Upload
docong
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka.
Posisi teori dan konsep adalah sebagai elemen dasar yang memberikan
batasan-batasan pengertian di dalam penelitian sosiologi. Konsep-konsep yang
saling berhubungan akan membentuk proposisi. Sementara itu teori merupakan
sebuah sistem dari antar hubungan (interrelated) antara konsep dan proposisi.
Teori ini berfungsi memberikan penjelasan pola logis (logical pattern) terhadap
perilaku manusia.1 Oleh karena itu, untuk memberi gambaran kesamaan
pemahaman teori dan konsep didalam penelitian, maka Bab ini menguraikan
kedua hal tersebut.
2.1.1. Nilai-Nilai Budaya, Pembangunan dan Modernisasi
Modernisasi merupakan sebuah isyu dalam rangka pencapaian proses
pembangunan pasca berakhirnya perang dunia (PD II), yang melibatkan
beberapa ilmuan sosial barat sebagai sebuah tantangan untuk memiliki model
pembangunan dan memperbaiki pertumbuhan ekonomi di negara barat. Pada
awal 1950-an mulai muncul berbagai varian dari konsep modernisasi dan pada
akhir 1960-an berbagai disiplin ilmu berhasil mengembangkan konsep
modernisasi ini. Namun menjelang akhir 1970-an perkembangan konsep
modernisasi mulai menurun. Kekurangan dan kelemahan konsep modernisasi
semakin tampak nyata sehingga kaum ilmuan sosial mulai mencari paradigma
alternatif.
Modernisasi menjadi rujukan utama oleh negara dunia ketiga dan
dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kesejahteraan seperti yang telah
dialami oleh negara dunia kedua. Negara maju semakin banyak menjadi sponsor
pembangunan negara berkembang. Konsep modernisasi ternyata mempunyai
beberapa kelemahan apabila diterapkan di negara dunia ketiga. Perbedaan
budaya merupakan salah satu faktor pembeda yang utama antara negara dunia
kedua dan ketiga. Modernisasi walaupun berhasil memajukan perekonomian
negara dunia kedua namun gagal mewujudkan hal yang sama pada negara
dunia kedua. Bagi negara dunia ketiga modernisasi tak ubahnya dianggap
1 Peltoand pelto, Anthropological Research, 1984, hal 9-11.
8
sebagai “westernisasi”. Modernisasi dianggap telah menghilangkan nilai - nilai
budaya yang ada. Modern dipandang sebagai perilaku hidup yang digambarkan
oleh masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara dimana terdapat pandangan
yang rasional terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi dan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.
Selanjutnya modernisasi akan menghasilkan suatu pola perkembangan
pembangunan dengan mendifusikan secara aktif segala sesuatu yang diperlukan
dalam pembangunan, terutama nilai-nilai „modern‟, teknologi, keahlian, dan
modal. Disisi lain, industrilasiasi, ekspansi modal yang merupakan bagian dari
modernisasi adalah merupakan salah satu faktor penyebab yang akan
mentarnsformasikan secara cepat ketertinggalan, atau kemunduran tradisi
dalam suatu komunitas pedelaman pedesaan. Pemikiran mengenai
pembangunan berhubungan dengan beberapa ide tentang kemajuan, yang
melibatkan suatu perubahan, mungkin sebuah evolusi, dari satu tingkat ke tingkat
lainnya. Di sisi lain penganut teori modernisasi melihat industrialisasi kapitalis
sebagai jalur paling efektif dari pembangunan, kurang tulus dan bermoral dalam
hubungannya dengan kesejahteraan manusia daripada penganut teori
underdevelopment (dan teori lainnya) yang menekankan kesamaan dalam
distribusi dan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar.
Kemudian, apakah perbedaan antara pembangunan dan modernisasi?
Pembangunan adalah sebuah perubahan menuju status yang dihargai, yang
mungkin atau tidak mungkin diperoleh pada beberapa konteks sosial lain dan
yang tidak mungkin terjangkau. Modernisasi merupakan suatu proses yang
sama. Ia merupakan sesuatu yang terjadi secara aktual, baik atau buruk:
rangkaian dari pola dengan konsekwensi yang dapat digambarkan,
diargumentasikan dan dievaluasi. Jika dinilai sebagai baik atau progresif,
perubahan dapat dianggap sebagai kontribusi terhadap pembangunan, namun
tidak perlu dievaluasi dengan cara ini.
Menurut Schoorl, modernisasi itu adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak.
Modernisasi itu adalah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan oleh negara-negara
berkembang dan dapat dilakukan jika bersentuhan dengan negara-negara maju.
Hal ini didasarkan pada bahwa modernisasi itu adalah sesuatu yang baik.
Michael dove sepakat bahwa kemajuan itu harus mengacu pada dunia-dunia
maju. Namun, tidak semua modernisasi itu merusak nilai-nilai tradisional, dalam
beberapa hal terdapat adaptasi.Hal ini dasarkan pada kajian historis. Padahal,
9
jangan-jangan proses modern itu tidak seperti di negara-negara maju. Namun,
kenyataannya modernisasi memang telah menggerus tatanan tradisional
masyarakat. Modernisasi merupakan salah satu teori pembangunan. Terdapat
beberapa konsep kunci sosiologi yang berhubungan dengan proses-proses
modernisasi seperti industrialisasi, pertumbuhan ekonomi, kapitalisasi,
perubahan struktur masyarakat baik melalui kemajuan politik maupun mobilitas
penduduk, perkembangan teknologi sebagai peningkatan pengetahuan.
