Upload
dodiep
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
STUDI LITERATUR
2.1. Tipe Kepemimpinan
Kepemimpinan mempunyai peran penting dalam pengembangan kehidupan organisasi karena
kepemimpinan yang baik dan sesuai dengan organisasi akan menyebabkan arah pergerakan
organisasi dalam mencapai tujuan menjadi jelas. Kepemimpinan didefinisikan sebagai pengaruh
antar pribadi yang dilakukan dalam suatu situasi, melalui proses komunikasi dan diarahkan
kepada pencapaian tujuan (Daft, 2006). Terdapat tiga aspek yang menonjol dari definisi tersebut
yaitu orang, pengaruh dan tujuan, dalam artian kepemimpinan muncul diantara orang-orang,
melibatkan penggunaan pengaruh dan digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan.
Walaupun garis besar konsep kepemimpinan sudah terlihat jelas pada definisi tersebut namun
pertentangan selalu terjadi dalam mendefinisikan konsep kepemimpinan secara lebih terperinci
(Daft, 2006). Pertentangan mengenai teori kepemimpinan disebabkan oleh adanya interaksi
dengan kompleksitas tinggi pada hubungan antara pimpinan, bawahan dan situasi sehingga
masing-masing peneliti memiliki pandangan yang berbeda dalam mendefinisikan konsep
tersebut (Kreitner & Kinicki, 2004). Beberapa peneliti mendefinisikan kepemimpinan sebagai
representasi ciri atau sifat yang ditunjukkan seseorang sejak lahir, sedangkan peneliti lain
mendefinisikan kepemimpinan sebagai sekumpulan perilaku yang ditunjukkan seseorang dalam
meningkatkan efektifitas organisasi. Selain itu, ada juga peneliti yang mempercayai bahwa
konsep kepemimpinan tersebut tidak nyata.
Horner (1997) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu cara yang dilakukan oleh
pemimpin dalam menciptakan visi yang jelas serta meningkatkan kepercayaan diri bawahan
melalui pengaruh, koordinasi dan komunikasi. Selanjutnya Schriesheim, Tolliver dan Behling
pada tahun 1978 mendefinisikan kepemimpinan sebagai pengaruh sosial yang digunakan oleh
pemimpin sebagai upaya mempengaruhi pengikut melalui proses komunikasi untuk mencapai
tujuan organisasional (Kreitner & Kinicki, 2004). Berdasarkan kedua definisi tersebut diketahui
bahwa kepemimpinan tidak sekedar menggunakan kekuatan dan kekuasaan dalam mencapai
tujuan organisasi namun juga harus mampu mempengaruhi anggota organisasi dengan baik.
Kreitner dan Kinicki (2004) menambahkan bahwa proses mempengaruhi yang baik mampu
10
menumbuhkan kesadaran serta mengakibatkan kesediaan anggota dalam melakukan usaha-usaha
secara sukarela untuk mencapai tujuan organisasi.
Jacobs dan Jacques pada tahun 1973 mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses
mempengaruhi dan memberi pengertian pada anggota kelompok untuk melakukan usaha kolektif
yang mengakibatkan timbulnya kesadaran dan kesediaan pada diri anggota kelompok dalam
melakukan usaha menuju pencapaian sasaran (Yukl, 1994). Selanjutnya Yukl (1994)
mendefinisikan kepemimpinan sebagai perilaku antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi
tertentu dan diarahkan melalui proses komunikasi menuju pencapaian tujuan organisasi.
Berdasarkan hal tersebut, Yukl (1994) menempatkan konsep kepemimpinan sebagai tulang
punggung organisasi serta merupakan hal penting yang mampu memimpin kehidupan dan
mengarahkan jalannya organisasi dalam mencapai tujuan.
Dari berbagai macam penjelasan mengenai kepemimpinan yang telah dijabarkan tersebut,
dapat diketahui bahwa kepemimpinan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang
pemimpin dalam merencanakan, mengorganisasi, melaksanakan dan mengawasi serta melakukan
proses mempengaruhi anggota organisasi, sehingga muncul kesadaran dalam diri anggota
organisasi untuk melakukan aktifitas bersama secara terorganisasi menuju tujuan organisasi.
