Upload
donga
View
218
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.1 Paradigma Penelitian
Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma sebagai serangkaian
keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan
dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan
dunia (worldview) yang menentukan. Bagi penganutnya, sifat dari “dunia”
sebagai tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut
beserta bagian-bagiannya (Sunarto dan Hermawan, 2011:4).
Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln
menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivisme,
konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu
pengetahuan sosial, yaitu positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel
membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan
Hermawan, 2011: 9). Paradigma menuntun kepercayaan seorang peneliti
mengenai dunia (West dan Turner, 2009: 55).
Secara filosofis Cresswell menggambarkan, peneliti membuat pernyataan
tentang apa itu pengetahuan (ontologi), bagaimana kita mengetahui itu
(epistimologi) dan nilai apa yang terkandung di dalamnya (aksiologi), bagaimana
kita menuliskan tentang itu (retorik) dan proses mempelajarinya (metodologi).
Paradigma memberikan cara pandang umum mengenai komunikasi antarmanusia,
sementara teori memberikan penjelasan yang lebih spesifik terhadap aspek
tertentu dari perilaku komunikasi (West dan Turner, 2009: 55).
Memilih paradigma penelitian adalah hal mendasar yang harus dilakukan
oleh seorang peneliti, dimana paradigma ini berfungsi sebagai pendekatan atau
strategi penelitian yang harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum mengkonstruksi
desain penelitian. Elvinaro dan Bambang (2007) membagi paradigma penelitian
kepada empat bagian yaitu: positivisme, post-positivisme, kritis, konstruktivisme.
Dalam penelitian ini digunakan paradigma konstruktivis yang akan melandasi
pelaksanaan penelitian.
Paradigma konstruktivisme atau sering disebut konstruktivis berpandangan
bahwa pengetahuan bukanlah potret langsung dari realitas, namun ada konstruksi
Universitas Sumatera Utara
di dalamnya. Paradigma ini berkeyakinan bahwa semesta adalah suatu konstruksi,
yang berarti semesta tidak dipahami sebagai semesta yang otonom, namun
dikonstruksi secara sosial (Ardianto dan Q-Anees, 2007:152).
Paradigma konstruktivis ini mendasarkan pada penafsiran teks yang
menjadi objek dalam penelitian. Penafsiran tersebut akan menjadi pintu bagi
peneliti untuk menyelami teks dan menyingkap makna di baliknya. Dalam proses
penafsiran teks, pengalaman, latarbelakang hingga perasaan peneliti dapat
mempengaruhi hasil penelitian. Adapun gagasan dalam paradigma konstruktivis
(Ardianto dan Q-Anees, 2007:155) adalah:
1. Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia nyata belaka, tapi selalu
merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang
perlu untuk pengetahuan.
3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Suatu struktur
konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi berlaku dalam berhadapan
dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Penelitian ini dikategorikan dalam penelitian kualitatif konstruktif. Hal ini
dikarenakan dalam penelitian ini, peneliti diarahkan untuk dapat menganalisis
tanda, menafsirkan teks maupun pembacaan tanda yang dikaitkan dengan konteks
sosial, budaya, ekonomi dan historis. Melalui paradigma ini, penelitian akan
membahas bagaimana persepsi mahasiswa tentang komunikasi nonverbal dosen
Ilmu Komunikasi FISIP USU.
II.2 Uraian Teoritis
II.2.1 Persepsi
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli)
(Rakhmat, 1949: 57)
Persepsi adalah suatu proses yang ditempuh individu untuk
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar memberikan
makna bagi lingkungan mereka (Rivai & Mulyadi, 2012: 236).
Universitas Sumatera Utara
Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap
orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya baik lewat
penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk
memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu
merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu
pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha, 2011: 141-142). Seperti yang
dikatakan oleh David Krech
“The cognitive map of the individual is not, then, a photographic
representation of the physical world; it is, rather, a partial, personal
construction in which certain objects, selected out by the individual for a
major role, are perceived in an individual manner. Every perceiver is, as it
were, to some degres a nonrepresentational artist, painting a picture of the
world that expresses his individual view of reality.”
Secara ringkas pendapat Krech tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi
adalah suatu proses kognitif yang komplek dan menghasilkan suatu gambar unik
tentang kenyataan yang barang kali sangat berbeda dari kenyataannya.
Ada beberapa subproses dalam persepsi, dan yang dapat dipergunakan
sebagai bukti bahwa sifat persepsi itu merupakan hal yang komplek dan interaktif.
Subproses yang pertama yang dianggap penting ialah stimulus atau situasi yang
hadir. Mula terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan dengan suatu
situasi atau suatu stimulus. Situasi yang dihadapi itu mungkin bisa berupa
stimulus penginderaan dekat dan langsung atau berupa bentuk lingkungan
sosiokultur dan fisik yang menyeluruh. Subproses selanjutnya adalah registrasi,
interpretasi dan umpan balik (feedback).
Dalam proses persepsi terdapat tiga komponen utama, yaitu :
1. Seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan
dari luar, intensitasdan jenisnya dapat banyak atau sedikit.
2. Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga
mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut,
motivasi, kepribadian dan kecerdasan. Interpretasi juga bergantung
pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengategorian
Universitas Sumatera Utara
informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang
kompleks menjadi sederhana.
3. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk
tingkah laku sebagai reaksi (Depdikbud, dalam Alex Sobur, 2003).
Jadi, persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi dan pembulatan
terhadap informasi yang sampai.
Kemudian, faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi
seseorang antara lain :
1. Psikologi
Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di alam dunia ini sangat
dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Sebagai contoh, terbenamnya
matahari di waktu senja yang indah temaram, akan dirasakan sebagai
bayang-bayang yang kelabu bagi seseorang yang buta warna.
2. Famili
Pengaruh yang paling besar terhadap anak-anak adalah familinya.
Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di
dalam memahami dan melihat kenyataan di dunia ini, banyak sikap
dan persepsi-persepsi mereka yang diturunkan kepada anak-anaknya.
3. Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah
satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai dan cara
seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini.
Sementara itu, menurut DeVito (dalam Sobur, 2003) menyebutkan enam
proses yang mempengaruhi persepsi, yakni:
1. Teori kepribadian implisit
Teori pribadi implisit mengacu pada teori kepribadian individual yang
diyakini seseorang dan mempengaruhi bagaimana persepsinya kepada
orang lain (DeVito, dalam Sobur, 2003: 455).
Setiap orang mempunyai konsepsi tersendiri tentang suatu sifat berkaitan
dengan sifat lainnya. Konsepsi ini merupakan teori yang dipergunakan orang
ketika membentuk kesan tentang orang lain. Teori ini tidak pernah dinyatakan.
Universitas Sumatera Utara
Karena itu disebut teori kepribadian implisit atau implicit personaliy theory
(Rakhmat, dalam Sobur, 2003: 455).
2. Ramalan yang dipenuhi sendiri (self-fulfilling prophecy)
Ramalan yang dipenuhi sendiri terjadi bila Anda membuat ramalan atau
merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena Anda membuat
ramalan itu dan bertindak seakan-akan ramalan itu benar (DeVito, 1997:
89).
Jadi, ramalan yang dipenuhi sendiri terjadi bila kita membuat perkiraan
atau merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena kita meramalkannya
dan bertindak seakan-akan itu benar, seperti disinggung di muka. Ada empat
langkah dasar dalam proses ini (DeVito, dalam Sobur, 2003: 457):
1. Kita membuat prediksi atau merumuskan keyakinan tentang seseorang
atau situasi. Misalnya kita meramalkan bahwa Pat adalah orang yang
canggung dalam komunikasi antarpribadi.
2. Kita bersikap kepada orang atau situasi tersebut seakan-akan ramalan
atau keyakinan kita benar. Misalnya di depan Pat kita bersikap seakan-
akan Pat memang orang yang canggung.
