45
35 BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN 2.1 Keadaan Geografi dan Demografi Desa Bayung Gede Secara geografis Desa Bayung Gede terletak pada 115 0 13’43” dan 115 0 27’24” Bujur Timur, dan 8 0 8’81” dan 8 0 31’20” Lintang Selatan serta terletak pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut (mDPL). Adapun batas-batas Desa Bayung Gede yaitu, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Batur; sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sekardadi; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bonyoh dan Sekaan dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Belancan (Profil Desa dan Kelurahan Bayung Gede: 2012). Jarak dari pusat Kota Bangli ke Bayung Gede adalah 25 kilometer dengan waktu tempuh 30 menit apabila menggunakan kendaraan bermotor. Jarak dari Kota Denpasar adalah 75 kilometer dengan waktu tempuh 2,5 jam, sedangkan jarak dari kota pariwisata Ubud adalah sekitar 1 jam dengan kendaraan bermotor. Desa Bayung Gede saat ini telah menjadi salah satu tempat wisata yang banyak dikunjungi wisatawan asing dan lokal terutama mereka yang mencintai wisata alam dengan bersepeda. Perjalanan menuju Desa Bayung Gede dapat diakses dengan mudah, karena telah didukung oleh infrastruktur jalan yang memadai serta alat transportasi yang mudah diakses. Penulis sendiri berasal dari daerah pariwisata Ubud yang sudah tidak asing melihat perubahan yang dibawa oleh

BAB II SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 2 skripsi.pdf · Desa ini juga dikelilingi oleh bentang alam berupa hutan bambu dan perkebunan yang dikelola oleh masyarakat setempat. Gambar 2.2

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

! 35!

BAB II

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

2.1 Keadaan Geografi dan Demografi Desa Bayung Gede

Secara geografis Desa Bayung Gede terletak pada 115013’43” dan 115027’24”

Bujur Timur, dan 808’81” dan 8031’20” Lintang Selatan serta terletak pada

ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut (mDPL). Adapun batas-batas Desa

Bayung Gede yaitu, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Batur; sebelah Timur

berbatasan dengan Desa Sekardadi; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bonyoh

dan Sekaan dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Belancan (Profil Desa dan

Kelurahan Bayung Gede: 2012). Jarak dari pusat Kota Bangli ke Bayung Gede adalah

25 kilometer dengan waktu tempuh 30 menit apabila menggunakan kendaraan

bermotor. Jarak dari Kota Denpasar adalah 75 kilometer dengan waktu tempuh 2,5

jam, sedangkan jarak dari kota pariwisata Ubud adalah sekitar 1 jam dengan

kendaraan bermotor. Desa Bayung Gede saat ini telah menjadi salah satu tempat

wisata yang banyak dikunjungi wisatawan asing dan lokal terutama mereka yang

mencintai wisata alam dengan bersepeda. Perjalanan menuju Desa Bayung Gede

dapat diakses dengan mudah, karena telah didukung oleh infrastruktur jalan yang

memadai serta alat transportasi yang mudah diakses. Penulis sendiri berasal dari

daerah pariwisata Ubud yang sudah tidak asing melihat perubahan yang dibawa oleh

! 36!

pengaruh pariwisata, terutama dalam hal pembangunan. Mengunjungi Desa Bayung

Gede membangkitkan nostalgia, karena dalam perjalanan masih dijumpai hutan-hutan

hijau serta perkebunan jeruk yang membangkitkan memori “Bali the last paradise”.

Gambar 2.1 Peta Lokasi Desa Bayung Gede

Sumber:https://www.google.com/search?q=lokasi+desa+bayung+ gede&source=lnms&tbm=isch&sa =1054&bih=494&dpr=1.2

Desa Bayung Gede, sebuah desa pegunungan kuno, merupakan salah satu

desa Bali pertama yang mendapatkan perhatian dunia, karena telah dipilih sebagai

tempat yang paling ideal untuk sebuah studi yang terkenal tentang “Karakter Orang

Bali” oleh Gregory Bateson dan Margaret Mead (1942) dalam Reuter (2005:244).

Pemukiman masyarakat Bayung Gede berbentuk seperti sarang lebah yang

BAYUNG!GEDE!

! 37!

menggantung jika dilihat dari satelit. Bagian tengah desa terdapat ruang terbuka yang

berfungsi sebagai sirkulasi umum atau ruang publik untuk melaksanakan berbagai

upacara adat dan keagamaan. Gunung Batur yang terletak di sebelah Utara desa

menjadi orientasi tertinggi bagi masyarakat, berbeda dengan masyarakat Bali Dataran

yang menganggap Gunung Agung sebagai orientasi tertinggi. Desa Bayung Gede

terletak di antara dua sungai yang saling bermuara, sungai ini bertempat di sebelah

Barat dan Timur desa. Desa ini juga dikelilingi oleh bentang alam berupa hutan

bambu dan perkebunan yang dikelola oleh masyarakat setempat.

Gambar 2.2 Peta Pemukiman Desa Bayung Gede Melalui Satelit

Sumber:https://www.google.com/maps/place/Jl.+Bayung +Gede,+Kintamani,+Kab.+Bangli,+Bali+80652,+Indonesia

! 38!

Desa Bayung Gede secara administratif termasuk ke dalam wilayah

Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Profil Desa dan Kelurahan Desa Bayung

Gede tahun 2012 menunjukkan bahwa luas wilayah Bayung Gede adalah 1443 ha/m2

dan sebagian besar digunakan sebagai lahan perkebunan. Luas wilayah keseluruhan

yang mencapai 1443 ha/m2 diklasifikasikan menurut penggunaannya yang terdiri atas

luas pemukiman seluas 26 ha/m2, perkebunan seluas 929,7 ha/m2, kuburan seluas 6,5

ha/m2, pekarangan seluas 26 ha/m2, taman seluas 2 ha/m2, perkantoran seluas 1,2

ha/m2, hutan adat 419,6 ha/m2 dan prasarana umum lainnya seluas 32 ha/m2 (Profil

Desa dan Kelurahan Desa Bayung Gede: 2012).

Gambar 2.3 Jalan Utama Desa Bayung Gede

Sumber : Dokumentasi Dewa Ayu 7 Februari 2015

Pertumbuhan penduduk di Desa Bayung Gede rata-rata 3,04% per tahun atau

sebanyak 92 jiwa/tahun. Jumlah penduduk pada tahun 2012 berdasarkan pada jenis

! 39!

kelamin adalah penduduk laki-laki berjumlah 1.098 orang dan penduduk perempuan

berjumlah 1.030 orang, dengan total jumlah penduduk sebanyak 2.128 orang. Jumlah

KK atau Kepala Keluarga di Desa Bayung Gede pada tahun 2012 adalah 560 KK.

Gambar 2.4 Denah Desa Bayung Gede

Sumber : Dokumentasi Dewa Ayu 7 Februari 2015

! 40!

2.2 Asal Usul Nama Bayung Gede

Tokoh terkemuka Desa Bayung Gede yang dikenal dengan sebutan Jero

Kebayan Muncuk menjelaskan bahwa secara etimologi Bayung Gede berasal dari

Bahasa Bali yakni bayu dan gede. Bayu berarti tenaga dan gede berarti besar.

Pemberian nama tersebut dimaksudkan atas adanya penafsiran bahwa masyarakat

Bayung Gede adalah masyarakat yang kuat dan pekerja keras. Nama Bayung Gede

yaitu Bayung diambil dari kata ‘Ayung’ yang berarti perlindungan dengan maksud

mendapatkan perlindungan dari Tuhan, seperti pada pengertian ‘pengayung jagat’

(Tuhan sebagai pelindung dunia).

Wayan Suwela mantan Perbekel Bayung Gede mengungkapkan bahwa

Bayung Gede pada awalnya adalah kawasan hutan yang sangat lebat. Para pendiri

Bayung Gede yang berjumlah 35 KK di masa lalu berjuang keras untuk membabat

hutan itu sehingga menjadi kawasan yang layak untuk dijadikan pemukiman. Proses

membabat hutan yang sangat lebat itu memerlukan tenaga yang sangat kuat atau

dalam istilah lokal disebut bayu gede, sehingga ketika kawasan tersebut telah menjadi

pemukiman yang dikenal dengan nama Bayung Gede.

