25
13 BAB II PROFIL OPTIMISME MAHASISWA A. Hakikat Optimisme 1. Definisi Optimisme Optimisme menurut KBBI Kemendikbud [op.ti.mis.me] kata Nomina (kata benda) merujuk pada paham (keyakinan) atas segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan; sikap selalu mempunyai harapan baik dalam segala hal. Sedangkan menurut kamus Thesaurus Merriam Webster adalah kecenderungan untuk yakin pada hasil yang paling menguntungkan. Orang yang memiliki sikap optimisme di sebut optimis yang di artikan orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal. Optimisme menurut ahli di definisikan sebagai ekpektasi individu terhadap masa depan Synder.et al. (2002). Oleh karna nya optimisme adalah harapan dimana berharap dalam situasi tertentu dan secara umum berupa harapan pada segala sesuatu yang positif. Individu yang optimis adalah individu yang mengharapkan hal-hal baik terjadi padanya di masa depan, sedangkan individu yang pesimis cenderung berpikir hal-hal buruk yang terjadi padanya oleh Charles dalam (Chang, Edward, 2001). Dari konsep optimisme yang di bahas di atas dapat melihat kemungkinan individu yang mengalami optimis atau pesimis. Ketika di hadapkan pada hambatan individu yang optimis akan berusaha menyesuaikan segala sesuatu untuk mencapai tujuan nya. sedangkan individu yang pesimis akan senantiasa ragu dalam mencapai tujuan nya tersebut. Rasa optimis yang muncul dari dalam diri seseorang ditunjukkan dengan adanya sikap selalu memiliki harapan baik dalam segala hal serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang menyenangkan. Penjelasan yang lebih luas mengenai optimisme (Seligman. 2006) optimis adalah manusia yang terus menerus mempunyai harapan memiliki pandangan/pengetahuan kebaikan beruntung dalam menghadapi suatu peristiwa di dalam hidupnya, meyakini bahwa di dalam keadaan tidak menang hanya menjadi buruk semata. Mereka juga meyakini bahwa didalam keadaan tidak menang Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020 - - - - www.lib.umtas.ac.id

BAB II PROFIL OPTIMISME MAHASISWA A. Hakikat …

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

13

BAB II

PROFIL OPTIMISME MAHASISWA

A. Hakikat Optimisme

1. Definisi Optimisme

Optimisme menurut KBBI Kemendikbud [op.ti.mis.me] kata Nomina (kata

benda) merujuk pada paham (keyakinan) atas segala sesuatu dari segi yang baik

dan menyenangkan; sikap selalu mempunyai harapan baik dalam segala hal.

Sedangkan menurut kamus Thesaurus Merriam Webster adalah kecenderungan

untuk yakin pada hasil yang paling menguntungkan. Orang yang memiliki sikap

optimisme di sebut optimis yang di artikan orang yang selalu berpengharapan

(berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal.

Optimisme menurut ahli di definisikan sebagai ekpektasi individu terhadap

masa depan Synder.et al. (2002). Oleh karna nya optimisme adalah harapan

dimana berharap dalam situasi tertentu dan secara umum berupa harapan pada

segala sesuatu yang positif. Individu yang optimis adalah individu yang

mengharapkan hal-hal baik terjadi padanya di masa depan, sedangkan individu

yang pesimis cenderung berpikir hal-hal buruk yang terjadi padanya oleh Charles

dalam (Chang, Edward, 2001).

Dari konsep optimisme yang di bahas di atas dapat melihat kemungkinan

individu yang mengalami optimis atau pesimis. Ketika di hadapkan pada

hambatan individu yang optimis akan berusaha menyesuaikan segala sesuatu

untuk mencapai tujuan nya. sedangkan individu yang pesimis akan senantiasa

ragu dalam mencapai tujuan nya tersebut. Rasa optimis yang muncul dari dalam

diri seseorang ditunjukkan dengan adanya sikap selalu memiliki harapan baik

dalam segala hal serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang

menyenangkan.

Penjelasan yang lebih luas mengenai optimisme (Seligman. 2006) optimis

adalah manusia yang terus menerus mempunyai harapan memiliki

pandangan/pengetahuan kebaikan beruntung dalam menghadapi suatu peristiwa di

dalam hidupnya, meyakini bahwa di dalam keadaan tidak menang hanya menjadi

buruk semata. Mereka juga meyakini bahwa didalam keadaan tidak menang

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

14

sebenarnya tidak disebabkan kesalahan nya melainkan suasana atau situasi yang

terjadi, kemalangan nasib atau orang lain bukan diri sendiri yang menjadikan nya

penyebab. Selain itu mereka juga tidak terkena pengaruh oleh keadaan tidak

menang, pada saat berbeda dalam peristiwa kemalangan, mereka meramalkan

menjadi hal atau objek yang menggugah tekad untuk meningkatkan kemampuan

mengatasi masalah dan melakukan sesuatu usaha lebih gigih lagi sungguh-

sungguh.

Seligman. (2006) optimisme adalah yang di pakai untuk mencapai maksud

menolong seseorang memperoleh/mendapat sesuatu dengan usaha yang

dituju/dimaksud yang sudah ditentukan untuk diri dari yang bersangkutan.

Adapun upaya untuk memunculkan optimisme dalam diri individu di kenal

dengan explanatory style/gaya penjelasan. Gaya penjelasan adalah jalan

melakukan sesuatu dimana seseorang sudah biasa menerangkan terhadap diri dari

yang bersangkutan tentang sebab alasan pada suatu kejadian yang telah terjadi

Seligman. (2006). Kebiasaan berpikir tersebut sudah di pelajari oleh individu

semenjak masa kanak-kanak dan remaja.

Cara kebiasaan individu dalam menjelasakan kejadian-kejadian buruk, gaya

penjelasan individu, lebih dari sekedar kata-kata yang keluar dari mulutnya saat

individu gagal. Itu merupakan suatu kebiasaan dari pikiran, dipelajari saat masa

kanak-kanak dan remaja. Gaya penjelasan individu dirangkai langsung dari

pandangan nya terhadap posisinya di dunia ini-apakah individu berpikir dia

berharga dan dapat diterima, atau tidak berharga dan tak punya harapan. Itu

adalah suatu tanda apakah individu orang yang optimis atau bukan Seligman.

(2008).

Teori gaya eksplanasi juga menggunakan optimisme dan pesimisme

membangun berkaitan dengan bagaimana orang menghubungkan atau

menjelaskan penyebab kejadian pada diri mereka sendiri oleh Seligman (Boman

& Curtis D, 2003). Mereka yang memiliki gaya eksplanatoris simistik lebih

cenderung menggunakan permanen ('selalu terjadi seperti ini') dan meresap ('itu

mempengaruhi setiap-hal yang saya lakukan') dimensi atribusi kausal ketika

dihadapkan dengan kesulitan, kemunduran, atau keadaan stres. Individu dengan

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

15

gaya penjelas yang optimis lebih cenderung untuk memahami set-kembali sebagai

hanya sementara dan terbatas pada insiden tunggal.

