Upload
lebao
View
264
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Nyeri
a. Pengertian Nyeri
Menurut sejarah telah dikemukakan berbagai teori untuk
mendefinisikan dan menguraikan nyeri. Di tahun 1968, Me Caffery yang
dikutip dari Kuntana tahun 2010, mendefinisikan nyeri sebagai apapun
yang dikatakan oleh yang mengalaminya, ada di tempat maupun yang
dikatakan olehnya. Definisi ini menggaris bawahi bahwa nyeri adalah
pengalaman subyektif dan tidak memiliki parameter obyektif untuk
pengukurannya. Definisi ini menekankan bahwa yang lebih mengetahui
tentang nyeri adalah pasien yang mengalaminya dan bukan dokter,
laporan pasien itu sendiri adalah indikator yang paling dapat diandalkan.
International Asssociatin for the Study of Pain (IASP) mengajukan
definisi nyeri yang diterima secara paling luas. Definisi ini kini yang
sedang digemari, menjabarkan nyeri sebagai suatu pengalaman sensorik
dan emosional yang tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan
jaringan yang benar-benar ada dan berpotensi untuk terjadi atau dapat
diartikan sebagai kerusakan. Definisi ini menekankan bahwa tanpa
memandang ada atau tidaknya kerusakan jaringan yang dapat dikenali,
nyeri adalah pengalaman kompleks yang memiliki beragam dimensi.
10
Nyeri dipengaruhi oleh beragam faktor seperti faktor fisik, kognitif,
afeksi dan lingkungan pasien tersebut.
Model biologis menguraikan nyeri sebagai sinyal peringatan
terjadinya kerusakan jaringan. Teori ini memandang lintasan spesifik
sebagai sumber tunggal nyeri sehingga jika terapi konservatif gagal,
teknik bedah akan berhasil memecahkan masalah tersebut. Saat ini ada
pergeseran paradigma manajemen nyeri dari pendekatan biomedis ke
pendekatan biopsikososial, yang menawarkan platform yang lebih luas
untuk memadukan masukan-masukan dari beragam faktor seperti yang
diidentifikasikan dalam definisi International Asssociatin for the Study of
Pain (Kuntana, 2010).
Nyeri didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak menyenangkan
dan merupakan pengalaman emosional yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan actual maupun potensial dan terkadang nyeri
digunakan untuk menyatakan suatu kerusakan jaringan. Nyeri merupakan
suatu pengalaman sensorik yang berbeda dengan modalitas sensorik
lainnya. Sebagai contoh sentuhan merupakan suatu stimulus perifer yang
dipersepsi sebagai rangsang sentuh, sedangkan nyeri merupakan
fenomena yang kompleks yang dijelaskan dengan berbagai terminology
dalam teori yang pluridimensional meliputi system sensorik, emosional,
motorik maupun komponen budaya ( Parjoto, 2006 ).
11
b. Anatomi Fisiologi Nyeri
Bagian dari saraf diseluruh jaringan tubuh yang menerima impuls
dinamakan reseptor. Kepadatan reseptor di jaringan tubuh berbeda-beda
dan jenis reseptor cukup banyak. Ada yang peka terhadap peregangan,
suhu, zat, kimia, akan tetapi ada pula yang peka terhadap berbagai
stimulasi dan tipe ini merupakan reseptor polimodal. Reseptor polimodal
lebih sering disebut sebagai nosiseptor, dan kebanyakan berupa akhiran
serabut saraf C dan serabut saraf A. Akan tetapi serabut saraf A
terutama diartikulasi mempunyai akhiran nosiseptor disamping A dan C.
Saraf kutan manusia mengandung serabut bermielin yang
bervariasi diameternya, mulai dari 1 µm sampai 16µm. Juga mengandung
serabut tanpa selubung myelin dengan diameter kurang dari 2µm. Serabut
bermielin disebut serabut A yang untuk nyeri terbagi atas Abeta dan
Adelta, sedangkan serabut tanpa myelin disebut serabut saraf C. Semua
serabut mempunyai badan sel yang terletak di ganglion spinalis pada
radik dorsalis. Sekitar 60-70% serabut saraf sensorik adalah termasuk
kelompok C (Byers dan Bonica, 2001).
12
Tabel 2.1 Klasifikasi Serabut Saraf Aferen
Nama
(System
Latter)
Diamter
Mm
KHSP/m/detik
KHSP: Kecepatan
Hantar Saraf
Perifer
Reseptor
A 10-20 70-120 Eferen otot
A 6-12 30-70 Reseptor, Meissner,
Ruffini, Paccini,
Markel, akhitan
sekunder spindle otot
A 2-10 10-50 Eferen otot
(intresfusal)
A 1-6 5-30 Nosiseptor untuk :
mekanikal, termal,
mekanotermal
(polimodal), reseptor
ranbut, reseptor visera
C <15 0.5-20 Nosiseptor C : reseptor
polimodal C, reseptor
visera, reseptor panas,
dingin dan mekanik
Sumber :Byers dan Bonica, 2001
13
Saraf aferen primer setelah melewati ganglion sensoris lalu masuk
kedalam modula spinalis melewati kornu posterior dan berakhir pada
lamina I (marginal layer), lamina II dan III (subtansia glatinosa) dan
lamina V, sedikit yang berakhir dilamina IV. neuron proyeksi yang
meneruskan informasi nyeri kesentral juga menerima input aferen dari
visera yang berarti satu neuron proyeksi menenima beberapa input. Hal
ini yang menyebabkan terjadi nyeri rujukan, neuron proyeksi secara
langsung diaktifkan oleh serabut saraf bermielin dan tidak bermielin,
hanya saja yang bermielin mengaktifkan neuron inhibisi sedangkan yang
tidak bermielin akan menekan aktifasi neuron tersebut. Inilah yang
disebut gate control theory. Disamping itu diternukan bahwa sebagian
akson juga mengirim cadangnya keradik ventralis. Keberadaan akson
nosiseptif diradik centralis ini yang menyebabkan kegagalan rizotomi
dalam penyembuhan nyeri yang permanen. Impuls nosiseptif yang masuk
ke kornu posterior kemudian diteruskan ke otak melalui beberapa traktus
dan yang tersebar adalah traktur spinotalamikus. Traktus ini dalam
perjalanan melewati modula ablongata akan member cabang ke traktus
respiratorius dan pusat jantung. Melalui cabang inilah nyeri dapat
membangunkan reflek respirasi dan sirkulasi (Byers dan Bonica, 2001).
14
c. Patofisiologi Nyeri
Sel saraf dalam proses penghantaran nyeri ada 3 jenis yaitu sel
syaraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron dan
sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel syaraf ini mempunyai
reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke
sum-sum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus
dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh.
Reseptor-reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut
nosiseptor. Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor
melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin,
bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia
ini akan mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak
(Torrance dan Serginson, 1997).
Kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai
tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut
traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara
sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden
berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls
dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri dapat diserap secara sadar,
neuron pada sistem asenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai
akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ
internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang ketika
diaktifkan, menghambat atau memutuskan taransmisi informasi
15
yangmenyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden.
Seringkali area ini disebut “gerbang”. Kecendrungan alamiah gerbang
adalah membiarkan semua input yang menyakitkan dari perifer untuk
mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan nyeri. Namun demikian,
jika kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan, akibatnya sistem yang
ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor sistem
asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan mencegah transmisi
sensasi nyeri (Smeltzer dan Bare, 2002).
Gambar 2.1 Mekanisme nyeri
Sumber : Gottschalk et al , 2001.
16
Gambar diatas menunjukkan proses mekanisme nyeri terdiri dari
4 proses elektro fisiologi nociseptif. yang meliputi meliputi transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi. Menurut Kuntana tahun 2010, ke
empat proses tersebaut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Transduksi
Tranduksi adalah proses yang melibatkan konversi respon
kerusakan jaringan dan biokimia menjadi sinyal saraf oleh reseptor
sensorik yang disebut dengan nosiseptor. Nosiseptor akan lebih
sensitif terhadap trauma jaringan atau stimulus berkepanjangan yang
dapat merusak jaringan. Reseptor ini terletak di ujung bebas dari serat
saraf aferen primer yang tersebar di daerah perifer. Setelah terjadi
kerusakan jaringan sel akan hancur dan melepaskan beragam produk
sampingan jaringan, prostlagandin, subtansi prostaglandin,
bradikinin, histamine, serotonin dan sitokin, beberapa dari zat-zat ini
menstimulasi nosiseptor. Sementara sebagian besar mensensitisasi
nosiseptor meningkatkan sifat rangsangan dan frekuensi pembuangan.
Aktifasi nosiseptor secara konstan dapat menyebabkan nyeri.
2) Transmisi
Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang
membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses
transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf
berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar. Saraf
aferen akan berakson pada dorsal horn di spinalis. Selanjutnya
17
transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic
melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex cerebral.
3) Persepsi
Persepsi adalah proses apresiasi sinyal yang tiba di pusat
sebagai nyeri. Penentuan pengertiannya dan respon perilakunya. Hal
tersebut dicirikan sebagai suatu sensasi tidak menyenangkan dan
emosi negatif yang berbeda dan dapat diuraikan sebagai suatu rasa
ketidaknyamanan pada beberapa bagian tubuh. baik struktur sistem
kortikal maupun sistem limbic ikut terlibat dalam persepsi ini. Sinyal
nosiseptif dari beberapa neuron proyeksi tanduk dorsal berjalan
melalui thalamus ke kortek somatosensori kontralateral. Di situ sinyal
tersebut dipetakan secara somatotopik untuk mengetahui informasi
tentang lokasi, intensitas dan kualitas nyeri. Selain itu thalamus
mengirim masukan/input nosiseptif lainya ke sistem limbic. Sinyal
input ini terhubung dengan input dari saluran spineretikular dan
spinomesensefalik memediasi aspek afektif nyeri. Persepsi nyeri
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan sosial disekitarnya, lebih
lanjut lagi pengalaman di masa lalu dan budaya juga mempunyai
pengaruh terhadap persepsi nyeri, dengan demikian penyebab nyeri
standar seperti pembedahan dapat menyebabkan variasi persepsi nyeri
perorangan yang bermakna. Persepsi juga menentukan berat-
ringannya nyeri yang dirasakan (Bruner dan Suddart, 2001).
18
4) Modulasi
Modulasi adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem
analgesic endogen yang dihasilkan tubuh kita dengan input nyeri
yang masuk ke kornu posterior modula spinalis. Sistem pemprosesan
nyeri dianggap sebagai lintasan nyeri yang terprogram, yang akan
memprodiksi sensasi nyeri sesuai dengan luas dan beratnya stimulasi
nyeri. Meskipun demikian konsep ini mendapat tantangan dari
beragam teori sejak tahun 1940-an. Theory control-gerbang
mekanisme nyeri yang dipublikasikan oleh Melzack dan Wall tahun
1965 memiliki dampak bermakna pada bidang penelitian nyeri dan
berdampak pada pengembangan berbagai pendekatan terapi nyeri.
Teori ini menggabungkan aspek-aspek neurofisiologi dan psikologi
serta menyatakan bahwa transmisi impuls nyeri pada saraf spinal
dimodulasi secara terus menerus oleh aktifasi di dalam serat kecil (A-
dan C) dan serat besar (A-). Selain itu pesan-pesan yang turun dari
korteks cerebri dan batang otak juga memainkan peran vital dalam
modulasi nyeri.
Model-model sistem turunnya nyeri saat ini mencakup baik
inhibitory maupun facilitory decending pathways. Inhibitory
decending pathways dimodulasi oleh berbagai bagian otak. Serat
saraf dari lintasan ini melepaskan zat penghambat seperti apioid
endogen, serotonin, norepinafrin, dan GABA pada sinaps dengan
19
neuron lain dalam tanduk dorsal. Zat-zat ini berkaitan dengan reseptor
pada neuron aferen primer atau neuron tanduk dorsal sehingga
menghambat transmisi nosiseptif. Akibatnya mekanisme modulasi
endogen tersebut dapat memberi kontribusi pada besarnya perbedaan
persepsi nyeri diantara pasien dengan kerusakan yang serupa.
d. Klasifikasi Nyeri
Menurut Bonica tahun 2001 mengklasitikasikan nyeri berdasarkan
jenisnya meliputi :
1) Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif terjadi jika ujung-ujung saraf perifer utuh
(nosiseptor) distimulasi oleh stimulus berbahaya seperti luka (akibat
panas, mekanik, atau kimia) penyakit dan peradangan. Nyeri ini
terjadi karena aktifasi terus menerus dari nesiseptor A- dan C dalam
merespon stimulasi berbahaya. Nyeri nesiseptif dapat diklasifikasikan
terutama menjadi nyeri viseral (nyeri yang muncul dari organ viseral)
dan nyeri somatik (nyeri yang muncul dari jaringan seperti kulit, otot,
tulang dan kapsul sendi). Nyeri somatik dapat dikatagorikan lebih
lanjut sebagai nyeri somatik dangkal dan nyeri somatik dalam.
2) Nyeri Neuropati
Nyeri neuropati disebabkan oleh suatu luka atau lesi didalam
system saraf perifer atau sistem saraf pusat. Nyeri ini disebabkan
karena pemprosesan sinyal yang abnormal pada sistem saraf perifer
atau saraf pusat akibat perlukan atau kerusakan sistem saraf.
20
Penyebab umumnya meliputi trauma, peradangan, penyakit metabolik
, infeksi, tumor, toksin dan penyakit neurologis primer.
3) Nyeri Akut
Nyeri akut adalah respon biologis normal terhadap luka dan
suhu indicator dari trauma jaringan yang sedang atau akan terjadi.
Karenanya nyeri akut juga dinyatakan sebagai nyeri fisiologis.