3. Karena kita bersikap demikian (seakan-akan keyakinan kita benar),
keyakinan kita itu menjadi kenyataan. Misalnya, karena cara kita
bersikap di depan Pat, Pat menjadi tegang dan “salah-tingkah” serta
menunjukkan kecanggungan.
4. Kita mengamati efek kita terhadap seseorang atau akibat terhadap
situasi, dan apa yang kita saksikan memperkuat keyakinan kita.
Misalnya, kita menyaksikan kecanggungan Pat, dan ini memperkuat
keyakinan kita bahwa Pat memang orang yang canggung.
3. Aksentuasi perseptual
Aksentuasi perseptual membuat kita melihat apa yang kita harapkan dan
apa yang ingin kita lihat. Kita melihat orang yang kita sukai itu lebih
tampan dan lebih pandai ketimbang orang yang tidak kita sukai. Kontra
argumen yang jelas adalah bahwa sebenarnya kita lebih menyukai orang
yang tampan dan pandai sehingga kita mencari-cari orang seperti ini,
bukan karena orang yang kita sukai itu kelihatannya tampan dan pandai.
Universitas Sumatera Utara
4. Primasi resensi
Primasi resensi mengacu pada pengaruh relatif stimulus sebagai akibat
urutan kemunculannya. Jika yang muncul pertama lebih besar
pengaruhnya, kita mengalami efek primasi. Jika yang muncul kemudian
mempunyai pengaruh yang lebih besar, kita mengalami efek resensi.
5. Konsistensi
Konsistensi mengacu pada kecenderungan untuk merasakan apa yang
memungkinkan kita mencapai keseimbangan atau kenyamanan psikologis
di antara berbagai sikap dan hubungan antara mereka.
6. Stereotype
Stereotip mengacu kepada kecenderungan untuk mengembangkan dan
mempertahankan persepsi yang tetap dan tidak berubah mengenai
sekelompok manusia dan menggunakan persepsi ini untuk mengevaluasi
anggota kelompok tersebut, dengan mengabaikan karakteristik individual
yang unik.
II.2.2 Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi
dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik. Komunikasi
nonverbal adalah penting, sebab apa yang sering kita lakukan mempunyai makna
jauh lebih penting daripada apa yang kita katakan (Budyatna & Ganiem, 2011:
110).
Komunikasi nonverbal pastilah merupakan kata yang sedang populer saat
ini. Setiap orang tampaknya tertarik pada pesan yang dikomunikasikan oleh
gerakan tubuh, gerakan mata, ekspresi wajah, sosok tubuh, penggunaan jarak
(ruang), kecepatan dan volume bicara, bahkan juga keheningan. Kita ingin belajar
bagaimana “membaca seseorang seperti sebuah buku,” begitu kata sebuah buku
yang populer (Nierenberg & Calero, 1971). Kita ingin bisa melihat apa yang ada
di balik pesan-pesan verbal yang “jelas” (DeVito, 2011: 193).
Komunikasi nonverbal dapat menjalankan sejumlah fungsi penting. Periset
nonverbal mengidentifikasikan enam fungsi utama (Ekman dan Knapp, dalam
DeVito, 2011), yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Untuk Menekankan. Kita menggunakan komunikasi nonverbal untuk
menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal.
Misalnya saja, Anda mungkin tersenyum untuk menekankan kata atau
ungkapan tertentu, atau Anda dapat memukulkan tanganAnda ke meja
untuk menekankan suatu hal tertentu.
2. Untuk Melengkapi (Complement). Kita juga menggunakan
komunikasi nonverbal untuk memperkuat warna atau sikap umum
yang dikomunikasikan oleh pesan verbal. Jadi, Anda mungkin
tersenyum ketika menceritakan kisah lucu, atau menggeleng-gelengkan
kepala ketika menceritakan ketidakjujuran seseorang.
3. Untuk Mengatur. Gerak-gerik nonverbal dapat mengendalikan atau
mengisyaratkan keinginan Anda untuk mengatur arus pesan nonverbal.
Mengerutkan bibir, mencondongkan badan ke depan atau membuat
gerakan tangan untuk menunjukkan bahwa Anda ingin mengatakan
sesuatu merupakan contoh-contoh dari fungsi mengatur ini. Anda juga
mungkin mengangkat tangan atau menyuarakan jenak (pause) Anda
(misalnya, dengan menggumamkan “umm”) untuk memperlihatkan
bahwa Anda belum selesai berbicara.
4. Untuk Menunjukkan Kontradiksi. Kita juga dapat secara sengaja
mempertentangkan pesan verbal kita dengan gerakan nonverbal.
Sebagai contoh, Anda dapat menyilangkan jari Anda atau
mengedipkan mata untuk menunjukkan bahwa yang Anda katakan
adalah tidak benar.
5. Untuk Mengulangi. Kita juga dapat mengulangi dan merumuskan
ulang makna dari pesan verbal, misalnya Anda dapat menyertai
pernyataan verbal “Apa benar?” dengan mengangkat alis mata Anda,
atau Anda dapat menggerakkan kepala atau tangan untuk mengulangi
pesan verbal “Ayo kita pergi.”
6. Untuk Menggantikan. Komunikasi nonverbal juga dapat
menggantikan pesan verbal. Anda dapat, misalnya, mengatakan “Oke”
dengan tangan Anda tanpa berkata apa-apa. Anda dapat
Universitas Sumatera Utara
menganggukkan kepala untuk mengatakan “Ya” atau menggelengkan
kepala untuk mengatak “Tidak.”
Dari berbagai studi yang pernah dilakukan sebelumnya, kode nonverbal
dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain (Cangara, 2006: 101-
110):
a. Kinesics
Ialah kode nonverbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan badan.
Menurut Paul Ekman dan Wallace V. Friesen (dalam DeVito, 2011) kedua periset
ini membedakan lima kelas (kelompok) gerakan nonverbal, di antaranya:
1. Emblim
Emblim adalah perilaku nonverbal yang secara langsung
menerjemahkan kata atau ungkapan. Emblim meliputi, isyarat untuk
“Oke,” “Jangan ribut,” “kemarilah,” dan “Saya ingin menumpang.”
Emblim adalah pengganti nonverbal untuk kata-kata atau ungkapan
tertentu. Walaupun emblim bersifat alamiah dan bermakna, mereka
mempunyai kebebasan makna seperti sembarang kata apapun dalam
sembarang bahasa. Oleh karenanya, emblim dalam kultur kita
sekarang belum tentu sama dengan emblim dalam kultur kita 300
tahun yang lalu atau dengan emblim dalam kultur lain.
2. Ilustrator
Ilustratoradalah perilaku nonverbal yang menyertai dan secara harfiah
“mengilustrasikan” pesan verbal. dalam mengatakan “Ayo, bangun,”
misalnya, Anda mungkin menggerakkan kepala dan tangan anda ke
arah menaik. Dalam menggambarkan lingkaran atau bujur sangkar
Anda mungkin sekali membuat gerakan berputar atau kotak dengan
tangan Anda. Begitu biasanya kita melakukan gerakan demikian
sehingga sukar bagi kita untuk menukar-nukarnya atau menggunakan
gerakan yang tidak tepat.
Kita hanya menyadari sebagian ilustrator yang kita gunakan. Kadang-
kadang ilustrator ini perlu kita perhatikan. Ilustrator bersifat lebih
alamiah, kurang bebas dan lebih universal daripada emblim. Mungkin
Universitas Sumatera Utara
sesekali ilustrator ini mengandung komponen-komponen yang sudah
dibawa sejak lahir selain juga yang dipelajari.
3. Affect Display
Affect display adalah gerakan-gerakan wajah yang mengandung
makna emosional; gerakan ini memperlihatkan rasa marah dan rasa
takut, rasa gembira dan rasa sedih, semangat dan kelelahan. Ekspresi
wajah demikian “membuka rahasia kita” bila kita berusaha
menampilkan citra yang tidak benar dan membuat orang berkata,
“Anda kelihatan kesal hari ini, mengapa?” tetapi, kita dapat secara
sadar mengendalikan affect display, seperti aktor yang memerankan
peran tertentu. Affect display kurang bergantung pada pesan verbal
daripada ilustrator. Selanjutnya, kita tidak secara sadar mengendalikan
affect display seperti yang kita lakukan pada emblim atau ilustrator.
