Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Penelitian ini menggunakan agency theory sebagai grand theory, disamping konsep-
konsep informasi asimetri, prinsip-prinsip good corporate governance, serta persistensi laba.
Pengertian masing-masing akan dijelaskan dalam bab II ini dimulai dari penjelasan agency
theory.
2.1. Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan menjelaskan hubungan kerja antara dua pihak atau lebih yang berbasis pada
kontrak, dimana pihak yang ditunjuk disebut agen (agent), yang betugas mengambil keputusan
dan mewakili kepentingan yang ditunjuk (principals) dengan pihak lainya yang secara umum
berhubungan dengan pemecahan masalah. Agar agen dapat mengerjakan tugasnya, maka
prinsipal akan mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan sampai batas tertentu kepada
agen. (Ross,1973). Perusahaan yang berbadan hukum merupakan bentuk hubungan keagenan.
Kerjasama berbasis kontrak terjadi antara manajemen sebagai agent dengan pemilik perusahaan
atau pemegang saham sebagai principals. Principals atau prinsipal memberikan kewenangan
pada agent atau agen untuk mengelola aset-asetnya dalam bentuk perusahaan dan hasil atau
perkembangannya dalam satu periode (1 tahun) dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan
keuangan. Pengangkatan dan pemberian otorisasi pada manajemen menjadikan pemilik sebagai
pihak luar perusahaan (accounting entity). Kontrak yang berhubungan dengan agen dan
prinsipal, ditekankan pada unsur-unsur kontrak yang efisien sehingga mempengaruhi hubungan
agen dan prinsipal. Eisenhardt (1989) menyatakan kontrak efisien memiliki arti yaitu para pihak
2
yang terlibat dalam kontrak sama-sama memperoleh keuntungan, sehingga kontrak efisien
memiliki asumsi yang berhubungan dengan:
1) Orang yaitu kepentingan pribadi (self interest), keterbatasan rasionalitas manusia (bounded
rationality) dan menghindari risiko (risk averse).
2) Organisasi yaitu adanya konflik kepentingan diantara anggota organisasi (goal conflict
among members).
3) Informasi, informasi merupakan komodity yang dapat dibeli.
Dalam realitasnya, hubungan agen dengan prinsipal ternyata konflik (agency problems), akibat
adanya ketidak sejajaran kepentingan.
Potensi konflik muncul karena agen berusaha untuk memaksimumkan imbal jasa
(reward) kontraktual yang diterimanya dan ini sangat tergantung pada upaya yang diperlukan.
Disisi yang lain prinsipal berusaha untuk memaksimumkan kembalian (returns) dari penggunaan
sumber dayanya dan ini tergantung pada imbal jasa (reward) yang dibayarkan kepada agen.
Semakin besar imbal jasa yang dibayarkan kepada agen maka semakin rendah returns yang
diterima oleh para prinsipal. Konflik kepentingan inilah yang dibawa ke arah ekuilibrium dengan
kontrak yang disetujui. Kontrak mengikat anggota-anggota untuk menyetujui seperangkat
perilaku kerja sama, namun dalam pelaksanaanya tergantung motif mementingkan diri sendiri.
Contohnya program bonus, dalam hal ini manager dapat saja meningkatkan jumlah bonus yang
diterimanya dengan membuat laba akuntansi lebih tinggi dari laba yang sesungguhnya. Tindakan
manajer tersebut disebut dengan manajemen laba (earnings management dengan pola income
increasing). Manajemen laba terjadi ketika para manajer mengatur (judgement) pelaporan
keuangan dengan menstruktur transaksi sehingga mengubah laporan keuangan dengan tujuan
memanipulasi besaran (magnitude) laba kepada beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi
3
yang mendasari perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian yang tergantung pada
angka-angka akuntansi dilaporkan (Healy, 1998). Langkah ini bisa dilakukan manajer karena
sebagai pihak yang menjalankan operasional, manajer mampu mengendalikan informasi
perusahaan. Dalam kondisi demikian pihak manajer dapat menggunakan informasi keuangan
untuk meningkatkan kesejahteraannya (opportunistic).
Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar untuk memahami corporate governance.
Agency problems dapat ditekan melalui sistem monitoring yang bertujuan untuk menyelaraskan
kepentingan berbagai pihak atau stakeholders. Sistem monitoring yang efektif antara lain; (a)
memperbesar kepemilikan saham perusahaan (equity based) oleh manajemen (managerial
ownership), sehingga manajemen disamping menjadi pengelola, mereka juga menjadi pemilik,
sehingga kepentingan pemilik atau pemegang saham dapat disejajarkan dengan kepentingan
manajemen, (b) kepemilikan saham oleh investor institusional dianggap sebagai sophisticated
investors dengan jumlah kepemilikan yang cukup signifikan dapat memonitor manajemen dan
(c) melalui peran monitoring oleh dewan komisaris (board of directors).
2.2 Asimetri Informasi (Information Asymetry)
Hubungan antara agen dengan prinsipal diwarnai asimetri informasi. Dikatakan asimetri
informasi karena agen mempunyai informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dan prospek
di masa yang akan datang dibandingkan dengan prinsipal. Kondisi ini memberikan peluang
kepada agen untuk berperilaku oportinistik. Dengan menggunakan kelebihan informasi yang
dimilikinya agen mampu memanipulasi laporan keuangan sebagai usaha untuk memaksimalkan
kemakmurannya yang akan mengakibatkan kualitas laba dalam laporan keuangan diragukan oleh
para pemegang saham (Rahmawati, 2006). Padahal laba yang persisten merupakan laba yang
4
berkualitas dan dapat dijadikan indikator yang baik bagi keberlanjutan laba (sustainable
earnings). Oleh sebab itu, Information asymetry theory (teori asimetri informasi) dapat
menjelaskan bagaimana agent dapat memanipulasi informasi yang berpengaruh terhadap kualitas
laba dan berdampak pada persistensi laba.
