Upload
lamnhu
View
222
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
LANDASAN TEORI
Hasil penelitian yang pernah dilakukan di Bandara Soekarno - Hatta
pada runway utara dengan kondisi, analisis masalah dan waktu penelitian yang
berbeda, dijadikan acuan dalam menyelesaikan penelitian ini, yaitu :
“Studi Performansi Layout Exit Taxiway Untuk Mendapatkan Kapasitas
Optimum Landas Pacu Utara Bandar Udara Soekarno - Hatta“, Pugirkhan
Yasin, Program Magister Transportasi - ITB, 1999. Dari hasil penelitian
ini diperoleh tiga alternatif kebijakan untuk mengoptimalkan penggunaan
runway utara, yaitu :
a. Pertama, membangun HST K dengan jarak 1500 meter dari ujung
runway 07L, maka diperoleh waktu untuk pelayanan landing 120,7 detik
dan 113,6 detik dari masing - masing ujung runway 07L dan 25R.
b. Kedua, membangun HST G dengan jarak 2310 meter dari ujung runway
25R, maka diperoleh waktu untuk pelayanan landing 191,2 detik dan
94,1 detik masing - masing dari ujung runway 07L dan 25R.
c. Ketiga, membangun HST K dan G masing - masing dengan jarak 1500
meter dari ujung runway 07L dan 2310 meter dari ujung runway 25R,
maka diperoleh waktu pelayanan landing sebesar 120,7 dan 94,1 detik.
”Analisa Peningkatan Kapasitas Runway Utara Dengan Pembangunan High
Speed Exit Taxiway Di Bandara Internasional Soekarno - Hatta” Jon
Mukhtar Rita, Program Magister Administrasi Bisnis - ITB, 2006. Dari
hasil penelitian ini diperoleh penambahan HST di runway utara berdampak
positif terhadap siklus penggunaan runway. Biaya investasi dari pembuatan
HST dapat kembali dalam waktu yang sangat cepat dengan Payback period
adalah 0,57 tahun.
Lebih jelasnya lokasi penambahan HST untuk kedua penelitian diatas dapat
dilihat pada Lampiran III.
8
II.1 Sistem Bandar Udara
Bandar udara merupakan suatu sistem yang kompleks yang terdiri dari
subsistem - subsistem, yaitu sisi udara (airside) dan sisi darat (landside). Bagian
- bagian dari subsistem tersebut pada Bandar Udara dapat dilihat pada Gambar
II.1 berikut ini.
Gambar II.1 Bagian - Bagian Dari Sistem Bandara
Sumber : PT. (Persero) Angkasa Pura II
Gedung - gedung terminal menjadi perantara kedua bagian tersebut. Konfigurasi
Bandar Udara didefenisikan sebagai jumlah orientasi runway dan letak daerah
terminal relatif terhadap runway. Jumlah runway tergantung pada volume
lalulintas dimana orientasinya tergantung dari arah angin.
Enroute airspace
Terminal airspace
Runway
Holding pad Exit taxiway
Taxiway system
Apron-gate area
Terminal buildings
Vehicular circulation parking
Airport ground access system
Air side
Lan
d side
Aircraft flow
Passenger flow
9
II.2 Runway
Runway adalah jalur perkerasan yang dipergunakan oleh pesawat
terbang untuk landing atau take - off. Runway ditempatkan sejajar dengan arah
angin yang dominan bertiup diwilayah tersebut. Konfigurasi runway merupakan
kombinasi dari konfigurasi dasar, yaitu : runway tunggal, runway sejajar,
runway bersilangan dan runway V terbuka. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Gambar II.2 dibawah ini :
a. single runway
c. runway bersilangan d. runway V terbuka
Gambar II.2 Konfigurasi Runway
Sumber ICAO, (1984)
II.2.1 Penentuan Arah Runway
Analisis angin adalah hal paling mendasar bagi perencanaan runway.
Pada umumnya runway di Bandar udara sedapat mungkin harus searah dengan
arah angin dominan. Secara umum analisis angin dilakukan dengan
menganalisis data tahunan angin yang bertiup di daerah yang direncanakan dan
memetakan data tersebut pada sebuah grafik Wind Rose. Orientasi runway
b. paralel runway
10
diperoleh dengan memutar bagian yang diarsir dan melihat jumlah persentase
crosswind terbesar yang berada di luar daerah yang diarsir.
Gambar II.3 Wind Rose
Sumber : Robert Horonjeff , (1993)
II.2.2 Penomoran Runway
Nomor runway ditempatkan di ujung runway sebagai nomor pengenal
runway, terdiri dari dua angka yang dilengkapi dengan huruf L atau R atau C.
Kedua angka tadi menunjukan azimuth magnetik (searah jarum jam dari utara)
dari runway dalam arah landing. Angka diberikan ke yang paling dekat dengan
100 dan angka terakhir dihilangkan. Jadi azimuth sebesar 930 diberi nomor 9.
Demikian juga ujung timur dari suatu runway timur barat diberi nomor 27 (untuk
2700) dan ujung barat runway diberi nomor 9 (untuk 900).
Dua runway sejajar diberi nomor runway 09 – 27, dilengkapi dengan
huruf L (left) atau R (Right). Tiga runway sejajar yang di tengah ditambah huruf
C (central). Empat runway sejajar disamping diberi tambahan huruf sepasang
runway sejajar digeser satu nomor. Misalnya pasangan 09 - 27 dengan 08 – 28
walaupun arahnya 09 – 27.
