33
12 BAB II KAJIAN PUSTAKA Dukacita dan kehilangan adalah respon emosional yang dialami manusia pada umumnya akibat kematian orang-orang yang dikasihinya. Kematian adalah fakta universal yang dialami oleh manusia di seluruh dunia, dan ketika menghadapi kenyataan tersebut manusia juga tidak dapat memisahkan diri dari kebudayaan di mana terdapat cara-cara yang unik untuk berkabung sesuai dengan adat dan ritual masing-masing. Istilah dukacita dan kehilangan telah banyak digunakan oleh para ahli yang melakukan penelitian indigenous pada suatu masyarakat tertentu dengan keunikan budayanya masing-masing. Pada bagian ini akan dipaparkan deskripsi umum mengenai beberapa konsep yang menjadi acuan dalam penelitian yang akan dilaksanakan. Adapun konsep-konsep yang akan digunakan yaitu pengertian dukacita dan kehilangan, sifat utama duka cita, faktor-faktor yang mempengaruhi dukacita, gejala-gejala utama proses dukacita, tugas proses berduka, kompleksitas kedukaan, ritual Ma’nenek serta aspek-aspeknya. A. Dukacita dan Kehilangan 1. Pengertian dukacita dan kehilangan Dukacita (grief) adalah sebuah sistem perasaan, pikiran dan perilaku yang dipicu ketika seseorang diperhadapkan pada peristiwa kehilangan, yaitu kematian orang yang dikasihi (Jeffreys, 2005). Dukacita adalah sebuah respons yang muncul ketika seseorang merasa kehilangan. Attig (dalam Leming & Dickinson, 2006) mengatakan bahwa dukacita adalah kekuatan emosi yang sangat besar yang sering dipicu oleh kematian, terlebih khusus kematian orang yang dicintai.

BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Dukacita dan kehilangan adalah respon emosional yang dialami

manusia pada umumnya akibat kematian orang-orang yang dikasihinya.

Kematian adalah fakta universal yang dialami oleh manusia di seluruh dunia,

dan ketika menghadapi kenyataan tersebut manusia juga tidak dapat

memisahkan diri dari kebudayaan di mana terdapat cara-cara yang unik

untuk berkabung sesuai dengan adat dan ritual masing-masing. Istilah

dukacita dan kehilangan telah banyak digunakan oleh para ahli yang

melakukan penelitian indigenous pada suatu masyarakat tertentu dengan

keunikan budayanya masing-masing. Pada bagian ini akan dipaparkan

deskripsi umum mengenai beberapa konsep yang menjadi acuan dalam

penelitian yang akan dilaksanakan. Adapun konsep-konsep yang akan

digunakan yaitu pengertian dukacita dan kehilangan, sifat utama duka cita,

faktor-faktor yang mempengaruhi dukacita, gejala-gejala utama proses

dukacita, tugas proses berduka, kompleksitas kedukaan, ritual Ma’nenek

serta aspek-aspeknya.

A. Dukacita dan Kehilangan

1. Pengertian dukacita dan kehilangan

Dukacita (grief) adalah sebuah sistem perasaan, pikiran dan perilaku

yang dipicu ketika seseorang diperhadapkan pada peristiwa kehilangan, yaitu

kematian orang yang dikasihi (Jeffreys, 2005). Dukacita adalah sebuah

respons yang muncul ketika seseorang merasa kehilangan. Attig (dalam

Leming & Dickinson, 2006) mengatakan bahwa dukacita adalah kekuatan

emosi yang sangat besar yang sering dipicu oleh kematian, terlebih khusus

kematian orang yang dicintai.

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

13

Dukacita adalah emosi atau perasaan kehilangan yang dapat dialami

oleh semua orang saat kematian orang yang dicintai ataupun orang yang

dekat, misalnya keluarga, kekasih, atau sahabat; bahkan dapat juga saat

kehilangan barang yang dianggapnya sangat berharga (Helmer, 1975).

Dalam Wiryasaputra (2003) Webster’s Ninth New Collegiate

Dictionary kata Grief (kedukaan) didefenisikan sebagai penderitaan batin

yang sangat dalam akibat suatu peristiwa kehilangan. Sementara menurut

Sterling (2003), dukacita adalah respon terdalam setiap individu terhadap

peristiwa kehilangan.

Dukacita merupakan sebuah pengalaman universal dalam diri manusia

yang kompleks dan menimbulkan perilaku yang berbeda-beda sesuai dengan

budaya masyarakatnya. Dukacita mengacu pada emosi yang subjektif dan

afek yang merupakan respon normal terhadap kehilangan (Gibson, 2007).

Seseorang yang berduka tidak hanya melibatkan isi yakni apa yang

dipikirkan, dikatakan dan dirasakan individu tetapi juga proses bagaimana

individu berpikir, berkata dan merasa. Dukacita merupakan kesedihan

mendalam dan berkepanjangan yang selalu berkaitan langsung dengan

kehilangan seseorang yang dianggap penting, sangat berarti dan bernilai

(Hillers, 1992).

Dengan demikian dukacita adalah respon yang normal terhadap

kehilangan hubungan personal, status, tujuan, harga diri dan berbagai hal

penting lainnya. Dukacita merupakan reaksi pertahanan diri dan tanggapan

seseorang secara holistik atas peristiwa kehilangan yang sedang

dirasakannya, sebuah reaksi normal terhadap suatu peristiwa kehilangan atas

sesuatu yang berharga.

Kehilangan didefenisikan sebagai respon dukacita karena berpisah

dari seseorang yang sangat berarti, rasa sedih yang berkepanjangan sebagai

ekspresi dukacita bukan hanya oleh kematian tetapi juga kehilangan makna

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

14

secara mendalam karena ditinggal orang yang dikasihi (Max, 1997). Menurut

Scheineider (1984) kehilangan terkait erat dengan kenangan. Rasa

kehilangan merupakan suatu fenomena yang tidak mungkin dapat dipahami

secara langsung karena sifatnya unik, ekspresinya sangat tergantung pada

budaya dan struktur perasaannya tak terlukiskan. Selanjutnya, ia mengatakan

bahwa individu membangun hubungan dengan diri sendiri dan orang lain

melalui kehilangan: kehilangan orang yang dicintai, kehilangan diri sendiri

dan kehilangan masa lalu. Di sini kepribadian, subyektivitas dan

individualitas, proses di mana melaluinya individu sampai pada

mengenali/mengakui dirinya terpisah dan berbeda dari orang lain, dibentuk

di dalam dan melalui pengalaman kehilangan yang menyakitkan. Orang yang

mengalami rasa kehilangan sering kali ambivalen; tidak bisa menangis,

berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa bersalah

sebagai sebuah aspek kesedihan alami sampai ia benar-benar pulih. Reaksi

kesedihan sangat lama sehingga individu terlibat dalam berbagai cara

sebagai bentuk penyangkalan guna melindungi diri dari rasa kehilangan yang

melandanya. Persepsi dan reaksi atas kehilangan sangat unik dan sifatnya

individual (Sterling, 2003). Marrone (1997, p.23) mengatakan “You can’t

have grief without loss”.

Dukacita dan kehilangan adalah ekspresi perasaan mendalam yang tak

terpisahkan karena setiap kehilangan pasti menyebabkan dukacita (grief).

Itulah sebabnya setiap orang takut menghadapi kematian (Adam, 1999).

