Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
Kajian Pustaka
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Konsumsi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsumsi adalah barang-barang yang
langsung memenuhi keperluan hidup kita, contohnya makanan. Teori konsumsi biasa
disebut sebagai seluruh pengeluaran rumah tangga atau masyarakat maupun
pemerintah untuk mendapatkan kepuasan, Pengertian di atas menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan konsumsi adalah pembelanjaan atau pengeluaran yang bermanfaat
dalam memenuhi kebutuhan hidup. Prinsip dasar dalam analisis perilaku konsumen
menurut Nasution adalah:
a. Terbatasnya Pendapatan ,
Hal ini memaksa orang menentukan pilihan agar pengeluaran tetap berada pada
anggaran yang telah ditetapkan.
b. Konsumen Mampu Membandingkan Biaya dengan Manfaat
Jika dua barang memberi manfaat yang sama, konsumen akan memilih yang
biayanya lebih kecil, bila untuk memperoleh dua jenis barang, dibutuhkan biaya
yang sama, maka konsumen akan memilih barang yang memberi manfaat yang
lebih besar.
13
c. Tidak Semua Konsumen dapat Memperkirakan Manfaat dengan Tepat
Saat membeli barang, bisa jadi manfaat yang diperoleh tidak sesuai dengan
harga yang harus dibayarkan, sehingga dapat dikatakan bahwa konsumen masih
dapat salah dalam mengonsumsi dan memilih barang.
d. Disubstitusi Barang Lain
Dengan demikian konsumen dapat memperoleh kepuasan dengan
barang subtitusi dengan trade-off yang berbeda pula.
e. Berkurangnya Tambahan Kepuasan (Diminishing Marginal Utility),
Semakin banyak jumlah barang dikonsumsi, semakin kecil tambahan kepuasan
yang dihasilkan.
Keputusan pembelian konsumen merupakan keputusan pembelian dengan
acuan suatu barang atau kebutuhan rumah tangga yang akan dibeli oleh konsumen
untuk dikonsumsi. Pada saat memutuskan pembelian, konsumen tentu akan memilih
suatu produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. Setelah itu,
konsumen akan mencari informasi tentang produk tersebut dan akan menjadi
keputusan pembelian untuk suatu produk (Kotler, 2009).
Adapun Keputusan konsumsi adalah tahap dimana pembeli telah menentukan
pilihan dan melakukan pembelian produk juga mengonsumsinya. Dalam tahap
menentukan pilihan, konsumen telah mempunyai pemahaman mengenai produk yang
akan dibeli dan rasa yakin akan timbul ketika konsumen membeli serta
mengonsumsinya (Suharno, 2010).
14
Berikut empat jenis konsumen dalam pengambilan keputusan untuk melakukan
pembelian dan konsumsi Menurut (Kanuk, 2010):
a. Economic Man
Seorang konsumen cenderung digolongkan sebagai economic man apabila
seseorang yang membuat keputusan untuk bertindak secara rasional. Konsumen
harus mengetahui semua alternatif produk yang tersedia di pasaran serta dapat
mengurut secara rasional, mengenai pilihan alternatif yang ada, seperti keuntungan
dan kerugian produk yang akan dibeli, dan harus dapat memastikan produk yang
ditawarkan itu sebagai alternative yang terbaik. Model ini dianggap tidak mampu
memenuhi realita karena kemampuan manusia terbatas, pun dengan pilihan yang
tersedia di pasaran.
b. Passive man
Kebalikan dari model economic man adalah passive man yaitu apabila seorang
konsumen yang taat terhadap self serving dan promosi dari pasar. Produsen dapat
menggunakan formula, disebut juga dengan AIDA (Attention, Interest, Desire,
dan Action). Batasan dari prinsip model passive man ini yaitu gagal dalam
mengetahui bahwa konsumen berada dalam keputusan yang sama tidak ada yang
dominan. Konsumen kadang-kadang melakukan impulsive buying yang tidak
rasional.