11
II.2.3 Kondisi Permukaan Runway
Air yang menggenang di runway mempunyai pengaruh yang besar
terhadap panjang runway yang dibutuhkan untuk landing. Air mengakibatkan
runway menjadi licin dan membuat pengereman menjadi sangat buruk.
Pengereman yang buruk disebabkan oleh cairan yang dipindahkan oleh roda yang
melaluinya yang menimbulkan gaya gesek yang besar. Kejadian ini dikenal
sebagai hydroplaning. Hydroplaning terutama merupakan fungsi dari tekanan
pemompaan ban. Menurut percobaan yang dilakukan oleh NASA, kecepatan
pendekatan pada saat hydroplaning terjadi dapat ditentukan dengan rumus :
PVP 10
di mana Vp = kecepatan di mana hydroplanning terjadi, mil/jam
P = tekanan pemompaan ban, pon / inci2
Selama gerakan take - off berlangsung air bertebaran mengenai
pesawat yang memperbesar gaya gesek pada pesawat dan dapat menyebabkan
kerusakan pada beberapa bagian pesawat. Hasil percobaan NASA dan FAA,
operasi pesawat jet dibatasi sampai ketinggian air atau lumpur salju tidak lebih
dari 1,27 cm. Diantara ketinggian 0,64 cm dan 1,27 cm, bobot take - off harus
banyak dikurangi untuk mengatasi gaya gesek dari air atau lumpur salju. Untuk
mengurangi bahaya hydroplaning dan meningkatkan koefisien gesekan rem,
pada perkerasan runway dibuat alur - alur dalam arah melintang. Alur - alur itu
merupakan tempat penampungan air yang terdapat pada permukaan, umumnya
tebal alur = 0,25 inci dan berjarak 1 inci satu sama lain.
Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan pada beberapa kategori
pesawat yang landing untuk kondisi permukaan runway yang basah, batas atas
dan bawah lokasi HST ideal pada kategori pendekatan pesawat C akan bergeser
kurang lebih sejauh 100 hingga 200 meter, sedangkan untuk kategori pendekatan
pesawat D memiliki pergeseran yang kecil. (Data selengkapnya dapat dilihat
pada Lampiran XI).
12
II.3 High Speed Exit Taxiway
Runway dan HST harus dihubungkan sedemikian rupa, agar :
Kapasitas runway semakin meningkat
Memperkecil gangguan dan penundaan pesawat akan landing, taxiing dan
take - off
Mempersingkat jarak pesawat yang akan taxi dari apron terminal
penumpang ke ujung runway
Dalam prakteknya, jumlah dan jarak antaranya ditentukan dengan
mengelompokan pesawat kedalam beberapa kelas yang didasarkan pada
kecepatan landing pesawat. Untuk memungkinkan pesawat bergerak
meninggalkan runway dengan mulus, exit taxiway dirancang bisa tegak lurus
terhadap runway atau membentuk sudut yang lebih kecil dari 900. Tipe tegak
lurus menghendaki suatu pesawat memperlambat gerakannya hingga sangat
lambat sebelum melakukan pembelokan (turning off). HST direncanakan untuk
memungkinkan pesawat yang sedang landing melakukan pembelokan pada
kecepatan yang tinggi pada exit taxiway. Kegunaan utama HST ini adalah
mengurangi atau memperkecil waktu pemakaian runway sehingga akan
memperbesar kapasitas runway. Sudut persilangan dari HST dengan runway
tidak boleh lebih dari 450 dan tak boleh kurang dari 250 dan lebih disukai 300.
Gambar II.4 HST Bersudut 300
Sumber : FAA
13
II.4 Sistem Landing
II.4.1 Sistem Landing Dengan Instrument
Metode yang paling banyak digunakan adalah sistem landing dengan
instrument (instrument landing system = ILS). Sistem ini terdiri dari dua
pemancar radio yang terletak di Bandar Udara yang bersangkutan, yang satu
disebut penentu letak (localizer) dan yang lain disebut kemiringan luncur (glide
path). Penentu letak memberikan petunjuk kepada penerbang, apakah pesawat
berada di kiri atau kanan jalur yang tepat untuk landing di runway. Localizer
dipasang 300 meter dari threshold ke luar runway dan kira - kira 60 meter dari
sumbu. Antenanya dipasang pada perpanjangan sumbu, tinggi antenanya adalah
2,5 m atau 3,5 m diatas permukaan. Kemiringan luncur menunjukan sudut luncur
kebawah yang tepat menuju runway. Kemiringan luncur ini besarnya kira - kira
20 sampai 30. Glide path dipasang 300 meter dari threshold kedalam runway
disamping sejauh antara 120 m – 180 m . Lebih lanjut disediakan dua atau tiga
pemberi tanda yang menunjukan masih berapa jauh jaraknya terhadap threshold.
Pemberi tanda pertama disebut pemberi tanda luar (outer marker = OM) dan
terletak kira - kira 7 km dari threshold runway. Yang lain disebut pemberi
tanda tengah (middle marker = MM) yang terletak kira - kira 1 km dari threshold
landing. Apabila kondisi jarak penglihatan sangat jelek sebuah pemberi tanda
tambahan yang disebut pemberi tanda dalam (inner marker = IM) dipasang kira -
kira 60 m disamping sumbu runway dan antena luarnya dipasang diperpanjangan
sumbu runway kira - kira 75 m dari threshold landing.
