Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
LANDASAN TEORI
TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF
A. Pemikiran Perwakafan Dalam Perspektif Hukum
1. Wakaf Dalam Hukum Islam
Kata wakaf tidak disebutkan didalam al-Qur’an dan al-Hadist. Pengertian
wakaf berasal dari istilah dalam hukum Islam. Wakaf bermakna berhenti atau
berdiri (waqafa-yaqifu-waqfan). Dalam istilah, wakaf adalah menahan harta
yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan
benda (ain-nya) dan digunakan untuk kebaikan.1Wakaf menurut syara‟ berarti
penahanan hak milik atas materi benda untuk tujuan menyedekahkan manfaat
atau faedahnya di jalan Allah. Yang dimaksud dengan menahan dzat (asal)
benda adalah menahan barang yang diwakafkan agar tidak diwariskan,
digunakan dalam bentuk dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan,
dipinjamkan, atau sejenisnya.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia wakaf berarti tanah Negara yang
tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal,
benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum
sebagai pemberian yang ikhlas, hadiah atau pemberian yang bersifat
suci.2Menurut pendapat Abu Hanifah, wakaf adalah penahanan pokok sesuatu
harta dalam tangan pemilikan wakaf dan penggunaan hasil barang itu, yang
dapat disebutkan ariah dan commodate loan untuk tujun-tujuan amal
saleh.3Menurut Imam Maliki, wakaf itu tidak melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif, akan tetapi wakaf tersebut mencegah wakif
1Perwakafan Tanah di Indonesia: Dalam Teori dan Praktek, Adijan al-Alabij, Cet,ke-4,
Rajawali Pers, Jakarta, 2002
2Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya: Amanah, 2002, hlm. 1266
3Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 355
14
melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut
kepada orang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta
tidak boleh menarik kembali harta wakafnya. Menurut Imam Syafi‟i, wakaf
merupakan menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap
utuhnya barang dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta
dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.
Menurut Imam Hambali, wakaf adalah menahan pokok dan menyalurkan
hasilnya pada kebaikan. Imam Hambali merujuk pada tindakan Nabi kepada
Umar bin al-Khattab ketika bertanya tentang amal apa yang terbaik untuk
memanfaatkan perkebunan yang subur di Khaibar.4
` Menurut Mohammad Daud Ali, kata wakaf berasal dari Bahasa Arab itu
disamping berarti menghentikan atau berdiam di tempat juga mempunyai arti
menahan sesuatu yang dihubungkan dengan harta kekayaan itulah yang
dimaksud dengan wakaf. Dalam urauan ini wakaf yaitu menahan sesuati benda
untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam.5
Definisi wakaf menurut PP No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik dalam pasal 1 ayat (1) Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau
badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa
tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.6
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan bahwa wakaf adalah
perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
4Mukhlisin Muzarie, hlm. 79
5 Mohammad Daud Ali, hlm. 80
6 PP No. 28 tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.7 Bahwa dalam fiqh Islam, wakaf tidak
hanya berbentuk tanah, tetapi meliputi berbagai benda lain, yang dapat diambil
manfaatnya, dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan
mentasarufkan hartanya di jalan kebajikan.8Dari berbagai rumusan di atas dapat
di ambil kesimpulan bahwa wakaf adalah menahan perpindahan milik suatu
harta yang bermanfaat dan tahan lama, sehingga manfaat harta iu dapat
digunakan untuk mencari keridhaan Allah.
2. Dasar Hukum Wakaf
Di dalam al-Qur‟an memang tidak disebutkan secara jelas mengenai
perintah wakaf, namun beberapa ayat yang memerintahkan manusia untuk
berbuat baik kepada masyarakat dipandang oleh para ulama sebagai landasan
hukum perwakafan. Adapun landasan hukumnya yaitu:
a. Al-Qur‟an
Surat al-Hajj ayat 77:
أيهاٱلذين ي وٱركعىاءامنىا وٱعبدواوٱسجدوا لعلكمٱفعلىاٱلخيزربكم
تفلحىن
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan”. (Q.S. al-Hajj : 77)9
7Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2011, hlm 184
8Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: CV
Rajawali, 1989, hlm. 24
9Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemahnya (Revisi Terbaru),
(Semarang: CV . As-Syifa, 1999)
Ayat diatas mengandung perintah secara umum agar kaum muslim dapat
menjalin hubungan baik dengan Allah melalui kegiatan yang telah ditetapkan
dengan rukuk dan sujud serta ibadah lainnya, dan melalui kegiatan sosial
lainnya seperti menjalin hubungan baik dengan sesama. Menurut ulama ahli
fiqh ayat ini dijadikan landasan hukum wakaf karena perintah untuk berbuat
kebaikan mengandung petunjuk umum, termasuk didalamnya melaksanakan
amal wakaf, mengingat wakaf merupakan implementasi hubungan baik dengan
Tuhan yang sangat dianjurkan.10
b. Al-Sunnah
Hadits yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadits yang
menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khattab ketika memperoleh tanah di
Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi
menganjurkan untuk manahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.“Dari
Ibnu Umar R.A. bahwasanya Umar bin Khattab mendapatkan sebidang tanah
di Khaibar, lalu ia datang kepada nabi Muhammad SAW untuk meminta
nasehat tentang harta itu, ia berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah
mendapatkan sebidang tanah di Khaibar yang aku belum pernah memperoleh
tanah sebaik ini, apa nasehat engkau kepadaku tentang tanah itu? Rasulullah
menjawab: “Bila kamu suka,kamu tahan (pokoknya) tanah itu dan
kamusedekahkan (hasilnya)”. Kemudian Umar melakukan sadaqah, tidak
dijual, tidak diwariskan, dan tidak juga dihibahkan. Ibnu Umar berkata,
“Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak
10Mukhlisin Muzarie, hlm. 81-82
belian, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang
bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya
dengan cara yang baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud
menumpuk harta”. (H.R. Muslim)11
Hadits Ibnu Umar memberikan petunjuk yang lebih lengkap terhadap
praktik wakaf sehingga para ulama menetapkan persyaratan-persyaratan wakaf,
mulai dari persyaratan pewakaf, persyaratan harta yang diwakafkan, sasaran
dan tujuan wakaf sampai pasa akibat hukum dari transaksi wakaf berdasarkan
hadits ini. Hadits ini memberikan petunjuk tentang bagaimana cara mengelola
wakaf dan cara mendistribusikan hasil-hasilnya. Wakaf yang disyari‟atkan oleh
Rasulullah SAW kepada Umar bin al-Khattab mengenai hadits diatas yang
mewakafkan tanah di Khaibar, yang kemudian tercatat sebagai tindakan wakaf
dalam sejarah isla m.
