Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
18
BAB II
LANDASAN TEORI
A. HAKIKAT PENDEKATAN KETELADANAN
1. Pengertian Pendekatan Keteladanan
Pendekatan merupakan terjemahan dari kata “Approach” dalam bahasa Inggris
diartikan dengan come near (menghampiri) go to (jalan ke ) dan way path (jalan).
Dalam ini dapat dikatakan bahwa Approach adalah cara menghampiri atau
mendatangi sesuatu. Menurut Lawson dalam buku Ramayulis, mendefenisikan
pendekatan adalah segala cara atau strategi yang digunakan peserta didik untuk
menunjang keefektifan dan keefisienan dalam proses pembelajaran materi tertentu.1
Dalam hal ini seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa,
untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu.
Pendekatan terpadu meliputi: (a) keimanan, mendorong peserta didik untuk
mengembangkan pemahaman adanya Tuhan sebagai sumber kehidupan makhluk;
(b) pengamalan, mendorong peserta didik untuk mempraktekkan dan
mengamalkan ibadah dan muamalah dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah
kehidupan; (c) pembiasaan, mengkondisikan peserta didik untuk membiasakan
sikap dan perilaku yang baik yang sesuai dengan ajaran Islam dan budaya bangsa
dalam menghadapai masalah kehidupan; (d) rasional, usaha memberikan peranan
pada rasio (akal) peserta didik dalam memahami dan membedakan berbagai bahan
1 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002, ) hal. 169.
19
ajar dalam standar materi serta kaitannya dengan hukum Islam; (e) emosional,
upaya menggugah perasaan (emosi) peserta didik dalam menghayati perilaku yang
sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa; (f) fungsional, menyajikan materi
yang ada manfaatnya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam arti
luas; (g) keteladanan, yaitu menjadikan figur guru agama dan non-agama serta staf
madrasah lainnya maupun orang tua peserta didik, sebagai cermin manusia
berkepribadian agama, yang melaksanakan hukum Islam secara utuh. 2 Pendidikan
melalui keteladanan merupakan salah satu pendekatan yang efektif dan sukses.3
Sedangkan menurut Arifin metode yang cukup besar pengaruhnya dalam mendidik
anak adalah metode pemberian contoh dan teladan.4 Allah telah menunjukkan
bahwa contoh keteladanan dari kehidupan Nabi Muhammad adalah mengandung
nilai paedagogis bagi manusia (para pengikutnya).
Keteladanan berasal dari kata” teladan “ yang berarti sesuatu yang patut
ditiru atau baik untuk dicontoh.5 Sedangkan dalam bahasa Arab adalah “uswatun
hasanah”. Dilihat dari segi kalimatnya uswatun hasanah terdiri dari dua kata yaitu
uswatun dan hasanah. Mahmud Yunus mendefenisikan “uswatun” sama dengan
“qudwah “ yang berarti ikutan.6 Sedangkan “hasanah” diartikan sebagai perbuatan
2 Akmal Hawi, Kompetensi Guru PAI, (Palembang,: IAIN Raden Fatah Press, 2006), hal.
187-188 3 Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 190. 4 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hal. 74 5 Hasan Alwi dkk, (Pemred), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2001), hal. 1160. 6 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), hal 42.
20
yang baik7. Jadi uswatun hasanah adalah suatu perbuatan baik seseorang yang ditiru
atau diikuti oleh orang lain.
Keteladanan ini merupakan perilaku seseorang yang sengaja ataupun tidak
sengaja dilakukan dan dijadikan contoh bagi orang yang mengetahui atau
melihatnya. Pada umumnya keteladanan ini berupa contoh tentang sifat, sikap dan
perbuatan yang mengarah kepada perbuatan baik untuk ditiru atau dicontoh.
Menurut Al-Aziz dalam buku Ramayulis mengatakan ”tugas pendidik
adalah orang yang bertanggung jawab dalam menginternalisasikan nilai-nilai
religius dan berupaya menciptakan individu dengan pola pikir ilmiah dan pribadi
yang sempurna”. Sedangkan Menurut Nahlawi dalam buku Ta`dib mengatakan
bahwa kecendrungan meniru memang sudah menjadi karakter manusia dan tabiat
manusia cenderung meniru dan belajar banyak tentang tingkah laku lewat peniruan.
Oleh karena itu sangat penting dalam interaksi belajar mengajar di sekolah.8
Metode suri tauladan yang dapat diartikan sebagai “keteladanan yang baik”.
Dengan adanya teladan yang baik itu, maka akan menumbuhkan hasrat bagi orang
lain untuk meniru atau mengikutinya, karena memang pada dasarnya dengan
adanya contoh ucapan, perbuatan dan contoh tingkah laku yang baik dalam hal
apapun, maka hal itu merupakan suatu amaliyah yang paling penting dan paling
7 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), hal 103.
8 Akmal Hawi, Kompetensi Guru PAI, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006), hal.
37-38
21
berkesan, baik bagi pendidikan anak, maupun dalam kehidupan pergaulan manusia
sehari-hari. 9
Kita semua sudah pernah mendengar pepatah “tindakan berbicara lebih
keras daripada kata-kata”. “kami butuh bukti bukan janji”, dan “praktikkan apa
yang kau khutbahkan”. Semua mengacu kepada keteladanan (modeling). Semakin
banyak kita memberi keteladanan, semakin mereka tertarik dan mulai mencontoh
kita. Alasan mereka tertarik adalah siswa merasakan kesebangunan, kecocokan
antara keyakinan dan perkataan kita dengan perbuatan.10 Jadi memberi teladan
adalah salah satu cara ampuh untuk membangun hubungan dan memahami orang
lain. Ini juga berarti kita tidak usah bersusah payah, tetapi dampak untuk murid
tetap lebih kuat. Plus, keteladanan akan menambahkan kekuatan ke dalam
pengajaran.
Jadi Metode keteladanan adalah memperlihatkan keteladanan, baik yang
berlangsung melalui penciptaan kondisi pergaulan yang akrab antara personal
sekolah, perilaku pendidikan dan tenaga pendidikan lain yang mencerminkan
akhak terpuji, maupun yang tidak langsung melalui suguhan ilustrasi berupa kisah-
kisah teladan.
2. Kriteria-Kriteria Keteladanan
Menurut al-Ghazali yang dikutip oleh Zainuddin dkk, bahwa kriteria-kriteria
keteladanan guru antara lain:
9 Pupuh Fathurrohman, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal
63 10 Bobbi Deporter, Quantum Teaching, (Bandung: Kaifa, 2003), hal. 29.
