27
42 BAB II SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DAN EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI PASCA PERUBAHAN UUD 1945 2.1. Perubahan Mendasar UUD 1945 Sebelum reformasi, perdebatan tentang UUD 1945 sangat “ditabuhkan” dan secara politik masyarakat tidak memiliki ruang atau tempat untuk mengekspresikan serta menghidupkan demokrasi karena setiap kebebasan selalu saja dicurigai dan dianggap mengancam kekuasaan dan mengganggu “kesakralan” UUD 1945. Dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 adalah untuk menata kembali sistem pemerintahan Indonesia dengan merumuskan kembali peran dan fungsi tiga cabang kekuasaan pemerintahan, setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi untuk menghindarkan dominasi satu cabang kekuasaan atas cabang kekuasaan pemerintahan lainnya (prinsip check and balances). 67 Perimbangan kekuasaan adalah hubungan dan struktur kekuasaan antar berbagai lembaga kekuasaan negara yang diatur di dalam konstitusi. 68 Tidak dapat sangkal bahwa pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, keberadaan UUD 1945 digunakan untuk membangun sistem otoriterisme. Yang membedakan otoriterisme Orde Lama dan Orde Baru adalah cara membangun sistem tesebut. Di era Orde Lama, Soekarno membangun otoriterisme dengan terang-terangan melanggar konstitusi, hal ini tampak jelas dari dikeluarkannya berbagai Penetapan Presiden (Penpres) yang jelas-jelas inkonstitusional, bukan hanya dari segi 67 Alwi Wahyudi, Op.cit., h. 202. 68 Hamdan Zoelva, 2011, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 41.

BAB II SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA … TESIS... · MAHKAMAH KONSTITUSI PASCA PERUBAHAN UUD 1945 2.1. ... Penpres merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang di luar

  • Upload
    lamdien

  • View
    223

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

42

BAB II

SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DAN EKSISTENSI

MAHKAMAH KONSTITUSI PASCA PERUBAHAN UUD 1945

2.1. Perubahan Mendasar UUD 1945

Sebelum reformasi, perdebatan tentang UUD 1945 sangat “ditabuhkan” dan

secara politik masyarakat tidak memiliki ruang atau tempat untuk

mengekspresikan serta menghidupkan demokrasi karena setiap kebebasan selalu

saja dicurigai dan dianggap mengancam kekuasaan dan mengganggu “kesakralan”

UUD 1945.

Dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 adalah untuk menata kembali

sistem pemerintahan Indonesia dengan merumuskan kembali peran dan fungsi tiga

cabang kekuasaan pemerintahan, setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan

mengimbangi untuk menghindarkan dominasi satu cabang kekuasaan atas cabang

kekuasaan pemerintahan lainnya (prinsip check and balances).67

Perimbangan

kekuasaan adalah hubungan dan struktur kekuasaan antar berbagai lembaga

kekuasaan negara yang diatur di dalam konstitusi.68

Tidak dapat sangkal bahwa

pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, keberadaan UUD 1945

digunakan untuk membangun sistem otoriterisme. Yang membedakan

otoriterisme Orde Lama dan Orde Baru adalah cara membangun sistem tesebut.

Di era Orde Lama, Soekarno membangun otoriterisme dengan terang-terangan

melanggar konstitusi, hal ini tampak jelas dari dikeluarkannya berbagai Penetapan

Presiden (Penpres) yang jelas-jelas inkonstitusional, bukan hanya dari segi

67

Alwi Wahyudi, Op.cit., h. 202. 68

Hamdan Zoelva, 2011, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 41.

43

bentuknya melainkan dari segi materi muatannya ditambah lagi keberadaan

Penpres merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang di luar dari

ketentuan UUD 1945 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno apabila DPR tidak

menyetujui undang-undang yang diusulkan atau diinginkan oleh presiden.69

Sedangkan pada era Orde Baru, otoriterisme Soeharto di bangun melalui

formalisasi pemuatan di dalam aturan-aturan secara halus atas masalah-masalah

yang sebenarnya melanggar konstitusi, tetapi secara prosedural diberi bentuk

hukum (dijadikan peraturan perundang-undangan) terlebih dahulu sehingga

“seolah-olah” menjadi benar secara hukum.70

Secara garis besar UUD 1945 memiliki beberapa kelemahan, antara lain;

UUD 1945 memposisikan kekuasaan presiden begitu besar (executive power),

sistem check and balances tidak diatur secara tegas di dalamnnya, ketentuan UUD

1945 banyak yang tidak jelas dan multitafsir, minimnya pengaturan masalah hak-

hak asasi manusia, sistem kepresidenan, dan sistem perekonomian yang kurang

jelas.71

Berdasarkan itu, tampak jelas bahwa terdapat celah-celah kelemahan dari

UUD 1945 yang digunakan sebagai pintu masuk untuk membangun sistem

otoriterisme

Desakralisasi UUD 1945 tidak dapat dibendung, reformasi pun terjadi pada

tahun 1998 dengan munculnya kekuatan rakyat yang besar untuk menjatuhkan

kekuasaan otoriter birokratik yang bersifat sentralitik selama lebih dari tiga

69Moh. Mahfud MD, 2009, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers,

Jakarta (Selanjutnya disebut Moh. Mahfud MD I), h. 134. 70Ibid., h. 136. 71Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni‟matul Huda, Op.cit, h.146.

