Upload
lecong
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN TEORITIK TENTANG PEKERJAAN RUMAH
DAN HASIL BELAJAR SISWA
A. Pengertian, dan Tujuan Pekerjaan Rumah
1. Pengertian Pekerjaan Rumah/Resitasi
Menurut Oemar Hamalik (1984: jilid II: 94), ialah sebagai berikut:
“Pekerjaan rumah ialah suatu tugas yang diberikan oleh guru kepada murid-murid, tugas mana dikerjakan dan diselesaikan serta dipecahkan di rumah, dalam hubungannya dengan suatu mata pelajaran atau beberapa mata pelajaran. Pekerjaan rumah memberikan kesempatan belajar di rumah dan kegiatan-kegiatan ini merupakan pelengkap bukan sebagai duplikat dari kegiatan belajar di sekolah. Pekerjaan rumah mengandung 3 (tiga) unsur yakni: (a) unsur tugas, (b) unsur belajar (home study), (c) unsur penilaian.”
Sementara itu, Nana Sudjana (1988:81), mengemukakan bahwa “tugas dan
resitasi tidak sama dengan pekerjaan rumah, tetapi jauh lebih luas dari itu. Tugas bisa
dilaksanakan di rumah, di sekolah, dan perpustakaan, dan di tempat lainnnya.” Oleh
sebab itu, adanya perbedaan dari pendapat tersebut, bahwa pada dasarnya pengertian
metode resitasi maupun pekerjaan rumah harus dapat merangsang para siswa untuk
aktif belajar baik secara individual maupun secara kelompok. Dalam pelaksanaan
metode ini siswa dapat mengerjakan tugasnya tidak hanya di rumah, mungkin di
perpustakaan, di laboratorium, di kebun percobaan dan sebagainya untuk
dipertanggungjawabkan kepada guru.
Dengan demikian, dari uraian tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
pekerjaan rumah maupun resitasi yaitu untuk memberikan selingan variasi teknik
penyajian ataupun dapat berupa pekerjaan rumah. Tugas semacam itu dapat
dikerjakan di luar jam pelajaran, di rumah maupun sebelum pula, sehingga dapat
dikerjakan bersama temannya. Di samping itu pula metode tersebut, mempunyai tiga
fase, hal ini dikemukakan oleh Sutari Imam Bernadib (1981:39), bahwa metode
tugas/resitasi ini mempunyai tiga (tiga) fase, diantaranya:
a. Guru memberi tugas
b. Murid melaksanakan tugas
c. Murid mempertanggungjawaban kepada guru tentang apa yang telah
dipelajari.
Sejalan dengan ungkapan tersebut, Nana Sudjana (1988: 81), menjelaskan
ketiga fase tersebut, ialah:
a. fase pemberian tugas. Tugas yang diberikan kepada siswa hendaknya dipertanggungjawabkan. - tujuan yang akan dicapai - jenis tugas yang jelas dan tepat sehingga anak mengerti apa yang
ditugaskan tersebut- sesuai dengan kemampuan siswa- ada petunjuk/sumber yang dapat membantu pekerjaan siswa - sediakan waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas tersebut
b. langkah pelaksanaan tugas- diberikan bimbingan/pengawasan oleh guru- diberikan dorongan sehingga anak mau bekerja - diusahakan/dikerjakan oleh siswa sendiri, tidak menyuruh orang lain- dianjurkan agar siswa mencatat hasil-hasil yang diperoleh dengan baik
dan sistematik c. fase mempertanggungjawabkan. Hal yang harus dikerjakan pada
fase ini.- laporan siswa baik lisan/tertulis dari apa yang telah dikerjakannya.- ada tanya jawab/diskusi kelas- penilaian hasil pekerjaan siswa baik dengan tes maupun non tes atau
cara lainnya
20
Dari konsep tersebut, bahwa bila guru telah memberikan tugas pada siswa,
hari berikutnya harus dicek apakah sudah dikerjakan atau belum. Kemudian perlu
dievaluasi, karena akan memberi motivasi belajar siswa. Tugas itu dapat berupa
perintah, menyusun laporan/resume. Esok harinya laporan itu didiskusikan dengan
siswa. Hal ini dikemukakan oleh Winarno Surachmad (1986:92), ialah sebagai
berikut:
“Bahwa tugas harus dilakukan oleh siswa perlu jelas. Ini berarti bahwa guru, dalam memberikan tugas harus menjelaskan aspek-aspek yang perlu dipelajari oleh para siswa, agar para siswa tidak merasa bingung apa yang harus mereka pelajari dari segi-segi mana yang harus dipentingkan. Jika aspek-aspek yang diperhatikan sudah jelas, maka perhatian siswa waktu belajar akan lebih dipusatkan pada aspek-aspek yang dipentingkan itu.”
Dengan demikian, apabila guru mengharapkan agar semua pengetahuan yang
telah diterima anak lebih mantap. Untuk mengaktifkan anak-anak mempelajari
sendiri suatu masalah dengan membaca sendiri, mengerjakan soal-soal sendiri, dan
mencoba sendiri. Sehingga anak-anak akan lebih rajin. Hal ini dinyatakan oleh S.
Nasution (1987:57), ialah sebagai berikut:
“Untuk menguasai proses penemuan banyak diperlukan waktu, misalnya untuk merumuskan masalah, mencari hipotesis atau kemungkinan-kemungkinan memecahkan masalah itu kemudian mengadakan percobaan atau mengumpulkan data menurut cara-cara tertentu, menguji kebenaran hasilnya dan akhirnya mengambil kesimpulan. Tentu saja menguasai proses penemuan ini sangat berharga dalam kehidupan setiap pelajar dan setiap orang dalam dunia yang dinamis ini yang penuh dengan problema-problema baru.”
Dari ungkapan tersebut, bahwa keuntungan metode itu belum didukung oleh
bukti-bukti ilmiah akan tetapi pada umumnya diakui kebaikannya oleh guru-guru
menurut pengalaman masing-masing. Metode ini belum dapat ditingkatkan pada
21
suatu taraf di mana semua aspeknya dapat dikontrol. Misalnya kita belum mengetahui
benar pada saat mana kita harus membantu siswa dalam proses mengerjakan
tugasnya. Kita juga belum mengetahui bagaimana cara memberi bantuan yang paling
tepat. Memberi bantuan serupa ini bertambah pelik, karena para siswa secara
individual berbeda-beda dalam cara dan kecepatannya belajar. Hingga manakah kita
harus membantu siswa dalam usaha menemukan sendiri, merupakan hal yang belum
ada pedomannya.
Dengan demikian, metode resitasi/pekerjaan rumah ini ada keuntungan dan
kelemahannya. Hal ini Oemar Hamalik (1984:101-103), merumuskannya, ialah
sebagai berikut:
1. Keuntungannya a. Pekerjaan rumah memberi kesempatan pada murid-murid belajar lebih
baik, lebih luas dan lebih giat.b. Pekerjaan rumah memberi dorongan pada murid-murid belajar dan
berusaha memecahkan masalah yang dihadapinyac. Menambah pengetahuan murid dan mengembangkan rasa tanggung
jawab serta mengembang rasa sosial d. Memungkinkan relasi antara sekolah dan keluarga secara lebih erat.
Dan memperkuat motivasi murid untuk belajar. e. Dapat mengisi pekerjaan senggang murid-murid dan memberikan
kesempatan pada murid untuk mengembangkan kemampuan masing-masing sesuai dengan tugas yang diberikan. Juga memberikan hiburan, jadi sebagai alat rekreasi terutama jika tugas itu menarik minat mereka.
2. Kelemahan-kelemahannya a. Pekerjaan rumah memerlukan pengawasan yang benar daripada guru
dan orang tua, sukar untuk menetapkan apa tugas itu dipecahkan sendiri atau hanya atas pertolongan orang lain.
b. Sukar menilai pekerjaan dengan tepat dan adil karena memungkinkan benar menjiplak. Di dalam tugas secara kelompok, sering ada murid yang tidak rela bekerja untuk memecahkan bersama melainkan hanya menyadarkan keseluruhannya pada anggota yang lain.
22
c. Dapat menimbulkan prustasi dan kekecewaan pada murid kalau tugas tidak menarik minatnya dan gagal menyelesaikannya. Juga sukar menetapkan dengan tepat bahan mana yang paling sesuai untuk murid agar dikerjakannya.
d. Sukar diselesaikan oleh murid-murid yang tinggal pada lingkungan keluarga yang kurang teratur. Sukar dikerjakan oleh murid yang orang tuanya tidak menyetujui akan sistem pemberian pekerjaan rumah.
Jika perlu diingat, bahwa semua guru pasti memberi tugas. Oleh sebab itu,
kenyataan siswa banyak mempunyai tugas dari beberapa mata pelajaran. Akibatnya
tugas itu terlalu banyak diberikan pada siswa, menyebabkan siswa mengalami
kesukaran untuk mengerjakan, serta dapat mengganggu pertumbuhan siswa, karena
tidak mempunyai waktu lagi untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain yang perlu
untuk perkembangan jasmani dan rohaninya pada usianya. Di samping itu pula kalau
guru memperhatikan hal-hal tersebut, maka walaupun teknik ini baik untuk
digunakan, tetapi jangan terlalu kerap kali diberikan agar tidak terlalu menyita waktu
siswa, dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan siswa secara wajar. Hal ini
dijelaskan oleh Imam Sutari Bernadib (1981:40), “bahwa tugas yang harus dilakukan
oleh murid harus jelas, agar para murid tidak menjadi bingung karena kurang jelas.