Hal tersebut nampak juga dari pandangan Cowles dan Rodgers (1991), yang

menggambarkan duka cita sebagai kesedihan panjang dan mendalam

disebabkan oleh kehilangan seseorang yang dicintainya (misal kematian):

1. Duka cita dilihat sebagai suatu keadaan yang dinamis dan selalu

berubah-ubah. Duka cita tidak berbanding lurus dengan keadaan

emosi, pikiran maupun perilaku seseorang. Duka cita adalah suatu

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

15

proses yang ditandai dengan beberapa tahapan atau bagian dari

aktivitas untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu : (1) menolak

(denial); (2) marah (anger); (3) tawar-menawar (bargaining); (4)

depresi (depression); dan (5) menerima (acceptance).Pekerjaan duka

cita terdiri dari berbagai tugas yang dihubungkan dengan situasi

ketika seseorang melewati dampak dan efek dari perasaan kehilangan

yang telah dialaminya. Duka cita berpotensi untuk berlangsung tanpa

batas waktu.

2. Pengalaman duka cita dan kehilangan bersifat individu dan

dipengaruhi oleh banyak faktor. Duka cita lebih dari sekedar tetesan

air mata, dimana ia memanifestasikan dirinya sendiri dalam

kesadaran, fisik, tingkah laku, jiwa, psikologis, dan kehidupan sosial

seseorang, seperti halnya perilaku emosional.

3. Duka cita bersifat normatif namun tidak ada kesepakatan universal

yang bisa menjelaskan sejauh mana kondisi normalnya.

Berdasarkan defenisi dan uraian tentang dukacita dan kehilangan di atas,

penulis menyimpulkan bahwa dukacita dan kehilangan adalah ekspresi

perasaan mendalam yang menyertai peristiwa kematian orang-orang terdekat

yang sangat berarti. Dukacita dan kehilangan merupakan reaksi emosi setiap

individu merespon kematian orang yang dikasihinya. Pengalaman kehilangan

dan dukacita adalah hal yang esensial dan normal dalam kehidupan manusia.

Membiarkan pergi, melepaskan dan terus melangkah menjalani kehidupan

ini, hanya dapat dilakukan oleh individu yang dapat mengekspresikan

perasaan kehilangan yang dialaminya.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

16

B. Sifat utama dukacita

1.Dukacita bersifat unik

Dukacita dapat terjadi pada orang yang sama, mengalami

peristiwa kehilangan yang sama namun kedalaman dukacitanya

berbeda. Perbedaan kedalaman itu dapat disebabkan oleh waktu,

kondisi dan situasi yang berbeda. Tidak ada kedukaan yang sama

sebab proses dukacita bukanlah merupakan sebuah proses garis lurus,

melainkan seperti seutas tali yang melingkar-lingkar (Wiryasaputra,

2003).

2.Dukacita bersifat holistik

Selain bersifat unik, khas, personal, situasional dan

kontekstual dukacita juga merupakan pengalaman yang bersifat

holistik. Dalam pandangan holistik ada empat aspek utama kehidupan

yang dipandang sebagai satu kesatuan utuh secara sinergistik, yakni:

fisik, mental, spiritual dan sosial. Kubler-Ross (1969) menjelaskan

bahwa aspek fisik berkaitan dengan tubuh manusia yang dapat dilihat

dan diraba atau disentuh. Inilah aspek somatis yang juga

berhubungan dengan makanan, pakaian, tempat tinggal, kebersihan

tubuh, lingkungan alam dan metabolisme tubuh. Sementara aspek

mental berhubungan dengan cara manusia dapat menghidupkan,

memberadakan dan membedakan dirinya. Dalam aspek ini manusia

menjadi pribadi yang otonom dan memiliki identitas diri. Aspek

mental berhubungan dengan pikiran, emosi (pikiran positif dan

negativ), motivasi, harga diri, integritas dan kreatifitas diri.

Sedangkan aspek spiritual memungkinkan manusia memiliki visi,

misi dan harapan yang jelas dalam hidup. Aspek tersebut

memungkinkan manusia tetap memberadakan dirinya sebagai

manusia dengan nilai-nilai leluhurnya. Yang terakhir adalah aspek

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

17

sosial yakni aspek yang berkaitan dengan hubungan antar manusia

dalam kelompok bermasyarakat.

Dalam hubungan dengan dukacita melalui keempat aspek

inilah manusia dikatakan manusia yang sinergik yaitu manusia yang

mampu bertumbuh melalui pengalaman kehilangan atas kematian.

Artinya manusia tidak mampu menghindar dari pengalaman dukanya,

melainkan harus masuk dan merangkul pengalaman dengan jiwa

yang terbuka.

Adapun gejala-gejala dukacita secara holistik berdasarkan

keempat aspek tersebut, menurut Wiryasaputra (2003) adalah sebagai

berikut:

a.Aspek fisik

Secara fisik umumnya muncul gejala-gejala seperti menangis,

mata menerawang, mati rasa, kesemutan, tubuh gemetaran, kalau

berjalan seperti melayang, tidak tenang, tubuh lemah, tenggorokan

terasa kering, dada sesak, kejang-kejang, nasfas pendek, pusing,

kadang terasa gatal-gatal, bisulan, perut nyeri atau mulas, diare, ingin

kencing terus, perut kembung, tidak dapat tidur dengan pulas, ngilu

di persendian, nafsu makan menurun atau bertambah dan nafsu sex

juga menurun.

b. Aspek mental

Biasanya muncul gejala-gejala seperti tidak dapat menerima

kenyataan (menyangkal, menolak) terkejut, sedih, bingung, gelisah,

pikiran kacau tidak teratur, kehilangan konsentrasi, selalu berpikir dan

merindukan yang hilang, mudah tersinggung, benci, marah, kecewa,

putus asa, batin tertekan, perasaan menyesal yang berlebihan, rasa

bersalah, merasa berdosa, merasa tidak berarti lagi, merasa sendiri atau

kesepian dan kadang muncul keinginan untuk bunuh diri.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

18

c. Aspek spiritual

Dalam aspek ini gejala yang nampak adalah gejala seperti rasa

berdosa, mempersalahkan Tuhan, marah pada Tuhan, tidak dapat

konsentrasi misalnya saat berdoa, membaca kitab suci, tidak berminat

mengikuti kegiatan keagamaan, merasa dikucilkan oleh kelompok

keagamaannya, tawar menawar dengan Tuhan.

d. Aspek sosial

Gejala dukacita yang nampak melalui aspek ini, antara lain suka

menyendiri, menarik diri, mengurung diri, selalu ingin menceritakan

tentang sesuatu atau seseorang yang hilang secara berlebihan, suka

mengunjungi makam atau tempat-tempat yang berhubungan dengan

orang atau sesuatu yang hilang, mempersalahkan, marah bahkan

membenci orang lain, bersikap kasar atau berlebihan dalam berbagai hal.

Peristiwa kehilangan juga sering menimbulkan perselisihan antara

anggota keluarga.

C. Proses dukacita dan aspek-aspeknya

Menurut Bowlby (1980) proses berduka akibat kehilangan memiliki

empat fase yaitu:

1. Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan

2. Tangisan dan kerinduan akibat kehilangan orang yang dicintai dan

memprotes kehilangan yang tetap ada

3. Kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan

dirinya sulit melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari

4. Reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat

mengembalikan hidupnya

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

19

Pandangan tersebut menegaskan kembali apa yang dikemukakan oleh

Kubler-Ross (1969) tentang bagaimana kehilangan mempengaruhi

kehidupan manusia. Lalu ia mendeskripsikan aspek dan tahap dukacita

sebagai suatu proses yang terdiri dari:

a.Tangisan dan kerinduan.

Kubler-Ross (1969) menyatakan bahwa tangisan sebagai bentuk

ketidak berdayaan seseorang dalam menanggung rasa yang terpendam dalam

hatinya. Dengan demikian menurutnya kematian hanya sekedar pemicu

meluapnya emosi kepermukaan dan lalu menyentuh rasa yang bersemayam

dalam hati manusia pada tahapan mencapai puncaknya maka secara otomatis

seseorang akan meluapkan emosi atau perasaannya yang tak sanggup lagi

menjadi bebannya, dalam bentuk tangisan.