Sebelumnya nyeri akut hanya dilihat dari sudut pandang durasinya,
namun kini nyeri akut didefinisikan sebagai suatu pengalaman
komplek yang tidak menyenangkan baik secara emosional, kognitif,
maupun sensorik yang terjadi sebagai respon terhadap terjadinya
trauma jaringan
Berbagai mekanisme diajukan guna menjelaskan tentang
mengapa nyeri masih berlangsung setelah pasien mengalami nyeri
akut. Salah satu kemungkinan adalah terjadinya sensitisasi nosiseptor
yaitu menurunnya nilai ambang reseptor yang bersangkutan.
Peningkatan sensitivitas pada daerah cidera disebut hiperalgesia
primer. Daerah yang mengalami cidera juga akan mengalami
sensitisasi sehingga pasien juga akan mengalami hiperalgesia
sekunder. hiperalgesia sekunder dipercaya dipercaya sebagai akibat
dari aktivasi antidromik afferent primer C dan terlepasnya materi
prostaglandin pada daerah tersebut. Postulat kedua ialah dilepasnya
materi protaglandin oleh afferent primer kecil.
21
Mekanisme yang serupa dapat menjelaskan terjadinya siklus
nyeri spasme nyeri di otot tangka. Permulaan cidera akan
mengakibatkan terjadi kontraksi otot guna melindungi atau
mengimobilisasi daerah tersebut. Kontraksi otot yang berkelanjutan
akan mengakibatkan ischemia dan terlepasnya materi kimiawi yang
akan mensesitisasi aferfen A delta dan C yang terdapat di otot. Hasil
metabolism semata tidak akan menghasilkan aktifasi nosiseptif.
Namun bahyan – bahan kimiawi lain seperti bradikinin, serotonim,
dan histamine akan mempunyai pengaruh yang sangat sangan besar.
Peningkatan sensitifitas nosiseptor akan menambah kontraksi
reflektoris otot sehingga siklus nyeri- spasme- nyeri akan semakin
bertambah. Keadaan ini semakin diperberat oleh terjadinya reflek
simpatis. Siklus nyeri - spasme – nyeri dapat diatasi dengan cara
memperbaiki mekanisme inhibisi ( Parjoto, 2006 ).
4) Nyeri Kronis
Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri dengan durasi yang
lama, acapkali berhubungan dengan nyeri fisik dan mental, depresi,
kecemasan dan keputusasaan. Nyeri kronik bias berlangsung berbulan
– bulan atau bahkan bertahun – tahun diluar periode kesembuhan atau
terjadi secara terputus –putus. Beberapa klinikus menggunakan
satuan waktu 6 bulan pasca trauma atau pasca sakit guna
mengelompokkannya dalam nyeri kronik. Faktor lingkungan dan
psikologik merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan
22
evolusi nyeri kronik. Tanggap rangsang fisiologis dan perilaku
terhadap nyeri kronik berbeda disbanding dengan nyeri akut.
Peningkatan sensitivitas nisiseptor akan mengakibatkan siklus
nyeri- spasme-nyeri tetap berlangsung. Keadaan ini dapat
berlangsung semi permanen atau berubah tergantung mekanisme
yang terjadi ditingkat spinal. Mekansme kedua ialah akibat adanya
kompresi saraf perifer yang bertahan lama. Kompresi akan merusak
neuron afferent primer besar sehingga berakibat terjadinya ketidak
seimbangan masukan afferent besar ( taktil ) dan esukan afferent kecil
( nyeri ) sehingga gerbang tetap membuka ( Parjoto, 2006 ).
Nyeri kronis dahulu didefinisikan sebagai nyeri yang
berkelanjutan hingga 3-6 bulan setelah onset, definisi baru
berdasarkan factor-faktor lain yang lebih dari sekedar faktor waktu
sedang digemari. International Asssociatin for the Study of Pain
mendefinisikan nyeri kronis sebagai nyeri yang menetap lebih lama
dari waktu yang diharapkan untuk penyembuhan, atau nyeri terkait
dengan penyakit progresif yang bukan keganasan, biasanya
diasumsikan selama 3 bulan. Definisi lain tentang nyeri kronis adalah
nyeri menetap yang mengganggu tidur dan kehidupan normal, tidak
lagi berfungsi sebagai pelindung, dan malah menurunkan derajat
kesehatan dari kemampuan fungsional.
23
5) Nyeri Kelainan Fungsi
Nyeri kelainan fungsi merupakan nyeri organik yang memakai
fitur klinis nyeri neuropati tetapi tidak dimulai oleh suatu lesi yang
dapat didefinisikan bagian dari sistem saraf manapun. Karena tidak
ada perlukaan saraf yang meminimalisiasi, beberapa pakat
berargumen bahwa kategori kelainan fungsi harus dikeluarkan. Walau
benar bahwa memasukkan nyeri kelainan fungsi menambah
kompleksitas dalam penetapan batas-batas nyeri neuropati.
Pengecualian jenis nyeri ini akan mengabaikan realitas klinis
eksistensi dari keadaan nyeri serupa. Yang satu diprovokasi oleh
kerusakan neurologis dan yang lainya oleh kerusakan jaringan
nonneural.
6) Nyeri Campuran
Nyeri campuran dihasilkan dari beberapa kombinasi nyeri
nosiseptif, nyeri neuropatik, dan nyeri visceral. Nyeri campuran
tampak pada pasien dengan kanker dan nyeri punggung kronis
(khusus nyeri punggung bawah setelah pembedahan) dimana
kombinasi dan komponen neuropati, nosiseptif dan miofasial dapat
member kontribusi pada pengalaman nyeri pasien (Bonica, 2001).
e. Multidimensional nyeri
Nyeri adalah fenomena yang multidimensional. Harahap tahun
2007, mengkategorikan dimensi nyeri sebagai berikut :
24
1). Dimensi sensori
Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi
dimana nyeri itu timbul dan bagaimana rasanya. Terdapat tiga
komponen spesifik dalam dimensi sensori, yaitu lokasi, intensitas,
dan kualitas nyeri. Lokasi nyeri memberikan petunjuk penyebab nyeri
bila ditinjau dari segi aspek sensori. Lokasi nyeri itu sendiri dapat
dilaporkan oleh pasien pada dua atau lebih lokasi. Kondisi dimana
dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi yang berbeda
mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin banyak
lokasi nyeri yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit bagi
pasien untuk melokalisasi area nyerinya Intensitas nyeri adalah
sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan seringkali
digambarkan dengan kata-kata seperti ringan, sedang, dan berat.
Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang
menggambarkan skor dari nyeri yang dirasakan, sedangkan kualitas
nyeri adalah berkaitan dengan bagaimana nyeri itu sebenarnya
dirasakan individu. Nyeri yang dialami klien seringkali tidak dapat
dijelaskan (Potter dan Perry, 2009).