Robbins (1996) menyatakan bahwa terdapat tiga haluan besar dalam pengembangan teori
kepemimpinan yaitu:
1. Teori kepemimpinan berdasarkan sifat (traits theory).
2. Teori kepemimpinan berdasarkan perilaku (behavior theory).
3. Teori kepemimpinan berdasarkan situasi (situational theory).
Berikut ini dijelaskan mengenai tiga haluan besar dalam teori kepemimpinan yang diungkapkan
oleh Robbins (1996) tersebut.
- Teori kepemimpinan berdasarkan sifat (traits theory)
Sejarah teori dan penelitian mengenai kepemimpinan dimulai oleh Bernard pada tahun 1926
yang menyatakan bahwa kepemimpinan dijelaskan oleh kualitas internal atau sifat yang dibawa
seseorang sejak lahir (Robbins, 1996). Teori ini dinamakan teori sifat (traits theory), dengan inti
teori yaitu seorang pemimpin adalah dilahirkan dan bukan dibuat atau direkayasa. Indikator dari
teori sifat adalah kemampuan mengarahkan secara alamiah, hasrat untuk memimpin, kejujuran
dan integritas, kepercayaan diri, kecerdasan serta pengetahuan yang luas mengenai pekerjaan.
Setelah teori sifat terungkap maka peneliti lain mulai melakukan penelitian lanjutan untuk
11
membuktikan validitas teori ini, namun ditemukan kelemahan teori ini yaitu tidak adanya
jawaban yang valid dan jelas mengenai berbagai macam sifat yang secara konsisten mampu
menggambarkan sebuah tipe kepemimpinan yang efektif. Selanjutnya Horner (1997)
menambahkan bahwa kelemahan lain dari teori sifat adalah tidak mampu menggambarkan
hubungan yang jelas antara atasan dan bawahan serta situasi pekerjaan.
- Teori kepemimpinan berdasarkan perilaku (behavior theory)
Kelemahan teori sifat menjadi dasar munculnya teori kepemimpinan berdasarkan perilaku,
dimana Halpin dan Winer pada tahun 1950 mengemukakan sebuah teori kepemimpinan dengan
penekanan pada perbuatan atau perilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin dan bukan dinilai dari
sifat yang dibawa sejak lahir (Robbins, 1996). Teori ini dinamakan teori perilaku (behavior
theory), dengan inti teori yaitu seseorang dikatakan pemimpin atau mengerti konsep
kepemimpinan tergantung dari perilaku yang ditunjukkan dalam meningkatkan efektifitas dan
mencapai tujuan organisasi. Halpin dan Winer (1950) menambahkan bahwa semua orang dapat
menjadi pemimpin yang sukses atau mengerti konsep kepemimpinan dengan mempelajari
perilaku seorang pemimpin yang telah sukses.
Banyak peneliti melakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan validitas teori ini.
Penelitian lanjutan mengenai teori ini dimulai oleh Universitas Ohio dan Michigan yang
menghasilkan dua dimensi kepemimpinan berdasarkan perilaku yaitu:
1. Consideration atau kepemimpinan berorientasi pekerja, yang menekankan pada rasa dan
hubungan antar individu pekerja.
2. Initiating structure atau kepemimpinan berorientasi tugas, yang menekankan pada pekerjaan
dalam mencapai tujuan.
Hasil dari penelitian menyatakan bahwa pemimpin yang berorientasi pada pekerja diyakini
dapat menimbulkan produktifitas yang tinggi dan kepuasan kerja. Selanjutnya Universitas Iowa
mengemukakan pendekatan lain yang dianggap mampu menggambarkan teori kepemimpinan.
Menurut Universitas Iowa, terdapat tiga dimensi yang mampu menjelaskan mengenai teori
kepemimpinan yaitu:
1. Democratic, yaitu mendelegasikan tugas dan selalu melibatkan karyawan.
2. Autocratic, yaitu melakukan sentralisasi perintah dan pendiktean.
3. Laissez-faire styles, yaitu kebebasan dalam melakukan apapun atau pemimpin yang tidak
terlalu peduli pada aktifitas karyawan (no leadership).
12
Blake dan Mouton pada tahun 1964 mengembangkan model kepemimpinan lanjutan dengan
berbasis pada hasil penelitian dari Universitas Ohio, Michigan dan Iowa (Robbins, 1996). Blake
dan Mouton (1964) merumuskan dua dimensi yang hampir serupa dengan penelitian Ohio dan
Michigan yaitu concern for people dan concern for output. Kedua dimensi tersebut
dikombinasikan sehingga menghasilkan lima kombinasi baris gaya manajerial (managerial styles
grid) yaitu:
1. Impoverished leader (manajemen jatuh miskin), yaitu pemimpin yang memiliki perhatian
rendah baik terhadap pegawai, produksi maupun tugas.