Contohnya “Sejak kepergiannya serasa air mata ini tidak cukup

mengiringinya. Hanya linangan air mata yang setiap hari menghiasi hari-

hariku karena duka yang mendalam ini”.

Dari pernyataam ini terlihat jelas pandangan Kubler-Ross bahwa

menangis dalam kaitannya dengan kedukaan adalah gejala yang normal

dalam proses berduka dan merupakan tindakan manusiawi dalam

menghadapi kedukaan. Dengan menangis si penduka menumpahkan isi

hatinya, kepedihan batinnya dan semua yang menjadi bebannya

diungkapkan. Menangis dalam proses berduka merupakan ekspresi dari

kepedihan hati yang paling dalam.

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

20

b. Penolakan.

Kubler-Ross (1969) mengartikan penolakan terhadap kematian

sebagai sarana untuk mempertahankan diri secara psikologis dimana

seseorang yang mengalami atau merasakan kematian orang terdekatnya

berespons untuk tidak mau menerima atau mengakui keadaan sebenarnya

yang terjadi. Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami

kehilangan belum atau tidak mau mengakui atau menerima keadaan yang

sebenarnya. Penolakan merupakan suatu sarana untuk mempertahankan diri

secara psikologis.

Sebagai contok ekspresi penolakan dalam kedukaan dapat dilihat dari

pernyataan, “dia tidak mungkin meninggal, ini hanyalah sebuah mimpi

buruk”.

Dari pernyataan ini menunjukan bahwa seorang yang mengalami

kehilangan belum atau tidak mau mengakui atau menerima keadaan yang

sebenarnya. Sebagaimana Kubler-Ross (1969) dalam pandangannya

berkaitan juga dengan penolakan, dapat dikatakan bahwa penolakan

merupakan suatu sarana untuk mempertahankan diri secara psikologis.

c. Kemarahan.

Kubler-Ross (1969) mengartikan kemarahan sebagai suatu emosi

primer, alami, dan matang yang dialami oleh semua manusia pada suatu

waktu tertentu, dan merupakan sesuatu yang memiliki nilai fungsional untuk

kelangsungan hidup. Dengan demikian terhadap kematian, perasaan tersebut

muncul sebagai reaksi atas kehilangan. Pandangan ini dapat dilihat dari

pernyataan kedukaan yang diekspresikan lewat salah satu contoh pernyataan

wawancara

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

21

Contohnya, “Tuhan tidak adil, mengapa anakku yang masih sangat muda

harus menjadi korban kecelakaan itu”.

Perasaan itu muncul sebagai reaksi kehilangan. Kemarahan tersebut

dapat ditujukan pada orang lain (eksternal) dan dapat juga terhadap diri

sendiri (internal).

d. Putus asa.

Kubler-Ross (1969) menyatakan bahwa putus asa sebagai kondisi

kejiwaan yang mana seseorang merasa dan menganggap bahwa apa yang

diinginkan tidak akan tercapai atau kondisi batiniah yang menganggap

adanya kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang

dialaminya. Temuan di lapangan yang menunjukan respons putus asa

sebagai mana yang disampaikan oleh Kubler-Ross (1969), terlihat tewat

pernyataan

Contohnya, “Tak ada artinya saya hidup lagi karena suami yang

selama ini menjadi tumpuan harapan kami telah pergi”.

Dalam keputusasaan seseorang sama sekali tidak memiliki harapan.

Baginya hidup di masa kini dan masa depan adalah sesuatu yang gelap

gulita. Gejala putus asa ini akan semakin dalam bila penduka tidak dapat

menemukan teman atau orang lain yang bersedia mendampinginya pada

masa-masa sulit. Perasaan putus asa akan semakin membuat tidak berdaya

biasanya setelah upacara pemakaman. Semua anggota keluarga dekat,

kenalan dan tetangga sudah kembali ke tempat masing-masing. Padahal pada

saat itulah orang yang berduka sungguh-sungguh memerlukan orang yang

mendampinginya.

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

22

e. Rasa bersalah.

Kubler-Ross (1969) dalam tulisannya menyatakan bahwa Guilty

feeling/ perasaan bersalah adalah suatu kondisi emosional yang dihasilkan

dari pemahaman seseorang bahwa telah terjadinya perbuatan dan tindakan

penyimpangan standar moral. Lebih lanjut Kubler-Ross (1969) menyatakan

bahwa para ahli sepakat bahwa rasa bersalah ini bersumber dari kepedulian

yang tinggi individu terhadap standar moral yang berlaku bagi dirinya atau

berlaku dalam masyarakatnya. Temuan di lapangan yang menunjukan

respons rasa bersalah sebagai mana yang disampaikan oleh Kubler-Ross

(1969), tergambar dari pernyataan

Contohnya, “saya merasa bersalah karena tidak dapat melakukan

sesuatu untuk memperpanjang nyawa mama saya.

Setelah menyadari adanya kehilangan biasanya si penduka berbalik

pada diri sendiri. Menganggap dirinyalah yang paling bertanggungjawab atas

segala sesuatu yang telah terjadi.

f. Stres.

Kubler-Ross (1969) menyatakan bahwa, seseorang mengalami beban

yang berat tetapi orang tersebut tidak dapat mengatasi beban itu, maka tubuh

akan berespon dengan tidak mampu terhadap beban tersebut, sehingga orang

tersebut dapat mengalami stress. Respons atau tindakan ini termasuk respons

fisiologis dan psikologis.

Temuan di lapangan yang menunjukan respons stres sebagai mana

yang disampaikan oleh Kubler-Ross (1969), ditemukan lewat salah satu

pernyataan dari informan yang menyatakan,

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

23

Contohnya, “sejak dia pergi kepalaku tak berhenti sakit, maag juga

tidak sembuh-sembuh sekalipun sudah ditangani dokter”.

Dari pernyatan ini jelaslah konsep stres dalam kedukaan menurut

Kubler-Ross yakni, stres merupakan reaksi terhadap bahaya atau ancaman

yang ada. Dalam situasi tersebut sistem syaraf dan tubuh secara otomatis

memobilisasi energi untuk mengahadapi bahaya tersebut. Tidak jarang

peristiwa kehilangan akibat dukacita menimbulkan gejala-gejala fisik seperti

mati rasa, tubuh tidak berdaya, badan gemetaran, gangguan pencernaan,

gatal-gatal, pegal-pegal dan sebagainya.

g. Depresi.

Menurut Kubler-Ross (1969), depresi adalah gangguan mood,

kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental

(berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Pada umumnya mood

yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan

harapan. Depresi ditandai dengan perasaan sedih yang psikopatologis,

kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju

kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata sesudah

bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas.Temuan di lapangan yang

menunjukan respons depresi sebagai mana yang disampaikan oleh Kubler-

Ross (1969), ditemukan lewat salah satu pernyataan dari informan yang

menyatakan,

“saya benci diriku yang tak bisa menghentikan penyakitnya,

sehingga dia harus meninggal diusia muda”.

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

24

Seseorang yang mengalami depresi biasanya menyalahkan bahkan

membenci dirinya sendiri. Depresi adalah kemuraman hati (kepedihan,

kesenduan, keburaman perasaan). Orang yang mengalami depresi adalah

orang yang amat menderita.

h. Menerima kenyataan.

Kubler-Ross (1969), dalam tulisannya menyatakan bahwa menerima

kenyataan Adalah proses mencoba berdamai dengan diri sendiri dan pasrah

untuk menerima keadaan yang tak dapat ditolak terhadap keadaan yang

dialami oleh diri. bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas. Temuan di

lapangan yang menunjukan respons depresi sebagai mana yang disampaikan

oleh Kubler-Ross (1969), ditemukan lewat salah satu pernyataan dari

informan yang menyatakan,

Contohnya, “kepergiannya menyisakan dukacita yang teramat dalam

tetapi kami percaya pada penyertaan-Nya setiap saat bagi kami sekeluarga’’.