2). Dimensi Kognitif
Dimensi kognitif dari nyeri menyangkut pengaruh nyeri yang
dirasakan oleh individu terhadap proses pikirnya atau pandangan
individu terhadap dirinya sendiri. Respon pikiran individu terhadap
nyeri yang dirasakan dapat diasosiasikan dengan kemampuan koping
25
individu menghadapi nyerinya). Pengetahuan adalah aspek yang
penting dalam dimensi kognitif. Pengetahuan tentang nyeri dan
penanganannya dapat mempengaruhi respon seseorang terhadap
nyeri. Nyeri itu sendiri dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang
berpikir tentang nyeri yang dirasakannya, apa saja pengharapannya
atas nyerinya, dan apa makna nyeri tersebut dalam kehidupannya.
3). Dimensi Afektif
Dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu
terhadap nyeri yang dirasakannya. Dimensi afektif dari nyeri identik
dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang
mudah sekali memahamikondisi depresi atau gangguan psikologis
lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sanga timggi
dibandingkan dengan pasien lainnya.
4). Dimensi Fisiologis
Dimensi fisiologi terdiri dari penyebab organik dari nyeri
tersebut Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua karakteristik
yang melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri.
Durasi nyeri mengacu kepada apakah nyeri yang dialami tersebut
akut atau kronik sedangkan pola nyeri dapat diidentifikasi sebagai
nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik, periodik, atau juga nyeri
berlanjut, menetap atau konstan (Rospond, 2008).
26
5). Dimensi sosiokultural
Dimensi sosiokultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari
faktor demografi, adat-istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang
berhubungan yang dapat mempengaruhi persepsi nyeri dan respon
seseorang terhadap nyerinya. Kultur atau budaya memiliki peranan
yang kuat untuk menentukan faktor sikap individu dalam
mempersepsikan dan merespon nyerinya. Sikap individu ini juga
berkaitan dengan faktor usia, jenis kelamin, dan ras. Pengaruh budaya
terhadap peranan wanita kuat dalam budaya orang Afrika-Amerika
cenderung menyebabkan wanita penderita kanker kurang diperhatikan
ketika mengeluh tentang nyeri dan mencari pertolongan untuk
mengatasi nyeri yang dialami. Beberapa responden merasakan bahwa
kanker sebagai suatu noda/cacat dan mengeluh tentang nyeri yang
dialami bukanlah sesuatu hal yang harus didiskusikan secara terbuka.
6). Dimensi perilaku (behavioral)
Perilaku nyeri adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh
seseorang dan setiap perubahan kebiasaan ketika ia mengalami nyeri
yang dapat di observasi Tampilan perilaku nyeri yang diperlihatkan
seseorang dapat berupa guarcing, bracing, grimacing, keluhan verbal,
dan perilaku mengkonsumsi obat. Perilaku nyeri dapat dipengaruhi
oleh factor lingkungan atau dapat juga diperkuat oleh perhatian,
dukungan sosial, atau menghindari kegiatan yang dapat merangsang
nyeri seperti bekerja di kantor, pekerjaan rumah tangga. Nyeri, jika
27
diikuti oleh faktor pendukung, maka nyeri akan bertahan lebih lama
dari waktu penyembuhan normalnya.
f. Terapi Nyeri
Prinsip dasar terapi nyeri adalah sedapat mungkin menghilangkan
proses patologik kausatif yang bertanggung jawab terhadap terjadinya
nyeri. Disamping itu perlu juga ditambah berbagai cara untuk mengatasi
nyeri tersebut yang terbagi atas terapi konservatif, bedah maupun
keduanya. Terapi konservatif meliputi: terapi farmakologi dan fisioterapi.
Pada pemakaian obat analgetik harus hati-hati dalam
penggunaannya, mengingat efek samping dalam penggunaan secara terus
menerus, tidak semua nyeri harus diberikan terapi farmakologi sebab ada
beberapa keadaan dimana nyeri dapat dihilangkan dengan terapi fisik
misal: pemanasan, pemijatan, kompres es dan lain-lain (Hariyanto, 2003).
g. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Menurut Hariyanto tahun 2003, nyeri dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah :
1) Pengalaman Masa Lalu dengan Nyeri
Pengalaman masa lalu juga berpengaruh terhadap persepsi
nyeri individu dan kepekaannnya terhadap nyeri. Individu yang
pernah mengalami nyeri atau menyaksikan penderitaan orang
terdekatnya saat mengalami nyeri cenderung merasa terancam dengan
peristiwa nyeri yang akan terjadi dibandingkan individu lain yang
belum pernah mengalaminya. Selain itu, keberhasilan atau kegagalan
28
metode penanganan nyeri sebelumnya juga berpengaruh terhadap
harapan individu terhadap penanganan nyeri saat ini.
2) Kecemasan
Kecemasan adalah suatu keadaan yang akan dapat
memperbesar dan meningkatkan persepsi seseorang terhadap nyeri.
Tingkat kecemasan yang tinggi akan meningkatkan pula respon atau
perilaku individu terhadap nyeri.
3) Budaya
Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana
seseorang berespon terhadap nyeri. Antara pasien yang satu dengan
yang lainnya berbeda dalam menggambarkan respon nyeri. Pasien
mungkin saja menggambarkan nyeri dengan meringis atau menangis
ketika merasakan nyeri, tetapi pasien dari latar budaya lainnya bisa
menggambarkan respon nyeri yang berbeda, seperti diam seribu
bahasa daripada mengekspresikan nyeri dengan suara keras. Latar
belakang budaya merupakan faktor yang memengaruhi reaksi
terhadap nyeri dan ekspresi nyeri. Sebagai contoh, individu dari
budaya lain justru lebih memilih menahan perasaan mereka dan tidak
ingin merepotkan orang lain.
4) Usia
Perbedaan usia seseorang mempunyai pengaruh yang
bermacam-macam dalam memandang suatu rasa nyeri. Pada usia
dewasa biasanya lebih dapat merespon rasa sakit dengan baik, tetapi
29
sebaliknya anak-anak mempunyai ambang batas rasa nyeri yang
rendah untuk membedakan antara rasa sakit dan tekanan, pada orang
yang berusia lanjut mengalami kegagalan dalam merasakan
kerusakan jaringan, akibat perubahan degeneratif pada jalur syaraf
nyeri.
Sehingga lansia cenderung untuk mengabaikan nyeri dan
menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama. Prevalensi nyeri
pada individu lansi lebih tinggi karena penyakit akut atau kronis yang
mereka derita. Walaupun ambang batas nyeri tidak berubah karena
penuaan, tetapi efek analgesik yang diberikan menurun karena
perubahan fisiologis yang terjadi.