Versi lainnya diungkapkan oleh Jero Bahu (65 tahun) menuturkan bahwa

pada awalnya di Desa Bayung Gede terdapat satu padukuhan yang dihuni oleh satu

orang dukuh yang kemudian berkembang menjadi 35 KK, para warga ini merasa

bahwa kawasan tempat mereka tinggal tidak layak, sehingga mereka pindah ke

! 41!

tempat lain yang berupa kawasan hutan yang sangat lebat. Kawasan hutan ini

kemudian dibabat dan dibersihkan untuk dijadikan pemukiman dan tegalan. Proses

pembabatan ini memerlukan perjuangan dan semangat yang sangat kuat, sehingga

menjadikan hutan tersebut pemukiman yang layak dan dijadikan tegalan tempat

warga memulai perkebunan. Kekuatan dan semangat warga membuat mereka

memutuskan untuk menamai pemukiman mereka bayung gede yang berasal dari kata

bayu dan gede yang berarti tenaga yang besar dan kuat.

Jero Kebayan Muncuk juga menuturkan bahwa nama Bayung Gede diambil

dari asal-usul manusia pertama di sini yakni kayu gede atau pohon besar, sehingga

disebut dengan Bayung Gede. Ada juga yang menyebutkan bahwa nama Bayung

Gede diambil dari nama Betara Bayu, karena manusia pertama di sana dihidupkan

oleh putra Betara Bayu sehingga manusia itu dianggap memiliki bayu gede atau

tenaga yang besar dan kemudian menjadi Bayung Gede.

2.3 Sistem Mata Pencaharian Hidup

Desa Bayung Gede berada di ketinggian sekitar 1.100 meter di atas

permukaan laut (mDPL) dengan curah hujan 125 mm/tahun. Suhu rata-rata harian di

Bayung Gede adalah 18-250 C, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan

suhu, tergantung dari perubahan iklim di Bali. Ketinggian tempat dan suhu rata-rata

di Bayung Gede mendukung mata pencaharian utama Desa Bayung Gede yaitu

perkebunan. Keseharian masyarakat Bayung Gede adalah bercocok tanam di kebun

! 42!

atau ladang. Luas lahan yang dimanfaatkan untuk perkebunan oleh masyarakat

Bayung Gede adalah 929,7 ha/m2 dari total luas wilayah Bayung Gede yang

mencapai 1443 ha/m2, dengan kuantitas tanah kering berupa ladang sekitar 512

ha/m2. Masyarakat Bayung Gede mulai beraktifitas di kebun sejak pagi hari setelah

menyelesaikan semua urusan rumah tangga, dan akan pulang setelah senja hari.

Masyarakat Bayung Gede telah terbiasa menghabiskan waktu istirahat siang di

kebun, mereka memiliki gubuk kecil yang dilengkapi dengan berbagai peralatan yang

mendukung kebutuhan mereka, seperti perabotan rumah tangga untuk makan dan

bersih-bersih, tikar untuk istirahat dan ada beberapa yang membawa televisi untuk

mengisi waktu istirahat. Jarak antara perkebunan dengan perkampungan masyarakat

Bayung Gede cukup jauh yakni sekitar 2-10 kilometer dari Desa Bayung Gede.

Perladangan di Bayung Gede saat ini dapat digolongkan ke dalam

rudimentary sedentary cultivation atau bercocok tanam tanpa irigasi yang menetap

karena sudah menggunakan peralatan yang horticulture dan perladangan tidak

berpindah-pindah. Jenis tanaman yang menjadi penghasilan utama adalah jeruk.

Jumlah penduduk Bayung Gede yang berprofesi sebagai petani adalah 865 orang

terdiri atas laki-laki 545 orang dan perempuan 320 orang. Pekerjaan di ladang

dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, namun dalam beberapa tahap

pengerjaan terdapat pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Pekerjaan

pengolahan tanah yang memerlukan tenaga kasar, pada umumnya dilakukan oleh

! 43!

para laki-laki sedangkan pekerjaan menanam dan merawat tanaman serta panen lebih

banyak dilakukan oleh perempuan (Danandjaya, 1980:200).

Tabel II.1

Mata Pencaharian Pokok Masyarakat Desa Bayung Gede Tahun 2012

Jenis Pekerjaan Jumlah Orang Presentase (%)

Petani 865 60,3 %

Pegawai Negeri Sipil 8 0,6 %

Pengerajin Industri Rumah Tangga 3 0,2 %

Peternak 536 37,4 %

Montir 1 0,1 %

Pensiunan PNS/TNI/POLRI 4 0,3 %

Pengusaha Kecil dan Menengah 16 1,1 %

Dosen Swasta 1 0,1 %

JUMLAH 1434 100 %

Sumber: Monografi Desa Bayung Gede Tahun 2012

Jenis tanaman yang dominan ditanam pada tahun 2012 adalah tanaman jeruk

yang menghasilkan 17.430 ton/ha dengan total luas lahan 498 ha. Kondisi geografi

Bayung Gede yang terletak di pegunungan dengan jenis tanah regosol vulkanik yang

subur, tapi tidak mampu menyerap dan menyimpan banyak air dengan suhu udara

rata-rata 18o-25o C, menjadikan kawasan Bayung Gede sangat cocok untuk ditanami

tanaman jeruk. Tanaman jeruk adalah tanaman yang tidak memerlukan banyak air

! 44!

dalam masa pertumbuhannya serta memerlukan banyak sinar matahari, hal ini

didukung oleh kondisi geografis Bayung Gede yang sulit air karena curah hujan

pertahun hanya berkisar 125 mm/tahun dan terletak di dataran tinggi terbuka yang

kaya akan sinar matahari. Jeruk yang banyak ditanam masyarakat adalah jenis jeruk

siam karena memiliki cita rasa yang enak dan manis. Terdapat pula tanaman obat

seperti jahe 17,15 ton/ha, kunyit 9,93 ton/ha, dan kencur 3,8 ton/ha. Desa Bayung

Gede juga dikelilingi oleh hutan bambu yang dimanfaatkan masyarakat sebagai salah

satu bahan material bangunan terutama untuk pagar dan atap rumah.

Table II.2

Jenis Populasi Ternak Desa Bayung Gede Tahun 2012

Jenis Ternak Jumlah Pemilik (orang) Perkiraan Jumlah Ternak

Sapi 535 994

Babi 400 800

Ayam kampung 500 1.200

Ayam boiler 1 2.500

Bebek 10 20

Kelinci 5 10

Anjing 300 300

Kucing 100 105

Sumber : Monografi Desa Bayung Gede Tahun 2012

! 45!

Kawasan Bayung Gede yang dikelilingi oleh hutan bambu dan padang ilalang,

serta perkebunan jeruk yang banyak memerlukan pupuk organik menyebabkan

masyarakat Bayung Gede juga aktif berprofesi sebagai peternak yaitu berjumlah 536

orang dengan populasi ternak utama sapi. Berdasarkan Profil Desa dan Kelurahan

Desa Bayung Gede 2012, populasi ternak yang dikembangbiakkan di desa tersebut

adalah sapi dengan jumlah 994 ekor, babi 800 ekor dan ayam 3.700 ekor. Lahan

terbuka di sekitar perkebunan menjadi lokasi yang strategis sebagai penempatan

kandang ternak, sehingga kotoran yang dihasilkan bisa langsung dimanfaatkan

sebagai pupuk. Dedaunan yang banyak dihasilkan dari kawasan hutan adat, terutama

daun bambu serta padang rumput di sekitar lahan perkebunan menjadi pakan utama

ternak sapi yang paling banyak dikembangbiakkan di Bayung Gede. Kelimpahan

sumber pakan menyebabkan peternakan di Bayung Gede terus bertahan. Masyarakat

Bayung Gede menempatkan kandang ternak mereka di luar dari pekarangan rumah

mereka, karena kapasitas ruang pekarangan rumah yang sempit dan tidak adanya tebe

atau halaman yang terletak di belakang rumah.

2.4 Organisasi dan Stratifikasi Sosial

Masyarakat Bayung Gede memiliki berbagai jenis organisasi sosial yang

umumnya bergerak di bidang adat dan keagamaan. Organisasi sosial yang berupa

perkumpulan beberapa golongan masyarakat biasa disebut Sekaa. Sekaa yang

terdapat di Desa Bayung Gede antara lain : Sekaa Truna-Truni, Sekaa Subak, Sekaa

! 46!

Ebar (bertugas menyediakan dan mempersiapkan makanan pada saat odalan maupn

pada saat pernikahan), Sekaa Pecalang (bertugas menjaga keamanan), Sekaa Baris,

dan Sekaa Barong. Masing-masing Sekaa menjalankan tugas sesuai dengan fungsi

dan kedudukannya.