Laporan keuangan disusun dengan tujuan untuk dapat digunakan oleh stakeholders,
termasuk manajer, karyawan, serikat buruh dan lainnya. Pihak-pihak yang sebenarnya paling
berkepentingan dengan laporan keuangan adalah para pengguna eksternal (pemegang saham,
kreditor, pemerintah, masyarakat). Manajemen mengetahui hampir seluruh peristiwa-peristiwa
yang terjadi di perusahaan, sedangkan pihak stakeholders diluar manajemen hanya mengetahui
informasi sebatas yang dilaporkan, karena tidak berada di lingkaran perusahaan secara langsung,
sehingga tingkat ketergantungan informasi akuntansi apada manajemen sangat tinggi.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa jika kedua kelompok (agen dan
prinsipal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya, maka terdapat
alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu bertindak yang terbaik untuk
kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat membatasinya dengan menetapkan insentif yang tepat bagi
agen dan melakukan monitoring yang didesain untuk membatasi aktivitas agen. Menurut Scott
(2000), terdapat dua bentuk asimetri informasi yaitu:
1) Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya
mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan pihak luar.
Dan mungkin terdapat fakta-fakta yang tidak disampaikan kepada principal.
2) Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya
diketahui oleh investor (pemegang saham, kreditor), sehingga manajer dapat melakukan
5
tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya
secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.
Kurangnya informasi pihak luar mengenai perusahaan menyebabkan mereka melindungi
diri mereka dengan memberikan harga yang rendah untuk perusahaan. Perusahaan dapat
meningkatkan nilai perusahaan, dengan mengurangi informasi asimetri. Salah satu cara untuk
mengurangi informasi asimetri adalah dengan memberikan sinyal kepada pihak luar tentang
informasi keuangan yang dapat dipercaya yang akan mengurangi ketidakpastian mengenai
prospek perusahaan yang akan datang (Wolk et al, 2006). Dengan demikian, penerbitan laporan
arus kas sebagai salah satu bagian dari laporan keuangan akan menyebabkan investor dapat
menilai kondisi keuangan perusahaan dan langkah tersebut mengurangi informasi asimetris.
Schift dan Lewin dalam Ujiyanto dan Bambang (2007), menyatakan bahwa agent berada
pada posisi yang memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan
perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi bahwa individu-
individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi
asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi
yang tidak diketahui principal. Sehingga dalam kondisi semacam ini principal seringkali pada
posisi yang tidak diuntungkan.
2.3. Good Corporate Governance (GCG)
2.3.1. Pengertian Good Corporate Governance (GCG)
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dalam Martina (2009),
mendefenisikan GCG sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang
saham, manager, kreditur, pemerintah, karyawan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya
baik internal maupun eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka.
6
Berdasarkan defenisi tersebut, nampak dengan jelas bahwa GCG merupakan upaya yang
dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk menjalankan
usahanya secara baik sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Syakhroza (2003),
mendefinisikan GCG sebagai suatu mekanisme tata kelola organisasi secara baik dalam
melakukan pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis ataupun
produktif dengan prinsip-prinsip terbuka, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independen, dan
adil dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Sedang Tricker (2003) dalam (Zarkasyi, 2008)
memberikan definisi tersendiri tentang GCG yang merupakan istilah yang muncul dari interaksi
diantara manajemen, pemegang saham, dan dewan direksi serta pihak terkait lainnya, akibat
adanya ketidak konsistenan antara “apa” dan “apa yang seharusnya”.
2.3.2. Prinsip-prinsip Dasar Good Corporate Governance (GCG)
Mengacu kepada pendapat Cadbury Committee (2006) secara umum terdapat lima
prinsip-prinsip dasar dari GCG, yaitu: Transparancy, Accountability, Responsibility,
Independency, dan Fairness. Prinsip-prinsip tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Keterbukaan Informasi (Transparency)
Transparansi dapat diartikan sebagai keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan
keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan. Dalam mewujudkan transparansi ini sendiri, perusahaan harus menyediakan
informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan
dengan perusahaan. Setiap perusahaan diharapkan pula dapat mempublikasikan informasi
serta informasi lainnya yang material dan berdampak signifikan pada kinerja perusahaan
secara akurat dan tepat waktu. Selain itu para investor harus dapat mengakses informasi
penting perusahaan secara mudah pada saat diperlukan (Daniri, 2006).
7
Komite Nasional Kebijakan Governance (2013) selanjutnya disebut Pedoman KNKG
menyatakan bahwa prinsip dasar yang berkaitan dengan transparansi, yaitu perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan
dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk
mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan,
tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur
dan pemangku kepentingan lainnya.
Manfaat yang dapat diambil dari penerapan prinsip ini adalah, bahwa stakeholders
dapat mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan
perusahaan. Kemudian, karena adanya informasi kinerja perusahaan yang diungkap secara
akurat, tepat waktu, jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, maka dimungkingkan
terjadinya efisiensi pasar. Selanjutnya, jika prinsip transparansi dilaksanakan dengan baik dan
tepat, akan dimungkinkan terhindarnya benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai
pihak dalam manajemen.
2 ) Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban organ
perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Diperlukan kejelasan
tugas serta fungsi organ perusahaan agar tercipta suatu mekanisme check and balance
kewenangan dan peran dalam mengelola perusahaan (Daniri, 2006). Beberapa bentuk
implementasi dari prinsip accountability antara lain:
a. Kewajiban untuk memiliki Komisaris Independen dan Komite Audit
b. Praktik Audit Internal yang efektif.
8
c. Kejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawab dalam anggaran dasar
perusahaan dan Statement of Corporate Intent (Target Pencapaian Perusahaan di masa
depan).
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2013) prinsip dasar yang berkaitan dengan
penerapan Akuntabilitas, yaitu perusahaan harus mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai
dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang
saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan
untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
Bila prinsip accountability ini diterapkan secara efektif, maka ada kejelasan fungsi, hak,
kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab antara pemegang saham, Dewan Komisaris, serta
Direksi. Dengan adanya kejelasan inilah maka perusahaan akan terhindar dari kondisi agency
problem (benturan kepentingan peran)
3) Responsibiliti (Responsibility)
Responsibiliti adalah kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaaan perusahaan terhadap
prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang
berlaku di sini termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial,
perlindungan lingkungan hidup, kesehatan, keselamatan kerja, standar penggajian, dan
persaingan yang sehat (Daniri, 2006). Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance
(2013) prinsip dasar yang berkaitan dengan prinsip Responsibiliti, yaitu perusahaan harus
mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap
9
masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka
panjang serta mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
Penerapan prinsip ini diharapkan membuat perusahaan menyadari bahwa dalam
kegiatan operasionalnya, seringkali perusahaan menghasilkan eksternalitas (dampak luar
kegiatan perusahaan) negatif yang harus ditanggung oleh masyarakat. Di luar hal itu, lewat
prinsip responsibiliti ini juga diharapkan membantu peran pemerintah dalam mengurangi
kesenjangan pendapatan dan kesempatan kerja pada segmen masyarakat yang belum
mendapatkan manfaat dan mekanisme pasar.