22
a. Sabar
b. Bersifat kasih dan tidak pilih kasih
c. Sikap dan pembicaraannya tidak main-main
d. Menyantuni serta tidak membentak orang yang bodoh
e. Membimbing dan mendidik murid-murid
f. Bersikap tawadu` dan tidak takabur
g. Menampilkan hujjah yang benar 11
Sedangkan menurut Zakiah Daradjat yang dikutip Zainuddin, kriteria-
kriteria keteladanan guru adalah: suka bekerja sama dengan demokratis, penyayang,
menghargai kepribadian anak didik, sabar, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, adil, ada perhatian terhadap persoalan anak didik, lincah maupun
memuji perbuatan baik serta mampu memimpin secara baik.12
Dari kedua pendapat diatas, secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa kriteria-kriteria keteladanan meliputi: bersikap adil, berlaku sabar, bersifat
kasih dan penyayang, berwibawa, menjauhkan diri dari perbuatan tercela, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, mendidik dan membimbing, dan bekerja sama
dengan demokratis.
3. Urgensi Keteladanan
Karakter adalah implementasi dari iman dalam segala bentuk perilaku. Cara yang
cukup efektif dalam pembentukan karakter adalah melalui keteladanan. Karakter
11 Zainuddin dkk, Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
hal 57. 12 Ibid, hal. 57.
23
yang baik tidak dapat dibentuk hanya dengan pelajaran, intruksi dan larangan, sebab
tabiat jiwa untuk menerima keutamaan itu tidak cukup dengan hanya seorang guru
mengatakan kerjakan ini dan jangan kerjakan itu. Menanamkan sopan santun
memerlukan pendidikan yang panjang. Pendidikan itu tidak akan sukses, tanpa
diiringi dengan pemberian contoh teladan yang baik dan nyata. Sebagaimana
dijelaskan oleh Abdullah Nashih Ulwah sebagai berikut:
Si anak, bagaimanapun besarnya usaha yang dipersiapkan untuk memenuhi
prinsip-prinsip kebaikan dan pokok-pokok pendidikan utama, selama ia
tidak melihat sang pendidik sebagai tauladan dan nilai-nilai moral yang
tinggi. Kiranya sangat mudah bagi pendidik untuk mengajari anak berbagai
materi pendidikan, tetapi teramat sulit bagi anak untuk melaksanakannya
ketika ia melihat orang memberikan pengarahan tidak mengamalkannya.13
Dari sini masalah keteladanan menjadi faktor penting baik dalam bidang
akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Guru sebagai pendidik hendaklah dapat
memberikan contoh yang baik dari dirinya sendiri, jangan hanya memberikan
pengarahan dan nasehat semata, sementara ia sendiri tidak mengamalkannya.
Dalam hal ini dijelaskan di dalam al-Qur`an:
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan.14
Dari ayat di atas jelas bahwa dalam memberikan pendidikan atau
mengarahkan seseorang itu hendaklah dimulai dari kita sendiri, sebelum kita
13 Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak, Jilid 2 (Semarang: Asy-Syifa`,
1981). hal. 2. 14 Q. S ash-Shaff ayat 3
24
menyuruh orang lain berbuat baik, hendaklah terlebih dahulu kita mengerjakan
kebaikan tersebut, sehingga pendidikan menjadi sukses.
4. Guru dan Orang Terdekat yang Menjadi Model Keteladanan Anak
atau Siswa
Keteladanan pendidik terhadap peserta didik merupakan kunci keberhasilannya
dalam mempersiapkan dan membentuk moral spiritual dan sosial anak. Hal ini
karena pendidik adalah figur terbaik dalam pandangan anak yang akan dijadikannya
sebagai teladan dalam mengidentifikasikan diri dalam segala aspek kehidupannya
atau figur pendidik tersebut terpatri dalam jiwa dan perasaannya dan tercermin
dalam ucapan dan perbuatannya.
Pendidik meneladankan kepribadian muslim, dalam aspeknya baik
pelaksanaan khas, maupun juga ibadah umum yaitu meneladankan kebersihan, sifat
sabar, kerajinan, transparansi, musyawarah, jujur, kerja keras, tepat waktu, tidak
berkata jorok, mengucapkan salam, senyum, dan seterusnya mencakup seluruh
gerak gerik dalam kehidupan sehari-hari yang telah diatur oleh Islam. Yang
meneladankan itu tidak hanya guru, melainkan semua orang yang kontak dengan
murid itu antara lain, guru (semua guru), kepala sekolah, pegawai, tata usaha, dan
segenap aparat sekolah.15.
15 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008), hal.
229
25
Sedangkan anak didik dapat memperoleh contoh bagi perilakunya melalui
pengamatan dan peniruan yang tepat guna dalam proses belajar mengajar, misalnya
seperti firman Allah:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
Sedangkan firman Allah yang kedua:
26
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim
dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada
kaum mereka: "Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada apa yang kamu
sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara
Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai
kamu beriman kepada Allah saja. kecuali perkataan Ibrahim kepada
bapaknya[1470]: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi
kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah".
(Ibrahim berkata): "Ya Tuhan Kami hanya kepada Engkaulah Kami
bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah Kami bertaubat dan hanya
kepada Engkaulah Kami kembali."
Dari ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi sering kali mengajarkan kepada
umatnya dengan prinsip memberikan model untuk ditiru atau untuk dijahui (tidak
ditiru) seperti perbuatan orang kafir atau musyrik. 16
Dari sinilah masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam hal
buruknya akhlak anak. Jika pendidik jujur dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani
dan menjauhkan diri dari perbuatan yang bertentangan dengan agama maka si anak
16 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 2011), hal. 150-151
27
akan tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia, keberanian dan
dalam sikap yang menjauhkan diri dari hal yang bertentangan dengan agama. Dan
jika pendidik itu bohong, khianat, durhaka, kikir, penakut dan hina maka si anak
akan tumbuh dalam hal kebohongan, khianat, kikir, penakut, dan hina.
Alasan peneladanan sangat efektif untuk internalisasi, karena murid secara
psikologis senang meniru, kedua karena sanksi-sanksi sosial, yaitu seseorang akan
merasa bersalah bila ia tidak meniru orang-orang di sekitranya. Dalam Islam
bahkan peneladanan ini sangat diistimewakan dengan menyebut bahwa Nabi itu
teladan yang baik. Nabi dan Tuhan menyatakan teladanilah Nabi. Dalam perintah
yang ekstrem disebutkan barang siapa yang menginginkan berjumpa dengan
Tuhannya hendaklah ia mengikuti Allah dan rasul-Nya.
