44
BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL 2.1. Pengertian dan Konsepsi Hak Kekayaan Intelektual Memasuki pintu gerbang millennium III (abad 21) hampir tidak tcrlihat lagi batas-batas negara, karena lalu lintas perdagangan dan informasi teknologi telah berjalan sangat cepat. Fenomena tersebut oleh Sudargo Gautama, diibaratkan dengan hidup dalam suatu dunia yang menciut (shrinking world). 28 Semenjak itu persaingan barang dalam perdagangan internasional tidak hanya 28 Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, 1997, Pembaharuan Undang-Undang Hak Cipta, Citra Aditya Bakti,Bandung, hal. 3 (Selanjutnya disebut Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata I). 1

BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

BAB II

KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

2.1. Pengertian dan Konsepsi Hak Kekayaan Intelektual

Memasuki pintu gerbang millennium III (abad 21) hampir tidak

tcrlihat lagi batas-batas negara, karena lalu lintas perdagangan

dan informasi teknologi telah berjalan sangat cepat. Fenomena

tersebut oleh Sudargo Gautama, diibaratkan dengan hidup dalam

suatu dunia yang menciut (shrinking world).28 Semenjak itu

persaingan barang dalam perdagangan internasional tidak hanya

28

2

Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, 1997,

Pembaharuan Undang-Undang Hak Cipta, Citra Aditya

Bakti,Bandung, hal. 3 (Selanjutnya disebut Sudargo Gautama dan

Rizawanto Winata I).

1

Page 2: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

2

berkaitan dengan barang dan jasa semata-mata, tetapi terlibat juga

sumber daya manusia berupa hasil kemampuan intelektual dan

teknologi.29

Hasil kemampuan intelektual dan teknologi disebut Hak

Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HaKI atau HKI), yang

merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR).

Digunakannya istilah HKI bagi terjemahan IPR karena merupakan

istilah resmi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang

Hak Cipta. Selain itu berdasarkan Keppres Nomor 144 Tahun 1998,

mulai 1 Januari 1999 Departemen Kehakiman Direktorat Jenderal

Hak Cipta Paten dan Merek (Ditjen HCPM) diubah menjadi

Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI).

Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-

undangan RI No.M.03.PR-07.10 Tahun 2000 dan Persetujuan Menteri

Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 24/M.PAN/1/2000

Tanggal 19 Januari 2000, mengubah istilah Hak atas Kekayaan

Intelektual menjadi Hak Kekayaan Intelektual disingkat dengan HKI

292 Sylvia Ostry dan Michael Gestrine dalam Ahmad M. Ramli,

1999, Perlindungan Rahasia Dagang Dalam Era Globalisasi

Dikaitkan dengan Pengaturan dan Praktiknya di Indonesia,

Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran Bandung,

hal. 1.

Page 3: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

3

atau HaKI. Alasan pengubahan agar lebih menyesuaikan kaidah tata

bahasa Indonesia yang tidak menuliskan kata depan "atas" atau

“dari” untuk memahami istilah.30

Sejauh ini masih ditemukan berbagai pendapat diantara

penyebutan istilah HKI dengan Hak milik Intelektual (HMI).

Menurut Rachmadi Usman ;

Antara kata “milik” dan kata “kekayaan”, dalam dua istilah tersebut lebih tepat jika menggunakan kata “milik” atau kepemilikan, karena pengertian hak milik memiliki ruang lingkup yang lebih khusus dari pada kekayaan. Menurut sistem hukum perdata, hukum mengenai harta kekayaan meliputi hukum kebendaan dan hukum perikatan. Intelectual Property Rights merupakan kebendaan inmmateriil yang juga menjadi obyek hak milik sebagaimana diatur dalam hukum kebendaan.31

Berkaitan dengan tulisan ini dipakai istilah Hak Kekayaan

Intelektual atau disingkat HKI.

HKI atau juga dikenal dengan HAKI merupakan terjemahan

atas istilah Intellectual Property Right (IPR). Istilah tersebut terdiri

dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual. Kekayaan

303

Ibid

313

Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak Atas Kekayaan

Intelektual, Alumni, Bandung, hal. 1.

Page 4: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

4

merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun

dijual. Adapun Kekayaan Intelektual merupakan kekayaan atas segala

hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan,

seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya.

Terakhir, Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) merupakan hak-hak

(wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas kekayaan

intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-

hukum yang berlaku.32

Rachmadi Usman memberi definisi Hak Kekayaan Intelektual

adalah hak atas kepemilikan terhadap karya-karya yang timbul atau

lahir karena adanya kemampuan intelektual manusia dalam bidang

ilmu pengetahuan dan teknologi. Karya-karya tersebut merupakan

kebendaan tak berwujud sebagai hasil dari kemampuan intelektualitas

seseorang atau manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan

teknologi melalui daya cipta, rasa, karsa, dan karyanya.33

323

Adrian Sutedi, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar

Grafika, Jakarta, hal. 38.

333

Rachmadi Usman, Op.Cit. hal. 2.

Page 5: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

5

HKI ( Hak Kekayaan Intelektual) adalah merupakan bagian

dari hukum harta benda (hukum kekayaan). HKI dikelompokkan

sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud

(intangible). HKI bersifat sangat abstrak dibandingkan dengan hak

atas benda bergerak pada umumnya, seperti hak kepemilikan atas

tanah, kendaraan, dan properti lainnya yang dapat dilihat dan

berwujud.34

HKI baru ada bila kemampuan intelektual manusia itu telah

membentuk sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dibaca, atau dapat

digunakan. Berdasarkan hal tersebut David I. Bainbridge mengatakan

bahwa. Intellectual property is the to legal rights which protect the

product of the human intellect.35 Menambahkan hal tersebut John

343

Supasti Dharmawan. Ni Ketut, et.al., 2005, Hukum Hak

Kekayaan Intelektual, Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum

Universitas Udayana, hal. 1.

353 David I. Bainbridge, Computer and the Law, dalam

Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, 1997, Hak Milik

Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Page 6: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

6

F. Wiliam menyatakan, the term intellectual property seem, to be

the best available to cover that body of legal rights arise from mental

and artistic endeavour.36

Dari uraian ini diketahui bahwa HKI merupakan hak yang

berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir

manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai

bentuk, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang

kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomi. Bentuk nyata

dari kemampuan karya intelektual tersebut berupa bidang teknologi,

ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

Pengaturan HKI secara implisit ditemukan dalam sistem

hukum benda yang mengacu pada ketentuan Pasal 499 KUH Perdata

adalah sebagai baikut:

"Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik."

Mahadi menguraikan lebih lanjut mengenai rumusan pasal

tersebut yaitu. yang dapat menjadi objek hak milik adalah barang dan

hak. Adapun yang dimaksud dengan barang adalah benda materiil,

363 John F. William, 1986, A Manager Guide to Patents, Trade

Marks and Copyright, Cetkan ke-1, Kogan page, London, hal.11.