Menurut Schoorl asumsi-asumsi dasar modernisasi sesuatu masyarakat ialah
suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-
aspeknya.
Batasan gejala modernisasi dapat dilihat dari pertanggungjawaban ilmiah
dalam menerapkan pengetahuan, sejauh mana struktur sosio-politik masyarakat
dan lainnya. Modernisasi sama artinya dengan evolusi bila dibatasi pada
perkembangan dan penerapan ilmu pengetahuan. Namun menurut Linton,
modernisasi dan masyarakat modern itu dapat bermacam-macam arahnya.
Tergantung pada nilai-nilai dan norma-norma yang digunakan apakah
modernisasi tertentu itu juga dipandang sebagai kemajuan atau bukan.
Proses evolusi merupakan pertumbuhan yang mutlak dan manusia sesuai
dengan posisi dan situasinya, sampai batas-batas tertentu bertanggung jawab
atas perkembangan masyarakat dan kebudayaannya. Dube (1988), mengatakan
Ciri manusia modern ditentukan oleh struktur, institusi, sikap dan perubahan nilai
pada pribadi, sosial dan budaya. Masyarakat modern mampu menerima dan
menghasilkan inovasi baru, membangun kekuatan bersama serta meningkatkan
kemampuannya dalam memecahkan masalah. Oleh karenanya modernisasi
sangat memerlukan hubungan yang selaras antara kepribadian dan istem sosial
budaya. .
Modernisasi yang terlalu mengedepankan budaya Barat sebagai patokan
untuk membangun masyarakat, telah melupakan nilai-nilai kultural masyarakat
dan mengaanggap kultur masyarakat sebagai penghambat pembangunan
bahkan sebagai faktor yang menyebabkan keterbelakangan masyarakat
Indonesia. Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia semakin terbelakang
bahkan semakin carut-marut akibat masuknya budaya-budaya asing yang
menghancurkan indegenous knowledge masyarakat lokal. Pemerintah secara
sepihak telah memutuskan bentuk pembangunan yang dilakukan di Indonesia
tanpa melibatkan masyarakat sebagai bagian dari pembangunan. Dalam hal ini,
10
oleh pemerintah masyarakat dijadikan obyek pembangunan bukan sebagai
subyek pembangunan sehingga masyarakat tidak pernah dilbatkan secara
langsung. Masuknya beragam program pemerintah untuk mengubah kondisi
masyarakat dari keadaan terbelakang menuju kepada sebuah kemajuan,
menjadikan masyarakat terpaksa meninggalkan nilai-nilai kulturalnya.
Pemerintah selalu menganggap kondisi masyarakat adalah sebuah kondisi yang
harus mendapat pembenahan. Ternyata pembenahan yang dilakukan
pemerintah terkadang menjadi negatif setelah dilaksanakan pada masyarakat
yang memiliki nilai kultural yang bertolak belakang dengan program
pembangunan pemerintah. Dampak yang ada di masyarakat sebagai akibat dari
pembangunan, yang tidak jarang berdampak negatif, di jelaskan oleh penulis
sebagai sebuah biaya yang harus menjadi tanggungan masyarakat dari
pelaksanaan pembangunan dan modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Pada akhirnya, perhatian khusus yang menjadi fokus adalah kultur
masyarakat lokal yang sebenarnya tidak bertentangan dengan pembangunan
bahkan lebih bijak dibandingkan program-program bentukan pemerintah, selalu
terlupakan. Oleh karenanya kita mencoba membuktikan bagaimana kultural
masyarakat dalam berbagai aspek, ternyata lebih bermanfaat dibandingkan nilai
baru yang bahkan menyebabkan kehancuran masyarakat
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia selama ini
juga tidak lepas dari pendekatan modernisasi. Asumsi modernisasi sebagai jalan
satu-satunya dalam pembangunan menyebabkan beberapa permasalahan baru
yang hingga kini menjadi masalah krusial Bangsa Indonesia. Penelitian tentang
modernisasi di Indonesia yang dilakukan oleh Sajogyo (1982) dan Dove (1988).
Kedua hasil penelitian mengupas dampak modernisasi di beberapa wilayah
Indonesia. Hasil penelitian keduanya menunjukkan dampak negatif modernisasi
di daerah pedesaan. Dove mengulas lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai
akibat benturan dua budaya yang berbeda dan adanya kecenderungan
penghilangan kebudayaan lokal dengan nilai budaya baru. Budaya baru yang
masuk bersama dengan modernisasi.
Dove Michael R (1985), dalam penelitiannya di membagi dampak
modernisasi menjadi empat aspek yaitu ideologi, ekonomi, ekologi dan hubungan
sosial. Aspek ideologi sebagai kegagalan modernisasi mengambil contoh di
daerah Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Penelitian Dove menunjukkan
bahwa modernisasi yang terjadi pada Suku Wana telah mengakibatkan
11
tergusurnya agama lokal yang telah mereka anut sejak lama dan digantikan oleh
agama baru. Modernisasi seolah menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang mampu
membelenggu kebebasan asasi manusia termasuk di dalamnya kebebasan
beragama. Pengetahuan lokal masyarakat juga menjadi sebuah komoditas
jajahan bagi modernisasi. Pengetahuan lokal yang sebelumnya dapat
menyelesaikan permasalahan masyarakat harus serta merta digantikan oleh
pengetahuan baru yang dianggap lebih superior.