Affect display dapat tidak disengaja—seperti ketika gerakan-gerakan
ini membuka rahasia kita—tetapi mungkin juga disengaja. Kita
mungkin ingin memperlihatkan rasa marah, cinta, benci, atau terkejut
dan biasanya kita mampu melakukannya dengan baik.
4. Regulator
Regulator adalah perilaku nonverbal yang “mengatur,” memantau,
memelihara atau mengendalikan pembicaraan orang lain. Ketika Anda
mendengarkan orang lain, Anda tidak pasif. Anda menganggukkan
kepala, mengerutkan bibir, menyesuaikan fokus mata dan membuat
berbagai suara paralinguistik seperti “mm-mm” atau “tsk.” Regulator
jelas terikat pada kultur dan tidak universal. Regulator mengisyaratkan
kepada pembicara apa yang kita harapkan mereka lakukan–misalnya,
“Teruskanlah,” “Lalu apalagi?,” atau “Tolong agak lambat sedikit.”
Bergantung pada kepekaan mereka, mereka mengubah perilaku sesuai
dengan pengarahan dari regulator.
5. Adaptor
Adaptor adalah perilaku nonverbal yang bila dilakukan secara
pribadi—atau di muka umum tetapi tidak terlihat—berfungsi
Universitas Sumatera Utara
memenuhi kebutuhan tertentu dan dilakukan sampai selesai. Misalnya,
bila Anda sedang sendiri mungkin Anda akan menggaruk-garuk
kepala sampai rasa gatal hilang. Di muka umum bila orang-orang
melihat Anda melakukan perilaku adaptor ini hanya sebagian. Anda
mungkin misalnya, hanya menaruh jari Anda di kepala dan
menggerakkannya sedikit, tetapi barangkali tidak akan menggaruk
cukup keras untuk menghilangkam gatal.
Gambar II.1
Lima Gerakan Tubuh Sumber: (DeVito, 2011 : 206)
b. Gerakan Mata (Eye Gaze)
Mata adalah alat komunikasi yang paling berarti dalam memberi isyarat
tanpa kata. Dari observasi puitis Ben Jonson’s “Drink to me only with thin eyes,
and I will pledge with mine” sampai ke observasi ilmiah para periset kontemporer
(Hess, Marshall, dalam DeVito, 2011), mata dipandang sebagai sistem pesan
nonverbal yang paling penting. Pesan-pesan yang dikomunikasikan oleh mata
Universitas Sumatera Utara
bervariasi bergantung pada durasi, arah dan kualitas dari perilaku mata. Ada yang
menilai bahwa gerakan mata adalah pencerminan isi hati seseorang.
Mark Knapp dalam risetnya menemukan empat fungsi utama gerakan
mata, yakni:
1. Untuk memperoleh umpan balik dari seorang lawan bicaranya.
Misalnya dengan mengucapkan bagaimana pendapat Anda tentang hal
itu?.
2. Untuk menyatakan terbukanya saluran komunikasi dengan tibanya
waktu untuk bicara.
3. Sebagai sinyal untuk menyalurkan hubungan, dimana kontak mata
akan meningkatkan frekuensi bagi orang yang saling memerlukan.
Sebaliknya orang yang merasa malu akan berusaha untuk menghindari
terjadinya kontak mata. Misalnya orang yang merasa bersalah atau
berutang akan menghindari orang yang bisa menagihnya.
4. Sebagai pengganti jarak fisik. Bagi orang yang berkunjung ke suatu
pesta, tetapi tidak sempat berdekatan karena banyaknya pengunjung,
maka melalui kontak mata mereka dapat mengatasi jarak pemisah yang
ada. Dari berbagai studi yang pernah dilakukan oleh para ahli psikologi
tentang gerakan mata, disimpulkan bahwa bila seorang tertarik pada
suatu obyek tertentu, maka pandangannya akan terarah pada obyek itu
tanpa putus dalam waktu yang relatif lama, dengan bola mata
cenderung menjadi besar.
c. Sentuhan (Touching)
Sentuhan atau touch secara formal dikenal sebagai haptics, sentuhan ialah
menempatkan bagian dari tubuh dalam kontak dengan sesuatu. Ini merupakan
bentuk pertama dari komunikasi nonverbal yang kita alami. Bagi seorang balita,
sentuhan merupakan alat utama untuk menerima pesan-pesan mengenai kasih
sayang dan kenyamanan. Perilaku menyentuh merupakan aspek fundamental
komunikasi nonverbal pada umumnya dan mengenai perkenalan diri atau self-
presentation pada khususnya. Kita gunakan tangan kita, lengan kita dan bagian-
bagian tubuh lainnya untuk menepuk, merangkul, mencium, mencubit, memukul,
memegang, menggelitik dan memeluk. Melalui sentuhan, kita mengomunikasikan
Universitas Sumatera Utara
macam-macam emosi dan pesan. Dalam budaya Barat, orang berjabat tangan
untuk bergaul dan menunjukkan rasa hormat, menepuk seseorang di punggungnya
untuk memberi semangat, merangkul seseorang untuk menunjukkan kasih sayang,
bertepuk tangan sambil diangkat, menunjukkan solidaritas.
Menurut bentuknya sentuhan badan dibagi atas tiga macam (Cangara,
2006: 105) yakni :
1. Kinesthetic
Ialah isyarat yang ditunjukkan dengan bergandengan tangan satu sama
lain, sebagai simbol keakraban atau kemesraan.
2. Sociofugal
Ialah isyarat yang ditunjukkan dengan jabat tangan atau saling
merangkul. Umumnya orang Amerika dan Asia Timur dalam
menunjukkan persahabatan ditandai dengan jabat tangan, sedangkan
orang Arab dan Asia Selatan menunjukkan persahabatan lewat
sentuhan pundak atau berpelukan.
3. Thermal
Ialah syarat yang ditunjukkan dengan sentuhan badan yang terlalu
emosional sebagai tanda persahabatan yang begitu intim. Misalnya
menepuk punggung karena sudah lama tidak bertemu.
Gambar II.2
Contoh sentuhan (touching) Sumber: www.google.com
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.3
Contoh sentuhan (touching) Sumber: (DeVito, 2011 : 222)
d. Paralanguage
Ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara sehingga
penerima dapat memahami sesuatu di balik apa yang diucapkan. Misalnya
“Datanglah” bisa diartikan betul-betul mengundang kehadiran kita atau sekedar
basa-basi. Suatu kesalahpahaman seringkali terjadi kalau komunikasi berlangsung
dari etnik yang berbeda. Suara yang bertekanan besar bisa disalahartikan oleh
etnik tertentu sebagai perlakuan kasar, meski menurut kata hatinya tidak
demikian, sebab hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi etnik tersebut.
Ada pengendalian empat utama karakteristik vokal, yaitu (Budyatna,
2011):
1. Pola titinada
Pola titinada atau pitch merupakan tinggi atau rendahnya nada vokal.
Orang menaikkan atau menurunkan pola titinada vokal atau vocal pitch
dan mengubah volume suara untuk mempertegas gagasan,
menunjukkan pertanyaan dan memperlihatkan kegugupan.
2. Volume
Volume merupakan kerasnya atau lembutnya nada.
3. Kecepatan
Kecepatan atau rate mengacu kepada kecepatan pada saat orang
berbicara.
Universitas Sumatera Utara
4. Kualitas
Kualitas merupakan bunyi dari suara seseorang.
e. Diam
Berbeda dengan tekanan suara, maka sikap diam juga sebagai kode
nonverbal yang mempunyai arti. Max Picard menyatakan bahwa diam tidak
semata-mata mengandung arti bersikap negatif, tetapi bisa juga melambangkan
sikap positif.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, sikap berdiam diri sangat sulit untuk
diterka, apakah orang itu malu, cemas atau marah. Banyak orang mengambil sikap
diam karena tidak mau menyatakan sesuatu yang menyakitkan orang lain,
misalnya menyatakan “Tidak.” Tetapi dengan bersikap diam, juga dapat
menyebabkan orang bersikap ragu. Karena itu diam tidak selamanya berarti
menolak sesuatu, tetapi juga tidak berarti menerima. Mengambil sikap diam
karena ingin menyimpan kerahasiaan sesuatu.
