27
BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1 Kajian Teori Dan Penelitian yang Relevan 2.1.1 Eksplorasi Menurut kamus besar bahasa Indonesia eskplorasi berarti penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak (tentang keadaan), terutama sumber-sumber alam yang terdapat ditempat itu atau kegiatan untuk memperoleh pengalaman baru dari situasi yang baru. Purwadi (2004: 47) juga mendefenisikan eskplorasi adalah suatu aktivitas yang dilakukan untuk menggali dan mencari informasi atau alternative yang sebanyak-banyaknya yang berguna untuk kepentingan di masa depan. Berdasarkan pada penjelasan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa eksplorasi adalah kegiatan mencari dan menggali pengetahuan mengenai suatu benda atau keadaan secara mendalam dengan tujuan memperoleh suatu pengetahuan yang baru. 2.1.2 Pembelajaran Matematika Menurut Susanto (2013: 185-186) pembelajaran merupakan komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik. Pembelajaran didalamnya terkandung makna belajar dan mengajar. Belajar tertuju kepada apa yang harus dilakukan oleh seseorang sebagai subjek yang menerima pembelajaran, sedangkan mengajar berorientasi pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu kegiatan pada saat terjadi interaksi antara guru dengan siswa, serta antara siswa dengan siswa didalam pembelajaran. 12

BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1 Kajian Teori Dan Penelitian ... II.pdfSkema bukanlah benda nyata yang dapat dilihat. Skema tidak pernah berhenti berubah atau menjadi lebih rinci. Skema

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • BAB II

    KAJIAN TEORITIK

    2.1 Kajian Teori Dan Penelitian yang Relevan

    2.1.1 Eksplorasi

    Menurut kamus besar bahasa Indonesia eskplorasi berarti penjelajahan

    lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak (tentang keadaan),

    terutama sumber-sumber alam yang terdapat ditempat itu atau kegiatan untuk

    memperoleh pengalaman baru dari situasi yang baru. Purwadi (2004: 47) juga

    mendefenisikan eskplorasi adalah suatu aktivitas yang dilakukan untuk menggali

    dan mencari informasi atau alternative yang sebanyak-banyaknya yang berguna

    untuk kepentingan di masa depan.

    Berdasarkan pada penjelasan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa

    eksplorasi adalah kegiatan mencari dan menggali pengetahuan mengenai suatu

    benda atau keadaan secara mendalam dengan tujuan memperoleh suatu

    pengetahuan yang baru.

    2.1.2 Pembelajaran Matematika

    Menurut Susanto (2013: 185-186) pembelajaran merupakan komunikasi

    dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar

    dilakukan oleh peserta didik. Pembelajaran didalamnya terkandung makna belajar

    dan mengajar. Belajar tertuju kepada apa yang harus dilakukan oleh seseorang

    sebagai subjek yang menerima pembelajaran, sedangkan mengajar berorientasi

    pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Kedua aspek

    ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu kegiatan pada saat terjadi

    interaksi antara guru dengan siswa, serta antara siswa dengan siswa didalam

    pembelajaran.

    12

  • 13

    Menurut Daryanto (2015:38-39) pembelajaran adalah proses interaksi

    peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

    Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses

    pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan dan kemahiran dan tabiat, serta

    pembentukan sikap dan kepercayaan kepada peserta didik.Tujuan pembelajaran

    menurut Daryanto (2015: 39) yaitu: (1) tercapainya perubahan perilaku atau

    kompetensi pada peserta didik setelah mengikuti pembelajaran; (2) tujuan

    dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik.

    Menurut Siagian (2017: 61-62) matematika merupakan bahasa simbolis

    yang mana maknanya bersifat universal. Misalnya saja angka 1, secara bahasa

    penyebutan angka 1 di antar negara bahkan daerah saja berbeda-beda

    penyebutannya. Namun, secara simbolis siapa saja dari negara mana saja akan

    memahami makna dari angka 1. Hal ini lah yang menunjukkan matematika adalah

    bahasa simbolis yang universal.

    Siagian (2017: 64) menyimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu

    pengetahuan yang diperoleh dengan cara bernalar yang menggunakan istilah yang

    didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat representasinya dengan lambang-

    lambang atau simbol yang memiliki arti serta dapat digunakan dalam pemecahan

    masalah yang berkaitan dengan bilangan. Disamping itu juga dapat dikatakan

    bahwa matematika itu terdiri atas unsur-unsur yang berkaitan bukan saling terpisah,

    dalam matematika ada hierarki yaitu adanya unsur yang merupakan syarat dari yang

    lain atau suatu konsep matematika dibangun dari konsep yang lainnya. Contohnya

    jika seseorang mempelajari maka terlebih dahulu harus mempelajari penjumlahan.

  • 14

    Menurut Susanto (2013: 186-187) pembelajaran matematika adalah suatu

    proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan

    kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa,

    serta dapat meningkatkan kemampuan mengkontruksi kemampuan pengetahuan

    baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi

    matematika.

    Susanto (2013: 190) menjelaskan tujuan pembelajaran matematika di

    sekolah sebagaimana yang disajikan Depdiknas adalah agar peserta didik memiliki

    kemampuan; 1) memahami konsep matematika, mejelaskan keterkaitan anatar

    konsep, mengaplikasikan konsep atau algoritma. 2) menggunakan penalaran pada

    pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,

    menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, 3)

    memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang

    model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh,

    4) mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

    untuk memperjelas keadaan atau masalah, 5) memiliki sikap menghargai kegunaan

    matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat

    dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan

    masalah.