Segi mana yang dianggap penting dan yang diperhatikan.”
2. Tujuannya
Teknik pemberian tugas (pekerjaan rumah) biasanya digunakan dengan
tujuan. Agar hasil belajar siswa memuaskan, guru perlu merumuskan tujuan yang
jelas hendak dicapai oleh para siswa. Hal ini dikemukakan oleh Imam Sutari
Bernadib (1981:39), merumuskan ialah sebagai berikut:
a. Merangsang agar siswa berusaha lebih baik, memupuk inisiatif, bertanggung jawab dan berdiri sendiri.
23
b. Membawa kegiatan-kegiatan sekolah yang berharga kepada minat siswa yang masih terluang. Waktu-waktu terluang dari murid agar dapat dipergunakan secara konstruktif.
c. Memperkuat hasil belajar sekolah dengan menyelenggarakan latihan-latihan yang perlu di rumah.
Sejalan dengan ungkapan tersebut, Roestiyah N.K. (1988: 133), ialah sebagai
berikut:
“Di samping itu untuk memperoleh pengetahuan secara melaksanakan tugas akan memperluas dan memperkaya pengetahuan serta keterampilan siswa di sekolah, melalui kegiatan-kegiatan di luar sekolah itu. Dengan kegiatan melaksanakan tugas siswa aktif belajar, dan merasa terangsang untuk meningkatkan belajar yang lebih baik, memupuk inisiatif dan berani bertanggung jawab sendiri. Banyak tugas yang harus dikerjakan siswa, hal itu diharapkan mampu menyadarkan siswa untuk selalu memanfaatkan waktu senggangnya untuk hal-hal yang menunjang belajarnya, dengan mengisi kegiatan-kegiatan yang berguna dan konstruktif.”
Dari ungkapan tersebut, bahwa guru diharapkan bila menggunakan teknik ini
agar sasaran yang disebutkan di atas dapat tercapai, maka perlu mempertimbangkan
apakah tujuan-tujuan yang akan dicapai dengan tugas itu cukup jelas? Cukup
dipahami oleh siswa, sehingga mereka melaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Begitu juga tugas yang diberikan cukup jelas bagi siswa, sehingga mereka tidak
bertanya-tanya lagi apa yang harus dikerjakan, dan apa yang menjadi tugasnya.
Setelah siswa memahami tujuan dan makna tugas, maka mereka akan
melaksanakan tugas dengan belajar sendiri, atau mencari nara sumber sesuai dengan
tujuan yang telah digariskan dan penjelasan dari guru. Dalam proses ini guru perlu
mengontrol, pelaksanaan tugas itu, apakah dikerjakan dengan baik, apakah dikerjakan
oleh siswa sendiri, tidak dikerjakan oleh orang lain, maka perlu diawasi dan diteliti.
24
Dengan demikian, tujuan pekerjaan rumah/resitasi pada dasarnya, ialah
sebagaimana menurut pandangan modern yang dikemukakan oleh Oemar Hamalik
(1984:95-96), merumuskan, ialah sebagai berikut:
a. Agar murid menambah pengetahuan secara harmonis. Anak sebagai pribadi diberikan pekerjaan rumah untuk melatih dan mengembangkan fungsi-fungsi rohani secara harmonis.
b. Agar murid melatih diri belajar sendiri. Murid memecahkan dan menyelesaikan tugas rumahnya dengan usaha dan semangatnya sendiri.
c. Agar murid memakai waktunya secara teratur dan secara ekonomis. Murid perlu membagi waktu untuk belajar, istirahat, mencari hiburan atau rekreasi agar hidupnya seimbang.
d. Agar murid menggunakan waktu terluang untuk memecahkan dan menyelesaikan pekerjaan yang diberikan kepadanya. Hal ini penting justeru untuk menghindarkan mereka dari tingkah laku yang negatif dan destruktif.
e. Belajar disiplin, artinya murid belajar mengontrol dirinya sendiri dalam menggunakan waktu dan menyelesaikan tugas pada waktunya dan tidak menangguhnya atau mengabaikannya.
f. Murid-murid belajar mencari dan menemukan cara-cara yang sesuai dan tepat untuk menyelesaikan dan memecahkan tugas yang diberikan.
g. Agar anak dapat memahami sesuatu secara mendalam di samping ia mendengarkan di sekolah.
Jadi jelas bahwa konsep mengenai tujuan tersebut, dapat diambil kesimpulan
yatu pekerjaan rumah sangat penting, baik sebagai azasi maupun sebagai metode
mengajar, untuk memberikan pengalaman dan perkembangan murid. Hal ini
dinyatakan oleh Nana Sudjana dan Daeng Arifin (1988:55), bahwa “dengan tugas-
tugas (pekerjaan rumah) baik individu maupun kelompok sehingga siswa melakukan
tukar pikiran dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Metode ini banyak
menimbulkan kegiatan belajar siswa yang lebih optimal.
25
B. Hasil Belajar sebagai Tujuan Pendidikan
Salah sat tugas pokok guru ialah mengevaluasi taraf keberhasilan rencana dan
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Untuk melihat bagaimana taraf keberhasilan
mengajar guru dan belajar siswa secara tepat dan dapat dipercaya, kita memerlukan
informasi yang didukung oleh data yang objektif dan memadai tentang indikator-
indikator perubahan perilaku dan pribadi para siswa. Oleh sebab itu, kita biasanya
berusaha mengambil cuplikan saja yang diharapkan mencerminkan keseluruhan
perubahan perilaku itu. Tetapi sebelumnya indikator-indikator tentang hasil belajar
(prestasi) sebagai tujuan pendidikan, penulis akan membahas tentang:
1. Pengertian hasil (prestasi) belajar
W.S. Winkel (1986:162), bahwa “hasil (prestasi) belajar adalah bukti
keberhasilan usaha yang dicapai.” Oleh sebab itu yang dimaksud dengan hasil
(prestasi) ialah usaha seseorang yang dicapai dalam perbuatan belajar. Abin
Syamsudin (1981:134), mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan
perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktek atau pengalaman tertentu.” Lebih
jauh W.S. Winkel (1987:150), mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses
mental yang mengarah kepada penguasaan pengetahua, kecakapan/skill, kebiasaan
atau sikap, yang semuanya diperoleh, disimpan, dan dilaksanakan sehingga
menimulkan tingkah laku yang progresif dan adaptif.”
Dengan demikian, bahwa yang dimaksud dengan belajar adalah suatu
kegiatan yang dilakukan oleh individu secara disadari dan disengaja sehingga terjadi
perubahan, baik itu dalam segi pengetahuan, keterampilan, maupun dalam sikap.
26
Perubahan dalam belajar bersifat progresif dan adapif. Abin Syamsudin (1981:135),
mengemukakan ciri-ciri perubahan yang merupakan perilaku belajar, diantaranya
ialah:
- bahwa perubahan itu intensional, dalam arti pengalaman atau praktek atau latihan dengan sengaja dan disadari dilakukan dan bukan secara kebetulan, dengan demikian perubahan karena kematangan atau keletihan atau karena penyakit tidak dapat dipandang sebagai perubahan hasil belajar.
- bahwa perubahan itu positif, dalam arti sesuai seperti yang diharapkan (normative) atau kriteria keberhasilan (criteria of success) baik dipandang dari segi siswa maupun dari bakat khususnya.
- bahwa perubahan itu efektif, dalam arti pengaruh dan makna tertentu bagi pelajar yang bersangkutan, serta fungsional, dalam arti perubahan hasil pelajar itu (setidaknya sampai batas waktu tertentu) relatif tetap dan setiap saat diperlukan dapat direproduksikan dan dipergunakan seperti dalam pemecahan masalah, baik dalam ujian, ulangan. Adapun dalam penyelesaian diri dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Dalam konsep tersebut, jelaslah pengertian belajar adalah merupakan proses
usaha atau interaksi yang dilakukan individu untuk memperoleh sesuatu yang baru
dan perubahan seluruh tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman itu
sendiri. Dari pengertian hasil/prestasi dan belajar tersebut, menurut W.S. Winkel
(1987:201) bahwa untuk istilah prestasi (hasil) belajar, yakni hasil belajar nampak
dalam tingkah laku siswa, misalnya menyebutkan huruf-huruf dalam abjad secara
berurutan.”
Jadi yang dimaksud dengan hasil/prestasi belajar adalah suatu hasil yang
diperoleh dengan suatu proses usaha yang disengaja dilakukan individu untuk
memperoleh perubahan tingkah laku, baik jasmani maupun rohani sebagai hasil
pengalamannya dan interaksinya dengan lingkungan. Dari sisi lain hasil/prestasi
27
belajar akan nampak pada perubahan-perubahan baik dalam bidang pengetahuan atau
pemahaman, keterampilan, dan nilai atau sikap. Perubahan-perubahan tersebut
merupakan hasil proses belajar yang dialami oleh siswa, dalam hal ini terutama
dimaksudkan akibat interaksinya dengan proses mengajar guru. Keduanya terlibat
dengan pencapaian tujuan pengajaran sebagai indikator keberhasilan, materi pelajaran
sebagai isi kegiatan belajar mengajar, memilih metode dan alat atas dasar tujuan serta
materi yang telah ditetapkan, juga waktu yang telah ditetapkan.
Adapun uraian secara rinci tentang hasil (prestasi) belajar sebagai salah satu
indikator tujuan pendidikan akan diuraikan dalam tipe-tipe hasil belajar.
2. Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan bukanlah merupakan suatu terminal yang bersifat tetap dan
statis, tetapi terintegritas dan berkembang selama hidup dalam diri terdidik.
Realisasinya masalah tujuan pendidikan secara umum akan berkaitan dengan
pengertian atau konsep tujuan hidup manusia. Tujuan pendidikan menurut Ali Ashraf
(1989:25), ialah sebagai berikut:
“Pendidikan searusnya bertujuan mencapai pertumbuhan seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui latihan semangat, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan rasa tubuh. Karena itu, pendidikan seharusnya memberikan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya secara spiritual, intelektual, imajinatif, fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif disamping memotivasi semua aspek tersebut ke arah kebaikan dan kesempurnaan.”
Sementara itu, menurut Madyo Ekosusilo dan R.B. Kasihadi (1985:38),
bahwa “tujuan pendidikan ini diharapkan telah memiliki oleh setiap warga negara
setelah menyelesaikan seluruh program pendidikan.” Oleh sebab itu yang dimaksud
28
dengan tujuan pendidikan adalah merupakan rumusan tentang kualitas pengetahuan,
kemampuan, dan sikap yang harus dimiliki oleh anak didik.
Berkenaan dengan tujuan pendidikan, selain dapat ditelaah dari segi isi atau
materi yang terkandung di dalamnya juga dapat dilihat dari segi pengolahan
pendidikan pada tarap ialah sebagai berikut:
(1) organisasi makro, yakni sistem pendidikan sekolah pada taraf nasional, (2) organisasi meso, yakni pengaturan program pendidikan di sekolah tertentu, sesuai dengan ciri khas jenjang pendidikan tertentu, (3) organisasi mikro, yakni perencanaan dan pelaksanaan suatu proses belajar mengajar tertentu, di dalam ruang kelas, yang diperuntukkan kelompok siswa tertentu pula” (W.S. Winkel, 1987:23).
Atas konsep tersebut, maka tujuan pendidikan juga dapat dibedakan menjadi
tujuan-tujuan umum dan khusus, tujuan-tujuan pendidikan lengkap dan tidak lengkap,
tujuan-tujuan pendidikan akhir dan antara atau sementara. Cara pembedaan lainnya
juga sering digunakan, seperti tujuan-tujuan pendidikan universal, nasional,
institusional, dan instruksional.
Berdasarkan dari uraian tersebut, maka tujuan pendidikan di sini akan dibahas
berdasarkan hirarki sesuai dengan kemampuan dan fungsinya, yaitu:
a. Tujuan pendidikan nasional
“Tujuan pendidikan nasional mengambil inspirasinya dari cita-cita nasional
dan tujuan pembangunan nasional” (W.S. Winkwl, 1987: 24). Pengertian tujuan
pendidikan nas menurut M. Arifin (1976:14), merumuskannya, ialah idealitas bahwa
manusia Indonesia hendaknya menjadi manusia pembangunan yang memiliki :
- Kesehatan jasmaniah dan rohaniah
29
- Memiliki ilmu pengetahuan yang berkembang serta keterampilan yang diperlukan
- Memiliki kemampuan mengembangkan daya cipta dan rasa tanggung jawab
- Dapat mengembangkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa- Mampu mengembangkan kecerdasan yang tinggi disertai dengan akhlak
luhur - Mencintai bangsanya serta sesama manusia.
Rumusan tujuan yang menggambarkan secara umum kualifikasi warga negara
yang harus dihasilkan oleh setiap lembaga pendidikan. Di dalam rumusan tujuan
pendidikan nasional itu mengandung tiga kategori gugus nilai luhur, yakni nilai
individualitas/kebijakan bagi kemahiran pribadi, nilai sosialitas/kebajikan bagi
kehidupan bermasyarakat, dan nilai moralitas/kebajikan hidup secara etis dan religius.
Bagi bangsa Indonesia ketiga kategori gugus nilai luhur tujuan pendidikan
tersebut, pada dasarnya bukanlah merupakan suatu hal yang asing, karena memang
sudah tercermin di dalam tujuan pendidikan nasional, hal ini termaktub dalam
undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 (1989:4), bahwa:
“Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”
Perumusan tujuan pendidikan nasional ini bersifat umum dan mencakup
semua bentuk pendidikan, namun dalam rangka pendidikan formal, masih harus
dijabarkan menjadi tujuan pendidikan institusional dan kurikuler.
30
b. Tujuan institusional
Tujuan institusional adalah “tujuan yang harus dicapai oleh suatu lembaga
pendidikan. Tujuan itu dijabarkan atas beberapa rumusan tujuan lembaga pendidikan.
Tujuan institusional harus mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional tidak
berbeda atau bahkan bertentangan.” Sejalan ungkapan itu, Abu Ahmadi (1985:45),
bahwa “tujuan institusional tersebut adalah merupakan penjabaran dari tujuan
pendidikan nasional. Jadi sifatnya lebih khusus daripada tujuan pendidikan nasional.”
Kalau dalam kurikulum ada istilah yang menyebutka tujuan umum pendidikan SD,
SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi, maka pengertian tujuan mum di sini hakekatnya
adalah tujuan khusus pendidikan nasional, tetapi terbatas pada ruang lingkup institusi
di mana anak itu dididik. Sebagai contoh, tujuan umum pendidikan SLTP yang
tercantum dalam kurikulum 1984, ialah sebagai berikut:
a. Menjamin warga negara yang baik sebagai manusia yang utuh, sehat, kuat lahir, dan batin.
b. Menguasai hasil-hasil pendidikan umum yang merupakan kelanjutan dari pendidikan di sekolah dasar.
c. Memiliki bekal untuk melanjutkan studinya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi dengan menempuh:
1) program umum yang sama bagi semua siswa 2) program pilihan bagi mereka yang mempersiapkan dirinya untuk studi di
lembaga ped yang lebih tinggid. Memiliki bekal untuk terjun ke masyarakat dengan mengambil
keterampilan untuk bekerja yang dapat dipilih oleh siswa sesuai dengan minatnya dan kebutuhannya.” (S. Nasution, 1988:52-53)
Sedang tujuan institusional umum Sekolah Menengah Pertama, hal ini
termaktub dalam kurikulum 1994, ialah sebagai berikut:
a. Memiliki pengetahuan tentang agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
31
b. Memiliki pengetahuan tentang dasar-dasar kenegaraan dan pemerintah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945
c. Memiliki pengetahuan dasar bidang matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan bahasa (khusus dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) serta menguasai pengetahuan yang cukup lanjut dalam satu atau beberapa bidang pengetahuan tersebut.
d. Memiliki pengetahuan tentang berbagai jenis dan jenjang pekerjaan yang ada di masyarakat serta syarat-syaratnya.
e. Memiliki pengetahuan tentang berbagai unsur kebudayaan dan tradisi nasional.
f. Memiliki pengetahuan dasar tentang kependudukan, kesejahteraan keluarga, dan kesehatan (S. Nasution, 1988:53).
Demikianlah tujuan institusional yang harus diwujudkan pada siswa SLTP.
Tujuan itu pun masih bersifat umum dan perlu diuraikan lagi menjadi tujuan yang
lebih terperinci yaitu tujuan kurikuler tujuan yang harus dicapai oleh setiap program
bidang studi, dan tujuan instruksional, yang harus dicapai oleh suatu pelajaran.
Tujuan ini pun masih terlampau umum untuk dapat diwujudkan dalam situasi kelas.
Karena itu, tujuan institusional masih perlu diuraikan dalam tujuan tiap bidang studi
yang mempunyai tujuan yang lebih spesifik, namun masih perlu diperinci dalam
tujuan-tujuan yang dapat direalisasikan dalam kelas, yang masih dapat bersifat
umum, yang disebut tujuan kurikuler.
c. Tujuan kurikuler
Tujuan kurikuler adalah “tujuan pendidikan untuk suatu bidang studi atau mata pelajaran dalam suatu lembaga pendidikan. Tujuan kurikuler sebagai penjabaran dari tujuan institusional tidak boleh berbeda atau bahkan bertentangan dengan tujuan institusional. Tetapi harus mendukungnya sehingga tujuan institusional yang bersangkutan tercapai dengan hasil yang memuaskan (Sudirman, dkk., 1989:258).
Dengan demikian, segala sarana yang diterapkan di suatu tingkat maupun
jenis perguruan atau sekolah disusun menjadi kurikulum. Bagian terbesar dalam suatu
32
kurikulum meliputi berbagai bidang pengajaran yang diwujudkan ke dalam bidang
studi. Tiap kelas mempunyai kurikulum dan tujuan kurikulernya sendiri. Keseluruhan
kurikulum dari kelas terendah sampai kelas tertinggi harus mampu memenuhi tujuan
kurikuler sesuatu sekolah.
d. Tujuan instruksional
Tujuan instruksional yaitu “tujuan dari tiap-tiap kegiatan pengajaran
(instruction) dalam suatu bidang kurikuler.” (Madyo Ekosusilo dan R.B. Kasihadi,
1985: 38). Sejalan dengan ungkapan tersebut, Sudirman N. dkk (1989:259),
merumuskan: tentang tujuan instruksional dapat dibedakan atas: (1) tujuan
instruksional umum (TIU), dan (2) instruksional khusus (TIK). Selanjutnya tujuan
yang harus dicapai untuk sebuah atau beberapa buah pokok bahasan. Adapun
perbedaan TIU dengan TIK adalah: “dalam TIU rumusan itu tidak begitu operasiona
walaupun tidak sangat umum, sedangkan dalam TIK rumusan itu sudah begitu khas
(spesifik), dapat diukur dan dapat diamati sehingga kita mudah mengukurnya, apakah
tujuan itu tercapai atau tidak” (Sudirman N., dkk., 1989:260).
