Upload
truongmien
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Work Engagement
1. Pengertian Work Engagement
Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma & Bakker (2002) mendefinisikan
work engagement sebagai positivitas, pemenuhan kerja dari pusat pikiran yang
memiliki dimensi vigor, dedication dan absorbtion. Vigor adalah energi yang
tinggi, adanya kemauan untuk investasi tenaga, restasi, tidak mudah lelah.
Dedication adalah keterlibatan yang kuat ditandai dengan antusiasme, rasa
bangga, dan inspirasi. Absorption adalah keadaan pada pekerja yang
dikarakteristikan oleh waktu yang berjalaan dengan cepat dan sulitnya
memisahkan seseorang dengan pekerjaanya. Schaufeli (2002) membedakan
engagement dari konstruk-konstruk peran pekerjaan lainnya, keadaan sesaat dan
spesifik, engagement mengacu pada keadaan afektif-kognitif yang lebih
menetap (persisten) dan menyeluruh, yang tidak hanya fokus pada objek,
kejadian, individu atau perilaku tertentu. Lebih lanjut lagi dijelskan bahwa
engagement merupakan state-psikologis positif yang berhubungan dengan
pekerjaan yang dicerminkan dengan kata-kata (antusias, enerjik, passion, vigor)
dan engagement juga merupakan suatu state motivasional yang dicerminkan
dalam keinginan yang murni untuk memberikan usaha yang fokus terhadap
tujuan dan kesuksesan organisasi. Bakker & Leiter (2010) setuju bahwa
12
engagement merupakan konseptualisasi terbaik dan dikarakteristikkan melalui
suatu level yang tinggi dari energi dan suatu identifikasi yang kuat dengan
pekerjaan seseorang.
Khan (dalam Mujiasih & Ratnaningsih 2012) mendefinisikan
engagement sebagai penguasaan karyawan sendiri terhadap peran individu
dalam pekerjaan, dimana karyawanakan mengikat diri dengan pekerjaannya,
kemudian akan bekerja dan mengekspresikan diri secara fisik, kognitif dan
emosional selama memerankan performanya. Aspek kognitif mengacu pada
keyakinan pekerja terhadap organisasi, pemimpin dan kondisi pekerjaan.Aspek
emosional mengacu pada bagaimana perasaan pekerja apakah positif atau
negatif terhadap organisasi dan pemimpinnya. Sedangkan aspek fisik mengenai
energi fisik yang dikerahkan oleh karyawan dalam melaksanakan perannya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulakan bahwa work engagement
merupakan keadaan positifitas dan adanya pemenuhan diri dalam pekerjannya
seperti keinginan yang murni untuk memberikan usaha yang fokus terhadap
tujuan dan kesuksesan organisasi baik secara fisik, kognitif, dan afektif yang
dikarakteristikan dengan adanya vigor, dedication dan absorption.
2. Aspek-aspek Work Engagement
Menurut Schaufeli & Bakker (2006) mengemukakan bahwa work
engagement memiliki aspek-aspek sebagai berikut:
a. Vigor
Merupakan curahan energi untuk melakukan pekerjaannya yang terbaik
dan adanya rasa senang/ kegembiraan terhadap setiap pekerjaannya. Kerelaan
13
untuk memberikan usaha yang maksimal terhadap kinerjanya dan ketahanan
mental ketika menemui kesulitan dalam bekerja.
b. Dedication
Merupakan suatu kondisi dimana karyawan merasa terlibat sangat kuat
dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa kebermaknaan, antusiasme,
kebangaan, inspirasi dan tantangan. Selain itu merasa bahwa pekerjaan yang
dilakukan tersebut dapat memberikan inspirasi yang signifikan bagi dirinya
baik secara sosial maupun personal.
c. Absorption
Merupakan suatu kondisi dimana karyawan merasa waktu berjalan sangat
cepat karena terlarut dalam pekerjaannya. Karyawan merasa kesulitan untuk
lepas dari pekerjaannya. Dalam kondisi ini karyawan mencurahkan
konsentrasinya secara penuh pada pekerjaannya dan memiliki rasa
kesenangan hati untuk terus bekerja.