Dari penjelasan ketiga konsep mengenai optimisme tersebut, adapun dalam

penelitian ini, konsep optimisme adalah kecenderungan seseorang dalam

meyakini atau harapan akan hasil baik dalam mencapai tujuan nya yang kemudian

mendorongnya untuk memberikan penjelasan positif akan berbagai peristiwa.

2. Sejarah Perkembangan Kajian Optimisme

Teori mengenai optimisme beranjak dari teori pengendalian diri yang

memperkenalkan dua konsep utama pertama learned hopelessness/pembelajaran

ketidakberdayaan dan explanatory style/gaya penjelasan keduanya saling

berhubungan Seligman. (2008:19). Pembelajaran ketidakberdayaan hingga gaya

penjelasan yang muncul pertama kali dijelaskan oleh psychologist yang

mempelajari pembelajaran hewan Seligman (Synder.et al .2002). Peneliti

melumpuhkan seekor anjing dan memaparkannya pada serangkaian kejutan listrik

yang bisa dihindari atau dihindarkan. Dua puluh empat jam kemudian, anjing itu

ditempatkan dalam situasi di mana sengatan listrik dapat diakhiri dengan respons

sederhana. Namun, anjing itu tidak merespons, dan hanya duduk, dengan pasif

menahan goncangan. Perilaku ini sangat kontras dengan anjing dalam kelompok

kontrol, yang bereaksi keras terhadap guncangan dan dengan mudah belajar

mematikannya. Penyelidik ini mengusulkan bahwa anjing telah belajar untuk

menjadi tidak berdaya: Ketika awalnya terkena kejutan yang tidak terkendali, ia

belajar bahwa tidak ada yang penting bagi mereka Maier & Seligman (Synder.et

al .2002).

Keterkaitan dengan manusia baru di pelajari mengenai ketidakberdayaan

manusia dimana diproduksi di laboratorium sama seperti pada hewan, dengan

memaparkan mereka pada peristiwa yang tak terkendali dan mengamati efeknya.

Masalah yang tidak dapat diselesaikan biasanya diganti dengan kejutan listrik

yang tidak dapat dikendalikan, tetapi aspek-aspek kritis dari fenomena tersebut

tetap ada: Mengikuti ketidakcocokan-keteraturan, orang menunjukkan berbagai

defisit Mikulincer (Synder.et al .2002). Adapun kesamaan lebih lanjut antara

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

16

fenomena hewan dan apa yang diproduksi di laboratorium manusia. Peristiwa

buruk yang tak terkendali membuat kecemasan dan depresi lebih mungkin terjadi

Secara umum, orang berbeda dari hewan dalam kecanggihan kita dalam memberi

makna pada peristiwa. Seperti ditangkap oleh model ketidakberdayaan yang

dipelajari, hewan tentu saja dapat belajar bahwa mereka memiliki atau tidak

memiliki kendali atas peristiwa. Tetapi orang-orang melakukan jauh lebih banyak

sehubungan dengan pembuatan makna. Orang-orang dapat menafsirkan peristiwa

dengan cara yang jauh melampaui kendali literal mereka Synder,et al. (2002).

Temuan teori ketidakberdayaaan yang telah di sampaikan di rumuskan

kembali dalam upaya menyelesaikan permasalahan-permasalahan Synder,et al.

(2002) merumuskan kembali model ketidakberdayaan yang diterapkan pada

orang-orang dengan menggabungkannya dengan teori atribusi Kelley (Synder,et

al. 2002) menjelaskan temuan yang bertentangan dengan mengusulkan bahwa

orang bertanya pada diri sendiri mengapa peristiwa (buruk) yang tak terkendali

terjadi. Sifat jawaban orang tersebut kemudian menetapkan parameter untuk

ketidakberdayaan berikutnya. Jika atribusi kausal stabil ("itu akan bertahan

selamanya"), maka ketidakberdayaan yang diinduksi adalah tahan lama; jika tidak

stabil, maka bersifat sementara. Jika atribusi kausal bersifat global ("itu akan

merusak segalanya"), maka ketidakberdayaan berikutnya termanifestasi dalam

berbagai situasi; jika khusus, maka itu juga dibatasi. Akhirnya, jika atribusi kausal

adalah internal ("itu semua salahku"), harga diri seseorang turun setelah tidak

terkendali; jika eksternal, harga diri dibiarkan utuh.

Situasi itu sendiri memberikan penjelasan yang dibuat oleh orang tersebut,

dan literatur psikologi sosial yang luas tentang perhatian kausal

mendokumentasikan banyak pengaruh situasional pada prosesnya (Synder,et al

.2002). Dalam kasus lain, orang tersebut bergantung pada cara kebiasaannya

untuk memahami peristiwa yang terjadi, apa yang disebut gaya

penjelas seseorang . Orang-orang cenderung menawarkan penjelasan serupa untuk

peristiwa buruk atau baik yang berbeda. Oleh karena itu, gaya penjelasan

merupakan pengaruh distal, walaupun penting, pada ketidakberdayaan dan

kegagalan adaptasi yang melibatkan ketidakberdayaan. Gaya penjelasan yang

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

17

ditandai dengan penjelasan internal, stabil, dan global untuk peristiwa buruk telah

digambarkan sebagai pesimistis , dan gaya yang berlawanan, ditandai dengan

penjelasan eksternal, tidak berubah, dan spesifik untuk peristiwa buruk, telah

digambarkan sebagai optimis oleh Buchanan (Synder,et al .2002).

Menurut reformulasi atribusi, gaya penjelasan bukan merupakan penyebab

masalah melainkan faktor risiko disposisi. Mengingat kejadian yang tidak dapat

dikendalikan dan kurangnya permintaan situasi yang jelas pada atribusi yang

disodorkan untuk tidak terkendali, gaya penjelasan harus memengaruhi

bagaimana orang tersebut merespons. Ketidakberdayaan akan cenderung tahan

lama atau sementara, menyebar luas atau terbatas, merusak harga diri atau tidak,

semua sesuai dengan gaya penjelas individu. Gaya penjelasan yang optimis

menghentikan ketidakberdayaan, sedangkan gaya penjelasan pesimis menyebar

luaskan ketidakberdayaan Seligman. (2008 : 19).

Selama bertahun-tahun, sejumlah besar penelitian dan teori telah memusatkan

perhatian pada cara-cara orang untuk menghadapi kesulitan di dalam kehidupan

sehari-hari. Sejumlah kesulitan penelitian tersebut menunjukan bahwa optimisme

memiliki implikasi bagi cara-cara orang menghadapi berbagai tekanan hidup.

kemungkinan di peroleh dari pertimbangan model teoritis mengenai behavior self-

regulation. Teori ini berasumsi bahwa harapan akan hasil yang sukses

menyebabkan orang memperbarui usaha mereka untuk mencapai tujuan jika dan

ketika terjadi gangguan pada aktifitas yang mengarah pada tujuannya.