15
c. Cognitive Man
Konsumen dilihat sebagai seseorang yang mau menerima ide baru dan aktif
dalam mencari produk yang ingin dimanfaatkan. Model Cognitive Man ini
merupakan cukup realistis dari sudut pandang konsumen, dimana konsumen yang
tidak memiliki informasi cukup, tidak mampu mengambil keputusan yang
sempurna apabila dibandingkan dengan yang aktif dalam mencari informasi
produk kebutuhannya.
d. Emotional Man
Apabila keputusan pembelian tidak melibatkan proses penelitian yang benar,
pertimbangan yang matang, dan evaluasi sebelum melakukan konsumsi namun
ikatan emosi lah yang mendukung konsumen untuk membeli suatu produk.
Biasanya tipe ini diikuti oleh Point Of Purchase Communication (POPC).
Proses keputusan konsumen dalam mengonsumsi produk akan dipengaruhi oleh
tiga faktor utama, seperti kegiatan pemasaran oleh penjual, perbedaan konsumsi setiap
orang, dan lingkungan konsumen. (Sumarwan, 2018). Dalam proses keputusan
pembelian atau konsumsi, terdapat model lima tahapan yang akan dialami oleh
konsumen, yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif,
keputusan konsumsi, dan perilaku pasca mengonsumsi (Philip Kotler, 2013).
Sedangkan perilaku pembelian konsumen dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
Faktor budaya karena budaya adalah penentu keinginan dan perilaku paling mendasar,
16
lalu faktor sosial, kelompok yang menjadi acuan seseorang terdiri dari semua
kelompok yang memiliki pengaruh baik secara langsung atau tidak langsung terhadap
sikap konsumsi seseorang. Terdapat pula faktor pribadi yang dipengaruhi oleh
karakteristik, yang termasuk dalam karakteristik adalah usia dan tahap siklus hidup,
pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, serta kepribadian dan konsep diri pembeli.
Dan terakhir yaitu faktor psikologis seseorang (Keller, 2013)
Menurut Kotler dalam The American Marketing Assosiation, prilaku konsumen
merupakan interaksi dinamis antara afeksi dan kognisi perilaku dan lingkungannya, di
mana manusia melakukan kegiatan pertukaran dalam hidup mereka. Dari hal tersebut
terdapat ide penting yang dapat disimpulkan yaitu perilaku konsumen adalah dinamis,
lalu hal tersebut melibatkan interaksi antara afeksi dan kognisi, perilaku dan kejadian
di sekitar dan juga melibatkan pertukaran. Agama juga dapat mempengaruhi perilaku
konsumen dan perilaku pada umumnya menurut Pettinger dan Delenger, khususnya
pada keputusan membeli 5 bahan makanan dan kebiasaan makan (Bonne, 2007) Seperti
juga dikemukakan oleh Kanuk yang menyatakan bahwa keputusan untuk membeli
dipengaruhi oleh identitas agama mereka (S. Shafie, 2006). Oleh karena itu, sebagai
penganut agama Islam, maka keputusan untuk memilih dan membeli barang akan tidak
hanya memperhatikan dari segi kebutuhan dan biaya yang harus dikeluarkan tetapi
yang paling penting adalah sejauh mana barang yang dikonsumsi akan memberikan
maslahah (manfaat dan berkah) secara maksimum (P3EI, 2008).
17
2.1.2 Teori Konsumsi Makanan Halal dengan Prinsip Islam
Salah satu tokoh Ekonomi Islam, (Sakti, 2007), mengatakan bahwa ada empat
prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam, terutama dalam konsumsi suatu barang
yang diisyaratkan dalam al-Qur’an, yaitu yang pertama, hidup hemat dan tidak
bermewah-mewahan. Ini berarti tindakan konsumsi cenderung untuk memenuhi
kebutuhan, bukan keinginan, berikutnya ada penerapan zakat, infak, sedekah, lalu
terdapat pelarangan riba, dalam ekonomi, riba dapat memberikan efek yang buruk baik
secara mikro maupun makro, termasuk dalam konsumsi, dan yang terakhir yaitu
menjalankan usaha-usaha yang halal dari produk atau komoditi, dari proses produksi
hingga distribusi., sedangkan seorang muslim dalam berkonsumsi didasarkan atas dua
pertimbangan menurut (Sudarsono, 2002), yang pertama yaitu manusia tidak kuasa
sepenuhnya mengatur detil permasalahan ekonomi masyarakat, yang berarti
keberlangsungan hidup manusia telah diatur oleh Allah SWT sehingga dalam
konsumsi, kita harus berpegang teguh kepada kehalalaln dan prinsip Islam yang telah
ada di Al Qur’an dan diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Pertimbangan berikutnya ialah fakta bahwa kebutuhanlah yang membentuk
pola konsumsi seorang muslim, maksudnya adalah pola konsumsi yang didasarkan atas
kebutuhan akan menghindari pola konsumsi yang tidak penting seperti menuruti
keinginan dan berlaku tidak sesuai dengan prinsip Islam dalam berkonsumsi.
