat manusia
yang diwujudkan kegiatan gotong royong. Kegiatan gotong royong mampu
mendoroyong rasa sosial pada individu ke individu yang lain, sehingga dapat
membentuk perilaku sosial yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Pada
dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang saling mebutuhkan. Gotong
Royong diwujudkan dalam bentuk perilaku atau tindakan individu yang dilakukan
tanpa mengharap balasan untuk melakukan sesuatu secara bersama-sama demi
kepentingan bersama atau individu tertentu (Kamil, 2011).
Hubungan sosialitas dengan kebutuhan gotong royong yang saling
mendukung merupakan bagian yang sangat melekat pada kepribadian manusia.
Selain itu, gotong royong merupakan salah satu wujud dari solidaritas sosial yang
membentuk keadaan saling percaya antar anggota kelompok atau komunitas
sehingga menyebabkan adanya budaya yang akan dilakukan secara terus menerus.
ketika orang saling percaya maka mereka akan menjadi satu atau menjadi sahabat,
20
menjadi saling menghormati, menjadi saling bertanggung jawab untuk saling
membantu dalam memenuhi kebutuhan antar sesama (Irfan, 2017: 03).
Gotong royong terjadi karena adanya tindakan berupa bantuan atau tolong-
menolong dari orang lain, untuk kepentingan individu maupun kelompok. Dalam
pelaksanaanya terdapat perilaku yang loyal dari setiap individu ke individu yang
lain. Menurut Parson (dalam Kamil, 2011) kehidupan seseorang pada suatu
komunitas (keluarga, masyrakat, oeganisasi) yang memiliki nilai gotong royong
dapat diwujudkan dari adanya solidaritas di antara mereka melalui saling membantu
tanpa pamrih, seperti adanya musibah atau membantu individu yang lain yang
dalam kesusahan. Perilaku saling membantu menjadi suatu kewajiban sebagai umat
manusia yang berkarakter berbudi pekerti.
Menurut (Irfan, 2017: 04) gotong royoong berkaitan dengan rasa
kebersamaan antara individu maupun kelompok. Hal tersebut dilaksanakan dalam
berbagai kegiatan sosial secara sukarela tanpa mengaharapakan imbalan atau
pembayaran dalam bentuk lainnya, sehingga tindakan gotong royong yang
dilakukan tidak selalu memerlukan kepanitiaan secara resmi. Tetapi cukup adanya
kesepakatan antara kelompok mengenai suatu kegiatan dan dilaksanakan dengan
kekompakkan. Keuntungan dari gotong royong ini adalah ketika melakukan kegitan
menjadi lebih ringan dan mudah dibandingkan dilakukan secara individu. Selain
itu, mempererat rasa persaudaraan antara individu meskipun bertempat tinggal yang
berbeda dan menyatukan seluruh individu dalam komunitas sehingga rasa
kebersamaan begitu terasa.
Menurut Koentjaraningrat (dalam Irfan, 2017: 04) terdapat lima nilai sosial
yang tercermin dalam tindakan Gotong Royong:
21
a. Kebersamaan
Gotong royong mencerminkan kebersamaan yang tumbuh dalam
lingkungan sosial masyarakat. Dengan adanya gotong royong, masyarakat mau
bekerja secara bersama-sama untuk membantu orang lain atau untuk mem-bangun
fasilitas yang bisa dimanfaatkan bersama.
b. Persatuan
Kebersamaan yang terjalin dalam gotong royong sekaligus melahirkan
persatuan antar anggota sosial masyarakat. Dengan persatuan yang ada, masyarakat
menjadi lebih kuat dan mampu menghadapi permasalahan yang muncul.
c. Rela berkorban
Gotong royong mengajari setiap orang untuk rela berkorban. Pengorbanan
tersebut dapat berbentuk apapun, mulai dari berkorban waktu, pemikiran, tenaga
hingga uang. Semua pengorbanan tersebut dilakukan demi kepentingan bersama.
Masyarakat rela mengesampingkan kebutuhan pribadinya untuk memenuhi
kebutuhan bersama.
d. Tolong-menolong
Gotong royong bisa membuat masyarakat saling bahu-membahu untuk
menolong satu sama lain. Sekecil apapun kontribusi seseorang dalam gotong
royong, selalu dapat memberikan pertolongan dan manfaat untuk orang lain.
e. Sosialisasi
Di zaman modernisasi, kehidupan masyarakat cenderung individualis.