    2.1.3 Etnomatematika

    Istilah etnomatematika diciptakan oleh D’Ambrosio yang merupakan

    seorang matematikawan Brazil dan guru matematika yang berperan penting

    menumbuhkan aspek sosial dan budaya dari matematika. D’Ambrosio (1985: 45)

    menjelaskan etnomatematika adalah matematika yang dipraktekkan dalam budaya

  • 15

    dari suatu kelompok, seperti suku dalam masyarakat, kelompok buruh, anak-anak

    dari golongan usia tertentu, kelas professional, dan lain sebagainya. Identitasnya

    sangat tergantung pada minat, motivasi, kode dan jargon tertentu yang tidak sama

    dengan bidang matematika akademik. Lebih lanjut D’Amrosio menjelaskan bahwa

    ethno mengacu pada konsep budaya yang luas yang mengidentifikasi suatu

    kelompok dengan jargonnya, kode, symbol, mitos dan cara berpikir yang spesifik.

    Secara etimologi D’ambrosio (1994: 449) menjelaskan etnomatematika

    terbentuk dari kata ethno-mathema-tics. Kata ethno berkaitan budaya dalam arti

    luas, mathema berarti menjelaskan, memahami, mengatasi kenyataan, dan tics

    berasal dari kata teknik yang mengandung arti teknik dalam seni. Lebih lanjut

    D’ambrisio menjelaskan bahwa etnomatematika berasal dari pengakuan bahwa

    setiap kelompok budaya menghasilkan cara-caranya sendiri untuk mejelaskan,

    memahami dan mengatasi kenyataan, mentrasmisikan dan mengatur cara-cara ini

    menjadi teknik, mengembangkan dan menyembarkannya melalui kelompok, dan

    menurunkannya dari generasi ke generasi. Akibatnya setiap kelompok budaya

    mengungkapkan etnomatematik yang berbeda. Etnomatematika lebih

    mengandalkan perhitungan, pengukuran, dan praktik lainnya.

    Barton (1996: 202) berpendapat bahwa etnomatematika mencakup ide-ide

    matematika, pemikiran matematis dan aktivitas yang dikembangkan oleh semua

    budaya. Menurut Alfonsa (2016: 4) etnomatematika adalah integrasi budaya dalam

    pembelajaran matematika atau dengan kata lain matematika yang berunsur budaya.

    Berdasarkan beberapa pandangan diatas dapat diketahui bahwa

    etnomatematika merupakan suatu kajian ilmu yang mengkaji matematika dari segi

  • 16

    budaya yang ada pada masyarakat. Karena setiap daerah memiliki budaya yang

    berbeda maka etnomatematika dari setiap daerah juga berbeda.

    Bishop (1994: 1-2) berpendapat bahwa beberapa kegiatan yang dilakukan

    semua orang sangat penting dalam mengembangkan ide-ide matematika dan Bishop

    berpendapat bahwa ada enam kunci kegiatan yang perlu dipertimbangkan yaitu:

    1. Counting

    Aspek counting adalah kegiatan menghitung yang berkaitan dengan

    menjawab pertanyaan “berapa banyak?”, yang dapat menggambarkan angka,

    dengan menggunakan satuan hitung berupa benda atau bagian tubuh seperti

    jari, batu, tongkat, dan tali.

    2. Locating

    Aspek locating berkaitan dengan aktivitas menentukan arah, posisi,

    bernavigasi, berorientasi dan menggambarkan bagaimana hal-hal berhubungan

    satu sama lain. Dari kegiatan tersebut terdapat ide geometris seperti titik, garis,

    yang jika dihubungkan akan membentuk bangun datar.

    3. Measuring

    Kegiatan mengukur digunakan untuk menjawab pertanyaan

    “seberapa”. Misalnya mengukur jumlah kain yang diperlukan untuk membuat

    pakaian, luas tanah, jumlah makanan yang diperlukan untuk beberapa orang,

    jumlah uang yang diperlukan untuk membeli kebutuhan dengan satuan berupa

    bagian tubuh seperti hasta, jengkal, dan benda seperti keranjang, tali, manik-

    manik, koin.

  • 17

    4. Designing

    Aspek designing berupa kegiatan merancang suatu bangun atau benda

    yang diperlukan didalam kehidupan seperi meranncang rumah adat, balai

    pertemuan, tempat ibadah, alat-alat memasak, dan alat musik. Dari kegiatan

    tersebut dapat dikembangan ide-ide geomerti.

    5. Playing

    Tidak semua bermain itu penting dari sudut pandang matematika, tetapi

    teka-teki, paradoks logis, aturan bermain, strategi untuk menang, menebak,

    peluang dan judi semuanya menunjukkan caranya bermain yang dapat

    berkontribusi untuk pengembangan pemikiran matematika.

    6. Explaining

    Aspek ini menjawab pertanyaan “mengapa”. Memahami mengapa

    sesuatu terjadi seperti yang mereka lakukan. Dalam matematika kita tertarik

    pada mengapa pola angka terjadi, mengapa bentuk geometris berjalan bersama,

    mengapa suatu hasil mengarah ke yang lain, mengapa sebagian dunia alami

    tampaknya mengikuti hukum matematika.

    2.1.4 Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Matematika SMP/MTs

    Dalam peraturan Menteri Pendidikan dan Kedudayaan Republik Indonesia

    No 37 tahun 2018 tentang perubahan atas peraturan Menteri Pendidikan dan

    Kebudayaan Nomor 24 tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar

    pelajaran pada kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.

    Tujuan kurikulum mencakup empat kompetensi yaitu: (1) kompetensi sikap

    spiritual, (2) sikap social, (3) pengetahuan, dan (4) keterampilan. Kompetensi

  • 18

    tersebut dicapai melalui proses pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler dan/atau

    ekstrakurikuler.

    Rumusan kompetensi sikap spiritual yaitu “menghargai dan menghayati

    ajaran agama yang dianutnya”. Adapun rumusan kompetensi sikap sosial yaitu

    “Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong

    royong), santun, dan percaya diri dalam berinteraksi secara efektif dengan

    lingkungan social dana lam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya”.

