21
16 BAB II PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI SURAKARTA A. Pendidikan di Surakarta Pada Masa Hindia Belanda Politik Etis awalnya dipelopori oleh C. Th. Van Deventer melalui artikelnya yang berjudul Een Eereschuld atau hutang kehormatan, di dalam majalah berkala de Gids. Ia mengatakan bahwa negeri Belanda telah berhutang kepada penduduk pribumi terhadap kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayarkan kembali dengan jalan memberi prioritas utama kepada kepentingan pribumi di dalam kebijakan kolonial. 1 Politik Etis diberlakukan di Indonesia pada tahun 1901 yang diterapkan pertama kali di Batavia, seiring berjalannya waktu mulai dilaksanakan di kota- kota lainnya seperti Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta dan Surakarta. Sama seperti di tempat-tempat lain, politik hutang budi ingin memajukan bangsa Indonesia melalui “edukasi, irigasi, emigrasi” yang lebih menekankan pada bidang edukasi atau pendidikan. Kemajuan bidang pendidikan ditempuh melalui sistem pendidikan Barat di Indonesia, yang pada awalnya untuk anak-anak Belanda, kemudian diperluas untuk anak-anak Indonesia. Pendidikan mulai menunjukkan peran yang semakin aktif dalam menentukan arah perkembangan politik. Sejak dijalankannya politik etis tampak 1 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Jogjakarta: UGM Press, 1995, halaman 228.

BAB II PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI SURAKARTA filesistem pendidikan mencapai kelengkapan dibandingkan beberapa abad terakhir.2 ... hanya ada tiga buah, yaitu H.I ... sekolah-sekolah

Embed Size (px)

Citation preview

16

BAB II

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI SURAKARTA

A. Pendidikan di Surakarta Pada Masa Hindia Belanda

Politik Etis awalnya dipelopori oleh C. Th. Van Deventer melalui artikelnya

yang berjudul Een Eereschuld atau hutang kehormatan, di dalam majalah berkala

de Gids. Ia mengatakan bahwa negeri Belanda telah berhutang kepada penduduk

pribumi terhadap kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka. Hutang ini

sebaiknya dibayarkan kembali dengan jalan memberi prioritas utama kepada

kepentingan pribumi di dalam kebijakan kolonial.1

Politik Etis diberlakukan di Indonesia pada tahun 1901 yang diterapkan

pertama kali di Batavia, seiring berjalannya waktu mulai dilaksanakan di kota-

kota lainnya seperti Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta dan Surakarta.

Sama seperti di tempat-tempat lain, politik hutang budi ingin memajukan bangsa

Indonesia melalui “edukasi, irigasi, emigrasi” yang lebih menekankan pada

bidang edukasi atau pendidikan. Kemajuan bidang pendidikan ditempuh melalui

sistem pendidikan Barat di Indonesia, yang pada awalnya untuk anak-anak

Belanda, kemudian diperluas untuk anak-anak Indonesia.

Pendidikan mulai menunjukkan peran yang semakin aktif dalam

menentukan arah perkembangan politik. Sejak dijalankannya politik etis tampak

1 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Jogjakarta: UGM Press, 1995, halaman 228.

17

kemajuan yang pesat dibidang pendidikan dalam beberapa dekade dibandingkan

dengan yang terjadi selama beberapa abad pengaruh Kolonial sebelumnya. Jumlah

sekolah rendah mulai meningkat pesat, sekolah-sekolah berorientasi ke Barat

diciptakan baik untuk orang Cina maupun orang Indonesia. Pada periode ini

sistem pendidikan mencapai kelengkapan dibandingkan beberapa abad terakhir.2

Pelaksanaan politik etis di Surakarta membawa kemajuan dibidang

pendidikan dengan didirikannya beberapa sekolah, meskipun hanya sebagian anak

yang merasakan pendidikan. Pada awalnya hanya ada sekolah milik pemerintah

Kolonial Belanda yang diperuntukkan untuk anak-anak Belanda, tapi kemudian

mulai muncul sekolah-sekolah milik swasta, dan juga sekolah-sekolah milik

Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Pendidirian sekolah-sekolah di

Surakarta dapat dikelompokkan sebagai berikut.

a. Sekolah-sekolah netral berbahasa Belanda

Sekolah-sekolah netral berbahasa Belanda diperuntukkan bagi

anak-anak Eropa. Sekolah ini memiliki fasilitas yang jauh lebih baik

dibandingkan fasilitas sekolah-sekolah untuk pribumi. Sekolah ini juga

memiliki mutu pendidikan yang luas serta memberikan mata pelajaran

yang lengkap serta memiliki fasilitas yang memadai untuk melaksanakan

proses belajar mengajar dengan baik, guru-guru di sekolah ini juga

merupakan guru-guru terbaik dari Eropa.

