Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
KONSEP KESEPAKATAN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI
A. Perjanjian Jual Beli Sebagai Salah Satu Bentuk Perikatan
Perikatan berasal dari bahasa belanda yaitu verbintesis, dimana verbintesis
itu berasal dari kata kerja verbinden, yang artinya mengikat12. Istilah tersebut juga
lebih lebih menujuk pada suatu hubungan hukum, maka lebih tepat verbintesis itu
dikatakan sebagai istilah perikatan.
Definisi perikatan menurut Sudikno Mertukusumo adalah hubungan hukum
antara dua pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban atas suatu prestasi.13
Perikatan merupakan hubungan antara dua pihak, dimana pihak yang satu berhak
atas suatu prestasi dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi
tersebut. dalam hal ini, maka dalam perikatan terdapat hak dan kewajiban yang
dimiliki oleh pihak satu dan pihak yang lain. Sehingga terdapat hak yang
dilekatkan pada suatu pihak dan terdapat kewajiban pada pihak lainnya dalam
hubungan hukum tersebut untuk memenuhi tuntutan yang telah disepakati
bersama para pihak.
Di dalam KUHPerdata, perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata.
Definisi perikatan dalam Buku III KUHPerdata tidak memberikan suatu definisi
mengenai perikatan, namun dalam ilmu hukum perdata dapat dianut pengertian
12Wawan Muhmwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan Dalam
Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2011, hal. 15. 13Firman Floranta Adonara, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung,
2014, hal, 3.
9
yaitu hubungan hukum antara dua belah pihak dalam harta kekayaan, dimana
yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Hukum perikatan juga memberikan kebebasan kepada pihak yang ingin
membuat perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan
kesusilaan. Hukum perikatan merupakan hukum pelengkap, dimana para pihak
dapat menyingkirkan pasal-pasal yang dikehendaki oleh para pihak. Para pihak itu
juga mempunyai kehendak sendiri untuk mengatur kepentingan mereka dalam
perjanjian tersebut14. Tetapi jika para pihak tersebut tidak tunduk pada kemauan
mereka sendiri, maka mereka tunduk pada ketentuan undang-undang.
Pasal 1233 KUHPer mengatur bahwa tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan atau perjanjian dan undang-undang. Jual beli merupakan perikatan
yang lahir karena perjanjian dimana berdasarkan uraian diatas, jual beli
melahirkan perikatan yang terjadi antara dua orang yaitu pihak penjual dan
pembeli. Dalam perikatan yang terjadi antara penjual dan pembeli juga terdapat
perbutan dimana seorang berjanji kepada pihak lain untuk melakukan suatu hal
sesuai kesepakatan yang mereka kehendaki. Selain itu juga terdapat hak dan
kewajiban yang lahir yaitu penjual berhak menyerahkan barang yang dijualnya
sedangkan pihak pembeli berkewajiban membayar barang yang sudah dibelinya.
Perjanjian jual beli merupakan perikatan yang lahir karena perjanjian.
Mengacu pada pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap
14I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hal.3.
10
satu orang lain atau lebih, dari pasal 1313 KUHper hendak memperlihatkan
bahwa suatu perjanjian adalah: 15
1. Suatu Perbuatan;
2. Antara sekurang-kurangnya dua orang;
3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang
berjanji tersebut;
B. Perjanjian Jual Beli Sebagai Salah satu Perjanjian Bernama Dalam
KUHPerdata
a. Pengertian perjanjian jual beli
Perjanjian jual beli merupakan salah satu perjanjian bernama dimana
terdapat pengaturan secara khusus dan undang-undang telah memberikan nama
tersendiri dalam perjanjian ini. Perjanjian jual beli merupakan 1 dari 15 Perjanjian
bernama yang telah dikenal dalam KUHPer.
Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 KUHPer. Menurut pasal
1457 KUHPer jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang dijanjikan. Berdasarkan pengertian jual beli menurut pasal
1457 KUHPer maka perjanjian jual beli membebankan dua kewajiban:16
- Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
- Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.
15Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal.7 .
16 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1982,
hal. 181.
11
Pengertian jual beli menurut R.M. Suryodiningrat adalah
perjanjian/persetujuan/kontrak dimana satu pihak (penjual) mengikat diri untuk
menyerahkan hak milik atas benda/barang kepada pihak lainnya (pembeli) yang
mengikat dirinya untuk membayar harganya berupa uang kepada penjual.17
Sedangkan menurut M. Yahya Harahap, jual beli adalah suatu persetujuan
yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak)
dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk
membayar harga.18
Perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan
dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli,
sehingga jual beli merupakan dua istilah yang mencakup dua perbuatan timbal
balik. 19
Pihak penjual berjanji untuk menyerahkan atau memindahkan hak milik atas
suatu barang yang ditawarkan, sedangkan pihak pembeli menjanjikan membayar
barang yang telah disetujuinya itu. Barang yang dijadikan objek jual beli pun
haruslah tertentu yang setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya
saat diserahkan hak miliknya kepada pembeli.