Sajogyo justru kemudian membahas proses modernisasi di Jawa yang
menyebabkan perubahan budaya masyarakat. Masyarakat Jawa dengan tipe
ekologi sawah selama ini dikenal dengan “budaya padi” menjadi “budaya tebu”.
Perubahan budaya ini menyebabkan perubahan pola pembagian kerja pria dan
wanita. Munsulnya konsep sewa lahan serta batas kepemilikan lahan minimal
yang identik dengan kemiskinan menjadi berubah. Pola perkebunan tebu yang
membutuhkan modal lebih besar dibandingkan padi menyebabkan petani
menjadi tidak merdeka dalam mengusahakan lahannya. Pola hubungan antara
petani dan pabrik gula cenderung lebih menggambarkan eksploitasi petani
sehingga semakin memarjinalkan petani.
2.1.2. Kelembagaan Pembangunan dan Komunitas Petani
Kehidupan masyarakat mengenal seperangkat lembaga-lembaga yang
muncul dan timbul dari inisiatif masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di
kalangan masyarakat pedesaan, lembaga-lembaga ini dikembangkan melalui
tradisi, yang berbeda dengan ciri pengembangan organisasi atau kelembagaan
modern yang dibawa oleh penguatan birokrasi pemerintahan. Oleh karena
pemerintah memerlukan lembaga yang sangat mumpuni untuk menjadi wadah
atau saluran pembangunan bahkan sarana yang efektif untuk percepatan
pengorganisasian pembangunan pedesaan. Uphoff (1986) memberikan
gambaran bahwa selama kurun waktu yang panjang lembaga donor internasional
mengakui akan pentingnya pengembangan kelembagaan pembangunan di
pedesaan untuk mencapai tujuan pembangunan.
Pengertian atau konsep kelembagaan umumnya banyak dibahas dalam
sosiologi, antropologi, hukum dan politik, organisasi dan manajemen, psikologi
maupun ilmu lingkungan yang kemudian berkembang ke dalam ilmu ekonomi
karena kini mulai banyak ekonom berkesimpulan bahwa kegagalan
pembangunan ekonomi umumnya karena kegagalan kelembagaan. Dalam
12
bidang sosiologi, kelembagaan banyak ditekankan pada norma, tingkah laku dan
adat istiadat.
Secara umum, lembaga, apakah itu organisasi atau bukan merupakan
kompleks dari norma dan kebiasaan yang telah berlangsung sepanjang waktu
melalui kegunaan nilai pelayanan kolektif. Studi lembaga memfokuskan pada
peraturan yang tajam dari kebiasaan dari pada pada peranan. Uphoff, (1986)
mengatakan bahwa kelembagaan meruapakan suatu himpunanan atau tatanan
norma-norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu
untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Menurut Uphoff,
(1986) institusi ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat
istiadat.
Menjelaskan tentang kelembagaan, atau institusi, umumnya
mengarahkan pandangan orang lebih kearah sebuah organisasi, wadah maupun
pranata. Akan tetapi organisasi adalah wadahnya saja, sedangkan pengertian
lembaga atau kelembagaan mencakup juga mengenai aturan main, etika, kode
etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau sistem.
Terdapat beberapa kelembagaan dalam masyarakat desa, yang dilaksanakan
dengan keras, terutama melalui paksaan sosial yang didasarkan pada interaksi
sosial. Selanjutnya kelembagaan itu berubah sebagai reaksi terhadap
berubahnya kelangkaan relatif sumber-sumber daya yang di dalam komunitas
tidak hanya tergantung pada penyediaan sumberdaya, tetapi juga pada kondisi
teknologi dan pasar. Kelembagaan memudahkan koordinasi dan kerjasama
diantara masyarakat desa dalam pemakaian sumber daya, dan merupakan
aturan-aturan yang dikukuhkan dengan sangsi oleh anggota masyarakat, Yujiro
Hayami dan Masao Kikuchi. (1987). Beberapa kelembagaan ketenagakerjaan
yang mengatur hubungan antar majikan atau pemilik lahan dengan buruh antara
lain dikenal dengan anama hunusan di pedesaan Philipina, mapalus dipedesaan
Sulawesi Utara, Kedokan/Ceblokan/ngepak ngedok dan Lebotan di daerah
pedesaan jawa tengah dan barat. Menurut Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi
(1987), untuk melihat aspek kelembagaan juga di analisis pada cirri-ciri
organisasi dan kelembagaan masyarakat desa yang melatarbelakangi dinamika
ekonomi yang hidup di pedesaan. Dinamika tersebut dapat dilacak dari gaya
desa dalam produksi dan pertukaran, interaksi sosial, pendekatan ekonomi dari
sudut moral, dan struktur sosial yang terbentuk. Kelembagaan yang di analisis
Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi secara khsusus adalah hubungan kontrak
13
antara petani dan buruh tani yang dikembangkan dalam satuan usahatani
keluarga (rumah tangga) petani. Hubungan “bapak anak buah” antara petani dan
buruh tani itu digambarkan sebagai kompleks beragam kaitan pasaran dengan
saling mengenal pribadi dimana syarat ekonomi dan efisiensi dapat terjamin.