14
Gambar II.5 Diagram Skematis Suatu Sistem Landing ILS
Sumber : Robert Horonjeff, (1993)
II.4.2 Sistem Landing Mikrogelombang (Mikrowave Landing system)
ILS mempunyai sejumlah masalah sehingga mendorong perlunya
pengembangan sistem landing yang lebih canggih. ILS bekerja berdasarkan
sinyal - sinyal yang dipantulkan dari permukaan tanah. Berarti daerah di sekitar
antena harus relatif rata dan bebas halangan, seperti gedung - gedung dan
pesawat terbang yang sedang bergerak perlahan lahan di exit taxiway. ILS hanya
memberikan satu lintasan ruang yang harus diikuti oleh semua pesawat terbang
apabila mereka menggunakan sistem ini. Beberapa pesawat terbang, terutama
STOL dapat menggunakan sudut pendekatan (approach angle) yang lebih curam,
kira - kira 70, dari pada pesawat terbang konvensional, yang menggunakan
sudut pendekatan 2,50 sampai 30. Pesawat terbang yang lain mungkin membuat
dua segmen pendekatan untuk mengurangi kebisingan di bawah jalur
penerbangan. Tipe - tipe operasi tersebut tidak dapat dilakukan apabila
digunakan ILS. Akhirnya ILS hanya mempunyai jumlah saluran frekwensi yang
terbatas, dan dengan meningkatnya jumlah instalasi, maka akan bertambah sulit
untuk menyediakan saluran - saluran yang berlainan yang dibutuhkan.
Untuk mengatasi batasan - batasan tersebut, telah dikembangkan
suatu sistem yang disebut sistem landing mikrogelombang (microwave landing
system = MLS). Sistem ini memberikan jangkauan volumetrik untuk lintasan
15
yang lebih fleksibel dalam pendekatan landing dan take - off dan beroperasi
pada frekwensi mikrogelombang. Tidak seperti pada ILS, yang hanya
memberikan satu kemiringan luncur, MLS memberikan sejumlah kemiringan.
Pada bidang horisontal, MLS dapat dipakai oleh setiap rute yang dikehendaki
sepanjang rute tersebut berada dalam suatu daerah yang bersudut 200 sampai 600
dari setiap sisi garis tengah runway, sedangkan ILS hanya memberikan satu rute
menuju runway. Kemampuan mengukur jarak dapat digabungkan kedalam MLS,
yang memberi informasi secara terus menerus kepada penerbang tentang jarak
pesawat terbang dari ujung runway dan karenanya pemberi tanda seperti pada ILS
tidak dibutuhkan. MLS adalah jauh lebih kuat terhadap gangguan dari benda
benda disekitarnya di bandingkan dengan ILS.
Gambar II.6 Diagram Skematis MLS
Sumber : Robert Horonjeff, (1993)
Dari sudut pandang perencanaan Bandar Udara, salah satu keunggulan paling
utama MLS ini adalah kemampuan pengurangan kebisingan yang besar karena
pesawat terbang dapat ditahan pada tempat - tempat yang lebih tinggi sebelum
meluncur turun menuju Bandara atau mengikuti rute - rute melengkung.
Keunggulan lainnya adalah peniadaan keharusan bagi seluruh pesawat terbang
16
besar atau kecil, untuk mengikuti rute pendekatan umum menuju runway. Suatu
ilustrasi dari perbedaan antara pendekatan dengan menggunakan ILS dan MLS
menuju Bandar Udara Kennedy (JFK) dan LaGuardia (LGA) di daerah New
York diperlihatkan pada Gambar II.7 dibawah ini.
Gambar II.7 Perbedaan Antara Pendekatan ILS dan MLS
Sumber : Robert Horronjeff, (1993)
17
II.4.3 Alat Bantu Darat Untuk Landing
Sebagian besar kecelakaan pesawat ketika landing terjadi pada
keadaan jarak pandang yang baik dan hal ini disebabkan oleh buruknya data
pedoman di darat sehingga menyulitkan penerbang dalam menafsirkan ketinggian
pesawat.
II.4.3.1 Sistem VASI
Terdapat berberapa konfigurasi VASI (Visual Approach Slope
Indicator) tergantung pada rentang yang dikehendaki dan tipe pesawat yang akan
menggunakan runway. Setiap kelompok lampu yang memotong runway disebut
barisan “(bor)”. Satu barisan dapat terdiri dari dua atau tiga unit lampu, yang
disebut kotak (box). Barisan yang paling dekat dengan threshold disebut barisan
bawah angin (down wind bar), dan yang paling jauh dari threshold disebut
barisan atas angin (up wind bar). Apabila penerbang berada pada jalur luncur
(glide path) yang benar, barisan bawah angin terlihat berwarna putih dan barisan
atas angin terlihat berwarna merah. Apabila pesawat terlalu rendah, kedua
barisan terlihat merah dan apabila terlalu tinggi kedua barisan terlihat putih.
Sistem yang banyak digunakan di Amerika Serikat pada saat itu adalah VASI-2,
VASI - 4, VASI - 12. Letak lampu untuk sistem VASI - 6 diperlihatkan pada
Gambar II.8 dibawah ini.
Gambar II.8 Sistem VASI - 6
Sumber : FAA
18
II.4.3.2 Sistem PAPI
Sistem VASI terutama berguna untuk runway yang tidak dilengkapi
ILS (instrument landing sistem). Sistem PAPI (Precision Approach Path
Indicator) digunakan untuk runway yang menggunakan Sistem ILS.