3. Tipe hasil belajar
Tujuan pendidikan yang ingin dicapai dapat dikategorikan menjadi tiga
bidang, yakni kognitif (penguasaan intelektual), bidang afektif (berhubungan dengan
sikap dan nilai) serta bidang psikomotor (kemampuan/ keterampilan/ bertindak/
berprilaku). Ketiganya tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan, bahkan membentuk hubungan hirarki. Sebagai tujuan yang hendak
dicapai, ketiganya arus nampak sebagai hasil belajar siswa di sekolah. Oleh sebab itu
33
ketiga aspek tersebut harus dipandang sebagai hasil belajar siswa dari proses
pengajaran. Hasil belajar tersebut harus nampak dalam perubahan tingkah laku.
Karena itu secara teknis kadar pencapaiannya harus dirumuskan dalam sebuah
pernyataan verbal yang dapat diukur. Dengan perkataan lain rumusan tujuan
pengajaran berisikan hasil belajar yang diharapkan dikuasai siswa yang mencakup
ketiga aspek tersebut.
Seseorang yang telah belajar harus mencapai perubahan dalam aspek tingkah
lakunya yang bersifat kognitif konatif, afektif, dan motoris. Menurut Crow, F.D. &
Crow, Alice manifestainya dapat dilihat dalam bentuk-bentuk “(1) pengetahuan, (2)
pengertian, (3) kebiasaan, (4) keterampilan, (5) apresiasi, (6) emosional, (7)
hubungan sosial, (8) jasmani, (9) ethis atau budi pekerti, dan (10) sikap (attitude)”
(E. Usman Effendi dan Juhaya S. Praja, 1985: 111).
Sementara itu, menurut Benyamin Bloom dan Robert M. Cagne yang dikutip
oleh Moh. Surya (1985:33), mermusukannya, bahwa “hasil belajar tercermin dalam
perubahan tingkah laku yang meliputi aspek (1) kognitif, (2) afektif, dan (3)
psikomotor.” Sedang Robert M. Cagne mengemukakannya bahwa hasil belajar
tercermin dalam kecakapan manusiawi yang mencakup:
1) Informasi verbal 2) Keterampilan intelektual yang meliputi: (a) diskriminasi, (b) konsep
konkrit, (c) konsep abstrak, (d) aturan, (e) aturan yang lebih tinggi.3) Strategi kognitif 4) Sikap 5) Keterampilan motorik
34
Dalam hubungan dengan bukti hasil belajar ini Crow & Crow yang dikutip
oleh E. Usman Effendi dan Juhaya S. Praja (1985: 111), mengemukakan bahwa:
“Belajar akan menghasilkan perkembangan: (1) keterampilan-keterampilan dasar, (2) kemampuan sosial, (3) penguasaan idea yang abstrak. Dan orang-orang yang berhasil mengembangkan keterampilan disebut mechanicalminded dan yang berhasil dalam mengembangkan hubungan sosial dengan orang lain disebut sosial minden, sedangkan jika berhasil dalam masalah-masalah yang abstrak disebut academic minded.”
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, bahwa para ahli tersebut, pada
prinsipnya tipe hasil belajar itu meliputi, tipe hasil belajar bidang kognitif, tipe hasil
belajar bidang afektif, dan tipe hasil belajar psikomotor.
Adapun uraian secara rinci tentang tipe-tipe hasil belajar, Nana Sudjana
(1988:50), mengemukakan ialah:
a. Tipe hasil belajar bidang kognitif - tipe hasil belajar pengetahuan hafalan (knowledge)- tipe hasil belajar penerapan (aplikasi)- tipe hasil belajar analisis - tipe hasil belajar sintesis- tipe hasil belajar evaluasi
Sementara itu, menurut Lewin yang dikutip oleh Wasty Soemanto (1994:122),
ialah sebagai berikut:
“Bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam diri individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan, maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan permasalahan. Belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi internal individu.”
35
b. Tipe hasil belajar bidang afektif
Yang dimaksud dengan bidang afektif “ialah karakteristik situasi emosional
yang terdapat dalam diri individu. Situasi emosional yang terdapat dalam diri
individu mempengaruhi dan mewarnai tingkah lakunya termasuk dalam kegiatan
belajar” (Moh. Surya, 1985:68). Oleh sebab itu, bidang afektif tampak pada siswa
dalam berbagai tingkah laku seperti perhatian terhadap pelajaran, disiplin, motivasi
belajar, menghargai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar dan lain-lain.
Di samping itu pula, ada beberapa tingkatan bidang afektif sebagai tujuan dan
tipe hasil belajar. Tingkatan tersebut dimulai tingkat yang dasar/sederhana sampai
tingkatan yang komplek. Hal ini dikemukakan oleh Nana Sudjana (1988:53-54),
mengisyaratkan kepada:
1) Receiving/attending, yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan (stimuli) dari luar yang datang pada siswa, baik dalam bentuk masalah situasi, gejala. Dalam tipe ini termasuk kesadaran, keinginan untuk menerima stimulus, kontrol dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar.
2) Responding atau jawaban. Yakni reaksi yang diberikan seseorang terhadap stimuli yang datang dari luar. Dalam hal ini termasuk ketepatan reaksi, perasaan, kepuasan dalam menjawab stimulus dari luar yang datang kepada dirinya.
3) Valuing (penilaian). Yakni berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus tadi. Dalam evaluasi ini termasuk di dalamnya kesediaan menerima nilai, latar belakang atau pengalaman untuk menerima nilai, dan kesepakatan terhadap nilai tersebut.
4) Organisasi, yakni pengembangan nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk menentukan hubungan satu nilai dengan nilai lain dan kemantapan, prioritas nilai yang telah dimilikinya. Yang termasuk dalam organisasi ialah konsep tentang nilai, organisasi daripada sistem nilai.
5) Karakteristik nilai atau internalisasi nilai yakni keterpaduan dari semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Di sini termasuk keseluruhan nilai dan karakteristiknya.
36
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa efisiensi proses belajar dipengaruhi oleh
karakteristik afektif para siswa terutama dalam hubungannya dengan kesiapan dan
tindakan belajar.
c. Tipe hasil belajar psikomotor
Hasil belajar bidang psikomotor tampak dalam bentuk keterampilan,
kemampuan bertindak individu. Hal ini dikemukakan oleh Moh. Surya (1985:72),
ialah sebagai berikut:
“Salah satu tujuan proses belajar ialah membantu belajar untuk memperoleh keterampilan dalam beberapa kegiatan seperti menulis tangan, mengetik, menggambar, menari, menggunakan berbagai alat, dan lainnya. Untuk itu diperlukan adanya kecakapan psikomotor. Dalam situasi belajar semacam ini guru harus memahami hakekat keterampilan yang akan diajarkan dan dapat mendemonstrasikannya. Jadi guru sendiri harus telah memiliki kecakapan psikomotor yang diperlakuan.”
Dari ungkapan tersebut, tipe hasil belajar yang dikemukakan tersebut
sebenarnya tidak berdiri sendiri, tapi selalu berhubungan satu sama lain bahkan ada
dalam kebersamaan. Oleh sebab itu, hasil belajar psikomotor tampak dalam bentuk
keterampilan, kemampuan bertindak individu. Ada 6 tingkatan keterampilan yakni:
a. Gerakan refleks (ketermpilan pada gerakan yang tidak sadar)b. Keterampilan pada gerakan-gerakan dasarc. Kemampuan perceptual termasuk di dalamnya membedakan visual,
membedakan auditif motorik dan lain-lain. d. Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan, ketepatan. e. Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada
keterampilan yang kompleks. f. Kemampuan yang berkenaan dengan non decursive komunikasi seperti
gerakan ekspresif, interpretatif.
Dengan demikian bahwa pada dasarnya ketiga hasil belajar tersebut dalam
pengajaran merupakan tiga hal yang secara perencanaan dan pragmatik terpisah,
37
namun dalam kenyataannya pada diri siswa akan merupakan satu kesatuan yang utuh
dan bulat. Ketiganya itu dalam kegiatan belajar mengajar, masing-masing
direncanakan sesuai dengan butir-butir bahan pelajaran. Karena semua itu bermuara
kepada anak didik, maka setelah terjadi proses internalisasi, terbentuklah suatu
kepribadian yang utuh. Dan untuk itu semua, diperlukan sistem lingkungan yang
menduung. Hal ini menurut Nana Sudjana (1988:54), bahwa “dalam proses belajar
mengajar di sekolah saat ini tipe hasil belajar kognitif lebih dominan jika
dibandingkan dengan tipe hasil belajar bidang afektif dan psikomotorik. Sekalipun
demikian, tidak berarti bidang afektif dan psikomotor diabaikan.”
Jadi pada intinya hasil belajar itu adalah ingin mendapatkan pengetahuan,
keterampilan dan penanaman sikap mental/nilai-nilai. Pencapaian tujuan belajar
berarti akan menghasilkan, hasil belajar. Adapun yang menjadi persoalan dan perlu
dikembangkan ialah bagaimana menjabarkan tipe hasil belajar tersebut menjadi
tingkah laku operasional sehingga memudahkan dalam membuat rumusan tujuan
instruksional khusus. Relevan dengan uraian mengenai tujuan belajar tersebut, maka
hasil belajar itu meliputi:
a. Hal ihwal keilmuan dan pengetahuan, konsep atau fakta (kognitif)b. Hal ihwal personal, kepribadian atau sikap (afektif) c. Hal ihwal kelakuan, keterampilan atau penampilan (psikomotorik)
(Sardiman AM, 1986:30)
Demikian beberapa tipe hasil belajar, yang sangat penting diketahui guru,
sebagai dasar dalam membuat tujuan pengajaran. Bagaimana cara membuat tujuan
pengajaran sehubungan dengan hasil belajar di atas.
