26
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Bank Syariah 2.1.1 Definisi Bank Syariah Beberapa pendapat mengenai definisi bank syariah, yaitu : 1. Menurut UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah adalah : Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 2. Menurut Muhammad (2005 : 1), bank syariah adalah : Bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank islam atau biasa disebut bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan perbankan yang operasional produknya dikembangkan berlandaskan pada Al.Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW. 3. Menurut Harahap, Wiroso dan Yusuf (2010 : 5), bank syariah adalah : Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Dengan kata lain bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prisnip syariat islam dan tidak mengandalkan pada bunga. 12

BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

  • Upload
    vukhue

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Bank Syariah

2.1.1 Definisi Bank Syariah

Beberapa pendapat mengenai definisi bank syariah, yaitu :

1. Menurut UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank

Syariah adalah :

Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

2. Menurut Muhammad (2005 : 1), bank syariah adalah :

Bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank islam atau biasa disebut bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan perbankan yang operasional produknya dikembangkan berlandaskan pada Al.Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW.

3. Menurut Harahap, Wiroso dan Yusuf (2010 : 5), bank syariah

adalah :

Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Dengan kata lain bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha

pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas

pembayaran yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prisnip

syariat islam dan tidak mengandalkan pada bunga.

12

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

13

Tujuan bank syariah adalah untuk menunjang pelaksanaan

pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan,

dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

2.1.2 Landasan Hukum Bank Syariah

Menurut Sofyan, Wiroso dan Yusuf (2010:12):

Mulai tahun 2008 perbankan syariah di Indonesia memiliki Undang-undang tersendiri, yaitu Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

2.1.3 Karakteristik Bank Syariah

Menurut Antonio (2010 : 34) karakteristik dari bank syariah adalah :

1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja. 2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa 3. Profit dan falah oriented 4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan. 5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan

fatwa Dewan Pengawas Syariah.

2.1.4 Prinsip Bank Syariah

Menurut Gunadarma (2010), Prinsip syariah adalah :

Aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.

Menurut Sofyan, Wiroso dan Yusuf (2010:6), dalam undang-undang

perbankan syariah nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah :

Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

14

2.1.5 Kegiatan Usaha Bank Syariah

Menurut Zulkifli (2007:61), Secara umum, keseluruhan transaksi di

perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yakni :

1. Produk pembiayaan. Produk-produk yang tergabung disini adalah produk yang bertujuan utnuk membiayai kebutuhan masyarakat.

2. Produk dana. Produk-produk yang tergabung disini adalah produk yang bertujuanuntuk menghimpun dana masyarakat.

3. Produk jasa. Produk-produk yang tergabung disini adalah produk yang dibuat untuk melayani kenbutuhan masyarakat yang berbasis pendapatan tanpa exposue pembiayaan.

Menurut Undang-undang RI No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah, dalam menjalankan usahanya, baik dari segi penghimpunan dan

penyaluran dana, bank syariah mempunyai beberapa prinsip operasional yaitu

:

1. Penghimpunan Dana:

Dana yang ditempatkan nasabah di Bank Syariah dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah dan Nasabah yang bersangkutan.

a. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

b. Tabungan adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.

c. Deposito adalah Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan Akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah dan/atau UUS.

d. Giro adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

15

dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan.

e. Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

2. Penyaluran Dana

Dalam Penyaluran dana pada nasabah, secara garis besar pembiayaan bank syariah terbagi dalam kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu:

a. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memilih barang yang dilakukan dengan prinsip jual beli. Prinsip jual beli adalah suatu prinsip yang menerapkan tata cara jual beli. Dalam prinsip ini, bank mengangkat nasabah sebagai agen untuk melakukan pembelian barang atas nama bank.

b. Selanjutnya bank menjual barang tersebut kepada nasabah lain dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan bagi bank. Prinsip ini bisa disebut dengan sistem mark up yakni semacam biaya bank yang diperhitungkan secara lum sum dalam bentuk nominal di atas nilai kredit yang diterima nasabah penerima kredit dari bank.

c. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk usaha kerja sama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa dengan prinsip bagi hasil. Prinsip bagi hasil adalah suatu prinsip yang meliputi tata kerja pembagian hasil usaha antara pemodal dan pengelola dana, pembagian hasil usaha dapat terjadi antara nasabah dengan bank. Hasil usaha bank yang dibagikan kepada nasabah penyimpan dana adalah laba usaha bank yang dihitung selama periode tertentu, sedangkan hasil usaha nasabah penerima dana yang dibagikan dengan bank adalah laba yang dihasilkan nasabah penerima dana dari salah satu usahanya yang secara utuh dibiayai oleh bank.