Inilah tahap terakhir dari proses berduka yang dapat juga disebut

sebagai titik akhir sejarah perjalanan kedukaan. Pada titik tersebut si

penduka telah siap memasuki babak baru kehidupannya sekalipun tanpa

orang yang dicintainya lagi.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

25

i. Harapan

Sekali pun di satu sisi, kematian orang-orang terdekat selalu

menyisakan kehilangan dan dukacita yang berkepanjangan, namun di sisi

lain dukacita merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia untuk

meringankan kehidupannya menghadapi kesedihan mendalam. Granger

(1978) mengatakan bahwa kedukaan adalah nafas manusia yang merupakan

gerakan yang simultan seperti ketika mengeluarkan udara yang kotor lalu

kemudian menghirup udara yang bersih. Ada nafas dalam, sebagaimana ada

duka yang dalam dan ringan (Rando, 1984). Hal tersebut nampak juga dari

pandangan tentang pentingnya proses berduka bagi setiap individu yang

mengalami kehilangan karena setelah itu mereka akan dengan harapan-

harapanbaru. Hal tersebut nampak antara lain dari ungkapan

Contohnya “berharap setelah kepergiannya hidup kami lebih baik

dan semakin mandiri dalam segala hal”.

D.Tugas poses berduka

Tugas dalam proses berduka diuraikan oleh Rando (1984) sebagai

berikut:

1. Memutus ikatan psikososial terhadap orang yang dicintai dan pada

akhirnya menciptakan ikatan baru

2. Menambah peran, keterampilan dan perilaku baru dan merevisi

peran, keterampilan dan perilaku yang lama menjadi “suatu identitas

dan kesadaran diri yang baru

3. Mengikuti gaya hidup yang sehat yang mencakup individu dan

aktivitas

4. Mengintekgrasikan kehilangan ke dalam kehidupan. Hal ini tidak

berarti akhir proses berduka telah dicapai tetapi “akomodasi” terjadi

saat realitas kehilangan diintegrasikan ke dalam kehidupan.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

26

Hal penting lainnya yang perlu mendapat perhatian sepanjang proses

dukacita adalah kompleksitas dukacita. Artinya apakah dukacita yang

dialamai seseorang itu tertunda atau terselesaikan.

E.Kompleksitas kedukaan

Menurut Wiryasaputra (2003) kompleksitas kedukaan meliputi:

a. Duka yang diselesaikan

Dalam kondisi ini penduka menyadari bahwa ia sedang

berduka, menerimanya sebagai pengalaman pribadi dan bersedia

mengekspresikan perasaan yang muncul. Sikap terbuka menerima

realitas adalah pintu masuk ke dalam proses penyembuhan.

b. Duka yang belum diselesaikan

Duka yang belum diselesaikan muncul sebagai konsekwensi

pilihan penduka. Ketika menekan perasaannya ia akan mengalami

duka yang tidak terselesaikan. Duka yang tidak terselesaikan tersebut,

terdiri dari tiga kategori, yaitu

a. Duka yang berkepanjangan

b. Duka yang ditunda

c. Duka yang tidak penuh

Selepas ditinggalkan, masa berduka dimulai. Duka cita mungkin akan

menjadi tidak sederhana meski seringkali dianggap hanya sebuah bentuk

pernyataan emosi. Orang yang ditinggalkan merasakan rindu kepada yang

telah meninggal dan berharap mereka akan hadir kembali. Benda atau

tempat-tempat tertentu barangkali akan mengingatkan kepada orang yang

meninggal dan merasa sedih lalu menangis. Kesunyian muncul seiring

dengan kekhawatiran bahwa rasa kehilangan bertahan seumur hidup

(Weisman,1974).

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

27

Videbeck (2008) menguraikan dimensi (respon) dan gejala individu yang

berduka sebagai beriku:

a. Respon kognitif : Gangguan asumsi dan keyakinan, mempertanyakan

dan berupaya menemukan makna kehilangan, berupaya

mempertahankan keberadaan orang yang meninggal.

b. Respon emosional: Marah, sedih, cemas, kebencian,merasa bersalah,

mati rasa, emosi yang berubah-ubah, penderitaan dan kesepian yang

berat, keinginan kuat untuk mengembalikan ikatan dengan individu

atau benda yang hilang, depresi, apapti, putus asa selama fase

disorganisasi dan keputusasaan. Saat fase reorganisasi muncul rasa

mandiri dan percaya diri.

c. Respon spiritual: Kecewa dan marah pada Tuhan, menderita karena

merasa ditinggalkan, tidak memiliki harapan dan kehilangan makna.

d. Respon perilaku : Melakukan fungsi secara “otomatis”, menangis

terisak atau tidak terkontrol, sangat gelisah, perilaku mencari,

iritabilitas dan sikap bermusuhan, mencari atau menghindari tempat

dan aktivitas yang dilakukan bersama orang yang telah meninggal,

menyimpan benda berharga orang yang telah meninggal padahal

ingin membuangnya. Mencari aktivitas dan refleksi selama fase

reorganisasi.

e. Respon fisiologis: Sakit kepala, insomnia, gangguan nafsu makan ,

berat badan turun, tidak bertenaga, palpitasi, gangguan pencernaan,

perubahan sistim imun dan endoktrin.

F.Faktor-faktor yang mempengaruhi dukacita

Menurut Bowlby (1980) manusia secara naluriah memperoleh dan

mempertahankan ikatan kasih sayang dengan orang terdekat melalui perilaku

kedekatan. Perilaku kedekatan ini sangat penting bagi perkembangan dan

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

28

kelangsungan hidup seseorang yang mengalami kehilangan. Perilaku yang

dilakukan untuk memperoleh dan mempertahankan kedekatan dapat

mencakup mengingat, mengikuti, berteriak, menangis dan meratap. Dalam

kehilangan perilaku kedekatan muncul dengan kuat sehingga gambaran

peningkatan ansietas, penderitaan, mencari individu yang hilang dilakukan

dalam upaya untuk mengembalikan ikatan kasih sayang yang telah hilang.

Berdasarkan pandangan di atas maka ritual ma’nenek dikaji melalui

pendekatan Psikologi Indigenous dengan harapan dapat mengetahui alasan

sesungguhnya yang mendasari perilaku dan mental orang Toraja yang

bersifat pribumi, tidak dibawa dari daerah lain, dan didesain untuk

masyarakatnya sendiri (Kim dan Berry, 1993). Pendekatan ini mendukung

pembahasan mengenai pengetahuan, keahlian, kepercayaan yang dimiliki

seseorang serta mengkajinya dalam bingkai kontekstual yang ada. Teori,

konsep, dan metodenya dikembangkan secara indigenous disesuaikan dengan

fenomena psikologi yang kontekstual. Sehingga dapat dihasilkan

pengetahuan yang lebih teliti, sistematis, bersifat universal dan secara teoritis

maupun empiris dapat dibuktikan tentang cara orang Toraja mengingat,

berteriak, menangis dan meratap pada saat ritual tersebut berlangsung dan

bagaimana mereka mempertahankan kelangsungan hidupnya setelah

ditinggalkan.