38
C. Hubungan Metode Resitasi (Pekerjaan Rumah) dalam Proses Belajar
Mengajar dengan Hasil/Prestasi
1. Faktor pendidik (guru)
Diperlukan penerapan peranan guru yang tidak saja sebagai penyaji informasi,
tetapi juga sebagai fasilitator, motivator, pembimbing, yang lebih banyak
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari dan mengolah sendiri informasi
(Sudirman N. dkk., 1989: 111). Oleh sebab itu tugas guru dalam proses belajar
mengajar ialah menyediakan dan mengaktifkan siswa belajar dengan menyediakan
kondisi belajar seoptimal mungkin. Kondisi belajar yang optimal dapat dicapai
apabila guru mempunyai kemampuan mengatur siswa, mengatur sarana pengajaran,
serta mengendalikan dalam suasana yang menyenangkan. Untuk keperluan analisis
tugas guru sebagai pendidik, terutama dalam merencanakan suatu pelajaran harus
dipikirkan beberapa hal sebagai berikut:
- Siswa sebagai orang yang terlibat dalam situasi belajar mengajar - Waktu yang akan digunakan dalam pengajaran - Urutan bagaimana materi akan dibahas - Rangkaian perkembangan proses berpikir dan keterampilan yang akan
ditumbuhkan pada siswa- Penilaian pelajaran yang diberikan” (Conny Semiawan, dkk., 1985:35)
Dengan demikian, bertolak dari analisis tugas seorang guru, baik sebagai
pengajar, pembimbing, maupun sebagai administrator kelas. Di samping hasil-hasil
secara potensial dari partisipasi guru dalam administrasi itu, ada terdapat nilai-nilai
lain yang dipandang merupakan ciri-ciri pola kehidupan sosial ini. Hal ini
dikemukakan oleh Oteng Sutisna (1979:5), bahwa partisipasi guru, ialah:
39
a. Menghasilkan perbaikan kebijaksanaan dan program-program pengajaran secara terus menerus
b. Memperbesar keluasan untuk mencapai kata sepakat dan putusan-putusan terhadap masalah-masalah yang dihadapi
c. Membawa kepada perumusan kembali tujuan-tujuan pendidikan menjadi tingkah laku yang dianggap paling baik dalam masyarakat yang demokratis
d. Mencari dan mendapatkan perubahan-perubahan dalam prosedur-prosedur kelas
e. Memungkinkan sumbangan yang berharga bagi setiap orangf. Mengadakan kesempatan-kesempatan bagi guru untuk memperoleh
penghargaan dari kelompok dengan siapa ia bekerja dan dari orang-orang yang menjabat pimpinan administrative
g. Memberi kepada guru kesempatan untuk perkembangan pribadi dan profesional
h. Menciptakan pengertian yang luas tentang masalah-masalah administrative, dan
i. Meninggikan semangat.
Dari ungkapan tersebut, jelaslah bahwa setiap tinjauan yang objektif tentang
kesempatan-kesempatan bagi partisipasi guru dalam sekolah, dijumpai banyak sekali
masalah yang sangat serasi bagi penyelidikan secara kooperatif oleh guru-guru dan
para pemimpin pendidikan. Dengan melalui kegiatan-kegiatan penyelidikan masalah-
masalah itu dan keinginan untuk memperoleh pemecahan-pemecahan yang adpat
dikerjakan, maka timbullah manfaat yang sungguh-sungguh bagi partisipasi guru
dalam memainkan peranan di sekolah. Hal ini sebagaimana kompetensi guru,
menurut Nana Sudjana (1988:19), merumuskan ialah sebagai berikut:
Kemampuan guru/kompetensi guru yang banyak hubungannya dengan usaha meningkatkan proses dan hasil belajar dapat diguguskan ke dalam empat kemampuan yakni; (a) merencanakan program belajar mengajar, (b) melaksanakan dan memimpin/ mengelola proses belajar mengajar, (c) menilai kemajuan proses belajar mengajar, (d) menguasai bahan pelajaran dalam pengertian menguasai bidang studi atau mata pelajaran yang dipegangnya/dibinanya.
40
Selanjutnya menurut Peters yang dikutip oleh Nana Sudjana (1988:22),
“proses dan hasil belajar siswa bergantung kepada penguasaan mata pelajaran guru
dan keterampilan mengajarnya.” Sejalan dengan itu, S. Nasution (1983:130),
mengemukakan sebagai berikut:
“Kita telah membicarakan peranan guru serta kelakuannya berhubung dengan peranannya itu. Yang paling penting ialah pengaruh kelakukannya itu terhadap murid dalam situasi kelas serta kelakuan guru. Dalam interaksi antara guru dengan murid inilah terjadi proses pendidikan dan proses sosialisasi.”
Dengan demikian terdapat hubungan yang positif antara penguasaan bahan
oleh guru dengan hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Artinya makin tinggi
kepuasan bahan pelajaran oleh guru makin tinggi pula hasil belajar yang dicapai
siswa. Hal ini dikemukakan oleh S. Nasution (1983:139), ialah sebagai berikut:
“Bahwa hasil belajar murid, khususnya dalam bidang akademis, banyak bergantung pada kemampuan guru mengajar. Dalam bidang lain, seperti bidang afektif, kita mengetahui bagaimanakah pengaruh guru terhadap perkembangan pribadi atau watak anak. Namun dari sekolah diharapkan agar anak dikembangkan menjadi warga negara yang baik, mengenal, menghargai dan menerapkan nilai-nilai dan norma yang dijunjung tinggi oleh bangsa dan negara.”
Jadi pada dasarnya ada tiga kemampuan guru di dalam proses belajar
mengajar yang erat hubungannya dengan hasil belajar yang dicapai siswa, yaitu
pertama kemampuan guru melaksanakan proses belajar mengajar, kedua kemampuan
guru dalam menguasai materi pelajaran, dan ketiga kemampuan guru dalam menilai
kemajuan proses belajar mengajar.
41
2. Keadaan siswa
Interaksi guru dengan siswa sebagai makan utama proses belajar mengajar,
memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pengajaran yang efektif. Dan
mengingat kedudukan siswa sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek dalam proses
belajar mengajar, maka inti proses belajar mengajar tidak lain adalah kegiatan belajar
siswa dalam mencapai suatu tujuan proses belajar mengajar.
Siswa sebagai subjek dalam proses belajar mengajar harus melakukan
kegiatan belajar dengan penuh kesadaran, kesungguhan dan tanpa paksaan untuk
memperoleh tingkat penguasaan pengetahuan, kemampuan serta sikap yang
dikehendaki dari proses belajar mengajar. Kemampuan siswa melakukan kegiatan
belajar ditunjang oleh beberapa unsur yang ada di dalam dirinya, hal ini menurut Tim
Dosen FIP IKIP Malang (1988:107), ialah sebagai berikut:
“Siswa (anak didik) merupakan pribadi yang sedang bertumbuh dan berkembang. Apabila kita amati secara seksama, mungkin kita menghadapi dua orang anak didik yang tidak sama benar. Di samping memiliki kesamaan-kesamaan, tentu masing-masing memiliki sifat yang khas, hanya dimiliki oleh diri masing-masing . Dikatakan, bahwa tiap-tiap anak memiliki sifat kepribadian yang unik, artinya anak memiliki sifat-sifat khas yang dimiliki oleh dirinya sendiri dan tidak dimiliki oleh anak yang lain.”
Dengan demikian, dalam interaksi anak didik dengan lingkungan lambat laun
mendapat kesadaran akan dirinya sebagai pribadi. Anak didik belajar untuk
memandang diri sebagai objek seperti orang lain memandang dirinya. Anak didik
dapat membayangkan kelakuan apa yang diharapkan orang lain daripadanya, dan juga
dapat mengatur kelakuannya seperti yang diharapkan orang daripadanya, yaitu unsur
42
intelegensi, motivasi, minat, dan bakat. Adapun untuk lebih jelas rincian keempat
unsur tersebut adalah:
a. Intelegensi
Menurut Witherington yang dialihbahasakan oleh M. Buchori (1985:198),
“intelegensi adalah perbuatan yang sangat baik sebagai yang ternyata dalam suatu
aktivitet yang efisien.” Sementara itu, W.S. Winkel (1987:84), bahwa “inteligensi
yaitu kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah, yang didalamnya berpikir
memegang peranan pokok.”
Sejalan dengan ungkapan tersebut, Smuadi Suryabrata (1987:137),
merumuskan tentang sifat hakikat intelegensi itu ada tiga macam, diantaranya:
1) Kecenderungan untuk menetapkan dan memperhatikan (memperjuangkan) tujuan tertentu. Makin cerdas seseorang, akan makin cakaplah dia membuat tujuan sendiri, punya inisiatif sendiri.
2) Kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksud untuk mencapai tujuan itu. Jadi makin cerdas seseorang dia akan makin dapat menyesuaikan cara-cara menghadapi sesuatu dengan semestinya, makin dapat bersikap kritis.