2 S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara,

2001), halaman 18

18

Untuk masuk sekolah ini harus menguasai bahasa Belanda karena

merupakan salah satu syarat dan menjadi bahasa pengantar dalam proses

belajar mengajar. Untuk masuk sekolah ini juga harus membutuhkan

biaya yang besar, sehingga hanya golongan kaya saja yang bisa

menyekolahkan anaknya di sekolah ini yang mempunyai fasilitas, mata

pelajaran, dan guru-guru yang terbaik, sehingga biaya yang dikeluarkan

tidak sedikit.

Jumlah sekolah netral berbahasa Belanda jumlahnya hanya sedikit,

hanya ada tiga buah, yaitu H.I.S Jogeneschool di Mangkubumen, H.I.S

Meisjesschool di Slompretan, dan Schakel-school di Mangkunegaran.3

Namun dengan jumlah sekolah yang hanya berjumlah tiga buah telah

mencukupi kebutuhan pendidikan kalangan Eropa. Bahkan presentase

pemenuhan kebutuhan sekolah untuk kalangan Eropa atau yang dianggap

sejajar lebih besar dibanding dengan murid pribumi yang dapat

bersekolah.

b. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Missie

Sekolah-sekolah missie mengajarkan tentang ajaran-ajaran Katolik.

Meskipun memasukkan ajaran-ajaran Katolik dalam kurikulumnya,

namun murid-muridnya diberi kebebasan untuk memilih mengikuti atau

tidak ajaran agama Katolik, sehingga murid-muridnya tidak harus

bergama Katolik.

3 Opgave van Openbare Onderwijsinrichtingen in hot gewest Soerakarta.

(Arsip Mangkunegaran).

19

Ajaran-ajaran para missionaris sampai di Surakarta pada tahun

1921 dan mulai mendirikan sekolah-sekolah Katolik yang semakin

berkembang. Hingga tahun 1930 jumlah sekolah yang dikelola Missie

berjumlah 17 sekolah, yang meliputi satu sekolah Mulo, satu buah ELS,

dua buah HIS, satu buah HIS untuk perempuan, sepuluh buah

standartschool, satu buah HCS dan dua buah Meijesvervolkschool.

Sekolah-sekolah tersebut tersebar di daerah Manahan, Banjarsari,

Margoyudan, Gajahan dan Pasar Legi.4

c. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending

Zending adalah suatu badan gereja, sehingga sudah jelas bahwa

sekolah-sekolah Zending menggunakan kurikulum gereja atau ajaran-

ajaran Kristen. Pengurus dari sekolah-sekolah yang dikelola oleh

Zending adalah seorang pendeta. Salah satu tujuan pendirian dan

pendidikan sekolah ini yaitu untuk menyebarkan injil. Bahasa Belanda

menjadi bahasa pokok di sekolah ini, karena bahasa Belanda digunakan

sebagai bahasa sehari-hari dan menjadi bahsa pengantar dalam pelajaran.

Pada awalnya pendirian sekolah ini mendapat larangan dari

pemerintah karena adanya pendidikan agama Kristen dan tidak

mengijinkan murid non-Kristen untuk ikut serta dalam kegiatan agama.

Pada akhirnya sekolah-sekolah yang dikelola Zending diperbolehkan dan

mendapatkan subsidi serta kemudahan dari pemerintah Belanda.