Semuanya kembali lagi kepada prinsip Islam yang dipegang teguh oleh para muslim
yang mengonsumsi makanan, terutama makanan halal, makanan halal ialah makanan
yang diperbolehkan untuk dikonsumsi oleh umat muslim, berdasarkan dalil dan ayat
18
Al Qur’an dan yang haram ialah kebalikannya, yaitu dilarang untuk dikonsumsi
(kecuali pada kondisi-kondisi tertentu (Suhodo, 2009). Sedangkan (Qardhawi, 2000)
mengartikan istilah halal sebagai segala sesuatu yang boleh dikerjakan, syariat
membenarkan dan orang yang melakukannya tidak dikenai sanksi dari Allah Swt.
Berikut dalil mengenai konsumsi makanan halal:
a) “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram pun jelas. Dan di
antara keduanya ada hal-hal yang samar atau tidak jelas”. (HR. Bukhari).
b) ”tidak akan masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari
(makanan) yang haram, neraka lebih pantas baginya.” (HR. Ahmad)
Al-Ghazali mengidentifikasikan tiga alasan mengapa seseorang harus
melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi yaitu mencukupi kebutuhan hidup yang
bersangkutan, mensejahterakan keluarga, dan membantu orang lain yang
membutuhkan. Tidak terpenuhinya ketiga alasan ini dapat “dipersalahkan” menurut
agama. Al-Ghazali juga memiliki pendapat 5 prinsip konsumsi dalam Islam, yaitu yang
pertama adalah prinsip keadilan, syarat ini mengandung arti ganda yang nting
mengenai mencari rezeki secara jalan dan tidak dilarang hukum. Berikutnya ada prinsip
kebersihan, hal ini harus baik atau cocok dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan
sehingga merusak selera. Ada juga prinsip kesederhanaan yaitu prinsip ini mengatur
perilaku manusia mengenai makanan dan minuman adlah sikap tidak berlebih-lebihan.
Adapun prinsip kemurah hati yaitu dengan menaati perintah Islam tidak ada bahaya
maupun dosa ketika kita memakan dan minum yang halal disediakan Tuhan karena
19
kemurahan hatinya, dan terakhir ada prinsip moralitas yaitu bukan hanya mengenai
makanan dan minuman saja tujuan akhirnya, akan tetapi untuk peningkatan kemajuan
nilai-nilai moral dan spiritual.
Adapun penjelasan dalam surat Al Maidah ayat 3 bahwa Allah hanya
mengharamkan bangkai, darah, daging babi, dan binatang (daging hewan) yang ketika
disembelih disebut (nama) selain Allah. Selain itu pada Surat Al-Ma`idah ayat 90
terdapat juga larangan untuk meminum minuman keras yang biasa disebut khamar/
minuman beralkohol/ minuman yang memabukkan.
Walaupun agama memberikan hukum yang sangat ketat dalam konsumsi
makanan menurut sejauh mana orang akan mengikuti hukum tersebut tentu saja akan
tetap bervariasi, sehingga dilakukannya penelitian ini adalah salah satunya karena
variasi tiap individu atau mahasiswa berbeda dalam mengonsumsi makanan, terutama
makanan halal, apakah para mahasiswa PTN Kota Bandung berpegang teguh pada
prinsip Islam dengan baik dan benar, sehingga konsumsi makanan tidak hanya sebatas
halal bagi para muslim, namun juga berkah, dan sesuai dengan prinsip Islam yang ada
pada Al Quran dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, karena bukan hanya dapat
dilihat dari sisi agama maupun ekonomi, namun juga akan berpengaruh kepada baik
kesehatan maupun pola pikir individu tersebut. Seperti juga yang terdapat pada surah
Al-Baqarah ayat 173, Al-Maidah ayat 88 dan Al-Baqarah ayat 168.