    Kedua kompetensi tersebut dicapai melalui pembelajaran tidak langsung (indirect

    teaching), yaitu keteladanan, pembiasaan, dan budaya sekolah dengan

    memperhatikan karakteristik mata pelajaran, serta kebutuhan dan kondisi peserta

    didik.

    Penumbuhan dan pengembangan kompetensi sikap dilakukan sepanjang

    proses pembelajaran berlangsung, dan dapat digunakan sebagai pertimbangan guru

    dalam mengembangkan karakter peserta didik lebih lanjut. Kompetensi

    pengetahuan dan kompetensi keterampilan dapat dilihat pada lampiran 6.

    2.1.5 Teori Belajar Kontruktivisme

    Teori kontruktivisme adalah teori teori belajar yang menuntut siswa untuk

    bisa mengkontruksi pengetahuannya sendiri dan guru hanya berperan sebagai

    fasilisator dalam pembelajaran.

    Menurut Hamdayana (2016:45) teori kontruktivisme memahami belajar

    sebagai proses pembentukan (kontruksi) pengetahuan oleh si pembelajar itu sendiri.

    Pengetahuan ada didalam diri seseorang yang sedang mengetahui dan tidak dapat

    dipindah-pindahkan begitu saja dari otak seorang guru kepada para siswa.

  • 19

    Nurhidayati (2017: 4) menjelaskan bahwa belajar menurut kontruktivistis

    dapat dirumuskan sebagai penyusun pengetahuan dari pengalaman konkret, melalui

    aktivitas kolaboratif, refleksi dan interpretasi. Aktivitas demikian memungkinkan

    siswa memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada

    pengalamannya dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.

    Pembelajaran merupakan aktivitas pengaturan lingkungan agar terjadi proses

    belajar, yaitu interaksi siswa dengan lingkungannya.

    Menurut Thobroni (2015: 92) teori kontruktivisme memberikan keaktifan

    terhadap manusia untuk belajar sendiri menemukan sendiri kompetensi,

    pengetahuan atau teknologi dan hal lain yang diperlukan untuk mengembangkan

    dirinya. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa.

    sedangkan tujuan teori kontruksivisme adalah:

    a. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan

    mencari sendiri pertanyaannya.

    b. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep

    secara lengkap.

    c. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.

    Adapun karakteristik pembelajaran secara kontruktivisme menurut

    Thobroni adalah:

    a. Memberi peluang kepada pembelajar untuk membina pengetahuan baru

    melalui keterlibatannya dalam dunia sebenarnya.

    b. Mendorong ide-ide pembelajar sebagai panduan merancang pengetahuan.

    c. Mendukung pembelajaran secara koperatif.

    d. Mendorong dan menerima usaha dan hasil yang diperoleh pembelajar.

  • 20

    e. Mendorong pembelajar mau bertanya dan berdialog dengan guru.

    f. Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan

    hasil pembelajaran.

    g. Mendorong proses inkuiri pembelajar melalui kajian dan eksperimen.

    Thobroni (2015: 96-97) menyimpulkam bahwa pembelajaran yang

    mengacu kepada teori belajar kontruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan

    siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka, bukan kepatuhan siswa

    dalam refleksi atas apa yang telah diperitahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan

    kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkontruksi sendiri pengetahuan mereka

    melalui asimilasi dan akomodasi.

    Teori belajar kontruktivisme dibagi menjadi dua sudut pandang yaitu

    menurut Piaget dan Vygotsky.

    1. Teori belajar Kontruktivisme Piaget

    Suyono dan Hariyanto (Rachmawati dan Daryanto, 2015:70) Teori Piaget

    berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna membangun struktur

    kognitif atau peta mentalnya yang diistilahkan “scema/skema” atau konsep jejaring

    untuk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan

    disekelilingnya.

    Sedangkan menurut Cahyo (Rachmawati dan Daryanto, 2015:70-72)

    manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti sebuah kotak-

    kotak yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda, oleh karena itu

    dalam proses belajar terjadi dua proses yaitu proses informasi dan adaptasi. Proses

    pengkontruksi menurut Piaget adalah sebagai berikut:

  • 21

    a. Skema

    Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang

    secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema

    itu akan beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema bukanlah

    benda nyata yang dapat dilihat. Skema tidak pernah berhenti berubah atau menjadi

    lebih rinci. Skema seorang anak berkembang menjadi skema orang dewasa.

    b. Asimilasi

    Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan

    persepsi, konsep, atau pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada

    dalam pikirannya. Asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, melainkan

    memperkembangkan skema.

    c. Akomodasi

    Akomodasi adalah cara yang dilakukan seseorang untuk menghadapi

    rangsangan atau pengalaman baru yang tidak dapat mengasimilasi pengalam baru

    tersebut kedalam skema yang telah dimilikinya dengan cara membuat skema baru

    atau memodifikasi skema yang sudah ada. Dalam keadaan seperti ini orang itu akan

    mengadakan akomodasi, yaitu (a) membentuk skema baru yang dapat cocok dengan

    rangsangan yang baru atau (b) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok

    dengan rangsangan itu.

    2. Teori belajar Kontruktivisme Vygotsky

    Trianto (Rachmawati dan Daryanto, 2015:75) Vygotsky mengatakan bahwa

    pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang

    belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuan

    atau tugas-tugas tersebut berada dalam Zone of Proximal Development (ZPD).

  • 22

    Vygotsky mendefenisikan ZPD sebagai jarak antara tingkat perkembangan aktual

    anak sebagaimana ditentukan oleh kemampuan pemecahan masalah secara mandiri

    dan tingkat perkembangan potensial sebagaimana ditentukan oleh pemecahan

    masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau kerjasama sebaya yang mampu.

    Oleh karena itu, ZPD merupakan perangkat analitik yang diperlukan untuk

    merencanakan pembelajaran, dan pembelajaran yang berhasil harus menciptakan

    ZPD yang merangsang serangkaian proses batiniah.