4) Independensi (Independency)
Independensi atau kemandirian adalah suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip - prinsip korporasi
yang sehat (Daniri 2006). Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2013) prinsip
dasar yang berkaitan dengan independensi, yaitu bahwa perusahaan harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak
dapat diintervensi oleh pihak lain guna melancarkan asas GCG. Independensi terutama sekali
penting dalam pengambilan keputusan. Hilangnya independensi dalam proses pengambilan
keputusan akan menghilangkan objektivitas dalam pengambilan keputusan tersebut. Kejadian
ini akan sangat fatal bila ternyata harus mengorbankan kepentingan perusahaan yang
seharusnya mendapat prioritas utama. Untuk mengembangkan independensi dalam
pengambilan keputusan bisnis, perusahaan hendaknya mengembangkan aturan, pedoman, dan
10
praktik di tingkat corporate board, terutama di tingkat Dewan Komisaris dan Direksi yang
oleh undang-undang didaulat untuk mengurus perusahaan dengan sebaik-baiknya.
5) Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Kewajaran dan kesetaraan bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di dalam
memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan
perundangan yang berlaku. Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal,
sistem hukum dan penegakan peraturan untuk melindungi hak-hak investor khususnya
pemegang saham minoritas dari berbagai bentuk kecurangan. Bentuk kecurangan ini dapat
berupa insider trading (transaksi yang melibatkan informasi orang dalam), fraud (penipuan),
dilusi saham (nilai perusahaan berkurang), KKN, atau keputusankeputusan yang dapat
merugikan seperti pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan, penerbitan saham baru,
merger, akuisisi, atau pengambil-alihan perusahaan lain (Daniri, 2006). Menurut Komite
Nasional Kebijakan Governance (2013) prinsip dasar yang berkaitan dengan Fairness dalam
melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan
kesetaraan. Fairness diharapkan membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan
prudent (hati-hati), sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara fair
(jujur dan adil). Fairness juga diharapkan memberi perlindungan kepada perusahaan terhadap
praktik korporasi yang merugikan. Fairness menjadi jiwa untuk memonitor dan menjamin
perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) (2006) menterjemahkan
prinsip-prinsip GCG ke dalam enam aspek yaitu;
11
a. GCG digunakan sebagai pedoman pengembangan kerangka kerja legal, institusional, dan
regulatori untuk corporate governance di suatu negara.
b. Hak-hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan: Hak-hak pemegang saham harus
dilindungi dan difasilitasi.
c. Perlakuan setara terhadap seluruh pemegang saham: Seluruh pemegang saham termasuk
pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing harus diperlakukan setara.
d. Peran stakeholders dalam corporate governance: Hak-hak para pemangku kepentingan
(stakeholders) harus diakui sesuai peraturan perundangan yang berlaku dan kontrak
kerjasama aktif antara perusahaan dan para stakeholders harus dikembangkan dalam
upaya bersama menciptakan aset, pekerjaan, dan kelangsungan perusahaan.
e. Pengungkapan (Disclosure) dan transparansi: Pengungkapan yang tepat waktu dan akurat
mengenai segala aspek material perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja,
kepemilikan, dan governance perusahaan.
f. Tanggung jawab pengurus perusahaan (Corporate Boards): Pengawasan Dewan
Komisaris terhadap pengelolaan perusahaan oleh Direksi harus berjalan efektif, disertai
adanya tuntutan strategik terhadap manajemen, serta akuntabilitas dan loyalitas Direksi
dan Dewan Komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham.
2.3.3. Tujuan dan Manfaat Good Corporate Governance
(Daniri, 2006) menyatakan bahwa Good Corporate Governance mempunyai lima macam
tujuan utama. Kelima tujuan utama tersebut adalah sebagai berikut:
1) Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham.
2) Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders non pemegang saham.
12
3) Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham.
4) Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board of Directors dan
manajemen perusahaan.
5) Meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen senior perusahaan.
(Daniri, 2006) menyatakan juga bahwa secara umum tujuan GCG yaitu terciptanya praktek-
praktek manajemen yang sehat dan yang menguntungkan semua pihak. Praktek manajemen yang
sehat kelihatan dari manafaat GCG yaitu:
1) Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegan saham sebagai
akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya biaya ini dapat berupa
kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang ataupun berupa
pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
2) Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan
yang baik menyebabkan tingkat bunga atas dana atau sumber daya yang dipinjam oleh
perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan.
3) Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan di
mata publik dalam jangka panjang.
4) Menciptakan dukungan para stakeholders (para pemangku kepentingan) dalam lingkungan
perusahaan tersebut terhadap keberadaan perusahaan dan berbagai strategi dan kebijakan
yang ditempuh perusahaan, karena umumnya mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga
mendapat manfaat maksimal dari segala tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan.
13
Manfaat GCG bukanlah hanya untuk saat ini saja, tetapi juga dalam jangka waktu yang
panjang dapat menjadi pilar utama pendukung tumbuh kembangnya perusahaan sekaligus pilar
pemenang persaingan global.
2.3.4. Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Penerapan Good Corporate Governance
Sesuai dengan hasil penelitian (Daniri, 2006) terdapat dua faktor yang memegang
peranan terhadap keberhasilan penerapan GCG, yaitu:
1) Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah berbagai faktor yang berasal dari luar perusahaan yang sangat
mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG. Faktor eksternal tersebut diantaranya adalah:
a. Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin berlakunya supremasi
hukum yang konsisten dan efektif.
b. Adanya dukungan pelaksanaan GCG dari sektor publik/lembaga pemerintahan yang
diharapkan dapat pula melaksanakan Good Governance dan Clean Goverment menuju
Good Goverment Governance yang sebenarnya.
c. Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best practices) yang dapat menjadi
standar pelaksanaan GCG yang efektif dan profesional.
Dengan kata lain, semacam benchmark (acuan), terbangunnya sistem tata nilai sosial
yang mendukung penerapan GCG di masyarakat.
2) Faktor Internal
Faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan praktik GCG yang berasal
dari dalam perusahaan. Faktor internal tersebut diantaranya adalah:
14
a. Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan GCG
dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan.
b. Adanya berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada
penerapan nilai-nilai GCG.
c. Adanya manajemen pengendalian resiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah-kaidah
standar GCG.
d. Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan untuk
menghindari setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi.
e. Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami setiap gerak dan
langkah manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan publik dapat memahami dan
mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu ke
waktu.