Dalam pasal 1458 KUHPer yang menyatakan bahwa jual beli dianggap
telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai kata
sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun
harganya belum dibayar, maka jual beli merupakan perjanjian yang bersifat
konsensuil, yang artinya perjanjian jual beli lahir sebagai perjanjian yang sah
17 R.M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Penerbit Tarsito,
Bandung, 1980, hal. 14. 18 M. Yahya Harahap, Loc.Cit. 19 Subekti, Aneka Perjanjian, PT CITRA ADITYA BAKTI, Bandung, 2014, hal. 1
12
dimana mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan hukum saat tercapainya
kata sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok yaitu
barang dan harga.
Berdasarkan beberapa pengertian jual beli diatas, maka dapat ditarik
beberapa unsur dari jual beli, yaitu:20
a. Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli
b. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga
c. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli
b. Syarat-syarat perjanjian jual beli
Terdapat empat syarat sah nya suatu perjanjian dalam pasal 1320 KUHPer, yaitu:
1. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak;
2. Adanya kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;
3. Adanya objek;
4. Adanya kausa yang halal.
Syarat sah nya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPer, berlaku juga dalam syarat
sahnya perjanjian jual beli, sehingga dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Kesepakatan antara penjual dan pembeli
Konsesualisme berasal dari kata “konsensus” yang berarti kesepakatan.
Dengan adanya kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang
bersangkutan yaitu penjual dan pembeli tercapai sesuatu persesuaian kehendak.21
Kesepakatan merupakan hal yang penting dalam pembuatan suatu perjanjian.
Tanpa adanya kesepakatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu penjual
20 Salim H.S., Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Jakarta, 2003, hal. 49. 21 Subekti, Op.Cit, hal. 3
13
dan pembeli, tidak mungkin perjanjian jual beli tersebut tercipta. Kesesuaian
kehendak yang diberikan yaitu dalam bentuk pernyataan dari masing-masing
pihak, sehingga untuk tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah
pernyataan-pernyataan yang sudah dilakukan oleh kedua belah pihak.
Menurut Sudino Mertokusumo, kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu
adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang
lain.22 Selain itu, terdapat lima cara terjadinya persuaian pernyataan kehendak,
yaitu:23
1. Bahasa yang sempurna dan tertulis;
2. Bahasa yang sempurna secara lisan;
3. Bahasa yang tidak sempurna, asalkan dapat diterima oleh pihak lawan;
4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan;
5. Diam atau membisu, tetapi dapat dipahami atau diterima oleh pihak
lawan.
Bagaimanapun cara terbentuknya kesepakatan yang dilakukan yang
terpenting adalah bagaimana penawaran dan penerimaan itu dapat dipahami dan
dimengerti oleh kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli sehingga
kesepakatan tersebut terjadi. Kesepakatan secara lisan (tidak tertulis) dan tidak
lisan (tertulis) sering ditemukan dalam kegiatan masyarakat. Jika kesepakatan
secara tidak lisan (tertulis) bertujuan agar dapat memberikan kepastian hukum dan
sebagai alat bukti apabila terjadi sengketa, sedangkan kesepakatan secara lisan
22 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak Dalam Perspektif
Filsafat, Teori, Dogmatik, Dan Praktik Hukum (Segi Pengayaan Hukum Perikatan), Penerbit CV.
Mandar Maju, Bandung, 2012, hal. 112 23 Salim H.S., Op.Cit, hal. 33.
14
(tidak tertulis) banyak tidak disadari oleh pihak satu dengan pihak lainnya
sebagai suatu perjanjian, padahal sebenarnya sudah terjadi perjanjian tersebut.
Kesepakatan juga harus diberikan secara bebas dimana menurut pasal 1321
KUHPer, menyebutkan bahwa “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat ini
diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Pasal 1321 KUHPer menunjukan bahwa syarat kesepakatan harus disampaikan
secara bebas agar mempunyai kekuatan mengikat karena kesepakatan yang
diberikan dengan kekilhafan, paksaan dan penipuan maka kesepakatan yang
diberikan tidak mempunyai kekuatan mengikat dan juga menimbulkan kecacatan
pada kesepakatan. Terjadinya kecacatan pada kesepakatan dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Kekhilafan yang diatur dalam pasal 1322 KUHPer, terjadi jika salah satu
pihak keliru dalam hal apa yang telah diperjanjikan, baik subjek ataupun
objek dalam perjanjian tersebut. Tetapi pihak lain membiarkan kekhilafan
tersebut terjadi.