Masyarakat Bayung Gede memakai sistem pemerintahan dinas dan sistem

pemerintahan adat. Sistem pemerintahan dinas berkaitan dengan kesatuan wilayah

administratif Bayung Gede yang dipimpin oleh Kepala Desa atau Lurah. Tugas dan

kewajiban utama dari pemerintahan dinas adalah mengurus hal-hal yang bersifat

kedinasan dan administrasi, seperti mengurus masalah perijinan, kependudukan, dan

program-program pembangunan (Surpha, 2002:52). Desa Bayung Gede terdiri dari

dua dusun atau banjar yaitu Banjar Bayung Gede dan Banjar Peludu, sedangkan

secara adat Desa Bayung Gede merupakan sebuah desa adat yang hanya terdiri dari

satu banjar adat, yaitu Desa Adat Bayung Gede. Sistem Desa Adat adalah banjar adat

yang bergerak di bidang adat dan keagamaan serta dipimpin oleh Bendesa Adat

(Surpha, 2002: 57). Desa Bayung Gede memiliki satu banjar adat yang memiliki

peraturan adat (awig-awig) tidak tertulis dan dijalankan secara turun-temurun dengan

penuh kesadaran.

! 47!

Gambar 2.5 Jero Kebayan Muncuk Desa Bayung Gede

Sumber : Dokumentasi Anggara 20 Nopember 2014

Di Desa Bayung Gede juga terdapat sistem organisasi dan stratifikasi sosial

yang disebut dengan Ulu Apad, yang anggotanya terdiri dari 164 KK krama desa

ngarep (anggota inti) Desa Bayung Gede (Ledang, 1997). Masyarakat yang menjadi

krama desa ngarep mempunyai kewajiban dan hak yang berbeda dibandingkan

dengan anggota masyarakat biasa yang diistilahkan dengan krama angkepan atau

bala angkep, khususnya dalam pelaksanaan upacara dan hak untuk menempati tanah

desa yang disebut dengan karang ayahan desa. Orang yang dapat menjadi krama

desa ngarep adalah anak laki-laki dari krama ngarep, terutama anak laki-laki yang

termuda. Kedudukan seseorang dalam sistem ulu apad ini ditentukan berdasarkan

! 48!

kesenioran mereka dalam menjadi krama desa, yaitu dari nomor urut 1 sampai

dengan nomor urut 164.

Pengurus adat yang paling utama di antara 16 pengurus adat, yaitu empat

keluarga paling senior yang masing-masing dinamakan Jero Kebayan Muncuk

sebagai keluarga dengan nomor urut pertama, Jero Kebayan Nyoman sebagai

keluarga kedua, Jero Bahu Muncuk sebagai keluarga ketiga dan Jero Bahu Nyoman

sebagai keluarga keempat. Jero Kebayan bertugas memimpin pelaksanaan upacara

adat dan agama, sedangkan Jero Bahu sebagai pendamping Jero Kebayan. Keempat

pasang keluarga itu bebas dari segala bentuk dedosan atau denda dari desa.

Di bawah Jero Kebayan dan Jero Bahu ada Jero Tanding sebanyak empat

pasang keluarga. Tugasnya untuk nanding atau menata sarana upacara. Keluarga

yang menempati posisi ini adalah keluarga dengan nomor urut lima sampai dengan

delapan, selanjutnya masih ada delapan pasang keluarga lainnya yang menempati

posisi sebagai Pelancang. Keluarga yang menempati posisi ini adalah keluarga

dengan nomor urut sembilan hingga enam belas, tugasnya membantu menyiapkan

segala perlengkapan upacara. Semua krama desa ngarep Desa Bayung Gede akan

mendapatkan kesempatan untuk menduduki jabatan di jajaran Paduluan Saih

Enembelas dengan 164 krama ngarep yang terlibat di dalam sistem ulu apad, setiap

warga akan secara bergiliran mendapatkan kepercayaan sebagai Jero Kebayan atau

Jero Bahu sepanjang memenuhi syarat (Ginting dkk, 2014:27).

! 49!

Kelompok keagamaan di Bayung Gede merupakan salah satu komponen

dalam rangka kehidupan adat dan agama yang dipimpin oleh beberapa orang

bersama-sama, sehingga boleh dikatakan memakai pola pimpinan majemuk, serta

didasarkan pada konsep dualitas kiwa-tengen (kiri-kanan). Adapun pimpinan dari

kelompok tersebut adalah :

1. Jero Kebayan yang dibedakan menjadi Jero Kebayan Muncuk dan Jero

Kebayan Nyoman. Jero Kebayan Muncuk juga dibagi menjadi dua yaitu,

Jero Kebayan Muncuk Tengen atau Tengawan dan Jero Kebayan Kiwa

atau Tengebot. Demikian juga Jero Kebayan Nyoman dibagi menjadi dua

yaitu Jero Kebayan Nyoman Tengen dan Jero Kebayan Kiwa, sehingga

Jero Kebayan ini berjumlah empat orang. Jero Kebayan bertugas untuk

muput dan memimpin upacara keagamaan di semua tempat suci setelah

segala perlengkapan untuk upacara disediakan.

2. Jero Bahu yang dibedakan menjadi Jero Bahu Muncuk dan Jero Bahu

Nyoman yang masing-masing ada kiwa dan tengen, sehingga jumlahnya

empat orang. Jero Bahu bertugas untuk membantu Jero Kebayan terutama

apabila terdapat perlengkapan upacara yang kurang.

3. Jero Pati yang dibedakan menjadi Jero Pati Muncuk dan Jero Pati

Nyoman juga dengan posisi kiwa dan tengen, sehingga berjumlah empat

orang. Jero Pati bertugas untuk menyembelih segala hewan antara lain;

babi, ayam, itik, dan lain sebagainya untuk perlengkapan upacara.

! 50!

4. Jero Singgukan yang dibedakan menjadi Jero Singgukan Muncuk dan Jero

Singgukan Nyoman dengan posisi kiwa dan tengen, sehingga berjumlah

empat orang. Jero Singgukan bertugas mencari perlengkapan upacara yang

kurang setelah mendapatkan perintah dari Jero Bahu.

Masing-masing peran memiliki tugas dan tanggung jawab yang telah diatur

dalam awig-awig desa, apabila tugas tidak dijalankan dengan benar akan mendapat

sanksi adat yang telah diatur dalam awig-awig desa Bayung Gede. Peran sebagai

pemuka adat akan lengser jika anak laki-laki termuda mereka sudah menikah dan

mempunyai cucu.

2.5 Sistem Kekerabatan

Masyarakat Bayung Gede memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan

desa-desa sekitarnya. Masyarakat Bayung Gede dan hubungan mereka dengan desa-

desa lain yang secara geografis terletak saling berjauhan, menamakan diri mereka

gebog satak dari Bayung Gede. Sistem kekerabatan antardesa ini terjalin karena

adanya kesamaan sejarah atau asal-usul penduduk desa. Desa-desa anggota gebog

satak yang utama adalah Bayung Gede, Penglipuran, Tiga Kawan, dan Sekardadi.

Interaksi ritual yang paling kuat terdapat di kalangan kelompok inti ini. Keanggotaan

yang lebih luas mencakup desa adat Sulahan, Pengiangan, Tanggahan, dan Lumbahan

(sebuah desa dinas), Pengotan dan Sunting (sebuah desa dinas), Kedisan, Buahan dan

Bonyoh. Desa-desa ini mempertahankan serentetan ikatan asal-usul dan hubungan

ritual yang secara konseptual berbeda terhadap Bayung Gede (Reuter, 2005: 244)

! 51!

Sebuah kumpulan desa dikatakan merupakan pondokan dari Desa Bayung

yang asli. Mereka berasal dari kelompok orang yang bertempat tinggal di kebun atau

pondok yang didirikan agak jauh dari desa dan telah lama tumbuh menjadi daerah

hunian tetap dan desa adat yang mandiri. Kelompok-kelompok pendiri semua desa ini

masih menyatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Bayung Gede. Di antara

pondokan ini adalah Desa Bonyoh, Penglipuran dan Sekardadi (Reuter, 2005: 244).

Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Bayung Gede adalah sistem

kekerabatan patrilineal, dimana garis kekerabatan diambil dari garis kerabat laki-laki.

Kelompok kekerabatan yang terkecil yang terdiri dari keluarga batih atau nuclear

family disebut dengan kuren. Anggota masyarakat yang sudah menjalankan proses

perkawinan untuk berumah tangga sudah dianggap sebagai warga penuh yaitu

mempunyai hak dan kewajiban di dalam kegiatan sosial sebagai suatu wadah yang

disebut banjar. Kuren dianggap penting disamping mendapat hak dan suara dalam

rapat banjar, dalam pemilihan kelian, perbekel dan lainnya. Awig-awig Desa Bayung

Gede menyebutkan bahwa setiap orang yang telah kawin atau makurenan wajib

menjadi anggota banjar (Ledang, 1997).