Sistem ini memberikan petunjuk kepada penerbang mengenai jalur
landing pesawat dan hanya menggunakan satu set lampu pada tiap sisi runway.
Sistem ini terdiri dari empat lampu pada tiap sisi runway. Sistem ini memiliki
jarak pandang yang efektif, yaitu 5 miles pada siang hari dan 20 miles pada
malam hari. Dengan menggunakan skema warna seperti yang diperlihatkan pada
Gambar II.9 dibawah ini penerbang dapat memastikan lima sudut pendaratan
sehubungan dengan kemiringan penurunan yang semestinya.
Gambar II.9 Sistem PAPI
Sumber : FAA
Runway Bandar Udara Soekarno – Hatta menggunakan Sistem PAPI, karena
sistem ini lebih efektif untuk memandu penerbang dalam mengarahkan pesawat.
Keunggulan sistem ini dapat dilihat pada jarak jangkauannya yang cukup jauh.
19
Lokasi PAPI pada Bandara Soekarno - Hatta adalah 430 meter dari threshold
07 dan 25.
II.5 Defenisi Kecepatan Pesawat Terbang
Untuk kecepatan pesawat perlu ada penjelasan khusus sebab ada
perbedaan yang mendalam pada pengertian kecepatan di darat (groundspeed)
dan kecepatan di udara (airspeed). Kecepatan darat adalah kecepatan pesawat
terbang relatif terhadap daratan. Kecepatan udara sebenarnya adalah kecepatan
pesawat relatif terhadap medium dimana ia sedang terbang. Jadi apabila sebuah
pesawat sedang terbang dengan kecepatan darat 500 knot dalam udara dimana
terdapat angin yang bertiup dalam arah yang berlawanan dengan kecepatan 100
knot, maka kecepatan udara sebenarnya 600 knot.
Gambar II.10 Defenisi Kecepatan Udara Sebenarnya
Sebaliknya apabila angin bertiup dalam arah yang sama sesuai Gambar II.10
diatas kecepatan udara sebenarnya adalah sebesar 400 knot. Ada perbedaan
penting antara kecepatan udara sebenarnya (true airspeed = TAS) dan kecepatan
yang ditunjukan oleh indikator dalam pesawat (indicated airspeed = IAS).
Penerbang bisa membaca kecepatan dari air speed indicator di panel - panel
Cocpit. Indikator ini bekerja dengan membandingkan tekanan udara dinamik
Daratan
Vd = 500 knot
Va = 100 knot
Vh = Vd + Va = 600 knot
Ket : Vd : kecepatan pesawat relatif terhadap daratan Va : kecepatan angin Vh : kecepatan udara sebenarnya
20
akibat gerak maju pesawat terbang dan tekanan atmosfir statik. Pada saat
kecepatan pesawat bertambah, tekanan dinamis bertambah.
Indikator air speed bekerja atas dasar tabung Pitot. Dari ilmu fisika
kita tahu bahwa tekanan dinamis berbanding lurus kepada density udara dan
kuadrat kecepatan, dimana harga tekanan dinamis = ρV2. Bacaan indicated air
speed diatur oleh mekanisme alat pengukur kecepatan atas dasar tekanan dinamis
tadi, sehingga yang terbaca pada panel adalah harga V. Tetapi harga density
udara ρ, tidak diatur. Makin tinggi tempat, makin rendah harga ρ sehingga
indicated air speed lebih kecil dibanding true air speed.
Harga true air speed tidak ditunjukan dalam jarum pada panel,
melainkan dibaca dari hubungan antara ketinggian indicated air speed dan true air
speed. Sebagai petunjuk yang sangat kasar, besaran true air speed adalah 2%
lebih tinggi dari indicated air speed untuk setiap kenaikan 1.000 feet di atas muka
laut. Data indicated air speed bagi penerbang lebih penting dari true air speed.
II.5.1 Kecepatan Pesawat Saat Landing
Letak HST dalam kaitannya dengan karakteristik - karakteristik
operasional pesawat ditentukan berdasarkan perlambatan setelah pesawat
melintas pada ujung runway (threshold). Kondisi - kondisi dasar berikut harus
diperhitungkan :
a. Kecepatan melintas diatas ujung runway (threshold)
b. Kecepatan saat memasuki HST
21
Gambar II.11 Pesawat Saat Akan Landing
Sumber : http://128.173.204.63/FS_Report/Chapter III. pdf
Untuk keperluan perancangan HST FAA mengelompokan pesawat berdasarkan
kecepatan melintas diatas ujung runway (threshold) pada ketinggian muka laut,
sebagai berikut :
Tabel II.1 Kategori Pendekatan Pesawat Ke Runway Menurut FAA
Kategori Pendekatan
Kecepatan Mendekati Runway Contoh Pesawat
Knot Km/jam
A < 91 < 169 Bristol Freighter 170, DC – 3 DC- 4, F-27
B 91 - 120 169 - 223 Bristol Britania, DC- 6, F- 28 MK 100, Viscount 800
C 121 - 140 224 - 259 B 707, B 727, B737, B747, Airbus, DC – 8,9,10 D 141 - 165 261 - 306
E 166 ≥ ≥ 308 Beberapa pesawat militer
PAPI
PAPI
Sumber : FAA
22
II.5.2 Pengaruh Angin Pada Jalur Arah Terbang
Arah terbang pesawat yang mendekati runway untuk landing
tergantung pada kekuatan angin yang bertiup (angin silang). Angin silang
didefenisikan sebagai komponen angin yang tegak lurus terhadap jalur. Jalur
(track) adalah lintasan penerbangan yang mendekati runway yang merupakan
perpanjangan garis tengah runway. Sudut serong (crab angle) yang dibuat oleh
pesawat adalah berbanding langsung dengan kecepatan angin dan berbanding tak
langsung dengan kecepatan pesawat terbang. Hal ini berarti bahwa ketika
pesawat terbang bergerak perlahan pada saat ia mendekati runway, dan pada
saat itu terdapat angin silang yang sangat kuat, sudut serong akan besar.