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

16

2.2 Pembiayaan Dalam Sistem Syariah

2.2.1 Pengertian Pembiayaan

Pengertian pembiayaan berdasarkan Undang-Undang No.7 pasal 1

ayat 12 tahun 1992 :

Pembiayaan berdasarkan syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

Pembiayaan berdasarkan Undang-Undang No.21 pasal 1 ayat 4

tahun 2008 tentang perbankan syariah :

Pembiayaan dapat berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa-menyewa, transaksi jual beli, transaksi pinjam meminjam, dan transaksi sewa-menyewa jasa (multi jasa). Pembiayaan menurut Wiroso (2005:52) :

Kegiatan pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen/nasabah dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen/nasabah.

Pembiayaan dalam sistem syariah mempunyai peranan sebagai

manager investasi, wakil atau pemegang amanat (custodian) dari pemilik

dana atas investasi di sektor riil, sehingga seluruh keberhasilan dan resiko

di dunia usaha atau pertumbuhan ekonomi secara langsung didistribusikan

kepada pemilik dana sehingga terjalin hubungan yang harmonis. Modus ini

menghindarkan terjadinya gap antara sumber dana dengan investasi

(saving-investment gap) sehingga menciptakan landasan pertumbuhan yang

kuat.

Bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah tidak dikenal istilah

bunga dalam memberikan jasa kepada penyimpan maupun peminjam,

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

17

bunga pada perbankan syariah adalah riba dan hal tersebut diharamkan

dalam Islam, seperti yang terdapat dalam QS AL-Baqarah :277-278:

”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman,”Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiya.”

Adapun pengertian riba secara bahasa bermakna ziyadah

(tambahan). Dalam pengertian lain secara linguisti, riba juga berarti

tumbuh dan membesar. Secara umum ekonom muslim/ulama menegaskan

bahwa riba merupakan pengambilan tambahan yang harus dibayarkan, baik

dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam yang bertentangan

dengan prinsip syariah. Dengan kata lain riba adalah:

“Penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam pokok sebagai imbalan karena menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu.”

Dalam ajaran agama Islam tata cara bermuamalat harus mengikuti

perintah dan larangan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-sunnah.

Penekanan dalam pelarangan tersebut terutama berkaitan dengan praktek-

praktek yang mengandung dan dapat menimbulkan riba. Pelarangan

mengenai riba ini didasarkan pada firman Allah SWT dan sabda Rasulullah

Muhammad SAW sebagai berikut :

“ Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena meraka berkata bahwa jual beli sama denga riba. Padahal Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah)

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

18

kepada Allah SWT. Barang sipa yang mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.”

2.2.2 Jenis-jenis Pembiayaan

Menurut Yusak Laksmana (2009:42), pembiayaan di bank syariah

terbagi atas beberapa jenis berdasarkan bentuk akadnya. Namun, secara

umum ada 3 jenis dasar transaksi pembiayaan di bank syariah, yaitu :

1. Pembiayaan Jual-Beli. Kata kunci dari pembiayaan jual-beli adalah adanya barang yang diperjual-belikan. Dalam pembiayaan jual-beli bank bertindak sebagai penjual dan nasabah bertindak sebagai pembeli. Pembiayaan ini terdiri dari 3 macam, yaitu: murabahah, salam dan istishna.

2. Pembiayaan Sewa-Menyewa. Pengertian pembiayaan sewa-menyewa dapat didefinisikan sebagai transaksi terhadap penggunaan manfaat suatu barang dan jasa dengan pemberian imbalan. Jenis pembiayaan ini terdiri dari ijarah dan ijarah muntahiyah bitamlik.

3. Pembiayaan Bagi Hasil. Dalam pembiayaan dengan pola bagi hasil, bank dan nasabah akan bekerja sama dalam suatu usaha, bank sebagai lembaga keuangan akan terlibat dalam permodalan dan nasabah sebagai pelaku kegiatan ekonomi akan terlibat sebagai pelaksana usaha. Pembiayaan Bagi Hasil terbagi menjadi dua, yaitu Musyarakah dan Mudharabah.

Namun dalam hal ini penulis hanya membahas mengenai pembiayaan jual-beli murabahah.