Pendekatan ilmiah mengenai optimisme berdasarkan pada ekspektasi

terhadap masa yang akan datang Carver & Scheier, (2005). Teori optimisme

didasarkan pada teori motivasi mengenai expectancy-value Carver & Scheier,

(2009). Asumsi dasar dari teori expectancy-value adalah bahwa tingkah laku

diorganisir sesuai dengan pencapaian tujuan Carver & Scheier, (2005). Dua

elemen utamanya tujuan (goal) dan ekspektasi. Tujuan adalah tindakan atau nilai

yang individu liat sebagai sesuatu yang di inginkan (desirable) atau tidak di

inginkan (undesirable). Individu akan mencoba mencocokan perilaku,

mencocokan dengan diri mereka sendiri terhadap apa yang mereka inginkan, dan

mereka akan mencoba menghindari yang tidak mereka inginkan. Tanpa memiliki

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

18

suatu tujuan yang berarti, individu tidak memiliki alasan untuk bertindak Carver

& Scheier, (2005). Konsep utama lainnya adalah expectancies yaitu perasaan

percaya diri atau ragu-ragu mengenai kemampuan meraih tujuan. Ketika individu

ragu bahwa tujuan bisa di capai, usaha dalam mencapai tujuan tersebut dapat

menurun bahkan sebelum usaha itu dimulai Carver & Scheier, (2009).

3. Dimensi Optimisme

Berdasarkan literatur adapun dimensi optimisme yaitu : Permanen, Pervasif,

personal Seligman. (2008 : 59).

a. Permanensi, orang-orang yang menyerah dengan mudah mempercayai

penyebab-penyebab dari banyaknya kejadian buruk yang terjadi pada mereka.

Kejadian-kejadian buruk itu akan tetap berlangsung, akan selalu ada

mempengaruhi kehidupan mereka. Orang-orang yang melawan

ketidakberdayaan percaya bahwa penyebab-penyebab dari banyak kejadian

buruk hanya bersifat sementara.

Tabel 2.1

Gaya penjelasan optimisme dan pesimisme dalam mempercayai kejadian

buruk

(Seligman. 2008 : 60)

Permanensi (Pesimisme) Sementara (Optimisme)

“Saya tidak berguna” “Saya sangat lelah”

“Diet tidak akan pernah berhasil” “Diet tidak akan berguna jika anda

makan telalu banyak”

“Anda selalu marah” “Anda marah ketika saya tidak

memberikan ruangan ku”

“Atasanku brengsek” “Suasana hati atasanku sedang buruk”

“Anda tidak pernahbicara padaku” “Anda belum bicara padaku

belakangan ini”

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

19

Jika individu memikirkan hal-hal buruk dengan kata selalu dan tidak pernah

dan karakter tetap yang anda punya secara permanensi, individu punya gaya

pesimisme. Jika individu berpikir dengan kata kadang-kadang dan belakangan ini,

jika individu menggunakan sifat dan menyalahkan kejadian-kejadian buruk pada

kondisi-kondisi sementara, individu punya gaya optimisme.

Gaya optimis dari penjelasan kejadian-kejadian baik merupakan lawan dari

gaya optimis dari penjelasan kejadian-kejadian buruk. Orang-orang yang percaya

bahwa kejadian-kejadian baik mempunyai penyebab pemanensi bersifat lebih

optimis dari pada orang-orang yang percaya bahwa mereka mempunyai penyebab

yang sementara.

Tabel 2.2

Gaya penjelasan optimisme dan pesimisme dalam mempercayai kejadian

baik

(Seligman. 2008 : 62)

Sementara (pesimisme) Permanensi (optimisme)

“ini adalah hari keberuntunganku” “Saya selalu beruntung”

“Saya berusaha keras” “Saya berbakat”

“Lawanku kelelahan” “Lawanku tidak bagus”

b. Pervasivenes, Spesifik lawan Universal

Pemanensi berbicara tentang waktu. Pervasivenes berbicara tentang ruang.

Sebagian orang menyimpan permasalahan nya dengan rapih dalam sebuah

kotak dan menjalani kehidupan, sedangkan orang lain menderita atas segala

sesuatu. Mereka seperti tertimpa bencana besar. Jika satu hal dalam hidupnya

hancur, seluruh kehidupan nya kacau. Hal itu terjadi pada orang-orang yang

membuat penjelasan-penjelasan universal untuk kegagalan mereka dan

menyerah pada segala hal saat satu kegagalan menyerah pada satu daerah.

Orang yang membuat penjelasan-penjelasan yang spesifik yang mungkin

terjadi, kapan mereka menjadi orang yang tak berdaya di dalam hidup mereka

kapan mereka masih kuat pada bagian kehidupan yang lain.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

20

Tabel 2.3

Penjelasan universal dan spesifik dari kejadian-kejadian buruk

(Seligman. 2008 : 64)

Universal (Pesimis) Spesifik (Optimis)

“Semua guru itu tidak adil” “Profesor seligman itu tidak adil”

“Saya menjijikan” “Saya jijik padanya”

“Buku-buku tidaklah berguna” “Saya jijik padanya”

Ada tiga prediksi untuk mengetahui siapa yang menyerah dan siapa yang

tidak yang pertama adalah bahwa dimensi parmanensi menentukan berapa lama

seseorang akan menyerah. Penjelasan-penjelasan permanensi untuk kejadian-

kejadian buruk menciptakan ketidakberdayaan yang bertahan lama dan

penjelasan-penjelasan sementara menciptakan kegembiraan. Prediksi kedua

adalah tentang penyerapan. Penjelasan-penjelasan universal menciptakan

ketidakberdayaan pada berbagai situasi dan penjelasan-penjelasan yang spesifik

hanya menciptakan ketidakberdayaan pada daerah yang tertimpa masalah saja.

Gaya penjelasan optimism untuk kejadian-kejadian yang baik bertentangan

dengan gaya penjelasan optimis untu kejadian-kejadian buruk. Orang yang opimis

percaya bahwa kejadian-kejadian buruk memiliki penyebab-penyebab yang

spesifik, sedangkan kejadian-kejadian baik akan memperbaiki segala sesuatu yang

di kerjakan; orang pesimis percaya bahwa kejadian-kejadian buruk memiliki

penyebab-penyebab yang universal dan kejadian-kejadian baik di sebabkan oleh

faktor-faktor yang spesifik.

Tabel 2.4

Gaya penjelasan universal dan spesifik dari kejadian-kejadian baik

(Seligman. 2008 : 65)

Spesifik (pesimis) Universal (optimis)

“Saya pintar dalam matematika” “Saya pintar”

“Pialang sahamku mengetahui

persediaan minyak”

“Pialang sahamku mengetahui Wall

Street”

“Saya menarik baginya” “Saya menarik”

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

21

c. Personal, Internal Lawan Ekternal

Saat hal buruk terjadi, kita bisa menyalahkan diri kita sendiri (internal) atau

menyalahkan orang lain atau keadaan (eksternal). Orang-orang yang

menyalahkan dirinya sendiri saat mereka gagal membuat rasa penghargaan

terhadap diri mereka sendiri menjadi rendah. Mereka pikir mereka tidak

berguna, tidak mempunyai kemampuan, dan tidak di cintai. Orang-orang

yang menyalahkan kejadian-kejadian eksternal tidak kehilangan rasa

penghargaan terhadap dirinya sendiri saat kejadian-kejadian buruk menimpa

mereka.