5) Lingkungan
Lingkungan sangat mempengaruhi tingkat respon individu
terhadap nyeri, keadaan lingkungan yang tidak baik atau tidak
nyaman meliputi keadaan ribut dan ramai akan meningkatkan
intensitas nyeri individu ke suatu yang lebih berat. Lingkungan yang
bising, tingkat kebisingan yang tinggi, pencahayaan, dan aktivitas
yang tinggi di lingkungan tersebut dapat memperberat nyeri. Selain
itu, dukungan dari keluarga dan orang terdekat menjadi salah satu
faktor penting yang memengaruhi persepsi nyeri individu. Sebagai
contoh, individu yang senidirian, tanpa keluarga atau teman-teman
yang mendukungnya, cenderung merasakan nyeri yang lebih berat
30
dibandingkan mereka yang mendapat dukungan dari keluarga dan
orang-orang terdekat.
6) Kepercayaan Religius
Kepercayaan agama merupakan suatu keyakinan yang
merupakan suatu kekuatan untuk mempengaruhi pandangan
seseorang terhadap nyeri. Ada beberapa keyakinan yang memandang
bahwa nyeri adalah suatu penyucian atau pembersihan dan hukuman
atas dosa-dosa mereka terhadap Tuhan, mereka memandang Tuhan
adalah sumber kekuatan.
2. Ambang Nyeri
a. Pengertian Ambang Nyeri
Ambang nyeri merupakan intensitas rangsangan terkecil yang
akan menimbulkan sensasi nyeri. Sensasi nyeri dapat dianggap sama
dengan ambang nyeri (Audry et al , 2003). Toleransi nyeri lebih
mengacu pada lama atau intensitas nyeri yang masih bisa ditahan pasien
sampa secara eksplisit pasien mengaku dan mencari pengobatan (Price
dan Wilson, 2006). Tidak semua orang yang terpajang terhadap stimulus
yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama. Bisa saja suatu sensasi
yang sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi orang
lain, hal ini disebabkan karena masing-masing memiliki ambang nyeri
yang berbeda-beda.
31
b. Pengukuran Ambang Nyeri
Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) merupakan
suatu cara penggunaan energi listrik untuk merangsang saraf melalui
permukaan kulit (Parjoto, 2006). Penggunaan Transcutaneus electrical
nerve stimulation (TENS) dengan intensitas-intensitas tertentu akan
menimbulkan suatu sensasi nyeri/rasa yang tidak nyaman. Sensasi nyeri
dapat dianggap sama dengan ambang nyeri (Audry et al, 2003).
Ambang nyeri dapat dilihat saat aplikasi Transcutaneus electrical
nerve stimulation (TENS) yang diberikan kepada subyek normal, dimana
intensisitas yang tertera pada Transcutaneus electrical nerve stimulation
(TENS) saat pasien merasakan sensasi nyeri rasa tidak nyaman
merupakan suatu nilai dari ambang nyeri (Mardiman et al,1994).
3. Sinar Inframerah
a. Pengertian dan Sumber Sinar Inframerah
Sinar inframerah adalah pancaran gelombang elektromagnetik
dengan panjang gelombang 7700-4 juta A. Sinar inframerah selain
berasal dari matahari dapat pula diperoleh secara buatan dari :
1) Bantalan Listrik
Bantalan listrik, lampu non luminous infra red, lampu-lampu
pijar akan mengeluarkan sinar-sinar inframerah gelombang panjang,
pendek, dan sinar visible (Sujatno Ig et al, 2002).
32
2) Carbon Pendek
Carbon pendek akan mengeluarkan sinar inframerah yang
disertai sinar visible dan juga sinar ultraviolet (Sujatno Ig et al,
2002).
b. Klasifikasi Inframerah
Berdasarkan panjang gelombangnya, inframerah dibagi atas:
1) Gelombang panjang (non penetreting)
Panjang gelombang di atas 12.000 A sampai 15.000 A. Daya
penetrasi sinar ini hanya sampai kepada lapisan superficial epidermis
sekitar 0.5mm (Sujatno Ig et al,2002). Menurut Gabriel tahun 1996
daya pemetrasi sinar ini adalah 0,55 mm. Menurut Hamid dan Satori
tahun 1992 , panjang gelombang infarmerah untuk gelombang
panjang ( non penetring ) adalah 14.000 A sampai 120.000 A,
dengan daya penetrasi 2 mm.
2). Gelombang pendek (penetrating)
Panjang gelombang di atas 7.700 A sampai 12.000 A.
(Gabriel, 1996) Tokoh lain menyebutkan 7.000 sampai 14.000 A,
dengan daya penetrasi 5 mm -10 mm (Hamid dan Satori, 1992).
Menurut Sujatno Ig et al tahun 1993 daya penetrasi sinar ini lebih
dalam dari gelombang, yaitu sampai jaringan sub cutan kira-kira
33
dapat mempengaruhi secara langsung terhadap pembuluh darah
kapiler, pembuluk lymphe, ujung-ujung saraf lain didalam kulit.
c. Hukum Fisika Dasar Tentang Sinar Inframerah
Terdapat beberapa hukum fisika dasar yang sehubungan dengan
sinar inframerah, yaitu:
1) Hukum Planck
Energi cahaya yang akan dipancarkan atau diserap berbanding
lurus dengan frekuensi radiasinya dikalikan dengan konstanta Planck.
Pada prinsipnya, semakin tinggi energi yang mengandung photon,
semakin pendek panjang gelombang photon dan pada gilirannya
semakin dalam penetrasi di jaringan. Namun secara klinis, perbedaan
ini tidak bermakna terhadap distribusi panas. Saat photon telah
menembus ke jaringan, maka akan diabsorbsi dan dikonversi menjadi
lianas. Bagaimanapun, semua photon hanya sampai jaringan paling
superfisial (Hamid dan Satori, 1992).
2) Pemantulan
Jika seberkas cahaya mengenai permukaan suatu benda, maka
berkas sinar ada kemungkinan dipantulkan kembali. Sudut sinar
datang sama besar dengan sudut sinar pantul. Sudut datang sinar
mempengaruhi intensitas radiasi sinar, intensitas maksimal akan
dicapai bila jatuhnya sinar tegak lurus dengan permukaan obyek
(Mogi, 2002).
34
3) Hukum kuadrat terbalik
Intensitas penyinaran selalu akan berbanding terbalik dengan
kuadrat jarak dari sumber panas. Ini berarti bila jarak obyek dengan
inframerah dijauhkan dua kali lipat maka intensitasnya yang diterima
obyek akan menjadi seperempatnya, sebaliknya bila jaraknya
diperkecil menjadi setengahnya maka intensitas yang diterima
menjadi 4 kali lipat (Mogi, 2002).
4) Hukum pembiasan
Jika seberkas sinar dari satu medium jatuh ke medium yang
lain maka di antara yang ada dipatahkan atau dibiaskan. Derajat
pembiasan yang terjadi tergantung dari berat jenis media asal sinar
dan berat jenis media dimana sinar tersebut jatuh. Sinar yang jatuh
dari media dengan berat jenis rendah (kerapatan renggang) ke media
yang mempunyai berat jenis (kerapatan padat), maka sinar akan
dibiaskan mendekati garis normal begitu pula sebaliknya. Besar-
kecilnya sudut pembiasan ditentukan oleh indeks bias dari masing-
masing medium (Sujatno Ig et al, 2002).