2. Paksaan yang diatur dalam pasal 1323 sampai 1327 KUHPer. terjadi
apabila pihak yang satu atau lebih dalam memberikan kesepakatannya
mengalami tekanan, ancaman, atau paksaan, sehingga tidak terdapat
kehendak yang bebas dalam menyampaikan kesepakatan tersebut.
3. Penipuan yang diatur dalam pasal 1328 KUHPer, terjadi apabila dalam
menyampaikan kesepakatan pihak yang satu menyampaikan keterangan
yang tidak benar sehingga membuat pihak lawan untuk memberikan
persetujuan atau kesepakatan dalam perjanjian.
15
4. Penyalahgunaan keadaan, terjadi apabila dalam menyampaikan
kesepakatan pihak yang satu memiliki posisi yang kuat baik dari segi
ekonomis maupun psikologis sehingga meyalahgunakan keadaan yang
membuat pihak lawan yang lemah untuk menyepakati hal-hal yang
memberatkan dirinya.
Penyalahgunaan keadaan tidak diatur dalam KUHPer, tetapi tiga hal dalam
terjadinya kecacatan pada kesepakatan yaitu kekhilafan, paksaan, dan penipuan
diatur dalam KUHPer. Sesuai dalam pasal 1449 KUHPer, yang berbunyi
“Perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan, menerbitkan
suatu tuntutan untuk membatalkannya”, dalam hal ini kesepakatan yang
mengandung unsur kecacatan kesepakatan dapat membuat perjanjian dapat
dibatalkan.
2. Kecakapan dari pihak penjual maupun pembeli
Pihak penjual dan pembeli haruslah cakap menurut hukum dalam
membuat perjanjian jual beli. Sesuai dengan pasal 1329 KUHPer yaitu “Setiap
orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh undang-
undang tidak dinyatakan tak cakap". Pada umumnya, orang dikatakan sudah
cakap melakukan perbuatan hukum apabila dia sudah dewasa, yang artinya
sudah mencapai umur 21 tahun penuh atau sudah kawin walaupun belum
berumur 21 tahun.24
Menurut pasal 1330 KUHPer, tergolong orang yang tidak cakap adalah:
1) Orang yang belum dewasa, kecakapan orang ditandai dengan sudah
berumur 21 tahun atau yang telah menikah. Jika telah menikah sebelum
24 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PTCitra Aditya Bakti, Bandung ,
2014, hal. 301.
16
umur 21 tahun, maka orang tersebut dianggap telah cakap dalam
melakukan suatu perjanjian .
2) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, berdasarkan pasal 433
KUHPer, pengampuan merupakan setiap orang dewasa, yang selalu
berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di
bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan
pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah
pengampuan karena keborosan.
Akibat hukum jika dari para pihak tidak cakap dalam membuat perjanjian
adalah:25
a. Jika dilakukan oleh anak yang belum dewasa, perjanjian akan batal demi
hukum. (Pasal 1446 ayat (1) KUHPer jo. Pasal 1331 ayat (1) KUHPer).
b. Jika dilakukan oleh orang yang berada di bawah pengampuan maka
perjanjian tersebut batal demi hukum (Pasal 1446 ayat (1) KUHPer jo.
Pasal 1331 ayat (1) KUHPer).
c. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh wanita yang bersuami hanyalah batal
demi hukum (Vide pasal 1446 ayat (2) KUHPer jo. Pasal 1331 ayat (1)
KUHPer).
d. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh anak dibawah umur yang telah
mendapatkan status disamakan dengan orang dewasa hanyalah batal demi
hukum (Vide pasal 1446 ayat (2) KUHPer jo. Pasal 1331 ayat (1)
KUHPer).
25 Munir, Fuady, Hukum Kontrak Buku Kesatu, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015,
hal. 49.
17
e. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh orang yang dilarang oleh undang-
undang untuk melakukan perbuatan tertentu, maka mereka dapat menuntut
pembatalan perjanjian tersebut, kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang (Pasal 1330 ayat (3) KUHPer)
3. Suatu hal tertentu dalam perjanjian jual beli
Suatu hal tertentu mengacu pada objek yang terdapat pada perjanjian.
Objek perjanjian juga merupakan prestasi yang meyangkut hak dan kewajiban
dari pihak penjual dan pembeli. Prestasi terdiri atas:26
1) Memberikan sesuatu;
2) Berbuat sesuatu; dan
3) Tidak berbuat sesuatu.