Dimensi work engagement yang dikemukakan oleh Schaufeli dan Baker yang
juga didukung pendapat Lockwood (2007) yang menyatakan bahwa work
engagement mempunyai tiga dimensi yang merupakan perilaku utama, aspek
tersebut mencakup:
a. Membicarakan hal-hal positif mengenai organisasi pada rekannya dan
merefrensikan organisasi tersebut pada pekrjaan dan pelanggan potensial.
b. Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi anggota organisasi tersebut
meskipun terdapat kesempatan untuk bekerja ditempat lain.
14
c. Memberikn upaya dan menunjukaan perilaku yang keras untuk berkontribusi
dalam kesuksesan organisasi.
Berdasarkan uraian diatas, apek work engagement menurut Schaufeli &
Bakker (2006) dibagi menjadi tiga yaitu vigor, dedication, dan absorption. Vigor
berkaitan dengan kegembiraaan dan kerelaan dalam bekerja, dedication berkaitan
dengan keterikatan kuat dengan pekerjaanya, dan absorption berkaitan dengan
kondisi karyawan yang merasa waktu berjalan dengan cepat ketika
bekerja.Selain pendapat diatas, menurut Lockwood (2007) work engagement
mencakup tiga hal yaitu membicarakan hal-hal positif menegenai organisasi,
memiliki keinginan kuat untuk menjadi anggota organisasi, dan memberikan
upaya dan kontribusi dalam kesuksesan organisasi.
Pertimbangan penulis dari teori yang telah dijabarkan diatas, maka penulis
menggunakan tiga aspek dari Schaufeli & Bakker (2006). Ketiga aspek tersebut
adalah vigor, dedication, dan adsorption. Alasan pemilihan aspek diatas
dikarenakan teori Schaufeli memiliki dasar teori yang kuat dibandingkan dengan
teori yang lainya. Selain itu ketiga aspek tersebut mampu mencakup dimensi
fisik, kognitif, afektif, dan emosional.
3. Faktor yang mempengaruhi
Menurut Lockwood (2007) engagement merupakan konsep yang
kompleks dan dipengaruhi banyak faktor. Faktor tersebut meliputi:
a. Budaya di Tempat Kerja
Budaya yang baik akan memberikan peran yang kuat untuk membentuk
perilaku organisasional. Budaya organisasi yang memiliki keterbukaan dan
15
sikap supportive serta komunikasi yang baik akan memberikan nilai tambah
bagi perusahaan/organisasi. Keadilan dan kepercayaan sebagai nilai
organisasi juga memberikan dampak positif bagi terciptanya keterikatan
karyawan. Hal tersebut akan memberikan persepsi bagi karyawan bahwa
setiap karyawan mendapat dukungan dari organisasi.
b. Komunikasi Organisasional
Komunikasi yang baik antara rekan kerja sangat dibutuhkan didalam
proses organisasi. Komunikasi yang baik akan membuat karyawan merasa
nyaman di lingkungan kerja dan secara tidak langsung meningkatkan
produktivitas kerja.
c. Gaya manajerial
Gaya manajerial terkait dengan bagaimana pemimpin memanajemen
karyawannya. Pemimpin dalam perusahan harus memiliki komitmen
terlebih dahulu dalam pekerjaanya selain itu dibutuhkan konsistensi
pemimpin dalam mementoring karyawan dalam menciptakan keterikatan
karyawan.
d. Penghargaan
Sistem penghargaan juga merupakan faktor yang penting dalam
membangun kateriktan dengan karyawan.hal ini dapat membuat karyawan
merasa dihargai dengan setiap apa yang dikerjakan sehingga hal ini dapat
menjadi dorongan yang positif untuk dapat bisa bergerak maju
mengembangkan diri dan perusahaan.
16
e. Kepemimpinan
Model kepemimpinan akan mempengaruhi bagaimana karyawan
bertindak. Kepemimpinan yang menganut sistem yang baik akan
memberikan kesempatan karyawan untuk mengembangkan diri didalam
perusahaan. Kepemimpinan menjadi modal utama untuk mengerakkan
sistem organisasi.
f. Repuasi Perusahaan
Dengan adanya reputasi yang baik maka karyawan akan memiliki
pandangan yang baik tentang perusahaan maka hal ini dapat menjadi modal
ketertarikan karyawan terhadap perusahaan.