Sistem perkawinan yang dianut masyarakat Bayung Gede, adalah sistem

perkawinan endogami maupun perkawinan eksogami. Tidak ada larangan dan sanksi

bagi laki-laki dari Desa Bayung Gede untuk menikahi perempuan dari luar desa.

Berbeda halnya apabila seorang perempuan dinikahi oleh laki-laki dari luar Desa

Bayung Gede, maka laki-laki yang menikahi perempuan tersebut dikenai denda

! 52!

seekor anak sapi. Perkawinan yang dilarang atau incest pada masyarakat Bayung

Gede adalah perkawinan dengan saudara kandung dan sepupu. Warga yang

melakukan pelanggaran akan diisolir atau kasepekang, tidak boleh tinggal di dalam

desa dan tidak menjadi krama desa (Ginting dkk, 2014: 25)

Kelompok kekerabatan terdiri dari satu keluarga inti senior atau kuren, tetapi

seluruhnya merupakan satu kesatuan sosial yang amat erat dan biasanya hidup atau

tinggal bersama satu tempat atau satu pekarangan. Keluarga luas atau extended family

pada masyarakat Bayung Gede adalah keluarga luas virilokal yang didasarkan atas

adat virilokal yang terdiri dari satu keluarga senior dengan keluarga inti dari anak

laki-laki. Pekarangan rumah yang sempit atau yang disebut dengan ayahan desa

menyebabkan masyarakat Bayung Gede mengembangkan adat menetap neolokal

setelah menikah. Masing-masing keluarga rumah tangga yang baru menikah akan

membangun rumah baru yang diistilahkan dengan ngarangin di luar “rumah tua”

mereka. Warga yang tetap tinggal di “rumah tua” atau tanah ayahan desa adalah

mereka yang berstatus sebagai krama arep atau anggota inti Desa Bayung Gede

(Ginting dkk, 2014: 25)

Kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua keturunan dari seorang nenek

moyang yang diperhitungkan mulai dari garis keturunan sejenis yang oleh

Koentjaraningrat disebut dengan maximal lineage (1971:125). Klen besar oleh

masyarakat Bayung Gede disebut dengan kawitan atau lebih dikenal dengan sebutan

soroh. Kawitan atau soroh ini merupakan kumpulan dari klen kecil yang ada di

! 53!

berbagai desa adat. Menurut masyarakat Bayung Gede sangat penting dalam

kehidupan mereka untuk mengenal sorohnya, karena erat kaitannya dengan

kehidupan keseharian, yaitu dalam melaksanakan kegiatan keagamaan. Pusat

orientasi dari masing-masing soroh yang ada di desa adalah keberadaan Pura Paibon,

sedangkan pura bagi warga masyarakat Bali, termasuk juga masyarakat Bayung Gede

yang berasal dari klen yang sama disebut dengan Pura Kawitan. Warga masyarakat

Bayung Gede termasuk dalam klen atau soroh Pasek, yang terdiri dari Pasek Gelgel,

Pasek Tangkas, dan Pasek Kayu Selem.

2.6 Kesenian

Kehidupan agama Hindu tidak bisa dilepaskan dari kesenian, demikian juga

bagi masyarakat Hindu di Bayung Gede. Upacara yadnya di tempat-tempat suci tak

bisa dilepaskan dari seni, seperti seni suara, seni tari, seni kerawitan, seni lukis dan

sastra. Seni adalah sesuatu yang memuat hal-hal yang transendental, sesuatu yang

tidak dikenal sebelumnya dan kini dikenal lewat karya seorang seniman (Sumardjo,

2000:10).

Desa Bayung Gede memiliki beberapa tarian sakral yang seringkali

dipentaskan pada upacara keagamaan, di antaranya : Tari Baris Jojor, Baris Gede,

Baris Bajra, Baris Presi, Baris Dadap, dan Rejang.

1. Tari Baris Jojor merupakan tarian baris yang ditarikan sekelompok penari

dengan membawa senjata Jojor atau tombak bertangkai panjang yang

! 54!

ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya dan hanya ada di daerah Buleleng,

Bangli dan Karangasem (Duija : 2002)

2. Tari Baris Gede merupakan tarian sakral yang diperkirakan telah ada sejak

abad ke-8. Tarian ini bisa dipentaskan saat upacara di pura dan mejadi bagian

pelengkap dari upacara. Menurut Prof. Dr. Wayan Dibia, tari Baris Gede

ditarikan secara berkelompok dalam jumlah tertentu sesuai arti di masing-

masing daerah. Jumlah satu kelompok ada yang delapan orang sampai dengan

empat puluh orang penari, biasanya terikat dengan simbol-simbol tertentu.

Senjata yang digunakan dalam tari Baris Gede juga beragam, ada yang

menggunakan tombak, cakra, atau tamiang (tameng). Tari Baris Gede

menggambarkan Widiadara atau pengawal yang mengiringi para dewa serta

menyambut para dewa. Di sisi lain tari Baris Gede juga dapat diartikan

sebagai tarian prajurit perang (Dibia :1997)

3. Tari Baris Bajra merupakan tarian baris yang membawa senjata gada dengan

ujungnya berbentuk Bajra seperti senjata gada Bima dan ditarikan dalam

upacara Dewa Yadnya, tarian ini dapat dijumpai di daerah Bangli dan

Buleleng. Tarian Baris Bajra berjumlah sebelas orang dan masing-masing

penari membawa properti Bajra yang dibuat dari gabus. Sebelum menari

mereka mengucapkan aksara suci agama Hindu “Ong, Ah, Ung, Krih, Brih,

Hrih, Bajra Yana Yanama Svaha” dengan penuh percaya diri (Prayoga: 2011)

! 55!

4. Tari Baris Presi dicirikan dengan penari yang membawa senjata keris, dan

sejenis perisai yang dinamakan Presi. Tarian ini hanya dipentaskan saat

pelaksanaan upacara Dewa Yadnya dan umumnya dapat dijumpai di daerah

Bangli dan Buleleng (Duija : 2002)

5. Tari Baris Dadap adalah tari baris yang membawa senjata dadap (semacam

perisai), gerakannya lebih lembut dari jenis-jenis tari baris lainnya dan

penarinya menari sambil menyanyikan tembang berlaras slendro dan ditarikan

dalam upacara Dewa Yadnya dan kecuali di daerah Tabanan tarian ini

ditarikan dalam upacara Pitra Yadnya. Tarian ini banyak dijumpai di daerah

Bangli, Buleleng, Gianyar dan Tabanan.

6. Tari Rejang merupakan tarian khusus yang dipentaskan oleh remaja

perempuan yang masih perawan. Tari Rejang adalah salah satu Tari Wali

yang penyajiannya dilakukan di jeroan atau bagian utama pura. Tarian ini

adalah tarian klasik yang gerak-gerak tarinya sangat sederhana, lemah

gemulai, yang dilakukan secara berkelompok atau masal dan penuh dengan

rasa pengabdian kepada leluhur.

2.7 Sistem Religi

Sistem religi termasuk agama, pada dasarnya merupakan hubungan timbal

balik (sistemik) antara emosi keagamaan yaitu suatu getaran jiwa yang pada suatu

ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya. Emosi

! 56!

keagamaan memicu perilaku religi dan sifat keramat dari kelakuan itu (sacred value)

(Koentjaraningrat, 1981:228), sistem keyakinan, kelompok keagamaan, dan sistem

ritual. Keempat elemen tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari

emosi keagamaan (religious emotion) sebagai inti. Emosi keagamaan memicu

timbulnya perilaku religi suatu kelompok keagamaan seperti pemujaan pusaka

(Syam: 2001:19).

Thomas A. Reuter secara komprehensif memaparkan tentang budaya dan

masyarakat di pegunungan Bali. Bukunya yang berjudul Custodians of the Sacred

Mountains menjelaskan bahwa masyarakat Bali pegunungan dipandang sebagai

masyarakat yang masih tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Bali yang tinggal

di dataran. Mereka dipandang sebagai masyarakat yang kurang baik dalam

menjalankan ajaran agama Hindu, kasar, kurang pandai berbahasa Bali halus, serta

berbagai stigma yang kurang baik lainnya. Representasi tentang orang Bali Aga ini

mungkin dihasilkan secara bersama-sama oleh ilmuan Barat dan orang Bali, yaitu

narasumber utama mereka di istana-istana dan rumah tangga di Bali bagian selatan

(Reuter, 2005:434). Kenyataanya yang ditemukan oleh Reuter setelah penelitian

panjangnya adalah bahwa orang-orang Bali Mula ternyata memiliki kekenyalan

budaya dalam usaha mereka mempertahankan eksistensinya melalui proses resistensi,

adaptasi, dan revitalisasi terhadap perubahan yang terjadi sebagai akibat persentuhan

dengan pendatang melalui sistem Banua (Reuter, 2005: 36-37).