4 Ibid.

20

Beberapa sekolah Zending didirikan di Surakarta dan mengalami

perkembangan pesat, sekolah-sekolah itu antara lain di daerah Villapark

(Banjarsari), Margoyudan, Jebres, Kerten, Sidokare, Gemblegan,

Kawatan, Danukusuman, Gilingan dan Manahan.5

d. Sekolah-sekolah negeri berbahasa daerah

Sekolah-sekolah negeri berbahasa daerah menggunakan bahasa

daerah sebagai pengantar dalam pelajaran, yang digunakan adalah

bahawa Jawa. Pada umumnya lama pendidikan bagi anak-anak pribumi

adalah lima tahun.6 Sekolah-sekolah negeri berbahasa daerah di

Surakarta berjumlah 22 buah, yang terdiri dari 13 sekolah Ongko Loro,

dua sekolah Meijesschool (sekolah putri) dan tujuh sekolah-sekolah

persiapan pendidikan guru bagi sekolah desa (Onderbouw Holland

Inlander Kwekschool). Sekolah-sekolah ini terdapat di daerah Laweyan,

Pasar Kliwon, Jebres, Serengan, Mangkunegaran dan Colomadu.7

e. Sekolah-sekolah yang dikelola Muhammadiyah

Perkembangan pendidikan di sekolah-sekolah negeri milik

pemerintah kolonial Belanda mengalami kemajuan pesat yang

menimbulkan kontra dari beberapa golongan yang tidak puas terhadap

sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial Belanda karena sekolah-

5 Ibid.6 A. Susana Kurniasih, Pengaruh Politik Etis Terhadap Perkembangan

Pendidikan di Surakarta, (Surakarta: Skripsi, 1993), halaman 68.7 Opgave van Openbare Onderwijsinrichtingen in hot gewest Soerakarta.,

op.cit.

21

sekolah ini tidak memberikan pendidikan agama. Dengan dilandasi

ketidakpuasan terhadap pendidikan di bawah pemerintahan kolonial

Belanda, maka K.H. Ahmad Dahlan mendirikan gerakan

“Muhammadiyah” pada tahun 1912 di Yogyakarta. Gerakan ini antara

mendirikan sekolah-sekolah berdasarkan agama.8 Tujuan pendirian

sekolah ini adalah mengajarkan nilai-nilai agama dan berusaha

menghambat intelektual yang bersifat materialistis dengan egois yang

dinilai dihasilkan oleh pendidikan Barat.9

Sekolah-sekolah Muhammadiyah pada awalnya hanya ada di

Yogyakarta saja namun kemudian meluas hingga ke tempat-tempat lain.

Di Surakarta ada sepuluh buah sekolah Muhammadiyah yang sebagian

besar terdiri dari standartschool. Sekolah-sekolah Muhammadiyah ini

terdepat di daerah Mangkunegaran, Kleco, Notokusuman, Kampung

Sewu, Kauman, Serengan dan Pasar Legi. 10

f. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Budi Utomo

Pada bidang pendidikan, Budi Utomo lebih mementingkan

pendidikan tingkat tinggi bagi kaum priyayi, sedangkang untuk

pendidikan tingkat dasar dan menengah untuk kaum pribumi kurang

8 M. Said, Pendidikan Abad Keduapuluh Dengan Latar Belakang

Kebudyaan, (Jakarta: Mutiara, 1981), halaman 82.9 Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo

1908-1918, (Jakarta: Pusat Grafitti Press, 1989), halaman 12310 Opgave van Openbare Onderwijsinrichtingen in hot gewest Soerakarta.,

op.cit.

22

begitu diperhatikan. Cabang Budi Utomo didirikan kira-kira akhir tahun

1908 yang anggotanya terdiri dari kalangan priyayi.11

Sekolah-sekolah Budi Utomo juga memiliki kurikulum bahasa

Belanda agar dapat bersaing dengan sekolah-sekolah milik pemerintah

kolonial Belanda. Sekolah ini mendapatkan subsidi dari pemerintah yang

kebanyakan siswa yang bersekolah berasal dari kalangan anak-anak

pegawai rendahan yang masih berstatus priyayi. Sekolah-sekolah Budi

Utomo di Surakarta ada empat yang merupakan sekolah standartschool

yang ada di daerah Lemboengwetan, Colomadu, Timuran dan

Tegalgondo.12

g. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Kerajaan

Perkembangan pendidikan di Kerajaan Kasunanan dan

Mangkunegaran tidak terlepas dari pembaharuan diberbagai bidang yang

terjadi pada abad awal ke-20. Semua kerajaan Vorstenlanden

memerlukan pembaharuan dibidang pendidikan, angkutan umum,

komunikasi dan administrasi, karena dianggap tertinggal dibandingkan

daerah-daerah yang diperintah langsung oleh pemerintah Belanda. Dalam

bidang pendidikan pemerintah memberikan wewenang bagi pihak

kerajan Kasunanan dan Mangkunegaran untuk mengelola sendiri sekolah

11 Larson, George D, Masa Menjelang Revolusi ‒ Keraton dan Kehidupan

Politik di Surakarta 1912-1942, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990), halaman 85

12 Opgave van Openbare Onderwijsinrichtingen in hot gewest Soerakarta., op.cit.

23

yang akan mereka dirikan. Pendirian sekolah-sekolah ini berfungsi untuk

melakukan perubahan dan untuk mencetak tenaga-tenaga terampil di

daerah kekuasaan mereka.