5) Hukum penyerapan/Hukum Grotthus
Supaya terjadi suatu pengaruh atau efek-efek terhadap suatu
benda yang kena sinar maka sinar tadi harus diabsorbsi oleh benda
tadi (Sujatno Ig et al, 2002).
35
d. Efek Inframerah terhadap PeningkatanAmbang Nyeri
Penyinaran inframerah merupakan salah satu cara yang efektif
untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri. Mekanisme
pengurangan rasa nyeri itu adalah sebagai berikut :
1) Efek sedatif dari inframerah pada superficial sensory nerve ending
(ujung-ujung syaraf sensoris superfisial) dimana stimulasi panas pada
inftamerah yang sampai pada lapisan epidermis mengakibatkan
vasodilatasi pembuluh darah sehingga aliran pembuluh darah
meningkat dan subtansi prostaglandin ikut dalam aliran pembuluh
darah tersebut, serta meningkatnya metabolisme mengakibatkan
peningkatan suplay O2 dan nutrisi ke jaringan tersebut sehingga nyeri
berkurang
2) Stimulasi panas yang dihasilkan oleh inframerah akan menstimulasi
ujung – ujung saraf perifer ( neuron ), jika stimulasi ini terus –
menerusakan mengaktifkan nosiseptor serat kecil (A- dan C) dan
serat besar (A-). Aktifasi nosiseptor tersebut akan menstimulasi
implus saraf sensoris yang berjalan via akson dari neuron aferen
primer ke tanduk dorsal atau dorsal horn. Aktivasi serabut saraf C
akan mengaktifkan neuron aferen primer yang memperbanyak implus
saraf ke tanduk dorsal atau dorsal horn dengan asam amino eksitatori
seperti glutamad, asparad dan neuropeptida seperti P ( prostaglandin
) subtance sehingga neuron tanduk dorsal atau dorsal horn telah
teraktivasi dan mengaktifkan implus nosiseptif ke otak. Sedangkan
36
aktivasi serabut saraf A alpha dan A delta akan mengaktifkan
neuroninhibisi seperti asam amino inhibitiry yaitu -amino butirat (
GABA ) dan neropeptida. Zat - zat ini terikat pada reseptor aferan
primer dan neuron tanduk dorsal atau dorsal horrn dan akan
menghambat tranmsmisi oleh mekanisme pra simpatik dan pasca
simpatik sehingga transmisi nosiseptor turun, jadi lalu lintas
nosiseptor dalam tanduk dorsal atau dorsal horn tidak langsung
dikirim ke otak tetapi lebih banyak di modulasi yang mengakibatkan
pengurangan nyeri ( Kuntana, 2010 ).
e. Ukuran Dosis Penggunaan Inframerah
Intensitas cahaya diubah dengan mengatur jarak lampu dengan
kulit. Petunjuk sudah tepatnya intensitas diperoleh melalui perasaan
subyektif terhadap panas. Petunjuk fisiologis ini adekuat karena kulit
dengan reseptor suhunya adalah area peningkatan suhu tertinggi (Hamid
dan Satori, 1992).
Menurut Sujatno Ig et al tahun 2002, pada pengguanan
inframerah jenis non luminous jarak lampu yang digunakan adalah antara
45 cm – 60 cm, sinar diusahakan tegak lurus dengan daerah yang diobati
serta waktu antara 10 menit – 30 menit. Pada penggunaan inframerah
jenis luminous jarak lampu 35 cm – 45 cm, sinar diusahakan tegak lurus,
waktu antara 10 menit – 30 menit disesuaikan dengan kondisi
penyakitnya. Menurut Weber dan Brown, tahun 1998 prosedur
penggunaan jarak inframerah adalah jarak 40 cm – 60 cm, sedangkan
37
dalam manual prosedur Philips HP 3613 penggunaan inframerah adalah
dengan jarak 30 cm.
4. Usia Dewasa
Istilah adult berasal dari kata kerja Latin, seperti juga istilah
adolescene - adolescere yang berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Menurut
Hurlock tahun 2011, masa dewasa dibagi menjadi 3 periode yaitu:
a. Masa Dewasa Dini ( 18 tahun - 39 tahun )
Masa dewasa ini dimulai pada usia 18 tahun sampai 39 tahun.
Dimana terjadi perubahan – perubahan fisik dan psikologis yang
menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.
hal lainnya.
1) Periode Perkembangan Fisik
Menurut Santrock tahun 2002, pertumbuhan fisik yang terjadi
pada dewasa dini mengalami peralihan dari masa remaja untuk
memasuki masa tua. Pada masa ini, seorang individu tidak lagi
disebut masa tanggung tetapi sudah tergolong sebaagai seorang
pribadi yang benar-benar dewasa. Ia tidak diperlakukan sebagai
seorang anak remaja, tetapi sebagaimana layaknya orang dewasa
lainnya.penampilan fsiknya benar-benar matang sehingga siap
melakukan tugas-tugas seperti orang dewasa lainya, misalnya bekerja,
menikah dan mempunyai anak. Ia dapat bertindak secara
bertanggungjawab untuk dirinya ataupun orang lain( termasuk
38
keluarganya). Segala tindanya sudah dikenakan aturan-aturan hukum
yang berlaku, artinya bila terjadi pelanggaran akibat dari tindakannya
akan memperoleh sangsi hukum ( misalnya denda, terkena hukuman
pidana atau perdata). Masa ini ditandi pula dengan adanya perubahan
fisik, misalnya tumbuh bulu-bulu halus, perubahan suara, menstruasi,
dan kemampuan reproduksi (Hurlock,2011 ).
2) Periode Perkembangan Psikis
Periode dewasa awal mengalami perubahan-perubahan secara
psikis, diantaranya dapat dipaparkan dalam berbagai segi yaitu
sebagai berikut ini:
a) Intelegensi atau Kognitif
Intelegensi merupakan Kemampuan berfikir lebih realistis
dan berfikir jauh kedepan, strategis dan selalu bersemangat untuk
berwawasan luas. Usia dewasa dini adala masa pengoptimalan
intelegensi setiap individu. Terlebih lagi jika seseorang
berkecimpung dalam dunia perkuliahan, akan banyak sekali
perubahan signifikan yang terjadi dari segi intelegensi dan
pemikiran. Dewasa dini adalah masa dimana seseorang dapat
berpikir luas dan dapat mengembangkan segala hal yang terdapat
dalam pemikirannya. Biasanya seseorang akan langsung dapat
menuangkan segala pemikirannya dalam sebuah perbuatan.
39
b). Emosional
Sekitar awal atau pertengahan umur tiga puluhan,
kebanyakan orang muda telah mampu memecahkan masalah-
masalah mereka dengan cukup baik sehingga menjadi stabil dan
tenang secara emosional. Apabila emosi yang menggelora yang
merupakan cirri tahun-tahun awal kedewasaan masih tetap kuat
pada usia tiga puluhan, maka hal ini merupakan tanda bahwa
penyesuaian diri pada kehidupan orang-orang dewasa belum
terlaksana secara memuaskan.