! 57!

Masyarakat Bayung Gede adalah mayoritas Hindu dengan konsep

kepercayaan Bali Mula yang masih sangat kuat yaitu; 1). Bayung Gede kurang

memiliki penamaan terhadap manifestasi Tuhan; 2). Mereka tidak menjalankan

kremasi; 3). Mereka tidak menempatkan relevansi warna terhadap dewa-dewi dalam

pembuatan sesajen; 4). Mereka tidak memiliki kasta; 5). Mereka tidak memiliki

ketabuan tentang memakan sapi; 6). Mereka tidak memiliki hubungan dengan

pendeta Brahmana. Mead dan Bateson juga menjelaskan bahwa masyarakat Bayung

Gede memang memiliki nama-nama dewa-dewi seperti Betara Sri sebagai dewi

kesuburan, Betara Wisnu sebagai pelindung dunia, serta Betara Surya sebagai dewa

matahari, tetapi masyarakat Bayung Gede tidak mengenal konsep Tri Murti yang

biasa dikenal oleh masyarakat Bali Dataran (dalam Jensen dan Suryani, 1992:37).

Bayung Gede juga masih mempertahankan konsep kepercayaan animisme,

karena masih banyak ditemukan pura-pura khusus untuk pemujaan para leluhur.

Selain itu mereka juga masih mempercayai konsep dinamisme, terbukti dengan masih

kuatnya konsep Pura Mertiwi yang terletak di sekeliling desa. Pura Mertiwi diambil

dari kata Perthiwi yang berarti dewi bumi sehingga memiliki makna sebagai Pura

Bumi, bentuk puranya sangat sederhana dan berada di tengah lapangan terbuka yang

dikelilingi hutan lebat, dalam pura tidak dibangun pelinggih atau dugul sebagaimana

pura pada umunya, tetapi hanya pangkal pohon besar, batu atau pohon keramat yang

dipercayai memiliki makna yang suci berdasarkan pada kepercayaan mereka secara

turun-temurun.

! 58!

Kuantitas umat yang berbeda agama tidak banyak, tetapi hal ini membuktikan

adanya keterbukaan masyarakat Bali Mula untuk menerima perbedaan budaya. Pusat

orientasi keagamaan pada masyarakat Bayung Gede tidak berbeda jauh dengan Bali

Dataran yaitu pada Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang terdiri dari Pura

Desa atau Bale Agung, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Masing-masing keluarga di

Desa Bayung Gede memiliki tempat pemujaan atau Utama Mandala yang terdiri dari

satu sanggah pokok, sanggah Dewa Hyang atau Turus Lumbung, Dugul Karang,

sanggah Bhatara Hyang Guru dan Kemulan. Orientasi keagamaan bagi klen atau

soroh di Desa Bayung Gede terdapat di beberapa pura paibon sesuai dengan jumlah

klen yang ada.

Tabel II.3

Agama Masyarakat Desa Bayung Gede Tahun 2012

Agama Jumlah Orang Presentase (%)

Islam 3 0,14 %

Hindu 2121 99,67 %

Budha 4 0,18 %

JUMLAH 2128 100 %

Sumber: Monografi Desa Bayung Gede Tahun 2012

! 59!

Ritual yang dilakukan oleh masyarakat Bayung Gede berdasarkan pada Panca

Yadnya yang sesuai dengan dresta sima atau peraturan dan keyakinan yang dianut

oleh masyarakat Bayung Gede sebagai Bali Mula. Upacara Panca Yadnya ini terdiri

dari:

2.7.1 Upacara Dewa Yadnya

Dewa Yadnya adalah korban suci atau persembahan pada para Dewa sebagai

wujud syukur kepada Ida Betara dan segala manifestasinya. Upacara Dewa Yadnya

yang dilakukan di Bayung Gede dilakukan dari bentuk upacara yang paling sederhana

sampai dengan upacara terbesar yang melibatkan seluruh keturunan asli dari warga

Bayung Gede yang tergabung dalam gebog satak. Upacara terbesar ini dirayakan

setiap Purnama Kapat dan disebut dengan upacara Usaba Agung dan dilaksanakan di

Pura Panti Kayu Selem. Selain itu masyarakat Bayung Gede juga melakukan upacara

Ngusaba Dalem setiap satu tahun sekali yang dilakukan di Pura Dalem Mertiwi.

Seluruh warga Bayung Gede akan melakukan persembahyangan di Pura Dalem

Mertiwi, ketika Usaba Dalem berlangsung. Orang-orang yang wajib membawa

banten adalah para paduluan saih enembelas, sedangkan warga hanya membawa alat

persembahyangan. Persembahyangan akan dilakukan menghadap ke pohon di sebelah

Barat. Upacaranya dilakukan di malam hari sekitar jam 10 malam dan selesai jam 12

malam.

! 60!

Tempat suci atau pura di Bayung Gede terdiri dari Pura Bale Agung, Pura

Puseh, Pura Pasek Gelgel, Pura Panti Kayu Selem, Pura Ibu, Pura Tangkas, Pura

Pingit dan Pura Pendem, semua bangunan Pura ini terdapat di dalam wilayah

Bayung Gede, selain itu juga terdapat Pura Mertiwi yang terdiri dari Pura Dalem,

Pura Naluah, Pura Dukuh, Pura Bukit, Pura Dalem Kaliasem, Pura Puaji, dan Pura

Pludu. Pura Mertiwi adalah areal yang dipercayai sebagai tempat keramat dari jaman

dahulu kala sehingga areal tersebut disucikan dan dijadikan pura. Pura ini biasanya

terletak di wilayah lapang atau hutan yang berada di sekitar Desa Bayung Gede.

Mertiwi berasal dari kata Perthiwi yang berarti tanah atau bumi, wujud Pura Mertiwi

adalah areal hutan yang ditandai oleh adanya pohon besar yang dikeramatkan, ada

pula yang hanya berwujud tued kayu (pangkal pohon), di beberapa tempat ada yang

ditandai oleh batu, patung dan hutan bambu. Kepercayaan Pura Mertiwi merupakan

warisan budaya yang turun-temurun, sehingga sejarah mengapa suatu tempat

dijadikan Pura Mertiwi, tidak diketahui.

Masyarakat Bayung Gede juga memiliki bentuk sesajen yang unik dan

sederhana, sesajen tersebut mirip dengan banten gebogan, tetapi perangkat sesajen

dibungkus dalam anyaman bambu berbentuk tabung atau wakul dan disebut dengan

banten tapakan. Komposisi banten tapakan terdiri atas eteh-eteh daksina, buah, jajan

dan sampiyan canang. Banten tapakan wajib dipersembahkan oleh krama desa

ngarep, sedangkan bagi warga biasa banten persembahan boleh ditata dalam bokor,

keben, dulang dan sebagainya.

! 61!

Upacara yang berkaitan dengan Dewa Yadnya akan diselenggarakan oleh

krama desa ngarep yang dipimpin oleh Jero Kebayan Muncuk, sedangkan untuk

upacara Manusa Yadnya atau upacara kematian akan diselenggarakan oleh Sekaa

Teruna.

2.7.2 Upacara Pitra Yadnya

Upacara Pitra Yadnya adalah persembahan yang tulus ikhlas pada para

leluhur yang diwujudkan dalam upacara kematian dan ngaben. Masyarakat Bayung

Gede termasuk ke dalam Bali Mula sehingga penguburan jenasahnya masih

menggunakan kepercayaan bea tanem.

Upacara penguburan jenasah dilakukan di seme atau kuburan masyarakat

setempat. Sebelum dibawa ke kuburan, untuk sementara jenasah akan ditempatkan di

paon atau dapur, kemudian jenasah akan diupacarai dengan upacara pebersihan.

Pebersihan pertama dilakukan di dapur dengan air tawar, selanjutnya jenasah akan

dimandikan di dekat kuburan, jenasah diletakkan atau dibaringkan di atas papaga.