Schaufelli dan Bakker (2003) menyatakan bahwa work engagement pada
dasarnya dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
a. JD-R (job demand-resources model) meliputi beberapa aspek seperti:
1. Lingkungan fisik, dan organisasi
Kenyamanan dalam bekerja sangat diperlukan dalam organisasi.
Dengan lingkungan yang baik karyawan akan mampu bekerja lebih lama
karena lingkungan yang nyaman.
2. Gaji, peluang untuk berkarir
Dengan adanya sistem yang baik di organisasi karyawan akan
merasa dihargai dan apa yang dikerjakannya sangat dipertimbangakan
oleh atasan. Adanya gaji yang benar, sistem kenaikan jabatan yang adil
akan membentuk keterkaitan dengan karyawan.
17
3. Dukungan supervisior dan rekan kerja
Dukungan dari orang-orang di lingkungan kerja menjadi dorongan
secara psikologis sehingga karyawan tidak hanya kuat secara fisik
tetapi juga kuat secara mental.
4. Performance feedback
Penilaian terhadap prestasi bekerja akan menjadi dorongan bagi
karyawan untuk bergerak maju sehingga akan membentuk keteriktan
terhadap pekerjaanya dan perusahannya.
b. Model psikologis capital (psychological capital).psychological capital
meliputi:
1. Kepercayaan diri
2. Rasa optimis
3. Harapan mengenai masa depan
4. Rasa resiliansi
Dari penjelasan yang telah dijabarkan diatas, faktor yang dapat
mempengaruhi terciptanya rasa engaged pada karyawan meliputi budaya
organisasi, penghargaan, lingkungan kerja, dukungan dari rekan kerja, komunikasi
organisasi. Selain itu, faktor yang juga mempengaruhi work engagement dari
model JD-R (job demand-resources model) meliputi lingkungan fisik, dan
organisasi; gaji, peluang untuk berkarir; dukungan supervisior dan rekan kerja;
performance feedback. Sedangkan pada model psikologi capital (psychological
18
capital) meliputi kepercayan diri, rasa optimis, harapan mengenai masa depan dan
rasa resiliansi.
Dari penjelasan diatas, dari pertimbangan penulis dengan didukung dengan
kondisi perusahaan yang akan dijadikan sebagai tempat penelitian, maka penulis
menggunakan teori dari Lockwood (2007). Dari beberapa faktor yang dijabarkan
maka budaya organisasi akan menjadi faktor yang dominan dalam penelitian ini.
Sehingga budaya organisasi merupakan variabel bebas dalam penelitian ini.
B. Budaya Organisasi
1. Pengertian Budaya Organisasi
Menurut Kamus Ilmiah Populer budaya ialah sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan yang sudah sukar untuk diubah. Budaya merupakan konsep yang sangat
penting dalam memahami masyarakat kelompok manusia untuk waktu yang sangat
lama. Sedangkan organisasi ialah kelompok kerja sama antara orang-orang yang
diadakan untuk mencapai tujuan bersama (Novia, 2008).
Budaya organisasi adalah mengenai aspek subjektif dari apa yang terjadi di
dalam suatu perusahaan, mengacu kepada abstraksi seperti nilai dan norma yang
meliputi seluruh atau bagian suatu bisnis (Luthnas 2006). Budaya organisasi dapat
didefinisikan sebagai perangkat system nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan
(beliefs), asumsi-asumsi (assumption), atau norma-norma yang telah lama berlaku,
disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku
dan pemecahan masalah-masalah oranisasinya. Budaya organisasi juga disebut
19
budaya perusahaan, yaitu seperangkat nilai-nilai atau norma-norma yang telah relatif
lama berlakunya, dianut bersama oleh para anggota organisasi (karyawan) sebagai
norma perilaku dalam menyelesaikan masalah-masalah organisasi (perusahaan).
Dalam budaya organisasi terjadi sosialisasi nilai-nilai dan menginternalisasi dalam
diri para anggota, menjiwai orang per orang didalam organisasi. Dengan demikian
maka buaya organisasi merupakan jiwa organisasi dan jiwa para anggota organisasi
(Killmann, 1988)
Selain itu teori lain menyebutkan bahwa budaya organisasi adalah seperangkat
asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam
organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk
mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal (Mangkunegara, 2005).
