Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Perawatan ( Maintenance)
2.1.1 definisi dan tujuan perawatan
Perawatan adalah kegiatan memelihara atau menjaga fasilitas maupun alat-alat
pabrik dan melakukan perbaikan atau penggantian yang diperlukan akan tercipta suatu
kondisi proses produksi yang memuaskan sesuai dengan yang direncanakan ( Assauri,
1980:88).
Menurut Corder (1996:4), perawatan adalah suatu kolaborasi dari setiap
tindakan yang dilaksanakan untuk menjaga suatu barang dalam, atau untuk
memperbaikinya sampai suatu keadaan yang bias diterima.
Sedangkan menurut Dhillon (2002), perawatan (maintenance) adalah
kombinasi kegiatan yang dilakukan untuk memulihkan komponen atau mesin dimana
mesin dapat terus melakukan fungsinya.
Berdasarkan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perawatan
merupakan suatu kolaborasi kegiatan perbaikan, atau penggantian untuk menjaga
fasilitas pabrik seperti mesin dan alat pada kondisi yang baik untuk melakukan kegiatan
yang direncanakan. Dalam usaha untuk dapat menggunakan terus fasilitas tersebut agar
keberlangsungan produksi dapat terjamin, maka diperlukan kegiatan-kegiatan
perawatan seperti kegiatan pengecekan, melumasi (lubrication) dan perbaikan/reparasi
atas kerusakan yang ada serta penyesuaian atau pengantian spare part atau komponen
yang terdapat pada fasilitas tersebut. Peran maintenance tidak hanya untuk menjaga
agar pabrik dapat tetap bekerja dan produk dapat diproduksi lalu disalurkan ke
konsumen dengan tepat waktu, selain itu juga untuk menjaga agar pabrik dapat bekerja
secara efisien dengan menekan atau mengurangi keterlambatan terjadi menjadi sekecil
mungkin.
5
Tujuan utama dari fungsi perawatan menurut Assauri adalah:
1. Kemampuan produksi dapat mencukupi kebutuhan sesuai dengan rencana
produksi.
2. Menjaga kualitas pada tingkat yang tepat untuk memenuhi apa yang diperlukan
oleh produk tersebut dan kegiatan produksi yang tidak terganggu.
3. Untuk membantu meminimalisir pemakain dan penyimpangan yang di luar
batas dan menjaga modal yang diinvestasikan dalam perusahaan selama waktu
yang ditentukan sesuai dengan kebijakan perusahaan mengenai investasi itu
sendiri.
4. Untuk mencapai tingkat biaya pemeliharaan sekecil mungkin, dengan
melakukan kegiatan maintenance secara efektif dan efisien secara menyeluruh.
5. Menghindari kegiatan maintenance yang dapat membahayakan keselamatan
dan kesehatan para pekerja.
6. Mengadakan suatu kerjasama yang erat dengan fungsi-fungsi utama lainnya
dari suatu perusahaan untuk mencapai tujuan utama perusahaan, yaitu tingkat
keuntungan (return of investment) yang sebaik mungkin dan total biaya yang
terendah.
2.1.2 Jenis-jenis Perawatan.
Menurut Corder (1996:3), secara umum bentuk perawatan dibagi menjadi dua
antara lain :
1. Unplanned Maintenance, yaitu kegiatan perawatan yang penerapannya tidak
ditentukan dan tidak ada perencanaan sebelumnya, hanya ada satu bentuk
unplanned maintenance, yaitu pemeliharaan darurat dimana perlu segera
dilakukan tindakan untuk mencegah akibat yang lebih serius. Misalnya
hilangnya produksi, kerusakan besar pada peralatan, atau untuk alasan
keselamatan kerja.
2. Planned Maintenance, yaitu kegiatan perawatan yang penerapannya telah
ditentukan dan dikendalikan sesuai dengan rencana yang dibuat sebelumnya.
Terdapat dua aktifitas utama dalam planned maintenance yaitu:
6
a. Preventive Maintenance adalah kegiatan pemeliharaan dan perawatan
untuk mengantisipasi kerusakan yang tak terduga.
b. Corrective Maintenance adalah kegiatan pemeliharan dan perawatan yang
dilakukan apabila telah terjadi kerusakan, kegagalan, atau kelainan fasilitas
produksi.
(sumber : Corder, 1996)
Gambar 2.1 Pengklasifikasian perawatan.
2.2. Identifikasi Komponen Kritis dengan Diagram Pareto
Penentuan komponen kritis ini dilakukan berdasarkan pada data downtime
dengan frekuensi tertinggi. Pemilihan komponen kritis ini menggunakan diagram
pareto agar lebih mudah dalam menentukan frekuensi yang tertinggi diantara
komponen yang satu dengan komponen yang lainnya. Sebuah pertolongan yag
berfungsi untuk penentuan proyek dalam proses penyebaran adalah prinsip pareto.
Berdasarkan prinsip pareto, beberapa penyebab penting memberikan hasil yang
signifikan dalam proses improvement, sehingga perlu dijadikan prioritas utama untuk
diselesaikan terlebih dahulu (Juran, 1998:5,25). Kegunaannya adalah untuk :
1. Menentukan jenis persoalan utama.
2. Membandingkan masing-masing jenis persoalan terhadap keseluruhan.
7
3. Menunjukkan tingkat perbaikan yang berhasil dicapai.
4. Membandingkan hasil perbaikan masing-masing jenis persoalan sebelum dan
sesudah perbaikan.