Gotong royong dapat membuat manusia kembali tersadar jika dirinya adalah
makhluk sosial. Gotong royong membuat masyarakat saling mengenal satu sama
lain sehingga proses sosialisasi dapat terus terjaga keberlangsungannya.
22
2.6 Cerpen (Cerita Pendek)
Cerita pendek merupajan cerita yang berbentuk prosa berukuran pendek
pendek. Ukuran di disni dapat bersifat relatif dan tidak memiliki aturan. Belum ada
kejelasan mengenai kesepakatan ukuran antara para ahli dan pengarang. Selain itu,
ketika membaca cerpen, ukuran pendek di sini yang dimaksud adalah dapat dibaca
langsung tuntas, batas waktu dalam mebacanya kurang lebih satu jam. Dalam cerita
pendek kisah para tokoh tidak diceritakan secara rinci, tetapi langsung pada inti
suatu permasalahan yang dialami oleh para tokoh (Nurgiyantoro, 2013: 13).
Cerpen dibangun oleh dua unsur yaitu, unsur intrinsik dan ekstrinsik. Struktur
dalam cerpen memiliki hubungan timbal balik dan susunan unsur-unsur yang
bersistem, saling menentukan dalam membangun kesatuan makna. Unsur tersebut
bersifat fungsional, yang diciptakan pengarang untuk maksud tertentu secara
keseluruhan.
2.6.1 Unsur Instrinsik
Bagian inilah yang mengakibatkan karya sastra terbit, berdasarkan
kenyataan yang dijumpai oleh orang saat membaca sebuah karya sastra. Unsur ini
yang secara langsung juga berpartisipasi dalam mengembangkan cerita
(Nurgiyantoro, 2013:29-30). Unsur-unsur intrinsik cerpen yang berkaitan dengan
pendidikan karakter gotong royong adalah tema, penokohan, latar, dan sudut
pandang.
2.6.1.1 Penokohan
Penokohan ialah menggambarkan seseorang dengan jelas dan ditampilkan
dalam sebuah cerita yang ada di cerit. Tokoh berhubungan dengan orang didalam
23
cerita tersebut atau yang menjadi pemerannya. Orang yang dimunculkan di dalam
karya naratif, cenderung seperti yang digambarkan melalui ucapan dan perlakuan
oleh pembaca yang memunyai penafsiran berkualitas moral tersendiri dalam diri
tokoh (Nurgiyantoro, 2013:247).
Memahami suatu karya sastra, pembaca tidak semata-mata hadir untuk
mengetahui tokohnya saja, yang lebih terpenting adalah memahami penokohannya.
Pembaca bisa mengetahui perwatakan dan sifat yang diperankan tokoh, hal itu
disebut dengan penokohan. Tujuannya agar pembaca menikmati kisah yang terjalin
dalam sebuah karya sastra. Setiap pengarang memiliki tujuan agar setiap pembaca
memahami karakter dan motivasi yang ada dalam karya sastranya dengan benar.
Artinya, tokoh akan bertindak sesuai dengan motivasinya. Motivasi diartikan
sebagai sebuah alasan atas reaksi baik disadari maupun tidak. Penggambaran alasan
atas reaksi tokoh dapat dicermati melalui bahasa dan sikapnya.
Melalui uraian tersebut, ditarik kesimpulan penokohan yaitu karakter,
perilaku dan bagaimana cara berpikirnya tokoh yang dimunculkan sepanjang kisah
itu diceritakan. Tokoh tersebut merupakan representasi watak-watak tokoh dalam
kehidupan nyata. Perwatakan setiap tokoh dalam suatu cerita tidak selalu sama,
tetapi berbeda-beda. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan kompleksitas
perwatakan dalam sebuah cerita. Di dalam sebuah cerita ada tiga cara untuk
melukiskan watak, sikap, dan cara berpikir tokoh. Ketiga pelukisan itu yaitu secara
fisiologi, sosisologis, dan psikologis.
2.6.1.2 Latar
Latar ialah landas tumpu yang berhubungan dengan sejarah, tempat, waktu,
dan lingkungan sosial, dimana peristiwa tersebut terjadi sesuai yang diceritakan di
24
karya sastra. Ada beberapa macam yang membentuk latar yaitu tempat geografis
atau letak terjadinya peristiwa dalam cerita. Pekerjaan dan bagaimana cara hidup
tokoh yang diceritakan dalam cerpen. waktu terjadinya kejadian, serta lingkungan
intelektual, moral, sosial, religius, dan emosi tokoh-tokoh cerita (Nurgiyantoro,
2013:302).