Menurut Wiryasaputra, (2003) ada beberapa faktor yang

mempengaruhi dukacita, yaitu:

a. Intensitas hubungan dengan yang hilang

Hal tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat kedalaman

guncangan emosi. Semakin signifikan peran orang yang hilang maka

respon kedukaan juga akan semakin dalam dan kompleks

b. Struktur kepribadian

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

29

Jika tipe kepribadian orang yang berduka tergantung pada orang yang

hilang maka respon dukacitanya akan sangat dalam bahkan

membuatnya tak berdaya. Sebaliknya, jika yang ditinggalkan adalah

tipe kepribadian yang mandiri dan kuat maka dukacita yang dialami

akan lebih ringan. Tidak semua orang yang berduka mengalami

depresi. Orang yang memandang kematian sebagai hal yang wajar

akan lebih mampu mengelola guncangan dukacita akibat kematian

yang dialami.

c. Sosio-Budaya Penduka

Untuk memahami kedukaan seseorang sangat penting untuk mengerti

iklim sosialnya sebab dukacita juga sangat dipengaruhi oleh sistem

sosial. Jika lingkungan sosial memahami seluk beluk kedukaan dan

menyediakan sarana pendukung kesembuhan pribadi maka penduka

dapat segera pulih. Sebaliknya, jika kondisi masyarakat lokal melihat

dukacita sebagai sesuatu yang negatif maka kedukaan dapat menjadi

patologis.

d. Nilai pribadi yang hilang

Dukacita tidak langsung disebabkan oleh individu yang hilang

melainkan karena nilai yang diberikan padanya. Semakin berharga

orang yang hilang akan semakin dalam duka yang ditimbulkannya.

e. Tingkat hubungan emosional

Semakin tinggi nilai yang diberikan kepada seseorang atau sesuatu

maka akan semakin dalam pula hubungan yang diciptakan.

Kedalaman kedukaan berbanding lurus dengan tingkat hubungan

emosional seseorang dengan objek yang hilang, maka akan semakin

kompleks dan berkepanjangan juga duka yang dialami. Sebaliknya,

semakin dangkal atau atau renggang hubungan emosional seseorang

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

30

dengan sesuatu atau seseorang yang hilang maka akan semakin

ringan dan sederhana duka yang dirasakan.

f. Kebudayaan dan adat istiadat

Pada dasarnya setiap kebudayaan telah memiliki perangkat untuk

menolong masyarakatnya dalam menghadapi dukacita khususnya

karena kehilangan orang-orang yang dikasihi. Pola pikir dan

kebiasaan yang dimiliki oleh orang yang berduka dalam relasi dengan

lingkungannya akan mempengaruhi cara mereka merespon

dukacitanya.

Rasa duka dan mencintai adalah dua perasaan emosi yang serupa yang

dialami seseorang. Jika seseorang sanggup untuk mencintai, maka seseorang

tersebut juga memiliki rasa duka. Setiap orang, bagaimana pun, memiliki

respon yang berbeda-beda dalam menghadapi kematian atau kehilangan.

Bagi orang-orang yang tidak terlalu dikenal, rasa duka ini hanya berlangsung

sebentar saja. Berbeda bila orang yang meninggal tersebut adalah seseorang

yang memiliki hubungan emosi yang dekat, maka dapat timbul rasa duka

yang sangat dalam (Tandjung, 1976).

G. Pendekatan Psikologi Indigenous

Karakteristik indigenous adalah sebuah pendekatan yang dapat

didefenisikan sebagai studi ilmiah tentang perilaku manusia yang asli,

dirancang khusus untuk masyarakat setempat yang menjadi subyek

penelitian sehingga budayanya dapat dipahami dalam bingkai acuannya

sendiri. Pendekatan ini penulis pilih setelah membaca beberapa literatur

tentang psikologi indigenous maupun hasil penelitian tentang keunikan

budaya di beberapa daerah di Indonesia. Menurut penulis, pendekatan

Indigenous tepat untuk menganalisis ritual ma’nenek yang merupakan

fenomena unik yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memelihara

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

31

tradisi ini. Cara mereka mengekspresikan dukacita dan apa makna tradisi ini

hanya dapat diketahui dan dirasakan oleh rumpun keluarga yang memelihara

tradisi ma’nenek. Berdasarkan observasi dan keikutsertaan dalam ritual dan

juga melalui wawancara dengan para partisipan akhirnya penulis dapat

mengambil kesimpulan tentang betapa pentingnya ritual ini bagi keluarga

yang berduka. Penulis sendiri sebagai orang Toraja sangat asing dengan

budaya ma’nenek karena tradisi ini tidak dikenal dalam keluarga penulis

sekali pun para tetangga bahkan rumpun keluarga terdekat melaksanakan

tradisi ini sejak dulu dari tahun ke tahun. Orang tua penulis bahkan sampai

saat ini belum pernah mengikuti ritual ma’nenek.

Psikologi Indigenous adalah suatu kajian ilmiah mengenai perilaku dan

mental manusia yang bersifat pribumi, tidak dibawa dari daerah lain, dan

didesain untuk masyarakatnya sendiri (Kim & Berry, 1993). Pendekatan ini

mendukung pembahasan mengenai pengetahuan, keahlian dan kepercayaan

yang dimiliki seseorang serta mengkajinya dalam bingkai kontekstual yang

ada. Teori, konsep, dan metodenya dikembangkan secara indigenous

disesuaikan dengan fenomena psikologi yang kontekstual. Tujuan utama dari

pendekatan psikologi Indigenous adalah untuk menghasilkan pengetahuan

yang lebih teliti, sistematis, bersifat universal dan secara teoritis maupun

empiris dapat dibuktikan (Kim, Yang dan Hwang, 2006).

Kemunculan psikologi indigenous tidak lepas dari kebimbangan-

kebimbangan peneliti psikologi dari Asia, yang belajar psikologi di Barat,

ketika mereka kembali dan mencoba untuk mengembangkan psikologi di

negaranya, mereka menjumpai banyak kesulitan dan mulai mempertanyakan

kembali validitas, universalitas, dan aplikabilitas dari teori-teori psikologi

(Kim, 2000). Para peneliti tersebut berkesimpulan bahwa setiap budaya

harus dipahami dari bingkai acuannya sendiri, termasuk konteks ekologi,

sejarah, filosofi, dan agama yang ada (Kim, Yang dan Hwang, 2006).

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

32

Pendekatan psikologi indigenous mempertanyakan konsep universalitas

dari teori-teori psikologi yang ada dan berusaha menemukan psikologi yang

universal dalam konteks sosial, budaya, dan ekologi (Kim dan Berry, 1993;

Kim, Yang, Huang (2006). Hal ini didukung dengan keterangan dari

Neuman (1995), yang menyatakan tentang sejumlah penelitian menyebutkan

bahwa teori-teori psikologi sebenarnya berkaitan dengan batasan budaya

(culture-bound), nilai-nilai daerah (value-laden) dan dengan validitas yang

terbatas. Psikologi Indigenous menyajikan suatu pendekatan dimana

muatannya (makna, nilai dan kepercayaan) bersifat kontekstual (keluarga,

sosial, budaya, dan ekologi) yang secara eksplisit menggabungkannya dalam

desain penelitian (Kim, Yang dan Hwang, 2006). Pendekatan psikologi

indigenous amat penting dilakukan di Indonesia yang terdiri dari beragam

suku dan budaya , sebagaimana pernyataan Kim dan Berry (1993, p.76)

berikut ini:

“Indigenuous psychologies can be defined as the scientific study of

human behaviour (or the mind) that is native, that is not transported from

other regions, and that is designed for its people.”

Kim, Yang dan Hwang (2006) mengidentifikasi sepuluh karakteristik

psikologi indigenous sebagai berikut:

1. Indigenous Psychology menekankan pada penelaan fenomena psikologis

dalam konteks keluarga

2. Indigenous Psychology dibutuhkan oleh semua kelompok-kelompok

kultural, pribumi, etnik termasuk negara-negara yang sedang

berkembang dan negara-negara maju.

3. Indigenous Psychology merupakan tradisi dari ilmu pengetahuan yang

salah satu aspek pentingnya adalah menemukan metode-metode yang

tepat untuk fenomena yang sedang diinvestigasi, oleh karenanya

dianjurkan untuk menggunakan berbagai metode.