Jika dikatakan pembelajaran agama Islam selama ini gagal pada bagian
keberagamaan, sangat mungkin guru agama dan para pendidik lainnya kurang
memperhatikan teori ini.17 semestinya guru agama lebih dapat melihat keadaan
sikap keagamaan siswa dilingkungan sekolah. Apabila seorang siswa terbukti
melanggar maka guru agama akan memanggil siswa yang menjadi
tanggungjawabnya. Kemudian dicarikan jalan penyelesaian dari masalah yang
sedang dihadapi siswa tersebut dari kenakalan siswa, maka guru agama baru akan
menyerahkan masalah ini kepada guru BK. Metode guru agama yang dapat
digunakan dalam interaksi dan untuk membantu mengkondusifkan di dalam kelas.
17 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008), hal.
230
28
Teladan yang baik haruslah diikuti oleh pikiran dan tingkah laku secara
bersamaan. Biasanya seorang anak atau siswa akan memfigurkan seseorang dan
akan dijadikannya sebagai pedoman dan tak jarang figur yang mereka idolakan
adalah orang yang paling dekat dengannya, misalnya karena ia dekat dengan orang
tuanya, maka apabila orang tuanya berbuat kebajikan, anak akan berbuat juga
kebajikan, namun apabila orang tua melakukan kesalahan ia pun akan meniru
kesalahan itu18
Jika sesorang guru ingin agar siswanya menjadi seorang yang berakhlak
baik, maka guru tersebut haruslah memberikan contoh yang baik pula. Karena
meniru adalah cara mendidik yang baik dan efektif untuk anak kecil dan dewasa,
terutama pada anak kecil terhadap orang tuanya.
Di sekolah figur guru merupakan pribadi kunci. Gurulah panutan utama bagi
anak didik. Semua sikap dan perilaku guru akan dilihat, didengar, dan ditiru oleh
anak didik. Ucapan guru dalam bentuk perintah dan larangan harus dituruti oleh
anak didik. Sikap dan perilaku anak didik berada dalam lingkaran tata tertib dan
peraturan sekolah. Guru mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk
mendidik anak dan mengarahkan anak didik agar menjadi manusia yang berilmu
pengetahuan di masa depan.19 Fungsi guru yang paling utama adalah memimpin
anak. Anak membawa mereka kearah tujuan yang tegas. Guru itu, disamping orang
tua, harus menjadi model atau suri tauladan bagi anak-anak mendapat rasa
18 Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta, Bumi Aksara, 2010),.hal. 141 19 Syaiful Sagala, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 105.
29
keamanan dengan adanya model itu dan rela menerima petunjuk maupun teguran
bahkan hukuman.20 Guru juga menjadi ukuran bagi norma-norma tingkah laku.21
Murid-murid memandang guru sebagai teladan utama bagi mereka, di mana
ia bercita-cita agar menjadi fotokopi dari gurunya. Ia akan mengikuti jejak akhlak,
ilmu, kecerdasan, keutamaan, dan semua gerak serta diam gurunya. Apabila hal ini
yang menjadi perhatian murid-murid terhadap guru mereka, maka seharusnyalah
guru menjadi ikutan yang baik bagi anak didik mereka. Sebagai contoh teladan yang
ideal, guru harus menyesuaikan dengan prinsip-prinsip yang diakui mereka dan
nilai-nilai yang mereka jelaskan, keutamaan-keutamaan yang mereka lukiskan, dan
apa-apa yang mereka gambarkan tentang teladan-teladan yang bersumber pada
akhlak mulia. Disamping itu hendaklah guru-guru merupakan gambar hidup yang
memantulkan keutamaan tingkah laku yang sebenarnya, yang biasa dianggap hebat
bila murid-murid dapat membiasakan diri dengan contoh-contoh tersebut sebagai
tingkah laku yang baik bagi dirinya dan sebagai syiar yang harus ditegakkan baik
secara lahir maupun secara batin.22
Teladan-teladan yang baik tersebut dimaksudkan agar murid-murid tidak
terjerumus kedalam situasi kontradiksi yang berbahaya dan pula agar mereka tidak
ragu-ragu serta mencampuradukkan antara hakikat dengan yang dipahaminya,
sehingga mereka tidak mampu membedakan mana yang benar dan salah.
20 Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan mengajar, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), hal. 124. 21 Moh Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011),
hal. 13. 22 Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2008), hal. 57.
30
5. Strategi Keteladanan
Strategi keteladanan dapat dibedakan menjadi:23
a. Keteladanan internal dapat dilakukan melalui pemberian contoh yang
dilakukan oleh pendidik sendiri dalam proses pembelajaran. Contoh:
dilakukan dengan cara mengawali dan mengakhiri setiap pembelajaran
dengan berdoa, pendidik senantiasa memberi contoh untuk disiplin
dalam beberapa hal seperti kebersihan ruang kelas, datang tepat waktu
dan memiliki komitmen terhadap kontrak belajar yang telah disepakati
bersama. Upaya lain melalui pemberian atau cerita tentang “pengalaman
religius” yang dialami oleh peserta didik.
b. Keteladanan eksternal dilakukan melalui: pemberian contoh-contoh
yang baik dari para tokoh yang dapat diteladani, baik dari tokoh lokal
maupun tokoh internasional. Contoh: menyajikan cerita tentang tokoh-
tokoh agama yang dijadikan sebagai teladan dalam meniti kehidupan.
Seperti Nabi Muhammad SAW, nabi-nabi lainnya, para sahabat, wali
23 Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 237-239.
31
songo, dan tokoh-tokoh penting lainnya baik di Indonesia maupun di
luar Indonesia. Selain itu dapat memutarkan film-film tokoh, seperti
laskar pelangi. Dari kisah-kisah yang disajikan melalui film ini peserta
dapat menarik hikmah yang bermanfaat untuk dirinya. Selain kisah
teladan, juga perlu diceritakan kisah-kisah yang menggambarkan
keteladanan untuk tidak ditiru seperti kisah pembangkangan setan
terhadap perintah Allah, maling kundang dan lain-lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa strategi keteladanan bisa diterapkan melalui
keteladanan internal maupun eksternal, karena keteladanan tidak hanya dari
seorang guru itu sendiri, tetapi bisa juga dari tokoh-tokoh yang patut ditiru
kepribadiannya.
6. Syarat-Syarat Model atau Keteladanan
Adapun syarat-syarat model atau keteladanan yang ditampilkan itu harus memenuhi
hal-hal sebagai berikut:
a. Pendidik harus menerangkan tentang aspek-aspek penting tingkah laku
yang sedang dijadikan model yang ditampilkan secara detail dan jelas
b. Anak didik harus merasa dan berkeyakinan bahwa model tersebut akan
memberikan keuntungan baginya
c. Model itu harus mengandung nilai tinggi di mata anak didik
d. Model tersebut tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan
anak didik
32
e. Model tersebut harus dapat dipergunakan untuk memberikan pendidikan
keterampilan teknik atau sosial.24
Jadi keteladanan tidak hanya serta merta diberikan kepada siswa, tetapi
harus ada syarat-syarat keteladanan itu. Sehingga proses keteladanan itu bermakna.