Langkah-langkah pembuatan diagram pareto sebagai berikut:
1. Tingkatan dari problem dinyatakan dalam angka.
2. Tentukan jangka waktu pengumpulan data yang akan dibahas untuk
memudahkan melihat perbandingan sebelum dan sesudah penanggulangan (
jangka waktu harus sama).
3. Atur setiap penyebab (sesuai dengan tingkatan) secara berurutan sesuai
besarnya nilainya dan gambarkan dlam grafik kolom. Penyebab dengan nilai
lebih besar terletak disisi kiri, kecuali “dan lain-lain” terletak dipaling kanan.
Gambarkan grafik garis yang menunjukkan jumlah prosentase (total 100%)
pada bagian atas grafik kolom dimulai dengan nilai terbesar dan dibagian
bawah/keterangan kolom tersebut. Pada bagian atas dan samping berikan
keterangan/nama diagram dan jumlah unit seluruhnya.
Contoh diagram pareto dapat dilihat pada gambar 2.2.
(sumber: Juran, 1998)
Gambar 2.2 Diagram pareto
8
2.3 Reliability Centered Maintenance
Reliability centered maintenance adalah suatu tahapan yang digunakan untuk
menentukan apa yang seharusnya dilakukan untuk menjamin setiap item fisik atau
suatu system dapat berjalan dengan baik sesuai dengan fungsi yang diinginkan oleh
penggunanya (Moubray,1997:7). Reliability centered maintenance merupakan teknik
manajemen perawatan yang menggabungkan dua jenis tindakan pencegahan yaitu
preventive maintenance telah dijelaskan sebelumnya. Predictive maintenance adalah
pemeliharaan berdasarkan penilaian atau analisa kondisi (condition base) komponen-
komponen mesin secara keseluruhan.
Keuntungan dari metode RCM ini adalah:
1. Penentuan program pemeliharan difokuskan pada komponen atau mesin-mesin
kritis dan menghindari kegiatan perawatan yang tidak diperlukan dengan
menentukan interval perawatan yang tepat.
2. Menggabungkan analisa kualitatif dan kuantitatif dalam penetuan program
pemeliharaan. Analisa kualitatif terdapat pada tindakan perawatan yang
diusulkan (proposed task). Sedangkan analisa kuantitatif terdapat pada
penentuan initial interval perawatan dan perbaikan komponen.
Penelitian tentang RCM pada dasarnya menjawab 7 pertanyaan utama tentang
item atau peralatan yang diteliti (Mourbray, 1997:7). Ketujuh pertanyaan mendasar
tersebut, sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud fungsi dan standar kinerja asset atau mesin dalam
situasi operasi yang saat ini (system standart) ?
2. Bagaiman item atau peralatan tersebut mengalami dalam menjalankan
fungsinya (functional failure)?
3. Apa penyebab kegagalan fungsi tersebut (failure consequence) ?
4. Apa konsekuensi yang dihadapi saat terjadi kerusakan (failure effect) ?
5. Bagaimana cara kerusakan itu terjadi (failure consequence) ?
9
6. Apakah tugas yang harus dilakukan untuk mencegah setiap kegagalan
(default action) ?
7. Apakah yang harus dilakukan apabila kegiatan pencegahan yang sesuai
tidak berhasil ditemukan (default action) ?
Reliability centered maintenance lebih menitikberatkan pada penggunaan
analisis kualitaif untuk komponen yang dapat menyebabkan kegagalan pada suatu
system. Ketujuh petanyaan diatas dituangkan dalam bentuk failure mode dan effect
analysis (FMEA) dan RCM decision diagram tergabung dalam RCM decision
worksheet. Adapun langkah-langkah analisa kualitatif metode RCM adalah:
1. Pemilihan system dan pengumpulan informasi
2. Batasan system
3. Deskripsi system dan diagram blok fungsional (FDB)
4. Fungsi system dan kegagalan fungsi
5. Analisa failure mode and effect analysis (FMEA)
6. Logic tree analysis (LTA).
7. Pemilihan tindakan
2.3.1 Pemilihan Sistem Dan Pengumpulan Informasi
Berikut ini akan dibahas secara terpisah antara pemilihan system dan
pengumpulan informasi.
a. Pemilihan Sistem
Ketika memutuskan untuk menerapkan program RCM pada fasilitas dan dua
pertanyaan yang timbul, yaitu:
1. Pada level perakitan (komponen, sistem) proses analisis harus dilakukan ?
proses analisis RCM sebaiknya dilakukan pada tingkat system bukan pada
tingkat komponen. Dengan proses analisis pada tingkat system akan
memberikan informasi yang lebih jelas mengenai fungsi komponen
terhadap system.
10
2. Apakah seluruh system akan dilakukan proses analisis dan bila tidak
bagaimana dilakukan pemilihan system. Tidak semua sistem akan
dilakukan proses analisis. Hal ini disebabkan karena bila dilakukan proses
analisis secara bersamaan untuk dua system atau lebih proses analisis akan
sangat luas. Selain itu,proses analisis akan dilakukan secara terpisah,
sehingga dapat lebih mudah untuk menunjukan setiap karakteristik system
dari fasilitas (mesin/peralatan) yang dibahas.
b. Pengumpulan Informasi
Pengumpulan informasi berfungsi untuk mendapatkan gambaran dan
pengertian yang lebih mendalam mengenai system dan bagaimana sistem bekerja.