Gambar II.12 dibawah ini melukiskan arah terbang pada saat terjadi angin silang.
Gambar II.12 Definisi Jalur, Arah Terbang dan Sudut Serong
Sumber : Robert Horonjeff, (1993)
II.6 Touchdown Zone
Touchdown Zone pesawat adalah daerah dimana pesawat pertama kali
menyentuh runway dengan menggunakan roda belakang. Perbedaan kecepatan
pesawat pada saat di threshold runway dan juga sudut landing (batas atas jalur
luncur 3o) yang ditentukan oleh ILS, serta mempertimbangkan kehalusan
landing yang dilakukan oleh penerbang, menyebabkan titik TDZ tidak dapat
ditentukan dengan tepat. Gambar di Lampiran XI - A menjelaskan lokasi touch
down pada beberapa Bandara untuk lima jenis pesawat.
hVcV
Sin(x)
Vh : kecepatan udara sebenarnya, knot Vc : angin silang, knot
23
Namun TDZ dapat diperkirakan dengan menggunakan indikator jalur
pendaratan presisi yang disebut PAPI. Karena sistem ini memberikan petunjuk
kepada penerbang mengenai jalur landing pesawat, sehingga lokasi TDZ
rata - rata akan berada dalam radius beberapa puluh meter dari tempat PAPI.
II.7 Kecepatan Di HST
Pada saat pesawat berada di lokasi HST yang sudah direncanakan,
kecepatan pesawat harus sudah dikurangi sampai level kecepatan pembelokan
yang aman. Kecepatan aman ini tidak dapat di perkirakan dengan tepat, tetapi
semuanya itu tergantung pada tipe HST, tipe pesawat dan kondisi permukaan
runway. Gambar II.13 dibawah ini menjelaskan kecepatan touchdown hingga
mencapai kecepatan pada HST.
Gambar II.13 Perubahan Kecepatan Pesawat Setelah Touch down
Sumber : Computer Simulation Model For Airplane Landing Performance Prediction,
Byung J Kim, Antonio A. Trani, (1996)
Untuk keperluan perencanaan HST, kecepatan rencana didasarkan pada jari- jari
HST yang akan direncanakan.
Region For High Speed Exit Location
24
Tabel II.2 Kecepatan Keluar Rencana Di HST
Kecepatan (km/jam) Jari jari kurva (meter) 16 15 32 60 48 135 64 240 80 375 96 540
Permasalahan yang akan di hadapi sehubungan dengan Tabel II.2 diatas adalah
pada saat jari - jari kurva yang akan direncanakan 500 meter. Dimana nilai 500
meter berada pada interval 375 meter untuk kecepatan 80 km/jam sampai dengan
540 meter untuk kecepatan 96 km /jam. Untuk mengatasi hal ini dilakukan
interpolasi pada jari - jari kurva 500 meter. Tetapi metode interpolasi ini
mempunyai kelemahan karena pertambahannya bersifat linear, sedangkan
kecepatan dan perlambatan pesawat bersifat dinamis. Sehingga penentuan
kecepatan rencana di HST juga didasarkan pada formula yang menyatakan
hubungan antara paralel taxiway dengan runway. Lebih jelasnya dapat dilihat
pada Lampiran XI - D. Bandara Soekarno - Hatta mempunyai nilai d sebesar
198 meter, yang menyebabkan nilai aircraft exit pada Gambar di Lampiran XI -
D akan bergeser menjadi nilai rataan sebesar ± 26 m/s.
II.8 Lokasi HST Ideal
Setiap pesawat yang akan landing, selalu melewati threshold dan
mengurangi kecepatan di udara, sampai roda pendaratan utama menyentuh
permukaan perkerasan runway. Dititik ini roda depan pesawat belum menyentuh
runway. Dibutuhkan waktu kira - kira tiga detik untuk melakukan hal itu.
Pengereman belum dilakukan sampai roda depan menyentuh perkerasan. Ketika
hal itu terjadi, gaya balik atau pengereman roda, atau gabungan dari keduanya
digunakan untuk mengurangi kecepatan pesawat sampai mencapai kecepatan
normal HST. Jarak dari threshold ketitik sentuh, dianggap sebagai nilai tetap
untuk pesawat angkutan udara yaitu 450 meter dan 300 meter untuk angkutan
pesawat umum. Terhadap jarak - jarak tersebut ditambahkan jarak untuk
Sumber : Heru Basuki , (1990)
25
mengurangi kecepatan sampai menjadi kecepatan di HST. Jarak tersebut
diperlihatkan sebagai berikut :
Gambar II.14 Sketsa Jarak – Jarak Saat Landing
Sumber : Robert Horonjeff, (1993)
22a
2E
V2TD
VD
…………………………………………………………(.II.1)
Dimana :
SE = Jarak dari ujung runway ke lokasi HST (meter)
SE = Jarak titik sentuh dari ujung runway (JTD) + D
D = Jarak setelah touch down hingga mencapai kecepatan di HST (meter)
VTD = Kecepatan pada saat touch down (knot)
VE = Kecepatan pada saat mencapai lokasi HST (knot)
a2 = Perlambatan rata rata di runway (meter/det2)
II.9 Waktu Pemakaian Runway
Waktu pemakaian runway total oleh pesawat dapat dihitung dengan
menggunakan prosedure sebagai berikut : Runway dibagi menjadi empat
bagian, waktu penerbangan dari threshold ketitik sentuh, waktu yang
dibutuhkan bagi roda depan pesawat menyentuh runway, waktu yang
dibutuhkan mencapai kecepatan di HST dari saat roda depan menyentuh runway
dan pedal rem telah diinjak, dan waktu yang dibutuhkan pesawat untuk
membelok ke HST meninggalkan runway.