Kemudian mendidik karakter peserta didiknya karena ia telah menjalaninya
terlebih dahulu, dengan alasan:
Tidak mungkin guru menanamkan nilai-nilai tersebut kepada peserta
didiknya dengan baik tanpa terlebih dahulu ia menerapkan untuk dirinya
sendiri
Pendidikan budaya dan pendidikan karakter membutuhkan keteladanan dan
pembiasaan dari gurunya sehingga peserta didik dapat menjadikan dirinya
sebagai model yang dapat dicontoh dan ditiru
Ketika guru tidak menerapkannya terlebih dahulu dalam hidupnya, tidak
ada keteladanan, atau paling tidak nilai-nilai yang disampaikannya tidak
memiliki ruh dan tidak mungkin akan menyentuh hati nurani peserta didik.
Yang lebih parah adalah sang guru mendapat murka dari Allah, karena ia
mengatakan sesuatu yang tidak ia lakukan.25
Keteladanan bagi seorang pendidik adalah hal yang sangat penting dalam
proses pembentukan peserta didik yang berjiwa, berperasaan, dan berkepribadian
mulia, namun cerdas dan kreatif. Hal ini karena:26
24 Djamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung, Pustaka
Setia, 1998), hal. 121 25 Alpiyanto, Hypno Heart Teaching, (Jakarta, Multimedia Grafitama, 2011), hal. 243
26 Alpiyanto, Hypno Heart Teaching, (Jakarta, Multimedia Grafitama, 2011), hal. 215
33
Tak ada satupun yang berat dalam mendidik bila dilakukan dengan
keikhlasan
Tak ada yang tak mungkin bagi peserta didik untuk berprestasi bila ada
keyakinan yang kuat dari hati seorang pendidik untuk mengantarkan mereka
menjadi seorang berprestasi.
Tak ada kenakalan dan keterbelakangan mental yang tak dapat ditaklukkan
oleh kekuatan cinta kepada peserta didik
Tak ada hambatan psikologis dalam mendidik yang tak dapat dicairkan oleh
kasih sayang
Tak ada yang sulit yang tak dapat dipecahkan oleh ketulusan
Tak ada batu keras yang tak dapat dilobangi oleh kesabaran
Tak ada keluhan yang tak dapat diatasi oleh syukur
Tak ada beban batin dan sampah emosi yang tak dapat disembuhkan oleh
taubat dan memaafkan
Tak ada orang yang meremehkan bila rendah hati dan berintegritas
Tak ada kebencian yang tak dapat dijernihkan oleh kejujuran, tanggung
jawab, disiplin, amanah, memberi lebih dan berbuat yang terbaik. Jadi bila
34
keteladanan dilakukan dalam mendidik, maka keberkahan, kemudahan dan
kedamaian lahir dan batin yang sempurna akan datang dengan sendirinya.
Menurut Suwandi dalam buku Zubaedi pendekatan modeling, keteladanan
(uswah) yang dilakukan oleh guru lebih tepat digunakan dalam mendidik karakter
anak di sekolah. Hal ini mengingat karakter merupakan perilaku, bukan
pengetahuan sehingga untuk dapat diinternalisasi oleh peserta didik, maka harus
diteladankan bukan diajarkan.27
Dalam mendidik karakter sangat dibutuhkan sosok yang menjadi model.
Model dapat ditemukan oleh peserta didik di lingkungan sekitarnya. Semakin dekat
model pada peserta didik akan semakin mudah dan efektiflah mendidik karakter
tersebut. Peserta didik butuh contoh nyata, bukan hanya contoh yang tertulis dalam
buku apalagi contoh khayalan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Berk yang dikutip
oleh Sit Masganti, perilaku moral diperoleh dengan cara yang sama dengan respon-
respon lainnya, yaitu melalui modeling dan penguatan. Lewat pembelajaran
modeling akan terjadi internalisasi berbagai perilaku moral, prososial, dan aturan-
aturan lainnya untuk tindakan yang baik.28 Demikian pula menurut Social Learning
Theory yang dikutip oleh Nurchaili, perilaku manusia diperoleh melalui cara
pengamatan model, dari mengamati orang lain, membentuk ide dan perilaku-
perilaku baru, dan akhirnya digunakan sebagai arahan untuk beraksi. 29 sebab
27 Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 234-235. 28 Siti Masganti, Optimalisasi Kompetensi Moral Anak Usia Dini, dalam Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional, Vol. 16 No. ! Januari 2010). 29 Nurchaili, Membentuk Karakter Siswa Melalui Ketedanan Guru dalam Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional, Vol. 16 Edisi Khusus III,
Oktober 2010). Hal. 239.
35
seseorang dapat belajar dari contoh apa yang dikerjakan orang lain, sekurang-
kurangnya mendekati bentuk perilaku orang lain, dan terhindar dari kesalahan yang
dilakukan orang lain.
Mendidik tidak hanya mengajarkan tentang ilmu dan keterampilan semata,
melainkan juga tentang nilai-nilai. Mengajarkan nilia-nilai akan efektif bila
diajarkan melalui contoh dan keteladanan langsung dari pribadi para pendidiknya.
Banyak guru yang menyampaikan nilai-nilai dari apa yang ia tahu. Namun seorang
pendidik, menyampaikan dari apa yang dia lakukan, baik melalui pembelajaran
maupun melalui keteladanan hidup.30
Pendidik meneladankan kepribadian muslim, dalam aspeknya baik
pelaksanaan khas, maupun juga ibadah umum yaitu meneladankan kebersihan, sifat
sabar, kerajinan, transparansi, musyawarah, jujur, kerja keras, tepat waktu, tidak
berkata jorok, mengucapkan salam, senyum, dan seterusnya mencakup seluruh
gerak-gerik dalam kehidupan sehari-hari yang telah diatur oleh Islam. Yang
meneladankan itu tidak hanya guru, melainkan semua orang yang kontak dengan
murid itu antara lain, guru (semua guru), kepala sekolah, pegawai, tata usaha, dan
segenap aparat sekolah. 31
30 Alpiyanto, Hypno Heart Teaching, (Jakarta, Multimedia Grafitama, 2011), hal. 227-228.
31 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hal.
229.