Pengumpulan informasi ini juga akan dapat digunakan dalam analisis RCM pada tahap
selanjutnya. Informasi-informasi yang dikumpulkan dapat melalui pengamatan
langsung dilapangan, wawancara, dan sejumlah buku referensi. Informasi yang
dikumpulkan antara lain cara kerja mesin, komponen utama mesin, spesifikasi mesin
dan rangkaian system permesinan.
2.3.2 Batasan Sistem
Jumlah system dalam suatu fasilitas atau pabrik sangat luas tergantung dari
kekompleksitasan fasilitas, karena itu perlu dilakukan definisi batasan system. Lebih
jauh lagi pendifinisian batasan ini bertujuan untuk menghindari tumpang tindih antara
satu system dengan system lainnya.
2.3.3 Deskripsi Sistem dan Functional Block Diagram (FBD)
Berikut ini akan dibahas secara terpisah antara deskripsi system dan Fuctional
Block Diagram (FBD).
1. Deskripsi system merupakan langkah pendeskripsian system yang diperlukan
untuk mengetahui komponen-komponen yang terdapat didalam system
tersebut.
2. Fuctional Block Diagram (FBD) merupakan diagram variasi dari hubungan
fungsional yang menunjukkan hubungan antar fungsi asset dalam satu level
yang sama. FBD sendiri digunakan untuk mendeskripsikan system kerja dari
11
suatu mesin. Selain itu, FBD merupakan representasi dari fungsi-fungsi utama
system yang berupa blok-blok yang berisi fungsi-fungsi dari setiap subsistem
yang menyusun system tersebut. Pembuatan FBD diharapkan dapat
memudahkan pada saat mengidentifikasi kegagalan yang terjadi. Contoh FBD
dapat dilihat pada gambar 2.3
(sumber : Kurniawan,2013)
Gambar 2.3 Fuctional Block Diagram
Keuntungan dari FBD sendiri adalah sebagai berikut:
1. Sebagai dasar informasi dari system mengenai desain dan operasi yang diamati.
Informasi tersebut nantinya digunakan sebagai acuan untuk melakukan
tindakan perawatan. Dimana tindakan perawatan dilakukan sebagai upaya
pencegahan dikemudian hari.
2. Memperoleh pengetahuan system secar menyeluruh.
3. Mengetahui proses identifikasi parameter-parameter operasi yang
menyebabkan terjadinya kegagalan system.
12
2.3.4 System Function and Fuction Failure
Berikut ini akan dibahas secara terpisah antara system function dan function
failure.
1. System Function
Sebelum kita dapat menentukan kegiatan yang sesuai untuk diberikan
dalam mempertahankan fungsi dari asset fisik, menurut Moubray (1997:8)
ada dua hal yang harus kita penuhi yaitu :
1. Menentukan fungsi apa yang diinginkan oleh pengguna terhadap asset
tersebut.
2. Memastikan bahwa asset tersebut mampu berfungsi sesuai dengan
keinginan pengguna. Hal ini menjadi alasan mengapa langkah pertama
yang diterapkan dalam proses RCM adalah menentukan apa fungsi dari
setiap asset yang dimiliki dan standar performansi yang diinginkan.
Fungsi yang pengguna inginkan terhadap asset dapat dikategorikan
menjadi dua yaitu:
a. Primary Function
Primary function merupakan fungsi utama dari suatu asset.
Beberapa contoh primary function adalah kecepatan, output,
kapasitas angkut atau penyimpanan, kualitas produk dan layanan
terhadap konsumen.
b. Secondary Function
Secindary function merupakan fungsi tambahan dari fungsi utama,
dimana fungsi ini disesuaikan dengan keinginan pengguna. Contoh
dari secondary function adalah Safety, control, kenyaman, ekonomi,
perlindungan, efisiensi operasi, pemenuhan terhadap
peraturan/standar lingkungan serta semua yang tampak dan dimiliki
oleh asset.
13
2. Functional Failure
Proses penerapan RCM untuk mengetahui kegagalan, dapat diketahui
melalui dua tahap yaitu:
1. Mengidentifikasi penyebab yang mengarah pada kondisi kegagalan
(failed state)
2. Mengidentifikasi kejadian yang dapat menyebabkan asset gagal
menjalankan fungsinya. Dalam RCM, asset yang gagal dikenal sebagai
functional failure karena hal tersebut terjadi ketika sebuah asset tersebut
tidak dapat memenuhi fungsinya sesuai dengan performansi standar
yang diinginkan oleh pemakai.
2.3.5 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Menurut Ansori dan mustajib (2013) FMEA merupakan suatu metode yang
bertujuan untuk mengevaluasi desain system dengan mempertimbangkan bermacam-
macam mode kegagalan dari system yang terdiri dari komponen-komponen dan
menganalisis pengaruh-pengaruhnya terhadap keandalan system tersebut. Dimana
penelusuran pengaruh-pengaruh kegagalan komponen sesuai dengan level system,
item-item khusus yang kritis dapat dinilai dan tindakan-tindakan perbaikan diperlukan
untuk memperbaiki desain dan mengeliminasi atau mereduksi probabilitas dari mode-
mode kegagalan yang kritis.