Wakaf dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya.
Hal ini sangat penting, karena tanpa rukun dan syarat yang harus dipenuhi,
maka wakaf tidak akan terwujud. Dengan perkataan lain wakaf sebagai suatu
lembaga pasti memiliki unsur-unsur pembentuknya. Tanpa unsur itu wakaf
tidak dapat berdiri. Unsur-unsur pembentuk wakaf sekaligus merupakan rukun
dan syarat wakaf.12
1. Rukun Wakaf
11Elsi Kartika Sari, hlm 57
12A. Faishal Haq dan A. Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia,
Pasuruan: PT. GBI, 2005, hlm. 15
Dalam Islam, wakaf dianggap sah jika wakaf itu telah dilaksanakan
dengan memenuhi syarat dan rukunnya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang ada dalam hukum Islam.
Adapun rukun wakaf ada 4, yaitu:
1. Wakif (orang yang berwakaf)
2. Nadzir (orang yang mengelola benda wakaf)
3. Mauquf bih (harta yang diwakafkan)
4. Mauquf alaih (peruntukan wakaf)
5. Sighat (ikrar wakaf)13
2. Syarat Wakaf
Rukun-rukun wakaf yang dikemukakan diatas masing-masing harus
memenuhi syarat. Adapun syarat-syarat nya dari tiap-tiap rukun wakaf adalah
sebagai berikut:
1. Wakif (orang yang berwakaf)
Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Suatu
perwakafan dapat dikatakan sah dan dapat dilaksanakan apabila wakif
mempunyai kecakapan untuk melakukan tabarru‟ yaitu melepaskan hak milik
dari hartanya tanpa mengharapkan imbalan. Adapun syarat-syaratnya adalah:
1) Dewasa
2) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
3) Berakal sehat
4) Pemilik sah harta benda wakaf.14
13
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama RI, Fiqh Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006, hlm. 21
Wakaf tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila, idiot (lemah mental),
berubah akal karena usia, sakit atau kecelakaan.
2. Nadzir (orang yang mengelola benda wakaf)
Nadzir adalah orang yang dipercaya untuk mengelola harta wakaf. Dalam
undang-undang R.I. No. 41 tahun 2004 pasal 1 nadzir adalah pihak yang
menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan
sesuai dengan peruntukannya.
Apabila pewakaf meninggal dunia sebelum menunjuk orang lain untuk
mengelola wakafnya, maka menurut al-Khatib al-Syarbini, penguasa hukum
wilayah yang bertanggung jawab untuk mengelola dan mengawasi harta wakaf
tersebut. Al-Syarbini mengemukakan alasan, karena harta wakaf adalah milik
Allah, penguasa hukum wilayah selaku nadzir bertanggung jawab atas harta
wakaf tersebut. Sedangkan menurut Ibnu Qudamah, berpendapat bahwa apabila
pewakaf meninggal sebelum menunjuk seseorang untuk mengelola wakafnya,
maka pihak yang menerima wakaflah yang bertanggung jawab untuk
mengelolanya, bukan penguasa hukum wilayah. Alasannya, karena penerima
wakaf adalah pemiliknya atau pengguna manfaatnya sehingga layak apabila
diberi tanggung jawab untuk mengelola harta tersebut bertindak sebagai
pemilik yang sesungguhnya.15
Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam,
pertama tertentu (mu‟ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu‟ayyan). Yang
dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu,
14Undang-undang RI No. 41 Tahun 2004, Pasal 8.
15Mukhlisin Muzarie, hlm. 142-143
apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan
tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf
itu tidak ditentukan secara terperinci.
Nadzir terdiri atas nadzir perorangan, nadzir organisasi, dan nadzir badan
hukum. Adapun syarat nadzir perorangan adalah adalah:
1) Warga Negara Indonesia
2) Beragama Islam
3) Dewasa
4) Amanah
5) Mampu secara jasmani dan rokhani
6) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.16
Syarat nadzir organisasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Memenuhi persyaratan seperti yang ditentukan dalam nadzir perseorangan
2) Organisasi bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan
keagamaan islam.
3) Salah seorang pengurusnya harus berdomisili di Kabupaten Kota letak
benda wakaf berada
4) Memiliki:
a) Salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasarnya
b) Daftar susunan pengurus
c) Anggaran Rumah Tangga
d) Program kerja dalam pengembangan wakaf
16
Undang-undang RI No. 41 Tahun 2004, Pasal 10
e) Daftar kekayaan yang berasal dari harta wakaf yang terpisah dari
kekayaan lain atau merupakan kekayaan organisasi
f) Surat pernyataan bersedia untuk diaudit.