36
Jadi keteladanan yang dilakukan pendidik di sekolah sangatlah penting dan
bermanfaat dalam mendidik karakter siswa, yang didalamnya tidak hanya
terkandung ilmu dan keterampilan semata, tetapi juga mengandung nilai-nilai.
B. HAKIKAT KARAKTER SISWA
1. Pengertian Karakter
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah karakter berarti sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain,
tabiat, dan watak.32 Bila dilihat dari asal katanya, istilah “karakter” berasal dari
bahasa Yunani karasso, yang berarti “cetak biru” “ format dasar” atau “sidik”
seperti sidik jari.33 Pendapat lain menyatakan bahwa istilah “karakter” berasal dari
bahasa Yunani charassein, yang berarti “membuat tajam” atau “membuat dalam”.34
Pakar psikolog mendefinisikan karakter sebagai sifat, watak, atau tabiat
seseorang yang dimiliki sejak lahir dan merupakan sesuatu yang membedakan
setiap individu. Sedangkan Heraclitus seorang filosuf yang dikutip dalam buku
Rahmat Rosyadi berpendapat bahwa karakter diartikan sebagai pembentuk nasib,
bahkan karakter yang baik akan menentukan nasib bangsa. Karakter juga
didefenisikan sebagai pembawaan dari dalam yang dapat digunakan untuk
membentuk tingkah laku, sikap, dan tabiat yang benar.35
32 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 623. 33 Doni Koesomo, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global,(Jakarta: Grasindo, 2007), hal. 11. 34 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal. 392. 35Rahmat Rosyadi, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini,
(Jakarta, Rajawali Press, 2013). Hal. 13-14
37
Menurut Ekowarni, karakter diartikan kualitas dan kuantitas reaksi terhadap
diri sendiri, orang lain maupun situasi tertentu, dan watak, akhlak, dan ciri
psikologis.36 Sedangkan menurut Leonardo A. Sjiamsuri yang dikutip oleh Anita
Yus, karakter merupakan siapa anda sesungguhnya dan karakter sebagai identitas
yang dimiliki seseorang yang bersifat menetap sehingga seseorang atau sesuatu itu
berbeda dari yang lain.37 Pendapat lain dalam buku Abu Ahmadi, karakter adalah
sifat-sifat yang berhubungan dengan nilai-nilai, misalnya jujur, pembohong, rajin,
pemalas, pembersih, penjorok, dan sebagainya. Sifat-sifat ini bukan bawaan lahir,
tetapi diperoleh setelah lahir, yaitu hasil dari kebiasaan sejak dari kecil, pengaruh
lingkungan sejak kecil, dan pendidikan38
Jadi karakter adalah tingkah laku seseorang yang mencerminkan akhlak
yang dimiliki sejak lahir dan bersifat menetap.
2. Karakter Yang Baik
Karakter tampak dalam kebiasaan. Karena itu, seseorang dikatakan berkarakter baik
manakala dalam kehidupan nyata sehari-hari memiliki tiga kebiasaan, yaitu
memikirkan hal yang baik (habits of mind), menginginkan hal yang baik (habits of
heart), dan melakukan hal yang baik (habits of action).39
Substansi (isi) dari karakter yang baik adalah kebajikan. Kebajikan adalah
kecendrungan untuk melakukan tindakan yang baik menurut sudut pandang moral
36 Anik Ghufron, “ Integrasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa Pada Kegiatan Pembelajaran”
dalam Cakrawala Pendidikan, (Yogyakarta: Edisi Khusus Dies Natalis UNY, 2010), hal. 14. 37 AnitasYus, Pengembangan Karakter Melalui Hubungan Anak-Kakek-Nenek, Tinjauan
Berbagai Aspek Chacter Building, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hal. 91. 38 Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 159. 39 Thomas Lickona, Character Matters, (New York: Somon And Schuster, 2004), hal. 51
38
universal. Misalnya keadilan, kejujuran, dan kerendahan hati. Tindakan macam itu
lazimnya dilakukan oleh orang yang memiliki kualitas-kualitas yang secara objektif
baik (kualitas-kualitas itu diakui dan dijunjung oleh agama-agama dan masyarakat
beradab di segenap penjuru dunia) maupun secara intristik baik (kualitas-kualitas
itu merupakan tuntutan dari hati manusia yang beradab). 40
Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama
berdasarkan pilar: kedamaian, mengharagai, kerja sama, kebebasan, kebahagiaan,
kejujuran, kerendahan hati, kasih sayang, tanggungjawab, kesederhanaan, toleransi,
dan persatuan.
Jadi dapat disimpulkan karakter baik adalah nilai hidup berupa kebajikan-
kebajikan yang diterapkan dalam kehidupan oleh orang yang memiliki kualitas diri
yang baik.
3. Proses Pembentukan Karakter
Proses pembentukan karakter anak atau siswa merupakan sebuah eksplorasi
terhadap nilai-nilai universal yang berlaku dimana, kapan, oleh siapa, dan terhadap
siapa saja tanpa mengenal etnis, sosial, budaya, warna kulit, paham politik dan
agama yang mengacu kepada tujuan dasar kehidupan.41
Membentuk karakter anak agar berperilaku dan bertindak baik sehingga
berguna bagi masyarakat, negara, dan bangsa memang bukan pekerjaan yang
mudah dalam waktu sekejap mata, melainkan memerlukan proses yang
40 Ibid, hal. 7. 41 Rahmat Rosyadi, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini,
Jakarta, Rajawali Press, 2013). Hal. 15
39
berkesinambungan dan merupakan suatu upaya yang tiada terhenti. Karena dimasa
mendatang diperlukan anak-anak yang cerdas, mempunyai karakter baik,
berkepribadian mantap, mandiri, disiplin, memiliki etos kerja tinggi sangat
dibutuhkan oleh tuntutan zaman untuk memasuki era globalisasi yang penuh
persaingan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. 42
Dalam kehidupan seseorang pasti melalui bermacam-macam pengalaman
lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat yang paling luas. Keseluruhan
pengalaman ini termasuk didalamnya segala bentuk pendidikan yang diterima dan
pada akhirnya akan mempengaruhi kesadaran moral dan karakter anak. Para pakar
pendidikan dan psikolog berpendapat, bahwa karakter dapat dibentuk melalui
pendidikan, peneladanan, dan pola asuh pada tiga lingkungan pendidikan yang
sangat mempengaruhi perkembangan karakter seseorang. Tiga lingkungan
pendidikan itu adalah: 43
Pembentukan Karakter Melalui Keluarga.