Ada beberapa definisi kelembagaan yang disampaikan oleh ahli dari
berbagai perspektif keilmuan. Misal, Ruttan dan Hayami (1984) menyatakan,
bahwa kelembagaan sebagai aturan didalam suatu kelompok masyarakat atau
organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu
mereka denagn harapan dimana setiap orang dapat bekerja sama atau
berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang di
inginkan. Sedangkan Uphoff, (1986) membatasi pengertian sebagai suatu
himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam
suatu periode tentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai
bersama, insitusi ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat
istiadat. Pendefinisian lembaga ini dapat juga merujuk pengertian sebagai aturan
rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok
masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling
tergantung satu sama lain (Ostrom, 1985).
Umumnya definisi kelembagaan mencakup konsep pola perilaku sosial
yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal
ini sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga
pada peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau
organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan
perilaku mereka tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan
perhatian pada pengertian mengapa orang berprilaku atau bertindak sesuai
dengan atau bertentangan dengan peraturan yang ada. Dengan demikian,
menjadi penting memahami kelembagaan didalam konteks pembangunan.
2.1.2.1. Komunitas Petani.
Tiga konsep tentang petani yang pada umumnya masih berbeda.
Pertama, istilah petani menunjuk kepada penduduk pedesaan secara umum,
tidak peduli apa pun kerjanya. Kedua, pandangan yang lebih terbatas dibanding
konsep pertama, seperti dalam James C. Scott (1976). Menurutnya definisi
petani tidak mencakup seluruh penduduk pedesaan, tetapi hanya menunjuk
kepada penduduk pedesaan yang bekerja sebagai petani saja. Artinya petani
14
adalah orang yang bercocok tanam (melakukan budidaya) di lahan pertanian.
Ketiga, pandangan yang mengikuti Wolf, menurutnya petani adalah segolongan
orang yang memiliki sekaligus menggarap lahan pertanian guna menghasilkan
produk yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, bukan dijual (Wolf,
1985).
Ketiga konsep di atas cenderung menimbulkan pertanyaan. Setidaknya
jika petani mencakup seluruh penduduk pedesaan. Disadari bahwa belum tentu
seluruh penduduk pedesaan itu adalah petani. Berkaitan dengan hal tersebut
Marzali (1999), memberikan konsep petani (peasant) agar dapat
dioperasionalkan sesuai konteks Indonesia. Menurutnya, petani ditinjau dari
proses perkembangan tingkat sosio-kultural masyarakat manusia, maka dapat
dibagi dalam tiga ciri-ciri khusus. Pertama, secara umum petani berada di antara
masyarakat primitif dan kota (moderen). Kedua, petani adalah masyarakat yang
hidup menetap dalam komunitas pedesaan. Ketiga, dipandang dari sudut tipe
produksi, termasuk di dalamnya teknologi dan mata pencaharian, maka petani
berada pada tahap transisi antara petani primitif dan petani moderen (farmers).
Petani primitif dan petani (peasant) perbedaannya pada teknologi yang
digunakan. Petani primitif menggunakan peralatan sederhana seperti tugal dan
golok, sedangkan petani telah menggunakan cangkul (pacul), garu dan bajak.
Perbedaan antara petani dengan petani modern terletak pada sifat
usahatani yang dilakukan. Petani berusahatani dengan bantuan keluarga dan
hasilnya juga untuk keluarga. Sedangkan petani modern berusahatani dengan
bantuan tenaga buruh tani dan bertujuan mencari keuntungan. Produksi tidak
hanya untuk keluarga, justru sebagian besar dijual ke pasar guna mendapatkan
keuntungan. Singkatnya, dikatakan oleh Wolf (1985) bahwa, petani berusahatani
keluarga, sedangkan petani modern berusahatani dengan prinsip ekonomi
perusahaan (komersil). sedangkan, kesamaannya dari keduanya adalah sama-
sama mempunyai hubungan dengan kota secara politis, ekonomis dan kultural.
Berbagai konsep petani tersebut, mengisyarakatkan bahwa petani tidak
lepas dari komunitas. Istilah komunitas pun mempunyai makna beragam, setiap
segi-segi pengertiannya mempunyai arti yang sama penting. Redfield dalam
Koentjaraningrat (1990) mengatakan bahwa, umumnya antropolog memandang
komunitas dari sudut pandang ekologis. Dari sudut pandang ini komunitas
didefinisikan sebagai satuan sosial yang utuh dan terikat pada sistem ekologi
yang bulat. Keterikatan pada tempat ini kemudian dikenal dengan sebutan
15
kesatuan hidup setempat, yaitu yang lebih terikat pada ikatan tempat kehidupan
daripada ikatan lain seperti kekerabatan, kepercayaan dan sejenisnya. Tinjauan
aspek ekologis menekankan pada segi ruang (spasial) dari komunitas. Sehingga
penting memperhatikan batas-batas ruang komunitas. Berkaitan dengah hal itu
Sanders (1958) membagi komunitas menjadi empat tipe. Pertama, komunitas
pedesaan yang terisolir dan relaltif mampu mencukupi kebutuhan sendiri. Kedua,
komunitas kota kecil dan ketiga, komunitas urban serta yang keempat, sub-
komunitas metropolitan. Dari keempat jenis komunitas tersebut, biasanya
komunitas pedesaan yang banyak menarik perhatian. Umumnya hal ini
dikarenakan komunitas pedesaan lebih memiliki sifat isolasi dan swadaya
dibandingkan dengan komunitas lainnya.