Untuk memahami sikap diam, kita perlu belajar terhadap budaya atau
kebiasaan-kebiasaan seseorang. Pada suku-suku tertentu ada kebiasaan tidak
senang menyatakan “Tidak” tetapi juga tidak berarti “Ya.” Diam adalah perilaku
komunikasi sekarang ini makin banyak dilakukan oleh orang-orang yang bersikap
netral dan mau aman.
f. Postur tubuh
Orang lahir ditakdirkan dengan berbagai bentuk tubuh. Well dan Siegel
(dalam Cangara, 2006: 106-107) dua orang ahli psikologi melalui studi yang
mereka lakukan, berhasil menggambarkan bentuk-bentuk tubuh manusia dengan
karakternya. Kedua ahli ini membagi bentuk tubuh atas tiga tipe, yakni
ectomorphy bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh kurus tinggi, mesomorphy
bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh tegap, tinggi dan atletis, dan
endomorphy bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh pendek, bulat dan gemuk.
Pada tubuh yang bertipe ectomorphy dilambangkan sebagai orang yang
punya sikap ambisi, pintar, kritis dan sedikit cemas. Bagi mereka yang tergolong
bertubuh mesomorphy dilambangkan sebagai pribadi yang cerdas, bersahabat,
aktif dan kompetitif, sedangkan tubuh yang bertipe endomorphy digambarkan
sebagai pribadi yang humoris, santai dan cerdik.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.4
Tipe Postur Tubuh Sumber: (DeVito 2011 : 211)
g. Kedekatan dan Ruang (proximity and spatial)
Proximity adalah kode nonverbal yang menunjukkan kedekatan dari dua
obyek yang mengandung arti. Proximity dapat dibedakan atas territoryatau zone.
Edwart T. Hall (dalam Cangara, 2006: 107-108) membagi kedekatan menurut
territory atas empat macam, yaitu :
1. Wilayah intim (rahasia), yakni kedekatan yang berjarak antara 3-18
inchi.
2. Wilayah pribadi, ialah kedekatan yang berjarak anatar 18 inchi hingga 4
kaki.
3. Wilayah sosial, ialah kedekatan yang berjarak antara 4 sampai 12 kaki.
4. Wilayah umum (publik), ialah kedekatan yang berjarak antara 4 sampai
12 kaki atau sampai suara kita terdengar dalam jarak 25 kaki.
Selain kedekatan dari segi territory, ada juga beberapa ahli melihat dari
sudut ruang dan posisi, misalnya posisi meja dan tempat duduk. Sommer (dalam
Cangara, 2006: 108) dalam bukunya Leadership and Group Geography
menemukan, bahwa para pemimpin yang duduk di depan meja segi empat persegi
panjang, cenderung dipilih sebagai pimpinan kelompok, sedangkan Here dan
Bales (dalam Cangara, 2006: 108) menemukan bahwa orang yang banyak bicara
dalam rapat umumnya duduk pada posisi kursi yang lebih tinggi.
Hal yang mirip juga ditemukan oleh Flor (dalam Cangara, 2006: 109)
dalam risetnya, bahwa posisi meja para eksekutif pada suatu kantor senantiasa
cenderung pada posisi sudut ruang dibanding dengan karyawan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.5
Jarak Proksemik Sumber: (DeVito 2011 : 216)
h. Artifak dan Visualisasi
Hasil seni juga banyak memberi isyarat yang mengandung arti. Para
antropolog dan arkeolog sudah lama memberi perhatian terhadap benda-benda
yang digunakan oleh manusia dalam hidupnya, antara lain artifacts.
Artifak adalah hasil kerajinan manusia (seni), baik yang melekat pada diri
manusia maupun yang ditujukan untuk kepentingan umum. Artifak ini selain
dimaksudkan untuk kepentingan estetika, juga untuk menunjukkan status atau
identitas diri seseorang atau suatu bangsa. Misalnya baju, topi, pakaian dinas,
cincin, gelang, alat transportasi, alat rumah tangga, arsitektur, monumen, patung
dan sebagainya.
i. Warna
Warna juga memberi arti terhadap suatu obyek. Di Indonesia, warna hijau
seringkali diidentikkan dengan warna Partai Persatuan Pembangunan, kuning
sebagai Golongan Karya dan merah sebagai warna partai Demokrasi Indonesia.
Hampir semua bangsa di dunia memiliki arti tersendiri pada warna. Hal ini
dapat dilihat pada bendera nasional masing-masing, serta upacara-upacara ritual
lainnya yang sering dilambangkan dengan warna-warni.
j. Waktu
Ungkapan “Time is Money” membuktikan bahwa waktu itu sangat penting
bagi orang yang ingin maju. Karena itu orang yang sering menepati waktu dinilai
sebagai orang yang berpikiran modern. Waktu mempunyai arti tersendiri dalam
Universitas Sumatera Utara
kehidupan manusia. Bagi masyarakat tertentu, melakukan suatu pekerjaan
seringkali melihat waktu. Misalnya membangun rumah, menanam padi,
melaksanakan perkawinan, membeli sesuatu dan sebagainya.
Penggunaan waktu atau chronemics adalah cara lain untuk menyampaikan
pesan-pesan nonverbal. Terdapat beberapa aspek mengenai bagaimana kita
berpikir tentang dan menggunakan waktu yang mengandung kesan-kesan bagi
orang lain. Apakah anda yang memusatkan diri pada masa lalu, masa kini atau
masa yang akan datang?. Beberapa orang dan budaya kebanyakan berpikir
mengenai masa lalu sedangkan yang lainnya berpusat pada masa kini dan yang
lainnya lagi menekankan pada masa yang akan datang (Chen & Starosta, 1998
dalam Budyatna & Ganiem, 2011).
k. Bunyi
Kalau paralanguage dimaksudkan sebagai tekanan suara yang keluar dari
mulut untuk menjelaskan ucapan verbal, maka banyak bunyi-bunyian yang
dilakukan sebagai tanda isyarat yang dapat digolongkan sebagai paralanguage.
Misalnya bersiul, bertepuk tangan, bunyi terompet, letusan senjata, beduk, tambur,
sirine dan sebagainya.
Bunyi-bunyian seperti ini dimaksudkan untuk mengatasi jarak yang jauh
dan menyatakan perintah untuk kelompok orang banyak, misalnya dalam kesatuan
tentara, pandu dan sebagainya.
l. Bau
Bau juga menjadi kode nonverbal. Selain digunakan untuk melambangkan
status seperti kosmetik, bau juga dapat dijadikan sebagai petunjuk arah. Misalnya
posisi bangkai, bau karet terbakar dan semacamnya.
m. Gerakan wajah
Gerakan wajah mengomunikasikan macam-macam emosi selain juga
kualitas atau dimensi emosi. Kebanyakan periset sependapat dengan Paul Ekman,
Wallace V Friesen dan Phoebe Ellsworth (dalam DeVito, 2011) menyatakan
bahwa pesan wajah dapat mengomunikasikan sedikitnya “kelompok emosi”
berikut: kebahagiaan, keterkejutan, ketakutan, kemarahan, kesedihan dan
kemuakan/penghinaan. Periset nonverbal Dele Leathers mengemukakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
gerakan wajah mungkin juga mengomunikasikan kebingungan dan ketetapan hati
(DeVito, 2011: 208).
Gambar II.6
Contoh Ekspresi Wajah Sumber: www.google.com
Dalam komunikasi nonverbal banyak terdapat bentuk-bentuk komunikasi
nonverbal seperti kinesics berupa gerakan tubuh, paralanguage, proxemics yang
berkenaan dengan penggunaan ruang, territory, artifacts, physical appearance,
chronemics berkenaan dengan penggunaan waktu, dan olfactory communication
berkaitan dengan masalah penciuman (Verderber et al., dalam Budyatna dan
Ganiem, 2011).