44

dekade masa pemerintahan Soeharto. Ada 6 (enam) tuntutan reformasi yang kuat

menjelang dan terutama setelah kejatuhan Presiden Soeharto, yaitu:

1. Amandemen UUD 1945;

2. Penghapusan Dwifungsi ABRI;

3. Penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia

(HAM) dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

(KKN);

4. Desentralisasi dan hubungan yang yang adil antara Pusat dan

Daerah (otonomi daerah);

5. Mewujudkan kebebasan pers;

6. Mewujudkan kehidupan demokrasi.72

Pada hakekatnya, reformasi merupakan momentum yang strategis untuk

melakukan penataan tehadap kehidupan kenegaraan dengan merumuskan kembali

sistem penyelenggaraan negara yang berdasar pada prinsip-prinsip supremasi

hukum, demokrasi dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.73

Salah satu tujuan perubahan UUD 1945 menurut Sri Soemantri dan Moh.

Mahfud MD adalah menjadikan UUD sebagai norma perjuangan demokratisasi

bangsa yang terus bergulir untuk mengembalikan paham konstitusionalisme,

sehingga jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dapat ditegakkan, anatomi

kekuasaan tunduk pada hukum atau tampilnya supremasi hukum, dan terciptanya

peradilan yang bebas.74

Selain itu, perubahan UUD menjadi penting karena UUD

1945 merupakan suatu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia.

Substansinya harus mencakup landasan-landasan yuridis normatif yang berfungsi

sebagai sarana pengendali terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam

dinamika perkembangan zaman sekaligus sebagai sarana pembaruan masyarakat

72Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2003, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, h.

6. 73

Alwi Wahyudi, Op.cit., h. 208. 74Alwi Wahyudi, Op.cit., h. 252.

45

serta sarana perekayasaan ke aras cita-cita kolektif bangsa Indonesia.75

Oleh

karena itu, dilakukanlah perubahan terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali,

yaitu Perubahan Pertama Tahun 1999, Perubahan Kedua Tahun 2000, Perubahan

Ketiga Tahun 2001, dan Perubahan Keempat Tahun 2002.

Selama kurun waktu empat tahun sejak tahun 1999 sampai tahun 2000,

MPR yang didukung oleh seluruh fraksi (ada sebelas fraksi) menyepakati lima hal

dalam rangka melakukan perubahan terhadap UUD 1945, antara lain:

1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;

2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial;

4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan

dimasukkan ke dalam pasal-pasal;

5. Perubahan dilakukan dengan cara addendum.76

UUD 1945 ini kemudian tampil dengan perubahan yang signifikan dan

sangat mendasar, hanya nama saja yang dipertahankan sebagai Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sedangkan isinya mengalami

perubahan secara besar-besaran. Hal ini terlihat dari jumlah ketentuan yang

semakin bertambah (bab, pasal, ayat) selain itu substansi yang diadopsi ke dalam

ketentuan tersebut menunjukkan bahwa UUD NRI 1945 mengalami perubahan

yang sangat fundamental dan berubah sama sekali menjadi konstitusi baru.77

Secara kuantitatif, hasil Perubahan UUD NRI 1945 dapat digambarkan

sebagai berikut:

1. Perubahan Pertama UUD NRI 1945 yang ditetapakan pada tanggal 19

Oktober 1999, hasil amademennya sebanyak 9 pasal dan seluruhnya

berisi 16 ayat;

75Alwi Wahyudi, Op.cit., h. 252. 76Ni‟matul Huda, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 144. 77

Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie IV), h. 50.

46

2. Perubahan Kedua UUD NRI 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18

Agustus 2000, mencakup perubahan yang lebih luas dan lebih banyak

hasil amademennya yakni sebanyak 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab,

jika ke-27 pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butirnya maka isinya

mencakup 59 butir ketentuan;

3. Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9

November 2001 dapat dikatakan cukup mendasar, seluruh perubahannya

terdiri dari 7 bab, 23 pasal dan 68 butir ketentuan dan ayat.

4. Perubahan Keempat UUD NRI 1945 yang ditetapkan pada tanggal 10

Agustus 2002 secara keseluruhan mencakup 19 pasal yang terdiri dari 31

butir ketentuan ditambah 1 butir yang dihapus dari naskah UUD.78

Sedangkan secara substansial, ada beberapa hal yang sangat fundamental

yang diadopsi dan tergambar dalam UUD NRI 1945 yang akan penulis uraikan

secara padat sebagai berikut;

Pertama, adanya pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari

Presiden ke DPR dan penegasan fungsi dan hak DPR. Pergeseran ini disebabkan

karena sebelum perubahan UUD kekuasaan membentuk undang-undang terletak

di tangan Presiden sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan terhadap itu

akan tetapi DPR mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang-undang,

setelah perubahan UUD kekuasaan tersebut diberikan kepada DPR dan Presiden

hanya memberikan persetujuan walaupun diatur pula bahwa Presiden memiliki

hak untuk mengusulkan rancangan undang-undang. Sebab sesungguhnya jika

berpegang pada prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) yang

berdasarkan prinsip check and balances, sangat jelas bahwa kewenangan

membentuk undang-undang tentu berada di tangan lembaga legislatif dan dengan

kembalinya kewenangan tersebut setidaknya DPR lebih berdaya dan berfungsi

sebagaimana mestinya. Sebab pada masa Orde Lama maupun Orde Baru yang

78Ibid., h. 48-50.