Tabel 2.5

Gaya penjelasan internal dan eksternal dari kejadian buruk

(Seligman. 2008 : 68)

Internal ( penghargaan diri yang

rendah)

Eksternal (Penghargaan diri yang

tinggi)

“Saya bodoh” “Anda bodoh”

“Saya tidak mempunyai bakat bermain

poker”

“Saya tidak beruntung bermain poker”

“Saya tidak aman” “Saya tumbuh dalam kemiskinan”

Ketiga gaya penjelasan, personalisasi hal yang paling mudah di pahami, di

tiru serta, mudah untuk di tingkatkan. Personalisasi hanya mengengendalikan

bagaimana perasaanmu terhadap dirimu sendiri. hal itu bisa di praktekan untuk

membicarakan permasalahan individu dalam cara ekternal. Akan mudah di

lakukan dengan pura-pura menyalahkan permasalahan mu terhadap orang lain.

Dari uraian di atas dapat di ketahui mengenai tiga aspek utama optimisme

Individu meyakini bahwa permasalahan yang dia hadapi bersifat sementara,

individu memiliki perspektif khusus menanggapi suatu permasalahan yang di

anggap gagal dan tetap memaksimalakan hal-hal yang dapat di tingkatkan,

terakhir individu dapat mengidentifikasi permasalahhan nya muncul dari luar atau

dalam diri.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

22

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Optimisme

Peterson & Tracy. (2002) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi

optimisme.

a. Genetika

Gaya penjelasan dipengaruhi oleh genetika. Gen mungkin secara tidak langsung

bertanggung jawab atas kecocokan gaya penjelas di antara kembar

monozigot. Sebagai contoh, gen mempengaruhi atribut seperti kecerdasan dan

daya tarik fisik, yang pada gilirannya menyebabkan hasil yang lebih positif (dan

lebih sedikit negatif) di lingkungan, yang pada gilirannya dapat mendorong gaya

penjelasan yang lebih optimistik.

b. Orang tua

Para peneliti telah mengeksplorasi hubungan antara gaya penjelasan orang tua dan

anaknya. peneliti berasumsi bahwa gaya penjelasan anak-anak dapat dipengaruhi

oleh orang tua mereka melalui pemodelan sederhana. Anak-anak kemungkinan

besar meniru orang-orang yang mereka anggap kuat dan kompeten, dan

kebanyakan orang tua. Anak-anak terbiasa dengan cara di mana orang tua mereka

menafsirkan dunia, dan oleh karena itu mereka cenderung untuk menafsirkan

lingkungan mereka dengan cara yang sama. Jika, misalnya, anak-anak berulang

kali mendengar orang tua mereka memberikan penjelasan internal, stabil, dan

global untuk peristiwa negatif, mereka cenderung mengadopsi interpretasi

pesimistis ini untuk diri mereka sendiri.

c. Guru

Ketika guru memberikan umpan balik tentang kinerja anak-anak, komentar

mereka dapat memengaruhi atribusi anak-anak tentang keberhasilan dan

kegagalan mereka di kelas. Berdasarkan temuan Mueller (Peterson & Tracy.

2002) menunjukkan bahwa bahkan pujian dapat merugikan anak-anak ketika

difokuskan pada suatu sifat yang dianggap telah diperbaiki. Dalam penelitian

mereka, anak-anak yang dipuji karena kecerdasan mereka menunjukkan lebih

banyak karakteristik ketidakberdayaan dalam menanggapi kesulitan atau

kegagalan daripada anak-anak yang dipuji karena upaya mereka. Apakah

memberikan umpan balik positif atau negatif, penjelasan kebiasaan guru untuk

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

23

kinerja anak-anak dapat berpengaruh dan mungkin memiliki dampak penting pada

pengembangan gaya penjelas mereka Dweck (Peterson & Tracy. 2002).

d. Media

Bahkan ketika menonton televisi menghasilkan perasaan yang sangat positif,

ketidakberdayaan dapat terjadi ketika pemirsa belajar untuk mengharapkan hasil

yang tidak terkait dengan perilaku Hearn (Peterson & Tracy. 2002). Meskipun

orang-orang dari segala usia menonton televisi, kaum muda mungkin sangat

rentan terhadap pengaruhnya. Menurut sebuah penelitian baru-baru ini, anak-anak

di bawah usia 11 tahun menonton rata-rata 22 jam televisi per minggu Nielsen

(Peterson & Tracy. 2002). Menjadi perhatian khusus adalah paparan anak-anak

terhadap adegan kekerasan yang disiarkan televisi. Dari perspektif gaya penjelas,

masalah ini bukanlah kekerasan yang disiarkan televisi tetapi bagaimana

penyebabnya digambarkan.

e. Trauma

Trauma juga memengaruhi gaya penjelas anak-anak. Peterson & Tracy. (2002)

menemukan mahasiswa yang dilaporkan mengalami trauma yang signifikan

(misalnya, kematian orang tua, pemerkosaan, inses) di beberapa titik di masa kecil

atau remaja mereka saat ini memiliki gaya penjelas yang lebih pesimistis daripada

siswa yang tidak pernah mengalami trauma. Lebih khusus ditambahkan Gold

dalam Peterson & Tracy. (2002) menemukan bahwa wanita yang telah menjadi

korban seksual selama masa kanak-kanak dan remaja mereka lebih cenderung

memiliki gaya penjelas yang pesimistis daripada wanita yang tidak pernah

menjadi korban seksual. Selanjunya bahkan perceraian orang tua, yang umum

dalam masyarakat modern kita, menempatkan anak-anak pada risiko yang lebih

besar untuk mengembangkan gaya penjelas pesimistis Seligman dalam Peterson

& Tracy. (2002).

Adapun beberapa litelatur lain mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

optimisme sebagai berikut.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

24

a. Pengalaman

Pengalaman yang dapat turut memengaruhi individu tidak hanya pengalaman

pribadinya, melainkan juga pengalaman orang- orang di sekitar individu juga turut

memengaruhi individu Thomason & Thames, (2000).

b. Keyakinan Diri

Ketika seseorang memiliki keyakinan diri yang tinggi, mereka agaknya percaya

bahwa usaha yang mereka lakukan atau kemampuan diri yang mereka miliki akan

dapat menentukan hasil yang di dapatkan Scheier & Carver, (2003). Seseorang

yang pesimis dapat merubah menjadi optimis karena mereka percaya bahwa

mereka memiliki kemampuan atau talenta yang besar, karena mereka pekerja

keras, diberkahi keberuntungan, memiliki teman dimana saja mereka

membutuhkan atau kombinasi dari beberapa faktor lain yang membuat mereka

mendapatkan hasil yang baik Murpy dalam Scheier & Carver, (2003).

c. Self esteem

Scheier et al. (1994) menemukan bahwa individu dengan self esteem tinggi lebih

optimis dari pada individu dengan self esteem yang rendah.

d. Dukungan Sosial

Penelitian yang di lakukan oleh Marcelly (Hikmanurina, 2012) menemukan

bahwa adanya hubungan antara dukungan sosial dan optimisme pada penderita

penyakit kanker. Adapun dukungan sosial yang dimagsud disini dukungan sosial

keluarga.