1. Kasunanan

Perkembangan pendidikan di Kasunanan tidak terlepas dari

seorang tokoh, yaitu Paku Buwono X. sejak Paku Buwono X

memegang kekuasaan di Kasunanan, pendidikan mulai mendapat

perhatian besar. Perhatian Paku Buwono X dalam dunia pendidikan

diwujudkan dengan mendirikan sekolah HIS Kasatriyan pada tanggal

1 November 1910, kemudian disusul dengan pendirian Frobelschool

Pamardi Siwi pada tanggal 26 Agustus 1926, dan terakhir adah

pendirian HIS Parmadi Putri pada tanggal 1 Juli 1927. Sekolah-

sekolah ini bertujuan untuk menyediakan tempat pendidikan bagi

putera-puteri keraton, sehingga memudahkan pengamanan dan

pengawasannya. Tujuan lainnya yaitu untuk memberikan pendidikan

bagi para sentono serta abdi dalem kerajaan dan masyarakat

sekitarnya.

HIS Kasatriyan membatasi dalam hal penerimaan murid, dalam

hal ini tidak hanya faktor keuangan yang menjadi pertimbangan, tetapi

juga faktor keturunan. Siswa yang diterima di sekolah ini minimal

harus seorang Raden, hal tersebut dilakukan untuk menjaga

kewibawaan keluarga. Kurikulum untuk HIS Kasatriyan dan HIS

24

Pamardi Putri disesuaikan dengan kurikulum HIS Gabernemen. Guru-

guru di sekolah ini terdiri dari guru berkebangsaan Eropa dan

beberapa guru pribumi yang memiliki ijazah diploma guru. Jabatan

pimpinan sekolah sampai tahun 1933 dipegang oleh orang Belanda,

setelah itu jabatan pimpinan sekolah dipegang oleh orang pribumi.

Selain mendirikan sekolah model Barat, Kasunanan juga

mendirikan jenis pendidikan formal lainnya yaitu Sekolah Desa

(Volkschool) yang diperuntukkan bagi masyarakat kebanyakan. Lama

pendidikan sekolah ini tiga tahun, mata pelajaran yang diajarkan

seperti membaca, menulis, berhitung, dan menggambar. Basa yang

digunakan dalam pengajaran adalah bahasa Jawa. Sekolah desa ini

tergolong sekolah yang sederhana karena hanya mengajarkan mata

pelajaran dasar.

Selain sekolah desa, Kasunanan juga mendirikan sekolah yang

berdasarkan ajaran agama Islam yang bernama Mambaul Ulum (MU)

yang didirikan pada tanggal 23 Juli 1905. Tujuan dari sekolah ini

antara lain membentuk kader-kader ulama dan untuk mendidik calon

pejabat keagamaan yang ahli dan cakap dalam menjalankan tugasnya.

Selain memberikan pelajaran dibidang keagamaan juga megajarkan

berhitung, menggambar, menulis, berbahasa Jawa, bahasa Melayu dan

Arab, serta pengetahuan lainnya. Pendidikan di Mabaul Ulum

ditempuh dalam waktu 11 tahun yang terbagi menjadi tiga jenjang

pendidikan.

25

2. Mangkunegaran

Sama halnya dengan di Keraton Kasunanan, Mangkunegran

juga mendirikan beberapa sekolah yaitu sekolah Siswo yang didirikan

oleh Mangkunegaran pada tahun 1912, kemudian pada tahun 1914

berganti nama menjadi HIS Mangkunegaran School, sekolah Siswo

Rini yang didirikan pada tanggal 18 September 1912 yang bertempat

di halaman istana Mangkunegaran dan khusus untuk gadis-gadis

dengan lama pendidikan tujuh tahun, sekolah Van Deventer yang

didirikan pada tanggal 21 Januari 1927 adalah sekolah untuk putri,

sekolah ini tidak berbeda jauh dengan sekolah Siswo Rini, dan

sekolah terakhir yang didirikan oleh Mangkunegara yaitu sekolah desa

yang didirikan pada tahun 1918 yang dibiayai oleh Mangkunegaran.

Sekolah-sekolah Mangkunegaran lebih maju dan lebih banyak

jumlahnya dibandingkan sekolah-sekolah Keraton Kasunanan.