Sejalan dengan teori diatas menyebutkan bahwa budaya organisasi merupakan pola
keyakinan nilai-nilai organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh
organisasi. Hal tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan
berperilaku dalam organisasi sehingga mempunyai volume dan beban kerja yang
harus diwujudkan guna mencapai tujuan organisasi (Davis, 2004).
Berdasarkan uraian teori diatas dapat dimengerti bahwa budaya organisasi
memiliki kontribusi yang vital diperusahaan. Budaya organisasi berperan sebagai
aturan untuk bertindak di lingkungan perusahaan. Pentingnya budaya organisasi
harus dipahami dan dihayati oleh setiap karyawan maupun petinggi perusahaan.
Maka dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya organisasi adalah
suatu keyakinan yang dimiliki oleh organisasi tentang nilai, aturan keyakinan yang
20
digunakan untuk pedoman dalam berperilaku dalam organisasi dan pedoman dalam
pemecahan permasalahan yang ada di organisasi atau perusahaan.
2. Pembentukan Budaya Organisasi
Menurut Ndraha (2003) terbentuknya budaya oganisasi tidak dalam sekejap,
tidak bisa dikarbid. Pembentukan budaya organisasi diawali oleh para pendiri. Hal
ini ditegaskan oleh Schein (Sobirin, 2007) yang menjelaskan proses pembentukan
budaya organisasi mengikuti alur sebagai berikut :
a. Para pendiri dan pemimpin lainnya membawa serta satu set asumsi dasar, nilai,
prespektif, artefak ke dalam organisasi dan menanamkannya kepada karyawan.
b. Budaya muncul ketika para anggota organisasi berinteraksi satu sama lain untuk
memecahkan masalah-masalah pokok organisasi yakni masalah integritas
internal dan adaptasi eksternal.
c. Secara perorangan, masing-masing anggota organisasi boleh jadi menjadi
seseorang pencipta budaya organisasi baru (culture creator) dan
mengembangkan berbagai cara untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
individu seperti persoalan identitas diri, kontrol, dan pemenuhan kebutuhan
serta bagaimana agar bisa diterima oleh lingkungan yang diajarkan kepada
generasi penerus.
Sedangkan Greenberg dan Baron (2003) memberi perhatian pada tiga hal yang
dapat menciptakan budaya organisasi, yaitu:
a.Company founder (pendiri perusahaan)
Budaya organisasi dapat dilacak, paling tidak sebagian, pada pendiri perusahaan.
Pendiri perusahaan membawa strong values dan visi yang jelas tentang
21
bagaimana organisasi harus bekerja, karena pendiri memainkan peranan penting
dalam menerima staf pada awalnya, maka sikap dan niai-nilai setiap
disampaikan pada pekerja baru. Sebagai hasilnya, pandangan mereka diterima
orang dalam organisasi dan tepat seperti yang diinginkan selama pemberdiri
masih berperan.
b. Experience with the environment (pengalaman dengan lingkungan)
Budaya organisasi berkembang diluar pengalaman organisasi dengan lingkungan
eksternal.Setiap organisasi harus menemukan celah bagi dirinya dalam industri
pasar.
c.Contact with Others (hubungan dengan orang lain)
Budaya organisasi juga berkembang diluar kontak antara kelompok individu
dalam organisasi yang datang berbagi interprestasi kejadian dan tindakan dalam
organisasi.
Berdasar uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa teori
yang menyatakan tentang pembentukan budaya organisasi disuatu perusahaan.
Pemahaman terbentuknya budaya organisasi disuatu perusahan sangat penting untuk
keberlagsungan proses organisasi. Hal ini akan berdampak pada perilaku karyawan
saat bekerja dan berperilaku di lingkungan perusahaan.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, disetiap perusahaan budaya organisasi
tidak dapat berdiri secara instan melainkan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Berdasar teori diatas terciptanya budaya organisasi terdapat 3 tahap antara lain:
pendiri perusahaan, proses interaksi dengan lingkungan dan orang lain, dan
pemecahan masalah pokok perusahaan.