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

33

4. Diasumsikan bahwa hanya orang pribumi atau orang dalam di sebuah

budaya yang dapat memahami fenomena indigenous dan kultural

sedangkan orang luar hanya dapat memiliki pengetahuan yang terbatas.

5. Dalam indigenous psychology peran para penelitilah yang mampu

menterjemahkan pengetahuan episodik menjadi bentuk-bentuk analitik

agar dapat diuji dan diverifikasi.

6. Indigenous psychology adalah bagian dari tradisi ilmiah yang berusaha

menemukan pengetahuan psikologis yang berakar pada konteks budaya.

7. Banyak pakar indigenous psychology yang mencari buku filsafat untuk

menjelaskan fenomena indigenous. Namun analisis-analisis tersebut

adalah filsafat spekulatif dan mereka masih harus didukung oleh bukti-

bukti empiris. Meskipun mereka telah memberi informasi dasar dan kaya

bagi pengembangan teori-teori formal, masih perlu diuji dan divalidasi

secara empiris.

8. Indigenous psychology diidentikkan sebagai bagian dari tradisi ilmu

budaya, dimana orang tidak sekedar bereaksi atau beradaptasi dengan

lingkungan, tetapi mereka juga mampu memahami dan mengubah

lingkungan, orang lain dan dirinya sendiri.

9. Indigenous psychology menganjurkan pengaitan antara humanitas

dengan ilmu-ilmu sosial sehingga dapat memberikan pengetahuan dan

insight yang berharga.

10. Dua titik awal penelitian dalam indigenous psychology yaitu

indigenization from without (melibatkan teori, konsep yang sudah ada

dan meodifikasinya agar cocok dengan budaya lokal) dan indigenization

from within (teori, konsep dan metodologi dikembangkan secara internal

dan informasi indigenous dianggap sebagai sumber utama pengetahuan.

Walaupun semua orang berduka ketika kehilangan orang yang dicintai,

namun ritual dan kebiasaan yang berkaitan dengan kematian bervariasi di

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

34

antara budaya. Setiap budaya mendefenisikan proses berduka dan

mengintegrasikan kehilangan ke dalam hidup dengan cara yang konsisten

dengan keyakinan mereka tentang kehidupan, kematian dan kehidupan

akhirat. Aspek pengalaman tertentu dapat dianggap lebih penting pada suatu

budaya, sedangkan pada budaya lain dianggap kurang penting (Shapiro,

1996). Hal ini nampak juga dalam ritual ma’nenek orang Toraja. Setelah

berlangsungnya pemakaman selama kurang lebih setahun mereka

merindukan suatu kesempatan untuk berkumpul bersama dimana mereka

dapat mengungkapkan dukacita dengan mengenang, menangis, meratap,

berteriak, menjemur dan membungkus tulang-tulang jenazah serta merawat

lingkungan sekitar pemakaman sebagai bentuk kasih sayang kepada keluarga

yang telah meninggal.

Psikologi Indigenous juga menekankan pada penelaan fenomena

psikologis dalam konteks keluarga. Diasumsikan bahwa hanya orang Toraja

yang melaksanakan ritual tersebut yang benar-benar mengerti dan merasakan

makna ritual bagi kelangsungan hidup mereka tanpa orang yang dikasihi

lagi. Sedangkan orang luar termasuk orang Toraja yang tidak

melaksanakannya hanya dapat memiliki pengetahuan yang terbatas.

H. Suku Toraja

Sebelum membahas tentang makna dan cara orang Toraja

mengekspresikan dukacita dan kehilangan melalui ritual ma’nenek, maka

terlebih dahulu penulis akan menguraikan secara singkat mengenai suku

Toraja serta konsepnya tentang kehidupan dan kematian.

Toraja berasal dari kata “tau raya” yang berarti “orang besar”, atau

“raja”, ; juga dari kata “To raa” dari kata to artinya “orang” sedangkan raa

artinya “murah hati”. Tana Toraja yang terletak sekitar 400 km di utara

Makassar, ibukota provinsi Sulawesi Selatan masih kerap diasosiasikan

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

35

dengan makna “tanah para raja”. Tana Toraja dikenal sebagai salah satu

tujuan wisata yang unik di Indonesia. Selain alamnya yang sejuk dan

berlembah, kebudayaan asli masyarakatnya menjadi daya tarik utama (The

Guide Magazine; Pemda Tana Toraja dan Toraja Utara).

Kebudayaan asli suku Toraja yang sampai saat ini masih dipegang kuat

adalah kebudayaan mengenai ritual berkabung/pemakaman yang disebut

dengan Rambu Solo’ dan ritual pengucapan syukur yang disebut Rambu

Tuka’ (upacara syukur). Rambu Solo’ merupakan ritual yang berasal dari

kepercayaan aluk to dolo (agama lokal) yang dulunya merupakan

kepercayaan suku Toraja. Ajaran aluk to dolo memiliki konsep tersendiri

tentang hidup dan mati, yaitu antara keduanya merupakan suatu

kesinambungan proses kehidupan.

Menurut Kobong (2009), makna kehidupan bagi orang Toraja adalah

menjalani siklus kehidupan itu sendiri artinya kembali kepada kehidupan

semula yang nyata, kehidupan di “seberang sana”. Sejak lahir bahkan

sebelum lahir setiap manusia sudah menggenggam potensi-potensi

kehidupan. Manusia terlahir ke dunia dengan tangan yang penuh potensi

yang harus dikembangkan dalam kerangka hidup bersama . Konsepsi orang

Toraja tentang kehidupan bersifat siklis artinya nilai-nilai kehidupan itu

berhubungan dengan keseluruhan siklus kehidupan yang terdiri atas

kelahiran, kehidupan dan kematian. Dari awal sampai akhir hingga yang

akhir itu kembali ke awal. Namun gerak siklis ini tidak dapat berulang tetapi

bersifat einmalig, berlangsung sekali saja. Pentingnya pelaksanaan ritus-ritus

orang mati bagi orang Toraja dijelaskannya melalui proses seperti berikut:

a. Kelahiran.

Setelah kelahiran seorang bayi plasentanya dikubur dibawah tangga di

sebelah timur rumah disertai doa agar ia secara fisik menjadi besar, semakin

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

36

bertumbuh dan semakin bijaksana sebagaimana pada pagi hari naik semakin

tinggi. Penanaman plasenta juga mempunyai arti agar bayi itu tidak akan

menjadi besar seperti seseorang yang plasentanya tidak ditanamkan, artinya

agar ia menjadi bijak dalam tutur katanya dan tidak mengucapkan hal-hal

yang bodoh. Orang berdoa memohon agar bayi itu tidak akan pernah

melupakan lamunan lolona (kampung halamannya dan terutama tongkonan -

rumah keluarga-nya) termasuk adat istiadatnya.

Seorang bayi yang baru lahir sudah membawa kerbaunya, babi, padi

dan kekayaan lainnya di dalam genggamannya dan ia akan mati pula

dengannya. Inilah dasar pemotongan hewan terutama kerbau pada upacara

kematian orang Toraja yang dikenal dengan Rambu Solo’. Di sini menjadi

jelas bahwa nilai-nilai yang paling disukai adalah kekayaan dan kedudukan

baik, yang disimbolkan dengan penanaman plasenta pada sebelah timur

rumah. Salah satu lagu untuk menidurkan (panglellenan= lullaby, ninabobo)

anak perempuan berbunyi: kasalle lao meurang, lobo’ mekabumbu (agar

kalau ia besar ia pergi menangkap udang di sawah) dan untuk anak laki-laki

berbunyi: Kasalle tang diada’, lobo’ papatu inaa; undoloi sangbara’mu,

untonda pada dadimmu (agar engkau menjadi besar dan dewasa melampaui

sebayamu dalam kekuatan dan kebijaksanaan).