    Rachmawati dan Daryanto (2015: 75) mengatakan bahwa ciri-ciri

    pembelajaran secara kontruktisme adalah menekankan pada proses belajar,

    mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada peserta didik,

    berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses bukan menekankan pada

    hasil, mendorong peserta didik untuk melakukan penyelidikan, mendorong

    perkembangan rasa ingin tahu secara alami, penilaian belajar lebih menekankan

    pada kinerja dan pemahaman peserta didik.

    Sedangkan prinsip kontruktivisme yang diterapkan dalam proses belajar

    mengajar menurut Rachmawati dan Daryanto (2015: 75-76) adalah pengetahuan

    dibangun oleh peserta didik, pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pendidik ke

    peserta didik kecuali dengan keaktifan murid itu sendiri, murid aktif mengkontruksi

    secara terus-menerus sehingga terjadi perubahan konsep ilmiah, guru sekedar

    membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancer,

    mencari dan menilai pendapat peserta didik, dan menyesuaikan kurikulum untuk

    menanggapi anggapan peserta didik.

  • 23

    2.1.6 Permainan Tradisional

    2.1.6.1 Pengertian Permainan Tradisional

    Menurut Hamzuri dan Siregar (1998: 1) permainan tradisional adalah

    permainan yang dilakukan dengan berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan

    yang ada secara turun temurun dan dapat memberikan rasa puas atau senang bagi si

    pelakunya. Andriani (2012: 122) mengatakan bahwa permainan tradisional adalah

    salah satu aset budaya yang mempunyai ciri khas kebudayaan suatu bangsa,

    pendidikan karakter bisa dibentuk melalui permainan tradisional sejak usia dini.

    Direktorat Nilai Budaya (Kurniati, 2016: 2-3) menjelaskan bahwa

    permainan tradisional pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu

    permainan untuk bermain dan permainan untuk bertanding. Permainan untuk

    bermain lebih bersifat mengisi waktu senggang, sedangkan permainan untuk

    bertanding kurang memiliki sifat tersebut. Ciri-ciri permainan yaitu: terorganisasi,

    bersifat kompetitif, dimainkan paling sedikit oleh dua orang, mempunyai kriteria

    yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, serta mempunyai

    peraturan yang diterima bersama oleh pesertanya.

    Permainan tradisional adalah permainan yang kaya akan nilai-nilai budaya

    yang turun-temurun dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Sebagai aset budaya

    permainan tradisional yang kaya akan nilai-nilai kehidupan seperti anak-anak akan

    mampu mengekspresikan potensi yang ada didalam dirinya, memperoleh

    pengalaman yang bermakna dan berguna bagi kehidupan bermasyarakat seperti

    mampu membina hubungan dengan sesama teman, mengeluarkan pendapat,

    sportivitas atau bersedia menerima kekalahan dan mampu menyalurkan perasaan-

    perasaan yang tertekan dengan tetap melestarikan budaya bangsa.

  • 24

    2.1.5.2 Macam-Macam Permainan Tradisional

    Permainan tradisional yang berkembang di Indonesia sangat banyak.

    Berikut adalah beberapa permainan yang tradisional yang ada dilingkungan

    masyarakat:

    1. Lompat Tali

    Menurut Aisyah (2014:18) Lompat tali atau lompatan adalah permainan

    yang bisa dimainkan secara perorangan atau dengan beregu. Jika permainan

    dilakukan oleh dua orang maka tali diikatkan pada dua buah tiang. Jika

    permainan beregu biasanya dimainkan jika peserta permainan memiliki jaraj usia

    agak jauh, misalnya siswa kelas 2 dan kelas 6. Pada permainan beregu, dipilih

    pemain terbesar sebagai pimpinan, disebut mbok. Level dalam permainan lompat

    tali antara lain sebagai berikut:

    1) Karet dibawah tempurung lutut. Pada level ini semua peserta harus melompat

    dan tidak boleh menyentuh karet.

    2) Karet sepinggang. Pada level ini, mbok harus melompat lebih dulu (tidak

    boleh menyentuh karet), sedangkan yang lainnya boleh melompat dengan

    menyentuh karet. Mulai nomor 3 dan selanjutnya, semua diperbolehkan

    menyentuh karet.

    3) Karet setinggi dada.

    4) Karet setinggi bahu.

    5) Karet setinggi telinga.

    6) Karet setinggi kepala.

    7) Karet sekilan (sejengkal tangan) diatas kepala.

  • 25

    8) Karet setinggi “merdeka” (tangan lurus ke atas). Biasanya melompat dengan

    cara kayang.

    2. Gasing

    Menurut Aisyah (2014: 21) Gasing adalah mainan yang bisa berputar pada

    poros dan seimbang pada satu titik. Bentuknya macam-macam, ada yang

    berbentuk tabung ada pula yang berbentuk kerucut. Persamaan dari kedua

    model gasing ada di bagian tengahnya. Di bagian itu terdapat batang kecil yang

    dihubungkan dengan tali. Ketika tali ditarik gasing berputar. Pemain yang

    memiliki gasing dengan putaran lebih lama atau dapat menjatuhkan lawan lebih

    dulu maka dialah pemenangnya.

    3. Congklak

    Menurut Aisyah (2014: 24) Permainan congklak adalah permainan

    tradisioonal yang menggunakan bidang panjang dengan tujuh cekungan pada

    masing-masing sisi dan dua cekungan yang lebih besar dibagian tengah ujung

    kiri dan kanan disebut sebagai lumbung. Cekungan pada sisi diisi dengan biji-

    bijian atau batu kerikil. Selain itu, ada pula biji congklak yang berasal dari

    cangkang kerang yang berbentuk oval atau tiruannya berbahan plastik.