Persyaratan nadzir badan hukum harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
1) Memenuhi persyaratan nadzir perseorangan
2) Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
3) Badan hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan,dan keagamaan islam
4) Terdaftar pada Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia
5) Salah seorang pengurus harus berdomisili di Kabupaten / Kota letak
benda wakaf berada
6) Memiliki:
a) Salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar badan
hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang
b) Daftar susunan pengurus
c) Anggaran Rumah Tangga
d) Program kerja dalam pengembangan wakaf
e) Daftar terpisah kekayaan yang berasa dari harta wakaf atau yang
merupakan kekayaan badan hukum
f) Surat pernyataan bersedia diaudit.
Jika nadzir berbentuk badan hukum, maka harus badan hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia serta mempunyai perwakilan di kecamatan
tempat letak tanahn yang diwakafkan. Nadzir harus didaftar pada KUA
setempat untuk mendapatkan pengesahan.17
Baik nadzir perorangan maupun badan hukum, sama-sama harus
didaftarkan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah
mendengar saran dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk
mendapatkan pengesahan. Dan harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang
saksi.18
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 200 nadzir mempunyai
kewajiban, yaitu:
a. mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan
pelaksaan perwakafan sesuai dengan tujuannya menurut ketentuan-
ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.
b. membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung
jawabnya sebagaimana dimaksud di atas kepada Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan dan Camat setempat sesuai dengan tata cara yang
ditetapkan dalam Menteri Agama.
3. Mauquf bih (harta yang diwakafkan)
17Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 200
18
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 353-354
Benda wakaf adalah segala benda baik itu benda bergerak atau benda
tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan
bernilai menurut ajaran islam.19
Harta wakaf disyaratkan merupakan harta yang mempunyai nilai, milik
wakif dan dapat tahan lama dalam penggunaannya, meskipun objek wakaf
bercampur dan tidak dapat dipisahkan dengan lain. Harta tersebut juga bukan
harta yang haram atau najis, harta yang menjadi larangan Allah karena bisa
menimbulkan fitnah.20
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasi
oleh wakif secara sah. Harta benda wakaf terdiri dari: benda bergerak dan
benda tidak bergerak. Benda tidak bergerak meliputi:
a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar
b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana
dimaksud pada huruf a
c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.
d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
19
Undng-undang RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
hlm. 305
20
Rachmadi Usman, hlm. 61
Sedangkan benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah harta benda
yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. Uang
b. Logam mulia
c. Surat berharga
d. Kendaraan
e. Hak atas kekayaan intelektual
f. Hak sewa
g. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Syarat harta yang diwakafkan adalah sebagai berikut:
1) Benda itu adalah sah dari pihak yang berwakaf.
2) Benda yang diwakafkan itu tahan lama dan bisa diambil manfaatnya.
3) Benda yang diwakafkan itu harus sesuatu yang boleh dimiliki dan
dimanfaatkan, karena itu tidak boleh mewakafkan benda-benda yang
haram.
4) Kadar benda yang diwakafkan tidak boleh melebihi jumlah sepertiga
harta yang berwakaf, karena dapat merugikan pihak ahli waris dari pihak
yang berwakaf.21
Harta yang diwakafkan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Harta yang diwakafkan harus mutaqawwim, yaitu segala sesuatu
yang dapat disimpan dan halal digunakan dalam keadaan normal.
21 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 109
2) Harta yang diwakafkan harus diketahui dengan yakin ketika
diwakafkan sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan.
3) Milik wakif, hendaklah harta yang diwakafkan milik penuh dan dan
mengikat bagi wakif ketika ia mewakafkannya.
4) Terpisah bukan milik bersama.
Harta benda wakaf yang dapat diwakafkan terdiri dari:
1) Benda tidak bergerak.
2) Benda bergerak
4. Mauquf alaih (peruntukan wakaf)22
Yang dimaksud mauquf alaih adalah tujuan wakaf atau peruntukan wakaf
yang harus digunakan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran
Islam. Maka,benda-benda yang dijadikan sebagai obyek wakaf harus benda-
benda yang termasuk dalam bidang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Mauquf alaih juga harus jelas misalnya untuk kepentingan umum, untuk
menolong orang miskin, untuk menolong anggota keluarga sendiri, walaupun
misalnya anggota keluarga itu terdiri dari orang-orang yang mampu namun
yang lebih baik adalah kalau tujuan wakaf itu jelas diperuntukkan bagi
kepentingan umum, untuk kemaslahatan masyarakat.
Tujuan wakaf untuk kepentingan masyarakat seperti membantu fakir
miskin, orang-orang terlantar, kerabat, mendirikan sekolah, asrama anak yatim
dan sebagainya.23
Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 pasal 22
22 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006, hlm 241
23
Undang-undang Repiblik Indonesia No. 41 Tahun 2004, Pasal 22 37
menyebutkan bahwa dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta
benda wakaf hanya diperuntukkan bagi:
1) Sarana dan kegiatan ibadah
2) Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
3) Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa
4) Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat.
5) Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
syariah dan peraturan perundang-undangan.
5. Sighat (ikrar wakaf)
Sighat (ikrar wakaf) adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan
secara lisan atau tulisan kepada nadzir untuk mewakafkan harta benda
miliknya, menurut Abdur-Rasyid Salim yang dikutip oleh Muhammad Amin
Suma.24
Adapun syarat sah nya sighat adalah sebagai berikut:
1) Sighat harus munjazah (terjadi seketika / selesai).