47

berlangsung lebih dari 30 (tiga puluh) tahun tidak ada satu pun undang-undang

yang yang lahir berdasarkan inisiatif DPR.79

Hal inilah yang menyebabkan

perlunya penegasan fungsi dan hak DPR, mengingat eksistensi DPR pada masa

Orde Lama maupun Orde Baru memang didesain tidak untuk menjadi lembaga

legislatif yang kuat, terutama ketika berhadapan dengan Presiden atau eksekutif.

Hal inilah yang kemudian disempurnakan melalui perubahan UUD, menjadikan

DPR sebagai lembaga yang kuat dan seimbang dengan pemerintah sebagaimana

lazimnya lembaga legislatif yang dipraktekkan di banyak negara dan di dalam

teori atau konsep.80

Kedua, adanya pembatasan masa jabatan presiden selama 5 (lima) tahun dan

sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama, hanya untuk

satu kali masa jabatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UUD NRI 1945.

Sebab dalam pasal yang sama dalam UUD sebelum dilakukannya perubahan,

tidak ada batasan untuk berapa periode seseorang dapat menjabat menjadi

Presiden, hal inilah yang menyebabkan Presiden Soeharto pada masa

pemeritahannya dapat menjabat lebih dari 30 (tiga puluh) tahun atau 6 (enam)

periode masa kepemimpinan.

Ketiga, perubahan sistem otonomi daerah/desentralisasi; pada prinsipnya,

kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-

kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat, jika

melihat pengalaman masa lalu, sudah ada kebijakan desentralisasi, namun karena

corak pemerintahan yang dibangun penguasa pada masa itu lebih sentralistik

79Moh. Mahfud MD I, 2009, Op.cit, h. 145. 80

Patrialis Akbar, 2013, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Sinar

Grafika, Jakarta, h. 41-42.

48

maka ada kesan otonomi daerah “dikebiri” sehingga menimbulkan ketidakpuasan

dari daerah-daerah terutama daerah yang kaya akan sumber daya alam namun

masih tetap miskin.81

Keempat, adanya perluasan jaminan konstitusional hak asasi manusia;

lemahnya perlindungan HAM pada masa Orde Lama dan Orde Baru

menyebabkan terjadinya banyak pelanggaran HAM baik terhadap hak sipil-

politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sebelum adanya perubahan terhadap UUD,

pengaturan mengenai HAM sangat minim, persoalan HAM ini tidak diatur secara

tegas dan terperinci, terutama tidak diatur dalam Bab tersendiri, hal tersebut diatur

dalam Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34.82

Namun setelah perubahan UUD,

persoalan HAM diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab XA yang terdiri dari 10

pasal, yaitu Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J.

Kelima, adanya penegasan mengenai dianutnya konsep negara hukum dan

prinsip kedaulatan rakyat berbasis konstitusi yang sekaligus merubah struktur dan

kewenangan MPR; konsep negara hukum yang semula berada di dalam

Penjelasan UUD 1945 kemudian dipindahkan menjadi Pasal 1 ayat (3) UUD NRI

1945, dengan ditegaskannya Indonesia sebagai negara hukum ini berarti bahwa

kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah hukum dalam arti konstitusi,

konstitusi atau hukum menjadi yang tertinggi karena diberikan oleh sumber

kekuasaan tertinggi yaitu rakyat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2)

UUD NRI 1945. Berdasarkan hal tersebut maka secara langsung terjadi perubahan

(pergeseran) terhadap MPR yang eksistensinya sebelumnya berada di tangannya

81M. Busrizalti, 2013, Hukum Pemda Otonomi Daerah dan Implikasinya, Total Media,

Yogyakarta, h. 62-63. 82Nuruddin Hadi, 2007, Wewenang Mahkamah Konstitusi, Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 23.

49

kemudian beralih pada konstitusi atau hukum, dengan kata lain terjadilah

pergeseran dari supremasi parlemen menjadi supremasi konstitusi yang berbasis

demokrasi.

Keenam, adanya Pemilihan Umum (pemilu); dalam sejarah ketatanegaraan

Indonesia, pemilu telah dilaksanakan dengan karakter yang berbeda-beda. Pemilu

pertama dilaksanakan pada tahun 1955 di era demokrasi liberal Orde Lama.

Pemilu ini melahirkan instabilitas politik, yang justru berujung pada lahirnya

otoritarian pada masa demokrasi terpimpin. Berbeda dengan pemilu pada masa

Orde Baru yang berlangsung sebanyak 6 (enam) kali tidak ada satu pun yang

memenuhi kualifikasi sebagai pemilu yang demokratis. Pemilu pada masa Orde

Baru hanya menjadi alat untuk memperkuat legitimasi kepada kekuasaan yang

ada.83

Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut di

dalam UUD NRI 1945 yaitu Pasal 22E UUD NRI 1945 maka secara berkala

setiap 5 (lima) tahun sekali, dilakukan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD,

DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Untuk mencapai kualitas pemilu yang

demokratis, UUD NRI 1945 menentukan asas-asas pemilu yaitu langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur dan adil.

Ketujuh, Pembentukan Lembaga Baru; Paradigma susunan kelembagaan

negara mengalami perubahan drastis sejak reformasi konstitusi karena berbagai

alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk, meskipun ada juga

lembaga yang dihapuskan. Adapun beberapa lembaga negara dibentuk baru antara

lain; Lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga negara baru sebagai

83

Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,

h. 9-10.

50

langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan

perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan

golongan yang diangkat sebagai anggota MPR. Keberadaannya dimaksudkan

untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia yang dipilih secara

langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu dan mempunyai kewenangan

mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.