5. Karakteristik Individu yang Memiliki Kemampuan Optimisme

Seligman. (2008 : 5) mengatakan bahwa orang yang optimis percaya bahwa

kegagalan hanyalah suatu kemunduran yang bersifat sementara dan penyebabnya

pun terbatas, mereka juga peraya bahwa hal tersebut muncul bukan diakibatkan

oleh faktor dari dalam dirinya, melainkan diakibatkan oleh faktor luar. Adapun

karakteristik individu memiliki optimisme :

a. Seseorang yang memiliki optimisme tinggi memandang kemunduran dalam

hidup sebagai suatu garis datar sementara dalam sebuah grafik. Memiliki

pemikiran terbuka bahwa masa-masa sulit tidak berlangsung dalam waktu

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

25

yang lama, namun hanya bersifat sementara dan memiliki keyakinan bahwa

situasi pasti akan kembali membaik. Pada dasarnya memandang kesulitan

dalam suatu proses sebagai kesuksesan yang tertunda, bukan sebagai

kekalahan yang bersifat menetap.

b. Seseorang yang memiliki optimisme tinggi cenderung memandang suatu

kemalangan dalam hidup sebagai masalah yang situasional dan spesifik,

bukan sebagai wujud petaka yang tidak dapat ditolak dan akan berlangsung

dalam waktu lama.

c. Seseorang yang memiliki optimisme tinggi tidak akan beranggapan bahwa

suatu kesalahan diakibatkan oleh dirinya sendiri.

6. Manfaat Optimisme

Seligman. (2008:20) mengemukakan optimisme bukanlah suatu panacea

(tumbuhan obat), tapi optimisme dapat melindungi dari depresi, meningkatkan

pencapaian seseorang, dan dapat memperbaiki kesehatan fisik. Selain itu optimis

dalam jangka panjang juga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kesehatan fisik dan

mental, karena membuat individu lebih dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan

sosial, mengurangi masalah-masalah psikologis dan lebih dapat menikmati

kepuasan hidup serta merasa bahagia Scheier. et al (Kusuma, 2018). Hal tersebut

ditambahkan Segerstrom. et al, (1998) berdasarkan risetnya menemukan tiga

fungsi utama optimisme :

a. Mood, optimisme dapat mengurangi mood negative yang dapat merubah imun

ketika stress.

b. Coping, dispositional optimism dapat menghindari penggunaan coping

menghindar, pasif, dan menyerah, yang berhubungan dengan memberikannya

status imun dan kesehatan.

c. Perilaku sehat, optimisme dapat meningkatkan fungsi adaptif pada perilaku

sehat.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

26

Dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan dimana optimisme

memberikan dampak dan manfaat yang baik dalam diri seperti kesejahteraan fisik

dan mental, hal tersebut akan mengurangi beban psikologi yang sedang dihadapi

yang menyebabkan kebahagiaan tersendiri pada diri.

7. Pengukuran Optimisme

Life Orientation Test (LOT) Scheier & Carver, (1985) dan versi revisi (LOT-

R) untuk mengukur optimisme disposisi Scheier, et al. (1994). Pengukuran yang

disebut Life Orientation Test, atau LOT, untuk menilai perbedaan antara orang

dalam optimisme dan pesimisme (Synder,et al .2002). Pengembangan pengukuran

sekarang menggunakan formulir yang lebih singkat (enam item berkode), disebut

Life Orientation Test-Revised, atau LOT-R oleh (Scheier,et al. 1994). LOT-R

memiliki konsistensi internal yang baik dan relatif stabil seiring berjalannya

waktu. Karena item yang luas tumpang tindih antara skala asli dan skala revisi,

korelasi antara dua skala sangat tinggi (Scheier, et al. 1994). Baik LOT dan LOT-

R menyediakan distribusi skor secara terus menerus.

Gaya penjelasan biasanya diukur dengan kuesioner laporan diri yang disebut

AQS (Attribu-tional Style Questionnaire). Dalam ASQ, responden disajikan

dengan peristiwa hipotetis yang melibatkan diri mereka sendiri dan kemudian

diminta untuk memberikan "satu penyebab utama" dari setiap peristiwa jika itu

terjadi oleh Peterson. et al dalam (Synder,et al .2002). Re-spondents kemudian

menilai penyebab yang disediakan ini di sepanjang dimensi internalitas, stabilitas,

dan globalitas. Peringkat digabungkan, memisahkan mereka untuk acara buruk

dan untuk acara bagus. Gaya penjelasan berdasarkan kejadian buruk biasanya

memiliki korelasi yang lebih kuat daripada gaya penjelasan berdasarkan kejadian

bagus, meskipun korelasi biasanya berlawanan arah.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

27

B. Optimisme di Kalangan Mahasiswa Tingkat Akhir

Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu

ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk

perguruan tinggi yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut

dan universitas Hartaji, (2012:5). Seorang mahasiswa dalam perguruan tinggi

dituntut untuk segera mungkin menyelesaikan masa studinya. Pada umumnya di

akhir masa studi, seorang mahasiswa di beri tugas akhir atau di sebut skripsi.

Mahasiswa tingkat akhir adalah mahasiswa yang sedang dalam proses

mengerjakan tugas akhir atau skripsi. Pada jenjang ini mahasiswa di tuntut harus

memiliki cara pandang yang baik, jiwa, kepribadian serta mental yang sehat dan

kuat. Hal ini sejalan dengan penelitian Kholidah, (2012:67) yang menyatakan

bahwa selayaknya pula seorang mahasiswa mampu menguasai permasalahan

sesulit apapun, mempunyai cara berpikir positif terhadap dirinya, orang lain,

mampu mengatasi hambatan maupun tantangan yang di hadapi dan tentunya

pantang menyerah pada keadaan yang ada.

Ragam fenomena yang muncul dikalangang mahasiswa tingkat akhir seperti

seperti malas, motivasi rendah, mudah menyerah dan putus asa, sulit bertemu

dengan dosen pembimbing, feed back yang kurang, tekanan dari keluarga,

kesulitan mencari referensi, mengembangkan teori, perbedaan persepsi antar

pembimbing, masalah kesehatan, stress, depresi, dan prokrastinasi. Kendala-

kendala dalam menyusun skripsi membuat mahasiswa memandang skripsi sebagai

hal yang berat dilakukan dan tidak menyenangkan.