RW
Arah Landing
SE
JT D
Exit Taxiway
26
Gambar II.15 Waktu Pemakaian Runway Saat Landing
Sumber : Robert Horonjeff, (1993)
t2
2.aE
VTD
V3
12.a
TDV
OTV
iR
……………………………………(II.2)
Dimana :
Ri = Waktu total pemakain runway (detik)
VOT = Kecepatan di threshold (meter/detik)
VTD = Kecepatan pada saat touchdown (meter/detik)
VE = Kecepatan pada saat mencapai lokasi HST (knot)
a 1 = Perlambatan rata - rata di udara (meter/detik2)
a 2 = Perlambatan rata - rata di darat (meter/detik2)
t = waktu membelok meninggalkan runway setelah kecepatan di HST
tercapai (detik)
Untuk kecepatan pada saat menyentuh runway dapat dianggap 5 sampai 8 knot
lebih lambat dari kecepatan melewati threshold. Besarnya perlambatan di udara
adalah kurang lebih 2,5 kaki/detik2 (0,75 m/det2) dan perlambatan rata - rata
di darat adalah 5 kaki/detik2 (1,5 m/det2), sedangkan waktu yang digunakan
pesawat untuk membelok dan meninggalkan runway adalah kira - kira 10 detik.
II.10 Penambahan Waktu Pemakaian Runway
Penambahan waktu pemakaian runway ini disebabkan oleh lokasi
HST aktual yang tidak sesuai dengan HST ideal. Sesuai Gambar II.13 diatas,
pesawat terbang diperlambat pada phase awal dan kemudian tingkat
Arah Landing
1 2,3,4
Exit Taxiway
RW
27
perlambatan diatur sedemikian rupa sehingga sampai pada kecepatan rencana
di HST. Pada Gambar II.13 diatas kecepatan rencana yang diizinkan berkisar
pada 20 m/detik hingga 30 m/detik. Jika pada saat kecepatan ini tercapai tidak
ada suatu HST pada lokasi tersebut, akan mengakibatkan penambahan waktu
pemakaian runway. Waktu tempuh dari HST ideal ke HST aktual dihitung
dengan memakai persamaan sbb :
…...................................................(II.3)
dimana :
W = Penambahan waktu pemakaian runway total (detik)
c = Batas bawah distribusi probabilitas (meter)
d = Batas atas distribusi probabilitas (meter)
Xi = Lokasi HST ideal ke i (meter)
Pi = Probabilitas lokasi HST ideal ke i
Vc = Kecepatan pesawat bergerak dari HST ideal ke HST actual (meter/detik)
L = Lokasi HST aktual (meter)
II.11 Kapasitas Runway
Kapasitas runway dapat didefenisikan sebagai kemampuan sistem
runway untuk mengakomodasi landing dan take - off pesawat yang dinyatakan
dalam jumlah operasi pergerakan pesawat per satuan waktu. Peningkatan
kapasitas runway justru menjadi stressing dalam mereduksi waktu pemakaian
runway. Tentu saja pesawat tidak ingin menggunakan runway berlama lama,
karena akan menjadi sumbangan yang potensial bagi menurunnya kapasitas
runway. Sebagai contoh, dengan mereduksi waktu 5 detik per pergerakan
pesawat akan berpotensial meningkatkan kapasitas 1 sampai dengan 1,5
pergerakan perjam (Sumber : NATS).
d
c cV
)i
X(L.PW i
28
II.12 Pemilihan Pesawat Tiap Maskapai Penerbangan
Jumlah penerbangan dan jumlah penumpang yang terus meningkat
pada setiap tahunnya (Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran XV),
mengharuskan setiap maskapai penerbangan untuk melakukan perencanaan
armada. Perencanaan armada yang dilakukan oleh airline merupakan suatu
proses yang sangat tergantung pada tujuan (Data jenis pesawat pada tiap
maskapai penerbangan dapat dilihat pada Lampiran IV – A.). Seringkali airline
mempunyai tujuan yang berbeda - beda dan saling bertentangan satu sama lain.
Selain itu, departemen - departemen dalam airline itu sendiri juga memiliki
keinginan yang berbeda - beda. Sebagai contoh, departemen marketing
mungkin lebih cenderung memilih pesawat yang lebih besar dan baru karena
berpendapat bahwa permintaan pasar akan meningkat dan kemampuan pemasaran
mereka dapat memenuhi tuntutan jumlah tempat duduk yang lebih banyak.