Lembaga negara baru berikutnya adalah Komisi Yudisial (KY), salah satu tujuan

pembentukan KY adalah untuk memperkuat independensi kekuasaan kehakiman

(peradilan), hal ini disandarkan pada keprihatinan mendalam mengenai kondisi

wajah peradilan yang murah dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak,

dengan kata lain, KY akan menjadi “pengawal setia” reformasi peradilan,

khususnya dalam mencari dan memperbaiki kualitas dan integritas pada hakim.84

Selain itu ada pula Lembaga Penyelenggara Pemilu, berdasarkan Pasal 22E

ayat (5) UUD NRI 1945 ditentukan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan

oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”.

Sebenarnya kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam ketentuan tersebut

tidak bermakna bahwa penyelenggaraan pemilu ini hanya dilaksanakan oleh

Komisi Pemilihan Umum (KPU), MK dalam beberapa putusannya85

menyebutkan

84Idul Rishan, 2013, Komisi Yudisial Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan, Genta

Press, Yogyakarta, h. 49. 85Lihat (1) Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 072-073/PUU-II/2004 mengenai

Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; (2) Putusan

Mahkamah Konstitusi RI Nomor 11/PUU-VIII/201 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum; (3) Putusan Mahkamah Konstitusi RI

Nomor 81/PUU-IX/2011 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum.

51

bahwa kalimat tersebut tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi

merujuk pada fungsi penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan

mandiri, sehingga dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)

dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) termasuk sebagai

lembaga penyelenggara pemilu.

Dan yang terakhir lembaga negara yang dibentuk berdasarkan hasil

perubahan UUD NRI 1945 adalah MK. MK merupakan bagian dari lembaga

kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung (MA), keberadaan lembaga

baru ini dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the

constitution) dan sebagai bentuk dari diterapkannya prinsip checks and balances

yang berfungsi untuk menegakkan paham konstitusionalisme, karena di satu pihak

hukum harus dapat membatasi kekuasaan (agar tidak menjadi sewenang-

wenang).86

Kewenangan MK ini tercantum pada Pasal 24C ayat (1) UUD NRI

1945, UU 48/2009 dan UU 24/2003.

UUD NRI 1945 menempati posisi teratas sebagai hukum dasar merupakan

sumber bagi tatanan hukum lain. Oleh sebab itu, perubahan terhadap UUD NRI

1945 dapat menjadi tonggak perubahan tatanan hukum yang lain dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia baik dalam penyelengaraan pemerintahan saat ini

maupun yang akan datang.

86Abdul Latif, Op.cit, h. 73.

52

2.2. Dampak Perubahan UUD 1945 terhadap Sistem Perundang-undangan

UUD 1945 memiliki fungsi yang amat penting dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia, sistem ini dapat berjalan dengan baik apabila ada aturan-aturan yang

digunakan sebagai instrumen juga patokan (batasan) pada saat menyelenggarakan

proses pemerintahan sehingga tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of

power). Perubahan terhadap UUD 1945 tentu membawa dampak bagi sistem

perundang-undangan Indonesia.

Menyinggung soal sistem perundang-undangan berarti berbicara tentang

dua istilah, yakni sistem dan perudang-undangan. Kata „sistem‟ diadaptasi dari

bahasa Yunani yaitu systema yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari

sekian banyak bagian (whole coumpounded of several parts), atau hubungan yang

berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur (an

organized, fungtioning relationship among units or components).87

Dalam bahasa

Inggris „system‟ mengandung arti susunan, jaringan atau cara.88

Jadi dengan kata

lain istilah sistem mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang

saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu kesatuan (a whole).89

Adapun dalam naskah peraturan perundang-undangan maupun dalam

berbagai literatur yang berkaitan dengan Hukum Tata Negara Indonesia dikenal

berbagai istilah yaitu perundangan, perundang-undangan, peraturan perundangan,

peraturan perundang-undangan, dan peraturan negara. Dalam bahasa Belanda di

87Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2013, Dasar-dasar Politik Hukum, Rajawali Pers,

Jakarta, h. 59. 88John M. Echols dan Hassan Shadily, 2005, Kamus Inggris – Indonesia, Edisi Ke-XXVI,

PT. Gramedia, Jakarta, h. 575. 89Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2013, Loc.cit.

53

kenal istilah wet, wetgeving, wettelijke regels atau wettelijk regeling (en).90

Untuk

istilah perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan berasal kata

wettelijke regels. Kedua istilah ini tidak mutlak dipakai secara konstisten,

tergantung pada konteks mana ia digunakan, namun baik istilah perundang-

undangan maupun peraturan perundang-undangan berasal dari kata “undang-

undang”, yang merujuk kepada jenis dan bentuk peraturan yang dibuat oleh

negara.91

Undang-undang dalam literatur Belanda dikenal dengan istilah “wet”

yang mempunyai dua macam arti yaitu “wet in formele zin” dan “wet in materiele

zin” yaitu undang-undang yang didasarkan kepada bentuk dan cara terbentuknya

serta pengertian undang-undang yang didasarkan kepada isi atau substansinya.

Berdasarkan itu dapat dirumuskan sistem perundang-undangan ialah keseluruhan

himpunan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara yang tersusun

secara teratur baik dari segi bentuk maupun substansinya.