Menurut pasal 1333 KUHPer, barang yang menjadi objek suatu perjanjian
tersebut harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan
jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentutkan atau
diperhitungkan. Zaak dalam pasal 1333 KUHPer (juga dalam pasal 1332 dan
1334) lebih tepat diterjemahkan sebagai pokok persoalan karena pokok atau objek
dari perjanjian dapat berupa bukan benda/barang, tetapi bisa juga berupa jasa. 27
Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat
dipergunakan berbagai cara seperti menghitung, menimbang, mengukur, atau
26 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2013, hal. 30 27 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia & Common Law, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1996., hal. 86
18
menakar. Sementara, untuk menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus
dilakukan oleh salah satu pihak.28
4. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal berkaitan dengan isi perjanjian tersebut. Dalam hal
ini, isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Artinya isi perjanjian tersebut menurut pasal 1337 KUHPer, tidak dilarang oleh
undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak
bertentangan dengan kesusilaan dalam masyarakat.
Adanya suatu sebab yang halal dalam pasal 1320 KUHPer, bukan sebab
yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan isi perjanjian itu sendiri
menjadi tujuan yang akan dicapai para pihak. Undang-undang tidak
mempedulikan apa yang menjadi sebab para pihak mengadakan perjanjian, tetapi
yang diawasi oleh perjanjian adalah “isi perjanjian” sebagai tujuan yang hendak
dicapai para pihak.29
Dalam pasal 1355 KUHPer, menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa
sebab atau perjanjian yang telah dibuat karena suatu sebab atau perjanjian yang
telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan.
Pada perjanjian jual beli, isi perjanjian yaitu pembeli menghendaki hak
milik atas suatu benda dan penjual menghendaki sejumlah uang. Pada isi
perjanjian tersebut terdapat tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak yaitu hak
milik atas benda diserahkan kepada pembeli dan penjual mendapat sejumlah uang
sebagai imbalannya.
28 Ahmadi Miru, Loc.Cit. 29 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 303.
19
Berdasarkan keempat syarat sah nya perjanjian, syarat pertama dan kedua
tersebut merupakan syarat subjektif, dikarenakan menyangkut orang atau subyek
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat
merupakan syarat objektif, dikarenakan menyangkut perjanjian itu sendiri atau
objek dari perbuatan hukum yang dilakukan.
Apabila dalam perjanjian, syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka
perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan syarat ketiga dan keempat tidak
terpenuhi maka perjanjian akan batal demi hukum, yang artinya dari semula
perjanjian tersebut dianggap tidak ada.
c. Unsur jual beli
Terdapat 2 (dua) unsur dalam jual beli, yaitu:
1. Barang
Barang merupakan unsur dalam jual beli. Tanpa adanya barang
sebagai objek yang dijual maka tidak mungkin terjadi jual beli. Barang yang
harus diberikan dalam jual beli adalah sesuatu yang berwujud benda/barang.
Benda/barang adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek harta
kekayaan, sehingga yang dapat dijadikan objek jual beli adalah segala
sesuatu yang bernilai harta kekayaan30. Berdasarkan ketentuan dalam pasal
1332 KUHPer, hanya barang-barang yang bisa diperniagakan saja yang
boleh dijadikan objek persetujuan. Sehingga, apa yang telah dijadikan objek
persetujuan maka dengan sendirinya akan menjadi objek jual beli.
30 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1982,
hal. 182.
20
Barang/benda sebagai objek jual beli diserahkan kepada pembeli tidak
hanya semata-mata untuk pembeli menerima barang tersebut saja tetapi juga
menyerahkan hak kepemilikannya juga kepada pembeli untuk menguasai
dan memilki. Sesuai dengan pasal 1459 KUHPer, hak milik atas barang
yang dijual tidak akan berpindah jika barang itu belum diserahkan kepada
pembeli sesuai dengan ketentuan penyerahan yang telah ditetapkan. Dari
ketentuan tersebut maka penyerahan barang/benda sebagai objek perjanjian
tidak hanya penyerahan barangnya saja tetapi juga penyerahan barang dan
penyerahan hak milik barang/benda kepada pembeli.