Page 7: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

7

sedangkan hak adalah benda immateriil.37 Selanjutnya Pitlo

sebagaimana dikutip Mahadi menegaskan pula bahwa HKI termasuk

dalam hak-hak yang disebut Pasal 499 KUH Perdata sebagai

berikut:38

"HKI termasuk ke dalam hak-hak yang disebut oleh Pasal 499 KUH Perdata. Hal ini menyebabkan hak milik immateriil itu sendiri dapat menjadi objek dari suatu hak benda. Hak benda, adalah hak absolut atas sesuatu benda, tetapi ada hak absolud yang objeknya bukan benda. Inilah yang disebut dengan HKI (intellectual property rights)".

Selanjutnya Pasal 503 KUH Perdata menggolongkan benda ke

dalam dua bentuk yaitu, "Tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau

tidak bertubuh". Ketentuan ini berarti barang adalah benda bertubuh

atau benda materiil yang ada wujudnya, karena dapat dilihat dan

diraba (tangible good,). Misalnya kendaraan, komputer, rumah,

tanah. Hak, adalah benda tidak bertubuh atau benda immateriil yang

tidak ada wujudnya karena tidak dapat dilihat dan tidak dapat diraba

373

Mahadi, 1985, Hak Milik Immateriil, Binacipta, Bandung,

hal. 65.

383 Ibid, hal. 5-6.

Page 8: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

8

(intangible good,). misalnya HKI, gadai, hipotik, piutang, hak pakai,

hak pungut hasil, hak guna usaha.39

Sebagai suatu hak atas kekayaan yang timbul dari kemampuan

intelektualitas manusia, maka pemilikan terhadap HKI dalam

masyarakat beradab diakui seperti yang dinyatakan oleh Roscoe

Pound sebagai berikut :

"Atas hasil kreasi dari kemampuan intelektual dalam masyarakat beradab diakui bahwa yang mencipfakan boleh menguasai untuk tujuan yang menguntungkannya. Kreasi sebagai milik berdasarkan postulat hak milik dalam arti seluas-luasnya meliputi milik tak berwujud."40

Berkaitan dengan masalah ini, Van Apeldoorn menyatakan

sebagai berikut:

"Hak pemilikan hasil intelektual sangat abstrak jika dibandingkan dengan hak pemilikan benda yang terlihat, tetapi

393

Sri Walny Rahayu, 2000, Perlindungan Hak Ekonomi

Pencipta Terhadap Karya Ciptaan Musik dan Lagu di Indonesia

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Dikaitkan

Dengan Perjanjian TRIPs-WITO, Tesis Program Pascasarjana

Universitas Padjadjaran Bandung, hal. 18.

404

Roscoe Pound, 1982, Pengantar Filsafat-Hukum, Mohamad

Rajab, (penerjemah), Jakarta, Batara Karya Aksara, 1982, hal. 118

Page 9: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

9

hak-hak tersebut mendekati hak-hak benda, lagi pula kedua hak tersebut bersifat mutlak. Selanjutnya terdapat analogi, bahwa setelah benda yang tidak berwujud itu keluar dari pikiran manusia, maka menjelma dalam suatu ciptaan seni, sastra dan ilmu pengetehuan atau dalam bentuk pendapat, jadi berupa benda berwujud (lichamelijk zaak) yang dalam pemanfaatannya (exploit), dan reproduksinya dapat merupakan sumber keuntungan uang. Inilah yang membenarkan pengolongan hak tersebut ke dalam hukum harta benda.41

Sistem hukum hak kekayaan intelektual pada awal

perkembangannya kurang dikenal dan kurang mendapat perhatian di

Indonesia, sering diabaikan dan banyak terjadi pelanggaran di bidang

hukum ini . Hal ini tidak mengherankan, mengingat konsepsi dan

sistem hukum HKI pada dasarnya memang tidak berakar dari budaya

hukum dan sistem hukum nasional (asli) Indonesia yang lebih

menekankan pada konsep komunal, melainkan sistem hukum HKI

berasal dari dunia Barat, yang cendrung memiliki konsep hukum

kepemilikan dengan bersifat individual / individual right. Konsep

kepemilikan yang berlandaskan konsep individual right lebih

menekankan pada pentingnya diberikan perlindungan hukum kepada

siapa saja yang telah menghasilkan suatu karya intelektual yang

mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi, dimana karya tersebut

414

Van Apeldoom L.J. 1985, Penganfar Ilmu Hukum, Oetarid

Sadino (penerjemah), Cetakan Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal.

173

Page 10: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

10

lahir dari proses yang sangat panjang penuh pengorbanan baik

pengorbanan berupa tenaga, waktu maupun uang. Kepada orang-

orang yang sudah bekerja keras seperti itu dan menghasilkan karya

intelektual yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi sudah

sepantasnya diberikan penghargaan (reward) dan perlindungan

hukum secara individual berupa diberikannya Hak Eksklusif atas

karya yang dihasilkannya.

Sementara itu konsep kepemilikan secara komunal yang

berkembang dalam masyarakat lebih menekankan bahwa terhadap

karya-karya intelektual seperti misalnya karya Cipta adalah

diciptakan untuk kepentingan orang banyak dan bukan hanya untuk

kepentingan individu semata. Konsep Komunal beranggapan bahwa

hasil karya intelektual adalah merupakan karya milik bersama.42

Meskipun ada anggapan seperti itu dalam masyarakat,

sehingga menjadi salah satu faktor penyebab lemahnya penegakan

hukum HKI di Indonesia, namun dalam perkembangannya sekarang

ini, Hukum HKI berkembang secara bertahap dan pasti, mulai

melekat dan menjadi bagian dari sistem hukum nasional sebagai

konsekuensi pergaulan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa

424

Supasti Dharmawan, I Ketut, Op.Cit, hal. 2.

Page 11: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

11

industri maju dan bangsa-bangsa dari negara-negara berkembang

lainnya, lebih-lebih setelah Indonesia ikut serta dalam Organisasi

Perdagangan Dunia / World Trade Organization (WTO) yang antara

lain mencakup Perjanjian Aspek-Aspek Dagang Hak Kekayaan

Latelektual / TRIPS (Agreement on Trade Related Aspect of

Intellectual Property Rights)43

Dalam kerangka pembangunan sistem hukum Hak Kekayaan

Intelektual nasional, serta dengan diratifikasinya Konvensi tentang

Pernbentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melalui

Undang-Undang No. 7 tahun 1994, dan juga untuk menunjang

keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Paris (Paris Convention for

the Protector of Industrial Property), The Hague Agreement (London

Act) concerning the International Deposit of Industrial Designs,

Provision of the Treaty on intellectual Property in Respect of

Integrated Circuit (Washington Treaty), maka Indonesia wajib

membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur

perlindungan hak atas kekayaan intelektual, serta wajib

434

Insan Budi Maulana, 2000, Kewenangan Polisi, PPNS dan

Jaksa Dalam UU Desain Industri, Rahasa Dagang dan Desain Tata

Letak Sirkuit Terpadu, Makalah Seminar, hal. 1.