Latar tidak hanya bertumpu pada tempat kejadian dalam cerita, tetapi
penggambaran tempat, waktu dan situasi dalam cerita memberi efek cerita terkesan
lebih logis, karena latar juga berfungsi sebagai pembangun dalam penciptaan kesan
suasana tertentu yang bisa menggugah perasaan dan emosi sehingga tak jarang
pembaca akan menitikkan air mata ketika sedang menghayati sebuah karya sastra.
Selain itu, latar berperan melukiskan aspek sosialnya, seperti tingkah laku, tata
krama, pandangan hidup, dan karakter tokoh dalam cerita.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan, tempat cerita
yaitu segala sesuatu berhubungan dengan waktu, ruang dan suasana tempat
terjadinya cerita. Latar cerita memengaruhi suasana peristiwa dan jalannya
peristiwa. Latar terdiri dari lokasi geografis, cara hidup tokohnya, waktu peristiwa
dan lingkungan.
2.7 Strategi Penyampaian
Strategi penyampaian merupakan cara pengaran dalam menyampaikan
pesan secara harmonis beradasarkan unsur cerita yang lain, serta tersirat dicerita.
Jika memang benar pengarang ingin mempromosikan dan menyampaikan sesuatu
dalam cerita, maka pengarang tidak akan melakukan hal itu secara seenaknya,
karena pengarang telah menentukan jalan cerita yang akan disampaikannya. Dilihat
25
dari pandangan dan penyampaian yang menjadi kebutuhan pengarang dalam suatu
cerita, hal tersebut bisa dikatakan kurang kumunikatif. Maksudnya ialah pembaca
belum tentu bisa memahami apa yang sesungguhnya maksud dari pengarang,
mungkin pembaca bisa saja salah menafsirkan maksud dari pengarang. Tapi hal
tersebut tidak bisa kita pungkiri, karena sangat wajar dan bahkan merupakan suatu
hal yang penting dalam cerita (Nurgiyantoro, 2013:460).
Penyampaian nilai-nilai karakter dalam cerita fiksi di bagi menjadi dua yaitu
penyampaiannya yang dilakukan dengan secara langsung dan penyampian
dilakukan dengan cara yang tidak langsung. Pemilihan penyampian itu sebenarnya
hanya demi praktisnya saja, karena tidak dapat dipungkiri bahwa ada pesan yang
sifatnya langsung. Di dalam cerpen itu sendiri, bisa saja ditemukan pesan yang
benar-benar tersembunyi pesannya, sehingga ada bebrapa orang yang tidak dapat
merasakannya, namun ada pula yang secara langsung dan seperti ditonjolkan
pesannya dalam cerita (Nurgiyantoro, 2013:461).
2.7.1 Bentuk Penyampaian Langsung
Penyampaian pesan secara langsung lebih identik dengan cara pelukisan
perwatakan tokoh yang penjabarannya bersifat uraian. Cara ungkapan langsung
untuk menggambarkan sifat tokoh yang ada di dalam cerita, hal itu untuk
memberitahu dan memudahkan pembaca dalam memahami cerita. Dari segi
kebutuhannya bisa dilihat bahwa pengarang ingin mengungkapkan pesan kepada
pembaca. Strategi secara langsung, memang lebih praktis dan komunikatif, artinya
pengarang bisa lebih mudah untuk menguraikan pesan yang ingin disampaikannya
26
dan pembaca dapat memahami pesan itu dengan lebih mudah pula (Nurgiyantoro,
2013:461).
Komunikasi yang terjadi antara pengarang dan pembaca dalam
menyampaikan pesan disebut hubungan secara langsung. Hal itu dapat terjadi
dengan melalui pengarang, amanat dan pembaca dalam cerita. Oleh karena itu
pesan yang akan disampaiakan oleh pengarang itu, lebih kurang hubungannya
dengan cerita. Pesan yang langsung bisa saja terlibat atau dilibatkan dengan tokoh
cerita, dan alur. Oleh sebab itu yang diahadapi oleh pembaca adalah cerita yang
sebenarnya, tetapi isi cerita tersebut terasa tendensus dan pembaca dengan mudah
bisa memahami pesan yang disampaikan pengarang (Nurgiyantoro, 2013: 462).