Apabila ketegangan emosi terus berlanjut sampai usia tiga
puluhan, hal itu umumnya tampak dalam bentuk keresahan. Apa
yang diresahkan orang-orang muda itu tergantung dari masalah-
masalah penyesuaian diri yang harus dihadapi saat itu dan
berhasil tidaknya mereka dalam upaya penyelesaian itu.
Kekhawatiran-kekhawatiran utama mungkin terpusat pada
pekerjaan mereka, karena mereka merasa bahwa mereka tidak
mengalami kemajuan secepat mereka harapkan atau kekhawatiran
mereka mungkin terpusat pada masalah-masalah perkawinan atau
peran sebagai orang tua. Apabila seseorang merasa tidak mampu
mengatasi masala-masalah utama dalam kehidupan mereka,
mereka sering sedemikian terganggu secara emosional sehingga
mereka memikirkan atau mencoba untuk bunuh diri.
40
c). Sosial
Dengan berakhirnya pendidikan formal dan terjunnya
seseorang ke dalam pola kehidupan orang dewasa yaitu karier,
perkawinan dan rumah tangga hubungan dengan teman-teman
kelompok sebaya masa remaja menjadi renggang dan berbarengan
dengan itu keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah
akan terus berkurang. Sebagai akibatnya, untuk pertama kali sejak
bayi semua orang muda, bahkan yang populer pun, akan
mengalami keterpencilan sosial atau apa yang disebut Erikson
sebagai krisis keterasingan.
Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat
bersaing dan hasrat kuat untuk maju dalam karier – dengan
demikian keramah tamahan masa remaja diganti dengan
persaingan dalam masyarakat dewasa – dan mereka juga harus
mencurahkan sebagian besar tenaga mereka untuk pekerjaan
mereka, sehingga mereka dapat menyisihkan waktu sedikit untuk
sosialisasi yang diperlukan untuk membina hubungan-hubungan
yang akrab. Akibatnya, mereka menjadi egosentris dan ini
tentunya menambah kesepian mereka.
b. Masa Dewasa Madya (40 tahun – 60 tahun)
Masa dewasa madya dimulai pada usia 40 tahun sampai dengan
60 tahun yaitu saat menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang
jelas nampak pada setiap orang ( Hurlock,2011 ).
41
1) Periode Perkembangan Fisik
Pada masa dewasa madya terjadi perubahan fungsi fisik yang tak
mampu berfungsi seperti sedia kala, dan beberapa organ tubuh
tertentu mula mengalami penurunan fungsi. Melihat dan mendengar
merupakan dua perubahan yang paling menyusahkan paling banyak
tampak dalam dewasa madya. Daya akomodasi mata untuk
memfokuskan dan mempertahankan gambar pada retina akan
mengalami penurunan. Karena pada usia tersebut aliran darah pada
mata juga berkurang. Pendengaran juga mulai menurun pada usia ini.
Meskipun kemampuan untuk mendengar suara-suara bernada rendah
tidak begitu kelihatan. Laki-laki biasanya kehilangan sensitifitasnya
terhadap suara bernada tinggi lebih dahulu daripada perempuan. Hal
ini mungkin disebabkan oleh lebih besarnya pengalaman laki-laki
terhadap suaru gaduh dalam pekerjaan.
2) Periode Perkembangan Psikis
Pada periode usia dewasa madya mengalami beberapa
perubahan psikis. Hal ini bias terlihat dari berbagai hal dibawah
ini :
a). Intelegensi atau Kognitif
Perkembangan pada tahap ini intelektual dewasa sudah
mencapai titik akhir puncaknya yang sama dengan perkembangan
tahap sebelumnya yaitu tahap pemuda. Semua hal yang
berikutnya sebenarnya merupakan perluasan, penerapan, dan
42
penghalusan dari pola pemikiran ini. Orang dewasa madya
mampu memasuki dunia logis yang berlaku secara mutlak dan
universal yaitu dunia idealitas paling tinggi. Orang dewasa dalam
menyelesaikan suatu masalah langsung memasuki masalahnya. Ia
mampu mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit dan dapat
melihat akibat langsung dari usaha-usahanya guna menyelesaikan
masalah tersebut.
Orang dewasa madya mampu menyadari keterbatasan baik
yang ada pada dirinya maupun yang berhubungan dengan realitas
di lingkungan hidupnya. Orang dewasa dalam menyelesaikan
masalahnya juga memikirkannya terlebih dahulu secara teoritis. Ia
menganalisis masalahnya dengan penyelesaian berbagai hipotesis
yang mungkin ada. Atas dasar analisanya ini, orang dewasa lalu
membuat suatu strategi penyelesaian secara verbal. Yang
kemudian mengajukan pendapat-pendapat tertentu yang sering
disebut sebagai proporsi, kemudian mencari sintesa dan relasi
antara proporsi yang berbeda-beda tadi.
Menurut Erikson, pada masa ini individu dihadapkan atas
dua hal generativity vs stagnasi. Mencakup rencana-rencana orang
dewasa atas apa yang mereka harap guna membantu generasi
muda mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang
berguna melalui generativitas / bangkit. Sebaliknya, stagnasi
(berhenti), yaitu ketika individu tidak melakukan apa-apa untuk
43
generasi berikutnya. Memberikan asuhan, bimbingan pada anak-
anak, individu generatif adalah seseorang yang mempelajari
keahlian, mengembangkan warisan diri yang positif dan
membimbing orang yang lebih muda (Shaffer, 2014 ).
b). Emosional
Menurut Erikson, pada masa ini individu dihadapkan atas
dua hal generativity vs stagnasi Mencakup rencana-rencana orang
dewasa atas apa yang mereka harap guna membantu generasi
muda mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang
berguna melalui generativitas / bangkit. Sebaliknya, stagnasi
(berhenti), yaitu ketika individu tidak melakukan apa-apa untuk
generasi berikutnya. Memberikan asuhan, bimbingan pada anak-
anak, individu generatif adalah seseorang yang mempelajari
keahlian, mengembangkan warisan diri yang positif dan
membimbing orang yang lebih muda (Shaffer, 2014 ).
c). Sosial
Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial pada masa
Dewasa madya ini antara lain:
- Masa dewasa madya merupakan periode yang ditakuti dilihat
dari seluruh kehidupan manusia.
- Masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria
dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa
44
dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan
dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru.
- Masa dewasa madya adalah masa berprestasi. Menurut
Erikson, selama usia madya ini orang akan menjadi lebih
sukses atau sebaliknya mereka berhenti
- Pada masa dewasa madya ini perhatian terhadap agama lebih
besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-
kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi
kebutuhan pribadi dan sosial..
c. Masa Dewasa Lanjut atau Usia Lanjut (60 tahun – meninggal dunia)
Masa dewasa lanjut atau senestence atau usia lanjut dimulai pada
umur 60 tahun sampai kematian. Pada waktu ini, baik kemampuan fisik
maupun psikologis cepat menurun tetapi tekhnuk pengobatan modern,
serta upaya dalam hal berpakaian dan dandanan, memungkinkan pria dan
wanita berpenampilan bertindak dan berperasaan seperti kala mereka
masih muda ( Hurlock,2011 ).