22
3. Karakteristik Budaya Organisasi
Menurut Luthans (2006) terdapat sejumlah karakteristik penting budaya
organisasi. Beberapa diantaranya adalah:
a. Aturan perilaku yang diamati, yaitu ketika anggota organisasi berinteraksi satu
sama lain dengan menggunakan bahasa, istilah, dan ritual umum yang berkaitan
dengan rasa hormat dan cara berperilaku.
b. Norma, artinya adalah adanya standar perilaku, mencakup pedoman mengenai
seberapa banyak pekerjaan yang dilakukan, yang dalam banyak perusahaan
menjadi “Jangan melakukan terlalu banyak; Jangan terlalu sedikit.”
c. Nilai dominan, dimana organisasi di jadikan perusahaan sebagai tolok ukur
operasional dalam menjalankan perusahaaan. Serta di mana organisasi
mendukung dan berharap peserta membagikan nilai-nilai utama yang ada
sehingga nilai utama perusahaan dapat terrealisasikan dengan baik kepada
seluruh anggota perusahaan.
d. Aturan, terdapat pedoman ketat berkaitan dengan pencapaian perusahaan.
Pendatang baru harus memelajari teknik dan prosedur yang ada agar dapat
diterima sebagai anggota kelompok yang berkembang.
e. Iklim organisasi, merupakan keseluruhan “perasaan” yang disampaikan dengan
pengaturan yang bersifat fisik, cara anggota berinteraksi, dan cara anggota
organisasi berhubungan dengan pelanggan dan individu dari luar.
Menurut Robbins (dalam Egi Apriyanto, 2015) terdapat 10 karakteristik yang
apabila dicampur dan dicocokan, akan menjadi budaya organisasi. Kesepuluh
karakteristik budaya organisasi tersebut adalah:
23
a. Inisiatif individual adalah tingkat tanggung jawab, kebebasan atau independensi
yang dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat. Inisiatif individu
tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pemipin suatu organisasi sepanjang
menyangkut ide untuk memajukaan dan mengembangkan organisasi.
b. Toleransi terhadap tindakan beresiko, dalam budaya organisasi perlu ditekankan
sejauhmana para pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif,
dan mengambil resiko. Suatu budaya organisasi dikatakan baik, apabila dapat
memberikan toleransi kepada anggota, atau para pegawai untuk dapat bertindak
agresif dan inofatif untuk memejukaan organisasi serta berani mengambil resiko
terhadap apa yang dilakukannya.
c. Pengarahan dimaksudkan sejauhmana suatu organisasi atau perusahaan dapat
menciptakan dengan jelas tercantum dalam visi, misi, dan tujuan organisasi.
Kondisi ini dapat berpengaruh dengan kinerja organisasi.
d. Integritas dimaksudkan sejauhmana suatu organisasi atau perusahaan dapat
mendorong unit-unit organisasi untuk bekerja dengan cara terkoordinasi.
Kekompakan unit-unit organisasi dalam bekerja dapat mendorong kualitas dan
kuantitias pekerjaan yang dihasilkan
e. Dukungan menajemen dimaksudkan sejauhmana para manajer dapat
memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas
terhadap bawahan. Perhatian manajer terhadap bawahan (karyawan) sangat
membantu kelancaran kinerja atau organisasi.
f. Alat kontrol yang dapat dipakai adalah peraturan-peraturan atau norma-norma
yang berlaku dalam suatu organisasi. Untuk itu diperlukan sejumlah peraturan
24
dan tenagga pengawas atau atasan langsung yang dapat digunakan untuk
mengawasi dan mengendalikan perilaku suatu organisasi.
g. Identitas dimaksudkan sejauhmana para anggota atau pegawai suatu organisasi
dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai suatu satu kesatuan dalam organisasi
dan bukan sebagai kelompok kerja tertentu atau keahlian professional tertentu.
Identitas diri sebagai satu kesatuan dalam organisasi sangat membantu
manajemen dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi.
h. Sistem imbalan dimaksudkan sejauhmana alokasi imbalan (kenaikan,gaji
promosi dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja pegawai, bukan
didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya. Sistem imbalan
yang didasarkan atas prestasi kerja pegawai dapat mendorong pegawai suatu
organisasi atau untuk bertindak dan berperilaku inovatif dan mencari prestasi
kinerja yang maksimal sesuai kemampuan dan keahlian yang dimilikinya.