Penelitian Lay, (1992:483) menjelaskan bahwa individu dengan optimisme

rendah merupakan salah satu ciri dari prokrastinator. Hal tersebut disebabkan

individu optimisme rendah lebih ragu-ragu terhadap masa depan dan cenderung

melakukan prokrastinasi seperti perilaku menghindar, menyangkal, dan melarikan

diri. Oleh karnanya individu yang memiliki optimisme tinggi menganggap

penunda-nundaan sebagai suatu penyimpangan yang dapat diatasi dengan mudah

melalui perubahan perilaku, pemikiran (kognitif), dan motivasi Prawitasari,

(2012). Pendapat lain dalam penelitian Ningrum, (2011) mengemukakan bahwa

mahasiswa yang optimisme dalam menyusun skripsi akan menghentikan segala

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

28

pemikiran negatif dan yakin dengan kemampuan yang dimiliki untuk dapat

menyelesaikan skripsi.

Mahasiswa berada pada fase memasuki masa dewasa yang pada umumnya

berada pada rentang usia 18-25 tahun, pada masa tersebut mahasiswa memiliki

tanggung jawab terhadap masa perkembangannya, termasuk tanggung jawab

terhadap kehidupannya untuk memasuki masa dewasa Hulukati & Moh. Rizki,

(2018:1). Senada degan pendapat ahli Hurlock, (2012:246) menetapkan usia

dewasa dini di mulai pada umu 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Dalam

psikologi perkembangan usia tersebut merupakan masa peralihan, yaitu individu

berada di masa perkembangan remaja akhir dan menuju tahapan berikutnya masa

perkembangan dewasa awal.

Pada tahap dewasa dini, individu mulai membentuk kemandirian dalam hal

personal dan ekonomi. Melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi atau

akademi, mengembangkan karir, serta membentuk hubungan sosial secara

kelompok maupun yang mengarah pada perkawinan adalah tugas perkembangan

yang menonjol pada tahap ini.

Menurut Keating dalam (Hendriati,2009) individu pada masa ini kemampuan

berpikirnya telah memiliki kemampuan yang lebih baik dari anak dalam berfikir

mengenai situasi secara hipotetis, memikirkan sesuatu yang belum terjadi tetapi

akan terjadi. Sejalan dengan pendapat Clarke. (1987) mengemukakan bahwa

perubahan kognitif yang terjadi pada mahasiswa yaitu emosional dari orang tua

dalam rangka menjalankan peran sosialnya yang baru sebagai orang dewasa.

Sebagaimana mengacu dari tugas perkembangan mahasiswa termasuk dalam

kategori otonom, yakni memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan,

cenderung bersifat realistic dan objectif terhadap kemauan orang lain, ada

keberanian untuk menyelesaikan konflik internal, respek terhadap kemandirian

orang lain, dll.

Karakteristik individu yang memiliki optimisme menurut Zimbardo & Boyd

(Peterson, 2004:577) dalam penelitian nya menunjukan orang yang tinggi dalam

karakter ini semua kegiatan yang dilakukan menyiratkan orientasi ke masa depan.

Selain itu ketika mengalami kegagalan cenderung menyikapinya dengan respon

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

29

yang aktif, tidak putus asa, merencanakan suatu tindakan atau mencari

pertolongan dan nasihat, orang yang optimis akan menganggap kegagalan

disebabkan oleh sesuatu hal yang dapat dirubah sehingga mereka dapat berhasil

dimasa-masa yang akan datang Seligman (Kurniawan, et al. 2014).

Penelitian Singh & Ajeya, (2013:228) yang menyimpulkan bahwa

meningkatkan optimisme di kalangan mahasiswa dapat membantu mereka dalam

mengurangi kecemasan dengan demikian meningkatkan kinerja akademis mereka,

karena optimisme adalah hipotesis untuk mengurangi kecemasan dan

meningkatkan prestasi akademik.

C. Optimisme dalam Perspektif Bimbingan dan Konseling

Pelayanan Bimbingan dan konseling (Bk) di perguruan tinggi negeri sangat di

butuhkan hal ini melihat dari banyaknya problema yang di hadapi oleh mahasiswa

dalam perkembangan studinya, dimana belajar di perguruan tinggi memiliki

karakteristik yang berbeda dengan belajar di sekolah lanjutan. Karakteristik dari

studi di peguruan tinggi adalah kemandirian, baik dalam pelaksanaan kegiatan

belajar dan pemilihan program studi maupun dalam pegelolaan dirinya sebagai

mahasiswa. Hal ini sependapat dengan Nurihsan dalam (Zamroni, 2018) bahwa

penerapan konseling pada perguruan tinggi hendaknya menyadari dan

mempertimbangkan karakteristik khusus perkembangan mahasiswa dan tuntutan

akademik yang menekankan pada kemandirian dalam mengerjakan berbagai tugas

perkuliahan.

Selain itu dalam menentukan sasaran layanan bimbingan dan konseling agar

tepat guna dalam pelaksanaan nya, maka layanan bimbingan dan konseling perlu

dilaksanakan secara terencana dan berbasis pada data serta karakterisktik

kebutuhan konseli. Sebagaimana yang terdapat pada Permendikbud nomber 111

tahun 2014 Pasal 1, menjelaskan mengenai bimbingan dan konseling adalah

upaya sistemastis, objektif, logis, dan berkelanjutan secara terprogram yang

dilakukan oleh konselor dan guru bimbingan dan konseling untuk memfasilitasi

perkembangan peserta didik/konseli untuk mencapai kemandirian dalam

kehidupannya.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

30

Mahasiswa berada pada fase memasuki masa dewasa yang pada umumnya

berada pada rentang usia 18-25 tahun, pada masa tersebut mahasiswa memiliki

tanggung jawab terhadap masa perkembangannya, termasuk tanggung jawab

terhadap kehidupannya untuk memasuki masa dewasa Hulukati & Moh. Rizki,

(2018:1). Sebagaimana mengacu dari tugas perkembangan mahasiswa termasuk

dalam kategori otonom, yakni memiliki pandangan hidup sebagai suatu

keseluruhan, cenderung bersifat realistic dan objectif terhadap kemauan orang

lain, ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal, respek terhadap

kemandirian orang lain, dll. Individu pada masa ini kemampuan berpikirnya telah

memiliki kemampuan yang lebih baik dari anak dalam berfikir mengenai situasi

secara hipotetis, memikirkan sesuatu yang belum terjadi tetapi akan terjadi

Keating dalam (Hendriati, 2009). Oleh karnanya perlu ada pengembangan berupa

pola keyakinan positif guna pada mahasiswa tingkat akhir yang sedang

menyelesaikan skripsi salah satunya dengan memiliki optimisme.