Di luar dua faktor di atas, aspek lain yang paling strategis dalam mendukung penerapan
GCG secara efektif adalah kualitas, skill, kredibilitas, dan integritas berbagai pihak yang
menggerakkan perusahaan.
2.3.5. Persistensi Laba
Persistensi laba merupakan laba yang dapat digunakan sebagai indikator future earnings.
Persistensi laba yang sustainable dinyatakan sebagai laba yang mempunyai kualitas tinggi,
sebaliknya jika laba unusual dinyatakan sebagai laba yang mempunyai kualitas jelek (Penman
dan Zhang, 2002). Tanpa adanya laba, maka bisnis perusahaan tidak akan berjalan dengan baik.
Laba yang berkualitas adalah laba yang mencerminkan kelanjutan laba (sustainable earnings)
di masa depan, yang ditentukan oleh komponen akrual dan aliran kasnya. Menurut Zainal (2010)
15
selama ini laba akuntansi masih menarik perhatian para investor sebagai dasar dalam
pengambilan keputusan, seperti penilaian kinerja manajemen, penentuan kompensasi
manajemen, pemberian dividen kepada pemegang saham dan lain sebagainya. Oleh karena itu
laba yang perlu diperhatikan oleh para calon maupun investor bukan hanya laba yang tinggi,
namun juga laba yang persisten.
Penman dan Zhang (2002) dalam Sunarto (2008) membedakan laba ke dalam dua
kelompok: sustainable earnings (earnings persistent atau core earnings), dan unusual earnings
atau transitory earnings. Persistensi laba merupakan laba yang mempunyai kemampuan sebagai
indikator laba periode mendatang (future earnings) yang dihasilkan oleh perusahaan secara
berulang-ulang (repetitive) dalam jangka panjang (sustainable). Sedangkan unusual earnings
atau transitory earnings merupakan laba yang dihasilkan secara temporer dan tidak dapat
dihasilkan secara berulang-ulang (non-repeating), sehingga tidak dapat digunakan sebagai
indikator laba periode mendatang. Berdasarkan konsep tersebut menunjukkan bahwa persistensi
laba berasal dari komponen-komponen core operating income, sedangkan transitory earnings
berasal dari unusual items.
Konsep persistensi laba menurut Penman dan Zhang (2002) dalam Wijayanti (2006),
merupakan revisi dalam laba akuntansi yang diharapkan dimasa mendatang (expected future
earnings) yang diimplikasi oleh inovasi laba tahun berjalan (current earnings). Selain itu
persistensi laba ditentukan oleh komponen akrual dan aliran kas yang terkandung dalam laba saat
ini (Penman, 2001 dalam Diana dan Kusuma, 2004). Komponen akrual dan current earnings
cenderung kurang terulang lagi atau kurang persisten untuk menentukan laba masa depan karena
mendasarkan pada akrual, defferal (tangguhan), alokasi dan penilaian yang mempunyai distorsi
subyektif. (Hanlon, 2005; Sloan,1996 dalam Ratmono, 2005). Laba yang berkualitas dapat
16
diartikan sebagai laba yang persisten, semakin persisten atau permanen laba yang diperoleh suatu
perusahaan dari waktu ke waktu akan mencerminkan suatu kualitas laba yang baik dan naik
(turun) laba bukan dikarenakan suatu peristiwa tertentu (Febrianto, 2006). Persistent earnings
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kekuatan respon harga. Persistent earnings
berhubungan positif dengan earnings respon coeficient (ERC). Artinya semakin permanen
perubahan earnings dari waktu ke waktu maka semakin tinggi koefisien earnings karena kondisi
ini menunjukkan bahwa earnings yang diperoleh perusahaan meningkat terus. Persistensi
merupakan cermin kualitas earnings yang diperoleh perusahaan karena perusahaan dapat
mempertahankan perolehan earnings tersebut dari waktu ke waktu dan bukan hanya karena suatu
peristiwa tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa permanent earnings
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi expected future earnings (Kormendi dan Lipe,
1987).
Persistensi berhubungan dengan besarnya unexpected earnings. Sebagai contoh,
perusahaan jarang sekali bisa mempertahankan perubahan earnings yang sangat besar untuk
periode berikutnya. Jika perubahan tersebut mencerminkan adanya komponen transitori maka
akan terjadi hubungan negatif antara persistent earnings dengan unexpected earnings.
Memberikan bukti bahwa respon harga saham terhadap unexpected earnings menurun dengan
meningkatnya nilai absolute unexpected earnings (Freeman dan Tse 1992, Ali dalam Diana dan
Kusuma, 2004). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa besarnya hubungan antara
return saham dengan earnings tergantung pada persistensi laba.
17
2.3.5.1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Persistensi Laba
Faktor-faktor penentu persistensi laba di antaranya volatilitas arus kas, besaran akrual,
volatilitas penjualan, tingkat hutang, dan siklus operasi diadopsi dari GU et al. (2002); Dechow
and Dichev (2002); Cohen (2003); Francis et al (2004), Pagalung (2006), volatilitas penjualan
dari Dechow and Dichev (2002); Cohen (2003); Francis et al (2004), Pagalung (2006), dan
tingkat hutang dari Gu et al. (2002), Tumirin (2003) dan Saputra (2003). Sedangkan dua faktor
yang lainnya adalah volatilitas arus kas diadopsi dari Dechow and Dichev (2002). Dua faktor
tambahan ini adalah faktor yang memiliki kaitan erat dengan persistensi laba akuntansi. Studi
yang dilakukan oleh Dechow and Dichev (2002) juga mengungkapkan bahwa persistensi laba
merupakan salah satu komponen nilai prediksi laba dalam menentukan persistensi laba, dan
persistensi laba tersebut ditentukan oleh komponen akrual dan aliran kas dari laba sekarang, yang
mewakili sifat transitori dan permanen laba.