Sebaliknya sistem imbalan yang didasarkan pada senioritas, dan pilih kasih,
akan berakibat tenaga kerja yang memiliki kemapuan dan keahlian dapat
berperilaku pasif dan frustasi.
i. Toleransi terhadap konflik, sejauhmana para pegawai didorong untuk
mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka. Perbedaan pendapat
merupakan fenomena yang sering terjadi dalam suatu organisasi. Namun
perbedaan pendapat atau kritik yang terjadi bias dijadikan sebagai media untuk
melakukan perbaikan dan perubahan strategi demi mencapai tujuan suatu
organisasi.
25
j. Pola komunikasi, sejauhmana komunikasi dibatasi oleh hierarki kewenangan
yang formal. Kadang-kadang hirearki kewenangan dapat menghambat
terjadinya pola komunikasi antara atasan dan bawahan atau antar pegawai itu
sendiri.
Beberapa uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat banyak
karakteristik yang dapat dijadikan sebagai ukuran dalam kekuatan organisasi untuk
mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Pemahaman anggota terhadap budaya
organisasi sangat penting baik bagi organisasi maupun anggota itu sendiri yaitu
dapat memberikan arahan dan pedoman dalam berperilaku didalam organisasi,
mendorong sumber daya manusia untuk lebih mengembangkan potensinya, serta
sebagai pedoman penentu kebijakan yang berkenaan dengan ruang lingkup kegiatan
organisasi.
Karakteristik budaya organisasi yang digunakan penulis dalam penelitian
mengacu pada pendapat Luthans (2006) yaitu: aturan perilaku yang diamati,norma,
nilai dominan, filosofi, aturan, iklim organisasi. Peneliti menggunakan karakteristik
diatas karena peneliti ingin mengungkap budaya organisasi yang dimiliki oleh
perusahaan melalui karakteristik tersebut. Peneliti mengungkap budaya organisasi
melalui penilaian diri tiap karyawan terhadap budaya organisasi yang dimiliki
melalui karakteristik tersebut.
26
C. Hubungan antara Work Engagement dengan Budaya Organisasi pada
Karyawan PT Harian Bernas
Menurut Robbins (2007) di dalam budaya kuat, nilai inti organisasi
dipegang secara mendalam dan dianut secara meluas. Semakin banyak anggota
organisasi yang menerima nilai-nilai inti suatu organisasi tersebut dan semakin
besar komitmen individupada nilai-nilai tersebut, maka semakin kuat budaya
tersebut mempengaruhi perilaku anggota-anggota organisasi terutama didalam
karyawan melaksanakan pekerjaan sehari-hari. Kuat atau lemahnya suatu budaya
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti ukuran suatu organisasi, berapa lama
organisasi tersebut berdiri, pewarisan (learning process) yang dilakukan oleh
pendiri atau pemilik perusahaan dalam hal mencetuskan nilai-nilai yang dianut
perusahaannya. Kuatnya suatu budaya dapat dilihat juga melalui rendahnya tingkat
turnover atau keluar masuknya karyawan (Robbins, 2007).
Budaya organisasi dikatakan sebagai suatu perilaku yang sudah menjadi
kebisaan, keyakinan dan menjadi persepsi bersama seluruh yang terlibat di dalam
organisasi untuk mencapai tujuan organisasi dan hal tersebut yang menjadikan ciri
khas perusahaan untuk membedakan perusahaan tersebut dengan perusahaan
lainnya. Budaya yang sesuai harapan adalah budaya yang diinginkan oleh karyawan
perusahaan dan budaya yang tidak sesuai harapan adalah budaya yang tidak seperti
diinginkan oleh karyawan perusahaan (Akbar, 2013). Konsep budaya organisasi
tersebut dapat mempengaruhi work engagement ketika budaya perusahaan sesuai
harapan karyawan maka engagement dari karyawan akan tinggi, begitu juga
27
sebaliknya ketika budaya dalam perusahaan tersebut tidak sesuai harapan dari
karyawan maka engagement dari karyawan akan rendah (Akbar, 2013)
Agar budaya organisi memiliki pengaruh yang baik bagi karyawan maupun
perusahaan maka budaya organisasi haruslah memenuhi karakeristik tertentu.
Karakteristik tersebut akan membentuk suatu kebisaan, keyakinan dan persepsi
pada karyaawan. Karakteristik yang dapat mempengaruhi budaya organisasi adalah
aturan perilaku yang diamati, norma,nilai dominan, filosofi, aturan dan iklim
organisasi (Luthnas, 2006). Karakteristik tersebut akan dibahas satu persatu dalam
kaitannya dengan work engagement.