• Budaya Maskulin dan Feminin
Budaya “maskulin” yang tinggi, pria dilihat sebagai orang yang tegas,
berorientasi kepada kesuksesan material, dan kuat; wanita dilihat sebagai yang
baik hati, berfokus kepada kualitas hidup, dan lemah lembut. Dalam budaya
“feminin” yang tinggi, kedua pria dan wanita baik hati, berorientasi untuk
mempertahankan kualitas hidup, dan lemah lembut.
Budaya maskulin memaksa kesuksesan dan mensosialisasikan masyarakat
mereka untuk menjadi tegas, ambisius, dan kompetitif. Anggota dari budaya
maskulin lebih suka untuk terlibat konflik secara langsung dan berkompetisi untuk
segala perbedaan. Budaya feminin memaksa kualitas hidup dan mensosialisasikan
masyarakat mereka untuk menjadi baik hati dan memaksa hubungan
antarpersonal. Anggota dari budaya feminin lebih suka untuk berkompromi dan
Universitas Sumatera Utara
bernegosiasi dalam menyelesaikan masalah; mereka lebih suka untuk mencari
win-win solutions(Arrindell, Steptoe, & Wardle, dalam DeVito, 2009: 39).
• Budaya Toleransi-Ambiguitas-Tinggi dan Toleransi-Ambiguitas-Rendah
Dalam beberapa budaya, orang-orang melakukan sedikit penolakan yang
tidak pasti, dan mereka punya sedikit kegelisahan tentang tidak mengetahui apa
yang akan terjadi selanjutnya. Pada beberapa budaya lainnya, bagaimanapun juga,
ketidakpastian ditolak secara keras dan lebih banyak kegelisahan tentang
ketidakpastian.
Budaya Toleransi-Ambiguitas-Tinggi Anggota budaya dengan toleransi
ambiguitas yang tinggi tidak merasa terancam oleh situasi yang tidak
pasti/diketahui; ketidakpastian adalah sebuah kenormalan dalam kehidupan, dan
orang-orang menerimanya jika hal tersebut muncul (Hofstede; Lustig & Koester,
dalam DeVito, 2009: 39).
Budaya Toleransi-Ambiguitas-Rendah Anggota-anggota dari budaya dengan
toleransi ambiguitas yang rendah melakukan lebih untuk menghindar dari
ketidakpastian dan punya masalah besar mengenai kegelisahan mengenai tidak
mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya; mereka melihat ketidakpastian
sebagai ancaman dan sebagai sesuatu yang musti dilawan. (Hofstede, dalam
DeVito, 2009: 39-40).
• Orientasi Kolektivis dan Individualis
Budaya juga berbeda dalam tingkatan dimana mereka meningkatkan nilai-
nilai individualis (sebagai contoh, kekuasaan/kekuatan, pencapaian, hedonisme,
dan rangsangan) melawan nilai-nilai kolektivis (sebagai contoh, tradisi dan
penyesuaian/kecocokan). Dalam sebuah budaya individual, anggota budaya
bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dan mungkin keluarga terdekat.
Dalam budaya kolektif, anggota budaya bertanggung jawab terhadap keseluruhan
kelompok.
Dalam budaya individualis, sukses diukur oleh keluasan, dimana kita
melewati anggota-angota suku yang lain. Kita akan berbangga dengan berdiri di
depan keramaian. Dalam budaya kolektifis, kesuksesan diukur dari kontribusi
Universitas Sumatera Utara
pada pencapaian sebuah kelompok masyarakat secara keseluruhan; kita akan
berbangga hati pada kesamaan dengan anggota kelompok masyarakat yang lain.
(Han & Shavitt, dalam DeVito, 2009: 40-41).
• Budaya Konteks-Tinggi dan-Rendah
Menurut Gudykunst & Ting Toomey; Gudykunst & Kim(dalam DeVito,
2009: 41) budaya konteks-tinggi adalah juga budaya kolektivis. Budaya konteks-
rendah adalah juga budaya individualis. Budaya ini menempatkan perhatian yang
kurang dalam informasi personal dan lebih menekankan verbal, penjelasan
eksplisit dan diatas kontrak tertulis dalam transaksi bisnis.
Anggota-anggota dari budaya konteks-tinggi menghabiskan banyak waktu
untuk mengenal satu sama lain antarpersonal dan antarmasyarakat sebelum
transaksi penting apapun dilakukan. Anggota budaya konteks-rendah
menghabiskan waktu yang lebih sedikit untuk mengenal satu sama lain, dan
karena itu, tidak mempunyai shared knowledge. Kepada anggota budaya konteks-
tinggi, apa yang dihilangkan atau diasumsikan adalah bagian vital dari transaksi
komunikasi. Menurut Basso (dalam DeVito, 2009: 41),diam, sebagai contoh
sangat bernilai tinggi. Untuk anggota budaya konteks-rendah, apa yang
dihilangkan menciptakan ambiguitas, tapi ambiguitas ini adalah sesuatu yang
sederhana yang akan hilang oleh komunikasi langsung dan eksplisit. Menurut
Gudykunst(dalam DeVito, 2009: 41) untuk anggota budaya konteks-tinggi,
ambiguitas adalah sesuatu yang dihindari; ini adalah tanda bahwa interaksi
personal dan sosial tidak terbukti cukup untuk menyusun informasi yang berbasis
sama.
II.2.3 Teori Pelanggaran Harapan
Teori Pelanggaran Harapan atau Expectancy Violations Theory (EVT)
pada mulanya disebut sebagai Teori Pelanggaran Harapan Nonverbal
(NonverbalExpectancy Violations Theory). Teori ini dikembangkan oleh Judee
Burgoon untuk memahami komunikasi nonverbal serta pengaruhnya terhadap
pesan-pesan dalam sebuah percakapan. Akan tetapi kemudian Burgoon
menghapus kata nonverbal karena sekarang teori ini juga mencakup isu-isu di luar
Universitas Sumatera Utara
area komunikasi nonverbal. Walaupun demikian, dari awal pembentukannya di
akhir 1970an, Teori Pelanggaran Harapan telah menjadi teori utama dalam
mengidentifikasi pengaruh komunikasi nonverbal terhadap perilaku.
Teori Pelanggaran Harapan (Expectancy Violations Theory—EVT),
menyatakan bahwaorang memiliki harapan mengenai perilaku nonverbal orang
lain. Burgoon berargumen bahwa perubahan tak terduga yang terjadi dalam jarak
perbincangan antara para komunikator dapat menimbulkan suatu perasaan yang
tidak nyaman atau bahkan rasa marah dan sering kali ambigu.
Tulisan awal Burgoon mengenai EVT mengintegrasikan kejadian-kejadian
khusus dari komunikasi nonverbal; yaitu, ruang personal dan harapan orang akan
jarak ketika perbincangan terjadi karena ruang personal merupakan konsep inti
dari teori ini (West dan Turner, 2009 : 154-155)
Hubungan Ruang
Ilmu yang mempelajari penggunaan ruang seseorang disebut sebagai
proksemik (proxemics). Proksemik membahas cara seseorang menggunakan ruang
dalam percakapan mereka dan juga persepsi orang lain akan penggunaan ruang.
Menurut Mark Knapp dan Judith Hall (dalam West dan Turner 2009) penggunaan
ruang seseorang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Penggunaan ruang dapat mempengaruhi makna dan pesan.
Ruang-ruang orang telah menarik minat peneliti untuk beberapa saat; Burgoon
memulai karya awalnya yang membahas EVT dengan mempelajari interpretasi
dari pelanggaran ruang.
Burgoon (dalam West dan Turner, 2009) mulai dari sebuah premis bahwa
manusia memiliki dua kebutuhan yang saling bertarung: afiliasi dan ruang pribadi.