1) Periode Perkembangan fisik
Perubahan fisik yang dialami oleh dewasa akhir atau usia
lanjut terjadi dengan ditandai dengan menurunnya dan memburuknya
fungsi dan keadaan fisik. Perubahan ini pasti terjadi pada usia lanjut
hanya saja berbeda untuk setiap individu. Perubahan penampilan pada
usia lanjut sangat terlihat dari wajah individu, wajah akan mulai
mengendor dan memunculkan ciri penuaan lainnya. Selain pada
45
wajah perubahan secara fisik juga dapat dilihat dari individu yang
kulit nampak keriput dan otot terlihat. Perubahan fisik yang terjadi
pada masa dewasa akhir, pada umumnya terjadi pada penurunan
beberapa fungsi organ tubuh seperti menurunnya kemampuan otak
dan sistem syaraf, yang meliputi; hilangnya sejumlah neuron yang
merupakan unit-unit sel dasar dari sistem syaraf, serta kemampuan
otak yang semakin menurun, dan melemahnya daya ingat.
2) Periode Perkembangan Psikis
Akibat perubahan fisik yang semakin menua maka perubahan
ini akan sangat berpengaruh terhadap peran dan hubungan dirinya
dengan lingkungannya. Dengan semakin lanjut usia seseorang secara
berangsur-angsur ia mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya
karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya ini mengakibatkan
interaksi sosial para lansia menurun, baik secara kualitas maupun
kuantitasnya sehingga hal ini secara perlahan mengakibatkan
terjadinya kehilangan dalam berbagai hal yaitu kehilangan peran di
tengah masyarakat, hambatan kontak fisik dan berkurangnya
komitmen. Adapun perubahan-perubahan psikis tersebut adalah
sebagai berikut:
a) Intelegensi atau Kognitif
Usia dewasa akhir dilihat dari segi kognitif menglami
kemunduran dengan ditandai munculnya penyakit lupa atau
pikun. Dengan timbulnya penyakit lupa ini, membuat individu
46
dalam kehidupannya mengalami ketidak teraturan. Pada usia
inilah diperlukan perhatian yang lebih dari orang-orang terdekat
untuk mengarahkan dan menuntun orang dewasa akhir dalam
melakukan suatu hal, seperti mengarahkan dalam menaruh benda
sesuai dengan tempatnya dan mengingatkannya menaruh benda
itu dimana ketika dibutuhkan. Ataupun mengingatkan sudah
sholat atau belum, atau bahkan menuntunnya pada saat membaca
bacaan sholat.
b) Emosional
Usia dewasa lanjut lebih tempramen dalam segi
emosional. Hal ini dikarenakan berawal dari faktor fisik yang
semakin mengalami kemunduran sehingga berpengaruh pada segi
psikis termasuk emosionalnya. Beberapa orang yang mencapai
usia dewasa lanjut mengalami ketidaksiapan dalam menghadapi
segala kemunduran fisik yang terjadi baik dilihat dari luar
maupun fungsi organ-organ tubuh yang dimiliki. Sebelum
menginjak usia dewasa lanjut, seseorang pernah mengalami
kemajuan yang sangat pesat dan pernah melakukan berbagai
prestasi. Sedangkan ketika orang tersebut menginjak usia dewasa
lanjut, ia hampir tidak percaya bahwa dirinya tidak lagi dapat
berkarya secara maksimal seperti dulu sehingga timbul perasaan
kesal pada dirinya sendiri karena segala sesuatu harus dibantu
oleh orang lain. Ditambah lagi terkadang orang yang membantu
47
tidaklah sesuai dengan yang diharapkannya. Oleh karena itulah
usia dewasa akhir lebih cepat temperamental.
c) Sosial
Akibat adanya kemunduran dari segi aspek fisik, moral,
intelegensi, dan lebih cepat temperamental, maka usia dewasa
lanjut semakin jauh dari lingkungan masyarakat dan mulai
terkucilkan. Usia dewasa lanjut lebih sedikit berinteraksi dengan
lingkungan masyarakat. Pada usia ini justru lebih membutuhkan
perhatian yang lebih dari keluarga terdekat untuk menguatkan diri
dan membantu memunculkan kepercayaan diri agar tetap
bersemangat dalam menjalankan kehidupan meskipun mulai
terjauh dari lingkungan masyarakat.
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang ada hubungannya dengan perbedaan efektivitas jarak
aplikasi inframerah terhadap peningkatan ambang nyeri ditinjau dari tingkat usia
seperti dalam permasalahan penelitian ini dilakukan oleh
1. Hariyanto pada tahun 2003. Penelitian ini dipakai untuk menempuh gelar
pascasarjana di Universitas Diponegoro. Penelitian ini berjudul efek
inframerah terhadap ambang nyeri pada subyek sehat. Dalam penelitian ini
disimpulkan bahwa pemberian aplikasi inframerah dapat menngkatkan
ambang nyeri setelah pemberian inframerah pada tempat pemberian infra
merah
48
2. Putra pada tahun 2013. Penelitian ini berjudul efektivitas jarak inframerah
terhadap ambang nyeri. Dalam hasil penelitiannya ditemukan bahwa terdapat
perbedaan efektifitas jarak infra merah terhadap ambang rangsang nyeri dan
pada penyinaran inframerah dengan jarak 35 cm lebih efektif meningkatkan
ambang nyeri dari pada penyinaran inframerah pada jarak 45 cm.
49
C. Kerangka Berfikir
Gambar 2.2 Kerangka Teori
Perubahan Ambang Nyeri
Nyeri
Inframerah
Transduksi
Transmisi
Persepsi
Modulasi
Sensoris Nosiseptif
Fisik
Psikososial
Stimulus :
- Mekanik
- Kimia
- Termal
- Listrik
50
Gambar 2.3 Kerangka Konsep
Sensori Nosiseptif
Aplikasi Jarak
Inframerah
30 cm
35 cm
40 cm
45 cm
Dewasa Dini
Dewasa Madya
Perbedaan Ambang
Nyeri
51
D. Hipotesis
1. Ada perbedaan efektivitas aplikasi jarak inframerah 30 cm, 35 cm, 40 cm dan
45 cm terhadap peningkatan ambang nyeri.
2. Ada perbedaan peningkatan ambang nyeri pada aplikasi jarak inframerah
pada orang dewasa dini (18 tahun – 39 tahun) dan orang dewasa madya (40
tahun – 60 tahun).
3. Ada interaksi efektifitas aplikasi jarak inframerah dengan orang dewasa dini
(18 tahun – 39 tahun) dan orang dewasa madya (40 tahun – 60 tahun)
terhadap peningkatan ambang nyeri.