Volaitilas arus kas mempengaruhi persistensi laba karena adanya ketidakpastian tinggi
dalam lingkungan operasi ditunjukkan arus kas berfluktuasi tajam maka persistensi laba akan
semakin rendah. Besaran akrual memperngaruhi persistensi laba karena semakin banyak akrual
berarti semakin banyak estimasi dan error estimasi, dan karena itu persistensi laba akan semakin
rendah. Volatilitas penjualan menunjukkan fluktuasi lingkungan operasi dan penyimpangan
aproksimasi yang besar dan berhubungan dengan kesalahan estimasi yang lebih besar sehingga
menyebabkan persistensi laba yang rendah. Besarnya tingkat hutang perusahaan akan
menyebabkan perusahaan meningkatkan persistensi laba dengan tujuan untuk mempertahankan
kinerja yang baik di mata investor dan auditor. Semakin panjang siklus operasi menunjukkan
semakin banyak kepastian, semakin banyak estimasi dan error estimasi, dan karena itu
persistensi laba semakin rendah.
18
Menurut Boediono (2005) persistensi laba dipengaruhi oleh faktor keberadaan
manajemen laba dan mekanisme dalam pengelolaan perusahaan (corporate governance
mechanism) dalam hal ini yaitu mekanisme kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial
dan komposisi dewan komisaris (Boediono, 2005). Perbedaan informasi yang diperoleh antara
para pemegang saham dengan pihak manajemen perusahaan terkadang menjadi pemicu tidak
terwujudnya harapan di atas. Perbedaan informasi antara para pemegang saham dan pihak
manajemen ini merupakan kenyataan empiris yang tidak dapat dihindari dari sebuah hubungan
keagenan. Dalam teori keagenan dinyatakan bahwa hubungan keagenan muncul ketika satu
orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan
kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut (Jensen dan
Meckling, 1976).
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian tentang kaitan corporate governance dan
persistensi laba sebagai salah satu ukuran kualitas laba masih rasional dan penting untuk
dilakukan. Masalah penelitian ini adalah masih terdapat berbagai kontroversi hasil penelitian
mengenai pengaruh komponen corporate governance terhadap persistensi laba sebagai salah satu
ukuran dari kualitas laba.
2.3.5.2. Pengukuran Persistensi Laba
Studi yang dilakukan Sunarto (2008) menjelaskan bahwa untuk mengukur persistensi
laba dapat dilakukan dengan proxy yang berbeda-beda diantaranya adalah:
1) Sloan (1996) mengacu pada Freeman et al. (1982) menunjukkan bahwa persistensi laba
merupakan hubungan antara current earnings performance dan future earnings performance.
Earnings didefinisikan sebagai laba operasi dibagi total assets.
19
2) Francis et al. (2004) mengukur persistensi laba dari slope koefisien hasil regresi current
earnings pada lagged earnings. Earnings didefinisikan sebagai laba dari aktivitas normal
(net income before extraordinary items yang disingkat dengan NIBE).
3) Tucker dan Zarowin (2006) dan Ecker et al. (2006) mengukur persistensi laba dari parameter
hasil regresi current earnings per share pada lagged earnings per share. Tucker dan Zarowin
(2006) mengembangkan analisisnya dengan melakukan estimasi hubungan antara current dan
future earnings berdasarkan interaksi antara earnings per share dan income smoothing. Jika
income smoothing memperbaiki keinformasian laba, maka hubungan antara current dan
future earnings semakin kuat (laba semakin persisten).
4) Dechow dan Dichev (2002) mengukur persistensi laba berdasarkan kualitas akrual. Kualitas
akrual didefinisikan sebagai estimasi error dari hasil regresi modal kerja akrual.
Sementara itu, dalam mengukur persistensi laba, Velury (1999) menggunakan ukuran
persistensi laba yang digunakan oleh Lev and Thiagarajan (1993) yaitu menggunakan analisis
laporan keuangan sebagai sinyal untuk memprediksi laba mendatang. Sinyal tersebut mencakup
perubahan persediaan, piutang, laba kotor, biaya penjualan, pengeluaran modal, tingkat pajak
efektif, metode persediaan dan produktifitas penjualan. Sinyal yang menunjukkan perubahan
positif diberi tanda 1 (satu) dan sinyal negatif diberi tanda 0 (nol).
Sinyal-sinyal tersebut ditentukan sebagai berikut:
1) Prosentase perubahan persediaan tahun sebelumnya dikurangi prosentase perubahan
penjualan tahun sebelumnya. Kenaikan persediaan mengindikasikan terdapat masalah
penjualan
2) Prosentase perubahan piutang tahun sebelumnya dikurangi prosentase perubahan penjualan
tahun sebelumnya. Kenaikan piutang terhadap penjualan mengindikasikan kesulitan
20
pengumpulan kas, besarnya biaya piutang (cadangan kerugian piutang) dan rendahnya
penjualan.
3) Prosentase-prosentase penjualan tahun sebelumnya dikurangi prosentase perubahan laba
kotor tahun sebelumnya. Laporan keuangan merupakan fungsi dari intensitas persaingan dan
berhubungan dengan biaya variabel dan biaya tetap. Penurunan yang tidak proporsional pada
laporan keuangan mengindikasikan penjualan yang tidak menguntungkan.
4) Prosentase perubahan pengeluaran modal industry dikurangi prosentase perubahan
pengeluaran modal perusahaan. Nilai positif pada sinyal ini berarti tidak menguntungkan.
5) Prosentase perubahan biaya penjualan dan administrasi tahun sebelumnya dikurangi
prosentase perubahan penjualan tahun sebelumnya. Karena biaya administrasi merupakan
biaya tetap, kenaikan yang tidak proporsional pada biaya ini terhadap penjualan merupakan
indikator kurangnya biaya pengendalian manajemen atau ada penjualan yang tidak biasa.
Suatu peningkatan yang tidak proporsional pada biaya administrasi dan biaya penjualan
berarti tidak menguntungkan.
6) Pengaruh perubahan pajak terhadap laba sebelum pajak. Penurunan pada sinyal ini
mengindikasikan bahwa laba tidak persisten terhadap kinerja mendatang.
7) Prosentase penjualan tahun sebelumnya dikurangi prosentase perubahan order backlog
(pemesanan tidak jadi beli) tahun sebelumnya. Perubahan order backlog terhadap penjualan
merupakan indikasi perubahan penjualan dan laba mendatang. Penurunan drastis pada order
backlog berarti penjualan yang telah dicatat tidak direalisasi dalam periode sekarang yang
mengindikasikan adanya earnings management. Nilai positif pada sinyal ini tidak
menguntungkan.
21
8) Prosentase penjualan tahun sebelumnya dibagi jumlah karyawan. Sinyal ini untuk mengukur
perubahan efisiensi tenaga kerja. Nilai negatif sinyal ini menunjukan peningkatan
produktivitas tenaga kerja dan oleh karenanya menguntungkan.