Di lihat dari sudut pandang beberapa ahli mengenai optimisme. Menurut

pendapat Scheier, et al. (1985) berpendapat optimisme sikap harapan akan adanya

kemunculan hasil yang baik dalam kehidupan. Oleh karna nya optimisme

mempercayai bahwa kejadian di masa depan akan memiliki hasil yang positif.

konsep lebih luas mengenai optimisme menurut Seligman (2006) Optimisme

dapat dilihat dari kebiasaan explanatory style atau gaya penjelasan berdasarkan

kejadian atau pengalaman yang dialami. Pengalaman yang di alami terbentuk dari

cara menerangkan kepada dirinya sendiri tentang alasan mengapa peristiwa itu

terjadi. Dapat di maknai optimisme sebagai cara seseorang yang sudah terbiasa

menerangkan terhadap diri tentang sebab atau alasan pada suatu peristiwa yang

terjadi. Peristiwa yang dimagsud bisa bersifat baik ataupun buruk.

Optimisme dalam diri individu dapat di pelajari atau di kembangkan dengan

tujuan mampu memiliki konsep diri lebih positif dan menumbuhkan potensi yang

dimiliki. Awal munculnya perubahan pada individu berfokus pada pikiran. Oleh

karna itu perlu adanya upaya merestruktur kongnitif untuk memperbaiki proses

berpikir dalam individu guna menjadi jalan munculnya optimis dalam

menginterpretasikan suatu situasi. Reskruktur kongnitif menggunakan teknik

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

31

perubahan keyakinan irrasional menjadi keyakinan rasional berdasarkan teori Ellis

(Seligman, 2006) yang menyatakan bahwa keyakinan akan mempengaruhi

perasaan dan perasaan mempengaruhi perilaku seseorang yang akan menghasilkan

konsekuensi tertentu.

Explanatory style atau gaya penjelasan merupakan inti dari berpikir optimis,

sehingga perubahan Explanatory style dilakukan dengan memberikan latihan

berpikir optimis model ABCDE. Berpikir optimis Seligman, (2006) adalah cara

pandang individu yang memiliki harapan bahwa peristiwa buruk yang terjadi

dalam kehidupan bersifat sementara dan meyakini kemampuannya untuk

mengatasi.

Model ABCDE adalah cara yang dilakukan untuk meningkatkan optimisme

yang dikembangakan dari model ABCDE, yang sebelumnya telah dikembangkan

oleh Albert Ellis dan Aaron Back (Seligman, 2006). Model ABCDE yang di

magsud sebagai berikut.

a. Pada tahap adversity, konseli mengungkapkan secara spesifik kesulitan yang

dialaminya. Pada tahap ini konselor membantu konseli mengungkapkan

kesulitan yang dialaminya.

b. Pada tahap belief, konselor membantu konseli dalam memahami keyakinan,

pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap kegagalan yang di

alaminya. Keyakinan seseorang terhadap sebuah peristiwa terbagi menjadi

dua, yakni keyakinan yang rasional (rational belief)dan keyakinan yang tidak

rasional (irrasional belief). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir

atau sistem keyakinan yang tepat, masuk akal, dan bijaksana. Sedangkan

Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan atau sistem berpikir

seseorang yang salah.

c. Pada tahap consequences, konselor membantu konseli mengidentifikasi

keyakinan dengan membuat daftar semua emosi yang dialami dan reaksi yang

muncul karena belief yang diyakini oleh konseli.

d. Pada tahap dispute, konselor membantu konseli mengidentifikasi

ketidaktepatan keyakinan yang dimiliki oleh konseli dan mengidentifikasi

keyakinan yang lebih rasional atau lebih optimis mengenai kesulitan yang

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

32

dialami, kemudian memasukan alternatif keyakinan tersebut ke perspektif

kepercayaan.

e. Pada tahap energy, konselor membantu konseli mengidentifikasi apa yang

terjadi dengan suasana hati konseli, mengidentifikasi bagaimana perubahan

perilaku pada konseli, dan mengidentifikasi solusi baru yang muncul.

Gambaran proses berpikir optimis dimulai ketika konseli mengalami suatu

peristiwa (A) maka akan timbul pertanyaan mengapa peristiwa itu terjadi, saat

itulah kedua dimensi keyakinan (B), bekerja dan menghasilkan emosi atau

tindakan (C). teknik utamanya dengan belajar menggunakan sanggahan (D), yang

di awali dengan melihat rangkaian ABC yang menyatakan bahwa emosi dan

tindakan (C), muncul dari keyakinan (B) tentang kesulitan (A) yang menimpa.

Ketika dilakukan perubahan tanggapan berupa sanggahan (D) terhadap kesulitan

(A) maka dapat mengatasi kemunduran yang terjadi.

Secara umum , model ABCDE Seligman merupakan usaha yang dilakukan

dengan terencana dan dapat diselenggarakan dalam waktu singkat secara

sistematis guna mempelajari langkah atau strategi untuk mendapatkan pemikiran,

keyakinan serta harapan bahwa peristiwa buruk yang terjadi dalam kehidupan

hanya bersifat sementara dan meyakini kemampuannya untuk mengatasi

kesulitan.

Hasil berpikir optimis bertujuan untuk memunculkan keterampilan baru

berupa rekontruksi kongnitif yang erat kaitan nya dengan Explanatory style atau

gaya penjelasan. Seligman, (2006) mengungkapkan bahwa cara berpikir optimis

atau pesimis yang digunakan individu akan mempengaruhi hampir seluruh

bidang kehidupan.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

33

Tabel 2.6

Model ABCDE

Adversity (A) / kesulitan

Belief (B) / Kepercayaan

Consequences (C) / Konsekuensi

Disputation (D) / Penyanggahan

Energization (E) / Penguatan

Model ABCDE dirancang sebagai suatu pengembangan dalam membantu

individu mengarahkan kearah yang lebih postif, sehingga individu memiliki cara

berpikir yang positif dan realistis dalam memandang suatu masalah, berpikir

positif yang dimagsud adalah berusaha mencapai hal terbaik dari keadana

terburuk. Hasil akhirnya diharapkan dapat memunculkan keterampilan baru

berupa rekonstruksi kongnitif pengubahan irasional menjadi rasional yang erat

kaitan nya dengan Explanatory style atau gaya penjelasan optimis.

Tabel 2.7

Contoh Pengaplikasian model ABCDE

Adversity (A) / kesulitan Dosen memarahiku saat sedang

bimbingan proposal

Belief (B) / Kepercayaan Aku merasa bodoh dan aku merasa apa

yang saya kerjakan selama ini sia-sia

Consequences (C) / Konsekuensi Aku merasa sedih dan menghindari

untuk melanjukan pengerjakan proposal

Disputation (D) / Penyanggahan Dosen memarahi ku saat sedang

bimbingan, tapi saya bangga dengan

pencapaian saya selama ini karena

semua yang saya kerjakan hasil jerih

payah sendiri.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

34

Energization (E) / Penguatan Meskipun saya kecewa dengan apa

yang saya kerjakan tetapi dapat

memetik pembelajaran langsung dari

kesalahan dan berusaha untuk

memperbaikinya

Kemudian mintalah konseli untuk membaca uang keyakinan tersebut dan

menyanggah dengan kata-katanya sendiri, serta menjelaskan bagaimanan cara

kerja setiap bagian dari sanggahannya. Misalnya dalam contoh diatas yakinkan

mengenai bagaimana dia bangga dengan pencapaian saya selama ini karena semua

yang saya kerjakan hasil jerih payah sendiri.