2. Harga
Selain barang/benda, harga merupakan unsur dalam perjanjian jual
beli. Harga berarti sesuatu jumlah yang harus dibayar kan dalam bentuk
“uang”, sehigga pembayaran dengan uang lah yang dikategorikan dalam
jual beli.31
Harga barang dalam jual beli ini harus setara dengan nilai barang
yang sesungguhnya. Kesetaraan antara harga dan nilai yang sesungguhnya
bertujuan untuk mendapatkan pembayaran yang pantas atas barang yang
dijual dan harga yang setara itu juga untuk melindungi penjual jika terjadi
pemaksaan harga yang lebih rendah. Penjual dan pembeli disinilah yang
berhak untuk menentukan harga yang pantas tersebut. Jika antara penjual
dan pembeli tidak terdapat kesepakatan dalam penentuan harga yang pantas,
mereka dapat menyerahkan penentuan harga kepada pihak ketiga. Namun,
pihak ketiga disini tidak mesti menentukan harga. Pihak ketiga
31 M. Yahya Harahap, Loc. Cit.
21
bisa saja nenolak untuk menentukan harga.
d. Akibat hukum timbulnya jual beli
Dengan adanya peristiwa hukum yang terjadi antara penjual dan pembeli
dalam perjanjian jual beli, menimbulkan hubungan hukum antara kedua belah
pihak tersebut. Dalam hubungan hukum tersebut juga menimbulkan adanya akibat
hukum yang terjadi sebagai adanya hubungan hukum atau peristiwa hukum
tersebut.
Berdasarkan pasal 1338 KUHPer dimana akibat adanya suatu perjanjian
dimana dalam hal ini adalah perjanjian jual beli menyatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah yang tertuang dalam pasal 1320 KUHPer
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, yang artinya
bahwa pihak penjual dan pembeli berhak untuk menaati perjanjian tersebut sama
seperti menaati undang-undang. Jika kedua belah pihak melanggar perjanjian
tersebut maka kedua belah pihak tersebut melanggar undang-undang. Sehingga,
akan muncul akibat hukum dari pelanggaran yang dilakukan yaitu diberikannya
sanksi hukum. Barangsiapa yang melanggar perjanjian yang telah dibuat, maka
akan mendapatkan hukuman sesuai dalam undang-undang.
Selain itu, dengan adanya hubungan hukum antara penjual dan pembeli,
melahirkan hak dan kewajiban. Agar menciptakan hubungan yang serta
keseimbangan antara penjual dan pembeli maka masing-masing pihak perlu
mengetahui apa saja kewajiban yang harus dilaksanakan sebelum mendapatkan
hak-hak yang dimiliki para pihak. Berikut akan membahas mengenai hak dan
kewajiban oleh masing-masing pihak.
22
1. Hak Penjual
a) Menerima pembayaran dari pembeli berdasarkan harga yang telah
disepakati dari barang yang di jual.
b) Menerima pembayaran pada waktu dan di tempat yang telah
ditetapkan dalam persetujuan.
c) Menuntut pembatalan jual beli jika pembeli tidak membayar harga
pembelian.
2. Kewajiban Penjual
Menurut pasal 1473 KUHPer, seorang penjual diwajibkan untuk
menyatakan dengan tegas untuk apa ia mengikatkan dirinya dan segala
janji yang tidak terang akan ditafsir untuk kerugiannya. Disamping itu,
menurut pasal 1474 KUHPer, 2 (dua) kewajiban utama penjual yaitu:
a. Menyerahkan barangnya, dimana berdarkan pasal 1475 KUHPer,
menyerahkan barang yang telah dijual ke dalam kekusaan dan
kepemilikan pembeli.
b. Menanggung barang yang dijual, dimana penanggungan yang
menjadi kewajiban penjual adalah untuk menjamin 2 hal yaitu:32
1. Menjamin penguasaan benda yang dijual secara aman dan
tenteram;
2. Menjamin tidak adanya cacat barang yang tersembunyi.
3. Hak Pembeli
a) Hak menerima barang
32 P.N.H., Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Penerbit Djambatan, Jakarta,
1999, hal. 357.
23
Pembeli berhak menerima barang, seperti yang tercantum dalam
pasal 1481 KUHPer yaitu “Barang harus diserahkan dalam keadaan
dimana barang itu berada pada waktu penjualan. Sejak waktu itu
segala hasil menjadi kepunyaan pembeli”. Berdasarkan pasal 1475
KUHPer, Penyerahan barang tersebut merupakan tindakan
pemindahan barang yang dijual ke dalam kekuasaan dan
kepemilikan pihak pembeli.