2.3 Pembiayaan Jual Beli Murabahah

Transaksi saat ini yang paling banyak dilakukan oleh bank syariah baik umum

syariah maupun cabang syariah bank konvensional maupun Bank Perkreditan Rakyat

Syariah adalah transaksi murabahah.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

19

2.3.1 Definisi Pembiayaan Murabahah

Adapun beberapa penyataan mengenai murabahah adalah sebagai berikut :

1. Menurut Antoni (2010:101), murabahah adalah :

Jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ al-murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.

2. Menurut fatwa dewan syariah nasional NO:04/DSN-MUI/N/2000

yang dimaksud dengan murabahah adalah :

Menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai laba.

3. Menurut Harahap, Wiroso dan Yusuf (2007) murabahah adalah :

Akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.

2.3.2 Landasan Syariah Menurut Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 :

”Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Menurut Wiroso (2005:15-16), ada beberapa hadist nabi yang

menyatakan sunnah diantaranya :

Nabi Muhammad saw ditanya: ”pekerjaan apa yang paling baik?”

Beliau menjawab : ”pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri

dan setiap jual beli yang mabrur” yaitu tidak ada tipuan dan khianat.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

20

Dari Suhaib ar-Rumi r.a bahwa Rasulullah saw. Bersabda :

”Ada tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual-beli secara tangguh, muqaradah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah).

2.3.3 Rukun-rukun Murabahah

Harahap S. Sofyan, Wiroso, dan Yusuf M.(2010:164), rukun-rukun

murabahah terdiri dari:

1. Ba’i (penjual) 2. Musytari (pembeli) 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan timbang terima)

2.3.4 Syarat-syarat Murabahah

Syarat murabahah menurut antoni (2010:102) adalah :

1. Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah. 2. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan. 3. Kontrak harus bebas dari riba. 4. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang

sesudah pembelian. 5. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan

pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

Menurut Syaikh ’Isa bin Ibrahim ad-Duwaisy (2006:95), syarat

pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui harga pertama (harga pembelian) 2. Mengetahui besarnya keuntungan 3. Hendaklah barang yang menjadi modalnya termasuk barang yang dapat

di takar, ditimbang, dan dihitung secara bijian. Oleh karena itu, kejujuran dan amanah sangat diharapkan dalam jual beli ini.

4. Sistem murabahah dalam harta riba hendaknya tidak menisbatkan riba tersebut terhadap harga pertama, dan

5. Transaksi pertama haruslah sah secara syara.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

21

2.3.5 Aturan Murabahah

Menurut Sofyan, Woroso dan Yusuf (2010:165-168), Dewan Syariah

Nasional menetapkan aturan tentang murabahah sebagaikana tercantum

dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 04/DSN-MUI/IV/2000

tertanggal 1 April 2000 (Fatwa,2006) sebagai berikut:

Pertama : Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba 2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam 3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang

telah disepakati kualifikasinya. 4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri,

dan pembalian ini harus sah dan bebas riba. 5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,

misalnya jika pembelian dilakukan secara berhutang. 6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)

dengan harga jual senilai dengan harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

7. Nasabah membayar harga barang yang disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

Kedua : Ketentuan murabahah kepada nasabah

1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau asset kepada bank

2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah kepada pedagang.

3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.

4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakati awal pesanan.

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

22

5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.

6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.

7. Jika uang muka memakai kontrak ’urbun sebagai alternatif uang muka, maka:

a. Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.

b. Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Ketiga : Jaminan dalam murabahah

1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya

2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang

Keempat : Hutang dalam murabahah

1. Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank.

2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruhnya.

3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

Kelima : Penundaan pembayaran dalam murabahah

1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya.

2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

23

Keenam : Bangkrut dalam murabahah

Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.

2.3.6 Uang Muka Dalam Murabahah

Menurut Sofyan, Wiroso dan Yusuf (2010:169):

Bank dapat meminta kepada nasabah (urbun) sebgai uang muka pembelian pada saat akad apabila kedua belah pihak bersepakat. Urbun menjadi bagian pelunasan piutang murabahah apabila murabahah jadi dilaksanakan. Tetapi apabila murabahah batal, urbun dikembalikan kepada nasabah dikurangi dengan kerugian sesuai dengan kesepakatan. Jika uang muka itu lebih kecil dari kerugian bank maka bank dapat meminta tambahan dari nasabah.