2) Sighat tidak diikuti syarat batil (palsu).
3) Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang
sudah dilakukan.
4) Sighat tidak diikuti pembatasan waktu tertentu, dengan kata lain bahwa
wakaf tersebut tidak untuk selamanya.25
Dalam pasal 5 PP No. 28 tahun 1977 menjelaskan ikrar wakaf
dinyatakan:
24
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005, hlm. 144
25
Departemen Agama, Fiqh Wakaf, Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf,
2005, hlm. 59-60
1) Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya
secarajelas dan tegas kepada nadzir dihadapan pejabat pembuat akta
ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian
menuangkannya dalam bentuk ikrar wakaf, dengan disaksikan
sekurang-kurangnya dua orang saksi.
2) Dalam keadaan tertentu penyimpangan dari ketentuan yang dimaksud
dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah lebih dahulu mendapatkan
persetujuan Menteri Agama.
4. Perubahan Harta Wakaf
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa perwakafan bertujuan
untuk memanfaatkan sesuatu baik untuk kepentingan ibadah maupun sosial.
Dan disyaratkan agar harta yang diwakafkan haruslah benda yang mempunyai
nilai manfaat dan sifatnya kekal. Akan tetapi, apabila suatu saat benda wakaf
itu sudah tidak ada manfaatnya,atau sudah berkurang manfaatnya, kecuali
dengan ada perubahan pada benda wakaf tersebut, seperti menjual, merubah
bentuk / sifat, memindahkan ke tempat lain, atau menukar dengan benda lain,
bolehkah perubahan itu dilakukan terhadap benda wakaf tersebut, mengingat
pentingnya menjaga amanat wakif dan sisi manfaat harta wakaf tersebut.
Dalam KHI pasal 40 UU No. 41 Tahun 2004. Harta benda wakaf yang sudah
diwakafkan dilarang:
a. dijadikan jaminan
b. Disita
c. Dihibahkan
d. Dijual
e. Diwariskan
f. Ditukar, atau
g. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.26
Namun dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan
digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang
(RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan tidak bertentangan dengan syariah dan hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena adanya pengecualian
wajib ditukar dengan harta benda yang mempunyai manfaat dan nilai tukar
sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.27
Dalam fiqh Islam pada dasarnya perubahan peruntukan dan status tanah
wakaf itu tidak diperbolehkan, kecuali apabila tanah wakaf tersebut tidak lagi
dimanfaatkan lagi sesuai dengan tujuan wakaf, maka tanah wakaf tersebut
dapat dilakukan perubahan baik peruntukannya maupun statusnya. Dalam fiqih
juga dikenal prinsip maslahat, yaitu memelihara maksud syara‟, yakni
memberikan kemanfaatan dan menghindari hal-hal yang merugikan. Prinsip ini
dijadikan pertimbangan dalam perubahan menukar dan menjual harta wakaf
untuk mencapai fingsinya sebagaimana dinyatakan si wakif.28
26Undang-undang R.I. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.,
hlm. 197-198
27
Abdul Shomad, hlm. 386 28
Ibid, hlm. 387
Perubahan status dan penggunaan tanah wakaf terebut harus segera
dilaporkan oleh nadzir kepada Bupati atau Walikota sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 pasal 11. Dalam PP No. 28
tahun 1977 juga menyatakan bahwa pada dasarnya tidak dapat dilakukan
perubahan peruntukan atau penggunaan tanah wakaf. Tetapi sebagai
pengecualian, dalam keadaan kasus tertentu dapat dilakukan dengan
persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yang alasannya meliputi:
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif.
b. Karena untuk kepentingan umum.
Penyelesain perselisihan benda wakaf ditegaskan dalam Kompilasi
Hukum Islam, bahwa penyelesaian perselisihan sepanjang
menyangkutpersoalan benda wakaf dan nadzir diajukan kepada Pengadilan
Agama setempat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.29
2.Hukum Ekonomi Syari’ah
Hukum Ekonomi Syariah yang berarti Hukum Ekonomi Islam yang
digali dari sistem ekonomi Islam yang ada dalam masyarakat, yang merupakan
pelaksanaan fiqh dibidang ekonomi oleh masyarakat. Pelaksanaan ekonomi
oleh masyarakat membutuhkan hukum untuk mengatur guna menciptakan tertib
hukum dan menyelesaikan masalah sengketa yang pasti timbul pada interaksi
ekonomi. Hukum Ekonomi Syariah untuk menyelesaikan sengketa yang pasti
muncul dalam masyarakat.30
29Rachmadi Usman, hlm. 70
30
Nurul Septiani, “Penarikan Hibah Orang Tua Kepada Anak Ditinjau dari Hukum Ekonomi
Syariah”, Sripsi Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo
Metro Tahun 2015.
Dalam tataran hukum ekonomi Islam (mu’amalat) dan aspek hukum
bisnis Indonesia, wakaf dianggap sebagai sistem ekonomi yang mampu
meminimalisasi kesenjangan ekonomi umat, melalui pemberdayaan
perekonomian Islam.31
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga peradilan agama
saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang
lembaga peradilan agama antara lain dalam bidang ekonomi syariah.