Karakteristik aturan perilaku yang diamati menurut Beach (dalam
Sumarwanto, 2010) budaya merupakan inti dari apa yang penting dalam organisasi.
Seperti aktivitas memberi perintah dan larangan serta menggambarkan sesuatu yang
dilakukan dan tidak dilakukan yang mengatur perilaku anggota. Karyawan yang
memahami perilaku yang boleh dan tidak dilakukan diperusahaan biasanya
mengerti bagaimana caranya bertindak sehingga tidak akan menghambat
kinerjanya. Sebaliknya, jika karyawan tidak memahaminya maka perilaku yang
akan ditunjukaan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh perusahaan
sehingga akan menghambat kinerjanya (Yadnyawati, 2012). Dijelaskan menurut
Amstrong dan Baron (dalam Wibowo, 2010) bahwa kinerja memiliki korelasi
positif dengan engagement pada karyawan. Hal ini senada dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Yadnyawati (2012) yaitu adanya hubungan antara budaya
organisasi dengan work engagement yang mana budaya organisasi akan terbentuk
jika karyawan mampu berperilaku seperti apa yang diharapkan perusahaan.
28
Kemudian untuk karakteristik norma, menurut Luthnas (2006) yaitu
berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh
mana suatu pekerjaan harus dilakukan. Norma yang ditetapkan akan membentuk
perilaku karyawan yang bertanggung jawab terhadap pekerjaanya. Lebih lanjut lagi
dijelaskan bahwa norma yang diterapkan akan mengatur perilaku sehingga rasa
tanggung jawab terjalin dengan baik. Sebaliknya, jika norma tidak diterapkan
dengan baik maka akan terjadi rasa acuh terhadap pekerjaanya. Lockwood (dalam
Mujiasih, 2012) menyatakan bahwa adanya hubungan timbal balik antara norma
dengan rasa engaged yang mana dengan norma yang baik akan membentuk
tanggung jawab yang baik pada pekerjaanya sebaliknya dengan rasa engaged yang
tinggi maka karyawan memiliki persepsi positif pada norma di perusahaan.
Selanjutnya mengenai karakteristik nilai dominan, dikatakan sebagai (1)
sebuah konsep atau keyakinan (2) tentang tujuan akhir atau sebuah perilaku yang
patut dicapai (3) yang bersifat transendental untuk situasi tertentu (4) menjadi
pedoman untuk memilih atau mengevaluasi perilaku atau sebuah kejadian dan (5)
tersusun sesuai dengan arti pentignya (Schein, 2010). Nilai yang baik dalam sebuah
organisasi akan menjadikan anggota organisasi menerima keterikatannya pada nilai
organisasional yang berlaku, sehingga meningkat pula komitmen terhadap
keberhasilan sistem nilai yang dianut. Sebaliknya jika nilai yang dianut tidak sesuai
maka akan menjadikan anggota organisasi menolak untuk terikat dengan
perusahaan sehingga komitmen yang dimiliki menurun dan turnover akan
meningkat (Siagian 2003). Menurut Luthans (2006) mengungkapkan bahwa
semakin besar nilai-nilai organisasi yang dapat diterima karyawan, semakin positif
29
budaya organisasi, sehingga semakin tampak pengaruhnya pada rasa enagement
pada karyawan.
Karakteristik filosofi, karyawan yang memiliki keselarasan nilai-nilai
dengan perusahaan akan memiliki keterikatan yang tinggi. Itulah sebabnya budaya
organisasi yang baik biasanya meletakkan dasar filosofi nilai-nilai ideologis atau
humanis sebagai fondasinya (Hermala, 2009). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
memiliki fondasi filosofi yang kuat akan membentuk nilai yang baik sehingga
perusahaan akan berdiri dengan baik selanjutnya karyawan akan menerima
perusahaan dan memiliki komitmen, loyalitas, dan rasa percaya. Sebaliknya jika
fondasi filosofi yang kurang akan menurunkan derajat perusahaan sehingga
karyawan tidak memimiliki komitmen, loyalitas dan rasa percaya pada perusahaan.
Perusahaan yang memiliki skor tinggi pada karakteristik filosofi tersebut
kemungkinan memiliki karyawan yang engaged dengan pekerjaanya. Sebaliknya
jika skor filosofi yang buruk pada perusahaan akan membawa perilaku karyawan
yang tidak engaged pada pekerjaan maupun pada perusahaanya (Hermala, 2009).