Sistem perundang-undangan dapat juga disebut dengan tata urutan peraturan

perundang-undangan. Secara teoritik, jika berbicara mengenai tata urutan

peraturan perundang-undangan tentu tidak terlepas dari ajaran Hans Kelsen yaitu

Stufenbau des Recht atau The Hierarchy of Law yang berintikan bahwa kaidah

hukum merupakan suatu susunan berjenjang dan setiap kaidah hukum yang

rendah bersumber dari kaidah hukum yang lebih tinggi.92

Menurut Adolf Merkl

murid Hans Kelsen bahwa apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut

atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut dan

terhapus pula. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma-norma yang tertinggi

90Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit., h. 2. 91Ibid., h. 3-4. 92Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit, h. 23.

54

(norma dasar) itu menjadi tempat bergantungnya sistem norma-norma yang

berada di bawahnya sehingga apabila norma dasar itu berubah, maka rusaklah

sistem norma yang ada di bawahnya.93

Dalam kaitannya dengan itu, Kelsen menyatakan bahwa UUD menduduki

tempat tertinggi dalam hukum nasional sebab ia merupakan landasan bagi sistem

hukum nasional, sehingga apabila terjadi perubahan terhadapnya maka

keberadaan peraturan perundang-undangan yang bergantung padanya menjadi

hilang dasar pijaknya dan tercabut, karena pada hakekatnya UUD merupakan

landasan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam

negara.

Sebelum perubahan, UUD 1945 tidak menentukan secara jelas dan eksplisit

mengenai sistem perundang-undangan atau tata urutan peraturan perundang-

undangan yang ada di Indonesia. Pada saat itu dikenal beberapa peraturan

perundang-undangan yang terdapat di dalam UUD 1945, sebagai berikut:

1. Undang-Undang, produk legislatif Presiden bersama-sama DPR (Pasal 5

ayat (1) jo Pasal 20 UUD 1945);

2. Peraturan pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, yang

sederajat dengan Undang-Undang (Pasal 22 UUD 1945); dan

3. Peraturan Pemerintah, yang derajatnya dibawah Undang-Undang (Pasal

5 ayat (2) UUD 1945).94

Di luar dari ketiga peraturan perundang-undangan tersebut tidak dikenal

adanya bentuk lain, hanya saja antara tahun 1945-1949 dijumpai jenis peraturan

lain seperti Maklumat, Penetapan Pemerintah, Peraturan Presiden, Penetapan

Presiden, dan lain-lain. Sedangkan antara tahun 1959-1965 dijumpai ketetapan

93

Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit, h. 25. 94Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit, h. 54.

55

MPR(S), Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden.95

Ini berarti bahwa dalam

pelaksaan UUD, telah terjadi perbuatan-perbuatan yang “menyimpang” dari UUD

1945 yang tidak mempunyai dasar hukum yang kuat dan konstitusional. Oleh

karena itu maka dalam rangka penertiban bagi peraturan perundang-undangan

maka diusulkanlah pembentukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara RI Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai

Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan

Perundangan Republik Indonesia (Tap MPRS No. XX/MPRS/1966).

Dalam UUD 1945 memang tidak diatur secara jelas mengenai Tap MPR

seperti halnya Undang-Undang, Perpu maupun Peraturan Pemerintah. Bentuk Tap

MPR ini tumbuh sebagai praktek ketatanegaraan mulai tahun 1960, MPR yang

menurut UUD mempunyai berbagai kewenangan seperti halnya menetapkan

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), memilih dan mengangkat Presiden dan

Wakil Presiden, serta mengubah UUD tentu harus membuat keputusan-keputusan

hukum dan untuk itu harus diberi bentuk hukum tersendiri pula dan bentuk hukum

inilah yang disebut sebagai Ketetapan MPR. Tap MPR yang dikeluarkan sebagai

sebuah kebiasaan dalam praktek ketatanegaraan merupakan salah satu sumber

hukum tata negara yang terdapat pada setiap negara.96

Apabila dipelajari lebih dalam, munculnya Tap MPRS No. XX/MPRS/1966

ini ternyata isinya berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong Royong

(DPR-GR) yang dalam sidangnya 9 Juni 1966 Pimpinan DPR-GR menyampaikan

kepada MPRS sebuah Memorandum yang berisi: (1) Sumber Tertib Hukum

95

Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit, h. 55. 96Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit. h. 67.

56

Republik Indonesia, (2) Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik

Indonesia, dan (3) Susunan Kekuasaan Dalam Negara Republik Indonesia.97

Ketiga hal di atas disampaikan karena pada masa Pemerintahan Orde Lama

Pancasila tidak dijadikannya atau tidak digunakannya sumber tertib hukum dalam

keputusan-keputusan tertentu. Alasan diajukannya hierarki peraturan perundang-

undangan dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 disebabkan oleh

dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah dijadikan sebagai dasar hukum

bagi penetapan Presiden yang sederajat dengan undang-undang. Di mana dengan

diberlakukannya UUD NRI 1945, maka semua peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan akan dikeluarkan harus berdasarkan UUD NRI 1945 yang sejak

5 Juli 1959 merupakan hukum dasar tertulis.98

Di dalam Tap inilah dapat dilihat tata urutan peraturan perundang-undangan

yang ada di Indonesia pada masa itu, antara lain:

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Keputusan Presiden;

6. Peraturan-Peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:

a. Peraturan Menteri;

b. Instruksi Menteri;

c. dan lain-lainnya.

Dalam rangka tertibnya peraturan perundang-undangan, Tap MPRS No.

XX/MPRS/1966 tentu sangat berguna pada saat itu, walaupun terdapat juga

kelemahan-kelemahan yang dirasakan di sana-sini, hal itu terlihat dari

ditemukannya jenis-jenis peraturan perundang-undangan lain, seperti Keputusan

97

Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit, h.68. 98Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Loc.cit.