Ritus pada kelahiran (misalnya penanaman plasenta) senantiasa

dikaitkan dengan harapan-harapan yang terkandung dalam lagu menidurkan

anak. Anak kecil ditempatkan dibawah pengawasan para dewa.

b.Kehidupan.

Dewasa berarti mencapai usia untuk dapat menikah. Pernikahan

dianggap sebagai sarana untuk mengembangkan dalle’ (nasib) seseorang .

Melalui pernikahan suami istri memperoleh keturunan artinya lolo tau

(manusia) serta peluang untuk memperoleh lolo patuoan ( hewan) dan lolo

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

37

tananan (tanaman). Karena semua nilai berhubungan dengan persekutuan

maka wajar jika anak-anak sering dijodohkan oleh orang tua bahkan oleh

keluarga besar mereka.

Pernikahan itu sendiri sudah ada dibawah pengawasan aluk yakni

alukna Rampanan Kapa’ (adat pernikahan). Selain itu diperlukan jaminan

untuk mengamankan pernikahan dari ketidaksetiaan (perceraian) yaitu kapa’

yakni jumlah denda (hukuman) yang harus dibayar oleh pihak yang bersalah

dalam kasus perceraian . Besarnya denda itu sudah ditentukan sebelumnya

menurut kedudukan dalam sistim tana’ (strata sosial). Rampanan Kapa’

memainkan peranan penting dalam kehidupan persekutuan bukan hanya

untuk mengembangkan dalle’ atau mendapatkan keturunan melainkan juga

untuk memelihara, mempererat atau memulihkan hubungan keluarga yang

rusak.

Sepasang suami istri secepat mungkin membangun rumah sendiri yang

menjadi awal tongkonan atau batu a’riri (biasanya untuk rakyat jelata dan

para budak), pusat bagi keturunan untuk mengamalkan kedamaian dan

harmoni di dalam kerangka persekutuan komunitas. Tongkonan itu

menjamin pelaksaan aluk dan adat terutama Aluk Rambu Solo’ (ARS) dan

Aluk Rambu Tuka’ (ART).

Tongkonan adalah persekutuan yang menjamin kebahagiaan di dalam

kehidupan ini tetapi lebih khusus untuk kehidupan di seberang sana.

Umpasundun aluk, menyempurnakan aluk merupakan kewajiban tongkonan

yaitu kewajiban seluruh anggota persekutuan yang berpusat pada tongkonan

itu. Jika seseorang tidak ingin kehilangan jati diri maka ia harus

mengidentifikasikan dirinya ke dalam tongkonan, sebab tongkonan adalah

jati diri sosial seorang Toraja. Itu berarti ia harus ikut berpartisipasi dalam

kewajiban-kewajiban terhadap tongkonan.

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

38

Sering orang muda bingung menghadapi sikap orang tua yang

mengaku tidak mampu membayar uang kuliah mereka tetapi menerima

beban yang sebenarnya tidak dapat ditanggung untuk ritus-ritus kematian

menurut semboyan umpaden tae’na (mengadakan yang tidak ada). Para

pemuda tidak memahami bahwa umpasundun aluk merupakan kewajiban

yang mau tidak mau harus dipenuhi untuk memperoleh kebahagiaan dalam

kehidupan kini dan disini bagi seluruh anggota persekutuan tetapi terlebih

bagi yang sudah meninggal yang baginya ritus-ritus itu diselenggarakan.

Nasib orang mati itu tergantung sepenuhnya pada pelaksanaan ritus,

sedangkan para pemuda itu masih mempunyai kesempatan untuk

mengembangkan dalle’ mereka.

c.Kematian

Menurut pemahaman orang Toraja maut hanyalah peralihan dari

kehidupan ini ke dimensi eksistensi yang lain. Peralihan ini merupakan fase

yang sangat menentukan bagi seluruh siklus kehidupan. Dalam fase ini

manusia kembali ke titik awal kehidupan . Ritus-ritus yang ditentukan untuk

peralihan ini sangat kompleks, tetapi struktur dasarnya senantiasa sama.

Ritus-ritus untuk orang mati ditentukan oleh status sosial si mati.

Kompleksitas ritus-ritus itu tidak menjadi masalah asal saja ketentuan-

ketentuannya ditaati. Satu-satunya persoalan adalah apakah keluarga

mempunyai harta yang dibutuhkan untuk melaksanakan ritus-ritus yang

ditentukan? Setelah ketentuan terpenuhi yang meninggal itu dapat kembali

ke dalam status semula dan menjadi leluhur yang didewakan atau makluk

ilahi.

Jika orang mati tidak dibalikan pesungna artinya jika ritus-ritus

kematian tidak dilaksanakan baginya ia akan terus-menerus mengganggu

atau mengutuki keturunannya. Tujuan akhir seluruh ritus-ritus kematian

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

39

adalah membali puang (kembali ke status ilahi, ke status semula), menjadi

dewa atau makluk ilahi. Kebahagiaan di dunia ini hanya merupakan bagian

pendahuluan dari kehidupan abadi. Dari situ munculnya pepatah orang

Toraja pa’tondokan marendeng (marendeng = tempat tinggal abadi), artinya

dunia ini hanyalah sebuah tempat perhentian; tempat tinggal yang abadi ada

di “atas”, tempat tinggal para dewa, makhluk-makhluk ilahi dan para leluhur

yang didewakan . Itulah tujuan hidup yang sesungguhnya.

Oleh karena itulah setiap orang wajib berbuat sedapat mungkin untuk

mencapai tujuan itu. Kalau perlu apa yang tidak ada harus dibuat menjadi

ada, umpaden tae’ na. Untuk itu bila perlu orang berutang. Dapat dikatakan

bahwa orang Toraja hidup untuk mati. Seringkali sangat sulit untuk

mendapatkan uang guna membeli obat bagi seseorang yang sakit tetapi bila

orang sakit itu meninggal maka pastilah keluarganya akan mengusahakan

ritus baginya yang sesuai dengan tana’ (status) sosialnya.

Dari sini nampak bahwa pelaksanaan ritus-ritus bagi orang mati itu

berpengaruh besar terhadap cara hidup orang Toraja. Nilai-nilai hidupnya

berorientasi baik pada kehidupan kini maupun pada kehidupan setelah

kematian. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Sekalipun sering kali kewajiban

dalam ritus-ritus itu menjadi beban berat, bahkan tak terpikul. Dalam ritus

itu mereka mempersembahkan hewan khususnya kerbau dan babi yang

harganya sangat mahal. Persembahan itu mempunyai nilai eskhatologis

dalam kehidupan orang Toraja. Artinya kehidupan dibalik kematian

mempengaruhi atau paling tidak mewarnai kehidupan mereka saat ini.

Korban persembahan diberikan dalam kerangka do ut des, artinya

mereka mempersembahkan sesuatu dalam relasi dengan para dewa dan para

leluhur mereka agar dewa dapat memberikan berkat yang lebih besar dan

lebih banyak. Hal ini dapat dilihat dalam ritus ma’karoen atau ma’pakande

to matua yakni ritus untuk membawa persembahan kepada leluhur sebagai

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

40

penghormatan dan ungkapan persekutuan dengan mereka. Hal tersebut dapat

dijumpai pada ritual ma’nenek. Kehidupan saat ini tidak dapat dipisahkan

dari kehidupan di seberang sana. Tanpa para leluhur, persekutuan dianggap

tidak lengkap. Oleh karena itu hubungan dengan mereka harus terus

terpelihara.

I. Ritual Ma’nenek

Menurut tradisi lisan orang Toraja, ma’nenek berarti mengganti

pakaian leluhur (nenek). Sekalipun dalam kenyataan ritual ini tidak

dilakukan hanya pada jenasah orang tua/ nenek saja melainkan semuanya.