Disamping itu, lahirnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf juga telah memberikan nuansa baru pada lembaga peradilan agama,
sebab pengaturan wakaf dengan undang-undang ini tidak hanya menyangkut
tanah milik, tetapi juga mengatur tentang wakaf produktif yang juga menjadi
kewenangan lembaga peradilan agama untuk menyelesaikan berbagai sengketa
dalam pelaksanaannya.32
Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 pada pasal 62 dijelaskan
mengenai penyelesaian sengketa diantaranya yaitu:
a. Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk
mencapai mufakat.
31
Ulya Kencana, Hukum Wakaf Indonesia: Sejarah, Landasan Hukum dan Perbandingan
antara Hukum Barat, Adat dan Islam, Malang: SetaraPress, 2017. hlm 235.
32
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 425.
b. Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau
pengadilan.33
Dengan adanya aturan dalam penyeleasaian sengketa wakaf diharapkan
mempermudah apabila terjadi perselisihan mengenai harta wakaf maka dapa
menggunakan jalan musyawarah, apabila dalam musyawarah tidak ada
kesepakatan maka dapat menggunakan jalan mediasi, arbitrase atau pengadilan.
Islam mengajarkan bagaimana mewujutkan masyarakat yang sejahterah
dan berkeadilan sosial, di dalam al-Qur‟an juga mengajarkan bagaimana
menafkahkan harta yang dimiliki umatnya untuk kesejahterahanumum melalui,
zakat, infak, shadaqah, qurban dan wakaf. Langkah yang strategis untuk
meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai
pranata kehidupan yang tidak hanya menyediakan sarana ibadah dan sosial,
tetapi juga mempunyai kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk
kesejahterahan umum, sehingga perlu dikembangkan sesuai prinsip syariah.
Tujuan hukum ekonomi syariah dapat dilihat dari sudut pandang yang
memiliki karakteristik dan nilai-nilai yang berfokus kepada amar ma‟ruf nahi
munkar yang berarti mengerjakan yang benar dan meninggalkan yang dilarang.
Adapun sudut pandang tersebut adalah sebagai berikut:34
1) Ekonomi Illahiyah (Ke-Tuhan-an)
33
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 62
34 Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi., hlm. 3.
Ekonomi Ke-Tuhan-an mengandung arti manusia diciptakan oleh Allah
untuk memenuhi perintah-Nya, yakni beribadah, dan dalam mencari kebutuhan
hidupnya, manusia harus berdasarkan aturan-aturan (Syariah) dengan tujuan
utama untuk mendapatkan ridho Allah.
2) Ekonomi Akhlaq
Ekonomi akhlaq mengandung arti kesatuan antara ekonomi dan akhlaq
harus berkaitan dengan sekor produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan
demikian seorang muslim tidak bebas menggerakkan apa saja yang diinginkan
atau yang menguntungkan tanpa memperdulikan orang lain.
3) Ekonomi Kemanusiaan
Ekonomi kemanusiaan mengandung arti Allah memberikanpredikat
“Khalifah” hanya kepada manusia, karena manusia diberi kemampuan dan
perasaan yang memungkinkan ia melaksanakan tugasnya. Melalui perannya
sebagai “Khalifah” manusia wajib beramal, bekerja keras, berkreasi, dan
berinovasi.
4) Ekonomi Keseimbangan
Ekonomi keseimbangan adalah pandangan Islam terhadap hak individu
dan masyarakat diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil tentang dunia
dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan, iman
dan kekuasaan. Ekonomi yang moderat tidak mendzalimi masyarakat,
khususnya kaum lemah sebagaimana yang terjadi pada masyarakat kapitalis.
Disamping itu, Islam juga tidak mendzalimi hak individu sebagaimana yang
dilakukan oleh kaum sosialis, tetapi Islam mengakui hak individu dan
masyarakat secara berimbang. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa Sistem
Ekonomi Syariah mempunyai konsep yang lengkap dan seimbang dalam segala
hal kehidupan, namun penganut ajaran Islam sendiri sering kali tidak
menyadari hal dimaksud. Hal itu terjadi karena masih berfikir dengan kerangka
ekonomi kapitalis, karena berabad-abad dijajah oleh bangsa Barat, dan juga
bahwa pandangan dari Barat selalu dianggap lebih hebat. Padahal tanpa
disadari ternyata di dunia Barat sendiri telah banyak negara mulai mendalami
sistem perekonomian yang berbasis Syariah.
Dari keempat sudut pandang mengenai tujuan hukum ekonomi syariah
diatas dapat dipahami bahwa pada dasarnya tujuan dari hukum ekonomi syariah
adalah untuk memberikan suatu aturan dan pemahaman kepada manusia bahwa
dalam memenuhi kebutuhannya, manusia harus memperhatikan beberapa hal,
yaitu mencari ridho Allah, menjaga hubungan antar sesama, selalu bekerja
keras, serta menjaga keseimbangan antara keperluan dunia dan akhirat.
Sehingga dengan demikian hukum ekonomi syariah akan mewujudkan suatu
sistem ekonomi yang adil dan tidak mengandung kedzaliman dalam memenuhi
kebutuhan manusia, bukan hanya didunia melainkan juga kebutuhan akhirat,
karena sistem ekonomi syariah merupakan sistem yang mengutamakan unsur
tolong-menolong antar sesama dan mencari ridho Allah dalam pelaksanaannya.
Apabila mengamalkan ekonomi syariah akan mendatangkan manfaat yang
besar bagi umat Islam itu sendiri berupa:35
35Ibid., hlm. 11
1) Mewujudkan integritas seorang muslim yang kaffah, sehingga Islamnya
tidak lagi persal. Apabila ada orang Islam yang masih bergelut dan
mengamalkan ekonomi konvensional yang mengandung unsur riba, berarti
keIslamannya belum kaffah, sebab ajaran ekonomi syariah diabaikan.
2) Menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah melalui bank syariah,
asuransi syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah, dan atau Baitul
Maal wat Tamwil (selanjutnya disebut BMT), mendapatkan keuntungan di
dunia dan di akhirat.
3) Praktik ekonominya berdasarkan syariat Islam bernilai ibadah, karena
telah mengamalkan syariat Allah SWT.
4) Mengamalkan ekonomi syariah malalui bank syariah, asuransi syariah
dan/atau BMT, berarti mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat
Islam itu sendiri.
5) Mengamalkan ekonomi syariah dengan membuka tabungan, deposito atau
menjadi nasabah asuransi syariah, berarti mendukungupaya pemberdayaan
ekonomi umat Islam itu sendiri, sebab dana yang terkumpul dilembaga
keuangan syariah itu dapat digunakan oleh umat Islam itu sendiri untuk
keperluan mengembangkan usaha-usaha kaum muslimin.
6) Mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung gerakan amar ma‟ruf,
sebab dana yang terkumpul tersebut hanya boleh dimanfaatkan untuk usaha-
usaha atau proyek-proyek halal.
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan wakaf :
1. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
2. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
3. Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan
dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
4. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk
dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
5. Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama
dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut
syariah yang diwakafkan oleh Wakif.
6. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, adalah
pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar
wakaf.
7. Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan
perwakafan di Indonesia.
8. Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
terdiri atas Presiden beserta para menteri.
9. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agama.36
36 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Pasal 1
Diterbitkannya Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf
merupakan fase dimana perwakafan di Indonesia telah memilikiaturan yang
lebih komprehensif, detail dan jelas. Jika sebelumnya perwakafan hanya diatur
dalam 1 (satu) Pasal dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang kemudian
diatur dalam PP No. 28/1977, melali transplantasi hukum, maka dengan
diterbikannya UU No. 41 Tahun 2004, perwakafan telah diatur dalam dalam
UU tersendiri. Sebagai penjabaran lebih lanjut, maka diterbitkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Demikian pula sebagai aturan
turunnya lebih lanjut, diatur dalam Peraturan Menteri Agama, Peraturan
Dirjend. BIMAS, Peraturan Badan Wakaf di Indonesia.37
Dengan adanya pembaruan-pembaruan dari peraturan-peraturan
perwakafan yang terdahulu hingga sekarang, diharapkan perwakafan di
Indonesia berjalan secara efisien sehingga tidak diragukan lagi apabila ingin
mewakafkan hartanya. Karena secara resmi sudah diatur oleh peraturan
pemerintah. Undang-undang Wakaf pada Pasal 40 menentukan bahwa Harta
benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:38
1. dijadikan jaminan;
2. disita;
3. dihibahkan;
4. dijual;
5. diwariskan;
37 Suhairi, Wakaf Produktif., hlm. 22.
38
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 40.
6. ditukar; atau
7. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Berdasarkan pemaparan undang-undang wakaf diatas dapat ditarik
benang merah bahwa sudah ada aturan mengenai larangan harta benda wakaf
yang dijadikan jaminan utang. Pada dasarnya tidak dibolehkan karena dengan
menjaminkan harta wakaf untuk utang sama halnya merubah peruntukkan
harta wakaf. Sedangkan dalam merubah peruntukkan ada aturan-aturan yang
sudah ditetapkan pemerintah.
Masalah perubahan peruntukan dan status tanah wakaf ini sebenarnay
sudah banyak dikaji oleh ahli hukum Islam dalam kitab fiqih, dalam fiqh Islam
pada dasarnya perubahan peruntukan dan status tanah wakaf itu tidak
dibolehkan, kecuali apabila tanah wakaf tersebut tidak lagi dimanfaatkan
sesuai tujuan wakaf, maka terhadap tanah wakaf yang bersangkutan dapat
diadakan perubahan baik peruntukan maupun statusnya.
B. Konsep Tentang Jaminan dan Hutang
1. Jaminan
Jaminan dalam hukum Islam dibagi menjadi dua: jaminan yang berupa
orang dan jaminan yang berupa harta benda, Jaminan yang berupa orang sering
dikenal dengan istilah dammam atau kafalah, sedangkan jaminan yang berupa
harta benda dikenal dengan istilah rahm.39
Kata jaminan biasa didengar dikalangan perbankan, ketika hendak
meminjam dana dari bank tersebut. Sebenarnya pemberian utang itu merupkan
39 Dr. Mardani, Hukum Perikatan di Indonesia, (jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm 181.
suatu tindakan kebajikan untuk menolong orang yang sedang dalam keadaan
kesusahan tidak mempunyai uang. Namun untuk ketenangan hati, si pemberi
hutang memerlukan suatu jaminan bahwa hutang itu akan dibayar oleh orang
yang berhutang. Untuk maksud itu si pemilik uang boleh meminta jaminan
dalam bentuk barang berharga. Secara arti kata ruhnu atau rungguhan, agunan
atau jaminan mengandung arti “tetap dan bertahan”. Dalam arti istilah para
ulama mengartikannya dengan “menjadikan barang berharga sebagai jaminan
suatu utang”. Dengan begitu agunan itu berkaitan erat dengan utang-piutang
dan timbul dari padanya.40
Penyerahan agunan atau jaminan dilakukan dalam bentuk suatu transaksi
sebagai kelanjutan dari transaksi hutang-piutang. Untuk sahnya suatu transaksi
tersebut diperlukan suatu akad dengan cara penyerahan dan penerimaan atau
cara lain yang menunjukkan telah berlangsungnya jaminan dengan cara suka
sama suka.