Dari analisis ini kita dapat memprediksi komponen mana yang kritis, yang
sering rusak dan jika terjadi kerusakan pada komponen tersebut maka sejauh mana
pengaruhnya terhadap fungsi system secara keseluruhan, sehingga kita dapat
memberikan perilaku khusus terhadap komponen tersebut dengan tindakan perawatan
yang tepat.
Menurut Pranoto (2012) hal utama dalam FMEA adalah Risk Priority Number
(RPN). RPN merupakan produk matematis dari keseriusan effect (severity),
kemungkinan terjadinya cause akan menimbulkan kegagalan yang berhubungan
dengan effect (occurance), dan kemampuan untuk mendeteksi kegagalan sebelum
terjadi (detection). RPN dapat ditunjukkan dengan persamaan berikut
14
RPN = Severity * Occurrence * Detection (1)
Hasil dari RPN menunjukkan tingkatan prioritas peralatan yang dianggap
beresiko tinggi, sebagai penunjuk kearah perbaikan. Ada tiga komponen yang
membentuk nilai RPN tersebut ketiga komponen tersebut adalah:
1. Severity
Membuat tingkatan severity yakni mengidenfikasi dampak potensial yang
terburuk yang diakibatkan oleh suat kegagalan. Severity adalah tingkat
keparahan atau efek yang di timbulkan oleh mode kegagalan terhadap
keseluruhan mesin. Nilai rating severity antar 1 sampai 10. Nilai 10 diberikan
jika kegagalan terjadi memiliki dampak yang sangat besar terhadap system.
Tingkatan efek ini dikelompokkan menjadi beberapa tingkatan seperti pada
table 2.1 berikut ini:
Tabel 2.1 Tingkatan Severity
Rating Criteria of Severity Effect
10 Tidak berfungsi sama sekali
9 Kehilangan fungsi utama dan menimbulkan peringatan
8 Kehilangan fungsi utama
7 Pengurangan fungsi utama
6 Kehilangan kenyamanan fungsi pengunaan
5 Mengurangi kenyamanan fungsi penggunaan
4 Perubahan fungsi dan banyak pekerja menyadari adanya masalah
3 Tidak terdapat efek dan pekerja menyadari adanya masalah
2 Tidak terdapat efek dan pekerja tidak menyadari adanya masalah
1 Tidak ada efek
(sumber: Pranoto, 2012)
2. Occurrence
Occurrence adalah tingkat keseringan terjadinya kerusakan atau kegagalan.
Occurrence berhubungan dengan estimasi jumlah kegagalan kumulatif yang
muncul akibat suatu penyebab tertentu pada mesin. Nilai rating occurrence
15
antara 1 sampai 10. Nilai 10 diberikan jika kegagalan yang terjadi memiliki
nilai kumulatif yang tinggi atau sangat sering terjadi. Tingkatan frekuensi
terjadinya kegagalan (occurrence) dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut:
Tabel 2.2 Tingkatan Occurence
Rating Probabilitas of Occurrence
10 Lebih besar dari 50 per 7200 jam penggunaan
9 35-50 per 7200 jam penggunaan
8 31-35 per 7200 jam penggunaan
7 26-30 per 7200 jam penggunaan
6 21-25 per 7200 jam penggunaan
5 15-20 per 7200 jam penggunaan
4 11-14 per 7200 jam penggunaan
3 5-10 per 7200 jam penggunaan
2 Lebih kecil dari 5 per 7200 jam penggunaan
1 Tidak pernah sama sekali
(sumber: Pranoto,2012)
3. Detection
Detection adalah pengukuran terhadap kemampuan mengendalikan atau
mengontrol kegagalan yang dapat terjadi. Nilai detection dapat dilihat pada
tabel 2.3 berikut ini:
Tabel 2.3 Tingkatan Detection
Rating Detection Design Control
10 Tidak mampu terdeteksi
9 Kesempatan yang sangat rendah dan sangat sulit untuk terdeteksi
8 Kesempatan yang sangat rendah dan sulit untuk terdeteksi
7 Kesempatan yang sangat rendah untuk terdeteksi
6 Kesempatan yang rendah untuk terdeteksi
5 Kesmpatan yang sedang untuk terdeteksi
4 Kesempatan yang cukup tinggi untuk terdeteksi
16
3 Kesempatan yang tinggi untuk terdeteksi
2 Kesempatan yang sangat tinggi untuk terdeteksi
1 Pasti terdeteksi
(sumber: Pranoto,2012)
2.3.5.1 Failur Modes
Menurut Moubray (1997:9) failure modes merupakan langkah dalam proses
RCM yang dilakukan setelah menetapkan functional failure. Failure mode sendiri
adalah kejadian yang menyebabkan terjadinya failed state. Dapat juga diartikan
penyebab terjadinya suatu kegagalan. Pada umumnya failure modes disebabkan oleh
penurunan fungsi asetdan keausan pada asset. Daftar penyebab kegagalan meliputi
human error (operator dan maintainers) dan kesalahan desain.
2.3.5.2 Failure Effect
Failure effect merupakan lanhkah keempat dlam RCM. Failure effect adalah
penjelasan apa saja yang akan terjadi ketika failure modes berlangsung. Dapat juga
diartikan dampak dari terjadinya kegagalan. Menurut Moubray (1997:9) dalam
menjelaskan failure effect harus mengandung beberapa informasi, yaitu:
1. Apa bukti (jika ada)bahwa kegagalan telah terjadi.
2. Dalam hal apa (jika ada) kegagalan yang terjadi mengancam keselamatan atau
lingkungan.