Ruang personal (personal space), menurut Burgoon dapat didefenisikan sebagai
“sebuah ruang tidak kelihatan dan dapat berubah-ubah yang melingkupi
seseorang, yang menunjukkan jarak yang dipilih untuk diambil oleh seseorang
terhadap orang lain.” Burgoon dan peneliti Pelanggaran Harapan lainnya percaya
bahwa manusia senantiasa memiliki keinginan untuk dekat dengan orang lain,
tetapi juga menginginkan adanya jarak tertentu. Hal ini membingungkan, tetapi
merupakan dilema yang realistis bagi kita. Sedikit orang dapat hidup dalam
Universitas Sumatera Utara
keterasingan, dan walaupun demikian seringkali orang-orang membutuhkan
privasi.
- Zona Proksemik
Teori Pelanggaran Harapan Burgoon banyak dipengaruhi oleh karya-karya
dari seorang antropolog Edward Hall (dalam West dan Turner, 2009). Setelah
mempelajari tentang orang-orang Amerika Utara (di daerah Timur Laut), Hall
mengklaim bahwa terdapat empat zona proksemik, yaitu:
1. Jarak intim, zona ini mencakup perilaku yang ada pada jarak antara 0
sampai 18 inci (46 sentimeter). Hall (dalam West dan Turner, 2009)
mengamati bahwa perilaku-perilaku ini termasuk perilaku
yangbervariasi mulai dari sentuhan (misalnya, berhubungan intim)
hingga mengamati bentuk wajah seseorang. Bisikan yang biasanya
digunakan dalam kisaran jarak intim (intimate distance) ini dapat
menjadi sangat berpengaruh. Hall menganggapnya sebagai suatu hal
yang menarik bahwa ketika warga Amerika Serikat sedang berada
dalam suasana dan lingkungan yang intim tetapi sedang tidak bersama
pasangan yang dekat dengan mereka, mereka seringkali berusaha
untuk menciptakan pengalaman yang tidak intim.
2. Jarak personal, zona spasial yang berkisar antara 18 inci sampai 4 kaki,
digunakan untuk keluarga dan teman. Menurut Hall (dalam West dan
Turner 2009), perilaku dalam jarak personal (personal distance)
termasuk bergandengan tangan hingga menjaga jarak dengan
seseorang sejauh panjang lengan.
3. Jarak sosial, zona spasial yang berkisar antara 4-12 kaki, digunakan
untuk hubungan-hubungan yang formal seperti hubungan dengan rekan
sekerja. Hall (dalam West dan Turner, 2009) menyatakan bahwa jarak
sosial yang terdekat biasanya digunakan di dalam latar sosial yang
kasual, contohnya pesta koktail. Walaupun jarak ini tampaknya sedikit
jauh, Hall mengingatkan kita bahwa kita masih dapat melihat tekstur
rambut dan kulit pada fase dekat dari kategori ini. Fase yang jauh
biasanya dikaitkan dengan orang yang harus berbicara lebih keras
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan dengan mereka yang ada di dalam fase dekat. Selain itu,
fase jauh dapat dianggap sebagai fase yang lebih formal dari fase
dekat. Fase jauh dari jarak sosial memungkinkan seseorang untuk
menjalankan berbagai pekerjaan sekaligus.
4. Jarak publik, zona spasial yang berjarak 12 kaki atau lebih dan
digunakan untuk diskusi yang sangat formal seperti antara seorang
dosen dan mahasiswa di dalam kelas.
- Kewilayahan
Kewilayahan (territoriality) adalah kepemilikan seseorang akan sebuah
area atau benda. Menurut Altman, Lyman & Scott (dalam West dan Turner, 2009:
157). Ada tiga jenis wilayah: primer, skunder dan publik. Wilayah primer
(primary territories) merupakan wilayah eksklusif seseorang. Contohnya, ruang
kerja seseorang atau komputer adalah wilayah primer. Wilayah sekunder
(secondary territories) menunjukkan hubungan personal seseorang dengan sebuah
area atau benda. Contohnya, banyak mahasiswa pascasarjana merasakan bahwa
perpustakaan kampus adalah wilayah sekunder mereka. Wilayah publik (public
territories) tidak melibatkan suatu afiliasi personal dan termasuk area-area yang
terbuka bagi semua orang—misalnya, pantai, taman, bioskop dan transportasi
umum.
Kewilayahan seringkali diikuti dengan pencegahan dan reaksi (Knapp &
Hall, dalam West dan Turner, 2009). Maksudnya, orang akan berusaha untuk
mencegah anda memasuki wilayah mereka atau akan memberikan respon begitu
wilayah mereka dilanggar. Beberapa geng menggunakan penanda wilayah untuk
mencegah geng lain melanggar wilayah kekuasaan mereka. Knapp & Hall melihat
bahwa jika suatu pencegahan tidak berfungsi dalam mempertahankan wilayah
seseorang, orang itu mungkin akan bereaksi dengan cara tertentu, termasuk
menjadi tertantang secara fisik maupun kognitif. Singkatnya, manusia biasanya
menandai wilayah mereka dengan empat cara: menandai (menandai wilayah kita),
melabeli (memberikan simbol untuk identifikasi), menggunakan tanda atau
gambar yang mengancam (menunjukkan penampilan dan perilaku yang agresif)
dan meduduki (mengambil tempat terlebih dahulu dan tinggal di sana untuk waktu
Universitas Sumatera Utara
yang paling lama dari orang lain) (Knapp, dalam West dan Turner, 2009: 157-
158).
Gambar II.7
Contoh Kewilayahan Sumber: (DeVito 2011 : 220)
Asumsi Teori Pelanggaran Harapan
Teori Pelanggaran Harapan berakar pada bagaimana pesan-pesan
ditampilkan pada orang lain dan jenis-jenis perilaku yang dipilih orang lain dalam
sebuah percakapan. Selain itu, terdapat tiga asumsi yang menuntun teori ini (West
dan Turner, 2009 : 158):
• Harapan mendorong terjadinya interaksi antarmanusia
• Harapan terhadap perilaku manusia dipelajari
• Orang membuat prediksi mengenai perilaku nonverbal
Asumsi pertama menyatakan bahwa orang memiliki harapan dalam
interaksinya dengan orang lain. Dengan kata lain, harapan mendorong terjadinya
interaksi. Harapan (expectancy) dapat diartikan sebagai pemikiran dan perilaku
yang diantisipasi dan disetujui dalam percakapan dengan orang lain. Judee
Burgoon dan Jerold Hale (dalam West dan Turner, 2009) menyatakan bahwa ada
dua jenis harapan: prainteraksional dan interaksional. Harapan prainteraksional
(pre-interaksional-expectatio) mencakup jenis pengetahuan dan keahlian
Universitas Sumatera Utara
interaksional yang dimiliki oleh komunikator sebelum ia memulai sebuah
percakapan. Harapan interaksional (interaksional expectation) merujuk pada
kemampuan seseorang untuk menjalankan interaksi itu sendiri. Kebanyakan orang
mengharapkan orang lain untuk menjaga jarak sewajarnya dalam sebuah
percakapan.
Hal ini menuntun kita pada asumsi EVT yang kedua—bahwa orang
mempelajari harapannya melalui budaya secara luas dan juga individu-individu
dalam budaya tersebut. Misalnya, di Amerika hubungan antara profesor dengan
mahasiswa didasari rasa hormat profesional.
Individu-individu dalam sebuah budaya juga berpengaruh dalam
mengomunikasikan harapan. Burgoon dan Hale (dalam West dan Turner, 2009)
menyatakan bahwa sangat penting bagi kita untuk memperhatikan perbedaan-
perbedaan berdasarkan pengetahuan awal kita mengenai orang lain, sejarah
hubungan kita dengan mereka dan observasi kita.
Asumsi yang ketiga terkait dengan prediksi yang dibuat oleh orang
mengenai komunikasi nonverbal. Pada titik ini, sangatlah penting untuk
menunjukkan sebuah pandangan yang terkandung dalam teori ini: orang membuat
prediksi mengenai perilaku nonverbal orang lain.