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dimana anak mulai
mengembangkan diri sebagai makhluk sosial. Kehidupan keluarga, dengan segala
macam tingkah laku dan pergaulan orang tua ataupun anggota keluarga yang lain
akan menjadi contoh bagi anak, terutama anak-anak dibawah umur enam tahun.44
Pengalaman anak dalam keluarga merupakan dasar bagi perkembangan
tingkah laku kelak, termasuk tingkah laku moral dan akhlak. Penanaman nilai-nlai
42 Ibid, . hal. 15. 43 Ibid, hal. 16 44 Ibid, hal. 16
40
agama di lingkungan keluarga seharusnya dilakukan sejak dini, dengan jalan
membiasakan anak pada aturan-aturan dan sifat-sifat yang baik, sesuai dengan taraf
perkembangan anak. 45
Makin banyak keluarga yang tidak berfungsi sebagai tempat terbaik bagi
anak-anak untuk mendapatkan pendidikan karakter. Itulah sebabnya amat baik bila
sekolah menyelenggarakan pendidikan karakter. Bahkan, sekolah terus berupaya
menjadikan dirinya sebagai tempat terbaik bagi kaum muda untuk mendapatkan
pendidikan karakter.
Ada empat alasan mendasar mengapa sekolah pada masa sekarang perlu
lebih bersungguh-sungguh menjadikan dirinya tempat terbaik bagi pendidikan
karakter.
a. Karena banyak keluarga (tradisional maupun non tradisional) yang tidak
melaksanakan pendidikan karakter
b. Sekolah tidak hanya bertujuan membentuk anak yang cerdas, tetapi juga
anak yang baik
c. Kecerdasan seorang anak hanya bermakna manakala dilandasi dengan
kebaikan
d. Karena membentuk anak didik agar berkarakter tangguh bukan sekedar
tugas tambahan bagi guru, melainkan tanggung jawab yang melekat pada
perannya sebagai seorang guru. 46
45 Ibid, hal. 17 46 Saptono, Dimensi-Dimensi Pendidikan Karakter, (Erlangga: Salatiga, 2011), hal.. 24
41
Pembentukan Karakter Melalui Sekolah
Sekolah merupakan salah satu lingkungan sosial yang dibutuhkan anak. Sekolah
berfungsi memperluas kehidupan sosial anak, tempat anak belajar menyesuaikan
diri terhadap bermacam-macam situasi. Perkembangan moral dan spiritual
seseorang berjalan seiring dengan perkembangan kognitifnya. Oleh karena itu,
sekolah sebagai wahana perkembangan kognitif anak sangat penting artinya dalam
pembentukan karakter.47
Sekolah menyediakan pengasuhan dan kasih sayang bagi pertumbuhan
moral anak. Orang dewasa lain dapat berperan sebagai sosok yang dapat diandalkan
dalam membentuk karakter anak adalah guru. Karakter guru seringkali menjadi
perhatian murid. Perilaku dan sikap guru dalam menciptakan suasana tertentu di
dalam kelas dapat mempengaruhi pertumbuhan moral murid.48 Selain guru,
lingkungan sekolah juga memungkinkan anak belajar dengan sesama temannya.
Anak belajar menerima dan menjalankan norma-norma yang dituntut oleh
masyarakat. Biasanya seorang anak akan berusaha mengaktualisasikan dirinya di
antara teman-teman dan gurunya. Kegiatan yang dilakukannya akan lebih banyak
ke arah mencoba-coba untuk mencari jati diri. Dengan demikian, lingkungan
sekolah adalah tempat pembentukan karakter seseorang yang sifatnya eksploratif.
49
47 Rahmat Rosyadi, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini,
(Jakarta: Rajawali Press, 2013), hal. 18 48 Ibid, hal. 18 49 Ibid, hal. 18
42
Guru dan teman-teman di sekolah sangat mempengaruhi perkembangan
tingkah laku anak. Sekalipun hubungan antar murid memberi pengaruh yang tidak
sedikit, pribadi gurulah yang biasanya menjadi tokoh yang ditiru oleh anak karena
pribadi guru merupakan pengganti orang tua. Dengan demikian, guru diharapkan
secara langsung dapat membimbing dan mengarahkan tingkah laku anak terhadap
hal-hal yang terpuji.50
Pendidikan agama di sekolah fungsinya dalam pembentukan jiwa
keagamaan pada anak, antara lain pelanjut pendidikan agama dilingkungan
keluarga. Pendidikan di sekolah sangatlah penting untuk membina dan
menyempurnakan serta menumbuhkan kepribadian anak didik, karena pendidikan
agama sangat menentukan kepribadian anak tersebut. Pendidikan agama adalah
membentuk jiwa agama dan kepribadian anak didik dengan cara diberikan
kesadaran, pemahaman kepada adanya Tuhan, lalu dibiasakan melakukan perintah
Tuhan, dan meninggalkan larangan-Nya sehingga menjadi muslim yang beriman
dan bertakwa kepada Allah, serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi,
masyarakat, berbangsa, dan bernegara.51
Pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan
pada anak sangat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan
ketiga proses. Pertama, pendidikan agama yang diberikan harus dapat menarik
perhatian peserta didik. Untuk menopang pencapaian itu, maka guru agama harus
50 Ibid, hal. 19
51 Rohmalina Wahab, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hal. 216-
217
43
dapat merencanakan materi, pendekatan, metode serta alat-alat bantu yang
memungkinkan anak-anak memberikan perhatiannya. Kedua, para guru agama
harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi
pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika
pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Jadi,
tidak terbatas pada kegiatan yang bersifat hapalan semata. Ketiga, penerimaan
siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan ini sangat
tergantung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi
kehidupan anak didik.52
Pembentukan Karakter Melalui Masyarakat
Setiap lingkungan masyarakat dimana anak menetap biasanya mempunyai norma-
norma tertentu yang sangat mempengaruhi siapa dan perilaku dari anggota
masyarakatnya. Pergaulan di luar lingkungan keluarga dan sekolah, anak sering
mementingkan nilai-nilai dan norma-norma teman sebayanya. Sifat, sikap dan
perilaku yang disenangi temannya akan dipraktikkan meskipun hal tersebut tidak
disenangi orang tuanya.53
52 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007). hal. 257.
53 Rahmat Rosyadi, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini,
(Jakarta, Rajawali Press, 2013). hal. 19.