20
2.1.3 Isyraf
Isyraf berasal dari kata asyrafa, yusyrifu dan isyrafan yang memiliki arti
berlebih-lebihan atau melampaui batas menurut (Yunus) Dalam studi
akhlak isyraf adalah melakukan sesuatu yang berlebihan dan melampaui batas-batas
yang seharusnya. Orang yang berbuat isyraf disebut musyrif, musrifun atau musrifin
(Bably, 1989).
Isyraf sendiri disebut dalam Al-Quran sebanyak 23 kali dalam 17 surat.
Menurut Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, berlebihan dalam mengonsumsi
makanan merupakan dosa perut sehingga bisa merusak hati, fikiran dan
memperlemah ingatan, sehingga dampak buruk akan terjadi akibat dari konsumsi
dengan isyraf. Adapun dalil yang menjelaskan tentang larangan Isyraf yaitu terdapat
pada surah Al-An’am ayat 141Al-A’raf ayat 31Al-Furqan ayat 67 dan pada hadist
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan dan minumlah, berpakaianlah dan
bersedekahlah tanpa bersikap berlebihan dan sombong.” (HR. An-Nasa’I, no. 2559).
Sehingga dari dalil dan ayat diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa isyraf tidak
dianjurkan dalam konsumsi, terlebih makanan karena selain tidak baik bagi sekitar,
tidak baik juga untuk diri kita sebagai manusia.
21
2.1.4 Tabzir
Tabzir berasal dari kata bazzara, yubazziru dan tabziran yang memiliki makna
pemborosan (Yunus) . Menurut Imam Syafi’i, Tabzir berarti membelanjakan harta
tidak pada jalan yang seharusnya, sedangkan menurut Imam Malik, tabzir adalah
perilaku pengambilan harta dari jalan yang baik dan pantas, namun mentasarufkan
harta itu kepada jalan yang tidak baik dan pantas. Sebagian ulama berpendapat bahwa
tabzir adalah membelanjakan harta bukan pada yang haq, sehingga apabila seseorang
membelanjakan harta seperti itu, maka orang tersebut telah melakukan pemborosan
atau tabzir (Shihab, 2002). Tabzir sendiri disebut pada Al-Quran sebanyak 3 (tiga)
kali pada surat Al-Isra, tabzir sendiri telah dijelaskan dalam kitab Al-Mausu'ah Al-
Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah (Kuwait, 1983), dan (al-Shawkani). Konsumsi tabzir telah
dijelaskan pada ayat-ayat dalam surah Al-Isra ayat 26-27 dan Al-An’am ayat 141.
Maka dari itu tabzir tidaklah baik dilihat dari segi agama maupun efek yang
akan ditimbulkan baik kepada badan maupun kehidupan seseorang, karena dengan
berlaku sederhana dan tidak boros, akan menjadikan seseorang lebih sehat dan lebih
baik dalam menjalankan kehidupan, perlakuan mubazir juga tidak baik dalam
kehidupan dan konsumsi terlebih makanan, karena apabila kita melihat diluar sana
masih banyak saudara kita yang membutuhkan makanan, namun kita justru
melakukan hal yang mubazir.