b) Hak menunda pembayaran
Hak menunda pembayaran atau menagguhkan terjadi karena barang
yang sudah dibelinya itu terdapat gangguan. Gangguan tersebut
berupa suatu tuntutan hukum berdasarkan hipotek atau suatu
tuntutan hukum untuk meminta kembali barangnya. Berdasarkan
pasal 1516 KUHPer yang menyebutkan “ Jika dalam menguasai
barang itu pembeli diganggu oleh suatu tuntutan hukum yang
didasarkan hipotek atas suatu tuntutan untuk memperoleh kembali
barang tersebut, atau jika pembeli mempunyai suatu alasan yang
patut untuk khawatir akan diganggu dalam penguasaanya, maka ia
dapat menangguhkan pembayaran harga pembelian sampai penjual
menghentikan gangguan tersebut, kecuali jika penjual memilih
memberikan jaminan atau jika telah diperjanjikan bahwa pembeli
wajib membayar tanpa mendapat jaminan atas segala gangguan”
4. Kewajiban Pembeli
Pasal 1513 KUHPer menyebutkan kewajiban utama dari pihak pembeli
yaitu membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat
24
sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian. Jika tidak diperjanjikan maka
pembeli harus membayar di tempat dan pada waktu dimana penyerahan
itu harus dilakukan sesuai dengan pasal 1514 KUHPer. Setelah
membayar harga maka hak milik benda diperoleh pembeli setelah penjual
melakukan salah satu kewajiban utamanya.
Bila pembeli tidak membayar harga, penjual dapat mengambil sikap
seperti yang diatur oleh pasal 1266, 1267 KUHPer.33 Dengan ini maka
pembeli melakukan kewajiban utama terlebih dahulu dengan membayar
harga, lalu imbalan memperoleh hak milik atas benda sebagai hak
kebendaan segera didapatkan. 34
C. Kesepakatan dalam Perjanjian Jual Beli
a. Kesepakatan sebagai salah satu syarat keabsahan perjanjian
Dalam pasal 1320 KUHPer dari 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian,
mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai salah satu syarat keabsahan perjanjian.
Kesepakatan merupakan syarat yang logis dalam diadakannya suatu perjanjian
dikarenakan dalam perjanjian terdapat dua pihak yang saling berhadapan untuk
saling mengisi kehendak masing-masing pihak.
Sepakat merupakan kehendak dari kedua pihak, dimana kehedak pihak satu
mengisi kehendak pihak lain. Maka kehendak dari dua pihak tersebut harus
bertemu dan dalam bertemu itu pun kehendak harus dinyatakan.
Persetujuan kehendak adalah persepakatan seia sekata antara pihak-pihak
mengenai pokok (esensi) perjanjian.35 Dengan sepakat dimaksudkan bahwa kedua
33 H. Moch. Isnaeni, Perjanjian Jual Beli, Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 2016,
hal. 92. 34 Ibid, hal. 93
25
pihak atau subjek yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju, atau seia-
sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu36. Sehingga
yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.
Dalam proses pembentukan kesepakatan, ada tawar menawar sebagai wujud
kedua belah pihak saling menyatakan kehendak. Dua unsur dalam pembentukan
kesepakatan adalah penawaran (offer,offerte,aanbod) dan penerimaan/akseptasi
(aanvarding, acceptatie, acceptance).37
Untuk tercapainya kesepakatan, tentunya harus ada salah satu pihak yang
menawarkan dan juga ada pihak yang menerima penawaran tersebut. Penawaran
dipahami sebagai pernyataan kehendak dengan maksud untuk mengadakan
perjanjian atau penawaran merupakan usul atau ajakan untuk mengadakan
perjanjian.
Dalam pihak yang menawarkan, jika pihak yang menawarkan tersebut tidak
ada secara nyata atau pihak tersebut tidak ada secara wujudnya atau tidak ada
ajakan secara langsung maka tetap bisa terjadi adanya penawaran. Seperti contoh
adanya kantin kejujuran dimana barang yang dijual terdapat di etalase dengan
harga barang tersebut. Dalam kantin kejujuran ini terdapat suatu penawaran dalam
bentuk tulisan ‘beli sendiri, bayar sendiri’. Salah satu pihak yang menawarkan ini
tidak harus ada di kantin kejujuran tersebut dan tidak perlu menyatakan
penawarannya secara nyata, tapi bisa diwakilkan oleh sesuatu yang
mempresentasikan penawaran tersebut.
35 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 299 36 Subekti, Hukum Perjanjian Cetakan ke VI, Penerbit PT Intermasa, Jakarta, 1979,
hal.17 37 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial), Penerbit Kencana, Jakarta, 2010, hal. 162
26
Menurut Rutten dalam Satrio, “penawaran adalah suatu usul yang ditujukan
kepada pihak lain untuk menutup perjanjian, dimana usul tersebut telah ditetapkan
sedemikian rupa, sehingga penerimaan atau akseptasi pihak lain segera akan
melahirkan perjanjian”38
Dalam contoh seperti yang disebutkan diatas, maka dapat dikatakan bahwa
kantin kejujuran tersebut dimana terdapat suatu tulisan “bayar sendiri, beli
sendiri” juga merupakan suatu penawaran yang tidak perlu adanya pihak yang
menawarkan secara nyata ada.