Berbeda dengan sekolah Keraton Kasunanan yang membatasi

muridnya dari kalangan priyayi dan dibatasi jumlahnya, sedangkan

sekolah Mangkunegaran tidak membatasi penerimaan muridnya dari

kalangan orang-orang kaya, tetapi lebih terbuka untuk masyarakat

luas. Dalam perkembangannya Sekolah-sekolah milik Mangkunegaran

mengalami kemajuan yang pesat dibandingkan sekolah-sekolah milik

Keraton Kasunanan.

26

Keberadaan sekolah-sekolah yang ada di Surakarta banyak memiliki

kesamaan baik dalam mata pelajaran, kurikulum yang semuanya mengadopsi

sistem Barat, kecuali Muhammadiyah dan Mabaul Umul yang berdasarkan ajaran

agama Islam. Tujuan dari pendidikan juga sama yaitu untuk menciptakan tenaga-

tenaga terampil dan untuk mengisi jabatan-jabatan di pemerintahan maupun

jabatan-jabatan dalam pemerintah daerah dalam keraton.

B. Pendidikan di Surakarta pada Masa Jepang

Pada masa penjajahan Jepang memperlihatkan gambaran buruk mengenai

bidang pendidikan bila dibandingkan pada masa-masa akhir Pemerintahan Hindia

Belanda. Sistem pendidikan pada zaman pendudukan Jepang banyak mengalami

perubahan karena sistem menurut bangsa maupun menurut status sosialnya

dihapuskan. Hal itu mengakibatkan adanya integritas terhadap macam-macam

sekolah sejenis. Istilah-istilah Indonesia yang dulunya dihapuskan pada masa

Hindia Belanda kini mulai digunakan kembali di sekolah-sekolah dan lembaga-

lembaga pendidikan lainnya.

1. Sekolah-sekolah pada masa Jepang

Pada masa pemerintahan Jepang ada sekolah dasar yang dibuka

untuk umum dan semua golongan dan hanya ada satu macam yang disebut

dengan Sekolah Rakyat. Lamanya pendidikan di Sekolah Rakyat ini

selama 6 tahun. Sekolah Rakyat terdapat disemua desa dan kota diseluruh

Surakarta atau ditempat-tempat yang dulunya terdapat sekolah desa,

sekolah satu, sekolah dua, HIS atau ELS.

27

Pemerintah militer Jepang memberlakukan adanya penggabungan

berbagai jenis sekolah yang terdiri dari ELS, HCS, HIS, serta

Schakelschool menjadi menjadi satu macam dengan nama Sekolah Rakyat

tersebut yang berdampak luas terhadap pendidikan di Surakarta. Hal

tersebut memaksa lembaga pendidikan Neutraalschool Vereeniging yang

sebelumnya menyelenggarakan tiga jenis sekolah yaitu HIS,

Schakelschool, dan MULO melaksanakan peraturan tersebut dengan

menggabungkan Neutraal HIS dan Neutraal Schakelschool menjadi satu

macam sekolah dasar dengan nama Sekolah Neutraal.13

Sekolah-sekolah swasta yang berada di Surakarta tetap berjalan,

baik itu yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah, lembaga Neutraal,

agama Kristen, Taman Siswa, maupun Kanisius. Sekolah partikelir

sebenarnya diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Taman Siswa yang

bergerak aktif melaksanakan tugas pendidikan secara berjenjang mulai

dari TK, SD, SMP, dan STM, namun tetap menyelenggarakan sekolah

rakyat saja. Biaya sekolah berwujud uang Jepang tetapi untuk Indonesia

yang berbentuk kertas dan bertuliskan bahasa Belanda. Uang ini

digunakan saat awal Jepang menguasai Surakarta. Pemerintah

membebaskan para siswa untuk tidak berseragam meskipun pendidikan

diberbagai Sekolah harus membayar.