Air yang dipakai memandikan merupakan Tirta Bujanga Sakti, Tirta Bhatara Hyang

Guru, Tirta Kawitan dan Tirta Kemimitan. Tujuan dari upacara pemandian jenasah

ini adalah untuk pembersihan lahir dan batin bagi orang yang meninggal agar dalam

perjalanan mendatang dapat menjadi manusia yang sempurna. Proses memandikan

jenasah adalah proses yang penting, karena tanpa dimandikan terlebih dahulu akan

menjadi penghalang untuk mencapai surga, untuk mencapai tujuan yang tertinggi

! 62!

yaitu Moksa atau tujuan tertinggi dari umat Hindu harus dilandasi dengan kesucian

baik lahir maupun batin (Ariawan, 1995:95).

Jenasah setelah mengalami proses pebersihan kemudian akan dibawa ke

kuburan dengan diusung di atas bale-bale kecil atau asagan oleh empat orang pria,

ketika jenasah mulai diusung ke kuburan, pemilik rumah mulai menyalakan api di

paon atau dapur, hal ini bertujuan untuk membersihkan kotoran secara niskala yang

dibawa oleh orang yang telah meninggal. Pada proses penguburan seluruh pakaian

jenasah dilepas. Jalur yang dilalui untuk mengusung jenasah selalu mengarah ke

teben atau Selatan, dengan posisi jenasah yang berbeda, untuk pria dengan posisi

tertelungkup dan wanita dengan posisi menengadah.

Kepercayaan masyarakat Bayung Gede menyebutkan bahwa jenasah pria

harus dikubur dengan posisi tertelungkup, karena laki-laki adalah lambang akasa atau

langit yang memayungi pertiwi (bumi) serta bertujuan agar roh yang telah

bereinkarnasi menghadap ke Barat Laut sebagai wujud bakti kepada Bhatara Dalem

Karu. Jenasah wanita dikubur dengan posisi tengadah karena wanita adalah lambang

pertiwi atau bumi yang menghadap langit dan bertujuan agar roh yang telah

bereinkarnasi menuju Timur Laut sebagai bakti kepada Bhatara Sakti Gunung Agung.

Tempat penguburan di Bayung Gede berbeda-beda, yaitu kuburan yang paling Timur

adalah kuburan untuk anak-anak, kuburan bagian tengah untuk orang dewasa yang

masih bujang, paling Barat untuk kuburan orang tua. Lain halnya dengan orang yang

meninggal salah pati/ulah pati atau meninggal secara tidak wajar akan dikubur pada

! 63!

Seme Pengerancab, kuburan khusus untuk orang yang meninggal secara tidak wajar

(Ariawan, 1995 : 103).

Masyarakat Desa Bayung Gede tidak menjalani ritual ngaben dengan cara

membakar jenasah, tetapi yang dibakar adalah adegan atau simbol badan manusia

yang meninggal, biasanya prosesi tersebut dikenal dengan nama mianin. Tujuan

mianin adalah untuk meningkatkan taraf dari Sang Pitaa istilah Pitara atau roh

leluhur masyarakat di Desa Bayung Gede agar bisa bersatu dengan Tuhan.

2.7.3 Upacara Rsi Yadnya

Upacara Rsi Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan pada para rsi

atau orang suci dan para guru. Desa Bayung Gede menganut sistem pemerintahan ulu

apad dan Jero Kebayan Muncuk memiliki peranan yang sangat penting sebagai

pemimpin paduluan saih enembelas sekaligus juga memimpin upacara adat yang

berlangsung di Bayung Gede.

Upacara penyucian dan pembersihan kepada calon Jero Kebayan menjadi

tanggung jawab dari masyarakat Bayung Gede. Upacara yang dilakukan juga melalui

beberapa tahapan yang terdiri dari; 1) Upacara Mesayut dengan sesajen utama

mempersembahkan ayam serta ngaturang piuning; 2) Upacara Nilem dengan sesajen

utama menghaturkan sapi sebagai kurban dan dipersembahkan di Pura Bale Agung;

3) Upacara Mesayut kembali dilakukan sebagai bentuk penyucian dan pembersihan

dari raga atau badan dari calon Jero Kebayan Muncuk; 4) Upacara Mapas

! 64!

menghaturkan sesajen berupa ayam dan bebek yang dipersembahkan di Pura Bale

Agung; 5) Upacara Ngubung dilakukan dengan melakukan persembahyangan di pura-

pura dan ke segala arah sesuai dengan pengider-ider atau arah mata angin; 6)

Upacara Ngantah adalah upacara yang terbesar dengan menghaturkan banteng

dengan menghiasi tanduknya dengan emas serta pakaian, dan babi hitam yang

dihaturkan di Bale Agung, selain itu masyarakat juga menghaturkan dulang sejumlah

150 yang diletakkan berjejer di Bale Agung; 7) Upacara Nuada adalah upacara

tingkat akhir dengan menghaturkan kambing sebagai sesajen. Jero Kebayan terpilih

yang telah melakukan upacara ini akan dibuatkan rumah baru dan dilarang tinggal di

rumahnya yang lama. Warga Bayung Gede akan membangun rumah dalam waktu

satu hari dengan konsep “bah bangun” yang memiliki pengertian bah berarti runtuh

untuk memotong pohon dan bangun yang berarti mendirikan rumah yang juga

berdasarkan pada dewasa ayu atau hari baik. Jero Kebayan Muncuk diperbolehkan

menempati bangunan setelah 2-3 hari kemudian.

2.7.4 Upacara Manusa Yadnya

Upacara Manusa Yadnya adalah persembahan yang bertujuan untuk

kesempurnaan dan kesejahteraan hidup manusia. Di Bayung Gede upacara ini

diwujudkan dalam bentuk upacara perkawinan dan Usaba Lampuan yang

diperuntukkan bagi para daha dan teruna di Bayung Gede. Upacara ini dilaksanakan

sekitar empat tahun sekali dengan mengambil tempat di sebelah Selatan pemukiman

! 65!

di Pura Pelampuan. Selama pelaksanaan upacara tersebut, para peserta dilarang

memakai sandal dan keluar dari areal pura. Jika melanggar akan dikenakan sanksi

dengan membayar sebanyak tujuh puluh lima tandingan khusus yang berisi jaja uli

dan pisang. Proses upacara Usaba Lampuan dikatakan mirip seperti upacara

perkawinan.

Upacara Usaba Lampuan dimaksudkan sebagai acara perjodohan. Selama

pelaksanaan upacara para daha dan teruna diwajibkan untuk makan sirih. Anak dari

Jero Kebayan lebih diutamakan pada prosesi ini. Selama pelaksanaan upacara remaja

laki-laki tidak diperbolehkan mengejar wanita dan tidak boleh bersentuhan.

Pelaksanaannya berlangsung selama lima belas hari. Hari terakhir pelaksanaan para

peserta dibawa ke Pura Bale Agung, dengan memberikan pembatas berupa penjor

antara para daha dan teruna. Pemberian batas ini dilakukan karena terdapat

kepercayaan masyarakat bahwa jika para teruna sampai memegang daha, maka

pasangan tersebut harus dinikahkan.

2.7.5 Upacara Bhuta Yadnya

Upacara Bhuta Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan pada para

Bhuta Kala atau kekuatan-kekuatan alam yang bersifat negatif yang perlu dilebur

atau somya (disucikan) agar kembali pada sifat positif dan tidak mengganggu

kehidupan manusia. Upacara ini diwujudkan dalam upacara mecaru Tawur Kesanga

yang diadakan setahun sekali di sebelah Selatan pemukiman yakni pada pertemuan

! 66!

jalan menuju Seme Gede atau kuburan umum dan di sebelah Barat pada pertemuan

jalan menuju ke arah Seme Pengerancab. Tempat pelaksanaan mecaru oleh

masyarakat Desa Bayung Gede disebut sebagai pemangkalan, yaitu pintu keluar desa.

Selain dari Upacara Panca Yadnya seperti yang telah dijelaskan di atas

masyarakat Bayung Gede juga melakukan banyak upacara lainnya yang berhubungan

dengan kepercayan mereka terhadap alam semesta dan lingkungan seperti rangkaian

upacara untuk padi, upacara penggantungan ari-ari yang memiliki hubungan erat

dengan kepercayaan asal-usul manusia Bayung Gede dan keterkaitannya dengan

sistem ulu apad. Masyarakat Bayung Gede juga memiliki konsep kepercayan Bhuana

Agung, Bhuana Alit, Tri Hita Karana, Tri Angga, Tri Mandala dan Sekala Niskala

yang tercermin dalam pola perkampungan serta pandangan mereka terhadap

lingkungannya.