Page 12: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

12

mengharmoniskan sistem hukum HKI-nya dengan standar-standar

yang ditetapkan TRIPS Agreement. Bagi negara-negara berkembang

ketentuan peralihan dan persiapan pembentukan perundang-undangan

di bidang HKI adalah 5 tahun sejak pembentukan WTO di Maroko

tahun 1994. Indonesia agar dapat diterima dalam pergaulan bangsa-

bangsa yang beradab, khususnya dalam pergaulan perdagangan

internasional, maka dalam jangka waktu tersebut, Indonesia sudah

harus memiliki perangkat hukum HKI secara lengkap, serta dapat

mengimplementasikannya dengan baik.

2.2. Peraturan Perundang-Undangan dan Konvensi-Konvensi

Internasional di Bidang Hak Kekayaan Intelektual.

Peraturan perundang-undangan dibidang Hak Kekayaan

Intelektual (HKI) sebetulnya sudah ada sebelum Indonesia merdeka.

Bila dicermati kembali, maka peraturan-peraturan dibidang HKI

tersebut dapat kiranya diuraikan sebagai berikut :

1. Peraturan Perundang-Undangan HKI Masa Penjajahan Belanda.

Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya bukanlah suatu hal

yang baru di Indonesia. Sejak zaman Pemerintahan Hindia

Belanda, Indonesia telah mempunyai undang-undang tentang hak

kekayaan intelektual yang sebenarnya merupakan pemberlakuan

peraturan perundang-undangan pemerintahan Hindia Belanda

Page 13: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

13

yang berlaku di negeri Belanda, diberlakukan di Indonesia sebagai

negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip konkordansi.44

Pada masa itu, bidang hak kekayaan Intelektual mendapat

pengakuan baru 3 (tiga) bidang hak kekayaan Intelektual, yaitu

bidang Hak Cipta, Merek Dagang dan Industri, serta paten.

Adapun peraturan perundang-undangan Belanda bidang

Hak Kekayaan Intelektual adalah sebagai berikut.

a. Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912,

Undang-Undang Hak Cipta; S.1912-600).

b. Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan

Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S.1912-545 jo. S.1913-

214).

c. Octrooiwet 1910 (Undang-Undang Paten 1910; S.1910-33, yis

S.1911-33,5.1922-54.

Undang-Undang Hak Cipta pertama di Belanda

diundangkan pada tahun 1803, yang kemudian diperbarui dengan

Undang-Undang Hak Cipta tahun 1817 dan diperbarui lagi sesuai

dengan konvensi Bern 1886 menjadi Auterurswet 1912, Indonesia

444

http//www.blogster.com. Sejarah dan Perkembangan Hak

Kekayaan Intelektual Indonesia, 9 Juli 2007.

Page 14: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

14

(Hindia Belanda saat itu) sebagai negara jajahan Belanda, terikat

dalam konvensi Bern tersebut, sebagaimana diumumkan dalam

S.1914-797. Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912

merupakan undang-undang merek tertua di Indonesia, yang

ditetapkan oleh pemerintah Kerajaan Belanda berlaku sejak

tanggal 1 Maret 1913 terhadap wilayah-wilayah jajahannya

Indonesia, Suriname, dan Curacao. Undang-Undang Paten 1910

tersebut mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1912.45

Lingkup berlakunya peraturan perundang-undangan HKI

pada masa penjajahan Belanda tersebut berdasarkan pasal 131

Indische Staatsregeling. Pasal 131 Indische staatsregling (IS) pada

pokoknya mengatur hal-hal sebagai berikut :

a. Hukum perdata dan hukum dagang (termasuk hukum pidana maupun hukum acara perdata dan pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang, yaitu dikodifikasi.b. Untuk golongan bangsa Eropa, dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (asas konkordansi).c. Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan sebagainya), jika ternyata "kebutuhan kemasyarakatan" mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan. Dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-

454

Adrian Sutedi, Op.Cit, hal. 2

Page 15: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

15

aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2).d. Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri (onderwerperi) pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4).e. Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu "hukum adat" (ayat 6).

Adapun berdasarkan Pasal 163 IS, golongan penduduk

Hindia Belanda adalah sebagai berikut.

a. Golongan Eropa, yaitu (a) semua orang golongan Belanda, (b) semua orang Eropa lainnya, (c) semua orang Jepang, (d) semua orang yang berasal dari tempat lain yang di negaranya tunduk pada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan asas yang sama seperti hukum benda, dan (e) anak sah atau diakui menurut undang-undang, dan anak yang dimaksud sub b dan c yang lahir di Hindia Belanda.b. Golongan Bumiputra, yaitu semua orang yang termasuk rakyat Indonesia Asli, yang tidak beralih masuk golongan lain, yang telah membaurkan dirinya dengan golongan lain, dan yang telah membaurkan dirinya dengan rakyat Indonesia Asli.c. Golongan Timur Asing, yaitu semua orang yang bukan golongan Eropa dan golongan Bumiputra.46

Berdasarkan Pasal 131 jo. 136 IS tersebut dapat diketahui

bahwa kodifikasi hukum perdata (burgerlijke wetboek) hanya

464

Sejarah dan Perkembangan Hak Kekayaan Intelektual

Indonesia, Loc.Cit.

Page 16: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

16

berlaku bagi golongan Eropa dan mereka yang dipermasalahkan.

Adapun bagi golongan Bumiputra dan Timur Asing berlaku

hukum adat mereka masing-masing, kecuali sejak tahun 1855

hukum perdata Eropa diberlakukan terhadap golongan Timur

Asing, selain hukum keluarga dan hukum waris.

Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang

berlaku di Indonesia saat itu bersifat pluralistis sesuai dengan

golongan penduduknya, sehingga ada peraturan perundang-

undangan Eropa yang dinyatakan berlaku bagi orang-orang

Bumiputra (Indonesia), ada pula peraturan perundang-undangan

yang dinyatakan secara khusus dibuat untuk orang-orang

Indonesia Asli (Bumiputra). Peraturan perundang-undangan Eropa

di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang diatur dalam Reglement

Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik

Industrial Kolonial 1912; S.1912-545 jo. S,1913-214), Auterswet

1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang-Undang

Hak Cipta, S.I912-600) dan Octrooiwet 1910 (Undang-Undang

Paten 1910; S.1910-33, yis S.1911-33, S. 1922-54), merupakan

peraturan perundang-undangan yang dinyatakan berlaku tidak

hanya untuk golongan Eropa, melainkan juga berlaku untuk

golongan bukan Eropa.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa peraturan

perundang-undangan Eropa dibidang HKI merupakan peraturan

Page 17: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

17

perundang-undangan yang berlaku bagi semua golongan

penduduk Indonesia.47

2. Peraturan Perundang-Undangan HKI Pasca Kemerdekaan

Indonesia.