2.3.7 Jenis-jenis Murabahah

Jenis-jenis jual beli murabahah menurut Harahap, Wiroso dan Yusuf

(2010:164) :

1. Murabahah tanpa pesanan artinya ada yang beli atau tidak bank syariah menyediakan barang dan

2. Murabahah berdasarkan pesanan atau biasa disebut murabahah

kepada pemesan pembelian artinya bank syariah baru melakukan transaksi jual beli apabila ada pesan. Menurut Antonio (2010:103) murabahah jenis ini biasa disebut murabahah KPP (Kepada Pemesan Pembelian).

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

24

Murabahah

Cara Pembayaran

Tunai Tangguh

Jenis

Tanpa Pesanan

Pesanan

Mengikat Tidak mengikat

Gambar 2.1

Jenis Murabahah

Sumber : Wiroso (2005:37)

Murabahah dapat dibedakan menjadi dua (2) macam, yaitu :

1. Murabahah tanpa pesanan, maksudnya ada yang pesan atau tidak, ada

yang beli atau tidak, perbankan menyediakan barang dagangannya.

2. Murabahah berdasarkan pesanan, maksudnya perbankan syariah baru

akan melakukan transaksi murabahah atau jual beli apabila ada nasabah

yang memesan barang sehingga penyediaan barang baru dilakukan jika

ada pesanan. Terdiri dari :

a. Murabahah berdasarkan pesanan bersifat mengikat, yaitu apabila

telah pesan harus dibeli, dan

b. Murabahah berdasarkan pesanan bersifat tidak mengikat,

maksudnya walaupun nasabah telah memesan barang, tetapi

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

25

nasabah tidak terikat, artinya nasabah dapat menerima atau

membatalkan barang tersebut.

Berdasarkan pembayarannya, murabahah dapat dilakukan secara tunai atau

secara tangguh.

Namun sebagai lembaga keuangan, berdasarkan peraturan yang ada,

bank tidak dimungkinkan berfungsi pula sebagai retailer dengan memiliki

persediaan barang untuk dijual. Maka dalam praktiknya yang diterapkan

bukanlah murabahah murni tetapi murabahah kepada pemesan pembelian

(murabahah KPP).

2.4 Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP)

2.4.1 Definisi Murabahah Kepada Pemesan Pembelian (KPP)

Menurut Antonio (2010:103), murabahah kepada pemesan pembelian

(Murabahah KPP) adalah :

Dua pihak atau lebih saling bernegosiasi dan berjanji untuk melaksanakan kesepakatan di mana pemesan meminta pembeli membeli asset yang selanjutnya akan dibeli oleh pemesan dengan harga pokok ditambah keuntungan.

Menurut Antonio (2010:103), ide tentang jual beli murabahah KPP berakar

pada dua alasan berikut.

1. Mencari pengalaman. Satu pihak yang berkontrak (pemesan pembelian) meminta pihak lain (pembeli) untuk membeli sebuah aset. Pemesan berjanji akan membeli aset tersebut dan memberinya keuntungan. Biasanya dilakukan secara kredit pembayarannya, karena ingin mencari informasi dibanding alasan kebutuhan yang mendesak terhadap aset tersebut.

2. Mencari pembiayaan. Dalam operasi perbankan syariah, motif pemenuhan kebutuhan pengadaan aset atau modal kerja merupakan alasan utama yang mendorong datang ke bank. Pada gilirannya,

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

26

pembiayaan yang diberikan akan membantu memperlancar arus kas (cash flow) yang bersangkutan.

Secara umum, gambaran aplikasi perbankan dari murabahah dalam

menurut Antonio (2010:107) adalah sebagai berikut:

Gambar 2.2

Alur Aplikasi Pembiayaan Murabahah

Sumber : Syafi’i Antonio (2010:107)

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah

KPP ini terdiri dari:

1. Ada tiga pihak yang terkait yaitu:

a. Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.

b. Penjual barang kepada lembaga keuangan. c. Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual

barang kepada pemohon atau pemesan barang.

2. Ada dua akad transaksi yaitu:

a. Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan. b. Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta

dibelikan (pemohon).

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

27

3. Ada tiga janji yaitu:

a. Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang. b. Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali

barang untuk pemohon. c. Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli

barang tersebut dari lembaga keuangan.

2.4.2 Jenis Murabahah Kepada Pemesan Pembelian (murabahah KPP)

Menurut Harahap, Wiroso, dan Yusuf (2010:164), murabahah

berdasarkan pesanan (murabahah KPP) dapat dikategorikan dalam :

1. Sifatnya mengikat, artinya murabahah berdasarkan pesanan tersebut mengikat untuk dibeli oleh nasabah sebagai pemesan.

2. Sifatnya tidak mengikat, artinya walaupun nasabah telah melakukan pemesanan barang, namun nasabah tidak terikat untuk membeli barang tersebut.