2.8 Pola Perkampungan Desa Bayung Gede

Pandangan masyarakat Bali mengenai konsep territorial memiliki dua

pengertian, yaitu : pertama, teritorial sebagai suatu kesatuan wilayah tempat para

warganya secara bersama-sama melaksanakan upacara-upacara dan berbagai kegiatan

sosial yang ditata oleh suatu sistem budaya dengan nama desa adat; dan kedua desa

sebagai kesatuan wilayah administrasi dengan nama desa dinas atau perbekelan

(Depdikbud, 1985). Sistem kemasyarakatan (organisasi) desa merupakan pengikat

warga yang diatur dalam awig-awig desa , kebiasaan dan kepercayaan (Bappeda,

1982:32). Teritorial sebagai suatu kesatuan wilayah di Bali, biasanya dibagi menjadi

! 67!

beberapa zona untuk menjalankan kegiatan kemanusiaan dan keagamaan. Pembagian

zona ruang desa di Bali memiliki tipologi yang berangkat dari tatanan tradisi yang

berdasarkan pada adat dan kepercayaan setempat. Bentuk tipologi paling utama

ditentukan oleh adanya konotasi yang bersifat dualistik antara profan dan sakral yang

diterjemahkan dalam wujud fisik dengan adanya area hulu atau luan dan hilir atau

teben (Alit, 2004:85).

Tipologi pemukiman di Bali dikenal sebagai pemukiman yang mewadahi

suatu masyarakat yang ketat berpegang dan mengamalkan unsur-unsur sistem

budayanya, terutama unsur kepercayaan atau religi dengan segala nilai, kaidah,

norma dan aturan-aturannya. Unsur kepercayaan ini merasuk pula ke dalam pola

pemukiman di Bayung Gede sebagai salah satu unsur lingkungan budayanya. Hal ini

dapat dibuktikan dengan adanya bermacam-macam pandangan yang terakumulasi

dalam suatu konsep yang dapat dijabarkan dalam berbagai norma dan aturan terhadap

pola dan orientasi pemukiman sesuai dengan idealisme masyarakatnya (Alit,

2004:78).

Ciri khas pola pemukiman di Bali dimana daerah tinggi (gunung, bukit)

sebagai area hulu (luan) dan area rendah sebagai area hilir (teben). Menurut Alit

(1996) ciri khas pola tempat tinggal dari unit terkecil sampai pola-pola pemukiman

skala regional diteladani dari kondisi topografi alam Bali. Desa Bayung Gede terletak

di pegunungan, sehingga kondisi geografis mempengaruhi pola pemukiman yang

linier atau memanjang dari Utara ke Selatan (kaja-kelod). Masyarakat Bayung Gede

! 68!

adalah masyarakat yang tetap teguh menjalankan kepercayaannya dan memiliki

idealisme tersendiri di dalam mengatur pola pemukiman desa sehingga selaras

dengan lingkungan dan budayanya. Masyarakat Bayung Gede mempraktekkan

konsep Tri Hita Karana yang mengatur keseimbangan antara manusia sebagai

Bhuana Alit dengan Bhuana Agung atau alam semesta. Konsepsi ini diwujudkan

dalam kehidupan sehari-hari sebagai unsur tunggal yang tercermin pada wadah

interaksinya, yaitu pola rumah dan desa yang memenuhi ketiga unsur tersebut.

Keharmonisan dari alam semesta dengan segala isinya yakni bhuana agung

(makrokosmos) dengan bhuana alit (mikrokosmos), dalam kaitan ini bhuana agung

adalah lingkungan buatan atau bangunan dan bhuana alit adalah manusia yang

mendirikan dan menggunakan wadah tersebut (Subandi, 1990). Manusia (bhuana

alit) merupakan bagian dari alam (bhuana agung), selain memiliki unsur pembentuk

yang sama, juga terdapat perbedaan ukuran dan fungsi. Manusia sebagai isi dan alam

sebagai wadah, senantiasa dalam keadaan harmonis dan selaras seperti manik atau

janin dalam cucupu atau rahim ibu (Dwijendra, 2003). Rahim sebagai tempat yang

memberikan kehidupan, perlindungan dan perkembangan janin tersebut, demikian

pula halnya manusia berada, hidup, berkembang dan berlindung pada alam semesta,

ini yang kemudian dikenal dengan konsep manik ring cucupu, dengan alasan itu pula,

setiap wadah kehidupan atau lingkungan buatan, berusaha untuk diciptakan senilai

dengan suatu bhuana agung, dengan susunan unsur-unsur yang utuh yaitu Tri Hita

Karana.

! 69!

Tri Hita Karana yang secara harfiah Tri berarti tiga, Hita berarti

kemakmuran, baik, gembira, senang dan lestari, dan Karana berarti penyebab. Tri

Hita Karana mengandung konsep Parahyangan yang berarti hubungan yang

harmonis dengan Sang Pencipta, Pawongan yang berarti hubungan yang harmonis

antara manusia dengan sesama manusia dan Palemahan yang berarti hubungan yang

harmonis antara manusia dengan alam lingkungan. Di Bayung Gede konsepsi Tri

Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari yang paling makro

(bhuana agung atau alam semesta) sampai pada hal yang paling mikro (bhuana alit

atau manusia). Alam semesta adalah jiwa atau Paramatma, manusia dan makhluk

hidup lainnya adalah tenaga atau prana dan jasad adalah Panca Maha Bhuta atau

unsur pembentuk alam semesta, sedangkan di tingkat desa, jiwa adalah Parahyangan

yang bertempat di Pura, tenaga adalah Pawongan atau masyarakat dan jasad adalah

Palemahan atau wilayah banjar (Dwijendra, 2003:10).

Tri Hita Karana atau tiga unsur kehidupan yang mengatur keseimbangan atau

keharmonisan manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad atau angga,

memberikan turunan konsep ruang yang disebut dengan Tri Angga. Secara harfiah

Tri berarti tiga dan Angga berarti badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu

: Utama Angga, Madya Angga dan Nista Angga, dalam alam semesta atau bhuana

agung, pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur Loka atau bumi, Bwah Loka atau

angkasa dan Swah Loka atau sorga. Ketiga nilai tersebut didasarkan secara vertikal,

dimana nilai utama pada posisi teratas atau sakral, madya pada posisi tengah dan

! 70!

nista pada posisi terendah atau kotor. Di Bayung Gede gunung memiliki nilai utama,

daratan bernilai madya dan lautan bernilai nista.

2.8.1 Zona Utama Angga

Tri Angga memberikan arahan tata nilai secara vertikal, juga terdapat tata nilai

hulu-teben, merupakan pedoman tata nilai di dalam mencapai tujuan penyelarasan

antara bhuana agung dan bhuana alit. Hulu-teben memiliki orientasi nilai antara lain:

1) berdasarkan sumbu bumi atau garis episentrum yaitu, arah kaja-kelod atau gunung

dan laut; 2) arah tinggi rendah atau tegeh dan lebah; 3) berdasarkan sumbu matahari

yaitu matahari terbit dan terbenam Timur-Barat (Sulistyawati dkk, 1985:7)

Tata nilai berdasarkan garis episentrum (kaja/gunung-kelod/laut) memberikan

nilau utama pada arah kaja/gunung dan nista pada arah kelod, sedangkan berdasarkan

sumbu matahari, nilai utama pada arah matahari terbit dan nista pada arah matahari

terbenam. Selain kedua konsep Tri Hita Karana dan Tri Angga, masyarakat Bayung

Gede juga mengenal konsep Tri Mandala atau konsep ruang horizontal. Konsep ini

terdiri dari Utama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala. Masyarakat

Bayung Gede menempatkan kegiatan yang bersifat sakral di daerah utama, seperti

berbagai bentuk upacara yadnya dan persembahan kepada para Dewa yang

dilaksanakan pada Pura Bale Agung yang terletak di Utara desa, sedangkan untuk

upacara kematian dan daerah pembuangan yang besifat nista terletak di Selatan desa.