9) Metode penilaian persediaan yang digunakan. Penggunaan metode LIFO merupakan
kebijakan yang konsisten dengan konservatisme. Konservatisme dihubungkan dengan
tingginya kualitas laba.
Dalam penelitian ini pengukuran persistensi laba dilakukan menurut Francis et.al.
(2004) dan Pagulung (2006) yang memandang proksi persistensi ini adalah nilai koefisien dari
model regresi laba tahunan (model ARI) dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
Earnings jt = laba sebelum item-item luar biasa perusahaan j tahun t
Earnings jt-1 = laba sebelum item-item luar biasa perusahaan j tahun lalu
Saham yang beredar jt = Saham yang beredar perusahaan j tahun t
Saham yang beredar jt = Saham yang beredar perusahaan j tahun lalu
2.3.6. Komite Audit
Menurut Nasution (2012), sesuai dengan Kep. 29/PM/2004, komite audit adalah komite
yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan
perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan perusahaan. Komite audit
merupakan komponen baru dalam sistem pengendalian perusahaan. Selain itu komite audit
dianggap sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak
manajemen dalam menangani masalah pengendalian. Berdasarkan Surat Edaran BEJ, SE-
008/BEJ/12-2001, keanggotaan komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang termasuk
ketua komite audit. Anggota komite ini yang berasal dari komisaris hanya sebanyak satu orang,
jt
jt
jt
jt
jt
beredaryangSaham
Earnings
beredaryangSaham
Earnings
1
1
10
….(2.3.5.2.1)
22
anggota komite yang berasal dari komisaris tersebut merupakan komisaris independen
perusahaan tercatat sekaligus menjadi ketua komite audit. Anggota lain yang bukan merupakan
komisaris independen harus berasal dari pihak eksternal yang independen.
Seperti diatur dalam Kep-29/PM/2004 yang merupakan peraturan yang mewajibkan
perusahaan membentuk komite audit, tugas komite audit antara lain: (1) Melakukan penelaahan
atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan perusahaan, seperti laporan keuangan, proyeksi
dan informasi keuangan lainnya, (2) Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan terhadap
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan peraturan perundangan lainnya yang
berhubungan dengan kegiatan perusahaan, (3) Melakukan penelaahan atas pelaksanaan
pemeriksaan oleh auditor internal, (4) Melaporkan kepada komisaris berbagai risiko yang
dihadapi perusahaan dan pelaksanaan manajemen risiko oleh direksi, (5) Melakukan penelaahan
dan melaporkan kepada dewan komisaris atas pengaduan yang berkaitan dengan emiten, (6)
Menjaga kerahasiaan dokumen, data, dan rahasia perusahaan.
Verdana Sari (2013) menyatakan bahwa komite audit adalah auditor internal yang
dibentuk dewan komisaris, yang bertugas melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan
dan pelaksanaan pengendalian intern perusahaan. Indikator yang digunakan untuk mengukur
komite audit adalah jumlah anggota komite audit pada perusahaan sampel. Berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia No. 8/14/PBI/2006 tentang pelaksanaan Good corporate Govenance
jumlah anggota komite audit minimal 3 orang.
2.3.6.1. Independensi Komite Audit
Independensi merupakan landasan dari efektivitas komite audit (Tugiman 1995). Kinerja
komite audit menjadi efektif jika para anggotanya memiliki kemandirian dalam menyatakan
23
sikap dan pendapat. Untuk menjamin independensi, Bapepam (2004) menetapkan persyaratan
bagi pihak-pihak yang menjadi anggota komite audit yaitu:
1) Bukan merupakan orang dalam Kantor Akuntan Publik, Kantor Konsultan Hukum, atau
pihak lain yang memberikan jasa audit, jasa non audit dan atau jasa konsultasi lain kepada
emiten atau perusahaan publik yang bersangkutan dalam waktu enam bulan terakhir sebelum
diangkat oleh komisaris.
2) Bukan merupakan orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk
merencanakan, memimpin, atau mengendalikan kegiatan emiten atau perusahaan publik
dalam waktu enam bulan terakhir sebelum diangkat oleh komisaris, kecuali komisaris
independen.
3) Tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan
publik. Dalam hal anggota komite audit memperoleh saham akibat suatu peristiwa hukum
maka dalam jangka waktu paling lama enam bulan setelah diperolehnya saham tersebut
wajib mengalihkan kepada pihak lain.
4) Tidak mempunyai: (a) hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat
kedua, baik secara horisontal maupun secara vertikal dengan komisaris, direksi, atau
pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik, dan (b) tidak memiliki hubungan
usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatn emiten atau
perusahaan publik.
Bryan et al. (2004) menyebutkan karakteristik penting lain yang harus dimiliki komite
audit adalah frekuensi pertemuan, keahlian di bidang keuangan, dan komitmen waktu. Ketiga
faktor tersebut merupakan kunci penentu efektifitas komite audit. Karakteristik ini menurut
Bryan et al. (2004) memiliki kemungkinan dapat mempengaruhi proses pelaporan keuangan.
24
Abbot et al. (2004) menemukan bukti bahwa komite audit yang melakukan pertemuan kurang
dari jumlah minimum memiliki kemungkinan lebih besar untuk menyajikan kembali labanya. Ia
juga menemukan bukti bahwa kecurangan dan penyajian kembali laba semakin banyak terjadi
ketika anggota komite audit tidak memiliki kompetensi di bidang keuangan. Core et al. (dalam
Bryan et al. 2004) menyatakan bahwa efektivitas komite audit akan menurun ketika anggotanya
bekerja di banyak perusahaan. Mereka menekankan bahwa pengalaman bekerja pada perusahaan
lain mulanya dapat meningkatkan efektivitas anggota komite audit. Namun, keadaan tersebut
seeara cepat berbalik ketika anggota komite audit bekerja di banyak perusahaan lain (lebih dari
tiga perusahaan).