22
2.1.5 Maslahah
Maslahah secara bahasa adalah memelihara tujuan syara' dan juga meraih
manfaat maupun menghindarkan kemudharatan, terlebih dalam konsumsi, maslahah
juga merupakan suatu akibat atas terpenuhinya suatu kebutuhan atau fitrah. Perilaku
konsumsi muslim menurut (Muflih, 2006) antara lain ialah bahwa konsep maslahah
membentuk persepsi kebutuhan manusia dan membentuk persepsi tentang penolakan
terhadap kemudharatan, (Elvira, 2016). Konsep maslahah juga memberikan persepsi
kepada individu tentang upaya setiap pergerakan amalnya, seperti yang tertera juga
pada ayat Al-Quran berikut menjelaskan pada surah Al-Muminun ayat 51. Persepsi
penolakan terhadap kemudharatan dapat membatasi persepsi individu bahwa konsumsi
hanya pada kebutuhan, dan bahwa persepsi seorang konsumen dalam memenuhi
kebutuhannya menentukan keputusan konsumsi. (Ilyas, 2015).
Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat
tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar, yaitu:
a. agama (al-dien)
b. hidup atau jiwa (nafs)
c. keluarga atau keturunan (nasl)
d. harta atau kekayaan (maal)
e. intelek atau akal (aql)
Dan salah satu hubungan konsumsi dengan maslahah ialah pengelolaan harta
kita yang digunakan untuk konsumsi akan diperhitungkan di hari akhir, sehingga
23
mengonsumsi dengan maslahah adalah salah satu cara mengamalkan iman pada hari
akhir, seperti terdapat pada surah Al-Hadid ayat 7.
Imam Al-Khawarizmi sang penemu aljabar mengemukakan bahwa cara
memelihara tujuan syara’ ialah dengan cara menghindarkan kemafsadahan dari
manusia dan sebagainya. Tujuan dalam kemaslahatan disini bisa dikaitkan dengan
maslahah dalam konsumsi. Dalam konsumsi, kita mengasumsikan bahwa konsumen
cenderung untuk memilih untuk mengonsumsi yang memberikan maslahah
maksimum. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kandungan maslahah terdiri dari
manfaat dan berkah. Begitupun dalam hal perilaku konsumsi, seorang konsumen akan
mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya
apabila ia memperhatikan konsumsi dalam prinsip Islam.
Di sisi lain, berkah akan diperolehnya ketika ia mengkonsumsi makanan yang
dihalalkan oleh syariat Islam. Mengkonsumsi yang halal saja merupakan kepatuhan
kepada Allah SWT sehingga dapat memperoleh pahala. Konsumsi dapat pula mencapai
maslahah dengan beberapa faktor, yang berhubungan dengan variabel independen
lainnya seperti kebutuhan dan keinginan, kepuasan dan juga nilai-nilai ekonomi
ekonomi Islam.
2.1.6 Tingkat Kepuasan
Kepuasan adalah merupakan suatu akibat dari terpenuhinya suatu keinginan,
sedangkan maslahah merupakan suatu akibat atas terpenuhinya suatu kebutuhan atau
fitrah. Seolah tampak bahwa manfaat dan kepuasan adalah identik, Meskipun
demikian, terpenuhinya suatu kebutuhan juga akan memberikan kepuasan terutama
24
jika kebutuhan tersebut disadari dan diinginkan. Berbeda dengan kepuasan yang
bersifat individualis, maslahah tidak hanya bisa dirasakan oleh individu. Maslahah
bisa jadi dirasakan oleh selain konsumen, yaitu dirasakan oleh sekelompok masyarakat.
Didalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan bertujuan untuk memperoleh
kepuasan (utility) dalam kegiatan konsumsinya. makna Utility secara bahasa berarti
berguna, membantu atau menguntungkan (Arsyad, 2008).
Pun konsumsi adalah penggunaan barang dan jasa untuk memuaskan
kebutuhan manusia (Rosyidi, 2000). (Paul A. Samuelson, 1992) mengemukakan
“Konsumsi dirumuskan sebagai barang dan jasa, seperti makan, pakaian, mobil,
pengobatan dan perumahan, menurut Samuelson konsumsi adalah kegiatan
menghabiskan utility (nilai guna) barang dan jasa. Barang meliputi barang tahan lama
dan barang tidak tahan lama. Barang konsumsi menurut kebutuhannya, yaitu
kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tersier .