3) Kemampuan untuk oto-kritik, yaitu kemampuan untuk mengkritik diri sendiri, kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya. Makin cerdas seseorang makin dapat belajar dari kesalahannya, kesalahan yang dibuatnya tidak mudah diulangi lagi.
Berpijak dari ungkapan tersebut dapat dinyatakan bahwa intelegensi
merupakan kemampuan intelektual yang dimiliki siswa dalam mewarnai kemampuan
prestasi belajar yang dicapainya dari proses belajar mengajar yang dilakukannya.
Berikutnya Sumadi Suryabrata (1987:135) “intelegensi merupakan salah satu faktor
penting yang ikut menentukan berhasil atau gagalnya belajar seseorang.” Oleh sebab
itu, dari batasan yang dikemukakan tersebut dapat diketahui bahwa:
43
(a) Intelegensi itu ialah faktor total. Berbagai macam daya jiwa erat di dalamnya (ingatan, fantasi, perasaan, perhatian, minat, dan sebagainya turut mempengaruhi intelegensi seseorang).
(b) Kita hanya dapat mengetahui intelegensi, dari tingkah laku atau perbuatannya yang tampak. Intelegensi hanya dapat diketahui dengan cara tidak langsung, melalui kelakuan intelegensinya.
(c) Bagi suatu perbuatan intelegensi bukan hanya kemampuan yang dibawa sejak lahir saja yang penting. Faktor-faktor ing dan pendidikan pun memegang peranan.
(d) Bahwa manusia itu dalam kehidupannya senantiasa dapat menentukan tujuan-tujuan yang baru, dapat memikirkan dan menggunakan cara-cara untuk mewujudkan dan mencapai tujuan itu.” (M. Ngalim Purwanto, 1988:60).
Dengan demikian, dalam suatu proses belajar mengajar akan menghasilkan
belajar yang baik jika siswa memiliki taraf intelegensi yang tinggi atau cerdas, dan
sebaliknya jika taraf intelegensi siswa rendah maka akan menghasilkan prestasi
belajar siswa yang kurang baik pula. Hal ini menurut Stern yang dikutip oleh Bimo
Walgito (1981:151), menjelaskannya, sebagai berikut:
“Yaitu menitikberatkan kepada soal adjusment terhadap masalah yang dihadapinya. Pada orang yang intelegensi akan lebih cepat dan lebih tepat di dalam menghadapi masalah-masalah baru bila dibandingkan dengan orang yang kurang inteligen.”
Jadi ungkapan tersebut, dapat dinyatakan bahwa siswa itu adalah inteligen
kalau respon yang diberikan itu sesuai dengan stimulus yang diterimanya. Untuk
memberikan respon yang tepat, organisme harus memiliki lebih banyak hubungan
stimulus dan respo, dan hal tersebut dapat diperoleh dari hasil pengalaman yang
diperolehnya dan hasil respon-respon yang telah lalu.
44
b. Motivasi
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (1982:64), bahwa motivasi ialah yang
“menunjuk kepada seluruh proses gerakan itu, termasuk situasi yang mendorong,
dorongan yang timbul dalam diri individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi
tersebut dan tujuan atau akhir daripada gerakan atau perbuatan.” Sementara itu, W.S.
Winkel (1987:93), bahwa “motif yang sudah menjadi aktif pada saat-saat tertentu.”
Bimo Walgito (1981:141), bahwa “motif sebagai suatu kekuatan yang
terdapat dalam diri organisme yang menyebabkan organisme itu bertindak atau
berbuat. Dorongan ini tertuju kepada suatu tujuan tertentu.” Sedangkan motivasi
belajar adalah “keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri siswa yang
menumbuhkan kegiatan belajar dan memberikan arah kepada kegiatan belajar itu
demi mencapai tujuan belajar.”
Dari pembicaraan tentang motivasi belajar tersebut, dapat diketemukan dua
prinsip penting, hal ini dikemukakan oleh Wasty Soemanto (1984:191), ialah sebagai
berikut:
1) Motivasi adalah suatu proses di dalam individu. Pengetahuan tentang proses ini membantu kita untuk menerangkan tingkah laku yang diamati dan meramalkan tingkah laku-tingkah laku lain dari orang itu.
2) Kita menentukan diri daripada proses ini dengan menyimpulkan dari tingkah laku yang dapat diamati.
Dengan demikian bahwa motivasi belajar memegang peranan penting dalam
memberikan gairah atau semagat dalam belajar, sehingga siswa yang bermotivasi
kuat memiliki energi banyak untuk melakukan kegiatan belajar. Hal ini
dikemukakan W.S. Winkel (1987:93), bahwa “para ahli psikologi terhadap istilah
45
achievement motivation, ialah daya penggerak dalam diri siswa untuk mencapai taraf
prestasi belajar yang setinggi mungkin, demi penghargaan pada diri sendiri.”
Selanjutnya Winarno Surachmad (1986:66), mengemukakan bahwa “kadang-kadang
suatu proses belajar tidak dapat mencapai hasil maksimal disebabkan oleh karena
ketiadaan kekuatan mendorong (motivasi).”
Berangkat dari uraian tersebut motif dan motivasi belajar, maka hasil belajar
yang baik dapat dicapai siswa dalam proses belajar mengajar, apabila pada diri siswa
mempunyai motivasi belajar yang kuat untuk meraih prestasi belajar. Oleh sebab itu,
hubungan yang positif antara motivasi belajar siswa dalam proses belajar mengajar
dengan prestasi belajar yang diraihnya. Hal ini Wasty Soemanto (1987:200),
menjelaskannya, “bahwa konsekuensi guru harus kreatif dan imajinasinya di dalam
menggunakan insentif untuk memotivasi anak agar berusaha mencapai tujuan-tujuan
yang diinginkan.”
d. Minat
Minat sebagai kecenderungan subjek yang mantap untuk merasa tertarik pada
bidang studi atau pokok bahasan tertentu dan merasa senang mempelajari materi itu.
(W.S. Winkel, 1987: 105). Oleh sebab itu, kegiatan akan berjalan dengan lancar
apabila ada minat itu akan membangkitkan minat belajar yang besar. Hal ini menurut
E. Usman Effendi dan Juhaya S. Praja (1985:72), bahwa minat itu dapat ditimbulkan
dengan cara sebagai berikut:
(a) Membangkitkan suatu kebutuhan, misalnya kebutuhan untuk menghargai keindahan, mendapat penghargaan dan sebagainya,
46
(b) Mengubungkan dengan pengalaman-pengalaman yang lampau, memberikan kesempatan untuk mendapat hasil yang baik nothing success like success atau mengetahui sukses yang diperoleh individu itu, sebab sukses akan menimbulkan rasa puas.”
Dengan ungkapan tersebut, dapat dinyatakan bahwa minat suatu faktor
psikologi yang mengandung faktor senang, terdorong dan merasa bisa dan merupakan
kecenderungan yang ada pada diri individu yang disebabkan karena adanya kesadaran
dan yang merasa disenangi sehingga melakukan suatu aktivitas yang berhubungan
dengan dirinya.
Pada saat belajar hendaknya anak didik benar-benar menaruh minat terhadap
pelajaran yang diikuti, suatu pelajaran dapat diikuti dengan baik apabila ada
pemusatan perhatian terhadap pelajaran itu. Minat merupakan salah satu faktor yang
memungkinkan terwujudnya konsentrasi, selain itu minat juga dapat menimbulkan
rasa kegembiraan dalam usaha belajar. Kegembiraan akan memperbesar daya
kemampuan belajar, dan tidak mudah menjadi lupa, sebaliknya belajar dengan
pemusatan tidak gembira akan terasa sangat berat.
Menurut S. Nasution (1982:85), “proses belajar mengajar akan berjalan lancar
bila ada minat. Anak-anak malas, tidak belajar dan gagal karena tidak adanya minat.”
Oleh sebab itu, siswa yang tidak berminat mengikuti pelajaran, belajarnya juga segan,
angkanya rendah, sehingga kurang menggairahkan untuk belajar, dan banyak yang
otaknya cerdas tetapi malas belajar, sehingga alasil gagal juga dalam studinya.
Dengan demikian, dari uraian tersebut pada dasarnya masalah minat penting
bagi keberhasilan belajar, karena menyangkut senang dan bergairah belajar atau
47
dengan kata lain semangat belajarnya tinggi. Jadi tinggi minat siswa untuk belajar
pada suatu proses belajar mengajar maka akan semakin tinggi pula prestasi (hasil)
belajar yang dicapainya.
e. Bakat
Bakat adalah “sebagai suatu kondisi atau disposisi-disposisi tertentu yang
menggejala pada kecakapan seseorang untuk memperoleh dengan melakukan latihan
satu atau beberapa pengetahuan atau suatu respon” (Wayan Nurkancana dan P.P.N.
Sumarta, 1982: 201). Sedangkan menurut E. Usman Effendi dan Juhaya S. Praja
(1985:98), ialah sebagai berikut:
“Bakat atau aptitude adalah merupakan suatu kecakapan khusus (special ability/special capacity) yang dimiliki oleh individu. Bakat merupakan kualitas yang dimiliki individu yang menunjukkan perbedaan tingkatan antara individu yang satu dengan individu yang lain dalam suatu bidang tertentu. Bakat juga merupakan kemampuan individu untuk mengembangkan kecakapan tertentu.”
Berdasarkan ungkapan tersebut, dapat dinyatakan bahwa bakat merupakan
seluruh kemungkinan atau kesanggupan (potensi) yang terdapat pada suatu individu
dan yang selama masa perkembangannya benar-benar dapat diwujudkan. W.S.