Berbeda dengan Redfield, selain menekankan aspek ekologis Sanders
juga menekankan komunitas sebagai sistem sosial. Konsep ini tidak hanya
membatasi komunitas pedesaan yang cenderung terisolasi, namun aspek
ekologis juga tidak dilupakan, dan segi-segi lain yang membentuk pengertian
komunitas juga dikemukakan. Misalnya komunitas sebagai suatu ruang maka,
dalam dirinya juga terbentuk suatu arena interaksi. Artinya sebagai suatu tempat
untuk berinteraksi maka, komunitas tidak hanya melibatkan sebatas pria dan
wanita, orang tua dan anak-anak, tetapi melibatkan setiap pelaku dalam
komunitas yang mencakup seluruh segi kehidupan dari kategori seperti umur,
jenis kelamin, suku, ras dan berbagai latar belakang lainnya.
Gambaran komunitas sebagai sistem sosial menurut Sanders (1958)
mengacu pada ruang relasi sosial. Ruang relasi sosial diisi oleh lima faktor yaitu:
1. Ekologi, komunitas berada dan terorganisasi di wilayah serta hidup
dengan pola pemukiman tertentu. Di dalamnya tercipta jaringan
komunikasi yang beroperasi dengan baik, ada distribusi berbagai
fasilitas, layanan sosial dan orang mampu mengembangkan identitas
psikologis dengan simbol lokalitas.
2. Demografi, dalam komunitas yang terdiri dari populasi pada semua
tahap lingkaran hidup sedemikian rupa sehingga anggota baru
muncul melalui proses kelahiran. Setiap individu di komunitas harus
memiliki keterampilan dan pengetahuan teknis yang memadai untuk
kelangsungan hidupnya.
3. Budaya, setiap komunitas bertujuan mencapai kesejahteraan
tertentu, untuk itu mereka mempunyai cara dan nilai tersendiri.
16
Kecenderunganya mencapai suatu integrasi normatif dan merangkum
secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan satu atau beberapa
kelompok di dalam komunitas.
4. Personalitas, komunitas mempunyai mekanisme mensosialisasikan
anggota baru dan mengembangkan identitas psikologis dengan
simbol lokalitas.
5. Waktu, komunitas tentu berada dalam rentang waktu. Artinya
komunitas membutuhkan waktu sehingga bisa mencapai tingkat
kebudayaan yang berbeda satu sama lainnya.
2.1.2.2. Pelapisan/Stratifikasi Sosial
Memahami komunitas atau masyarakat terkecil tidak lepas dari
pemahaman pelapisan atau stratifikasi sosial. Oleh karena, stratifikasi sosial
menjadi penting untuk melihat adanya pembagian peran di kalangan kelompok
masyarakat yang berbeda. Pengertian stratifikasi sendiri secara definitif
sebagaimana dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin adalah suatu pelapisan sosial
yang merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat dalam kelas-kelas
secara bertingkat (hierarkis). Perwujuadannya adalah adanya lapisan-lapisan
didalam masyarakat ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan
dibawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial.
Menurut Soerjono Soekanto stratifikasi sosial merupakan suatu jenis
diferensiasi sosial yang terkait dengan pengertian akan adanya jenjang secara
bertingkat. Jenjang secara bertingkat tersebut akan menghasilkan strata tertentu,
dan kedalam strata itulah masyarakat dimasukkan. Menurut Hewitt dan Mitchell
menyatakan bahwa stratifikasi sosial adalah tingkat perbedaan individu dalam
masyarakat yang mana dalam sistem sosial tertentu sebagai superior maupum
inferior. Sedangkan menurut Marx Dan Weber mengatakan bahwa stratifikasi
sosial merupakan pencerminan dari organisasi sosial suatu masyaraakat. Dari
ketiga pengertian diatas saya mengambil kesimpulan bahwa strtatifikasi sosial
adalah cara pembedaan masyarakat berdasarkan jenjang atau strata tertentu
yang betingkat-tingkat,dari mulai strata inferior sampai dengan superior.
Pembedaan masyarakat secara bertingkat tersebut dikarenakan tiga hal menurut
Weber:
1. Dimensi Ekonomi Tingkat kesejahteraan ekonomi setiap induvidu
dalam masyarakat berbeda-beda. Dinegara-negara kapitalis dimensi
17
ekonomi dalam kaitannya dengan steratifikasi sosial mudah dijumpai.
Disatu sisi terdapat individu yang borjuis,kekayaan melimpah,dan
menguasai beberapa sektor ekonomi.Namun disisi lain terdapat
individu yang melarat,sehingga antara keduanya terdapat jurang
pemisah yang sering disebut kesenjangan sosial (social distance).
Sedangkan dinegara-negara sosialis, dimensi tersebut sedikit bahkan
tidak.