Ma’nenek ialah upacara di sekitar kubur dengan membersihkan lingkungan

sekitar kuburan, memberikan persembahan kepada arwah leluhur, memberi

bungkus baru kepada jenazah atau mengganti pakaian tau-tau yang sudah

lapuk. Ritual Ma’ Nene’ oleh masyarakat setempat juga dianggap sebagai

wujud kecintaan mereka pada para leluhur, tokoh dan kerabat yang sudah

meninggal dunia. Mereka tetap berharap, arwah leluhur menjaga mereka dari

gangguan jahat, hama tanaman, juga kesia-siaan hidup (Sarira, 1996).

Masih ada juga yang memberikan "sesuatu" seperti uang, kain,

tembakau untuk dipakai di"sana". Pada saat memberikan benda-benda itu

mereka berbicara sebagaimana layaknya memberikan sesuatu kepada orang

yang masih hidup. Misalnya dengan mengatakan, "Kain ini dari cucumu

yang sedang merantau, dia sangat merindukanmu tetapi tidak sempat datang

menjengukmu...; mamali’ liuna’ ...sae komi lan pangimpingku (saya sangat

rindu datanglah dalam mimpiku), pamatoto’na’ mutampe misa-misa”

(kuatkan aku karena kau tinggalkan sendiri; 28-8-2013) dan lain-lain.

Upacara ini dilaksanakan sesudah panen sehubungan dengan keyakinan

bahwa keberhasilan atas panen itu adalah merupakan berkat dari leluhur

yang selalu memperhatikan kehidupan keturunannya.

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

41

J. Asal Usul ritual Ma’nenek

Berdasarkan cerita rakyat turun temurun ritual ma’ nenek berawal dari

sebuah desa yang bernama Baruppu’ (di daerah ini ma’nenek dilaksanakan

sekali dalam tiga tahun). Pada zaman dahulu terdapatlah seorang pemburu

binatang bernama Pong Rumasek. Saat sedang berburu di kawasan hutan

pegunungan Balla, bukannya menemukan binatang hutan, ia malah

menemukan jasad seseorang yang telah lama meninggal dunia. Mayat itu

tergeletak di bawah pepohonan, terlantar, tinggal tulang-belulang.

Merasa kasihan, Pong Rumasek kemudian merawat mayat itu

semampunya. Dibungkusnya tulang-belulang itu dengan baju yang

dipakainya, lalu diletakkan di areal yang lapang dan layak. Setelah itu, Pong

Rumasek melanjutkan perburuannya. Tak disangka-sangka semenjak

kejadian itu, setiap kali Pong Rumasek berburu ia selalu memperoleh hasil

yang banyak. Binatang hutan seakan digiring kepadanya. Bahkan

sesampainya di rumah, Pong Rumasek mendapati tanaman padi di sawahnya

pun sudah menguning, bernas dan siap panen sebelum waktunya. Dia sangat

bahagia dan yakin bahwa segenap peruntungan itu diperolehnya berkat belas

kasih dari leluhur karena merawat mayat tak bernama yang ditemukannya

saat berburu. Sejak itulah, Pong Rumasek dan masyarakat Baruppu

melaksanakan ritual ma’nenek.

I. Peraturan dan prosesi Ma’nenek

a. Peraturan Ma’nenek

Dalam pelaksanaan ritual Ma’nenek terdapat aturan-aturan tak tertulis yang

mengikat orang Toraja yang melaksanakannya (Arung, 1999) antara lain:

- Jika seorang istri atau suami meninggal dunia, maka pasangan yang

ditinggal tidak boleh kawin lagi sebelum mengadakan ma’ menek.

Kecuali dengan melakukan upacara ma’tengkai/ullambanni kalo’

(secara harfiah artinya melangkahi parit). Orang tersebut sudah boleh

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

42

bertunangan atau diikat secara adat tetapi belum boleh tinggal

bersama. Ketentuan adat tersebut dimaksudkan agar janda atau duda

jangan dulu meninggalkan rumahnya terlalu jauh karena ia masih

dalam keadaan berduka yang sangat dalam. Hal itu ditandai dengan

memakai pakaian serba hitam. Selama masa penantian itu mereka

harus menjaga segala tindak tanduknya di dalam pergaulan sehari-

hari. Apabila mereka kedapatan melakukan sesuatu yang tidak pantas

maka perbuatannya itu akan dikutuk oleh seluruh masyarakat

sekampungnya dan akan dihukum berdasarkan ketentuan-ketentuan

adat, yakni dengan berbondong-bondong mengerumuni rumah si

pelaku untuk menombak babinya sampai mati sebagai korban

perdamaian.

- Pada saat pelaksanaan ma’ nenek, para perantau pulang kampung

demi menghormati leluhurnya. Mereka percaya bahwa apa bila ritual

ma’ nenek tidak dilaksanakan maka leluhur juga tidak akan menjaga

sehingga mereka tidak akan berhasil di tanah orang bahkan musibah

akan melanda, penyakit akan menimpa warga, sawah dan kebun tak

akan menghasilkan padi yang bernas dan tanaman yang subur.

- Ma’nenek hanya boleh dilaksanakan setelah masa panen pada saat

alla’ padang /lo’bang padang ( tanah lagi kosong).

b. Prosesi Ma’nenek

Sehari sebelum pelaksanaan ritual, pintu-pintu kuburan sudah dibuka

dan dijaga semalam suntuk oleh keluarga. Di situ mereka makan dan minum

sebagaimana layaknya di rumah sendiri. Keesokan harinya pada saat

pelaksanaan ritual peti-peti mati dikeluarkan dari makam-makam atau liang

batu dan diletakkan di arena upacara.

Di sana, sanak keluarga dan para kerabat sudah berkumpul. Secara

perlahan, mereka mengeluarkan jenazah (baik yang masih utuh maupun yang

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

43

tinggal tulang-belulang). Mengeluarkan dari peti, menjemur beberapa saat

lalu mengganti busana yang melekat di tubuh jenazah dengan yang baru.

Mereka memperlakukan sang mayat seolah-olah masih hidup dan tetap

menjadi bagian dari keluarga besar.

Menurut Indo’ Limbong, pada zaman dahulu upacara ma’nenek di

To’Nakka’ dilakukan dengan bermalam satu malam dikuburan, membuat

pondok-pondok beratapkan daun nira dan daun tembakau dijadikan sebagai

dinding. Keluarga yang berduka membuat patung – patung dari bola (bambu

muda) disusun rapi, setelah itu dilanjutkan dengan ma’ badong dan ma’

dondi’ semalam suntuk diterangi sulo (obor) . Rasa dukacita dan kehilangan

dianggap belum selesai oleh karena itu keesokan harinya seekor kerbau dipotong

lagi dan dagingnya yang masih mentah dijadikan rebutan sampai habis. Setelah itu

barulah seluruh proses dukacita dianggap selesai.

Sementara menurut To minaa nek Lumbaa pada zaman dahulu ritual

ma’nenek berlangsung selama 3 hari. Hari pertama pintu-pintu kuburan dibuka,

hari kedua mangallo (menjemur) jenazah dan bungkusan tulang-tulang dikeluarkan

untuk dijemur kemudian ma’kassa’i (mengganti pakaian/kain pembungkus

jenazah). Hari ketiga merupakan saat untuk ma’pakande (memberi makan leluhur).

Mereka yang sudah meninggal harus diberi makan terlebih dahulu dan tidak boleh

sembarangan, daging yang terbaik dipilih untuknya, tidak boleh sembarang. Selain

itu nek Tonga’ (mantan to minaa) juga mengatakan bahwa pada saat ritual

pakaian yang dikenakan tidak boleh terlalu bagus, tidak boleh warna kuning

(sukacita) dan warna hitam (kedukaan)...”pokoknya biasa saja”.

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8527/11/T2_832012008_BAB II.pdf · berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa

44