3. Dalam hal apa (jika ada) kegagalan yang terjadi mempengaruhi produksi atau
operasi.
4. Apa kerusakan fisik (jika ada) yang disebabkan oleh kegagalan yang terjadi.
5. Apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kegagalan yang terjadi.
2.3.6 Logic Tree Analysis
Penyusunan logic tree analysis merupakan proses yang kualitatif yang
dilakukan untuk mengetahui konsekuensi yang ditimbulkan oleh masing-masing
failure mode.
17
Tujuan logic tree analysis adalah mengklasifikasi failure mode kedalam
beberapa kategori sehingga nantinya dapat ditentukan tingkat prioritas dalam
penanganan masing-masing failure mode berdasarkan kategorinya. Tiga pertanyaan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Evident: Apakah operator mengetahui dalam kondisi normal, telah terjadi
gangguan dalam system?
2. Safety: Apakah mode kerusakan ini menyebabkan masalah keselamatan?
3. Outage: Apakah mode kerusakan ini mengakibatkan seluruh atau sebagian
mesin berhenti?
Berdasarkan LTA tersebut failure mode dapat digolongkan dalam empat
golongan:
1. Kategori A, jika failure mode mempunyai konsekuensi safety terhadap personel
maupun lingkungan.
2. Kategori B, jika failure mode mempunyai konsekuensi terhadap operasional
plant (mempengaruhi kuantitas ataupun kualitas output) yang dapat
menyebabkan kerugian ekonomi secara signifikan.
3. Kategori C, jika failure mode tidak berdampak pada safety maupun operasional
plant dan hanya menyebabkan kerugian ekonomi yang relative kecil untuk
perbaikan.
4. Kategori D, jika failure mode tergolong sebagai hidden failure, yang kemudian
digolongkan lagi kedalam kategori D/A, D/B, dan D/C.
18
Pada gambar 2.4 dapat dilihat struktur pertanyaan dari logic tree analysis
(LTA).
(sumber: Moubray)
Gambar 2.4 Struktur logic tree analysis
19
2.3.7 Pemilihan Tindakan
Pemilihan tindakan merupakan tahap akhir dari proses analisis RCM. Dari tiap
mode kerusakan dibuat daftar tindakan yang mungkin untuk dilakukan dan selanjutnya
memilih tindakan yang paling efektif. Dalam pelaksanaannya pemilihan tindakan harus
memenuhi syarat berikut:
a. Aplikatif, tugas tersebut akan dapat mencegah kegagalan, mendeteksi
kegagalan atau menemukan kegagalan tersembunyi.
b. Efektif, tugas tersebut harus merupakan pilihan dengan biaya yang paling
efektif diantara kandidat lainnya.
20
Urutan pemilihan tindakan dapat dilihat pada gambar 2.5 dibawah ini.
(sumber: Moubray)
Gambar 2.5 Road map pemilihan tindakan.
Apakah umur keandalan bisa di ketahui?
Tentukan tindakan
TD
Apakah tindakan CD bisa
digunakan
Tentukan tindakan CD
Apakah mode kegagalan termasuk kategori D
Apakah tindakan FF dapat
Tentukan tindakan
Apakah tindakan yang dipilih efektif
Tentukan tindakan
TD/CD/FF/RTF
Desain Modifikasi
Dapatkah modifikasi desain
menghilangkan mode kegagalan?
Terima resiko
kerusakan
Apakah tindakan TD dapat
1
2
3
4
5
6
7
ya
tidak
ya tidak
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
ya tidak
ya
tidak
sebagian
21
Pada gambar 2.5 diatas dapat dilihat road map pemilihan tindakan dengan
pendekatan Reliability Centered Maintenance (RCM). Tindakan perawatan terbagi
menjadi 4 jenis yaitu:
1. Time Directed (TD)
Suatu tindakan yang bertujuan melakukan pencegahan langsung terhadap
sumber kerusakan peralatan yang didasarkan pada waktu atau umur komponen.
Tindakan yang diambil yang lebih berfokus pada aktivitas penggantian yang
dilakukan secara berkala dengan berdasarkan perhitungan reliability.
2. Condition Directed (CD)
Suatu tindakan yang bertujuan untuk mendeteksi kerusakan dengan cara
memeriksa alat. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan gejala-gejala kerusakan
peralatan maka dilanjutkan dengan perbaikan atau penggantian komponen.
3. Finding Failure (FF)
Suatu tindakan yang bertujuan untuk menemukan kerusakan peralatan yang
tersembunyi dengan pemeriksaan secara berkala.
4. Run to Failure (RTF)
Suatu tindakan yang menggunakan peralatan sampai rusak, karena tidak ada
tindakan ekonomis yang dapat dilakukan untuk pencegahan kerusakan.
2.3.7.1 Konsekuensi Kegagalan (Failure Consequence)
Dalam proses RCM, konsekuensi dari kegagalan diklasifikasikan dalam empat
bagian menurut Ansori dan Mustajib (2013), yaitu:
1. Hidden Failure Consequence
Salah satu kegagalan fungsi yang tidak dapat dideteksioleh operator bahwa
telah terjadi kerusakan, meskipun dalam kondisi normal. Kegagalan seperti ini
biasanya sangat sulit dideteksi karena sebuah mesin hanya bisa memperlihatkan
bagian luar dari komponen-komponen pada mesin
22
2. Safety and Environment Consequence
Sebuah kegagalan dapat dikatakan mempunyai konsekuensi terhadap
keselamatan, ketika dapat melukai atau membunuh seseorang. Sedangkan
dikatakan memiliki konsekuensi terhadap lingkungan jika dapat melanggar
standar regulasi lingkungan, baik regional maupun internasional.