Menurut Abdullah bin Muhammad (1427H:261-162), jual beli

murabahah KPP janji mengikat melalui beberapa langkah tahapan, diantara

yang terpenting adalah:

1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.

a. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas.

b. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu dalam pembelian barang tersebut.

2. Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan

nasabah.

3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.

4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.

a. Mengadakan perjanjian yang mengikat. b. Membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan

pelaksanaan janji.

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

28

c. Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji. d. Lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa

janji ini. 5. Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang

(pemilik pertama).

6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.

7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.

a. Penentuan harga barang. b. Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan

kedalam harga. c. Penentuan nisbat keuntungan (profit). d. Penentuan syarat-syarat pembayaran. e. Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.

Menurut Bakr bin Abdillah abu Zaid (1416 H : 90), bentuk dari

murabahah KPP dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat ada dua:

1. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka. Hal ini yang rojih adalah boleh dalam pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Hal itu karena tidak ada dalam bentuk ini ikatan kewajiban menyempurnakan janji untuk bertransaksi atau penggantian ganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang atau rusak maka nasabah tidak menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan tersebut bersepekulasi dalam pembelian barang dan tidak yakin nasabah akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya. Seandainya salah satu dari keduanya berpaling dari keinginannya maka tidak ada ikatan kewajiban dan tidak ada satupun akibat yang ditanggungnya.

2. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya, maka ini dilarang karena masuk dalam kategori al-’Inah sebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Muqaddimah dan inilah yang dirojihkan Syeikh Bakar Abu Zaid.

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

29

2.4.3 Perlakuan Akuntansi

Menurut Harahap, Wiroso, dan Yusuf (2010:205), jurnal murabahah

menurut PSAK 102 tentang murabahah adalah :

1. Pada saat transaksi penjualan barang dari bank ke nasabah, maka jurnal

menurut PSAK 102 adalah :

Dr Piutang Murabahah xxx Cr Persediaan / Aset Murabahah xxx Cr Margin Murabahah Tangguhan xxx

Jurnal pada saat penyerahan uang muka manurut PSAK 102

Dr Hutang Uang Muka xxx Cr Piutang Murabahah xxx

2. Apabila bank memberi kuasa kepada nasabah untuk membelikan

barang kebutuhannya dan bank syariah menyerahkan sejumlah uang

tunai kepada nasabah, maka jurnal menurut PSAK 102 adalah sebagai

berikut :

Dr Piutang Wakalah xxx Cr Rekening Nasabah xxx

Pada saat bank menerima barang dari nasabah :

Dr Persediaan / Aset Murabahah xxx Cr Piutang Wakalah xxx

Pada saat bank menyerahkan kembali ke nasabah :

Dr Piutang Murabahah xxx Cr Persediaan / Aset Murabahah xxx Cr Margin Murabahah Tangguhan xxx

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

30

3. Pada saat bank menerima pembayaran angsuran dari nasabah, maka

menurut PSAK 102 dilakukan jurnal sebagai berikut :

Dr Kas / Rekening Nasabah xxx Dr Margin Murabahah Tangguhan xxx Cr Pendapatan Margin Murabahah xxx Cr Piutang Murabahah xxx

4. Apabila nasabah telat membayar / tidak membayar angsuran, jurnal

yang dibuat menurut PSAK 102 adalah sebagai berikut :

Dr Piutang Murabahah Jatuh Tempo xxx Cr Piutang Murabahah xxx

Dr Margin Murabahah Tangguhan xxx Cr Pendapatan Margin Murabahah xxx

5. Apabila nasabah lalai dalam pembayaran dan tergolong mampu untuk

membayar, maka jurnal menurut PSAK 102 adalah sebagai berikut :

Dr Kas / Rekening Pembeli xxx Cr Rekening ZIS xxx

2.5 Pengendalian Internal

Kegiatan bank juga mempunyai resiko tinggi karena berurusan dengan uang

dalam jumlah yang sangat besar sehingga dapat menimbulkan niat orang-orang

yang terlibat di dalamnya untuk melakukan kecurangan dan dapat mengakibatkan

kerugian bagi bank. Untuk itu diperlukannya pengendalian internal untuk

menganalisis efektifitas dari fungsi-fungsi kontrol yang ada.