2. Dimensi Sosial Dalam kehidupan masyarakat banyak sekali orang
yang mempermasalahkan tentang ras,agama,maupun suku yang
dikaitkan dengan stratifikasi social. Kelompok ini menganggap bahwa
ras,suku,agama mereka berada pada kelas superior. Di Afrika Selatan
pernah terjadi pembedaan ini dengan adanya politik apartheid yang
menganaktirikan ras kulit hitam. Hal ini juga terjadi di Amerika
Latin,ras kulit hitam hanya dijadikan budak ras kulit putih. Tapi semua
itu tidak terlepas pada prinsip yang dimiliki setiap individunya masing-
masing. Anggapan tersebut dapat terjadi apabila disuatu daerah
terdapat ras,suku,maupun agama yang dominan.
3. Dimensi Politik. Bagian terpenting dari dimensi politik yaitu jabatan
dalam lembaga-lembaga politik termasuk parpol. Hierarkhi antara
pimpinan dengan bawahan sangat mencolok, disini kedudukan
tertinggi yang berwenang mengambil keputusan dalam masalah-
masalah tertentu dalm lembaganya adalah pimpinan,sedang bawahan
hanyalah sebagai pelaksana dari keputusan tersebut.
Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar
pembentukan pelapisan sosial adalah ukuran kekayaan, ukuran kekuasaan,
ukuran kehormatan, dan ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran kekayaan mencakup
kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota
masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki
kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem
pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai
kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah। Kekayaan tersebut
dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang
dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
18
Ukuran kekuasaan atau wewenang menunjukkan segi-segi seseorang
yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati
lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Ukuran
kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya
dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya,
atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
Sedangkan, ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan
atau kekuasaan. Orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan
atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat
terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati
orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun
orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
Ukuran keempat adalam ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-
anggota masyarakat yang menghargai ilmu. Seseorang yang paling menguasai
ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial
masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya
terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang
oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar
profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari
kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada
ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara
yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan
membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
2.1.2.3. Perubahan Struktur dan Organisasi Sosial
Perhatian terhadap stratifikasi sosial menjadi menarik apabila dikaitkan
dengan dinamika dan perubahan masyarakat akibat pembangunan sebagai
perubahan sosial yang direncanakan. Pembahasannya berkait dengan
perubahan struktur dan organisasi sosial. Menurut Douglas (1973),
mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari
struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan
struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari.
Sedangkan Gerhard Lenski, lebih menekankan pada struktur masyarakat yang
diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott
Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai
19
kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat
struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau
masyarakat.
Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang
yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam
masyarakat. Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang
menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam
pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku
sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang
didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.
Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Linton (1967), dikenal adanya
dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan
kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status.
Seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang
merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah
pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status
yang diraih (achieved status). Status yang diperoleh adalah status yang diberikan
kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu
yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai
status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada
individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha
pribadi.
Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian
suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait.
Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada
ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi
dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu
kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan
pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang
menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun
perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang
menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga
meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan
tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam
20
hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya
hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak
faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).
Konsep struktur dan organisasi sosial didalam penelitian ini menjadi
penting didalam kaitan peubahan sosial akibat pembangunan. Perubahan sosial
yang dimaksudkan adalah perubahan mabari dalam masyarakat. Masuknya
unsur-unsur materi pada berikutnya mempengaruhi terjadinya perubahan sosial,
dengan demikian materi adalah pemicu terjadinya perubahan sosial yang
ditandai dengan gejala-gejala tertentu dalam masyarakat. Secara khusus
Kuntowijoyo (2002) menyebutkan gejala-gejala perubahan sosial yang dapat
dilihat dari ikatan-ikatan tradisi yang semakin longgar, dan digantikan oleh
hubungan-hubungan yang bersifat rasional, legal, dan kontraktual. Materi adalah
sentrum dari perubahan. Gejolak perubahan tidak berasal dari pergeseran
gagasan/sistem nilai di dalam masyarakat itu sendiri, melainkan terpengaruh oleh
masuknya materi ke dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian
perubahan sikap dan perilaku menjadi implikasi dari perubahan materi.
Beberapa pusataka tentang perubahan sosial didefinisikan dengan jelas
mengenai apa yang dimaksud dengan konsep perubahan itu. Konsep
perubahan sosial sebagai perubahan penting apabila terjadi perubahan dari
struktur sosial, termasuk pola perilaku dan interaksi sosial. Oleh karenanya
perubahan sosial juga termasuk didalamnya perubahan pada nilai, norma dan
fenomena kultural yang terdapat pada sebuah komunitas masyarakat. Untuk
melihat bagaimana sesungguhnya perubahan-perubahan sosial yang dijelaskan
oleh beberapa penulis seperti halnya Sosrodihardjo (1972), Wertheim W.F.
(1999).
Dalam konteks penjelasan perubahan sosial tersebut baik melihat matriks
yang mencoba memudahkan kita untuk memahami beberapa perspektif dari
perubahan-perubahan sosial. Dari Tabel 1 diketahui bagaimana dalam kaitannya
antara perubahan struktur dan startifikasi sosial pada masyarakat didalam
konteks studi di Indonesia dan Asia. Dari table tersebut daoat juga dirujuk
beberapa variable sosiologi yang penting menjadi perhatian dalam konteks
perubahan struktur dan organisasi sosial akibat pembangunan.