3. Operation Consequence
Suatu kegagalan dikatakan memiliki konsekuensi operasional ketika berakibat
pada produksi atau operasional (output, kualitas produk, pelayanan pada
konsumen atau biaya operasianal untuk perbaikan komponen).
4. Non-Operasional Consequence
Bukti kegagalan pada kategori ini adalah yang tergolong pada konsekuensi
keselamatan ataupun produksi, jadi kegagalan ini hanya menyebabkan biaya
komponen.
2.4 Keandalan (Reliability)
2.4.1 Definisi Keandalan
Menurut Kurniawan (2013:51) reliability atau keandalan menunjukkan
keberadaan atau kondisi suatu fasilitas. Kondisi tersebut bisa dikatakan positif maupun
negative melalui pengukuran ini, perusahaan memiliki gambaran terhadap peralatan
tersebut.
Secara umum, pengujian keandalan bertujuan untuk:
1. Menetukan kondisi penggunaan peralatan
2. Mengukur keandalan peralatan untuk tujuan kontraktual
3. Mengkualifikasi perubahan desain proses untuk vendor
4. Menformulasikan kebijakan generasi maupun service
5. Mengidentifikasi alur kegagalan design manufacturing
6. Membantu pihak manajemen dalam memilih kebijakan strategi penggunaan
alat.
23
2.4.2 Pola Distribusi Dalam Keandalan
Langkah pertama dalam menghitung keandalan suatu peralatan yaitu harus
mengetahui model probabilitas yang biasa dinyatakan dalam distribusi statistik. Dalam
analisa keandalan ada beberapa distribusi yaitu distribusi eksponensial, distribusi
Weibull, distribusi lognormal dan distribusi normal.
2.4.2.1 Distribusi Eksponensial
Distibusi eksponensial merupakan distribusi yang paling umum digunakan
dalam penerapan analisis reliabilitas. Alasannya karena kesederhanaan matematika
dan megarahh ke model lifetime yang realistis untuk beberapa jenis item. Parameter
yang digunakan dalam distribusi ini adalah λ. Parameter λ diidentifikasikan sebagai
rata-rata wajtu kerusakan yang terjadi. Dimana 𝜆 (𝑡) = 𝜆, 𝑡 ≥ 0, 𝜆 > = 0, adapun
beberapa persamaan yang digunakan (Ansori dan Mustajib,2013):
Fungsi kepadatan probabilitas:
F(t) = 𝜆 𝑒−𝜆𝑡; 𝑡 > 1 (2)
Fungsi distribusi kumulatif:
F(t) = 1- 𝑒−𝜆𝑡 (3)
Fungsi keandalan ditribusi eksponensial:
R (t) = 𝑒(−𝜆𝑡) (4)
Nilai laju kerusakan:
λ (t) = λ (5)
Mean Time To Failure:
MTTF = ∫ 𝑅(𝑡)𝑑𝑡 = 1𝜆⁄
∞
0 (6)
Keterangan:
R (t) = Fungsi keandalan
β = Shape parameter, β < 0
ƞ = Scala parameter untuk karakteristik life time ƞ > 0
t = Waktu, t ≥ 0
λ = Kecepatan rata-rata terjadinya kerusakan λ > 0
24
2.4.2.2 Distribusi Weibull
Distribusi Weibull adalah salah satu distribusi yang paling sering digunakan
dalam perhitungan pada komponen mekanik atau peralatan permesinan. Dua parameter
yang digunakan dalam distribusi ini yaitu (α, β). Dengan bantuan software minitab estimasi
parameter pada distribusi Weibull adalah α menyatakan shape sedangkan β menyatakan scale.
Adapun fungsi distribusi kumulatif yang digunakan dalam distribusi Weibull dalam
menghitung keandalan menurut (Ansori dan Mustajib,2013):
Fungsi kepadatan probabilitas:
F(t) = 𝛼
𝛽 (
𝑡
𝛽)
𝛼−1𝑒
[−(𝑡
𝛽)]
𝛼
(7)
Fungsi distribusi kumulatif:
F(t) = 1-exp [− (𝑡
𝛽)
𝛼] (8)
Fungsi keandalan dalam distribusi Weibull:
R(t) = 𝑒−(
t
𝛽)𝛽
(9)
Nilai laju kerusakan distribusi Weibull:
λ (t) = 𝛽
ƞ (
𝑡
ƞ)
𝛽−1 (10)
Mean Time To Failure distribusi Weibull:
MTTF = 𝛽 Г (1 + 1
𝛼 (11)
Г adalah fungsi gamma, Г(𝑛) = (𝑛 − 1)!, dapat diperoleh melalui fungsi gamma.
Parameter β disebut dengan parameter bentuk kemiringan Weibull (Weibull slope),
sedangkan parameter α disebut dengan parameter skala atau karateristik hidup. Bentuk
fungsi distribusi weibull bergantung pada parameter bentuknya (β), yaitu:
β < 1: Distribusi weibull akan menyerupai distribusi hyper-eksponensial dengan laju
kerusakan cenderung menurun.