Berdasarkan uraian di atas pesan langsung merupakan pesan yang
diungkapkan oleh pengarang secara langsung dan kurang hubungannya dengan
cerita. Hubungan langsung pengarang dengan pembaca dalam penyampaian pesan
terjadi dengan cara pengarang, amanat dan pembaca. Selain itu pesan secara
langsung juga bisa dengan unsur cerita dan tokoh cerita serta pemlotan atau alur.
2.7.2 Bentuk Penyampaian Tidak Langsung
Pesan yang bersifat tersirat dalam sebuah pesan disebut dengan bentuk
pesan yang tidak langsung. Pesan yang tersirat berpadu secara koherensif dengan
unsur yang ada dalam cerita lainnya. Walaupun memang benar jika pengarang ingin
mepromosikan dan menyampaikan pesannya, maka pengarang tidak akan
melakukan hal itu dengan semena-mena. Hal itu dikarenakan pengarang sudah
menentukan jalan ceritanya sendiri (Nurgiyantoro, 2013:466).
27
Karya yang berbentuk cerita, yang disajikan untuk pembaca, maka pertama-
tama haruslah sebagai cerita untuk pembaca dan sebagai sarana hiburan bagi
pembaca, sehingga pembaca merasakan kenikmatan tersendiri dalam membaca.
Kenikmatan yang terjadi, yaitu kenikmatan estetis, emosional, dan intelektual. Jika
ada yang yang ingin dipesankan, justru hal itu bisa mendoroyong pengarang untuk
menulis cerita itu. Tetapi tulisan itu hanya disampaikan melalui siratan saja dan
diserahkan bagaiamana penafsiran pembaca terhadap tulisan tersebut. Akan tetapi
jika hal tersebut dibedakan dengan cara penggambaran perwatakan, maka dengan
ini lebih sealur dengan strategi peragaan. Dalam cerita perlu dimunculkan ialah
yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa, konflik, sikap dan tingkah laku
(Nurgiyantoro, 2013: 467).
Penyampaian tidak langsung atau tersirat ialah hubungan yang terjadi antara
pengarang dengan pembaca. Pengarang kurang berkeinginan untuk mengajari
pembaca, karena hal itu tidak terlalu berpengaruh serta menurunkan kadar
pembaca. Penulis tidak berpikiran bahwa pembaca itu kurang pintar dan begitu pula
sebaliknya di dalam karya sastra. Ketersembuayian dan timbulnya unsur pesan
yang terdapat di berbagai hal, maka bisa digunakan untuk pencapaian dalam karya
yang merupakan hasil dari karya seni. Hal yang demikian, di lain pihak pengarang
berniat menyembunyikan pesan ada diteks dan kepaduannya dalam keseluruhan
cerita, selain itu pula pembaca berusaha mencari pesan tersebut melalui teks cerita.
Pesan secara tidak langsung terdiri dari peristiwa, permasalahan, perilaku untuk
menghadapi berbagai persoalan. Hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut
dengan lebih rinci.
28
2.7.2.1 Peristiwa
Pergantian dari aktivitas ke aktivitas lain dan dari pergantian sistuasi ke
situasi yang lain, disebut dengan persitiwa. kejadian yang dimunculkan dicerita
pasti lebih banyak, tetapi tidak semua peristiwa berfungsi dalam mendukung plot.
Untuk menentukan peristiwa-peritiwa fungsional, maka diperlukan penyeleksian.
Hubungan pengembangan plot dan perannya dalam membuat cerita, maka hal itu
tiga jenis peristiwa yaitu acuan, fungsional, dan kaitan (Nurgiyantoro, 2013:173-
175).
Pertama, peristiwa-peristiwa yang menentukan atau memengaruhi
berkembangnya plot dalam suatu cerita adalah peristiwa fungsional. Maksud dari
peristiwa fungsional ialah inti dari cerita, yang ada dalam sebuah cerita fiksi yang
bersangutan. Munculnya peristiwa itu berkaitan dengan adanya logika cerita yang
merupakan suatu keharusan. Jika beberapa jumlah peristiwa fungsional
dihilangkan, maka terjadilah cerita yang tidak logis.
Kedua, peristiwa yang bertujuan mengaitkan peristiwan terpenting dalam
mengurutkan penyajian cerita atau secara plot, disebut peristiwa kaitan. Lain halnya
dengan peristiwa fungsional, peristiwa kaitan kurang dalam memengaruhi
perkembangan plot cerita, sehingga jika diilangkan juga tidak terlalu berpengaruh
terhadap kelogisan cerita. Ketiga, kejadian secara tidak langsung dapat
mempengaruhi dan berkaitan terhadap berkembangnya alur, serta mengarah pada
unsur lain, hal itu disebut dengan peristiwa acuan. Peristiwa acuan sering
memberikan informasi yang penting, artinya sekaligus memberikan wawasan cerita
secara lebih luas bagi pembaca.