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

31

2.5.1 Definisi Pengendalian Internal

Menurut COSO (Committee of Sponsoring Organization of Treadway

Commission), William C.Boynton, Raymond N.Jhonson, dan Waltel G.Kell

yang diterjemahkan oleh Budi S.I (2003:373) mendefinisikan pengendalian

intern sebagai berikut :

Pengendalian Intern (Internal Control) adalah suatu proses yang dilaksanakan oleh dewan direksi, manajemen, dan personel lainnya dalam suatu entitas, yang dirancang untuk menyediakan keyakinan yang memadai berkenaan dengan pencapaian tujuan dalam kategori berikut :

1) Keandalan pelaporan keuangan 2) Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku 3) Efektivitas dan efisiensi operasi

Laporan COSO juga menekankan bahwa konsep fundamental

(fundamental concept) dinyatakan dalam definisi berikut :

1. Pengendalian intern merupakan suatu proses. Ini berarti alat untuk mencapai suatu akhir, bukan akhir itu sendiri. Pengendalian intern terdiri dari serangkaian tindakan yang meresap dan terintegrasi dengan, tidak ditambahkan ke dalam, infrastruktur suatu entitas.

2 Pengendalian intern dilaksanakan oleh orang. Pengendalian intern bukan

hanya suatu manual kebijakan dan formulir-formulir, tetapi orang pada berbagai tingkatan organisasi, termasuk dewan direksi, manajemen dan personel lainnya.

3. Pengendalian intern dapat diharapkan untuk menyediakan hanya

keyakinan yang memadai, bukan keyakinan yang mutlak, kepada manajemen dan dewan direksi suatu entitas karena suatu keterbatasan yang melekat dalam semua sistem pengendalian intern dan perlunya untuk mempertimbangkan biaya dan manfaat relatif dari pengadaan pengendalian.

4. Pengendalian intern diarahkan pada pencapaian tujuan dalam kategori yang saling tumpang tindih dari pelaporan keuangan, kepatuhan dan operasi.

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

32

Weygandt, Keiso, dan Kimmel yang diterjemahkan oleh Akbar,

Wasilah,dan Rangga (2007:454) mengemukakan pengendalian internal

(internal control) mencangkup rencana organisasi serta metode-metode

terkait dan pengukuran yang diadopsi perusahaan untuk:

1. Melindungi aset dari pencurian, perampokan, dan penyalahgunaan oleh karyawan.

2. Meningkatkan keakuratan dan kebenaran pencatatan akuntansi. Hal ini dapat dilakukan dengan menurunkan resiko kesalahan (kesalahan yang tidak disengaja) dalam proses akuntansinya.

Menurut Marshall B Romney dan Paul John Steinbart yang

diterjemahkan oleh Dewi Fitriasari dan Deny Arnos (2006:229),

pengendalian internal adalah :

Rencana organisasi dan metode bisnis yang dipergunakan untuk menjaga aset, memberikan informasi yang akurat dan andal, mendorong dan memperbaiki efisiensi jalannya organisasi, serta mendorong kesesuaian dengan kebijakan yang telah di tetapkan. dan peraturan yang berlaku.

2.5.2 Tujuan Pengendalian Internal

Tujuan pengendalian internal menurut Alvin A. Arens, Randal J.

Elder, dan Mark E. Beasley yang diterjemahkan oleh Jusuf,A. A (2006 : 4)

adalah sebagai berikut :

1. Adanya transaksi yang dicatat (keberadaan) Struktur pengendalian internal tidak boleh memungkinkan dimasukannya transaksi fiktif atau transaksi yang tidak ada dalam jurnal atas catatan akuntasi lain.

2. Transaksi yang terjadi telah dicatat (kelengkapan) Prosedur yang ada harus dapat mencegah penghilangan transaksi ke dalam catatan.

3. Transaksi yang dicatat dinyatakan pada jumlah yang benar (akurasi)

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

33

4. Transaksi digolongkan dengan benar (klasifikasi) Klasifikasi perkiraan yang sesuai dengan bagaimana perkiraan yang dibuat dalam jurnal, jika laporan kuangan ingin dikatakan wajar, klasifikasi juga mencakup kategori seperti divisi dan produk.

5. Transaksi yang dicatat pada tanggal yang benar (tepat waktu) Pencatatan transaksi baik sebelum atau sesudah waktu terjadinya, memperbesar kemungkinan transaksi yang dicatat atau dicatat dalam jumlah tidak pantas. Jika terjadi pencatatan terlebih dahulu atau terlambat pada akhir periode laporan keuangan akan menjadi salah saji.