Sekolah Rakyat mulai memperkenalkan huruf Jepang sejak siswa

duduk di kelas empat, yaitu katakana (tingkat terendah), hiragana, dan

13 A. Susana Kurniasih, Op Cit, halaman 96.

28

kanji. Sekolah dimulai pukul 08.00 sampai pukul 12.30, dan buku-buku

yang digunakan adalah buku-buku belanda yang telah diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia oleh guru maupun pemerintah. Pelaksanaan libur

sekolah hanya saat libur agama dan libur kwartal (penerimaan rapor yang

berlangsung 3 bulan sekali).14

Kelanjutan dari Sekolah Rakyat adalah sekolah menengah pertama

yang lama pendidikannya 3 tahun. Baru pada bulan September 1942,

setelah beristirahat 5 bulan, sekolah-sekolah menengah diperbolehkan

buka kembali setelah diadakan persiapan-persiapan sebelumnya. Sekolah

MULO yang seharusny diubah menjadi sekolah lanjutan pertama (SMP)

pada awalnya ditiadakan. Hal ini dikarenkan adanya peraturan dari

Pemerintah Jepang untuk membatasi terhadap perkembangan sekolah

lanjutan dengan maksud untuk menekan biaya pengeluaran. Peraturan

tersebut digunakan untuk mengalihkan biaya pendidikan untuk biaya lain

yang berhubungan dengan perang. Pemerintah Jepang akan mendirikan

sekolah lanjutan jika itu diperlukan, pelaksanaannya diserahkan kepada

pemerintah setempat atau pihak-pihak swasta yang dipercaya oleh

Pemerintah Jepang, seperti halnya Jawa Hokokai yaitu organisasi yang

turut membantu Pemerintah Militer Jepang dalam usahanya memenangkan

Perang Asia Timur.15

14 Sasongko Muliyo, Pendidikan Indonesia Pada Masa Pendudukan

Jepang, (Surakarta: Skripsi, 2005), halaman 82.15 Marwati Djoened Poesponagoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah

Nasional Indonesia Jilid V, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), halaman 53.

29

Sekolah lanjutan umum tingkat atas dibuka dengan nama sekolah

menengah tinggi. Pada awalnya hanya ada 4 buah sekolah yang ada di

Indonesia, yaitu di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya.

Kemudia pada tahun 1943 dibuka 2 buah sekolah menengah tinggi, yaitu

di Bandung dan satu lagi di Surakarta yang bertempat di Manahan.16

2. Pelaksanaan Pendidikan pada masa Jepang

Pelaksanaan Pendidikan pada masa pendudukan Jepang di

Surakarta menunjukkan keadaan yang buruk dibandingkan dengan masa-

masa sebelumnya, hal itu terlihat dari semakin berkurangnya jumlah

sekolah yang ada dan semakin berkurangnya anak-anak yang putus

sekolah. Hal itu disebabkan oleh kegiatan pendidikan pada masa itu tidak

dikelola oleh badan khusus yang bergerak dalam bidan pendidikan dan

pengajaran, tetapi dijadikan satu dengan badan urusan pemerintahan

sehingga dalam pelaksanaannya sering mengalami kekacauan.

Setelah tentara Jepang berkuasa, tidak ada satupun sekolah yang

diperbolehkan untuk buka kembali. Hal itu disebabkan belum adanya

persiapan-persiapan ke arah itu, serta masih banyak kesulitan-kesulitan

yang harus diatasi terlebih dahulu, seperti kesulitan mengenai guru, karena

Pemerintah Belanda belum mempersiapkan guru-guru Indonesia untuk

sekolah-sekolah menengah, apalagi menengah atas, hanya ada beberapa

guru yang mempunyai wewenang untuk mengajar sekolah lanjutan. Semua

16 Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta:

Depdikbud, 1984), halaman 101.

30

buku pelajaran yang ditulis dalam bahasa Belanda tidak boleh dipakai oleh

pemerintah Jepang.

Pemerintah Jepang mendorong bangsa Indonesia agar mempelajari

bahasa Jepang yang masih sangat asing di Indonesia, karena sebelumnya

tidak ada satupun sekolah yang memberikan pelajaran bahasa Jepang.

Untuk tujuan itulah pemerintah Jepang membuka sekolah-sekolah khusus

untuk memperikan pelajaran bahasa Jepang secara cepat, sekolah-sekolah

itu disebut Nippongo Gakko. Sekolah ini tidak hanya memberikan

pelajaran bahasa Jepang saja, tetapi juga diberikan pelatihan-pelatihan

kemiliteran Jepang.