57

Menteri, Keputusan Lembaga Non Departemen, Peraturan Daerah dan Keputusan

Kepala Daerah. Jadi, jika berpijak pada Tap tersebut maka peraturan yang tidak

disebutkan di dalam Tap tidak memiliki dasar yuridis. Selain itu, kata “dan lain-

lain” menimbulkan berbagai penafsiran, apabila makna kata “dan lain-lain”

termasuk pula Keputusan Menteri maka kedudukannya berada di bawah Instruksi

Menteri, hal ini tentu sangat ganjil.99

Seiring dengan berjalannya waktu, dalam rangka melakukan pembaharuan

terhadap sistem peraturan perundang-undangan di era reformasi, kekurangan dan

kelemahan Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 kemudian disempurnakan dengan

diterbitkannya Tap MPR No. III/MPR/2000. Adapun tata urutan peraturan

perundang-undangan berdasarkan Tap ini adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

3. Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden;

7. Peraturan Daerah.

Peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis tersebut

mengandung konsekuensi bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi. Hal ini dimaksudkan agar terciptanya kepastian hukum dalam sistem

perundang-undangan Indonesia.

Perumusan mengenai bentuk dan tata urutan peraturan perundang-undangan

di atas tampak cukup baik di mana Peraturan Daerah telah secara resmi menjadi

99Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit, h.68.

58

sumber hukum yang masuk ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.

Namun, masih dikatakan kurang sempurna karena kedudukan Perpu yang berada

di bawah undang-undang yang dinilai kurang tepat padahal substansinya sama, di

samping itu nomenklatur “peraturan” dan “keputusan” dalam Pasal 4 ayat (2) di

dalam Tap ini yang menimbulkan berbagai macam penafsiran.

Pada tahun 2004, dibentuklah Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 10/2004) untuk

memenuhi perintah Pasal 22A UUD NRI 1945 dan Pasal 6 Tap MPR No.

III/MPR/2000. Undang-undang ini pada dasarnya dimaksud untuk membentuk

suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-

undangan baik di tingkat pusat maupun daerah, sekaligus mengatur secara lengkap

dan terpadu mulai dari tahap perencanaan yang diatur melalui Program Legislasi

Nasional dan Program Legislasi Daerah, sistem, asas, jenis dan materi muatan

masing-masing peraturan perundang-undangan, tahap persiapan, pembahasan,

pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan, maupun partisipasi masyarakat.

Adapun jenis peraturan yang terakomodir di dalam UU 10/2004 sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1), antara lain:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah;

a. Peraturan Daerah Provinsi;

b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;

c. Peraturan Desa.

Berdasarkan tata urutan peraturan perundang-undangan di atas, Tap

MPR/MPRS dihapuskan dan dikembalikannya Perpu yang berkedudukan sejajar

59

dengan undang-undang. Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam

ketentuan di atas, antara lain; Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,

Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang

dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.100

Sayangnya, undang-undang ini tidak menentukan secara jelas eksistensi Peraturan

Menteri, apakah berada di atas atau di bawah Peraturan Daerah/Peraturan Desa.

UU 10/2004 kemudian digantikan dengan UU 12/2011. Ada beberapa

kelemahan-kelemahan yang menyebabkan dilakukannya perubahan terhadap UU

10/2004, antara lain:

1. Materi dari UU 10/2004 banyak yang menimbulkan kerancuan dan

multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;

2. Teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;

3. Terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan

atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan; dan

4. Penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai

dengan sistematika.101

Adapun bentuk-bentuk penyempurnaan yang dimasukkan ke dalam UU

12/2011, yakni:

1. Penambahan Tap MPR;

2. Perluasan cakupan perencanaan peraturan perundang-undangan tidak

hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan

100

Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU 10/2004. 101Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit, h. 86

60

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-

undangan lainnya;

3. Pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang

tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam

penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan

Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;

5. Pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-

undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan; dan

6. Penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I

undang-undang ini.102

Pada akhirnya, pasca perubahan UUD NRI 1945 dengan adanya penegasan

konsep negara hukum dan supremasi hukum yang dianut oleh Indonesia

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa negara

Indonesia adalah negara hukum yang mengedepankan UUD NRI 1945 sebagai

hukum tertinggi membawa dampak atau konsekuensi yuridis bahwa UUD NRI

1945 harus digunakan sebagai patokan atau rujukan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan yang berada di bawahnya demi terciptanya sistem

perundang-undangan yang baik.

2.3. Kekuasaan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia

Membicarakan MK berarti tidak dapat lepas dari jelajah historis akan

konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan

kewenangan paling utama lembaga MK. Sejarah „institusi‟ yang berperan

melakukan kegiatan constitutional review di dunia berkembang pesat melalui

102Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Loc.cit.

61

tahap-tahap pengalaman yang beragam di setiap negara.103

Lembaga yang

berfungsi melakukan pengujian konstitusional itu bernama Mahkamah Konstitusi.

Negara yang dapat dikatakan sebagai pelopor dalam membentuk MK di Eropa

adalah Austria yang mengadopsikan ide pembentukannya itu dalam UUD 1920.104

Mahkamah Konstitusi Austria dapat dikatakan merupakan gagasan (brainchild)

progresif dari Hans Kelsen.105

Namun Sejarah judicial review muncul pertama

kali di Amerika Serikat melalui putusan Mahkamah Agung (Supreme Court)

Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs Madison” pada tahun 1803.