Pertumbuhan dan perkembangan HKI sebagai suatu

“regime” di Indonesia yang relativ masih baru, bersumber pada

beberapa peraturan perundang-undangan.48 Pada uraian ini akan

dikemukakan tentang peraturan perundang-undangan dibidang HKI

setelah Indonesia merdeka, hingga yang berlaku sekarang ini.

Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Pasal 2 Aturan

Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Peraturan

Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, maka ketentuan peraturan

474

Adrian Sutedi, Op.Cit., hal. 4

484 Bambang Kesowo, Pengantar Umum Mengenai Hak Atas

Kekayaan Intelektual, Makalah pada Peraturan Hukum Dagang

diselenggarakan oleh Fkaultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta, 0-21 Januari 1995, hal.17 (Selanjutnya disebut

Bambang Kesowo I).

Page 18: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

18

perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual zaman penjajahan

Belanda, demi hukum diteruskan keberlakuannya, sampai dengan

dicabut dan diganti dengan undang-undang baru hasil produk

legislasi Indonesia. Setelah 16 tahun Indonesia merdeka, tepatnya

pada tahun 1961 barulah Indonesia mempunyai peraturan

perundang-undangan hak kekayaan intelektual dalam hukum positif

pertama kalinya dengan diundangkannya Undang-Undang Merek

pada tahun 1961, disusul dengan Undang-Undang Hak Cipta pada

tahun 1982, dan Undang-Undang Paten pada tahun 1989.

Undang-undang merek pertama Indonesia lahir pada tahun

1961 dengan diundangkannya Undang-Undang Merek Dagang dan

Merek Perniagaan, pada tanggal 11 Oktober 1961 dan mulai

berlaku tanggal 11 November 1961, yang dikenal juga dengan

nomenklatur Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961. Dengan

diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21

Tahun 1961, maka Reglement Industriele Eigendom Kolonien

1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S.1912-545

jo. S.1913-214) tersebut dinyatakan dicabut dan tidak berlaku

lagi. Pada tahun 1992 terjadi pembaruan hukum merek di

Indonesia, dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 1992 yang mencabut dan menggantikan

Undang-Undang Nomor 21 -Tahun 1961. Selanjutnya pada tahun

1997, terjadi lagi penyempurnaan terhadap Undang-Undang

Page 19: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

19

Nomor 19 Tahun 1992, dengan diundangkan dan diberlakukannya

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997. Dan terakhir pada Tahun

2001, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 jo. Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1997 tersebut diubah dan disempurnakan serta

diganti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.

Undang-Undang Hak Cipta pertama Indonesia pasca

kemerdekaan baru ada pada tahun 1982, dengan diundangkan dan

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982.

Kemudian pada tahun 1987, Undang-Undang Nomor 6 Tahun

1982 tersebut diubah dan disempurnakan dengan diundangkan dan

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987.

Selanjutnya pada tahun 1997, Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1997 jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tersebut. Dan

terakhir pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997

jis. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1982 tersebut diubah dan disempurnakan serta

diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.

Undang-undang paten Indonesia pertama baru ada pada

tahun 1989 dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 1989. Kemudian pada tahun 1997,

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tersebut diperbarui dengan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997. Dan terakhir pada tahun

2001, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 jo. Undang-Undang

Page 20: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

20

Nomor 6 Tahun 1989 tersebut, diubah dan disempurnakan serta

diganti dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001.

Dengan demikian, sejak tahun 1961 s./d. tahun 1999, yang

berarti selama 54 tahun sejak Indonesia merdeka, bidang hak

kekayaan intelektual yang telah mendapat perlindungan dan

pengaturan dalam tata hukum Indonesia baru 3 (tiga) bidang, yaitu

merek, hak cipta, dan paten. Adapun 4 (empat) bidang hak

kekayaan intelektual lainnya varietas tanaman, rahasia dagang,

desain industri, serta desain tata letak sirkuit terpadu, baru

mendapat pengaturan dalam hukum positif Indonesia pada tahun

2000, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2000 tentang Varietas Tanaman, Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.49

Sesuai dengan konvensi-konvensi internasional serta dalam

rangka kewajiban TRIPs Agreement, maka Indonesia telah

memperbaharui, merevisi, mengharmonisasikan sistem hukum

HKI-nya, serta membentuk peraturan-peraturan baru dibidang

494

Adrian Sutedi, Op.Cit., hal. 5.

Page 21: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

21

HKI. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka saat ini

pengaturan masing-masing bidang HKI di Indonesia diatur dalam

Undang-Undang sebagai berikut :

1) Hak cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002

2) Merek diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

3) Paten diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001

4) Perlindungan Varietas Baru Tanaman diatur dalam Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2000

5) Rahasia Dagang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2000

6) Desain Industri diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2000

7) Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diatur dalam Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2000

Disamping Peraturan Perundang-Undangan Nasional, ada

pula peraturan HKI yang bersifat internasional yang berupa

Konvensi atau Traktaat, yang mana pihak Indonesia sendiri

menjadi negara peserta dan ikut meratifikasi ketentuan Konvensi

atau traktat tersebut, seperti disampaikan Bambang Kesewo,

sebagai berikut :

Ditingkat Internasional, pada saat ini tercatat setidaknya 22 perjanjian multilateral dibidang HKI. Ada yang namanya Konvensi, ada pula yang diberi nama traktat, dan bahkan ada pula yang diberi nama persetujuan. Kesemuanya dikelola olehWIPO yang berkantor pusat di

Page 22: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

22

Jenewa. Selain itu, ada pula perjanjian multilateral yang tidak dikelola oleh WIPO, misalnya Universal Copyright Convention yang dikelola UNESCO. Ada pula perjanjian internasional yang tidak secara khusus mengenai HKI, tetapi menjadikan HKI sebagai salah satu isinya. Contohnya Konvensi tentang keragaman hayati (Viodiversity convention), konvensi ini dikelola oleh UNCED.50

Dari begitu banyak perjanjian atau konvensi internasional,

yang terbaru adalah persetujuan mengenai Aspek-Aspek Dagang dari

pada HKI, termasuk Perdagangan Barang-Barang Tiruan (Trade

Related Aspects of Intelectual Property Rights including Trade in

Counterfeit Goods) atau TRIPs yang dikelola oleh organisasi

perdagangan dunia (WTO). Badan ini dibentuk berdasarkan salah

satu persetujuan dalam paket persetujuan Putaran Uruguay.