Kebutuhan adalah segala sesuatu yang diperlukan agar manusia berfungsi
secara sempurna, berbeda dan lebih baik. Sedangkan keinginan terkait dengan hasrat
atau harapan seseorang yang jika dipenuhi belum tentu akan meningkatkan
kesempurnaan fungsi manusia ataupun suatu barang. Jika suatu kebutuhan diinginkan
oleh seseorang, maka pemenuhan kebutuhan tersebut akan melahirkan maslahah
sekaligus kepuasan, namun jika pemenuhan tidak dilandasi oleh keinginan, maka
hanya akan memberikan manfaat tanpa maslahah yang dibutuhkan.
25
2.1.7 Pemasukan
Pemasukan menurut kamus besar bahasa indonesia adalah pendapatan, yaitu
dalam bentuk uang, dengan jangka waktu perbulan dan dengan mata uang Rupiah
karena transaksi yang dilakukan ialah di Indonesia. Adapun Hipotesis Pendapatan
Absolut (Absolute Income Hypotesis) yang dikenal dari teori konsumsi dari Keynes
yang menjelaskan bahwa konsumsi seseorang atau masyarakat secara absolut
ditentukan oleh tingkat pendapatan, adanya faktor lain yang juga menentukan, menurut
Keynes keseluruhannya itu tidak begitu berarti dan tidak menentukan.
Teori Konsumsi Keynes yang berhubungan dengan Absolute Income Hypotesis
didasarkan pada 3 poin, yaitu:
Konsumsi meningkat apabila pendapatan meningkat, akan
tetapi besarnya peningkatan konsumsi tidak akan sebesar
peningkatan pendapatan, sehingga kecenderungan mengkonsumsi
marginal = MPC (Marginal Propensity to Consume) ialah antara nol
dan satu, dan besarnya perubahan konsumsi selalu diatas 50% dari
besarnya perubahan pendapatan (0,5<MPC<1)
Rata-rata kecenderungan mengkonsumsi = APC (Avarage
Propensity to Consume) akan turun apabila pendapatan naik, karena
peningkatan pendapatan selalu lebih besar daripada peningkatan
konsumsi sehingga setiap terjadi peningkatan pendapatan maka
rata-rata menabung akan lebih tinggi dibanding konsumsi.
26
Pendapatan merupakan determinan atau faktor penentu
utama dari konsumsi. Faktor lain dianggap tidak berarti. Keynes
menjelaskan bahwa konsumsi saat ini (current consumption) sangat
dipengaruhi oleh pendapatan saat ini (current disposable income).
Menurut Keynes, ada batas konsumsi minimal yang tidak
tergantung tingkat pendapatan, sehingga tingkat konsumsi tersebut
wajib terpenuhi, walaupun tingkat pendapatan adalah nol. Itulah
yang disebut dengan konsumsi otonomus (autonomous
consumption). Jika pendapatan disposabel meningkat, maka
konsumsi juga meningkat. Hanya saja peningkatan tersebut tidak
sebesar peningkatan pendapatan disposabel.
C = C0 + b Yd
C=konsumsi
C0=konsumsiOtonomus
b=marginal prospensity to consumer (MPC)
Yd=pendapatan disposable 0 ≤ b ≤ 1
2.2 Penelitian Terdahulu
Studi literatur dilakukan dengan mempelajari dan mengidentifikasi penelitian-
penelitian yang telah dilakukan sebelum penelitian ini dibuat, penelitian yang
dimaksud adalah penelitian dari jurnal nasional maupun internasional dengan topik dan
pembahasan serupa, namun tetap memiliki perbedaan dengan penelitian ini, baik dari
27
variabel, metode olah data maupun hasil penelitian, berikut penelitian referensi dan
persamaannya dengan penelitian ini,
Tabel 2 1 Penelitian Terdahulu
no Judul Persamaan
1 Pengaruh Persepsi
Konsumen Muslim
Tentang Maslahah
Terhadap Keputusan
Konsumsi Terbatas hanya
dalam Komoditas Halal
(Rini Elvira, 2016)
kedua penelitian ini membahas mengenai pengaruh
maslahah terhadap keputusan konsumsi pada komoditas
halal, dengan tingkat signifikansi yang sama juga yaitu
0,1, penggunaan metode dan model juga sama, namun
terdapat lima variabel bebas pada penelitian ini, yang
menyebabkan penggunaan model analisis linear berganda
berbeda dengan penelitian terdahulu yang menggunakan
analisis linear biasa. Dengan objek penelitian yang sama
yaitu mahasiswa, kedua penelitian memiliki tujuan yang
hampir sama yaitu mengetahui kebiasaan dan penerapan
konsumsi berbasis prinsip Islam pada mahasiswa.