Kemudian untuk karakteristik aturan, dikatakan oleh McBain (dalam
Mudjiasih, 2012) aturan dibuat oleh pemimpin perusahaan maka pemimpin
perusahaan harus memiliki konsistensi dalam memonitoring karyawan.
Memonitoring dapat dilakukan dengan memberikan pengawasan secara menyeluruh
pada karyawan sehingga perilaku yang ditunjukkan tidak menyimpang dari aturan
yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Selain itu pengawasan secara berkala akan
meningkatkan perilaku disiplin pada karyawan. Hal ini menjadi jalan bagi manajer
untuk menciptakan engagement pada karyawan, sehingga secara khusus hal ini
30
disebut sebagai penggerak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa aturan yang bagus akan
membentuk perilaku karyawan dengan baik sehingga akan meningkatkan engaged
karyawan pada pekerjaanya. Sebaliknya aturan yang kurang baik akan mengubah
perilaku karyawan menjadi tidak teratur. Lebih lanjut perilaku karyawan yang tidak
teratur akan menghambat karyawan dalam bekerja sehingga pekerjaan yang
dilakukan menjadi tidak produktif dan tidak memiliki tanggung jawab pada
pekerjaanya. Senada dengan hal tersebut, pendapat yang dikemukakan oleh
Yadnyawati (2012) bahwa aturan, nilai dan norma pada perusahaan akan
membentuk perilaku sehingga mampu membentuk komitmen dan totalitas
(engaged) pada karyawan. Lebih lanjut jika aturan, nilai dan noram tidak diterapkan
dengan baik maka perilaku yang terbentuk tidak akan menunjukkan adanya
komitmen pada pekerjaanya dan kurangnya totalitas dalam bekerja.
Berlanjut ke karakteristik iklim organisasi, McBraim (dalam Mudjiasih,
2012) mengatakan bahwa dalam budaya organisasi untuk menciptakan lingkungan
yang kondusif biasanya merupakan bagian dari nilai organisasi yang dikembangkan
dari filosofi dasarnya. Nilai ini biasanya tertuang dalam salah satu prinsip atau asas
yang mendasari pola interaksi antar sesama karyawan. Prinsip-prinsip semacam itu
mencakup lingkungan kerja yang kondusif. Kenyamanan kondisi lingkungan kerja
menjadi pemicu terciptanya work engagement pada karyawan. Denison (dalam
Erni, 2004) mencatat bahwa secara umum iklim organisasi berkaitan dengan
situasi, paradigma, perasaan dan perilaku anggota organisasi. Semakin baik suatu
iklim organisasi pada suatu organisasi maka situasi, paradigma, perasaan dan
perilaku anggota organisasi akan semakin baik sehingga kinerja akan semakin
31
meningkat. Sebaliknya jika iklim organisasi buruk maka situasi, paradigma,
perasaan dan perilaku anggota organisasi akan buruk sehingga akan menyebabkan
penurunan kinerja pada karyawan. Lebih lanjut lagi dijelaskan Luthans (2006)
bahwa iklim organisasi memiliki kontribusi pada peningkatan rasa engagement
pada karyawan. Iklim organisasi yang baik akan meningkatkan rasa loyal pada
pekerjaanya dan perusahaanya.
Skema hubungan Budaya Organisasi dengan Work Engagement dapatdilihat pada bagan berikut:
BUDAYA ORGANISASI
Aturan Perilakuyang diamati
Norma Nilai Filosofi Aturan IklimOrganisasi
WORK ENGAGEMENT Karyawan yangmemiliki rasa engagedmemiliki rasa totalitasdalam bekerjadiwujudkan denganperilaku memberikanusaha yang maksimal,antusias, mencurahkantenaganya untukbekerja.
32
D. Hipotesis
Berdasarkan kajian teorits sebelumnya, maka rumusan hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan positif antara budaya
organisasi dengan work engagement pada karyawan Harian Bernas. Semakin
positif budaya organisasi maka akan semakin tinggi work engagement pada
karyawan Harian Bernas. Sebaliknya, jika semakin negatif budaya organisasi
maka akan semakin rendah work engagement pada karyawan.