    Lumbung sebelah kanan adalah milik pemain ‘A’, lumbung sebelah kiri

    milik pemain ‘B’. Pemain ‘A’ memilih salah satu cekungan yang ada

    didekatnya, mengambil bijinya dan membagikan satu per satu tanpa mengisi

    lumbung sebelah kanan. Jika biji terakhir jatuh pada cekungan yang ada isinya

    maka pemain boleh mengambil dan membaginya lagi. Akan tetapi, jika biji

    terakhir jatuh pada bidang kosong, itu berarti pemain ‘A’ berhenti bermain dan

  • 26

    ganti pemain ‘B’ yang bermain. Pada permainan congklak, kemengan dihitung

    berdasarkan banyak jumlah biji pada lumbung masing-masing.

    4. Petak Umpet

    Menurut Aisyah (2014: 66) permainan tradisional dhelikan ini dikenal

    dengan peta umpet. Pertama kali melakukan pengundian untuk mendapat

    pemain yang dadi. Setelah dapat maka pemain dadi menelungkupkan muka

    pada tembok, sambil berhitung hingga 100 (dengan cepat). Sementara pemain

    yang lain bersembunyi.

    Setelah selesai berhitung, pemain dadi mencari tempat persembunyian

    pemain lainnya. Jika menemukan salah satu pemain yang ngumpet maka anak

    yang dadi harus segera menyebutkan nama dan berlari menuju tembok jaga

    sambal menyebut skit. Jika pemai yang ketahuan tepat persembunyiannya lebih

    cepat dari yang jaga, berarti terbebas. Namun, jika pemain yang dadi lebih

    cepat, berarti dianggap telah sah menemukan satu lawan. Pemainan berakhir

    ketika semua telah ditemukan atau pemain yang dadi dmenyerah.

    2.1.6.3 Alat dan Bahan Permainan Tradisional

    Menurut Hamzuri dan Siregar (1998: 2-4) permainan tradisional banyak

    memanfaatkan bahan dari alam untuk peralatan dalam permainan. Seperti di Daerah

    Istimewa Yogyakarta memanfaatkan biji kemiri untuk permainan Jirak, biji kemiri

    atai biji kuranji untuk permainan kubuk, dan biji bengguk untuk permainan dhuk

    ther. Di Maluku memanfaatkan tempurung kelapa seperti gole-gole, sekual kui, dan

    ero tampurung. Di Aceh permainan meupet-pet nyet dan peh kaye menggunakan

    kayu, asak-asakan dan geuteut-geunteut menggunakan bambu. Di Sumatera

    Selatan permainan pantak leleh dan setembak menggunakan rotan atau kayu; dan

  • 27

    pencang menggunakan batang pinang. Di Irian Jaya permainan foo dan anakati

    menggunakan pelepah sagu, bokhusu khave menggunakan batang lengkuas,

    ampakeari menggunakan buah mange-mange dan amiogo menggunakan roda

    dibuat dari tumbuhan hutan dan materau menggunakan tali.

    Selanjutnya ada juga permainan tradisional yang memanfaatkan barang

    bekas Hamzuri dan Siregar (1998: 5) menjelaskan seperti di Aceh kekuriken, jangut

    ngkurik dan meuen kom menggunakan bola karet atau bola janur; di sumatera

    Selatan platok menggunakan uang logam dan papan dan merak-merak sintir

    menggunakan kaleng; di Yogyakarta laying menggunakan bola janur dan sliring

    gendeng menggunakan kelapa tabon; di Kalimantan Timur lempar-lempar bola dan

    tambi-tambian menggunakan bola karet; sedang peca blek di Sulawesi Utara

    menggunakan kaleng.

    Seiring perkembangan zaman, alat/bahan permainan tradisional sudah

    banyak dibuat dengan olahan pabrik menggunakan bahan plastik seperti permainan

    gasing, congklak, dan yoyo yang beredar dipasar-pasar.

    2.1.7 Permainan Congklak

    Permainan congklak adalah permainan yang hampir ada disetiap daerah di

    Indonesia dengan nama yang berbeda-beda seperti didaerah Jawa sering dikenal

    dengan nama dakon atau dhakon, di Sumatera dikenal dengan nama congkak, di

    Sulawesi dikenal dengan nama Mokaotan, Manggaleceng, Anggalacang dan

    Nagarota, sedangkan di Lampung disebut dengan nama dentuman lambat.

    Kurniati (2016:93) menjelaskan bahwa permainan congklak permainan

    yang menggunakan kemampuan berhitung. Permainan ini dimainkan oleh 2 orang

  • 28

    pemain yang duduk saling berhadapan. Alat yang digunakan adalah congklak, biji-

    bijian atau batu. Dan lokasi bermain didalam ruangan atau di halaman.

    2.1.7.1 Papan Congklak

    Menurut Rusmana (2010:539-540) Papan Congklak biasanya terbuat dari

    kayu, tetapi sekarang sudah banyak yang terbuat dari plastik. Papan congklak

    berbentuk perahu dengan ukuran kurang lebih: pangang 80 cm, lebar 15 cm, dan

    tinggi 10 cm. Pada kedua ujungnya terdapat cekungan yang besar dan disebut

    indung. Antara kedua indung tersebut berderet dua lubang kecil yang masing-

    masing terdiri dari 7 cekungan yang lebih kecil, kira-kira berdiameter 5 cm.

    Gambar 2.1 Alat Permainan Congklak

    2.1.7.2 Cara Bermain Congklak

    Permainan congklak dilakukan oleh dua orang pemain yang saling

    berhadapan dengan papan congklak diantara mereka. Kurniati (2016:93) prosedur

    permainan congklak adalah pertama-tama anak-anak harus mempersiapkan

    congklak dengan cara menyimpan biji/batu di setiap lekukan sebanyak 7 buah.

    Setelah semua lubang terisi kecuali lubang gunung maka anak-anak secara

    bersamaan memainkan congklak sesuai dengan jumlah batu yang dimiliki.