29
2.7.2.2 Konflik
Permasalahan merupakan hal yang lebih dramatis dan mengarah pada
pertentangan dari dua kekuatan yang rata dan menujukan tindakan dan tanggapan.
Permasalahan bisa berbentuk peristiwa dan bisa juga dibagi dua kategori, yaitu fisik
dan batin. Konflik lebih bersifat pada hal yang terjadi tidak terlalu menyenangkan
dan yang dirasakan oleh tokoh cerita. Jika tokoh tersebut memunyai keleluasaan
dalam menentukan, maka Ia tidak memilih kejadian itu terjadi padanya.
Permasalahan suatu bentuk peristiwa yang dapat dibedakan ke dalam dua
konflik, yaitu fisik dan batin. permasalahan antara tokoh yang terjadi di dalam
dirinya, dengan hal di luar dirinya. Misalnya lingkungan sosial atau alam maka
disebut dengan konflik fisik. Konflik batin ialah permasalahannya terdapat di dalam
diri tokoh, misalnya pada hati dan pikiran, atau yang ada dalam jiwa seseorang
(Nurgiyantoro, 2013:178-181).
a. Melalui tokoh
Sesorang dimunculkan berbentuk karya naratif dan oleh pembacanya
dimaknai, apakah tokoh tersebut memunyai moral dan cenderung seperti halnya
yang digambarkan melalui ucapannya dan perbuatannya, maka hal itu disebut
dengan tokoh. Melalui tindakan tokoh, artinya penggambaran atas perwatakan
tokohnya yang berdasarkan perbuatannya di dalam cerita. Misalnya jika tokohnya
dalam keadaan memukuli, merampok dan menamuk, maka bisa disimpulkan orang
itu memunyai perwatakan keras, tidak baik, dan sadis (Nurgiyantoro, 2013:247).
Reaksi tokoh lain merupakan suatu gambaran perwatakan tokoh yang ditulis
oleh pengarang berdasarkan penyampaian melalui tanggapan dan komentar dari
tokoh lain terhadap tokoh yang lai. Karakter tokoh bisa dipengaruhi oleh tempat
30
tinggal dimana Ia berada. Dalam hal itu, maka pengarang juga bisa menggunakan
media lingkungan untuk penyampaian perwatakan tokohnya. Perwatakan tokoh
bisa dikenali melalui karakter dalam sebuah cerita, yaitu ada beberapa jalan untuk
bisayang menuntun sampai pada sebuah karakter tokoh.
b. Apa yang diperbuatnya
Suatu tindakan, terutama pada bagaimana ia bertindak dalam keadaan yang
kritis. Watak seseorang memang sering kali tergambar dengan jelas pada sikapnya,
jika ia dalam situasi yang gawat. Hal itu karena ia tidak bisa untuk berpura-pura
atau berbohong, maka ia akan bertindak secara spontanitas berdasarkan karakter
yang dimilikinya, tetapi keadaan tersebut mengharuskan dia mengambil keputusan
dengan segera.
c. Ucapan-ucapannya.
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh tokoh cerita, maka Ia dapat dikenali
apakah tokoh itu orang tua, orang yang berpendidikan rendah dan tinggi, apa
sukunya, tokoh tersebut wanita atau laki-laki.
d. Penggambaran fisik tokoh.
Pengarang sering juga membuat interpretasi mengenai hal yang berkaitan
dengan bentuk tubuh dan wajah tokoh-tokoh yang ada dalam cerita. Misalnya,
tentang cara tokoh itu berpakaian, bentuk tubuhnya seperti apa, dan yang lainnya.
e. Pikiran-pikirannya.
Menggambarkan apa yang ada dalam pikiran tokoh, maka hal itu sebagai
cara terpenting untuk menggambarkan perwatakannya. Dalam hal itu maka cara ini
akan membuat pembaca lebih bisa untuk mengetahui alasan-alasan tindakan yang
perbuat oleh tokoh.
31
Nilai-nilai Pendidikan Karakter
Gotong Royong
Cerpen Koran Jawa Pos Triwulan
Terakhir 2015
Cara pengarang menyampaikan nilai karakter Gotong Royong Cerpen Koran
Jawa Pos Tahun 2015.
Kesimpulan
Kerangka Berpikir