Price Waterhouse dalam Ataina (2000) merekomendasikan bahwa komite audit secara
periodik harus mengevaluasi kinerjanya dan evaluasi komite audit sebaiknya dilakukan oleh
akuntan publik yang independen yang bukan akuntan publik perusahaan. Pendapat ini didukung
oleh Sommer dalam Ataina (2000) yang menyatakan bahwa auditor mempunyai posisi yang
strategis untuk mengevaluasi kinerja komite audit. Hal ini disebakan karena auditor merupakan
pihak yang sering bergaul dengan berbagai komite audit suatu perusahaan. Selain itu, akuntan
publik juga menerapkan sistem peer review (evaluasi kinerja suatu Kantor Akuntan Publik
(KAP) oleh KAP lain) dalam melakukan evaluasi kinerja sehingga hasil evaluasi lebih bersifat
rdiabel. Komite audit juga hams mereview hasil evaluasi tersebut dengan seluruh anggota dewan
komisaris.
2.3.6.2. Struktur Komite Audit
Struktur Komite Audit di tiap negara tidak sama. Di Indonesia struktur Komite Audit
diatur dalam Kep. Men. 117/2002 untuk perusahaan BUMN dan untuk perusahaan publik diatur
dalam Keputusan BEJ dan Peraturan BAPEPAM yang relevan. Ketentuan mengenai Struktur
25
Komite Audit menurut Keputusan Ketua BAPEPAM No. Kep-41/PM/2003 tanggal 22 Desember
2003 tentang Peraturan Nomor IX.1.5 : Pembentukkan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite
Audit adalah sebagai berikut :
1) Anggota Komite Audit diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Komisaris dan dilaporkan
kepada Rapat Umum Pemegang Saham
2) Anggota Komite Audit yang merupakan Komisaris Independen bertindak sebagai Ketua
Komite Audit. Dalam hal ini Komisaris Independen yang menjadi anggota Komite Audit
lebih dari satu orang maka salah satunya bertindak sebagai Ketua Komite Audit.
Adapun Persyaratan Keanggotaan Komite Audit sesuai Keputusan Ketua BAPEPAM No.
Kep-41/PM/2003 tanggal 22 Desember 2003 tentang Peraturan Nomor IX.1.5 : Pembentukan
dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit adalah sebagai berikut:
1) Memiliki integritas yang tinggi, kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang memadai
sesuai dengan latar belakang pendidikannya, serta mampu berkomunikasi dengan baik.
2) Salah seorang dari anggota Komite Audit memiliki latar belakang pendidikan akuntansi atau
keuangan.
3) Memiliki pengetahuan yang cukup untuk membaca dan memahami laporan Keuangan
4) Memiliki pengetahuan yang memadai tentang peraturan perundangan di bidang Pasar Modal
dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
5) Bukan merupakan orang dalam Kantor Akuntan Publik yang memberikan jasa audit dan atau
non audit pada emiten atau perusahaan publik yang bersangkutan dalam 1 (satu) tahun
terakhir sebelum diangkat oleh Komisaris sebagaimana dimaksudkan dalam peraturan
Nomor VIII A.2 tentang Indepensi Akuntan yang memberikan Jasa Audit di Pasar Modal.
26
6) Bukan merupakan karyawan kunci emiten atau perusahaan publik dalam 1 (satu) tahun
terakhir sebelum diangkat oleh Komisaris.
7) Tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan
publik. Dalam hal anggota Komite Audit memperoleh saham akibat suatu peristiwa hukum
maka dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah diperolehnya saham tersebut
wajib mengalihkan kepada pihak lain.
8) Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik, Komisaris,
Direksi atau Pemegang Saham Utama Emiten atau perusahaan publik.
9) Tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan
dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik.
2.3.6.3. Peran dan Tanggung Jawab Komite Audit
Manfaat Komite Audit yang dibentuk sebagai sebuah komite khusus di perusahaan untuk
mengoptimalkan fungsi pengawasan yang sebelumnya merupakan tanggung jawab penuh Dewan
Komisaris. Surat edaran PT. Bursa Efek Jakarta No.SE-008/BEJ/12-2001 tanggal 7 Desember
2001 telah mengatur mengenai keanggotaan Komite Audit dengan anggota Komite Audit yang
berasal dari eksternal. Peranan Komite Audit diatur melalui surat edaran Bapepam nomor SE-
03/PM/2002. Dalam surat itu dinyatakan bahwa Komite Audit terdiri dari sedikitnya tiga orang,
diketuai oleh komisaris independen perusahaan dengan proporsi 30% untuk terselenggaranya
pengelolaan korporasi yang baik.
Tanggung jawab Komite Audit meliputi : memilih auditor independen, mengawasi proses
audit dan memastikan kualitas laporan keuangan. Bapepam (2000) juga menyatakan bahwa
Komite Audit bertanggung jawab untuk:
27
1) Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan perusahaan, seperti
laporan keuangan, proyeksi, serta informasi keuangan lainnya.
2) Melakukan penelahaan atas ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal dan peraturan lain yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan.
3) Melakukan penelaahan atas kecukupan pemeriksaan yang dilakukan oleh Akuntan Publik
untuk memastikan semua resiko yang penting telah dipertimbangkan.
Dalam Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) menyatakan bahwa
wewenang Komite Audit harus meliputi:
1) Menyelidiki semua aktivitas dalam batas ruang lingkup tugasnya
2) Mencari informasi yang relevan dari setiap karyawan
3) Mengusahakan saran hukum dan saran rofesional lainnya yang independen apabila dipandang
perlu
4) Mengundang kehadiran pihak luar dengan pengalaman yang sesuai,apabila dianggap perlu.
Hubungan yang erat antara komite audit dengan dewan komisaris ini juga nampak dalam
kewajiban pelaporan komite audit. Komite audit bertanggung jawab kepada dewan komisaris
atas pelaksanaan tugas yang telah ditentukan dan wajib membuat laporan kepada dewan
komisaris atas setiap penggunaan yang diberikan (BEJ, 2001).
2.3.6.4. Pengukuran Komite Audit
Pengukuran variabel komite audit dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan
jumlah anggota komite audit.
2.3.7. Kepemilikan Institusional
28
Verdana Sari (2013) menyatakan bahwa kepemilikan institusional merupakan saham
perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga (perusahaan asuransi, bank, perusahaan
investasi dan kepemilikan institusi lain). Investor institusional sering disebut sebagai investor
yang canggih (sophisticated) sehingga seharusnya lebih dapat menggunakan informasi periode
sekarang dalam memprediksi laba masa depan dibanding investor non instusional. Investor
institusional diyakini mampu memonitor tindakan manajer dengan lebih baik dibanding dengan
investor individual. Kepemilikan institusional yang tinggi akan meningkatkan pengelolaan laba
tetapi jika pengelolaan laba yang dilakukan perusahaan bersifat oportunis maka kepemilikan
institusional yang tinggi akan mengurangi manajemen laba.