44
Pada kelompok masyarakat tertentu, utamanya di kalangan remaja,
lingkungan masyarakatnya sangat berperan. Pada masa ini, lingkungan rumah dan
sekolah dirasakan sangat sempit dan kurang memenuhi kebutuhan anak. 54
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pembentukan karakter anak harus dimulai
sejak dini, yang bisa didapatkan dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Sehingga dapat mempengaruhi kesadaran moral dan karakter anak.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Karakter
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan karakter pada khususnya dan
pendidikan pada umumnya. Faktor-faktor dipengaruhi tiga aliran pendidikan,
yaitu:55
a. Aliran nativisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap
pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang
bentuknya dapat berupa kecendrungan, bakat, akal, potensi, dan lain-lain.
b. Aliran empirisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap
pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial,
termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan.
c. Aliran konvergensi berpendapat pembentukan karakter dipengaruhi faktor
internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu pembinaan dan
54 Ibid, hal. 19 55 Abudin Nata, Akhalak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Rajawali Press, 2014),
hal. 143.
45
pendidikan yang dibuat secara khusus atau melalui interaksi dalam
lingkungan sosial.
Aliran yang ketiga, yakni aliran konvergensi itu tampak sesuai dengan
ajaran Islam. Hal ini dapat dipahami dri ayat dan hadist berikut:
dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati, agar kamu bersyukur.56
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk
dididik, yaitu penglihatan, pendengaran, dan hati sanubari. Potensi tersebut harus
disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan.
Kesesuaian teori konvergensi tersebut di atas, juga sejalan dengan hadist
Nabi yang berbunyi:
56 Al-Nahl : 78
46
“setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (membawa) fitrah (rasa
ketuhanan dan kecendrungan kepada kebenaran), maka kedua orang
tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau
Majusi”57
Ayat dan hadist tersebut di atas selain menggambarkan adanya teori
konvergensi juga menunjukkan dengan jelas bahwa pelaksanaan utama dalam
pendidikan adalah kedua orang tua, dan faktor-faktor yang mempengaruhi karakter
anak tidak hanya dari dalam diri anak saja, tetapi faktor dari luar pun ikut
mempengaruhi.
5. Strategi Mendidik Karakter
Strategi mendidik karakter menurut Al-Qur`an dan hadist menggunakan seluruh
peluang dan kemungkinan yang sejalan dengan fitrah manusia, yaitu:
a. Memadukan antara teori (kognitif), penghayatan (afektif), dan pengalaman
(psikomotorik)
b. Menggunakan pilar rumah tangga, sekolah, dan masyarakat
c. Menggunakan pendekatan secara langsung menjauhi yang buruk
57 HR. Bukhari.
47
d. Menggunakan pendekatan secara tidak langsung dan integrated dengan
seluruh ajaran Islam
e. Menggunakan pendekatan pemberian contoh (teladan) yang baik,
pembiasaan, pengarahan, pembimbingan
f. Menggunakan ganjaran dan sanksi
g. Menggunakan pendekatan empiris, filosofis, dan sufistik.58
Dapat diambil pembelajaran bahwa strategi dalam mendidik karakter tidak
hanya melalui pendekatan-pendekatan saja terkhusus pendekatan keteladanan,
tetapi bisa juga dengan ganjaran, sanksi, dan memadukan antara kognitif, afektif,
dan psikomotorik.
6. Sumber Karakter
Sumber karakter (akhlak) menurut Islam adalah hidayah. Adapun hidayah tersebut
terbagi menjadi tiga, yaitu:
a. Naluri. Ada manusia yang seluruh perjalanan hidupnya dihabiskan dengan
melakukan segala sesuatu yang tujuannya hanya memenuhi keperluan
nalurinya saja. Misalnya: aktivitas yang dikerjakan sejak bangun tidur
secara rutin seperti makan, bekerja untuk cari makan, istirahat, dan lain-lain.
58 Abudin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, ( Jakarta: Rajawali Press, 2013), hal.
177-178.
48
b. Akal. Manusia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari binatang
karena adanya akal yang bermanfaat bagi sesama. Artinya orang tersebut
telah mendapat hidayah aqliyah.
c. Agama. Hidayah ini lebih tinggi dari hidayah lain. Orang berakhlak
beragama, pada hakikatnya mendapat pengakuan kebaikan akhlaknya.59
Berdasarkan teori di atas, memang benar bahwa sumber karakter itu dari
naluri atau jiwa manusia, akal pikiran, dan agama yang dipelajari dan didapatkan
berupa hidayah.
7. Metode Pembinaan Karakter (Akhlak)
Pembinaan karakter merupakan tumpuan pertama dalam Islam. Hal ini dapat dilihat
dari salah satu misi kerasulan Nabi Muhammad SAW, yang utama adalah
menyempurnakan akhlak yang mulia. Dalam salah satu hadisnya beliau
menegaskan “ innama buitstu li utammima makari al-akhlaq ( hanya saja aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia).60
Adapun metode pembinaan karakter (akhlak) dalam Islam, yaitu:61
59 Tim Dosen Pendidikan Agama Islam UGM, Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta:
Filsafat UGM, 2006), hal. 265-266. 60 HR. Ahmad. 61 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 164-166.
49
a. Cara atau sistem integrated yaitu sistem yang menggunakan berbagai sarana
peribadatan dan lainnya secara simultan untuk diarahkan pada pembinaan
akhlak
b. Pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan berlangsung secara kontinyu.
Berkenaan dengan ini Imam al-Ghazali mengatakan bahwa kepribadian
manusia itu pada dasarnya dapat menerima segala usaha pembentukan
melalui pembiasaan.62
c. Cara paksaan yang lama kelamaan tidak lagi terasa dipaksa.
d. Cara lain yang tak kalah ampuh dalam hal pembinaan karakter adalah
melalui keteladanan.
e. Cara lain senantiasa menganggap diri ini sebagai yang banyak
kekurangannya daripada kelebihannya. Dalam hal ini Ibn Sina mengatakan
jika seseorang menghendaki dirinya berakhlak utama, hendaknya ia lebih
dahulu mengetahui kekurangan dan cacat yang ada dalam dirinya, dan
membatasi sejauh mungkin untuk tidak berbuat kesalahan, sehingga
kecacatannya itu tidak terwujud dalam kenyataan.63
f. Pembinaan akhlak secara efektif dapat pula dilakukan dengan
memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina.
62 Imam Al-Ghazali, Kitab al-Arba in fi Ushul al-Din (Kairo: Maktabah al-Hindi, t.t), hal.
190-191. 63 Ibn Sina, Ilmu Akhlak, (Mesir: Dar al-Marif, t, t), hal. 202-203.
50
Metode pembinaan karakter di atas sangat penting, tetapi ada tahapan-
tahapannya yaitu: terlebih dahulu harus memperhatikan faktor kejiwaan sasaran
yang akan dibina, kemudian pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan
berlangsung secara kontinyu, pembinaan melalui sarana peribadatan, melalui
pendekatan keteladanan, dengan cara paksaan, menganggap diri banyak
kekurangan.