6. Transaksi yang dicatat kemudian disertakan dengan benar dalam berkas induk dan diikhtisarkan dengan benar (posting dan pengikhtisaran)

Menurut George H. Bodnar dan william S. Hopwood yang

diterjemahkan oleh Julianto Agung Saputra dan Lilis Setiawati (2006:129),

tujuan pengendalian pada siklus pendapatan adalah :

1. Pelangggan harus diotorisasi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan manajemen.

2. Harga dan termin barang dan jasa yang dijula harus diotorisasi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan manajemen.

3. Semua pengiriman barang dan jasa harus diikuti dengan penagihan ke pelanggan.

4. Tagihan dan pelanggan harus akurat dan dengan cepat diklasifikasi, diringkas, dan dilaporkan.

2.5.3 Prinsip-prinsip Pengendalian Internal

Prinsip-prinsip pengendalian internal menurut Weygandt, Keiso, dan

Kimmel yang diterjemahkan oleh Akbar, Wasilah, dan Rangga (2007:455-

260) yaitu :

1. Pembentukan tanggung jawab. Pengendalian akan paling efektif jika hanya seseorang yang bertanggung jawab pada sebuah pekerjaan tertentu.

2. Pemisahan tugas. Ada dua penerapan yang umum dari prinsip ini :

a. Aktivitas-aktivitas terkait seharusnya ditugaskan ke orang yang berbeda-beda.

b. Penciptaan akuntabilitas (dengan pencatatan) atas aset yang seharusnya terpisah dari penjagaan fisik aset tersebut.

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

34

3. Prosedur Dokumentasi. Dokumen memberikan bukti bahwa transaksi dan peristiwa telah terjadi. Dengan membubuhkan tanda tangan (atau inisial) pada dokumen, pihak yang bertanggung jawab atas transaksi atau peristiwa dapat diidentifikasi.

4. Pengendalian fisik, mekanik, dan elektronik. Terkait dengan

perlindungan aset, sebagian mempertinggi keakuratan dan kebenaran pencatatan akuntansi.

5. Verifikasi internal independen. Melibatkan tinjauan, perbandingan, dan

rekonsiliasi data yang dibuat oleh karyawan lain. Sebaiknya dilaksanakan setiap periodik atau mendadak, dilaksanakan oleh orang yang independen atas karyawan yang bertanggung jawab atas informasi terkait, dan perselisihan dan pengecualian dilaporkan ditingkat manajemen yang dapat memberikan tindakan korektif.

6. Pengendalian lainnya. Pengendalian lainnya meliputi pengikatan

karyawan pemegang kas, pengikatan melibatkan perolehan asuransi perlindungan atas ketidaktepatan penggunaan aset oleh karyawan yang tidak jujur. Merotasi tugas karyawan dan meminta karyawan untuk mengambil cuti untuk mencegah karyawan dari segala usaha pencurian karena mereka tidak akan mampu menyembunyikan kesalahan mereka secara permanen. Kebanyakan penggelapan di bank ditemukan ketika pelaku sedang cuti atau ditugaskan di tempat kerja yang baru.

2.5.4 Komponen Pengendalian Internal

Komponen pengendalian internal menurut COSO, Agoes (2004:79)

adalah :

1. Lingkungan pengendalian (control environment). Faktor-faktor lingkungan pengendalian mencakup integritas, nilai etis dan kompetensi dari orang dan entitas, filosofi manajemen dan gaya operasi, cara manajemen memberikan otoritas dan tanggung jawab serta mengorganisasikan dan mengembangkan orangnya, perhatian dan pengarahan yang diberikan oleh board.

2. Penaksiran resiko (risk assessment). Mekanisme yang ditetapkan untuk

mengidentifikasi, menganalisis, dan mengelola resiko-resiko yang berkaitan dengan berbagai aktivitas di mana organisasi beroperasi.

Ada tiga resiko yang dihadapi perusahaan : a. Risiko strategis, yaitu mengerjakan sesuatu dengan cara yang salah. b. Risiko financial, yaitu resiko menghadapi kerugian keuangan.

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

35

c. Risiko informasi, yaitu menghasilkan informasi yang tidak relevan, atau informasi yang keliru, atau bahkan sistem informasinya tidak dapat dipercaya.