2. Etika Konsumsi Islami
dari Pegawai SMU di
Kota Bandung (Amaliah,
2015)
Pada kedua penelitian, terdapat pembahasan yang sama,
yaitu mengenai kebiasaan konsumsi yang maslahah,
tabzir, dan juga pengukuran tingkat kepuasan, hanya saja
metode penelitian dan skala pengukuran yang berbeda,
sehingga interpretasi dari kedua penelitian juga berbeda
walaupun pada variabel tabzir dan tingkat kepuasan, oada
kedua penelitian sepakat bahwa responden masih kurang
baik dalam berkonsumsi dengan prinsip tersebut.
3. Consumption Behavior of
University Students in
Islamic Economics
Perspective (Chandra,
2016)
Dalam kedua penelitian, variabel terikat yang diteliti
memiliki kesamaan yaitu meneliti perilaku konsumsi
mahasiswa, dengan skala dan pengambilan data yang
sama, yaitu dengan kuisioner dan model yang sama pula
menjadikan kedua penelitian ini memiliki visi yang sama.
Namun variabel bebasnya berbeda, tetapi terdapat
pertanyaan pada kuisioner penelitian sebelumnya yang
28
memiliki hubungam demgan variabel bebas penelitian
saat ini, yaitu prinsip konsumsi berbasis Islam.
4. Identifikasi Pola Perilaku
Konsumsi Islam di
Lingkungan Universitas
Islam Bandung
(Nugraheni, 2015)
Kedua penelitian ini menggunakan teknik penyebaran
data hingga skala pada kuisioner yang sama, dengan
metode yang berbeda, maka penggambaran hasil juga
dapat dikatakan berbeda, walaupun terdapat beberapa
hasil dari variabel pendukung yang sama, yaitu isyraf,
maslahah, dan pemasukan seseorang.
Sumber: Data Peneliti
2.3 Kerangka Pemikiran
Melihat cara muslim mengonsumsi makanan banyak terpaku hanya dengan
kehalalannya saja tanpa mempelajari dan menelaah mengenai dampak konsumsi
makanan tersebut terhadap tubuh dan analisa hubungan konsumsi terhadap kebiasaan
yang diajarkan oleh Rasulullah SAW sejak dahulu. Rasulullah banyak menyebutkan
kriteria konsumsi makanan halal yang ideal melalui hadist-hadist para sahabat dan
adapun peraturan konsumsi secara baik dan benar menurut Islam telah tertera jelas pada
beberapa ayat dalam Al-Quran, maka dari itu, kebiasaan mahasiswa perguruan tinggi
negeri Kota Bandung dalam mengambil keputusan konsumsi makanan halal dapat
ditinjau dalam penelitian ini dengan didasarkan oleh beberapa faktor pengetahuan dan
kebiasaan seperti Isyraf, tabzir, maslahah, tingkat kepuasan dan pemasukan.
Selayaknya variabel independen dan dependen, faktor-faktor diatas dan keputusan
konsumsi makanan halal saling berkaitan.
29
Pada penelitian ini, pengaruh persepsi konsumen mengenai prinsip Islaml
memiliki hubungan dengan konsumsi makanan halal yang dilakukan oleh mahasiswa
perguruan tinggi negeri Kota Bandung. Isyraf memberikan gambaran kepada kita
terhadap konsumsi makanan dengan cara yang tidak berlebihan sesuai dengan hadist
dan ayat pada Al-Quran, karena efek dalam konsumsi makanan yang berlebihan
tidaklah baik bagi tubuh.