    Permainan congklak dilakukan dengan mengambil salah satu isi dilubang congkak

  • 29

    kemudian sesuai arah jarum jam membagi masing-masing satu biji congklak yang

    berada ditangan pada setiap lubang yang dilewati termasuk lubang induk tetapi

    lubang induk kawan tidak diisi. Setiap biji habis maka pemain langsung mengambil

    isi dilubang terakhir termasuk biji terakhir tersebut dan membagikannya kembali.

    Demikian terus menerus sampai pemain bertemu lubang yang kosong dan berhenti.

    Pemain yang pertama kali berhenti, maka dia akan dikatakan lasut

    (berhenti) dan dia harus menghentikan permainannya dan menunggu giliran pemain

    lainnya untuk bermain congklak. Pemain dinyatakan berhenti jika bertemu lubang

    kosong. Jika salah satu pemain berhenti pada lubang yang pasangannya didepannya

    terdapat sejumlah biji congklak, maka semua biji congklak tersebut boleh

    dimilikinya dan dimasukkan kelubang induknya sendiri. Setiap kubangan hanya

    boleh diisi satu batu. Permanian ini akan berhenti apabila batu/biji yang berada

    diarena kubangan telah habis disimpan di gunung atau lubang induk. Gunung

    tersebut merupakan base camp tempat menyimpan batu peserta. Mereka yang

    memiliki jumlah batu terbanyak dinyatakan sebagai pemenang.

    Prosedur permainan tersebut juga sesuai dengan cara permainan menurut

    Hamzuri dan Siregar (1998: 72) yaitu sebelum dimulai lobang-lobang tersebut diisi

    dengan anak permainan masing-masing 7 buah, kecuali gunung tidak diisi. Untuk

    menentukan siapa yang lebih dahulu memulai permainan kedua pemain lebih dulu

    sut, yang menang lebih dahulu memulai permainan, dengan menhambil salah satu

    lobang yang diisikan kesetiap lobang satu persatu searah jarum jam. Lobang yang

    terakhir diisi diambil semuanya untuk diteruskan diisi pada lobang-lobang

    selanjutnya dan begiti seterusnya. Namun jika kerikil jatuh pada lobang yang

    kosong, maka pemain dianggap mati dan berganti kepemain lawan, tetapi si lobang

  • 30

    dihadapannya (milik lawan) diambil semuanya dan diisikan ke dalam gunung

    miliknya. Pemainan berakhir jika seluruh lobang kosong dan anak permainan

    berkumpul pada gunung masing-masing. Siapa yang paling banyak mengumpulkan

    kerikil atau kulit kerang pada gunungnya dianggap menang.

    Gambar 2.2 Anak-Anak Sedang Bermain Congklak

    2.1.8 Keterkaitan Etnomatematika pada Permainan Congklak dengan Teori

    belajar Kontruktivisme

    Menurut Alfonsa (2016: 4) etnomatematika adalah integrasi budaya dalam

    pembelajaran matematika atau dengan kata lain matematika yang berunsur budaya.

    Budaya yang diangkat tergantung di mana dan kepada siapa matematika itu

    diajarkan. Dengan asumsi bahwa etnomatematika yang diangkat sudah dikenal dan

    dapat membantu peserta didik dalam belajar matematika. Terdapat bentuk-bentuk

    hasil budaya masyarakat yang memuat konsep matematika dan dibangun menjadi

    sebuah pendekatan dalam pembelajaran. Pembelajaran inilah yang disebut sebagai

    pembelajaran berbasis budaya.

    Menurut Alexon (2010: 14-15) pembelajaran dapat dikembangkan

    berdasarkan pengalaman awal budaya siswa serta menjadikan budaya sebagai cara

  • 31

    atau metode dalam mempelajari materi pembelajaran tertentu. Pembelajaran seperti

    ini merupakan pembelajaran berbasis budaya yang bersifat kontruktivistik.

    Pembelajaran berbasis budaya yang bersifat kontruktivistik dan menekankan untuk

    pembelajaran dengan budaya merupakan pembelajaran yang mampu memfasilitasi

    siswa meningkatkan penguasaan materi pelajaran simultan dengan apresiasinya

    terhadap budaya lokal. Pembelajaran terpadu berbasis budaya merupakan

    pembelajaran yang fokus pada tema budaya yang dikembangkan berdasarkan

    pengalaman awal budaya siswa.

    Nurhidayati (2017: 4) menjelaskan bahwa belajar menurut kontruktivistis

    dapat dirumuskan sebagai penyusun pengetahuan dari pengalaman konkret, melalui

    aktivitas kolaboratif, refleksi dan interpretasi. Pembelajaran merupakan aktivitas

    pengaturan lingkungan agar terjadi proses belajar, yaitu interaksi siswa dengan

    lingkungannya.

    Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat kaitan antara

    etnomatematika dengan teori belajara kontruktivisme, dimana etnomatematika

    adalah pembelajaran yang berbasis budaya, dan pembelajaran kontruktivisme

    adalah pembelajaran dimana siswa mengkontruksi pengetahuannya sendiri

    berdasarkan kenyataan yang ada di lingkungannya. Sehingga didalam pembelajaran

    siswa bisa mengkontruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan budaya yang ada di

    lingkungan tempat tinggalnya.

    Dalam kegiatan pembelajaran disekolah, tujuan guru adalah pembentukan

    pengetahuan/skema baru pada diri siswa. Skema baru tersebut sebaiknya dari skema

    yang sudah ada. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam mengajarkan matematika formal

    disekolah, guru memulainya dengan matematika yang tidak formal yang diterapkan

  • 32

    dalam kehidupan sehari-hari anak didalam masyarakat. Melalui pembelajaran

    dengan pendekatan etnomatematika guru dapat mengkaji budaya yang berkembang

    didalam masyarakat dan menggunakan aspek-aspek matematika yang terkandung

    didalamnya dalam pembelajaran matematika. Sehingga ketika siswa menerima

    pengalaman baru yang dalam pembelajaran matematika berupa konsep-konsep baru

    maka siswa siswa lebih mudah memahami matematika formal tersebut karena

    mareka sudah memiliki skema tentang budaya yang ada dilingkungannya. Hal itu

    tentu sesuai dengan teori belajar kontruktivisme menurut Piaget.