Mengingat begitu banyaknya konvensi-konvensi internasional

dibidang HKI, maka pada tulisan ini akan disebut dan diuraikan

beberapa konvensi saja yang mana pihak Indonesia ikut ambil bagian

di dalamnya. Adapun konvensi-konvensi internasional dimaksud

adalah sebagai berikut :

1. The TRIPs Agreement

Pada tanggal 15 April 1994, dokumen akhir Putaran

Uruguay telah ditandatangani oleh 124 wakil-wakil negara di

505

Bambang Kesowo I, Op.Cit, hal. 19.

Page 23: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

23

Marrakesh, Maroko. Dokumen tersebut berisi 28 kesepakatan

multilateral yang antara lain berisi liberalisasi komoditi,

penghapusan dan penurunan tarif produk manufakturing,

penghapusan MFA yang mengatur tekstil dan pakaian jadi dalam

10 tahun, liberalisasi terbatas sektor jasa, penghapusan proteksi

bidang pertanian, pengakuan perlindungan hak milik intelektual

(Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights-TRIPs),

nondiscrimination dalam perlakuan investor asing (Trade Related

Investment Measures-TRIMs), penghapusan tata niaga,

pengawasan (safeguards), antidumping dan arbitrase, subsidi

(Subsidies and Counter-Vailing Measures), dan penanganan

konflik dagang (Dispute Settlement Understanding).51

Salah satu kesepakatan dari Putaran Uruguay sebagaimana

dikemukakan di atas adalah kesepakatan yang menyangkut

perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (The Related Aspects

of Intellectual Property Rights-TRIPs). Sebagai negara anggota

515

Adi Sulistyono & Muhammad rustamadji, 2009, Hukum

Ekonomi Sebagai Panglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo,

hal. 26.

Page 24: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

WTO, Indonesia mempunyai kewajiban untuk memberikan perlakuan

yang diatur dalam TRIPs.52

The Agreement on Trade-Related Aspect of Intellectual

Property Rights (TRIPS) adalah salah satu perjanjian multilateral

terpenting berkaitan dengan hak kekayaan intelektual, Agreement ini

mulai berlaku 1 Januari 1995, Indonesia telah meratifikasinya dan

berkewajiban melaksanakah dan berlaku sejak tahun 2000. Indonesia

meratifikasi TRIPs melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994, dan

sebagai konsekuensi keikutsertaannya, maka Indonesia berkewajiban

mengharmoniskan sistem hukum HKI-nya sesuai dengan standard-

standard yang ditetapkan TRIPs.53

1) Prinsip yang tercantum dalam TRIPs ke dalam sistem dan praktek

hukum nasionalnya. Negara anggota dapat mcnerapkan sistem

perlindungan yang lebih luas dari yang diwajibkan TRIPs sepanjang

525

Oentoeng Soeropati, 1999, Hukum Kekayaan Intelektual dan Alih

Teknologi, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga,

hal. 5.

535 Supasti Dharmawan I Ketut, Op Cit, hal. 7.

Page 25: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum

dalam persetujuan ini, (Pasal 1 TRIPs). Ketentuan seperti ini secara

tidak langsung mengisyaratkan bahwa pengaturan mengenai HKI

dalam persetujuan TRIPs hanyalah menyangkut masalah-masalah

pokok secara global, sedangkan pengaturan secara spesifik

diserahkan sepenuhnya kepada negara anggota.

2) Prinsip Intellectual Property Convention

Ketentuan yang mengharuskan negara anggotanya menyesuaikan

peraturan perandang-undangannya dengan berbagai konvensi

internasional di bidang HKI, khususnya Konvensi Paris, Konvensi

Bern, Konvensi Roma, Integrated Circuits, (Pasal 2 ayat (2) TRIPs).

3) Prinsip National Treatment

Ketentuan yang mengharuskan anggotanya memberikan

perlindungan HKI yang sama antara warga negaranya sendiri

dengan warga negara anggota lainnya, (Pasal 3 ayat (1) TRIPs).

Prinsip perlakuan sama ini tidak hanya beriaku bagi warga negara

perseorangan, tetapi juga untuk badan-badan hukum.

4) Prinsip Most-Favoured-Nation-Treatment

Ketentuan yang mengharuskan anggotanya memberikan

perlindungan HKI yang sama terhadap seluruh anggotanya, (Pasal 4

TRIPs). Ketentuan ini bertujuan untuk menghindarkan terjadinya

perlakuan diskriminasi suatu negara terhadap negara lainnya dalam

Page 26: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

memberikan perlindungan HKI. Setiap negara anggota diharuskan

memberi perlakuan yang sama terhadap anggota lainnya.

5) Prinsip Exhaution

Ketentuan yang mengharuskan angotanya, di dalam

menyelesaikan sengketa, untuk tidak menggunakan satu

ketentuan pun di dalam persetujuan TRIPs sebagai alasan tidak

optimalnya pengaturan HKI di dalam negara mereka (Pasal 6

TRIPs). Ketentuan ini berkaitan erat dengan masalah sengketa

yang mungkin timbul di antara para anggotanya, Menyangkut

prosedur penyelesaian sengketa, maka hal ini diselesaikan melalui

mekanisme penyelesaian sengketa yang berada di bawah

Multilateral Trade Organization (MTO). Organisasi yang

pembentukannya disepakati dalam paket persetujuan GATT dengan

tugas sebagai pengelola TRIPs. Peagawasan pelaksanaan TRIPs,

lakukan oleh Dewan TRIPs (TRIPs Council) yang secara struktural

merupakan bagian dari WTO. 54

2. Convention Establishing The World Intellectual Property

Organization (WIPO)

545

Sri Walny Rahayu, Op.Cit., hal. 87-89

Page 27: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

WIPO adalah salah satu dari enam belas "specialized agencies"

dari PBB yang ditandatangani di Stockholm 14 Juli tahun 1967, dan

diberlakukan pada tahun 1970. Secara formal kehadirannya melalui

The Convention Establishing the World. Intellectual Property

Organization.55

WIPO sebagai organisasi hak milik intelektual (sekarang hak

kekayaan intelektual) dalam sejarah perkembangannya menjadi

pengelola tunggal dua konvensi yang berbeda yaitu : Konvensi Paris,

Union Internasional untuk perlindungan Hak Milik Perindustrian, dan

Konvensi Berne, Union Internaional untuk perlindungan Hak Cipta.

Meskipun merupakan dua konvensi yang berbeda, akan tetapi

pengurusan administrasinya berada dalam satu manajernen yang sama

yaitu United Bureau far the Protection of Intellectual Property atau

dalam versi bahasa perancis dikenal dengan sebutan BIRPI, pada

akhirnya organisasi ini dalam tahun 1967 diganti menjadi WIPO.

Bagi negara-negara maju, TRIPs-WTO mengatur sistem disiplin

pelaksanaan peraturan yang lebih efektif; potensial dan menjanjikan

untuk menangani pelanggaran HKI di negara-negara berkembang.