Menyanggah keyakinan negatif adalah keahlian yang bisa di pelajari setiap

orang. Oleh karnanya, dalam setiap aspek kehidupan menjadi lebih baik apabila

seseorang dapat mengembangkan dan memiliki kemampuan untuk menyanggah

keyakinan negatif yang menganggu dirinya untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkannya. Jika keahlian optimisme dipelajari sejak dini, keahlian itu akan

menjadi dasar.

Penelitian yang telah membuktikan efektivitas konseling model ABCDE

Seligman, (2006) untuk mengembangkan optimism, sebagaimana penelitian yang

dilakukan oleh Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa maka model

ABCDE Seligman dapat dijadikan upaya preventif oleh konselor dalam

menangani konseli dengan orientasi hidup pesimis, agar menjadi lebih optimis.

Rosma dalam (Munawaroh,et al. 2018) melakukan penelitian mengenai pengaruh

pelatihan berpikir positif untuk menurunkan tingkat kecemasan pada mahasiswa

tingkat akhir menunjukkan efektivitas model ABCDE Seligman dalam

menurunkan tingkat kecemasan. Penelitian lainya di lingkungan pendidian yang

dilakukan oleh Nissa, (2015) mengenai efektivitas konseling model ABCDE

Seligman untuk meningkatkan optimisme peserta didik menunjukkan adanya

peningkatan skor optimis yang signifikan terhadap subjek penelitian.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

35

Berdasarkan beberapa penelitian diatas, mengenai penggunaan model layanan

konseling yang dapat digunakan untuk mengembangkan optimisme dengan

menggunakan model ABCDE Seligman dapat dijadikan upaya preventif ataupun

kuratif terhadap mahasiswa yang memiliki orientasi hidup pesimis agar lebih

optimis.

D. Penelitian yang Relevan

Menurut temuan Ningrum, (2011) yang dilakukan kepada 80 mahasiswa yang

sedang menyusun skripsi sebagai sampel penelitian menunjukan koefisien

optimisme 0,0944 serta koefisien coping stress 0,863 di simpulkan mahasiswa

memiliki kecenderungan optimisme serta coping stress yang rendah. Penelitian

lain yang tentang optimisme yang pernah di laksanakan di ruang lingkup

pendidikan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Singh & Mishra (2014, hlm.

1531) terhadap 220 remaja (Laki-laki= 80; Perempuan =140) di India,

menunjukkan bahwa 28,18% (62 responden) tergolong dalam kategori sangat

optimis, 34,09% (75 responden) tergolong optimis, 22,27% (49 responden)

kategori netral, dan 5,00% (11 responden) termasuk dalam kategori pesimis.

Penelitian lain, Aisyah dalam (Wulandari, 2017) melakukan penelitian

tentang optimisme di salah satu Pondok Pesantren Surakarta. Hasilnya

menunjukkan bahwa 1 (0,9%) santri berkategori optimisme rendah, 11 (9,6%)

subyek berkategori sedang, 76 subjek (66,1%) berkategori optimisme yang tinggi

serta sebanyak 27 subjek (23,4%) yang memiliki optimisme yang sangat tinggi.

Selanjutnya, penelitian Nissa (2015, hlm. 5) terhadap siswa SMPN 15 Bandung

Tahun Ajaran 2014/2015 menunjukkan dari 92 responden, sebanyak 3,26%

berada dalam kategori pesimis, 53,26% dalam kategori optimis, dan 4,34% berada

dalam kategori sangat optimis.

Kemudian, hasil Survey mengenai optimism yang di lakukan oleh Rizki,

(2013) terhadap 23 siswa secara acak tingkat SMA kelas 1, 2 ,dan 3 di SMA

Negeri Pekalongan, ditemukan hasil bahwa sebanyak 14 Subjek (60,9%)

mempunyai rasa optimism yang rendah ketika mengerjakan ujian.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

36

Penelitian mengenai efektivitas konseling model ABCDE Seligman dalam

mengembangkan optimisme mahasiswa, seperti berdasarkan penelitian Rosma

dalam (Munawaroh, 2018) melakukan penelitian mengenai pengaruh pelatihan

berpikir positif untuk menurunkan tingkat kecemasan pada mahasiswa tingkat

akhir menunjukkan efektivitas model ABCDE Seligman dalam menurunkan

tingkat kecemasan.Sejalan dengan temuan Nissa, (2015) mengenai efektivitas

konseling model ABCDE Seligman untuk meningkatkan optimisme peserta didik

yang di laksanakan di ruang lingkup jenjang pendidikan menunjukkan adanya

peningkatan skor optimis yang signifikan terhadap subjek penelitian.

Rancangan yang digunakan pada model ini di kembangkan dari model

konseling ABCDE yang sebelumnya dikembangkan oleh Albert Ellis dan Aaron

Beck (Seligma, 2006). Secara umum, model ABCDE Seligman merupakan usaha

yang dilakukan dengan terencana dan dapat diselenggarakan dalam waktu singkat

secara sistematis guna mempelajari langkah atau strategi untuk mendapatkan

pemikiran, keyakinan serta harapan bahwa peristiwa buruk yang terjadi dalam

kehidupan hanya bersifat sementara dan meyakini kemampuannya untuk

mengatasi kesulitan.

Optimisme memprediksi banyak hasil yang diinginkan: pencapaian dalam

segala bidang (akademik, atletik, militer, politik, dan kejuruan); bebas dari

kecemasan dan depresi; hubungan sosial yang baik; dan kesejahteraan fisik

Peterson, (2004:576). Optimisme yang lebih spesifik mencakup penyelesaian

masalah aktif dan perhatian pada sumber informasi yang relevan dengan masalah

Aspinwall & Brunhart dalam (Peterson, 2004:577). Pemikiran masa depan dan

orientasi masa depan dikaitkan dengan kesadaran, ketekunan, dan kemampuan

untuk menunda kepuasan Peterson, (2004:577). Orang yang tinggi dalam

kekuatan karakter ini semua kegiatan menyiratkan orientasi ke masa depan

Zimbardo (Peterson, 2004:577).

Orang dengan gaya penjelas yang optimis melebih-lebihkan kecenderungan

luas individu untuk melihat diri mereka di bawah rata-rata untuk kejadian yang

mengerikan kegagalan dan patah hati, dan sebagainya Peterson, (2004:578). Bias

ini bisa menjadi masalah ketika kenyataan penting dan harapan membawa kita

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id

37

untuk mengabaikan tindakan pencegahan atau perbaikan. Kabar baiknya adalah

bahwa jika orang mengakui kemungkinan risiko, semakin optimis di antara

mereka mengambil langkah-langkah mengatasi yang paling tepat Peterson,

(2004:578).

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--

--

www.lib.umtas.ac.id