Sedangkan penerimaan/ akseptasi merupakan pernyataan kehendak
penerimaan atau setuju dari pihak yang ditawari. Cara untuk menyatakan
penerimaan adalah bebas, kecuali oleh orang yang menawarkan disyaratkan suatu
bentuk akseptasi tertentu.39
Cara penerimaan dalam kantin kejujuran tersebut terjadi saat pembeli dalam
hal ini merupakan pihak yang menerima penawaran mengambil barang yang
terdapat di etalase dan setuju dengan harga tersebut kemudian membayarnya,
maka disitulah penerimaan terjadi tanpa ada penawaran langsung dari pihak yang
menawarkan.
Berdasarkan uraian diatas terkait dengan kesepakatan maka kesepakatan
tidak perlu dinyatakan secara terang-terangan dan salah satu pihak dari kedua
pihak tersebut bisa tidak perlu ada secara nyata.
38 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1992, hal. 165 39 ibid, hal. 177
27
b. Teori kesepakatan
Sebagaimana diketahui bahwa kesepakatan dalam perjanjian, dibentuk oleh
dua unsur yaitu unsur penawaran dan unsur penerimaan. Dasar dalam lahirnya
keterikatan perjanjian itu adanya pernyataan kehendak, yang terdiri dari dua unsur
yaitu kehendak dan pernyataan.
Jika kehendak dinyatakan dengan benar maka pernyataannya akan sesuai
dengan kehendakknya, dan pada umumnya memang pernyataan sesuai dengan
kehendak.40 namun tidak menutup kemungkinan juga terdapat ketidaksesuaian
antara pernyataan dan kehendak. Sehingga muncul teori-teori untuk menganalisis
munculnya kesepakatan tersebut berlandaskan kepada kehendak atau pernyataan,
yaitu:
a) Teori Kehendak (wilsleer;wilstheorie)
Menurut teori ini, adanya keterikatan antara para pihak baru ada jika dan
sejauh pernyataan berdasarkan pada putusan kehendak yang sungguh-
sungguh sesuai dengan itu.41 Kehendak dari para pihak berperan penting
dalam teori ini. Prinsipnya menurut teori ini, suatu persetujuan yang tak
didasarkan atas suatu kehendak yang benar adalah tidak sah. Teori ini
memunculkan konsekuensi:42
- Jika orang memberikan suatu pernyataan yang tidak sesuai
dengan kehendaknya, maka pernyataan tersebut tidak mengikat
dirinya.
40 ibid, hal. 139 41 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hal. 165 42 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1992, hal. 165
28
- Perjanjian tidak muncul atas dasar pernyataan yang tak
dikehendaki. Agar pernyataan mengikat, ia harus didasarkan atas
kehendak.
b) Teori Pernyataan (verklaringsleer;verklaringstheorie)
Menurut teori ini, yang menjadi patokan adalah apa yang dapat
dinyatakan seseorang. Jika pernyataan dua orang sudah saling bertemu,
maka perjanjian sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak.43
Kelemahan dari teori ini adalah jika pernyataan tidak sesuai dengan
kehendak.
c) Teori Kepercayaan (vetrouwensleer;vertouwenstheorie)
Teori ini muncul untuk mengatasi kekuarangan dari 2 (dua) teori
sebelumnya. Menurut teori ini, pernyataan dari seseorang menimbulkan
kepercayaan bahwa hal itu sesuai dengan kehendak. dengan demikian
suatu sepakat terjadi jika pernyataan kedua belah pihak saling
membangkitkan kepercayaan,bahwa antara mereka telah terjadi sepakat
yang sesuai dengan kehendak para pihak, dan yang menjadi patokan
adalah kepercayaan yang dibangkitkan karena pernyataan pihak
lainnya.44
3 (tiga) teori diatas dapat digunakan juga dalam perjanjian baku. Perjanjian
baku sendiri merupakan perjanjian yang isi nya telah ditentukan dan dipersiapkan
terlebih dahulu oleh pelaku usaha secara sepihak, sehingga pihak lain wajib
memenuhi dan sepakat dalam perjanjian. Berdasarkan teori-teori tersebut maka
jika pihak setuju dengan perjanjian baku maka secara otomatis kesepakatan dalam
43 ibid, hal. 146 44 Ibid, hal. 152
29
perjanjian baku tersebut sesuai dengan teori-teori diatas dan tunduk atau
menerima syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam perjanjian baku.