II.2.4 Teori Pengurangan Ketidakpastian
Teori Pengurangan Ketidakpastian dipelopori oleh Charles Berger dan
Richard Calabrese pada tahun 1975. Tujuan mereka dalam menyusun teori ini
adalah untuk menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi
ketidakpastian di antara orang asing yang tidak terlibat dalam pembicaraan satu
sama lain untuk pertama kali. Berger dan Calabrese yakin bahwa ketika orang
asing pertama kali bertemu, utamanya mereka tertarik untuk meningkatkan
prediktabilitas dalam usaha untuk memahami pengalaman komunikasi mereka.
Orang bertindak sebagai peneliti yang naif, dan Berges dan Calabrese berpikir
bahwa sebagai peneliti yang naif, kita termotivasi baik untuk memprediksi
maupun untuk menjelaskan apa yang terjadi dalam perjumpaan-perjumpaan awal.
Prediksi (prediction) dapat didefenisikan sebagai kemampuan untuk
memperkirakan pilihan-pilihan perilaku yang mungkin dipilih dari sejumlah
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan pilihan yang ada bagi diri sendiri atau bagi pasangan dalam suatu
hubungan. Penjelasan (explanation) merujuk kepada usaha untuk
menginterpretasikan makna dari tindakan yang dilakukan di masa lalu dari sebuah
hubungan. Dua konsep ini—prediksi dan penjelasan—menyusun dua subproses
utama dari pengurangan ketidakpastian.
Selain itu, Berger dan Calabrese menyatakan bahwa ketidakpastian
berhubungan dengan tujuh konsep lain yang berakar pada komunikasi dan
pengembangan hubungan: output verbal, kehangatan nonverbal (seperti nada
suara yang menyenangkan dan mencondongkan tubuh ke arah depan), pencarian
informasi (bertanya), pembukaan diri, resiprositas pembukaan diri, kesamaan dan
kesukaan. Tiap konsep ini bekerja bersama dengan lainnya sehingga partisipan
dapat mengurangi sebagian dari ketidakpastian mereka. Namun dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan konsep yang kedua yaitu kehangatan nonverbal.
Melalui aksioma dan teoromanya, URT (Uncertainty Reduction Theory)
mengemukakan sebuah pergerakan yang dinamis dari hubungan interpersonal
pada tahap-tahap awalnya. Teori ini telah digambarkan sebagai contoh berteori
secara orisinil dalam area komunikasi (Miller, 1981) karena teori ini
memperlihatkan konsep-konsep (seperti pencarian informasi, pembukaan diri)
yang secara khusus relevan terhadap mempelajari perilaku komunikasi (West dan
Turner, 2009: 173-176)
Teori Pengurangan Ketidakpastian adalah teori yang aksiomatik. Ini
berarti bahwa Berger dan Calabrese memulai dengan sekumpulan aksioma
(axioms) atau kebenaran yang ditarik dari penelitian yang sebelumnya. URT
mengemukakan adanya tujuh aksioma dan dua aksioma tambahan. Sedangkan
dalam penelitian ini, aksioma yang berkaitan dengan topik penelitian adalah
aksioma yang kedua, yaitu “Ketika ekspresi afiliatif nonverbal meningkat, tingkat
ketidakpastian menurun dalam situasi interaksi awal. Selain itu, penurunan tingkat
ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan keekspresifan afiliatif nonverbal.
Hal ini merupakan salah satu hubungan yang bersifat negatif.” (West dan Turner,
2009: 179)
Universitas Sumatera Utara
II.2.5 Teori Kebohongan
David Buller dari AMC Cancer Research Center, Denver dan Judee
Burgoon dari University of Arizona, telah melakukan lebih dari selusin percobaan
dimana mereka meminta kepada partisipan untuk membohongi orang lain. Para
peneliti ini menerangkan bahwa orang sering kali menemukan diri mereka dalam
situasi dimana mereka membuat pernyataan yang kurang jujur guna menghindar
dari melukai perasaan atau menyerang orang lain, untuk menampilkan kualitas
terbaik mereka, untuk menghindar terlibat dalam suatu konflik, atau untuk
mempercepat atau memperlambat suatu hubungan (David Buller et al., dalam
Budyatna, 2011).
Dalam hal ini dapat dilihat dari contoh kasus di bawah ini:
Anda telah berkencan dengan Pat selama hampir tiga tahun dan merasa
sangat dekat dalam hubungan Anda tersebut. Pat kuliah di kota yang
berbeda dan keduanya setuju untuk bisa berkencan dengan orang lain.
Namun demikian, Pat orangnya sangat besar cemburunya dan suka
menguasai. Selama kuliah Anda hanya mengunjungi Pat sekali-sekali
tetapi saling menelepon setiap hari Minggu dan berbicara di telepon
berjam-jam lamanya. Pada hari Jumat salah seorang teman Anda
mengundang Anda untuk pergi ke pesta malam minggu, tetapi pesta itu
mengisyaratkan harus dengan pasangan, makanya Anda perlu berkencan
dengan wanita lain untuk diajak ke pesta. Tidak mungkin Pat bisa datang
selama libur ke tempat Anda. Anda memutuskan untuk mengajak teman
sekelas yang Anda juga tertarik padanya sehingga Anda bisa pergi ke
pesta. Anda berdua pergi ke pesta dan sangat menikmati pesta itu. Pada
Minggu sore, ada yang mengetuk pintu kamar Anda dan ternyata Pat. Ia
masuk dan berkata “Saya memutuskan untuk datang dan mengejutkan
kamu. Saya telah menelepon kamu tadi malam, tetapi HP kamu tidak aktif.
Apa yang sedang kamu lakukan tadi malam?” (Steven McCornack, 1992).
Buller dan Burgoon membicarakan tiga tipe respon yang Anda akan
berikan jika Anda memutuskan untuk tidak menceritakan hal yang sebenarnya.
Pertama, Anda dapat berbohong: “Saya sedang di perpustakaan mempersiapkan
Universitas Sumatera Utara
ujian teori komunikasi.” Kedua, Anda dapat menceritakan hanya sebagian
kebenaran dengan membuang bagian-bagian yang penting: “Saya pergi ke pesta di
apartemen seorang teman.” Ketiga, Anda bisa dengan sengaja memberikan
jawaban yang samar-samar atau bersifat mengelak: “Saya lagi keluar sebentar.”
Menurut petunjuk pihak lain yang mempelajari kebohongan verbal, Buller
dan Burgoon menamakan tiga strategi dengan label falsifikasi, dan dalih atau
falsification, concealment and equivocation. Beda ketiganya ialah bahwa
falsifikasi menciptakan khayalan, menyembunyikan sebuah rahasia, dan dalih
mengelak atau menghindar dari masalah itu. Ketiganya itu berada dalam payung
mengenai konsep kebohongan atau concept of deception, dimana Buller dan
Burgoon mendefenisikan sebagai “sebuah pesan yang secara sadar disampaikan
oleh si pengirim untuk membantu menciptakan keyakinan atau kesimpulan palsu
pada diri penerima” (Buller and Burgoon, dalam Budyatna, 2011)
Granhag dan Stromwall (dalam Budyatna, 2011) membedakannya antara
falsifikasi, distorsi dan penyembunyian atau falsification, distortions and
concealments. Falsifikasi merupakan kebohongan total dimana segala sesuatu
yang diceritakan merupakan kebalikan daripada keadaan yang sebenarnya.
Distorsi berangkat dari kebenaran tetapi kurang lebih telah diubah agar sesuai
dengan tujuan orang yang berbohong dan dalam kategori ini sering mendapat hal-
hal yang berlebihan. Penyembunyian, dimana si pembohong mengatakan tidak
tahu walaupun ia tahu atau ia mengatakan tidak ingat walaupun ia ingat, yakni ia
dapat menyembunyikan kebenaran. Menurut kedua penulis ini apa yang
dikemukakan di atas merupakan kebohongan yang serius dan bukan merupakan
kebohongan sosial atau social lies atau dinamakan juga kebohongan yang putih
atau white lies yang kebanyakan orang mengatakannya dalam kehidupan sehari-
hari baik ditujukan kepada orang lain atau kepada dirinya sendiri. Misalnya, “Ah,
bagus amat gaya rambut Anda,” “Hari ini Anda kelihatan cantik,” dan yang
ditujukan kepada diri sendiri: “Saya tidak pernah berkhayal mengenai orang lain.”