β = 0: Distribusi weibull akan menyerupai distribusi eksponensial dengan laju
keriusakan cenderung konstan.
25
β > 1: Distribusi weibull akan menyerupai distribusi normal dengan laju kerusakan
cenderung meningkat.
Keterangan:
R (t) = Fungsi keandalan
β = Shape parameter, β < 0
ƞ = Scale parameter untuk karateristik life time ƞ > 0
t = Waktu, t ≥ 0
λ = Laju kerusakan
2.4.2.3 Distribusi Normal
Distribusi normal adalah salah satu distribusi dari variable random kontinyu
yang disebut juga distribusi Gaussian. Kurva probabilitas density function dari
distribusi normal memiliki bentuk simetris yang sempurna terhadap nilai rata-ratanya.
Adapun fungsi distribusi kumulatif dari distribusi normal. (Ansori dan Muatajib,2013)
Fungsi keandalan:
R (t) = 1
√(2𝜋𝜎 ∫ exp [−(𝑡−𝜇)2
2𝜎2 ] 𝑑𝑡∞
𝑡 (12)
Laju kerusakannya:
λ(t) = exp[−(𝑡−𝜇)
2 /2𝜎2]
∫ exp[−(𝑡−𝜇)2 /2𝜎2]
∞
𝑡
(13)
2.4.2.4 Distribusi Lognormal
Distribusi lognormal merupakan distribusi yang banyak digunakan dalam
mempresentasikan distribusi kerusakan. Menurut Helsel (2012:114) pada software
minitab µ dan σ sebagai estimasi parameter location dan scale. Adapun fungsi
distribusi kumulatif dari distribusi lognormal persamaan yang digunakan (Ansori dan
Mustajib,2013):
Fungsi keandalan distribusi lognormal:
R (t) = 1- ϕ [1
𝑠ln (
𝑡
µ)] (14)
26
Laju kegagalannya:
λ(t) = 𝑓(𝑡)
𝑅(𝑡) (15)
Mean Time To Failure:
MTTF = exp(µ + (0,5 x 𝑠2)) (16)
2.5 Pengujian Kecocokan Distribusi Mengguanakn Uji Mann Whitney (U
TEST)
Mann Whitney U Test adalah uji non-parametris yang digunakan untuk
mengetahui perbedaan median 2 kelompok bebas apabila skala data variable terikatnya
adalah ordinal atau interval/ratio tetapi tidak berdistribusi normal.
Uji Mann’s dilakukan untuk membuktikan apakah waktu reparasi berdistribusi
weibull atau tidak. Adapun langkah-langkah sebagai berikut (Kurniawan,2013):
Hipotesa:
H0 : Waktu kerusakan berdistribusi weibull
H1 : Waktu kerusakan tidak berdistribusi weibull
M = 𝑘1 ∑ [(𝑙𝑛𝑡𝑖+1−𝑙𝑛𝑡𝑖 )/ 𝑀𝑖]𝑟−1
𝑖=𝑘1+1
𝑘1 ∑ [(𝑙𝑛𝑡𝑖+1−𝑙𝑛𝑡𝑖 )/ 𝑀𝑖]𝑟−1𝑖=1
(17)
Keterangan:
M = Nilai dari Mann’s test
ti = Xi = waktu reparasi ke-I atau komponen operasional ke-i
r = n = jumlah pengamatan
kl = [𝑟
2] = ½ dari jumlah pengamatan
k2 = [𝑟−1
2]
α = 0,01
Mi = 𝑧𝑖+1- Zi
Zi = ln [− ln (𝑖−0,5
𝑛+0,25)]
27
Apabila nilai M < 𝐹(0,01;2𝑘2;2𝑘1) maka dapat ditarik kesimpulan bahwa H0 diterima.
Nilai untuk F dapat diperoleh dari tabel F-distribusi dengan derajat kebebasan pada
pembilang 𝑁1= 2𝑘2 dan derajat kebebasan pada penyebut 𝑁2= 2𝑘1.
Setelah diketahui bahwa data berdistribusi weibull, maka selanjutnya nilai taksiran
parameter-parameternya dapat diketahui dengan bantuan program Minitab.
2.6 Estimasi Nilai Parameter Untuk Distribusi Weibull
Parameter untuk distribusi weibull dapat ditulis dengan persamaan sebagai
berikut yaitu:
F(t) = 1-exp [(𝑡
𝛽)
𝛼] (18)
Untuk menaksir parameter β dan α dapat dilakukan dengan regresi linear,
parameternya adalah β dan α.
b = 𝑛 (𝛴𝑥𝑖.𝑦𝑖)−(𝛴𝑥𝑖)(𝛴𝑦𝑖)
𝑛(𝛴𝑥𝑖2)−(𝛴𝑥𝑖)2 (19)
a = 𝛴𝑦𝑖
𝑛 – b (
𝛴𝑥𝑖
𝑛) (20)
Dengan diketahuinya nilai parameter adan b maka parameter distribusi weibull dua
parameter dapat ditentukan dengan cara sebagai berikut:
β = exp (a)
α = 1
𝑏
Parameter β disebut dengan parameter bentuk atau kemiringan weibull (weibull slope),
sedangkan parameter α disebut dengan parameter skala atau karakteristik hidup.