Kusumaningtyas (2012) menjelaskan bahwa kepemilikan institusional merupakan
jumlah saham perusahaan yang dimiliki oleh pemegang saham institusional. Komunitas bisnis
menaruh perhatian yang besar untuk meningkatkan kepemilikan institusional, sehingga dapat
lebih banyak mempengaruhi kebijakan perusahaan. Institusi dengan kepemilikan saham yang
relatif besar dalam perusahaan mungkin akan mempercepat manajemen perusahaan untuk
menyajikan pengungkapan secara sukarela. Hal ini terjadi karena investor institusional dapat
melakukan pengawasan dan dianggap sebagai investor yang canggih (sophisticated investors,
yang tidak mudah dibodohi oleh tindakan manajer). Kepemilikan institusional diukur dengan
jumlah proporsi saham yang dimiliki dibagi dengan jumlah saham yang beredar.
2.3.7.1. Pengukuran Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh
institusi terhadap total saham yang beredar.
2.4. Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
29
Penelitian tentang pengelolaan perusahaan dalam hal ini yaitu mekanisme kepemilikan
institusional dan komite audit terhadap persistensi laba secara sendiri-sendiri pernah dilakukan
peneliti sebelumnya. Adapun penelitian-penelitian tersebut diantaranya adalah:
Khafid (2012) melakukan penelitian dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa
komposisi dewan komisaris, kepemilikan saham oleh manajemen/ kepemilikan manajerial, dan
komite audit terbukti berpengaruh pada persistensi laba pada α 0,05. Sedangkan kepemilikan
institusional tidak berpengaruh pada persistensi laba pada α 0,05. Perbedaan penelitian yang
akan dilakukan ini dengan penelitian yang dilakukan Khafid (2012) yang diuraikan di atas
terletak pada variabel penelitian dan populasi penelitian. Jika pada penelitian Khafid (2012)
variabel penelitiannya Tata Kelola Perusahaan, Struktur Kepemilikan dan Persistensi Laba serta
populasinya seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sedangkan pada
penelitian yang akan dilakukan variabelnya Komite Audit, Kepemilikan Institusional dan
Perseistensi Laba serta populasinya seluruh perusahaan manufaktur yang terdapat di Bursa Efek
Indonesia (BEI).
Fanani (2010) melakukan penelitian dimana penelitian ini bertujuan untuk menguji
pengaruh volatilitas arus kas, besaran akrual, volatilitas penjualan, tingkat hutang, dan siklus
operasi terhadap persistensi laba. Dari keseluruhan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
(1) volatilitas arus kas berpengaruh negatif dan signifikan terhadap persistensi laba. Hal ini
berarti derajat volatilitas arus kas bisa memprediksi persistensi laba; (2) besaran akrual kas
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap persistensi laba. Hal ini memberikan informasi
bahwa besar kecilnya komponen akrual yang terjadi diperusahaan akan menyebabkan ganguan
(noise) yang dapat menurangi persistensi laba; (3) volatilitas penjualan berpengaruh negatif dan
signifikan secara signifikan terhadap persistensi laba. Volatilits yang tinggi dari penjualan dapat
30
memprediksi persistensi laba, karena laba yan dihasilkan akan mengandung banyak mengandung
banyak gangguan (noise); (4) tingkat hutang berpengaruh positif dan sigifikan terhadap
persistensi laba. Besarnya tingkat hutang perusahaan akan menyebabkan perusahaan
meningkatkan persistensi laba dengan tujuan untuk mempertahankan kinerja yang bai dimata
investor dan auditor. Dengan kinerja yang baik tersebut maka diharapkan kreditor tetap memiliki
kepercayaan terehadap perusahaan, tetap mudah mengucurkan dana, dan perusahaan akan
memperoleh kemudahan dalam proses pembayaran dan (5) siklus operasi tidak berpengaruh
signifikan terhadap persistensi laba. Siklus operasi yang lebih lama dapat menyebabkan
ketidakpastian yang lebih besar, tidak membuat akrual lebih terganggu (noise) dan kurang
membantu dalam memprediksi aliran kas dimasa yang akan datang.
Perbedaan penelitian yang akan dilakukan ini dengan penelitian yang dilakukan Fanani
(2010) yang diuraikan di atas terletak pada variabel penelitiannya. Jika pada penelitian Fanani
(2010) variabel penelitiannya berupa faktor-faktor penentu Persentasi Laba yang terdiri dari
Volatilitas Arus Kas, Besaran Akrual, Volatilitas Penjualan, Tingkat Hutang dan Siklus Operasi.
Sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan variabelnya Komite Audit, Kepemilikan
Institusional dan Perseistensi Laba.
Kusumaningtyas (2012) melakukan penelitian dimana tujuan utama penelitian ini adalah
untuk mendapatkan bukti empiris mengenai independensi komite audit dan kepemilikan
institusional terhadap manajemen laba. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah
dilakukan mengenai independensi komite audit dan kepemilikan institusional terhadap
manajemen laba, maka dapat diambil kesimpulan bahwa independensi komite audit dapat
mengurangi tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh manajer perusahaan. Sebaliknya,
kepemilikan institusional tidak dapat mengurangi tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh
31
manajer perusahaan. Dengan demikian hasil penelitian ini berimplikasi untuk mendorong riset
akuntansi keuangan dan good corporate governance untuk menganalisis lebih lanjut mengenai
variabel lain yang berpengaruh terhadap manajemen laba sehingga akan dapat mengatasi
permasalahan yang sering muncul antara pemilik perusahaan (principal) dengan manajer (agent),
dan akan mewujudkan suatu good corporate governance.
Perbedaan penelitian yang akan dilakukan ini dengan penelitian yang dilakukan
Kusumaningtyas (2012) yang diuraikan di atas terletak pada variabel penelitiannya. Jika pada
penelitian Kusumaningtyas (2012) variabel penelitiannya berupa Independensi Komite Audit,
Kepemilikan Institusional dan Manajemen Laba. Sedangkan pada penelitian yang akan
dilakukan variabelnya Komite Audit, Kepemilikan Institusional dan Perseistensi Laba.
Hasil penelitian merupakan kajian empiris penelitian. Penelitian ini mencoba
mengembangkan penelitian-penelitian sebelumnya dengan cara melakukan perluasan
pengamatan dan pengembangan proksi. Ringkasan beberapa penelitian sebelumnya dapat dilihat
pada Lampiran 1.