Sementara itu, departemen penjadwalan atau perencanaan lebih menginginkan
armada yang bervariasi sehingga setiap pesawat udara dapat menerbangi setiap
rute sesuai dengan sistem yang sedang atau akan dijalankan dengan efisien,
sedangkan departemen perawatan tentunya menyukai pesawat udara yang biaya
perawatannya lebih murah. Dilain pihak, para penerbang mungkin
mengharapkan pesawat udara yang lebih beragam, karena dengan demikian
mereka dapat mendapatkan kesempatan kualifikasi yang lebih banyak.
Sebaliknya, bagian operasional menginginkan agar jenisnya tidak terlalu
beragam, agar mempermudah penukaran pesawat apabila terjadi keadaan
darurat. Bagian keuangan menyukai pesawat bekas agar dapat menghemat dan
memperbesar keuntungan. Karena itulah setiap airline harus memiliki rencana
strategis yang memberikan garis besar dari tujuan yang ingin dicapai oleh airline
tersebut.
Hal teknis yang harus diperhatikan untuk pemilihan pesawat adalah
analisa prestasi terbang. Analisa ini berupa pemeriksaan kemampuan pesawat
untuk beroperasi pada suatu rute dalam satu sistem airline dengan syarat tertentu.
Kapasitas payload, penggunaan bahan bakar dan waktu terbang adalah
parameter output yang umum dipertimbangkan. Data - data yang diperoleh
29
untuk penggunaan pesawat masa mendatang pada beberapa maskapai
penerbangan yang beroperasi di runway utara, adalah :
Tabel II.3 Sampel Armada Beberapa Maskapai Penerbangan
Maskapai Penerbangan Armada Keterangan
Garuda Indonesia
Per Mei Tahun 2007 6 A330 - 300 11 B737 - 300 19 B737 - 400 5 B737 - 500 4 B737 - 800 3 B747 - 400
Garuda juga akan menambahkan armadanya dengan : 2009 - 8 B737 - 800 2010 - 10 B737- 800,
10 B777 - 300 ER 2011- 5 B737- 800 2012 - 2 B737- 800 2011 s/d 2013 - 10 B787
AirAsia Per Maret Tahun 2005 20 buah B 737 - 300
namun akan digantikan dengan 60 buah A320
Emirates
Armada Tahun 2006 29 A330 - 200 8 A340 - 300 10 A340 - 500 5 B 747 - 400F
(dioperasikan untuk Emirates SkyCargo oleh Atlas Air)
3 B777 - 200 6 B777 - 200ER 12 B777 - 300
Emirates telah memesan 45 buah Airbus A380 dan akan mendapatkannya setelah Singapore Airlines dan Qantas setelah akhir 2006.
9 Boeing 747 - 8F (dalam pemesanan dan akan dioperasikan oleh Emirates SkyCargo)
10 B777 - 200LR (dalam pemesanan)
23 B777 - 300ER (36 dalam pemesanan)
8 Boeing 777F (dalam pemesanan dan akan dioperasikan oleh Emirates Sky Cargo untuk menggantikan Boeing 747-200F)
Lion Air
Per Agustus 2007 5 B737 - 400 6 MD - 82 1 MD - 83 4 MD - 90 5 B737 - 900ER
Dalam upaya meremajakan armadanya, Lion Air telah memesan 60 B 737 - 900ER yang akan diantar bertahap dari 2007 hingga 2010.
Sumber : Maskapai Penerbangan Di Bandara Soekarno - Hatta, 2007
30
Dari Tabel II.3 diatas dan juga memperhatikan General
Characteristics Airplane memperlihatkan bahwa pada masa mendatang maskapai
penerbangan cenderung menggunakan : B738, B739, B739ER, B787, A380.
(Data General Characteristics Airplane, General Dimension, Interior
Arrangements dan F.A.R Landing Runway Length Requirements dapat dilihat
pada Lampiran VII, VIII, IX, X).
II.13 Pemetaan Bisnis PT. (Persero) Angkasa Pura II
PT. (Persero) Angkasa Pura II memiliki beberapa jenis bisnis yang
dijalankan dengan pola kebijaksanaan yang berbeda terhadap kepengelolaan tiap
jenis bisnis tersebut. Tipe bisnis tersebut dapat dikelompokkan kedalam tiga
bentukan bisnis, yaitu Bisnis Inti, Bisnis Pendukung dan Bisnis Lain-lain.
Berikut ini penjelasan dari masing - masing bisnis tersebut.
II.13.1 Bisnis Inti
Bisnis utama dari PT. (Persero) Angkasa Pura II terdiri dari dua jenis
bisnis yang saling mendukung satu sama lain, namun terpisahkan dari segi teknis
pelayanannya baik terhadap penerbangan maupun kebandarudaraan, yaitu
Aeronautika dan Non Aeronautika, seperti ditabelkan berikut.
Tabel II.4 Bisnis Inti
Sumber : PT. (Persero) Angkasa Pura II
31
Bisnis Aeronautika merupakan bisnis yang berkaitan secara langsung
dengan pelayanan jasa pendaratan dan penerbangan pesawat udara serta
pelayanan jasa penumpang pesawat udara. Sedangkan bisnis Non Aeronautika
merupakan bisnis yang secara tidak langsung berkaitan dengan jasa pelayanan
penerbangan, melainkan bisnis yang langsung terkait dengan jasa pelayanan
kebandarudaraan.