    Menggunakan budaya sebagai informasi awal ke dalam pembelajaran

    matematika, siswa akan dapat mengkontruksi pengetahuanya sendiri dengan

    mengaitkan pengetahuan relevan yang dimiliki siswa berdasarkan kebiasaan yang

    dilakukan dengan pengetahuan matematika baru (konsep matematika formal

    disekolah). Seperti pada permain congklak salah satu skema yang akan dimiliki

    siswa adalah konsep berhitung. Pada permainan congklak anak-anak sudah

    menghitung biji congklak untuk memperkirakan agar biji congklak yang

    dijalankanny agar tidak sampai kelubang kosong atau bisa sampai kelubang induk.

    Kemudian melakukan penjumlahan pada saat menambah lubang tertentu dengan

    menjalankan biji congklak di lubang lain sehingga lubang tertentu tersebut sampai

    kelubang induknya. dan pembagian pada saat memasukkan satu biji congklak

    kesetiap lubang kecuali lubang induk lawan sehingga ketika bertemu dengan materi

    operasi hitung pada matematika formal di sekolah siswa akan mudah memahami

    materi tersebut berdasarkan skema yang sudah dimilikinya.

    Sedangkan menurut Vygotsky pembelajaran akan terjadi apabila anak

    belajar mangani tugas-tugas yang belum dipelajarinya namun tugas-tugas tersebut

  • 33

    masih berada dalam jangkauan Zone of Proximal Development (ZPD). Untuk

    menggali kemampuan tersebut, guru harus menciptakan proses belajar mengajar

    yang dapat membuat siswa aktif dalam mengkontruksi pengetahuannya secara terus

    menerus sehingga terjadi perubahan konsep ilmiah. Salah cara yang dapat diguakan

    dalan proses mengkontruksi pengetahuan yaitu membandingkan dan mengambil

    keputusan akan kesamaan dan permbedaan. Contoh dalam etnomatematika pada

    permainan congklak untuk konsep persamaan linear satu variabel yaitu untuk bisa

    sampai kelubang induk (dalam istilah congklak yaitu pulang) jika didalam lubang

    ke-3 hanya terdapat 2 biji congklak, maka berapa biji yang harus diusahakan agar

    sampai ke lubang induk? Berdasarkan pengalamannya siswa akan menjawab satu.

    Sehingga guru bisa menjelaskan bahwa biji congklak yang diusahakan itu adalah

    variabelnya, secara matematika dapat ditulis:

    𝑥 + 2 = 3

    𝑥 + 2 − 2 = 3 − 2

    𝑥 = 3 − 2

    𝑥 = 1

    Berdasarkan hal tersebut siswa akan bisa membuat persamaan bahwa variabel

    adalah biji congklak yang harus diusahakan atau bilangan yang akan ditentukan

    nilainya untuk menyelesaikan persamaan linear satu variabel.

  • 34

    2.1.9 Keterkaitan Etnomatematika pada Permainan Congklak dengan

    Pembelajaran Matematika

    Alfonsa (2016: 5) menyimpulkan bahwa etnomatematika merupakan

    matematika yang diterapkan oleh kelompok budaya tertentu, kelompok

    buruh/petani, anak-anak dari usia tertentu, kelas-kelas profesional, dan lain

    sebagainya. Ini berarti etnomatematika bukan sekedar bicara tentang etnis/suku.

    Karena pengajaran matemaika di sekolah dan matematika yang ditemukan anak

    dalam kehidupan sehari-hari sangat berdeda, maka pembelajaran matematika

    sangat perlu memberi muatan/menjembatani antara matematika dalam kehidupan

    sehari-hari yang berbasis pada budaya lokal dengan matematika sekolah. Melihat

    kurikulum 2013 yang menanamkan pemikiran ilmiah dan pendidikan karakter,

    menjadi rasional untuk mengintegrasikan etnomatematika dan pembelajaran

    matematika.

    Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa etnomatematika memiliki

    keterkaitan dengan pembelajaran matematika yang diajarkan di sekolah. Salah satu

    budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat adalah permainan

    tradisonal. Permainan tradisional memiliki banyak manfaat terutama sebagai sarana

    sosialisasi bagi anak karena permainan tradisional biasanya dimainkan oleh dua

    orang atau lebih. Ningsih (2018:44) mengatakan permainan tradisional dapat

    membuat anak menjadi lebih kreatif dan bekerjasama untuk menjadi pemenang.

    Cara permainan yang dapat melibatkan dua orang atau lebih dapat menumbuhkan

    sikap social pada diri anak.

    Menurut Ningsih (2018:44) banyak permainan tradisional yang aman dan

    berkualitas untuk dipilih sebagai sarana belajar anak. Permainan tradisional seperti

  • 35

    congklak, engklek, dan bekel merupakan permainan yang dapat dikaitkan dengan

    materi pelajaran, terutama pelajaran matematika. Jadi dapat disimpulkan bahwa

    Permainan tradisional congklak merupakan salah satu permainan yang aman dan

    berkualitas dan dapat dikaitkan dengan pembelajaran matematika.

    Pembelajaran matematika melalui permainan tradisional dapat digunakan

    guru sebagai media pembelajaran matematika sesuai dengan penelitian yang

    dilakukan oleh Nataliya (2015: 354) yang menujukkan hasil terdapat peningkatan

    kemampuan berhitung siswa setelah diberikan media pembelajaran matematika

    berupa permainan congklak sehingga media pembelajaran congklak efektif untuk

    meningkatkan kemapuan berhitung siswa.