Winkel (1987:88), bawa pada dasarnya “bakat merupakan kemampuan yang
menonjol di bidang studi tertentu, misalnya di bidang studi ekonomi maupun di
bidang yang lainnya.”
Selanjutnya walaupun seorang siswa nilai Ebtanya cukup tinggi, karena
kekurangan bakat dalam bidang teknologi, anak didik tidak mungkin sukses berhasil
di Institut Teknologi. Oleh sebab itu, faktor kemampuan khusus dalam diri seseorang
48
itu perlu diselidiki, kemudian diarahkan pada kemampuan khususnya apabila ingin
berhasil dalam studi yang dimasukinya. Dengan kata lain, penyajian suatu materi
pelajaran dalam proses belajar mengajar akan lebih berhasil hasil belajar yang dicapai
siswa apabila siswa memiliki bakat pada materi yang disajikan itu.
3. Tujuan pengajaran sebagai indikator keberhasilan
Mengajar adalah peristiwa bertujuan, artinya mengajar merupakan peristiwa
yang terikat oleh tujuan, terara pada tujuan, dan dilaksanakan semata-mata untuk
mencapai tujuan itu. Apabila yang dituju atau yang akan dicapai ialah titik C, maka
dengan sendirinya proses belajar belum dianggap selesai apabila yang dicapai dalam
kenyataan barulah titik A atau B. Dengan perkataan lain, tarap pencapaian tujuan
pengajaran merupakan petunjuk praktis tentang bagaimanakah interaksi edukatif itu
harus dibawa untuk mencapai tujuan yang akhir. Secara hirarki, tujuan pendidikan
nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional. Melihat
keempat jenjang tujuan pendidikan tersebut, maka dapat dikatakan tujuan
instruksional atau tujuan paling awal dan sekaligus merupakan dasar untuk mencapai
jenjang tujuan berikutnya.
Dalam kegiatan proses belajar mengajar “tujuan instruksional-lah yang
merupakan hasil belajar bagi siswa setelah melakukan proses belajar di bawah
bimbingan guru dalam kondisi yang kondusif” (Sardiman AM, 1986:68). Sementara
itu menurut Conny Semiawan dkk. (1985:36), dalam perencanaan pengajaran tentu
harus tergambar juga teknik pelaksanaan yang dilakukan guru, juga penilaian
keseluruhan yang meliputi penilaian prestasi (achievement) dan penilaian perbuatan
49
(kemampuan/keterampilan serta sikap dalam melakukan tugas). Secara praktis dapat
dilakukan langkah-langkah untuk menyusun perencanaan pengajaran sebagai
berikut:
- lihat kurikulum, dalam hal ini tujuan instruksional umum, pokok bahasan, kelas, catur wulan, dan waktu pengajaran.
- jabarkan tujuan instruksional umum ke dalam tujuan-tujuan pengajaran yang meliputi aspek-aspek keterampilan yang sedapat mungkin mencakup observasi, menghitung, mengukur, klasifikasi, hubungan ruang/waktu, hipotesis, perencanaan penelitian/ eksperimen, pengendalian variabel, interpretasi data, kesimpulan sementara, meramalkan, menerapkan, dan mengkomunikasikan serta aspek sikap dan nilai yang dapat mencakup rasa ingin tahu, teliti, tekun/kemauan yang keras, jujur, mau bekerja sama, dapat mengkritik dan dikritik, bertanggung jawab, keterbukaan, dan kreativitas.
- Usahakanlah agar setiap tujuan pengajaran tersebut dapat diukur dengan cara membuat rencana penilaian berupa bentuk soal atau bentuk lainnya.
- Tentukan pendekatan dengan metode yang akan dipilih. - Carilah sebanyak mungkin sumber untuk memperaya pelajaran serta
tentukan alat dan bahan pelajaran yang akan digunakan untuk mengajar.- Buatlah gambaran teknik pelaksanaan secara singkat.- Lengkapi perencanaan pengajaran dengan lembaran kerja siswa.
Dengan demikian, tujuan pengajawan merupakan pangkal tolak keberhasilan
dalam mengajar. Makin jelas rumusan tujuan, makin mudah menyusun rencana dan
melaksanakan kegiatan belajar siswa di bawah bimbingan guru. Yang perlu
diperhatikan dalam merencanakan dan merumuskan tujuan instruksional khusus. Hal
ini dikemukakan oleh Sardiman AM (1986:69), bahwa “tujuan instruksional
merupakan tujuan pengajaran yang bersifat khusus sebagai penjabaran dari tujuan
umum pengajaran, ini lebih bersifat khusus dan konkrit, dalam arti dapat diukur atau
dapat diamati hasilnya.”
50
Tujuan itu perlu dirumuskan dalam sejumlah tujuan intermedeir yang sifatnya
khusus, serta dipusatkan pada perubahan, pendewasaan anak secara lealistik. Hal ini
Winarno Surachmad (1986:33), mengemukakan tiga buah sifat harus dijadikan
sebagai pedoman untuk perumusan tujuan operasional yang baik, yaitu (1) berpusat
pada tingkah laku murid, (2) mengkhusus dalam bentuk-bentuk yang terbatas, (3)
realistis bagi kebutuhan-kebutuhan perkembangan pelajaran tersebut.”
Berangkat dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa tujuan instruksional
yang dirumuskan dalam tujuan operasional yang baik, akan dapat mewujudkan hasil
belajar siswa yang baik pula. Jadi proses belajar mengajar yang tujuan
instruksionalnya dirumuskan berpusat pada tingkah laku murid, mengkhusus dalam
bentuk-bentuk terbatas, dan realistis bagi kebutuhan perkembangan pelajaran, akan
sangat dominan kaitannya dengan hasil belajar yang dicapai siswa.
4. Materi Pelajaran sebagai Isi Kegiatan
Bahan/materi pelajaran adalah isi yang diberikan kepada siswa pada saat
berlangsungnya proses belajar mengajar. Melalui materi/bahan pelajaran ini siswa
diantarkan kepada tujuan pengajaran. Dengan kata lain tujuan yang akan dicapai
siswa diwarnai dan dibentuk oleh materi/bahan pelajaran. Bahan pelajaran pada
hakekatnya adalah isi dari mata pelajaran atau bidang studi yang diberikan kepada
siswa sesuai dengan kurikulum yang digunakan. Hal ini dikemukakan oleh W.S.
Winkel (1987:193), ialah sebagai berikut:
“Materi pelajaran adalah sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan instruksional, bersama dengan prosedur didaktik dan media pengajaran, materi pelajaran membawa siswa ke tujuan instruksional, yang mempunyai
51
aspek jenis perilaku dan aspek isi. Materi pelajaran dapat berupa macam-macam bahan, seperti suatu naskah, persoalan, gambar, isi audio cassette, preparat topik perundingan dengan para siswa, jawaban dengan siswa dan lain sebagainya. Materi pelajaran adalah bahan yang digunakan untuk belajar dan membantu untuk mencapai tujuan instruksional, di mana siswa harus melakukan sesuatu terhadap sesuatu menurut jenis perilaku tertentu.”
Dari ungkapan tersebut nampa bahwa materi pelajaran itu dapat dimanfaatkan
dan membantu untuk mencapai tujuan instruksional seefisien dan seefektif mungkin.
Dan terdapat kaitan antara tujuan istruksional khusus menurut aspek isi dengan materi
pelajaran yang dipilih untuk mencapai tujuan itu, tetapi isi tujuan instruksional
khusus dan materi pelajaran tidak jatuh sama. Dengan kata lain:
(a) materi pelajaran bersifat lebih luas daripada aspek isi dalam tujuan instruksional khusus
(b) materi pelajaran bukan hanya mencakup data, kejadian dan relasi antar data, melainkan juga pengolahan oleh siswa.
(c) materi pelajaran berbeda-beda menurut aspek prilaku yang dituntut dari siswa.
(d) materi pelajaran yang sama dapat digunakan untuk mencapai tujuan instruksional yang berbeda.
(e) tujuan instruksional yang sama dapat dicapai melalui materi pelajaran yang berbeda” (W.S. Winkel, 1987:194).
Dengan demikian, kiranya sudah jelas bahwa guru harus mengadakan pilihan
terhadap materi pelajaran yang tersedia atau dapat disediakan. Untuk mengadakan
pilihan yang tepat, dibutuhkan sejumlah kriteria, berdasarkan kriteria itu dapat dipilih
materi pelajaran yang sesuai. Sejalan dengan itu Muhammad Ali (1987:33),
mengemukakan bahwa bahan harus mempunyai lingkup (batas-batas) dan urutan
yang jelas. Lingkup urutan dibuat bertolak dari tujuan yang dirumuskan. Adapun
kiteria tersebut adalah sebagai berikut:
52
(a) materi pelajaran harus relevan terhadap tujuan instruksional yang harus dicapai. Ini berarti bahwa:(1) materi pelajaran harus memungkinkan memperoleh jenis perilaku yang
akan dituntut dari siswa. Yaitu jenis perilaku di ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
(2) Materi pelajaran harus memungkinkan untuk menguasai tujuan instruksional menurut aspek isi.
(b) materi pelajaran harus sesuai dalam tarap kesulitannya dengan kemampuan siswa untuk menerima dan mengolah materi itu.
(c) materi pelajaran harus dapat menunjang motivasi siswa, antara lain karena relevan dengan pengalaman hidup sehari-hari siswa, sejauh hal itu mungkin.
(d) materi pelajaran harus sesuai dengan media pengajaran yang tersedia (W.S. Winkel, 1987:195).