II.13.2 Bisnis Terkait
Bisnis terkait dari PT. (Persero) Angkasa Pura II lebih bersifat
mengenai segala sesuatu yang bersifat aktifitas bisnis yang mendukung dari dua
jenis bisnis utamanya yaitu, yang mendukung secara langsung terhadap masing
- masing jasa pelayanan Aeronautika dan Non Aeronautika seperti yang
ditabelkan di bawah ini.
32
Tabel II.5 Bisnis Terkait
Pola Pengelolaan
Dikelola Sendiri, Atau
Dikelola Oleh Perusahaan Patungan :
Sebagai Pendiri : Kepemilikan Saham Menuju Majoritas
Bukan Sebagai Pendiri : Kepemilikan Saham Minimal 20 %.
Sumber : PT. (Persero) Angkasa Pura II
33
II.13.3 Bisnis Pendukung
Bisnis pendukung merupakan segala aktifitas yang bersifat sebagai
prasarana yang secara langsung / tidak langsung dibutuhkan oleh kedua bisnis
inti, yang ditabelkan sebagai berikut.
Tabel II.6 Bisnis Pendukung
II.13.4 Bisnis Lain - Lain
Jenis bisnis ini merupakan segala aktifitas bisnis yang secara tidak
langsung berhubungan dengan kegiatan penerbangan maupun kebandarudaraan,
namun hal tersebut dikategorikan sebagai bisnis perusahaan dikarenakan
pemanfaatan dari aktifitas tersebut menghasilkan revenue bagi perusahaan.
Secara teknis kepengelolaan bisnis tersebut tidak dilaksanakan langsung oleh
pihak PT. (Persero) Angkasa Pura II, yang diantaranya yaitu :
Pemanfaatan lahan di luar area bandar udara
Jasa penyediaan media iklan dalam bandara
Sumber : PT. (Persero) Angkasa Pura II
34
Gambar II. 16 Diagram Jenis Bisnis PT. (Persero) Angkasa Pura II
Sumber : PT. (Persero) Angkasa Pura II
PT.(Persero) Angkasa Pura II
Bisnis Inti
(Core Business))Bisnis Pendukung
(Supporting Business)Bisnis Lain‐Lain‐(Other Business)
Aeronautika Non Aeronautika
,
Bisnis Terkait (Related Business)
Bisnis non aeronautika yang tidak terkait langsung dengan
kegiatan penerbangan
Jasa penyediaanfasilitas listrikJasa penyediaanair bersih
Jasa penyediaan fasilitas
telekomunikasi
Pemanfaatan lahan di luar area bandara
Jasa Penyediaan Media iklan dalam bandara
Bisnis Inti (Core Business)
Bisnis aeronautika yang terkait langsung
dengan kegiatan penerbangan
35
Tanggapan Informasi
Pengguna Jasa
Tarif Baru
Berlaku
Penetapan &
Sosialisasi
MENTERI PERHUBUNGAN
Usulan tertulis Pembahasan
tingkat departemen
Konsep Usulan Tarif
1 3 1 3
= 8 bln
II.14 Sumber Pendapatan PT. (Persero) Angkasa Pura II
Sumber pendapatan utama yang diperoleh PT. Angkasa Pura II
berasal dari dua jenis layanan bisnis yang dimiliki perusahaan, yaitu dari bidang
Aeronautika dan Non Aeronautika.
II.14.1 Pendapatan Aeronautika
Pendapatan Aeronautika ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri
Perhubungan dan Direktur Jenderal Perhubungan Udara. Pendapatan tersebut
bersifat regulated yang artinya dalam pelaksanaan perhitungan tarif
memperhatikan rekomendasi ICAO dan harus dikonsultasikan ke Menteri
Perhubungan, sedangkan pemberlakuan tarif dikontrol / diawasi oleh Dirjen
Perhubungan Udara. Selain itu pendapatan aeronautika juga berbasis pada cost
recovery, yang artinya tarif yang ditetapkan berdasarkan perhitungan biaya
pokok tanpa margin.
Gambar II.17 Mekanisme Penetapan Tarif Jasa Aeronautika
36
Pendapatan dari layanan bisnis pada bidang Aeronautika berasal dari :
1. Jasa Pelayanan Penerbangan (JP2)
2. Jasa Pendaratan, Penempatan dan Penyimpanan Pesawat Udara (JP4U)
3. Jasa Pelayanan Penumpang Pesawat Udara
4. Pemakaian Aviobridge & Counter
Sebagai contoh pada maskapai penerbangan garuda indonesia untuk jenis
pesawat B738 dengan MTOW (79.016 Kg), FB (Faktor berat) sebesar 34 dengan
jumlah pendaratan sebanyak 38 kali, mengeluarkan biaya pendaratan sebesar
lima belas juta seratus tiga puluh sembilan ribu dua ratus rupiah (Sumber :
Rekapitulasi Produksi Dan Pendapatan PJP4U Per Airlines Bulan Desember
2007). Lebih jelas untuk Fees and Charges Bandara Soekarno - Hatta dapat
dilihat pada Lampiran XVI.
II.14.2 Pendapatan Non Aeronautika
Pendapatan dari layanan bisnis pada bidang Non Aeronautika berasal
dari :
1. Penyewaan ruangan, gudang, lahan dan fasilitas lainnya
2. Kegiatan konsesioner
3. Parkir Kendaraan
4. Pas Bandara
5. Ground Handling
6. Pergudangan
7. STV/ Kabel Data / AMACS (hanya terdapat di Bandara Soekarno – Hatta)