8. Nilai-Nilai Dasar Karakter
Penanaman nilai-nilai agama dalam pembentukan karakter manusia sangat penting
dan amat strategis supaya anak mempunyai sikap dan perilaku positif. Adapun
nilai-nilainya, yaitu: keimanan, ketakwaan, kejujuran, tenggang rasa, bersyukur,
berperilaku rajin, kesalehan, ketaatan, suka menolong, sikap peduli, disiplin, sopan
santun, kesabaran, kasih sayang, gotong royong, empati, kedekatan, sikap adil,
sikap pemaaf, kesetiaan, pengorbanan, tanggung jawab, rasa aman, sikap tanggap,
bersikap tabah, berperilaku sehat, bersikap teguh, percaya diri, bersikap luwes,
bersikap bangga, kreatif, kerjasama, perilaku hemat, bersikap teliti, bersikap ulet,
perilaku bersih.64
Menurut Suyanto dalam buku Zubaedi, terdapat sembilan karakter yang
berasal dari nilai-nilai luhur universal manusia, yaiu:
64 Rahmat Rosyadi, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini,
(Jakarta, Rajawali Press, 2013), hal 38-94.
51
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
2. Kemandirian dan tanggungjawab
3. Kejujuran / amanah
4. Hormat dan santun
5. Dermawan, suka tolong menolong, dan gotong royong
6. Percaya diri dan pekerja keras
7. Kepemimpinan dan keadilan
8. Baik dan rendah hati
9. Toleransi, kedamaian, dan kesatuan65
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai karakter adalah nilai-nilai
kebajikan yaitu kejujuran, sopan santun, baik, rendah hati, dan lain-lain.
C. HAKIKAT JUJUR
1. Pengertian Jujur
Jujur adalah memperoleh kepercayaan dari orang lain dengan melaporkan dan
menyampaikan sesuatu apa adanya. Dengan ciri-cirinya adalah kemampuan
seseorang untuk mengatakan yang sebenarnya diminta atau tidak diminta tanpa
kepentingan apa pun.
Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pihak lain. Jujur merujuk
65 Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 80-81.
52
pada suatu karakter moral yang mempunyai sifat-sifat positif dan mulia seperti
integritas, penuh kebenaran, dan lurus sekaligus tiadanya bohong, curang, ataupun
mencuri. Jujur juga bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang
ada.66 kejujuran adalah memperoleh kepercayaan dari orang lain dengan
melaporkan dan menyampaikan sesuatu apa adanya.67 Kejujuran adalah salah satu
prinsip yang harus dipegang setiap orang, tidak hanya penting bagi pelajar, santri
maupun mahasiswa. Sebab kejujuran amat berharga bagi diri sendiri, masyarakat,
umat, ataupun bangsa. Dalam pergaulan masyarakat, kejujuran akan mendatangkan
kedamaian, ketenangan batin, bahkan kebahagiaan bagi seseorang.68
Jadi dapat disimpulkan kejujuran adalah salah satu sifat terpuji yang harus
dimiliki oleh semua manusia, sehingga dia dipercaya dalam perkataan, tindakan,
dan pekerjaan baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pihak lain.
2. Cara Menerapkan Kejujuran
Jujur merupakan salah satu dari empat sifat Rasulullah SAW, yang selalu
diupayakan terhadap siapa saja, dimana pun dalam segala hal. Sifat kejujuran perlu
ditanamkan oleh orang tua terhadap anak-anak kita sejak usia dini dalam keluarga,
sekolah maupun di masyarakat. Hilangnya sifat kejujuran akan menimbulkan saling
66 Muhammad Mustari, Nilai Karakter Refleksi Untuk Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2014), hal. 11-12. 67 Rahmat Rosyadi, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini,
(Jakarta, Rajawali Press, 2013), hal 41 68 Ibnu Burdah, hal 48.
53
curiga di antara kita, sehingga membuat hidup tidak tentram. Kejujuran harus
bersifat utuh, tidak bisa sebagian atau sementara. Menerapkan kejujuran dari
orangtua terhadap anak-anak sebaiknya dilakukan dengan enam cara: peneladanan,
penyontohan, keterlibatan, penguatan, kebersamaan, dan membicarakannya. 69
salah satu sifat yang paling diperlukan dalam ilmu pengetahuan ialah kejujuran
yang berdasarkan penyelidikan yang diteliti. 70
Di sekolah, murid-murid itu berbuat jujur apabila:
1. Menyampaikan sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
2. Bersedia mengakui kesalahan, kekurangan ataupun keterbatasan diri
3. Tidak suka mencontek
4. Tidak suka berbohong
5. Tidak memanipulasi fakta / informasi
6. Berani mengakui kesalahan.71
Untuk menegakkan kejujuran di sekolah. Guru dapat membuat peraturan
yang dapat mengurangi, bahkan meniadakan ketidakjujuran. Disiplin sekolah
menjadi penting disini untuk mendukung pendidikan kejujuran.
Kehancuran terkait erat dengan karakter dan sikap mental seseorang,
masyarakat, atau bangsa. Pribadi yang curang, culas, penipu tidak akan hidup
mudah di zaman yang segala gampang diketahui seperti di masa sekarang ini.
69 Rahmat Rosyadi, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini,
(Jakarta, Rajawali Press, 2013), hal 42
70 Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, (Jakarta, Rineka Cipta, 2009), hal. 270 71 Muhammad Mustari, Nilai Karakter Refleksi Untuk Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2014), hal. 16.
54
Contoh dalam kehidupan sehari-hari dan bukti yang nyata kita dapati seorang yang
jujur dalam bermuamalah dengan orang lain, rezekinya lancar-lancar saja, orang
lain berlomba-lomba datang bermuamalah dengannya, karena merasa tenang
bersamanya dan ikut mendapatkan kemuliaan dan nama yang baik. Dengan begitu
sempurnalah baginya kebahagiaan dunia dan akhirat. Tidaklah kita dapat seorang
yang jujur, melainkan orang lain senang dengannya, memujinya. Baik teman
maupun lawan merasa tentram dengannya. Berbeda dengan pendusta. Kemudian
orang yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak dan juga rahasia-rahasia.
Kalau kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan kejujuranya dengan izin
Tuhan akan dapat menyelamatkannya. Alangkah indahnya ucapan seorang yang
jujur dan alangkah buruknya ucapan seorang pendusta.
Jadi tidak jauh-jauh cara menerapkan kejujuran kembali lagi dengan
pendekatan keteladanan, sehingga dapat disimpulkan secara teori dan aplikatif
pendekatan keteladanan dapat membentuk karakter siswa semakin baik terkhusus
kejujurannya.