Kembali kepada kasus Pat dengan kekasihnya. Apakah Pat dapat melihat
kebohongan itu?. Teori kebohongan antarpribadi mengatakan tidak. Walaupun
kebanyakan orang yakin mereka bisa melihat kebohongan itu, adalah sangat
diragukan bahwa mitra romantis yang pencemburu merupakan kekecualian
Universitas Sumatera Utara
(Gerald Miller & James Stiff, dalam Budyatna, 2011). Berangkat dari asumsi yang
populer bahwa komunikasi nonverbal sulit untuk berpura-pura, Pat agaknya akan
mengamati ekspresi wajah Anda dan mendengarkan nada suara Anda untuk
memperkuat atau melemahkan jawaban Anda. Kebijakan umum memberikan
pembenaran untuk menangkap isyarat-isyarat nonverbal bagi isyarat kebohongan.
Apabila orang tidak mau menatap langsung ke mata Anda, kita berasumsi bahwa
orang itu telah menyembunyikan sesuatu. Kita juga cenderung percaya bahwa
tertawa dengan gugup dan berbicara tergesa-gesa mencerminkan rasa takut
ketahuan dalam berbohong.
Meskipun pemikiran seperti ini merupakan hal yang umum dan wajar,
sejumlah besar penelitian mengenai kebohongan menunjukkan bahwa isyarat
nonverbal khusus ini bukan merupakan indikator yang dapat dipercaya mengenai
kebohongan (Miron Zuckerman & Robert Driver, dalam Budyatna, 2011). Orang
tertawanya tertekan atau tertawa kecil, orang yang bicaranya tergesa-gesa
berusaha menghindar dari kontak mata seperti halnya akan menceritakan
kebenaran seperti seseorang yang menampilkan isyarat-isyarat yang diterima
umum mengenai kesungguhan atau ketulusan hati. Ketika diadakan pengujian di
laboratorium jarang orang yang mencapai lebih dari 60% ketepatan dalam
kemampuannya menangkap kebohongan, sedangkan hanya secara kebetulan 50%
tingkat pendeteksian adalah umum. Jadi, agaknya bahwa Pat tidak akan pernah
tahu secara pasti apa yang Anda lakukan dan bagaimana perasaan Anda pada
malam minggu itu (E.M. Griffin, dalam Budyatna, 2011).
Keadaan menempatkan para ilmuwan yang tertarik pada komunikasi
antarpribadi dalam kebingungan sejauh mana asumsi, teori dan temuan terdahulu
mengenai kebohongan dapat menyamaratakan atau generalize bagi interaksi
sosial. Buller dan Burgoon percaya perspektif teori yang baru dijamin untuk
menjelaskan bagi kebohongan dan lebih luas lagi, komunikasi yang dapat
dipercaya dan yang tidak dapat dipercaya dalam konteks antarpribadi. Model itu
memberikan di dalamnya yang menggambarkan usaha mereka untuk
mengembangkan perspektif teoritis dimana faktor-faktor individual seperti tujuan,
motivasi, emosi dan kemampuan kognitif adalah perlu tetapi tidak merupakan
faktor-faktor yang cukup untuk memprediksi dan menerangkan topografi
Universitas Sumatera Utara
mengenai pertemuan antarpribadi yang mengandung kebohongan dan mengenai
hasilnya. Di dalamnya mereka melakukan pendekatan terhadap masalah secara
relasional, mempertimbangkan saling pertukaran mengenai kebohongan dari
perspektif diadik dan dialogik daripada perspektif monodik dan monologik.
Mereka mengakui sifat kerja sama mengenai episode kebohongan, seperti
tindakan-tindakan komunikasi dari mereka yang berinteraksi bukan hanya proses-
proses psikologi mereka, merupakan prasyarat bagi perilaku dan interpretasi.
Sebagai tambahan, persyaratan kognitif dan perilaku khusus yang menyertai
partisipasi aktif ikut diperhitungkan pula. Singkatnya, Buller dan Burgoon
menggabungkan prinsip-prinsip kebohongan dengan prinsip-prinsip komunikasi
antarpribadi.
Model yang telah kedua penulis ciptakan yaitu teori kebohongan
antarpribadi atau interpersonal deception theory (IDT) masih dalam tahap-tahap
perkembangan (Buller & Burgoon, Burgoon, Burgoon & Buller, dalam Budyatna,
2011). Nama teori tersebut menentukan kondisi lingkupnya yaitu interaksi
antarpribadi dimana keyakinan komunikator adalah jelas atau dipertanyakan.
Teori ini telah dikembangkan oleh Buller dan Burgoon dan penelitian-penelitian
yang dilakukan oleh pihak lain lebih dari dua setengah dekade ke dalam bidang
yang luas dari komunikasi antarpribadi, perilaku nonverbal, pemrosesan pesan,
kredibilitas dan kebohongan. Perspektif kedua penulis tersebut tidak menjauhkan
diri dari apa yang telah diketahui mengenai kebohongan.
Kebohongan atau deception didefenisikan sebagai pesan yang secara sadar
disampaikan oleh pengirim atau sender untuk membantu mengembangkan
keyakinan atau kesimpulan yang salah oleh penerima (Ekman and Knapp &
Comadena, dalam Budyatna, 2011). Lebih spesifiknya kebohongan terjadi apabila
para komunikator mengendalikan informasi berisikan pesan-pesan mereka untuk
menyampaikan sebuah makna yang menyimpang dari kebenaran sebagaimana
mereka mengetahui atau menyadarinya. Ini berarti menyampingkan kesalahan
atau kebohongan yang tidak dimaksudkan. Mitra penerima mengenai kebohongan
yaitu pengirim dirasakan sebagai berbohong atau mencurigakan. Kecurigaan atau
suspicion mengacu kepada keyakinan yang dianut tanpa bukti yang cukup untuk
menjamin kepastian, bahwa ucapan atau tindakan seseorang dapat ditandai
Universitas Sumatera Utara
sebagai bermuka dua. Kecurigaan terletak di antara kebenaran dan kebohongan,
yakni penerima yang curiga tidak merasa pasti apakah pengirim pesan
menceritakan hal yang benar atau bohong. Sebagaimana pendekatan para
penerima apakah ekstrem mengenai kepastian, ketidakpastian memberi jalan bagi
kepastian yang baik dan kecurigaan menjadi berubah ke dalam keyakinan yang
mantap tentang kebenaran pengirim, yaitu, penerima “tahu” pengirim adalah jujur
atau bohong.
II.3 Kerangka Pemikiran
Pada dasarnya kerangka berpikir (framework of thinking) sama dengan
kerangka teoritis (theoritical framework). Menurut Uma Sekaran dalam bukunya
yang berjudul Research Methods for Business (2000) mengatakan bahwa,
kerangka berpikir dapat diartikan sebagai model konseptual mengenai bagaimana
teori berhubungan dengan berbagai faktor atau variabel yang telah dikenali
(diidentifikasi) sebagai masalah yang penting sekali. Penentuan dari suatu variabel
atau faktor dipertimbangkan untuk diteliti, karena merupakan salah satu penyebab
timbulnya masalah, benar-benar didasarkan pada teori yang relevan.
Kerangka berpikir akan menjelaskan secara teoritis antar variabel yang
sudah diputuskan untuk diteliti khususnya hubungan antar variabel bebas
(independent) dan variabel tak bebas (dependent) (Supranto, 2003 : 324).
Kerangka Pemikiran:
Teori Pelanggaran
Harapan
Teori Kebudayaan
Komunikasi Nonverbal Dosen
Teori Pengurangan
Ketidakpastian
Teori Kebohongan
persepsi mahasiswa tentang gambaran
komunikasi nonverbal dosen
bentuk-bentuk komunikasi nonverbal
dosen
Universitas Sumatera Utara