555

Philip Griffith, 2000, International Treaties And Organizations in

Industrial Property, IPR Course Materia UTS, Sydney, h.7.

Page 28: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

Masuknya masalah HKI dalam TRIPs-WTO berarti HKI sudah menjadi

salah satu isu perdagangan internasional, bukan lagi hanya sebagai

masalah intern hukum nasional. Argumentasi negara-negara maju

mengaitkan HKI dengan perdagangan internasional menurut Sanusi

Bintang karena, perlindungan HKI yang ketat akan mengurangi

hambatan-hambatan perdagangan (trade barriers), yang merupakan

tujuan dari perjanjian multilateral TRIPs-WTO. Pelanggaraa HKI

dianggap sebagai suatu bentuk proteksionisme.56

Meerhagaege dalam A.F. Ely Erawati mengatakan tujuan dari

TRIPs-WTO adalah :

(1)Mewujudkan sistem perdagangan internasional yang stabil dan transparan;(2)Melaksanakan liberalisasi perdagangan internasional; dan(3)Meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka mewujudkap kesejahteraan57

565

Sanusi Bintang, 1998, Hukum Hak Cipta, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 72.

575 A.F. Elly Erawati, 1994, Sistem dan Mekanisme Perdagangan

Internasional, Pro Justitia, Vol.4, hal. 87-112.

Page 29: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

Untuk mencapai tujuan tersebut TRIPs-WTO berfungsi sebagai

berikut:

(1) Perangkat hukum internasional yang mengatur sistem dan mekanisms perdagangan internasional;

(2) Forum negoisasi antar bangsa untuk mewujudkan liberalisasi perdagangan internasional; dan

(3) Forum konsultasi dan penyelesaian sengketa perdagangan internasional antar negara anggotanya.58

3. Paris Convention

Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of

Industrial Property) dikenal sebagai Konvensi yang mengatur

perlindungan terhadap hak milik perindustrian. Hak milik perindustrian

meliputi Paten, Merek dan desain Industri. Paris Convention ini

disahkan melalui Kepres No. 15 Tahun 1997.59

585 Ibid.

595

Ade Manan Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi

Global, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 97.

Page 30: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

Konvensi ini mulai berlaku 20 Maret 1883, kemudian direvisi

beberapa kali, yaitu ; di Brussels tgl 14 Desember 1900, di Washington

2 Juni 1911, The Hague 6 Nopember 1925, London 2 Juni 1934,

Lisbon 31 Oktober 1958, di Stockholm 14 Juli 1967, dan kemudian

diamandemen tanggal 2 Otober 1979.

Indonesia menjadi anggota Konvensi Paris pada tanggal 10 Mei

tahun 1979 melalui Keppres RI No. 24 tahun 1979, Indonesia

mengajukan revisi terhadap pasal 1 sampai dengan 12 (pasal-pasal

substantif) dan pasal 28 ayat 1. Kemudian revisi tersebut telah dicabut

berdasarkan Keppres RI No. 15 tahun 1997. Hingga Januari tahun 1997

jumlah anggota Konvensi Paris adalah 140 Negara.

Dalam Paris convention memiliki tiga(3) komponen dasar

yaitu :

a. The guarantee of national treatment

b. The right of priority

c. Common rules for a minimum floor of protection for each subject

matter I Provisions dealing with the administration of the

convention.

Mengingat pengaturan Konvensi Paris sifatnya masih terlalu

umum, maka kemudian dibentuk Konvensi atau perjanjian yang khusus

Page 31: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

hanya mengatur satu bidang hak milik perindustrian, diantaranya di

bidang Paten, yaitu :

a. European Convention Relating to the Formalities Required to patent application (1953)

b. European Convention for International Classification of patent (1954)

c. Perjanjian Kerjasama Paten di Washington 1970 (Patent Cooperation Treaty PCT)

d. European Patent Convention (EPC) The Community Patent Convention (CPC) tahun 1975

e. The Hague Agreement: ( London Act ) Concerning The International Deposit of Industrial Designs

f. Provisions of the Treaty on Intellectual property in respect of Integrated Circuil (Washington Treaty).60

4. Patent Cooperation Treaty (PCT)

PCT (Perjanjian kerjasama paten) adalah suatu Perjanjian

Kerjasama Paten yang bersifat multilateral, didirikan di Washington

pada 19 Juni tahun 1970, dan merupakan perjanjian khusus dibawah

Konvensi Paris. Perjanjian ini dimaksudkan untuk memfasilitasi dan

memberi perlindungan paten di beberapa negara dari anggota Paris

Konvensi. Keanggotaan dari PCT adalah terbuka bagi negara-negara

606

Muhammad Djumhana, R. & Djubaedillah, 1993, Hak Milik

Intelektual (Sejarah Teori dan Prakteknya di Indonesia), PT. Citra Bakti,

Bandung, hal. 14.

Page 32: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

anggota Paris Convention, dan hingga 1 Februari 1993 anggotanya

menjadi 56 negara.

PCT ditujukan untuk penyederhanaan prosedur administratif

pendaftaran permintaan paten intemasional, Sepertu ; filling,

searching, dan examining.

Agar tujuan PCT tercapai yaitu penyederhanaan proses, maka

digunakanlah sistem "single application". Sistem ini memungkinkan

sebuah permintaan diajukan secara serentak pada sejumlah negara, dan

pengajuan permintaan itu akan menjadi ekuivalensi pengajuan

permintaan paten pada masing-masing negara anggota yang dituju,

sebagaimana dinyatakan dalam permintaan paten. Permintaan paten

intemasional cukup diajukan dalam satu bahasa (yang diakui secara

internasional), di kantor paten negara asal, dan selanjutnya cukup

memenuhi satu ketentuan mengenai persyaratan formalitas.61

Ada 5 (lima) mekanisme yang merupakan Five major

international functions untuk mencapai tujuan umum dari PCT yaitu :

(1) International filling

(2) International formal examination

616

Ary M. Sigit, 2000, Sistem Perlindungan Paten, Makalah

Seminar, Kerjasama Ditjen HKI- UNUD, Denpasar, hal.3.

Page 33: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

(3) International search.

(4) Centralized international publication

(5) Optional international preliminary examination

Indonesia menjadi anggota PCT pada tanggal 7 Mei 1997

melalui Keppres No. 16 tahun 1997.

5. Berne Convention

Bern Convention for the Protection of literary and Artistic

works adalah Konvensi multilateral terpenting dalam hak cipta.

Konvensi ini pertama kali berlaku pada 9 September 1886, dan

kemudian mengalami beberapa kali revisi yaitu : Dilengkapi di Paris

tanggal 4 Mei 1896, di revisi di. Berlin 13 Nopember 1908, dirubah

lagi di Berne 20 Maret 1914, di revisi di Rome 2 .luni 1928, di

Brussels 26 juni 1948, di Stockholm 14 Juli 1967, di Paris 24 juli 1971

dan kemudian diamendemen pada tanggal 28 September 1979.