Setelah Jepang menguasai Surakarta, sekolah-sekolah yang ada

pada masa pemerintahan Hindia Belanda harus ditutup, dan kemudian

tanggal 29 April 1944 sekolah-sekolah di Surkarta dibuka kembali untuk

melaksanakan kegiatan pendidikan. Hal ini didasari atas undang-undang

No. 12 tentang pembukaan sekolah yang berbunyi sebagai berikut:

1. Segala sekolah rendah kepunyaan pemerintah dan kepunyaan

partikelir yang memakai bahasa Melayu, Djawa, Sunda, dan Madura

akan dibuka kembali pada tanggal 29 April 1942. Akan tetapi sekolah-

sekolah pemerintah harus terlebih dahulu memberitahukan tentang

pembukaannya kepada pembesar di tempat sekolah-sekolah itu,

sedangkan sekolah-sekolah partikelir mendapatkan izin buat

pembukaannya.

31

2. Segala sekolahan lain-lainnya, baik yang sudah dibuka maupun yang

sedang dibuka harus ditutup dengan lekas. Untuk membuka

sekolahan-sekoahan yang tersebut belakangan ini, haruslah menunggu

perintah.

Sekolah-sekolah rendah yang dimaksud pada undang-undang diatas,

yaitu: sekolah desa (volksschool), sekolah sambungan (vervolgschool),

sekolah kelas dua (volledlge tweede klasse school), dan meisjes

vervolgschool.

Pembukaan kembali sekolah-sekolah bekas yang diasuh oleh

Pemerintah Hindia Belanda juaga diizinkan kembali sekolah-sekolah

swasta, misalnya Sekolah Agama Islam, Sekolah Taman Siswa, Sekolah

Muhammadiyah, Sekolah Agama Kristen, Sekolah Neutraal, dan lain-

lain. Sekolah-sekolah yang dulunya diasuh oleh missie ataupun zending

dibuka kembali dengan catatan, bahwa sekolah-sekolah itu langsung

diselenggarakan oleh Pemerintah Jepang seperti halnya sekolah-sekolah

negeri. Pemerinth Jepang juga memberikan kesempatan kepada

perkumpulan-perkumpulan untuk membuka sekolah swasta baru bagi

kaum minoritas, misalnya kepada perkumpulan Chung Hua Chiao Thung

diizinkan membuka sekolah bagi penampungan anak-anak keturunan

Tionghoa.

Sistem pendidikan di zaman pendudukan Jepang tidak jauh

berbeda dan mirip dengan sistem pendidikan setelah kemerdekaan. Hal-

32

hal yang membedakannya hanya pada nama sekolah, sedangkan jenis

sekolah kejuruan, apalagi perguruan tinggi sangat terbatas. Agar terdapat

keseragaman dalam pengertian dan maksud-maksud pemerintah Jepang,

guru-guru diadakan latihan-latihan di Jakarta. Setiap Kabupaten atau

daerah mengirimkan beberapa guru untuk dilatih. Pada bulan Juni 1942

dilakukan pelatihan yang pertama. Mata pelajaran yang diberikan kepada

mereka antara lain, yaitu: indoktrinasi mental ideologi mengenai Hakko I

Chiu dalam rangka kemakmuran bersama di Asia Timur Raya, bahasa dan

adat istiadat Jepang, nyanyian dan lagu-lagu Jepang, olahraga, pendidikan

tentang dasar-dasar pertahanan dan ilmu bumi yang ditinjau dari segi

geopolitis. Setelah selesai mengikuti pelatihan, mereka dikembalikan ke

daerah masing-masing kemudian melatih guru-guru lainnya mengenai

hal-hal yang mereka peroleh di Jakarta.17

C. Pendidikan Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia

Segera setelah kemerdekaan, para pemimpin Indonesia menjadikan

pendidikan sebagai hak setiap warga negara, mencerdaskan kehidupan bangsa

menjadi tujuan nasional. Dicanangkanlah bahwa dalam 10 tahun ke depan pada

waktu itu seluruh anak Indonesia harus bisa menikmati sekolah. Oleh karena itu

dilakukan berbagai pembenahan seperti penambahan jumlah pengajar,

pembangunan gedung sekolah, dan sebagainya. Pemerintah juga membagi

tingkatan pendidikan seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah

Menengah Atas, dan Perguruan Tinggi. Pada awal kemerdekaan, pembelajaran di

17 Sasongko Muliyo, Op Cit, halaman 91-94.

33

sekolah-sekolah lebih ditekankan pada semangat nasionalisme dan membela tanah

air.