2.7 Interval Waktu Penggantian Berdasarkan Kriteria Minimasi Downtime
Menurut Jardine (1973) pada dasarnya downtime didefinisikan sebagai waktu
suatu komponen system tidak dapat digunakan (tidak berada dalam kondisi yang baik),
sehingga membuat fungsi system tidak berjalan. Berdasarkan kenyataan bahwa pada
dasarnya prinsip utama dalam manajemen perawatan adalah untuk menekan periode
kerusakan breakdown sampai batas minimum menjadi sangat penting. Pembahasan
berikut akan difokuskan pada proses pembuatan keputusan penggantian komponen
28
system yang meminimumkan downtime, sehingga tujuan utama dari manajemen
system perawatan untuk memperpendek periode kerusakan sampai batas minimum
dapat dicapai. Penentuan tindakan preventive yang optimum dengan meminimumkan
downtime akan dikemukakan berdasarkan interval waktu penggantian.
Tujuan untuk menentukan penggantian komponen yang optimum berdasarkan
interval waktu, tp, diantara penggantian preventive dengan menggunakan kriteria
meminimumkan total downtime per unit waktu, untuk tindakan penggantian preventive
pada waktu tp, dinotasikan sebagai D(tp) adalah:
D(tp) = 𝐻(𝑡𝑝)𝑇𝑓+Tp
𝑡𝑝+𝑇𝑝 (21)
Dimana:
H(tp) = Banyaknya waktu kerusakan (kegagalan) dalam interval waktu (0,tp)
merupakan nilai harapan (expented value)
Tf = waktu yang diperlukan untuk penggantian kompoenn karena kerusakan
Tp = Waktu yang diperlukan untuk penggantian komponen karena tindakan
Preventive (komponen belum rusak).
Tf + Tp = panjang siklus.
Meminimumkan downtime akan diperoleh tindakan penggantian komponen
berdasarkan interval waktu Tp yang optimum. Untuk komponen yang memiliki
distribusi kegagalan mengikuti distribusi peluang tertentu dengan fungsi peluang f(t),
maka nilai harapan (expented value) banyaknya kegagalan yang terjadi dalam interval
waktu (0,tp) dapat dihitung sebagai berikut:
H(tp)=∑ [1 + 𝐻(𝑡𝑝 − 1 − 𝑖)] ∫ 𝐹(𝑡)𝑖+1
𝑖
𝑡𝑝−1𝑖=0 𝑑𝑡 (22)
H(0) ditetapkan sama dengan nol, sehingga untuk tp = 0, maka H(tp) = H(0) = 0
29
2.8 Study Literatur Tentang Penelitian Terdahulu
Menurut penelitian terdahulu yang sudah dilakukan oleh Selly septian (2015)
di PT.PLN (Persero) Sektor Pembangkit Ombelin, berdasarkan hasil pengolahan data
yang telah dilakukan, ditemukan bahwa mesin kritis adalah mesin turbine dengan nilai
total 44 dan komponen-komponen kritis dari mesin turbin adalah membrane turbine,
bearing dan turning gear dengan interval waktu pemeriksaan untuk setiap komponen
kritis adalah 960,48 jam (40 hari), 908,57 jam (37 hari) dan 1150,28 jam (48 hari).
Sementara interval penggantian untuk mencegah kerusakan bagi komponen turbine
membrane adalah setelah beroperasi selama 3410 jam, penggantian untuk komponen
bearing dapat dilakukan pada saat overhaul setelah beroperasi selama 8000 jam dan
interval penggantian untuk komponen turning gear adalah setelah beroperasi selama
4500 jam. Nilai reliabilitas untuk setiap komponen kritis sebelum dan setelah
preventive maintenance tetap sama, namun nilai downtime bagi setiap komponen
menurun. Nilai availability total untuk setiap kompoenen kritis melebihi 95%.
Sedangkan menurut penelitian yang lain yang dilakukan oleh Achmad Kholid
Alghofari (2006) di PT. Sici Multi IndoMarmer, dari pengolahan data dan analisa
berdasarkan basic RCM diperoleh komponen-komponenyang paling sering mengalami
kerusakan pada mesin ballmill antara lain fillow block UC-210, gear T 124, as pully
dan van belt B 124. Penyebab kegagalan komponen tersebut antara lain :
Hentakan/getaran dan usia pemakain. Dari rekomendasi yang dianjurkan : Untuk
masalah benturan/gesekan pada komponen fillow block dan as pully dapat dipakai
kelem (pengikat) yang menahan getaran saat berotasi. Pada komponen gear T 17 dan
gear T 124 dapat diganti dengan gear yang terbuat dari bahan nylon. Sedangkan untuk
komponen van belt ketika kondisinya sudah kendor bisa diatasi dengan menyetel posisi
pully ke belakang, hal ini berbeda ketika putus. Untuk penanganan masalah kegagalan
yang diakibatkan oleh usia pemakain dapat diatasi dengan membuat scheduled
maintenance terkait dengan komponen yang rentan mengalami kerusakan. Pelumasan
pada komponen fillow block, gear T 17, gear T 124, as pully dilakukan tiap minggu
sekali (56 jam operasi). Pada motor pengerak perlu adanya check up dan pelumasan
30
tiap 2 bulan sekali. Contactor magnetic, over load, relay, timer dan MCB C-63
dilakukan pengecekan minimal satu bulan sekali, hal ini bisa mengantisipasi terjadinya
kegagalan tersembunyi (hidden failure).