Indonesia pemah menjadi anggota Konvensi Berne tahun 1959,

tetapi kemudian keluar, dan kembali menjadi anggota melalui Keppres

No. 18 tahun 1997. Sampai maret 1997 jumlah keanggotaan Beme

Convention adalah 121 Negara. Dengan ikut kembali Indonesia sebagai

anggota Berne Convention, berarti sejak tahun 1997 Indonesia wajib

mentaati ketentuan-ketentuan Berne Convention.

Konvensi Berne berpegang pada tiga prinsip dasar yaitu :

(1) Perlakuan nasional (national treatment)

Page 34: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

(2) Perlindungan otomatis ( automatic protection )

(3) Kebebasan perlindungan (independence of protection). 62

Dengan konsep perlindungan otomatis (automatically protection)

yang dianut Konvensi Berne, maka perlindungan hukum terhadap

karya cipta tidak membutuhkan persyaratan formal seperti misalnya

pendaftaran, melainkan begitu karya tersebut lahir (expression work),

pada saat itu juga secara hukum mendapat perlindungan hukum hak

cipta.

6. Universal Copyright Convention ( UCC )

Universal Copyright Convention adalah suatu Konvensi hak

cipta yang lahir karena adanya gagasan dari peserta Konvensi Berne

dan Amerika Serikat yang diseponsori oleh PBB khususnya UNESCO,

yaitu untuk menyatukan satu sistem hukum hak cipta secara universal.

UCC ini dicetuskan dan ditandatangani di Jenewa pada bulan

September 1952, dan telah mengalami revisi di Paris pada tahun 1971.

Standar perlindungan yang ditawarkan UCC lebih rendah dan

lebih fleksibel daripada yang ditentukan oleh Berne Convention.

Menurut article 2, UCC menganut prinsip national treatment. Berne

626

Sanusi Bintang, Op.Cit. hal. 67.

Page 35: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

Convention menganut prinsip perlindungan secara otomatis, sebaliknya

UCC mempersyaratkan ketentuan formal untuk adanya perlindungan

hukum di bidang hak cipta.

Ketentuan yang monumental dari Konvensi Universal adalah

adanya ketentuan formalitas hak cipta berupa kewajiban setiap karya

yang ingin dilindungi harus mencantumkan tanda C dalam lingkaran

©, disertai nama penciptanya, dan tahun karya tersebut mulai

dipublikasikan. Simbul tersebut menunjukkan bahwa karya tersebut

telah dilindungi dengan hak cipta negara asalnya, dan telah terdaftar

dibawah perlindungan hak cipta. 63

Beberapa konvensi lainnya di bidang hak yang berkaitan dengan

hak cipta (neighbouring right) adalah:

a. Konvensi Roma 1961 (International Convention for the Protection of the Performers producers of Phonograms and Broadcasting Organization).Konvensi ini bertujuan untuk melindungi orang-orang yang berkecimpung dalam kegiatan pertunjukan, perekaman,dan badan penyiaran.

b. Geneva Convention for the Protection of Producers of Phonograms Against Unauthorized Duplication of their Phonograms, tahun 1971.

c. Brussels Convention Related to the Distribution of Programme carrying Signals Transmitted by Satellite , tahun 1974.

63

6

Djumhana,R.Djubaedilah,Opcit., h.43.

Page 36: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

7. The Hague Agreement Concerning The International

Deposit of Industrial designs

Konvensi yang ada sejak 6 Nopember 1925 menganut prinsip

"national treatment for designs", dan terbuka untuk seluruh negara-

negara anggota Konvensi Paris. Indonesia menjadi anggota sejak tahun

1950. Konvensi dibidang desain lainnya adalah: Locarno Agreement,

berlaku sejak 27 april 1971, tentang International classification system

for designs.

8. Madrid Agreement Concerning The International Registration of

Marks

Perjanjian ini ditandatangani di Madrid pada 14 April 1891, dan

rnuiai berlaku 15 Juli 1892, kemudian direvisi di Stockholm tanggal 14

Juli 1967, dan terbuka bagi seluruh anggota Paris Union. Perjanjian

Madrid mengatur pendaftaran merek secara internasional, baik untuk

barang maupun jasa, melalui pendaftaran dengan sistetn single

application dengan birokrasi internasional dari WIPO. Menurut Sistem

Perjanjian Madrid, pemilik merek harus mendaftarkan mereknya

pertama kali di kantor merek negara asal dari pendaftar, kemudian

pendaftar dapat mengajukan pendaftarannya ke International Bureau

di Perancis melalui kantor merek nasional.

Beberapa konvensi lain di bidang HKI adalah sebagai berikut:

Page 37: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

a. Konvensi UPOV yaitu Union for the Protection of New Varities of

Plants

Yaitu suatu konvensi internasional yang memberi perlindungan

hukum terhadap varitas baru tanaman atau disebut pula Plant

Breeder Right.

b. Convention on Biological Diversity, yaitu konvensi tentang

keanekaragaman hayati. Indonesia meratifikasi Konvensi ini

melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1994.

c. The Trademark Registration Treaty 1973.

d. The Nice Agreement Concerning the International Classification of

goods and Services for the Purposes of the Registration of mark

1961.

2.3. Jenis-Jenis Hak Kekayaan Intelektual.

Hak atas kekayaan intelektual yang diberikan perlindungan hukum

bisa dilihat dan dibandingkan apa yang disepakati dalam GATT, TRIPs,

WIPO, maupun yang diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan tentang

HKI di Indonesia. Dari sini bisa diketahui mengenai pengelompokan jenis-

jenis HKI yang perlu diberikan perlindungan hukum sesuai dengan

peraturan yang mengaturnya.