Masa awal kemerdekaan berkisar pada tahun 1945 – 1965. Tahun 1945

adalah puncak pergerakan revolusi kemerdekaan Indonesia, yang telah

mengantarkan Indonesia untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia,

berdaulat, adil, dan makmur. Tujuan pemerintahan negara Indonesia tertulis dalam

pembukaan UUD Negara RI 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Tujuan pemerintahan negara Indonesia tersurat dalam pembukaan UUD

Negara RI 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dengan rumusan kalimat “mencerdaskan

kehidupan bangsa”, para pendiri negara menyadari pendidikan bagi kehidupan

suatu bangsa mempunyai peranan yang penting untuk menjamin perkembangan

dan kelangsungan kehidupan bangsa.

Perkembangan pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan

memberikan gambaran yang penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha

penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik yang

telah berjasa dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran. Dalam kongres

34

pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut membentuk panitia

perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk

membentuk sebuah sistem pendidikan yang berlandaskan pada ideologi Bangsa

Indonesia sendiri.

Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa

dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek

pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan

kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat.

Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi

menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai “pangreh praja”.

Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak

pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak

dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi

kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni,

menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam

mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan

pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang

berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan.

Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi.

Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun

juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan

pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.

35

Pada masa peralihan antara tahun 1945-1950 bangsa Indonesia merasakan

barbagai kesulitan baik di bidang sosial ekonomi, politik maupun kebudayaan,

termasuk pendidikan. Pada zaman penjajahan, kesempatan memperolah

pendidikan bagi anak-anak Indonesia sanagat terbatas. Dari sejumlah anak-anak

usia sekolah hanya beberapa persen saja yang sempat menikati sekolah, sehingga

sisanya lebih dari 90% penduduk Indonesia masih buta huruf. Keadaan seperti

sudah tentu menjadi beban yang berat sekali bagi pemerintah untuk segara dapat

mengatasinya. Sementara itu anatara tahun 1945-1950 telah beberapa kali terjadi

pergantian menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, yaitu:

1. Ki Hajar Dewantoro: 19 Agustus 1945 - 14 Nopember 1945

2. Mr. Dr. TGSG. Mulia: 14 Nopember 1945 - 12 Maret 1946

3. Moh. Syafe’i: 12 Maret 1946 - 2 Okober 1946

4. Mr. Suwandi: 2 Oktober 1946 – 27 Jubi 1947

5. Mr. Ali Sastroamidjojo: 3 Juli 1947 - 4 agustus 1949

6. S. Mangunsakoro: 4 Agustus 1949 - 6 Sepetember 1950

Dengan singkatnya para menteri tersebut bertugas maka usaha-usaha

untuk mengadakan perubahan atau perbaikan tidaklah dapat dirasakan tetapi

bebarapa usahanya yang diketuai adalah pembukaaan Sekolah Guru A, Sekolah

Guru B, dan Sekolah Guru C yang masing-masing lama pendidikannya 6 tahun, 4

tahun dan 2 tahun sejak tamat sekolah rendah.

Menteri Suwandi dengan keputusan No. 104/Bhg-0/1946 tanggal 1 Maret

1946 telah membentuk suatu panitia penyelidik pengajaran yang dipimpin oleh Ki

36

Hadjar Dewantara dan sekretarisnya Soegarda Purbakawatja yang bermaksud

untuk mengatur-mengatur sekolah. Panitia ini selanjutnya menyelenggarakan

pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat yang akhirnya telah menghasilkan

pengaturan pendidikan dan pengajaran mulai dari pendidikan untuk anak desa

sampai kota dan pendidikan umum kejuruan. Tugas yang diembankan kepada

panitia ini adalah :

1. Merencanakan susunan baru dari tiap-tiap macam sekolah

2. Menetapkan bahan-bahan pengajaran dengan menimbangkan

keperluan yang praktis dan jangan terlalu berat.

3. Menyiapkan rencana-renacana pelajaran untuk tiap-tiap sekolah

Tujuan pendidikan pada waktu itu dirumuskan untuk mendidik warga

negara yang sejati, sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan

masyarakat. Dengan kata lain tujuan pendidikan pada masa itu penekanannya

pada penanaman semanagat patriotisme. Penanaman semangat patriotisme sebagai

tujuan pendidikan memang sesuai dengan situasi pada waktu itu. Negara dan

bangsa Indonesia sedang mengalami perjuangan fisik dan sewaktu-waktu

pemerintah kolonial Belanda masih berusaha untuk menjajah kembali negara

Indonesia. Maka dengan semangat itu, kemerdekaan dapat di pertahankan dan

diisi.18

18 Somarsono Moestoko, Sejarah Pendidikan dari jaman ke jaman,

(Jakarta: Balai pustaka, 1986). Hal 148