A. Hukum Jaminan
Pada dasarnya istilah jaminan itu berasal dari kata “jamin” yang berarti
tanggung, sehingga jaminan dapat diartikan sebagai tanggungan. Menurut Pasal
2 Ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR
tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit dikemukakan
bahwa jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitor untuk
melunasi kredit sesuai dengan perjanjian.41
Pasal 1131 KUHPerd menyebutkan
bahwa jaminan adalah segala kebendaan milik si berutang, baik yang bergerak
40Mir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 227.
41
Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan : Teori dan Contoh Kasus
(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 19.
maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan
dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.42
Berbeda dengan jaminan, hukum jaminan memiliki pengertian tersendiri yang
berbeda dengan pengertian jaminan. J. Satrio mengartikan hukum jaminan
sebagai peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang
seorang kreditor terhadap seorang debitor. Ringkasnya hukum jaminan adalah
hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang. Sementara itu, Salim
HS dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia
memberikan perumusan hukum jaminan adalah keseluruhan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam
kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.43
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, unsur-unsur yang tercantum dalam
hukum jaminan ini adalah:
a. Adanya kaidah-kaidah hukum jaminan yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan, trakat, dan yurisprudensi serta kaidah-kaidah hukum
jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat.
b. Adanya pemberi dan penerima jaminan, pemberi jaminan adalah orang-
orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada
penerima jaminan.
c. Adanya jaminan yang diserahkan oleh debitor kepada kreditor.
42R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta:
Pradnya Pratama, 2008), hlm. 291.
43
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), hlm. 6.
d. Adanya fasilitas kredit yang diawali dari pembebanan jaminan yang
dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas
kredit dari bank atau lembaga keuangan non-bank.
B. Fungsi Jaminan
Jaminan secara umum berfungsi sebagai jaminan pelunasan
kredit/pembiayaan.44
Pengertian-pengertian jaminan yang telah dijelaskan
sebelumnya memberikan gambaran bahwa jaminan adalah suatu tanggungan
yang dapat dinilai dengan uang, berupa benda tertentu yang diserahkan oleh
debitor kepada kreditor sebagai akibat dari perjanjian utang piutang atau
perjanjian lain yang dibuatnya. Benda tertentu itu diserahkan debitor kepada
kreditor sebagai tanggungan atas pinjaman atau fasilitas kredit yang telah
diberikan kepada debitor sampai debitor melunasi pinjamannya tersebut.
Fungsi utama dari jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau kreditor,
bahwa debitor mempunyai kemampuan untuk mengembalikan atau melunasi
kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan persyaratan dan perjanjian
kredit yang telah disepakati bersama.45
Jaminan kredit adalah segala sesuatu
yang mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji
sebagai jaminan untuk pembayaran utang debitor berdasarkan perjanjian yang
dibuat. Kredit yang diberikan selalu diamankan dengan jaminan dengan tujuan
menghindarkan risiko debitor tidak mampu melunasi utangnua. Dapat
disimpulkan bahwa fungsi jaminan kredit adalah untuk:
44 Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), hlm. 44.
45
Abdul Rasyid Salman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan : Teori dan Contoh Kasus,
hlm. 21.
a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan
dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut jika debitor wanprestasi
dengan tidak melunasi utangnya pada waktu yang telah ditentukan.
b. Menjamin agar nasabah atau debitor berperan serta dalam transaksi untuk
membiayai usahanya, sehingga mencegah kemungkinan meninggalkan
usaha atau proyeknya dengan merugikan diri atau perusahaannya.
c. Memberi dorongan kepada debitor untuk memenuhi perjanjian kredit
(utang).46
Berdasarkan hal-hal di atas, jaminan memiliki kedudukan yang penting
bagi kreditor dan bank dalam pemberian kredit (utang), karena dengan adanya
jaminan itu bank atau kreditor memiliki rasa aman dan kepastian piutang yang
mereka miliki akan dilunasi oleh debitor.
C. Macam-macam Jaminan
Pada umunya lembaga jaminan yang dikenal dalam tata hukum Indonesia
dapat diklasifikasikan dalam beberapa macam yaitu sebagai berikut:
a. Jaminan yang Lahir Karena Ditentukan Oleh Undang-Undang dan Jaminan
yang Lahir Karena Perjanjian
1) Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang
Yaitu jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang tanpa
adanya perjanjian dari para pihak. Jaminan umum yang bersumber dari undang-
undang sebagaimana diatur Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPer mempunyai
46 Riky Rustam, Hukum Jaminan, hlm. 49.
kelemahan yang bersifat mendasar dalam hal kemampuannya untuk melunasi
utang debitor jika debitor wanprestasi.
Selain jaminan umum yang ditentukan Pasal 1131 dan Pasal 1132
KUHPer tersebut di atas, jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-
undang lainnya adalah hak retensi sebagaimana yang diatur dalam sejumlah
pasal-pasal KUHPerd, seperti perjanjian sewa menyewa (Buku III KUHPerd),
pada gadai, pada bezitter yang jujur (Buku II KUHPerd), pada perjanjian
pemberian kuasa, pada perjanjian perburuhan (Buku III KUHPerd) dalam
KUHD dan lain-lain.47
2) Jaminan khusus berdasarkan perjanjian.