Tabzir atau mubazir ini memberikan aturan kepada para pengonsumsi makanan
agar tidak menghambur-hamburkan makanannya karena banyaknya orang lain diluar
sana yang juga membutuhkan makanan dan kerja keras para pengolah makanan diluar
sana haruslah kita hargai dengan cara mengonsumsi makanan secukupnya, pun ada
hubungannya dengan sedekah, selain dilarang untuk mubazir, tabzir juga
menggambarkan berbagi kepada sesama salah satunya dengan bersedekah untuk
menghindari sikap mubazir.
Dalam mengukur maslahah, dapat dilihat pada kebaikan yang masuk ke dalam
tubuh kita pada saat konsumsi makanan, bukan hanya sekedar kenyang atau enak
dilidah, namun juga harus bermanfaat bagi tubuh kita, meski suatu makanan dikatakan
halal, belum tentu makanan tersebut dapat dikonsumsi oleh semua orang, karena ada
makanan yang dapat membahayakan tubuh seseorang apabila dikonsumsi. Pun dengan
ridho Allah SWT yang harus dicapai dalam konsumsi makanan, selain harus baik bagi
tubuh juga secara fisik namun juga psikis dengan cara berdoa dan mengharap Ridho
Allah SWT dalam konsumsi makanan tersebut.
30
Tingkat Kepuasan atau yang biasa disebut dengan utility memiliki
perbandingan terbalik dengan 3 variabel sebelumnya diatas, karena dalam teori
ekonomi konvensional, kebutuhan dan kepuasan berbanding lurus, namun dalam teori
ekonomi Islam, kebutuhan dan tingkat kepuasan dirasa berbanding terbalik, karena
dalam memenuhi kebutuhan tidak selalu sama dengan memenuhi tingkat kepuasan atau
keinginan, karena apabila konsumsi makanan sesuai kebutuhan akan berakibat baik
bagi tubuh, sedangkan apabila mencari kepuasan belum tentu baik bagi tubuh.
Berikutnya terdapat pemasukan sebagai variabel dependen yang mendukung
prinsip konsumsi secara Islam para mahasiswa, dapat bersumber dari uang saku,
gaji/pendapatan maupun beasiswa karena pada dasarnya, pemasukan memang
memiliki dampak langsung terhadap konsumsi.
31
Gambar 2. 1 Kerangka Pemikiran
Konsumsi makanan halal (Y)
Identifikasi masalah
Pencarian Informasi
Evaluasi
Seleksi
Perilaku pasca pembelian
Isyraf (X1) Kebiasaan jumlah
konsumsi makanan dan
trend
Tabzir (X2)
Kebiasaan sedekah dan
Sikap terhadap makanan
sisa
Maslahah (X3) Kebiasaan berdoa dalam
konsumsi makanan, Sadar
akan kesehatan dan Presepsi
konsumsi
Tingkat Kepuasan (X4) Jenis konsumsi makanan dan
Alasan konsumsi
Pemasukan (X5) Hubungan dengan konsumsi
makanan, Harga dan
Kecukupan untuk konsumsi
32
Keterangan gambar:
= berpengaruh secara simultan
= berpengaruh secara parsial
2.4 Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, landasan teori, kerangka
pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1 : Kebiasaan Isyraf (berlebihan) memiliki pengaruh positif terhadap keputusan
konsumsi makanan halal mahasiswa PTN Kota Bandung.
H2 : Kebiasaan Tabzir (mubazir) memiliki pengaruh positif terhadap keputusan
konsumsi makanan halal mahasiswa PTN Kota Bandung.
H3 : Maslahah memiliki pengaruh positif terhadap keputusan konsumsi makanan halal
mahasiswa PTN Kota Bandung.
H4 : Tingkat kepuasan memiliki pengaruh positif terhadap keputusan konsumsi
makanan halal mahasiswa PTN Kota Bandung.
H5 : Penghasilan memiliki pengaruh positif terhadap keputusan konsumsi makanan
halal mahasiswa PTN Kota Bandung.
H6 : Kebiasaan isyraf, tabzir, maslahah, tingkat kepuasan dan pendapatan secara
bersama-sama (simultan) memiliki positif terhadap keputusan konsumsi makanan halal
mahasiswa PTN Kota Bandung.
33