Tabel 2 selanjutnya, juga memperlihatkan pengelompokkan teori
perubahan sosial yang dilakukan oleh Strasser dan Randall (1981). Perubahan
sosial dapat diliha t dari empat teori, yaitu: kemunculan diktator dan demokrasi,
21
Tabel.1. Matriks tentang proses perubahan sosial serta variabel perubahan. Berdasarkan peneliti, Sosrodihardjo (1972) dan Wertheim W.F. (1999),
Peneliti Fokus dan daerah yang diteliti
Proses Perubahan Yang terjadi
Konsep Variabel perubahan
Sosrodihardjo
Masyarakat Jawa
Adanya kelas pemasaran justru merubah struktur sosial masyarakat
adanya pelapisan didalam masyarakat, makin besar pengaruhnya suatu kelompok, semakin tinggi pula kedudukannya dalam struktur masyarakat
Stratifikasi sosial (status sosial), Konflik ,gaya hidup, dan pola konsumsi.
Wertheim
Kawasan Asia Selatan dan Tenggara
Masuknya ekonomi keuangan (kapitalisme Barat menyebabkan perubahan struktur sosial pada Negara Asisa Selatan dan tenggara.
infra-suprastruktur Masyarakat Asia Selatan dan Tenggara juga dipengaruhi oleh dampak kapitalisme.
Stratifikasi sosial (status sosial), hubunagn kelas sosial, antara superioritas dan inferioritas.
Kuntowijoyo
Perubahan Sosial di Madura
Pasang surutnya pola produksi petani tembaku dalam perkembangan zaman colonial, jepang, orde lama dan baru, menyebakan peruabahan sosial ditingkat struktur sosial masyarakat khususnya pada masyarakat Madura.
22
teori perilaku kolektif, teori inkonsistensi status dan analisis organisasi sebagai
subsistem sosial. Matriks di Tabel 2 ini penting untuk memberikan gambaran
terkait dengan ketiga teori tersebut diatas.
Tabel 2. Pengelompokan teori perubahan sosial oleh Strasser dan Randall (1981)
Perspektif teori Penjelasan Teortik
teori kemunculan diktator dan demokrasi
Teori ini adalah sebuah pengamatan panjang tentang sejarah pada beberapa negara yang mengalami sebuah proses transformasi pada basis ekonomi agraria menuju basis ekonomi industri.
Teori perilaku kolektif menekankan pada proses perubahan daripada sumber perubahan sosial.
Teori inkonsistensi status Dalam penjelasan teori ini, individu sepetinya dilihat sebagai bentuk ketidakkonsistenan antara status individu dan grop dengan aktivitas atau sikap yang didasarkan pada perubahan.
Analisis organisasi sebagai subsistem sosial
kemunculan teori ini tentu didsarkan pada sebuah anggapan bahwa organisasi birokrasi dan organisasi tingkat lanjut yang kompleks dipandang sebagai hasil transformasi sosial yang muncul pada masyarakat modern. Pada sisi lain, organisasi meningkatkan hambatan antara sistem sosial dan sistem interaksi.
Pada sisi lain menurut Lewin (1951), perubahan juga terjadi karena
munculnya tekanan-tekanan terhadap organisasi, individu, atau kelompok. Ia
berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving force) akan berhadapan dengan
penolakan (resistences) untuk berubah. perubahan dapat terjadi dengan
memperkuat driving force dan melemahkan resistences to hange. Langkah-
langkah yang dapat diambil untuk mengelola perubahan, yaitu :a.nfreezing,
merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya, atau adanya kebutuhan
untuk berubah. b.Changing, merupakan langkah tindakan, baik memperkuat
driving force maupun memperlemah resistences.c Refreesing, membawa
kembali organisasi kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic
equilibrium). Dahrendorf dalam Robert H. Lauer ( 1993) melihat hubungan erat
antara konflik dan perubahan, ia mengemukakan bahwa seluruh kreativitas,
inovasi dan perkembangan dalam kehidupan individu, kelompoknya dan
masyarakatnya, disebabkan terjadinya konflik antara kelompok dan kelompok,
23
individu dan individu serta antar emosi dan emosi dalam diri individu. Pemikiran
Dahredorf terkandung beberepa proposisi diantaranya adalah; setiap masyarakat
dalam segala hal tunduk pada proses perubahan, perubahan sosial terjadi di
mana saja; setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksuaian
dan konflik, konflik sosial terdapat dimana saja; setiap unsur dalam suatu
masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya;
setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagaian
anggita terhadap anggota lain.
Selanjutnya tulisan Christianita L. Day dalam Cristina EGHENTER dan
Bernard SELLATO (1999) tentang perubahan sosial dan dampaknya terhadap
organisasi pertanian di Long alango secara singkat di jelasakan bahwa
perubahan-perubahan itu terjadi akibat dari masuknya agama kristen, hadirnya
para pendatang dan masuknya beberapa teknologi moderen. Pada masyarakat
di Long Alango, seperti yang di ceritkan sebelum masuknya agama kristen, dan
belum tersentuhnya teknologi pada masyarakat tersebut, sepertinya masih
terdapat sistem pengelolaan perswahaan yang cenderung masih menggunakan
nilai-nilai budaya dan tradisi mereka. Akan tetapi, nilai-nilai dan tradisi yang
terdapat pada masyarakat atau komunitas di Long Alango, dan hilangnya
pengaruh paren atau paren lipu yang biasanya disebut sebagai kepala desa,
sepertinya akibat dari pengaruh dari faktor-faktor yang membawa perubahan
seperti yang dijelaskan diatas sebelumnya.