    Menurut Kurniati (2016: 93) salah satu perosedur bermain congklak yaitu

    anak-anak mempersiapkan congklak dengan cara mengisi lekukan sebanyak 7 buah

    dengan biji congklak. Kegiatan tersebut dapat dikaitkan dengan aspek

    etnomatematika menurut Bishop (1994: 1) pada aspek counting dimana terdapat

    kegiatan berhitung ketika pemain mengisi setiap lubang congklak dengan biji

    congklak. Dalam bermain congklak setiap pemain memiliki strategi untuk menang

    sehingga akan memenuhi aspek playing, menurut Bishop (1994: 1) aspek ini

    berkaitan dengan aturan dan strategi untuk memang. Tidak hanya dua aspek

    tersebut yang dapat digali namun pada permain congklak terdapat aspek locating

    karena adanya arah dalam menjalankan biji congklak, dan aspek explaining berupa

    kegiatan menjelaskan mengapa pemain menggunakan strategi tertentu.

    Aspek-aspek matematika dari kegiatan permainan tradisional tersebut dapat

    dikaitkan dengan kompetensi dasar pembelajaran matematika pada tingkat SMP.

    Seperti pada kelas VII kompetensi dasar 3.1 menjelaskan dan menentukan urutan

  • 36

    pada bilangan bulat (positif dan negatif) dan pecahan (biasa, campuran, desimal,

    persen). Kompetensi dasar tersebut dapat dikaitkan dengan aktivitas permainan

    congklak pada tahap akhir dengan aspek matematika counting yaitu menghitung

    dan membandingkan jumlah biji congklak yang di peroleh pemain sehingga dapat

    di ketahui pemenangnya. Untuk dapat mengaitkan lebih banyak lagi permainan

    congklak dengan kompetensi dasar pada pembelajaran matematika maka perlu

    dilakukan kajian lebih dalam lagi tentang permainan congklak.

    Permainan congklak merupakan salah satu permainan tradisional yang kaya

    akan nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran dan pertemanan yang dapat

    mengarahkan tingkah laku individu di dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu

    perlu dilakukan kajian terhadap budaya ini sebagai upaya untuk melestarikan dan

    memperkenalkan permainan tradisional kepada anak-anak. Dari sisi

    etnomatematika, ada aktivitas permainan congklak yang perlu dikaji. Pengkajian

    ini untuk menggali informasi mengenai permainan congklak untuk mengungkapkan

    aspek-aspek matematika apa saja pada permainan tersebut sehingga dapat dikaitkan

    dengan pembelajaran matematika pada tingkat Sekolah Menengah Pertama.

    Sehingga apabila dikaitkan maka penelitian ini tidak hanya bermanfaat bagi budaya

    itu sendiri melainkan juga bermanfaat bagi dunia pendidikan.

    2.2 Kerangka berpikir

    Eksplorasi etnomatematika pada permainan congklak ini digunakan untuk

    menggali aspek-aspek matematika dalam etnomatematika menurut Bishop. Aspek-

    aspek matematika dalam etnomatematika menurut Bishop (1994: 1-2) ada 6 aspek

    yaitu counting, locating, measuring, designing, playing, dan explaining. Dari ke-

    enam aspek tersebut akan digali empat aspek yaitu counting, locating, playing, dan

  • 37

    explaining dari permainan congklak dengan melakukan wawancara langsung

    terhadap budayawan yang memiliki pengetahuan tentang permainan congklak dan

    peneliti melakukan observasi langsung ke lapangan terhadap anak-anak yang

    sedang bermain congklak. Aktivitas wawancara dan observasi di tunjang dengan

    hasil dokumentasi berupa foto, dan video.

    Aspek counting akan digali dari kegiatan awal bermain yaitu ketika siswa

    mengisi lubang congklak dengan 7 biji congklak, selama permainan berlangsung

    yaitu ketika siswa menghitung biji congklak agar biji congklak yang diambil sampai

    kelubang induk dan diakhir permainan yaitu ketika siswa menghitung biji congklak

    yang berhasil dikumpulkannya. Aspek Locating akan digali dari arah biji congklak

    dijalankan. Dan aspek playing akan digali dari strategi pemain untuk memenangkan

    permainan. Kemudian aspek explaining digali dari mengapa pemain memilih

    strategi tertentu untuk memenangkan permainan.

    Aspek-aspek matematika yang ada pada permainan congklak tersebut akan

    dikaitkan dengan pembelajaran matematika pada jenjang sekolah menengah

    pertama (SMP) sesuai dengan kurikulum 2013 revisi 2018. Sehingga dari penelitian

    ini akan diperoleh konsep-konsep matematika dalam konteks permainan congklak.

    Konsep-konsep ini nantinya dapat digunakan guru untuk menciptakan

    pembelajaran yang inovatif berbasis budaya yaitu permainan congklak. Sehingga

    siswa lebih mudah memahami konsep matematika. Hal ini sesuai dengan pendapat

    Hardiarti (2017:99-100) yang menyatakan bahwa matematika seseorang

    dipengaruhi oleh budayanya, karena apa yang mereka lakukan merupakan apa yang

    mereka lihat dan rasakan. Budaya akan memengaruhi perilaku individu dan

  • 38

    memiliki peran besar dalam perkembangan pemahaman individual, termasuk

    pemahaman dalam pembelajaran matematika.

    Gambar 2.3 Kerangka Berpikir

    Aspek-aspek matematika

    dalam etnomatematika

    Aspek

    Counting

    Aspek

    Locating

    Aspek

    Playing

    Aspek

    Expaining

    Kegiatan

    Menghitung selama

    permainan Congklak

    Posisi

    Lubang

    Congklak

    Strategi

    bermain

    Pembelajaran

    Matematika

    Permainan

    Congkalak

    Pembelajaran matematika dikelas

    tidak berbasis budaya