Pola pemukiman desa Bayung Gede dengan jelas membagi zonasi ruang desa

menjadi tiga bagian yaitu bagian utama angga yang bertempat di Utara terdiri dari

! 71!

tempat suci yaitu: 1) Pura Bale Agung adalah tempat suci untuk memuja nenek

moyang yang mendirikan desa Bayung Gede; 2) Pura Puseh adalah tempat suci

untuk upacara adat yang dilaksanakan setiap 6 bulan sekali, sekaligus juga tempat

pemujaan nenek moyang pendiri desa dan Dewa Wisnu. Pura ini lebih ditinggikan

dari kontur tanah sekitar dan mempunyai sembilan tingkat meru; 3) Pura Pasek

Gelgel adalah tempat suci untuk memperingati Catur Wangsit dan dapat

dipergunakan untuk empat kasta; 4) Pura Panti Kayu Selem adalah tempat suci untuk

pelaksanaan upacara Usaba Agung; 5) Pura Ibu adalah tempat suci yang merupakan

pura pribadi sesepuh Desa Bayung Gede; 6) Pura Tangkas adalah tempat suci untuk

upacara adat menek kelih atau beranjak dewasa untuk anak; 7) Pura Pingit adalah

tempat suci untuk melakukan upacara pingit terhadap penduduk yang sedang

menjalani masa pingitan; Pura Pendem adalah tempat suci untuk pelaksanaan

upacara pada binatang lubak (musang) dan anjing.

2.8.2 Zona Madya Angga

Zona madya atau di tengah-tengah adalah kawasan perumahan dengan kondisi

pekarangan dan pola bangunan yang telah diatur di dalam awig-awig desa. Rumah-

rumah di Bayung Gede memanjang secara linier dari Utara ke Selatan dan

menghadap ke arah jalan utama desa. Fungsi jalan utama desa adalah sebagai ruang

terbuka milik komunitas dan sekaligus sebagai sumbu utama desa. Rumah-rumah

yang tidak menghadap ke jalan utama dibangun saling bertolak belakang dan

menghadap lorong sempit di depannya, lorong sempit ini seakan membentuk labirin

! 72!

teratur yang sedikit melengkung, sehingga ujung yang satu dengan yang lainnya tidak

terlihat.

Rumah penduduk Desa Bayung Gede terdiri atas satu pekarangan yang sempit

yang diapit oleh gang kecil yang diatur sedemikian rupa. Luas serta pola bangunan

dalam setiap pekarangan memiliki luas dan pola yang hampir seragam. Adanya

kesamaan luas karang paumahan atau pekarangan rumah dilandasi oleh peraturan

pemilikan tanah yang diatur dalam awig-awig atau peraturan adat setempat yang

berlaku secara turun-temurun. Pekarangan yang sempit itu dikelilingi oleh beberapa

bangunan dengan fungsi tersendiri. Bangunan tersebut antara lain : 1) paon atau

dapur yang berfungsi sebagai tempat kegiatan memasak sehari-hari dan juga sebagai

tempat untuk melaksanakan upacara kematian (menyimpan jenasah) sebelum dibawa

ke kuburan. Menurut kepercayaan masayarakat Desa Bayung Gede, paon atau dapur

merupakan tempat pemujaan Bhatara Guru dan Bhatara Brahma; 2) Bale adat

adalah bangunan yang berfungsi untuk melaksanakan kegiatan upacara Manusa

Yadnya, menurut kepercayaan masyarakat bangunan ini merupakan tempat pemujaan

Bhatara Aji Saraswati dan Hyang Kompyang; 3) Jineng atau lumbung adalah

tempat untuk menyimpan padi, bangunan ini merupakan tempat pemujaan Sri Manik

Galih Magembal, Ratu Sakti Gunung Lebah dan Patih Mas Pahit.

Sanggah (Merajan) adalah tempat pemujaan atau kuil untuk keluarga, letak

kuil ini tergantung pada pintu keluar atau kori, apabila pintu keluar menghadap ke

Timur, maka kuil menghadap ke Timur dan berada di sebelah Barat pekarangan

! 73!

rumah, dan demikian juga apabila pintu keluar menghadap ke Barat, maka kuil akan

diletakkan di sebelah Timur pekarangan rumah menghadap ke Barat. Sanggah di

Bayung Gede umumnya terdiri dari Palinggih Utama yaitu Sanggah Kemulan dan

Bhatara Guru. Di Desa Bayung Gede terdapat tempat pemujaan yang disebut Turus

Lumbung, yaitu palinggih yang sifatnya tentatif dan terbuat dari batang pohon

dadap (Erythrina variegata) setinggi 2m yang ditanam dan di atasnya diletakkan

anyaman bambu sebagai tempat untuk menaruh sesajen. Setiap pekarangan rumah

terdapat dua Turus Lumbung yang merupakan simbol dari kehidupan suami istri.

Jumlah Turus Lumbung dapat bertambah apabila anak yang telah menikah menetap

dalam satu pekarangan rumah.

Pekarangan rumah di Bayung Gede juga dilengkapi dengan natah, yang

biasanya terletak di tengah-tengah pekarangan di antara bangunan, fungsinya untuk

keperluan keluarga, seperti tempat bermain anak, tempat kegiatan upacara dan lain

sebagainya. Pekarangan rumah juga akan dikelilingi penyengker yang berfungsi

sebagai tembok pembatas pekarangan dan pintu keluar yang sempit sesuai dengan

sifat dan fungsi bangunan tersebut.

Adanya perkembangan dan kemajuan di bidang ekonomi, transportasi dan

komunikasi menyebabkan penduduk Bayung Gede mendirikan tempat tinggal baru

yang bersifat neolokal atau ngarangin pada tempat yang masih kosong di ladang atau

tegal dengan struktur bangunan yang sama seperti bangunan di desa induk.

! 74!

2.8.3 Zona Nista Angga

Zona nista terletak di Selatan desa dan terdiri dari beberapa areal kuburan.

Kuburan merupakan kawasan penting di Desa Bali Mula, karena masyarakatnya

menganut konsep bea tanem. Mengacu pada pembahasan pada bab sebelumnya

mengenai prosesi kematian serta jenis-jenis kuburan, di Bayung Gede terdapat satu

kuburan yang sangat unik dan dijadikan kawasan konservasi hutan di dalam desa

yaitu setra ari-ari.

Setra ari-ari masuk ke dalam zona nista angga atau kawasan yang kotor dan

leteh karena marupakan tempat penguburan ari-ari bayi yang baru lahir. Setra ari-ari

merupakan bagian integral dari Desa Bayung Gede dan menjadi kawasan yang sangat

penting di dalam zonasi pembagian ruang desa, karena terletak di kawasan nista

angga tapi memiliki status yang sakral bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan

hubungan yang dualitas antara kawasan sakral setra ari-ari dan kawasan profan

pemukiman oleh karena letak setra ari-ari yang berada di dalam kawasan desa induk

yang merupakan pusat Desa Bayung Gede. Desa Bayung Gede dikeliling oleh hutan

bambu dan perkebunan yang dikelola oleh masyarakat, setra ari-ari masuk ke dalam

salah satu kawasan hutan adat desa yang dimanfaatkan sebagai kawasan kuburan dan

dilindungi oleh awig-awig desa.

! 75!

Kaja(Utara) Gunung

Gambar 2.6 Konsepsi Arah Orientasi Ruang Desa Bayung Gede

Sumber : Eko Budihardjo (1986)

Kaja (Utara)/Gunung

Kangin(Timur)/Matahari Terbit

Kelod (Selatan)/Laut

Kauh (Barat)/Matahari Terbenam

Berdasarkan Sumbu Matahari

Tenggelam Terbit

Utam

a

Madya

Nista

Kaja/Gunung

Dataran

Kelod/Laut

Utama

Madya

Nista

Berdasarkan Sumbu Kaja/Kelod

Utamaning Madya

Madyaning Madya

Nistaning Madya

! 76!

Gambar 2.7 Denah Desa Bayung Gede

2.7 Denah Desa Bayung Gede

! 77!

Sumber : Dokumentasi Dewa Ayu, 2015

Keterangan denah : huruf = pura, angka = bangunan

1. Lapangan A. Pura Kawitan Dadia Gelgel

2. Pasar Bayung Gede B. Pura Gebagan

3. Pos Kambling C. Pura Pasek Kayu Selem

4. Kantor Desa D. Pura Ibu

! 78!

5. SD Negeri Bayung Gede E. Pura Bingin

6. Toilet F. Pura Puseh Bale Agung

7. Balai banjar G. Pura Dadia Tangkas

8. Bale Pewaregan H. Pura Puseh Kahyangan Tiga

9. Bale Kukul I. Pura Pelampuan

10. LPD Desa Bayung Gede J. Pura Dalem Mertiwi

11. Hutan Setra Ari-ari

! 79!

Gambar 2.8 Denah Pola Menetap Desa Bayung Gede

Sumber : Dokumentasi Dewa Ayu, 2015

Keterangan gambar :

1. Sanggah atau Merajan 5. Jineng atau lumbung

2. Bale adat 6. Kamar tidur

3. Paon atau dapur 7. Kamar mandi

4. Gudang

!