Meskipun Undang-Undang Dasar Amerika Serikat tidak mencantumkan judicial

review, namun Supreme Court Amerika Serikat membuat putusan yang

mengejutkan. Chief Justice John Marshall didukung empat hakim agung lainnya

menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang

bertentangan dengan konstitusi. Keberanian John Marshall dalam kasus itu

menjadi presiden dalam sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas

terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara. Semenjak itulah, banyak

undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan

bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court.106

Mahkamah konstitusi di beberapa negara memiliki fungsi yang berbeda,

antara lain: Kewenangan untuk menguji rancangan undang-undangan dan

103Jimly Asshiddiqie, 2010, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,

Sinar Grafika, Jakarta (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie V), h.1. 104Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, 2012, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, PT.

Sinar Grafika, Jakarta, h. 1. 105Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 131. 106Janedjri M. Gaffar, 2009, “Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam

Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia” Majalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

Surakarta 17 Oktober 2009, h. 3.

62

perjanjian internasional apakah telah berkesesuaian dengan kontitusi; menentukan

nasib partai politik yang tidak konstitusional; memutus sengketa hasil pemilu

(Konstitusi); maupun memberhentikan pejabat senior dalam sistem

pemerintahan.107

Di Indonesia, penegasan Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana

diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 membawa konsekuensi

terhadap setiap sikap, kebijakan dan tindakan alat negara dan warga negara harus

berdasar dan sesuai dengan hukum, hukumlah yang menjadi komando tertinggi

dalam penyelenggaraan negara.

Salah satu unsur terpenting terhadap adanya penegasan sebagai negara

hukum adalah adanya sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam

negara. Menurut Jimly Asshiddiqie sistem pemisahan kekuasaan Indonesia saat

ini bukan dalam konteks pengertian Trias Politica Montesquieu.108

Sistem baru

yang dianut oleh UUD NRI 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem

pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip check and balances, dalam arti ketiga

cabang kekuasaan negara baik legislatif, eksekutif dan yudisial sama-sama

memiliki kedudukan yang sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai

dengan prinsip check and balances.

Walaupun prinsip check and balances yang diadopsi ke dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia ini relatif masih baru, namun hal membuat ketiga

kekuasaan negara tersebut dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-

baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara

107Ahmad Syahrizal, Op.cit., h. 133. 108

Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta,

(Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie VI), h. 294.

63

ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menjabat dalam lembaga-lembaga

negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-

baiknya.

MK merupakan lembaga negara baru yang masuk ke dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia berdasarkan hasil amandemen ketiga pada tahun 2001.

Awalnya kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan menjadi perdebatan yang

cukup serius bahkan menyita waktu yang cukup lama. Pertanyaan pokoknya

adalah akan diletakkan dimana MK dalam sistem ketatanegaraan, khususnya

terkait dengan hubungan dengan lembaga-lembaga negara yang lain. Selain itu,

bagaimana membedakan kewenangan MK dengan kewenangan MA.

Dari perdebatan yang terjadi di PAH I BP MPR 2011, paling tidak ada tiga

gugus pemikiran yang mengemuka dalam meletakkan kedudukan MK, yaitu (i)

MK merupakan bagian dari MPR, (ii) MK melekat atau menjadi bagian dari MA,

dan (iii) MK didudukkan secara mandiri sebagai lembaga negara yang berdiri

sendiri.109

Akhirnya gagasan ketiga menjadi gagasan yang cukup kuat dan banyak

mempengaruhi proses pembahasan perubahan UUD. Pada usulan ketiga ini

disimpulkan bahwa sangat tidak relevan untuk meletakkan MK menjadi bagian

dari MPR ataupun MA karena lebih banyak problematika yang akan dijumpai.

Bagaimana MK akan menyelenggarakan fungsi dan kewenangannya, sementara

MPR hanya berkumpul dalam waktu-waktu tertentu (sidang tahunan atau

109Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD NRI 1945, 2008,

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002 (Buku VI Kekuasaan

Kehakiman), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 320.

64

Istimewa MPR).110

Sedangkan jika MK dimasukkan menjadi bagian dari MA

akan sulit karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap MA berada pada

tingkat kepercayaan yang sangat memprihatinkan karena dianggap sebagai

lembaga yang gagal memberikan rasa keadilan, sehingga kurang tepat jika MK

diletakkan menjadi bagian dari MA.

Pada akhirnya MK dijadikan sebagai institusi peradilan tetapi tidak menjadi

bagian dari MA. MA dan MK bisa menjadi dua puncak dari proses peradilan.

Bagi negara Indonesia, MK hadir sebagai salah satu pelaku kekuasan kehakiman

memang dapat dikatakan masih baru. Eksistensi konstitusionalnya mendapat

tempat berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menentukan bahwa

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan

tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Ketentuan ini

menunjukkan bahwa MA dan MK mempunyai kedudukan yang setara, keduanya

adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman namun dengan peran

dan fungsi yang berbeda sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI 1945.

Menurut I Dewa Gede Atmadja, dimasukkannya MK sebagai bagian dari

kekuasaan kehakiman merupakan penguatan atas UUD NRI 1945 yang memiliki

fungsi:

1. Fungsi transformasi, menjalankan atau mengkonversi kekuasaan dalam

terminologi hukum termasuk membentuk lembaga-lembaga negara dan

fungsinya sesuai pandangan politik saat ini;

110Ibid, h. 330.