Komponen-komponen yang penting dari penilaian resiko adalah:

a. Perubahan dalam lingkungan operasi yang memaksa tekanan baru / berubah pada perusahaan

b. Personel baru yang memegang pemahaman kontrol internal yang tidak memadai.

c. Sistem informasi yang direkayasa kembali atau baru yang mempengaruhi pemrosesan transaksi.

d. Memasuki pasar asing yang dapat mempengaruhi operasi. 3. Aktivitas pengendalian (control activities). Pelaksanaan dari kebijakan-

kebijakan dan prosedur-prosedur yang ditetapkan oleh manajemen untuk membantu memastikan bahwa tujuan dapat tercapai.

4. Informasi dan komunikasi (information and communication). Sistem

yang memungkinkan orang atau entitas, memperoleh dan menukan informasi yang diperlukan untuk melaksanakan, mengelola, dan mengendalikan operasinya.

5. Pemantauan (monitoring). Pemantauan kegiatan pengendalian intern

secara periodik harus dipantau oleh manajemen. Pemantauan meliputi penilaian atas kualitas kerja pengendalian intern untuk menentukan apakah operasi pengendalian memerlukan modifikasi atau perbaikan.

Pengendalian internal tidak mungkin efektif melalui keempat

komponen (penaksiran resiko, aktivitas pengendalian, informasi dan

komunikasi serta pemantauan), tanpa lingkungan pengendalian yang efektif.

Menurut COSO lingkungan pengendalian merupakan fondasi bangunan

sistem pengendalian internal.

Menurut Antonio, S (2010:107) diperlukan auditor untuk

menganalisis efektivitas fungsi-fungsi yang ada yaitu:

1. Bagian Pengawas Data (Verificator), yaitu pemeriksa seluruh transaksi yang terjadi, di mana salah satu prosuknya adalah produk zero dfect, yaitu suatu program audit yang memberikan peringatan kepada pelaksana

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

36

atas kesalahan-kesalahan pembukuan yang terjadi. Bagian pengawasan data ini juga mengaudit keuangan atas laporan keuangan, khususnya melakukan pembuktian kebenaran material setiap pos yang ada, yaitu dengan melakukan cash count, stock opname, rekonsiliasi bank/RAK, proofing, dan lain-lain.

2. Auditor Wilayah (Resident Auditor) dan Inspektur Pengawasan. Kedua

pengawas ini melakukan operasional audit, di samping audit keuangan. Titik berat audit yang dilakukan adalah pengujian secara menyeluruh atas berjalannya pengendalian internal yang meliputi aspek organisasi, memadai tidaknya sumber daya insani, praktik bank yang sehat dan unsur pengendalian internal lainnya.

2.5.5 Pengertian Efektivitas, Efisiensi dan Ekonomis

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian efektivitas, diantaranya :

1. Menurut Mardiasmo (2004:132) mendefinisikan efektivitas adalah :

Pengertian efektivitas pada dasarnya berhubungan dengan pancapaian tujuan atau target kebijakan (hasil guna). Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan (Spending wisely). Indicator efektivitas menggambarkan jangkauannya akibatnya dan dampak (outcome) dari keluaran (output) program dalam mencapai tujuan program semakin besar kontribusi output yang dihasilkan terhadap pencapaian tujuan atau sasaran yang ditentukan, maka semakin efektif proses kerja suatu organisasi.

2. Menurut Anthony (2004:14) mendefinisikan efektivitas :

Efektivitas adalah hubungan antar output yang dihasilkan oleh pusat pertanggung jawaban dengan tujuan jangka pendek (objektivitas), semakin besar output yang dikontribusikan terhadap jangka pendek perusahaan, maka semakin efektiflah unit tersebut.

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101 AK BAB II.pdf · 3. Mabi’ (barang yang diperjual belikan) 4. Tsaman (harga) 5. Ijab Qabul (pernyataan

37

Menurut Amin Tunggal W., definisi dari efektivitas, efisiensi dan ekonomis

adalah sebagai berikut :

1. Efektivitas berhubungan dengan penentuan apakah tujuan perusahaan yang ditetapkan telah tercapai baik ditinjau dari segi kualitas hasil kerja, kuantitas hasil kerja maupun target batas waktu.

2. Efisiensi berhubungan dengan penentuan apakah tujuan tersebut dapat dicapai dengan penggunaan sumber data yang optimal dan meminimalisir kerugian yang mungkin terjadi.

3. Ekonomis berhubungan dengan penentuan implikasi jangka panjang suatu operasi, berhubungan dengan cara penggunaan barang atau jasa secara hati-hati dan bijak (prudent) agar diperoleh hasil yang terbaik