Yaitu jaminan yang lahir dengan diperjanjikan terlebih dahulu oleh para
pihak, jaminan ini dibuat secara khusus dalam perjanjian dan dapat berbentuk
pinjaman yang bersifat kebendaan atau yang bersifat perorangan. Jaminan yang
lahir karena perjanjian adalah hipotek, gadai, fidusia, penanggungan atau
jaminan perorangan, hak tanggungan dan lain-lain.
b. Jaminan yang Bersifat Kebendaan dan Jaminan yang Bersifat Perorangan
1) Jaminan yang Bersifat Kebendaan
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang bersifat kebendaan berupa hak
mutlak atas suatu benda tertentu dari debitor yang dapat dipertahankan pada
setiap orang. Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri “kebendaan” dalam arti
memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat
47 Ibid.,hlm. 51
melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan.48
Unsur-unsur yang tercantum
pada jaminan kebendaan yaitu sebagai berikut:
a) Hak mutlak atas suatu benda
b) Cirinya mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu
c) Dapat dipertahankan terhadap siapa pun
d) Dapat dialihkan kepada pihak lainnya.
Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 5 macam, yaitu:
a) Gadai (pand), yang diatur di dalam Buku II KUHPerd.
b) Hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUHPerd.
c) Credictverband, yang diatur dalam Stb. 1908 Nomor 542 sebagaimana telah
diubah dengan Stb. 1937 Nomor 190.
d) Hak tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1996.
e) Hak fidusia, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 1999.
2) Jaminan yang Bersifat Perorangan
Jaminan yang Bersifat Perorangan adalah jaminan yang menimbulkan
hubungan langsung terhadap perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan
terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan penanggung secara
keseluruhan.49
Unsur jaminan perorangan, yaitu:
a) Mempunyai hubungan langsung pada orang tertentu.
b) Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu.
c) Terhadap harta kekayaan debitur umumnya.
Yang termasuk jaminan perorangan adalah:
48 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, hlm. 23.
49
Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, hlm. 48.
a) Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih.
b) Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng.
c) Perjanjian garansi.50
Jaminan Berupa Benda Bergerak dan Jaminan Berupa Benda Tidak Bergerak.
Pembagian benda menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak
dalam jaminan akan berdampak pada penentuan jenis lembaga jaminan yang
akan dibebankan kepada masing-masing jenis benda bergerak. Jika benda berupa
benda bergerak maka lembaga jaminan yang dapat dibebankan adalah berbentuk
gadau atau fidusia, sedangkan jika benda berbentuk benda tidak bergerak (benda
tetap) maka lembaga jaminan yang dapat dibebankan adalah berbentuk hipotek,
fidusia dan hak tanggungan.51
d. Jaminan yang Menguasai Bendanya dan Jaminan Tanpa menguasai Bendanya
Jaminan yang diberikan dengan menguasai benda yang dijaminkan contohnya
adalah gadai dan hak retensi, sedangkan jaminanyang diberikan tanpa
menguasai benda contohnya adalah hipotek, fidusia, dan previlegi.
e. Agunan Pokok dan Agunan Tambahan
Yang dimaksud dengan agunan pokok adalah benda milik debitur yang dibiayai
dengan fasilitas kredit/pembiayaan sekaligus dijadikan jaminan pelunasan
kredit/pembiayaan.
50 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, hlm. 25.
51
Riky Rustam, Hukum Jaminan, hlm. 54.
Yang dimaksud agunan tambahan adalah benda yang dijadikan jaminan
pelunasan kredit/pembiayaan milik debitur atau pihak ketiga yang tidak
dibiayai dengan fasilitas kredit/pembiayaan.52
4. Lembaga-lembaga Jaminan di Indonesia
Pokok-pokok bahasan dalam bagian ini adalah mengenai lembaga
jaminan untuk benda tidak bergerak, yaitu hak tanggungan, serta lembaga
jaminan untuk benda bergerak terdiri dari gadai dan fidusia.
a. Hak tanggungan
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Dari pengertian di atas, menunjukkan bahwa pada prinsipnya hak
tanggungan adalah hak yang dibebankan pada hak atas tanah beserta benda-
benda lain tersebut berupa bangunan, tanaman, dan hasil karya (seperti lukisan)
yang melekat secara tetap pada bangunan.
b. Gadai
Pasal 1152 KUHPerd menentukan saat terjadinya hak kebendaan pada
jaminan gadai adalah pada saat objek gadai diserahkan kepada penerima gadai
atau pihak ketiga yang telah diberi kuasa oleh penerima gadai. Dengan
52 Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, hlm. 49-
50.
demikian, dalam jaminan gadai benda gadai harus diserahkan atau diletakkan
dalam kekuasaan kreditor agar jaminan gadai itu mengikat kepada para pihak.
c. Fidusia
Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan, yang tetap berada dalam
penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepeda penerima fidusia terhadap
kreditor lain.
2. Hutang
Hutang menurut Kamus Bersar Bahasa Indonesia, yaitu uang yang
dipinjamkan dari orang lain.53
Pengertian hutang sama dengan perjanjian
pinjam meminjam yang dijumpai dalam ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Pasal 1754 yang berbunyi: “pinjam meminjam adalah suatu
perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain
suatu jumlah barang-barang tertentu dan habis karena pemakaian, dengan
syaratbahwa yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama
dari macam keadaan yang sama pula”.54
Kata Hutang Secara Etimologi dalam
bahasa arab yaitu datang dan pergi. Menurut sebagaian pendapat,’ ariyah yaitu
saling menukar atau menganti, yakini dalam tradisi pinjam meminjam.55
53 Poerwadarminanto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003),
hlm. 1136
54
Ibid, hlm. 760.
55
Ibid