65

2. Fungsi informasi, mengkomunikasikan apa yang ditransformasikan

dengan menggunakan bahasa hukum (bahasa teknis yang khas);

3. Fungsi regulasi, menentukan karakter hukum konstitusi normatif atau

tidak; dan

4. Fungsi kanalisasi konstitusi dalam arti memberikan saluran penyelesaian

masalah politik dan hukum. Di sini konstitusi dipandang sebagai

politico-legal document (dokumen hukum dan politik) yang materi

muatannya atau substansinya bersifat makro.111

Adapun kewenangan MK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1)

UUD NRI 1945 adalah untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,

memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum.

MK dalam melakukan salah satu kewenangannya untuk menguji undang-

undang terhadap UUD bukanlah merupakan sesuatu yang baru karena sebagai

gagasan dalam hal menjalankan fungsi pengujian dan penafsiran terhadap

konstitusi telah lama ada menjelang kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah

penyusunan UUD NRI 1945 di masa lalu ketika sidang Badan Penyelidik Usaha-

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) digelar tepatnya tanggal 15

Juli 1945. Yamin mengusulkan dengan menyatakan bahwa:

“Agar Balai Agung (istilah yang digunakan Yamin untuk menyebut

Mahkamah Agung) tidak hanya melaksanakan bagian kekuasaan

kehakiman, melainkan juga menjadi badan yang membanding (maksudnya

menguji) apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) tidak melanggar Undang-Undang Dasar Republik atau

bertentangan dengan hukum adat yang diakui, ataukah tidak bertentangan

dengan syariah agama Islam.” Pendapat Yamin kemudian ditanggapi oleh

Soepomo yang pada intinya tidak menyetujui kewenangan untuk menguji

undang-undang terhadap UUD diberikan kepada MA, melainkan diberikan

111Abdul Rasyid Thalib, Op.cit, h. 195

66

kepada peradilan khusus (pengadilan spesial) yang namanya

Constitutioneelhof, suatu pengadilan spesifik semacam di Austria,

Cekoslowakia dan Jerman”.112

Pandangan di atas menggambarkan kedua intelektual hukum tersebut setuju

adanya lembaga yang diberi wewenang untuk menguji undang-undang terhadap

UUD. Hanya saja Yamin berpendapat bahwa kewenangan tersebut cukup

diberikan kepada Balai Agung, sementara Soepomo berpandangan perlu dibentuk

lembaga khusus untuk melakukan pengujian tersebut. Berdasarkan hal tersebut,

sesungguhnya sejarah telah memberikan jawaban bahwa para pembentuk UUD

menghendaki adanya lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk

melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD.

Terhadap hal di atas paling tidak terdapat dua alasan dasar yakni; Pertama,

untuk melindungi konstitusi dari pelanggaran badan legislatif dan/atau eksekutif.

Kedua, dalam rangka melindungi hak-hak dasar manusia dan warga negara.113

Implikasinya ialah diperlukan pelembagaan yang memungkinkan peranan hukum

dan hakim untuk dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan

politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip “the rule of majority”. Dalam

hal ini, fungsi pengujian atas undang-undang tidak dapat lagi dihindari

penerapannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebab menurut Mahfud

MD, adalah mungkin Pemerintah dan DPR yang karena adalah lembaga politik

bisa saja membuat undang-undang atas dasar kepentingan politik mereka sendiri

atau kelompok yang dominan di dalamnya, di samping itu Pemerintah dan DPR

sebagai lembaga politik dalam faktanya lebih banyak berisi orang-orang yang

112Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum

Demokrasi), CV Kreasi Total Media, Yogyakarta, h.6. 113Lodewijk Gultom, Op.cit, h . 126.

67

bukan ahli hukum atau kurang berpikir menurut logika hukum.114

Karena

berdasarkan pengalaman selama masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru,

banyak sekali undang-undang yang dipersoalkan karena bertentangan dengan

UUD dan lebih mencerminkan kehendak politik sepihak pemerintah yang

intervensionis, tetapi tidak ada lembaga yang dapat mengujinya.115

Oleh sebab itulah maka, sebagaimana yang diharapkan sejak awal

dibentuknya MK dimaksud untuk menjaga agar ada konsistensi antara undang-

undang dengan konstitusi. Sebagai hukum dasar tertinggi negara, UUD NRI 1945

harus dijalankan dan tidak dapat diabaikan apalagi disimpangi atau dilanggar oleh

siapapun juga, termasuk oleh para penyelenggara negara. Konstitusi harus benar-

benar dijalankan atau ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan

sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum modern. Pentingnya menjaga

konsistensi konstitusi ini karena konstitusi merupakan sarana untuk mewujudkan

tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan.

Kehadiran MK ini tidaklah cukup dipahami secara parsial saja, tetapi harus

pula dipahami sebagai suatu penguatan terhadap dasar-dasar konstitusionalisme

pada UUD NRI 1945 setelah perubahan. Sebagaimana telah disebutkan

sebelumnya bahwa pandangan A. Mukthie Fajar mengartikan konstitusionalisme

sebagai sebuah paham yang meliputi prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum,

pembatasan kekuasaan, perlindungan dan jaminan hak asasi manusia, dan

pluralisme.116

Inti dari paham konstitusionalisme adalah setiap kekuasaan negara

114Martitah, Op.cit, h. 8 115

Moh. Mahfud MD I, Loc.cit. 116Jazim Hamidi dan Malik, Op.cit., h. 14.

68

harus mempunyai batas kewenangan.117

Pembatasan kewenangan lembaga negara

ini sangat penting mengingat peran prinsip check and balances yang telah dianut

oleh Indonesia.

117Abdul Latif, Op.cit, h.50.