Berdasarkan uraian tersebut, bahwa pada dasarnya materi pelajaran adalah isi
yang diberikan kepada siswa pada saat berlangsungnya proses belajar mengajar.
Melalui bahan/materi ini siswa diantarkan kepada tujuan pengajaran. Dengan kata
lain tujuan yang akan dicapai siswa diwarnai dan dibentuk oleh bahan pelajaran. Hal
ini dikemukakan oleh S. Nasution (1982:85), “tak ada yang lebih memberikan hasil
yang baik daripada hasil yang baik. Untuk itu, bahan/materi pelajaran disesuaikan
dengan kesanggupan individu.”
Sementara itu, menurut Sardiman AM (1986:111) salah satu pemenuhan
kebutuhan siswa yaitu memberikan materi kegiatan setepat mungkin, juga materi
pelajaran yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan, biasanya menjadi lebih menarik.
Oleh sebab itu, akan membantu pelaksanaan proses belajar mengajar.”
Jadi materi pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, dan kapasitas
kemampuan siswa serta mempunyai lingkup dan urutan yang jelas dan berarti dalam
53
proses belajar mengajar mempunayi hubungan yang positif dengan prestasi belajar
yang dicapai siswa.
5. Memilih metode dan alat pelajaran
a. Memilih metode
Metode merupakan suatu alat atau cara dalam menyampaikan suatu materi
bahan peajaran yang telah diprogramkan. Hal ini dikemukakan oleh Winarno
Surachmad (1986:75), metode adalah “cara yang di dalam fungsinya merupakan alat
untuk mencapai suatu tujuan.” Oleh sebab itu yang dimaksud dengan metode yaitu
cara yang sistematik yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Metode bukanlah suatu tujuan, melainkan cara untuk mencapai tujuan sebaik-
baiknya. Dan tidak mungkin membicarakan metode tanpa mengetahui tujuan yang
hendak dicapai. Tujuan yang hendak dicapai di dalam setiap kegiatan belajar
mengajar ialah bagaimana perubahan yang diharapkan itu dapat terjadi? Dan metode
mana yang paling tepat untuk menimbulkan perubahan tingkah laku. Bila dilihat dari
adanya variasi-variasi yang terdapat dalam tujuan pengajaran menimbulkan pula
adanya variasi-variasi di dalam situasi belajar, yang berarti pula timbulnya variasi-
variasi di dalam metode mengajar tidaklah dipisahkan dari tujuan yang hendak
dicapai. Menurut. Pasaribu dan B. Simandjuntak (1983:14), “metode yang lazim
digunakan guru dalam proses belajar mengajar ialah metode yang direncanakan
berdasarkan pertimbangan perbedaan individu di antara murid-murid, memberi
54
kesempatan terjadinya feedback, menstimulir kegiatan-kegiatan murid dan inisiatif
murid untuk menemukan dan memecahkan problema-problema dan sebagainya.”
Tercapainya tujuan mata pelajaran tergantung pada efektif tidaknya metode
mengajar yang dipergunakan. Persoalan yang timbul bagaimana memilih dan
menentukan metode yang tepat. Apakah sudah dianggap cukup dengan memiliki
kaidah-kaidah pokok seperti tersebut? Menurut I.L. Pasaribu dan B. Simandjuntak
(1983:16), “dalam batas-batas tertentu pemilihan dan penentuan meode akan
dipengaruhi oleh lengkap tidakya alat-alat perlengkapan pelajaran yang tersedia di
sekolah, organisasi dan administrasi kurikulum, dan sistem penilaian yang
diwajibkan.”
Dari penjelasan uraian tersebut dapat ditarik suatu pernyataan, bahwa metode
adalah suatu cara yang sistematis yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk
mencapai suatu tujuan, makin baik metode itu, makin efektif pula pencapaian tujuan.
Untuk menetapkan apakah sebuah metode dapat disebut baik, diperlukan patokan
yang bersumber dari beberapa faktor, faktor utama yang menentukan adalah tujuan
yang akan dicapai. Realitas tujuan yang akan dicapai itu adalah prestasi belajar (hasil)
siswa yang baik. Jadi metode sebagai alat yang sistematis untuk mencapai tujuan di
dalam proses belajar mengajar bidang pengajaran ekonomi erat kaitannya dengan
hasil belajar yang baik dicapai siswa.
55
b. Alat pelajaran
Alat Bantu mengajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan dalam
mengajar agar pengajaran dapat berlangsung. Hal ini dikemukakan oleh S. Nasution
(1987:115) “adanya alat-alat itu dapat mengubah pikiran manusia, mengubah cara
kerja dan cara hidupnya. Juga pendidikan tidak bebas dari pengaruh teknologi. Oleh
sebab itu, alat-alat yang dapat digunakan untuk semua mata pelajaran, dan ada pula
yang hanya untuk satu jam pelajaran saja, yang biasa disebut alat peraga. Hal ini
dikemukakan oleh I.L. Pasaribu dan B. Simandjuntak (1983:35), bahwa “alat peraga
ialah alat-alat untuk membantu pengajar, menyampaikan pengetahuan dan
mengalihkan keterampilan.”
Sejalan dengan ungkapan tersebut, Sutari Imam Bernadib (1986:96), batasan
daripada alat pendidikan pada umumnya adalah sebagai berikut: “suatu alat
pendidikan ialah suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan
sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan.”
Berangkat dari uraian di atas maka alat yang dimaksud dalam proses belajar
mengajar memegang peranan penting sebagai alat bantu untuk menciptakan proses
belajar mengajar yang efektif. Hal ini dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba
(1986:52) bahwa “pentingnya menciptakan situasi pendidikan dan pengaruhnya
mempermudah berhasilnya pendidikan. Inilah yang dimaksud menyesuaikan alat-alat
dengan si terdidik, dengan waktu dan tempat.” Selanjutnya unsur alat merupakan
56
unsur yang tidak bisa dilepaskan dari unsur lainnya yang berfungsi sebagai cara atau
teknik untuk mengantarkan materi pelajaran agar sampai pada tujuan.
Dalam pencapaian tersebut, peranan alat, bahan dapat dengan mudah
dipahami oleh siswa. Menurut Sardiman N. dkk. (1989:214), bahwa “keefektifan
dalam penggunaan media/alat meliputi apakah dengan menggunakan media/alat
tersebut informasi pengajaran dapat diserap oleh siswa dengan optimal sehingga
menimbulkan perubahan tingkah lakunya.” Sedangkan Nana Sudjana (1988:37)
mengemukakan “apakah kelas memiliki sarana belajar cukup kaya, sehingga menjadi
laboratorium belajar ataukah kelas yang hampa dan miskin dengan sarana belajar,
sehingga tidak memungkinkan siswa melakukan kegiatan belajar yang optimal.”
Mengkaji problem tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan proses belajar
mengajar ditunjang oleh efektif dan efisiensinya alat pelajaran yang ada. Oleh sebab
itu kelas yang memiliki sarana belajar yang cukup kaya, sehingga menjadi
laboratorium belajar, akan menciptakan suasana belajar mengajar yang optimal,
proses belajar mengajar yang baik akan menghasilkan hasil belajar yang baik pula.
Dengan demikian, alat pelajaran yang efektif dan efisien rat kaitannya dengan
prestasi belajar yang dicapai siswa.
6. Pretest dan Postest (penilaian)
Untuk menilai keefektifan suatu proses belajar mengajar dapat diadakan
dengan suatu test, yaitu tes awal atau pretest dan tes akhir atau postes. Pretest
dilaksanakan sebelum materi pelajaran diberikan kepada siswa, mengandung maksud
untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai tujuan-tujuan materi pelajaran yang
57
hendak dicapai dalam suatu proses belajar mengajar. Sedangkan posttest diberikan
setelah siswa menyelesaikan suatu program dalam suatu proses belajar mengajar yang
dilakukannya, dengan maksud untuk mengetahui adakah siswa telah menguasai
tujuan materi yang telah diberikan. Jadi dengan melihat “perbedaan hasil pretest dan
posttest, guru dapat mengetahui apakah proses pengajaran berhasil dengan baik atau
tidak.” (Muhammad Ali, 1987:50)
Berdasarkan uraian tersebut pada prinsipnya bila hasil pretest rendah dan hasil
posttest tinggi berarti proses belajar mengajar berhasil dengan baik. Maka pretest dan
post test dalam proses belajar mengajar sangat erat kaitannya dengan hasil belajar
yang telah dicapai siswa.
7. Waktu
Connya Semiawan, dkk. (1985:64), mengemukakan bahwa:
“Waktu yang tersedia dalam jadwal untuk setiap pelajaran, untuk setiap caturwulan dan untuk satu tahun ajaran sangat terbatas. Karena itu, diperlukan pengaturan waktu yang tersedia. Melalui pengaturan waktu yang tersedia, diharapkan siswa dapat melakukan berbagai kegiatan belajar untuk mencapai tujuan pengajaran.”
Dengan ungkapan tersebut, bahwa waktu yang tersedia dalam proses belajar
mengajar yang tersedia dapat dirasakan lama dan menjadi sumber tekanan bagi anak
jika diisi dengan kegiatan yang kurang menggairahkan anak dalam belajar.
Sebaliknya, waktu yang tersedia akan dirasakan singkat bila diisi dengan kegiatan-
kegiatan yang menggairahkan anak dalam belajar. Waktu yang tersedia hendaknya
diisi dengan kegiatan-kegiatan yang selain menggairahkan siswa untuk belajar juga
dapat memberikan hasil belajar yang produktif.
58