Dalam perundingan persetujuan umum tentang tarif dan

perdagangan (General Agreement on Tariff and a Trade (GATT) sebagai,

Page 38: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

bagian dari pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO) telah

disepakati norma-norma dan standar perlindungan HKI yang meliputi:

1. Hak cipta dan hak-hak lain (copyrights and related right)-

2. Merek (trademarks, service marks, and names)

3. Indikasi geografis (geographical indications);

4. Desain produk industri (industrial design);

5. Paten (patens), termasuk perlindungan varietas tanaman

6. Desain tata letak sirkuit terpadu [layout design (topographic) of

integrated circuits]

7. Perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan (protection of

undisclosed information);

8. Pengendalian praktik-praktik persaingan curang dalam perjanjian

lisensi (control of anti competitive practices in contractual

licenses).64

Dalam perjanjian internasional tentang aspek-aspek perdagangan

dari HKI (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property

Rights disingkat Persetujuan TRIPs) pada Pasal 1 dan 2 menyatakan

bahwa HKI terdiri atas:

1. Hak cipta dan hak terkait

646

Rachmadi Usman, Op.Cit., hal. 7

Page 39: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

2. Merek dagang

3. Indikasi geografis

4. Desain industri

5. Paten

6. Tata letak (topografi) sirkuit terpadu

7. Perlindungan informasi rahasia

Pengelompokan HKI yang didasarkan pada Convention

Establishing The World Intellectual Property Organization (WIPO)

1. Hak cipta (copy rights)

2. Hak milik (kekayaan) perindustrian (industrial property rights). Hak

cipta dibedakan lagi menjadi dua, yakni hak cipta dan hak terkait

dengan hak cipta (neighbouring rights). Sementara itu, hak atas

kekayaan perindustrian terdiri atas:

a. Patent (paten)

b. Utility models (model rancang bangun), disebut juga paten

sederhana

c. Industrial design (desain industri)

d. Trade mark (merek dagang)

e. Trade names (nama niaga atau nama dagang)

f. Indication of source or appellation of origin (stimber tanda atau

sebutan asal)65

65

Page 40: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

Sampai saat ini, Indonesia telah membentuk dan mengundangkan

tujuh UU mengenai HKI. Dari tujuh UU tersebut dapat diketahui ada tujuh

macam HKI yang mendapat perlindungan hukum secara normatif.

1. UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman

2. UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang

3. UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri

4. UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

5. UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten

6. UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

7. UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Apabila mengikuti pembagian menurut WIPO yang membedakan

HKI antara hak cipta dengan hak kekayaan perindustrian maka pembagian

HKI menurut hukum HKI Indonesia dapat dilihat dalam bagan berikut:666

Imam Sjahputra Tunggal, Heri Herjandono, 2000, Aspek-Aspek

Hukum Rahasia Dagang (Trade Secret) Seluk Beluk Tanva Jawab Teori

dan Praktek,Harvarindo, hal. 1.

666

HOK Saidin, Op.Cit. hal. 14

Page 41: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

a. Hak Cipta1. Hak Cipta

b. Hak Terkait (dengan Hak Cipta)

HKI a. Hak Perlindungan Varietas Tanaman

b. Hak Rahasia Dagang

2. Hak Milik c. Hak Desain Industri Perindustrian

d. Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

e. Hak Paten

f. Hak Merek

Perlindungan hukum terhadap karya-karya intelektual manusia

sangat penting artinya, karena masyarakat Barat serta masyarakat industri

maju yang mempelopori perkembangan sistem hukum HKI ini sangat

concern menyikapi perlindungan hukumnya, mengingat karya-karya yang

masuk dalam lingkup HKI baik berupa karya seni, sastra, penemuan

tehnologi, desain, merek dan karya HKI lainnya adalah merupakan hasil

kreativitas intelektual manusia yang lahir dari proses yang sangat panjang,

dengan pengorbanan berat, baik dari segi waktu, tenaga dan biaya

Page 42: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

(misalnya karena harus melalui penelitian-penelitian dan proses

pengembangan (Research and Development).

Produk HKI merupakan karya yang lahir dari cipta, karsa, dan

dengan kreatif, serta kemampuan intelektual / hasil kerja otak yang tinggi

dari si penemu, pencipta maupun pendesain. Hasil kreatifitas intelektual

dengan proses yang demikian mendalam sebagaimana disebutkan diatas

mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi, hasil karya tersebut pada

hakekatnya merupakan kekayaan pribadi dari mereka yang menemukan,

menciptakan maupun mendesain, oleh karena itu sudah selayaknya kepada

para penemu, dan para pencipta diberikan perlindungan hukum secara

individual yaitu dalam bentuk hak-hak ekslusif (exclusive rights) atas

karya yang dilahirkannya.

Dengan konsep berpikir bahwa karya-karya tersebut lahir dari

kemampuan intelektual, pengorbanan yang dalam, serta memiliki nilai

ekonomi yang dapat dinikmati dari karya-karya tersebut, maka HKI hanya

dapat diberikan kepada penciptanya atau penemunya untuk menikmati

atau memetik manfaat sendiri selama jangka waktu tertentu, atau memberi

izin kepada orang lain untuk menggunakannya.67

67

6

Richard Burton Simatupang, 1996, Aspek Hukum Dalam Bisnis,

Rineka Cipta, Jakarta, hal. 85.

Page 43: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

Perlindungan hukum terhadap HKI pada dasarnya berintikan

pengakuan terhadap hak atas kekayaan ternikmati atau mengeksploitasi

sendiri kekayaan tadi. Selama kurun waktu tertentu itu, orang lain hanya

dapat menikmati atau menggunakan atua mengeksploitasi hak tersebut

atas ijin pemilik hak.68 Perlindungan dan pengakuan tersebut hanya

diberikan khusus kepada orang yang memiliki kekayaan tadi, maka sering

dikatakan bahwa hak seperti itu ekslusif sifatnya.

Adanya perlindungan hukum seperti itu dimaksudkan agar pemilik

hak dapat menggunakan atau mengeksploitasi kekayaan tadi secara aman.

Pada gilirannya, rasa aman itulah yang kemudian menciptakan iklim atau

suasana yang memungkinkan orang dapat berkarya guna menghasilkan

ciptaan atau temuan-temuan berikutnya. Sebaliknya dengan perlindungan

hukum seperti itu pula pemilik hak diminta untuk mengungkapkan jenis,

bentuk, dan cara kerja serta manfaat dari pada kekayaannya. Ia dapat

dengan aman mengungkapkan (discloses) karena adanya jaminan

perlindungan hukum, dan sebaliknya masyarakat dapat ikut menikmati

atau menggunakannya atas dasar ijin, atau bahkan mengembangkannya

lebih lanjut.

Urgensinya perlindungan HKI, selain karena faktor-faktor seperti

tersebut diatas (karya intelektual pribadi, pengorbanan dan nilai ekonomi),

68

6

Bambang Kesowo, Op.Cit. hal.11.

Page 44: BAB II KONSEPSI DAN URGENSI PERLINDUNGAN HAK

juga karena : Pertama, adanya pembajakan ( unfair trade practice )

sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak itu dapat menimbulkan

kerugian terhadap produsen, misalnya penurunan omzet produksi,

besarnya biaya untuk penjejakan pembajak, merosotnya daya hidup

perusahaan; kerugian terhadap konsumen, misalnya konsumen mendapat

barang palsu yang kualitasnya sering lebih buruk.

Kedua, menguatnya kecendrungan negara-negara industri maju,

khususnya Amerika Serikat, menggunakan tuntutan dan keharusan untuk

melindungi hak milik intelektual di negara-negara berkembang.69

69

6

Ida Bagus Wyasa Putra, 2000, Aspek-Aspek Hukum Perdata

Internasional Dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama,

Bandung, hal. 49.