Pada sisi lain, fenomena konflik juga mewarnai masyarakat di Long
Alango ketika keberadaan pemerintah kecamatan di wilayahnya. Konflik itu
terjadi ketika ketidaksukaan pemerintah kecamatan terhadap keberadaan rumah
panjang ( uma’dado) di Long Alango. Alasan pembongkaran secara paksa ini
dilakukan dengan alasan dari aspek kesehatan sangat tidak mendukung. Namun
disis lain, alasan yang perlu disangsikan adalah bahwa keberadaan rumah
panjang dengan sebuah kehidupan kumunal uma’dado dekat sifatnya dengan
praktek komunis. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa keberadaan
pemerintah disatu sisi membawa perubahan untuk mengatur tata kehidupan
masyarakat menuju pada sebuah kehidupan masyarakt yang tentram dan teratur,
dan disisi lain keberadaannya justru membawa pengaruh terhadap struktur
pemerintahan tradisonal di Long Alango.
Selanjutnya Marx secara ringkas telah merangkum beberapa pandangan
materialistik mengenai mekanisme perubahan dalam pernyataan terkenalnya”
24
kincir-angin menimbulkan masyarakat feodal, dan mesin uap melahirkan
masyarakat kapitalis-industri. Dan di lain sisi, Thorstein Veblen dalam Robert H
Lauer (1993), dalam konteks ini pemikirannya lebih dipengaruhi oleh Marx dan
pemikiran evolusioner, melihat tatanan masyarakat sangat ditentukan oleh
teknologi. Dia mengatakan bahwa proses mesin justru merembesi kehidupan
moderen dan menentukannya dalam artian mekanik..Itu artinya bahwa mesin
telah menjadi tuan manusia yang bekerja dengannya dan telah menjadi hakim
yang menentukan nasib kebudayaan komunitas yang hidup dengannya. Mesin
adalah alat yang membuat orang menjadi sama rata dan kasar yang bertujuan
menghancurkan segala yang dihormati, dimuliakan dan dihargai dalam pergaulan
dan yang dicita-citakan manusia. Namun dalam konteks ini Verben sepertinya
lebih memusatkan perhatian pada pengaruh teknologi khususnya pada pikiran
dan perilaku manusia.
2.2. Kerangka Pemikiran.
Bari adalah nilai-nilai sosial yang mengatur pola dan semangat hidup
yang di dasarkan pada kepercayan, keterbukaan, saling peduli, saling
menghargai, dan saling menolong diantara anggota kelompok masyarakat di
Halmahera barat pada khususnya dan Maluku Utara pada umumnya.Sebagai
sebuah kelembagaan secara umum merupakan kompleks dari norma dan
kebiasaan yang telah berlangsung sepanjang waktu melalui kegunaan nilai
pelayanan kolektif. Dalam pandangan Uphoff, dia mengatakan bahwa
kelembagaan meruapakan suatu himpunanan atau tatanan norma-norma dan
tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani
tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Menurut Uphoff, institusi
ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat istiadat. Bari
sebagai nilai dan “mabari: sebagai wadah maupun pranata juga memiliki
kaitananya dengan struktur sosial yang ada disekitarnya. Struktur sosial yang
menjadi bahan kajian dalam penelitian ini menunjuk pada stratifikasi sosial dan
relasi sosia, tata nilai serta kelembagaan. Perubahan sosial dengan unsur-unsur
perubahannya seperti teknologi, modal, Para pendatang, Pegawai, bahkan
agama membawa dampak pada perubahan Struktur masyarakat, termasuk bari,
dan mabari itu sendiri. Lihat Gambar 1.
Fenomena ini seperti yang di tuliskan oleh Christianita L. Day (1999)
tentang perubahan sosial dan dampaknya terhadap organisasi pertanian di Long
25
Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran
Alango secara singkat mengungkapkan fakta-fakta perubahan yang terjadi akibat
dari masuknya agama Kristen, hadirnya pendatang dan masuknya beberapa
teknologi moderen. Jauh sebelumnya masyarakat di Long Alango masih terdapat
sistem pengelolaan persawahaan yang cenderung masih menggunakan nilai-nilai
budaya dan tradisi mereka. Artinya, masyarakat menyikapi perubahan yang
datang dengan sikap yang berbeda. Terdapat sikap risestensi (penolakan)
terhadap perubahan, namun ada juga yang bersikap menerima perubahan itu
sendiri. Menurut Kurt Lewin (1951), perubahan terjadi karena munculnya
tekanan-tekanan terhadap organisasi, individu, atau kelompok.
Memudarnya bari dan Kelembagaan
mabari
Struktur sosial
1. Pelapisan sosial
2. Status sosial
3. Nilai dan norma
Sumber Perubahan
1. Modernisasi
2. Modal/Teknologi
3. Penetrasi program pemerintah
4. Pendatang dan PNS
Resistensi untuk merubah 1. Penolakan
terhadap program pemerintah
2. Memperkuat tradisi lokal
Menerima perubahan. 1. Tergesernya nilai
lokalitas 2. Menguatnya
budaya materialisme
3. Spesialisasi dan variasi pekerjaan
Komunitas Petani
Perubahan pada bari dan Kelembagaan mabari