Kesepakatan merupakan pernayataan kehendak serta persesuaian kehendak
antara satu orang dengan pihak lain. Lalu kapan terjadinya sepakat dalam
persesuaian pernyataan kehendak tersebut sehingga menimbulkan perjanjian?
Ketetapan mengenai kapan perjanjian yang timbul mempunyai arti yang penting
bagi:45 Penentuan resiko; kesempatan penarikan kembali penawaran; saat mulai
dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa dan; menentukan tempat terjadinya
perjanjian.
Mengenai penetapan lahirnya/timbulnya perjanjian menimbulkan beberapa
teori menurut Satrio (1992:180-187) sebagai berikut:
a) Teori Pernyataan (uitingstheorie); menurut teori ini saat lahirnya
perjanjian adalah pada saat telah dikeluarkannya pernyataan tentang
penerimaan suatu penawaran.
b) Teori Pengiriman (verzendingtheorie); menurut teori ini saat lahirnya
perjanjian adalah pada saat pengiriman jawaban akseptasi sehingga
orang mempunyai pegangan relatif pasti mengenai saat terjadinya
perjanjian.
c) Teori Pengetahuan (vernemingstheorie); menurut teori ini perjanjian
lahir saat jawaban akseptasi diketahui oleh orang yang menawarkan
yaitu pada saat jawaban diketahui isinya oleh yang menawarkannya.
d) Teori Penerimaan (ontvangstheorie); menurut teori ini perjanjian lahir
pada saat diterimanya surat jawaban dari penerima penawaran, tidak
peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan yang penting sudah
sampai.
c. Munculnya kesepakatan dalam perjanjian jual beli
Sesuai dengan ketentuan pada pasal 1458 KUHPer yang menyatakan bahwa
jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya
45 Ibid, hal. 180
30
orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya,
meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.
Jual beli sudah terjadi dan mengikat pada saat terjadi kata sepakat antara
pihak penjual dan pihak pembeli mengenai unsur jual beli yaitu benda dan harga
dalam perjanjian jual beli. Saat pihak penjual dan pihak pembeli menyatakan
setuju tentang benda dan harga, ketika itu juga jual beli terjadi dan mengikat
secara sah kedua belah pihak.46
Munculnya kesepakatan dalam perjanjian jual beli ini berdasarkan asas
konsensualisme yang menjadi dasar perjanjian. Asas Konsensualisme sendiri
mengandung arti bahwa perjanjian lahir, sejak saat terjadinya atau terciptanya kata
sepakat atau konsesus diantara para pihak tanpa perlu adanya formalitas tertentu.
Formalitas tertentu yang dimaksudkan dikatakan ada kesepakatan tetapi tidak
perlu ada tindakan formal tertentu, dapat saja kesepakatan dinyatakan secara
diam-diam atau dengan cara yang lain.47 Kesepakatan secara diam-diam bisa
terjadi hanya dengan berdiam diri tetapi kita setuju dengan harga barang yang
diberikan lalu membayar barang tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata, namun
pada dasarnya telah terjadi kesepakatan. Asas ini dapat disimpulkan dari pasal
1338 ayat (1) KUHPer dari kata-kata perjanjian yang dibuat secara sah dan pasal
1320 poin (1) tentang sepakat mereka yang mengikatkan diri.
Sepakat yang menentukan lahirnya perjanjian jual beli berarti perjanjian jual
beli merupakan perjanjian konsensuil yang artinya dengan konsensus perjanjian
tersebut lahir. Sepakat itu juga mencerminkan bahwa para pihak yaitu penjual dan
46 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 319 47 Lihat kembali pembahasan pada BAB II. B. b. Syarat-syarat perjanjian jual beli
31
pembeli sudah saling menerima kepaastian benda dan besaran harganya.48 Perlu
disimak bahwa sepakat disini berarti pihak penjual dan pembeli menyepakati
tentang benda dan harga, sedangkan untuk tujuan jual beli sendiri mengenai
peralihan hak milik benda sebagai objek jual beli, belum terjadi.
Penjual dan pembeli saling terikat juga karena adanya kesepakatan untuk
bertukar kewajiban antar para pihak dan jika kewajiban tersebut dipenuhi maka
akan lahir hak yang diinginkan para pihak. Mengikarkan sebuah janji kepada
sesuatu pihak merupakan perbuatan hukum dan dari perbuatan hukum itu
menimbulkan akibat hukum. Jika dalam pengikraran janji itu terdapat penawaran
dan penerimaan/akseptasi maka akibat hukumnya adalah timbulnya perikatan.49
48 Moch, Isnaeni, Op. Cit, hal. 32 49 Ibid, hal.33