2. Authority-obedience (wewenang ketaatan), yaitu pemimpin yang berperilaku otokratis,
pemegang tugas yang keras serta memiliki berbagai karakteristik pengawasan tertutup.
3. Middle of the road management (manajemen manusia-organisasi), yaitu pemimpin yang
memiliki perhatian terhadap pegawai, produksi maupun tugas.
4. Country club management (manajemen santai), yaitu pemimpin yang berperilaku serba
mengijinkan dengan tekanan pada pemeliharaan keuangan dan kepuasan pegawai.
5. Team management (manajemen tim), yaitu pemimpin yang berperilaku demokratis dan
memberikan perhatian penuh, baik terhadap produksi maupun semangat kerja dan kepuasan
kerja pegawai, melalui penggunaan pendekatan partisipatif atau tim dalam pelaksanaan
pekerjaan.
Namun seperti penelitian yang dilakukan pada teori sifat, teori kepemimpinan berbasis
perilaku gagal dalam pelaksanaannya karena teori ini belum sepenuhnya dapat menjelaskan
mengenai kepemimpinan dan mengabaikan faktor situasi. Faktor situasi pekerjaan seharusnya
tidak boleh diabaikan karena tidak ada satu pun gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap
pemimpin pada seluruh situasi pekerjaan (Suprihanto, Harsiwi & Hadi, 2003).
- Teori kepemimpinan berdasarkan situasi (situational theory)
Berdasarkan kelemahan teori sifat dan teori perilaku yang telah mengabaikan faktor situasi
pekerjaan maka pendekatan mengenai teori kepemimpinan yang menghubungkan sifat maupun
perilaku dengan situasi pekerjaan mulai dilakukan. Pendekatan ini dinamakan pendekatan
situasional yang mengemukakan bahwa keefektifan kepemimpinan tergantung pada kesesuaian
antara kepribadian, tugas, kekuasaan, sikap dan persepsi (Suprihanto et al., 2003). Pendekatan ini
dianggap sebagai pendekatan paling ideal dalam menjelaskan hubungan antara pemimpin,
bawahan dan situasi (Horner, 1997). Menurut Horner (1997), inti dari teori situasional
13
menggambarkan bahwa tipe yang digunakan oleh pemimpin tergantung pada faktor-faktor
seperti pemimpin itu sendiri, pengikut serta situasi, dengan kata lain seorang pemimpin harus
mampu mengubah tipe kepemimpinan secara cepat, tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan
situasi.
Salah satu teori kepemimpinan yang menggunakan pendekatan situasional adalah teori
kepemimpinan kontijensi yang dikembangkan oleh Fiedler pada tahun 1967 (Horner, 1997).
Teori kepemimpinan kontijensi menyatakan bahwa kinerja pegawai yang efektif hanya dapat
tercapai apabila terjadi kesamaan visi antara tipe kepemimpinan seorang pemimpin dengan
bawahannya serta sejauh mana pemimpin mampu mengendalikan situasi. Tiga dimensi penting
yang muncul pada model kepemimpinan kontijensi yaitu:
1. Leader-member relations, yaitu hubungan pemimpin dengan anggota, besaran kadar
kepercayaan serta respek dari bawahan terhadap pemimpin.
2. Task structure, yaitu kadar formalisasi dan prosedur operasional standar pada struktur tugas
yang diberikan oleh pemimpin.
3. Position power, yaitu otoritas pemimpin pada suatu situasi seperti penerimaan dan
pemberhentian pegawai, disiplin, promosi serta peningkatan upah.
Teori kepemimpinan situasional lainnya dikemukakan oleh Vroom dan Yetton pada tahun
1973 (Horner, 1997). Teori yang dinamakan teori normatif Vroom-Yetton ini menjelaskan
mengenai bagaimana seorang pemimpin harus memimpin bawahan dalam berbagai situasi.
Model ini menunjukkan bahwa tidak ada satupun tipe kepemimpinan yang dapat efektif
diterapkan dalam berbagai situasi. Pilihan mengenai tipe kepemimpinan yang akan dianut hanya
efektif jika sesuai dengan situasi yang dihadapi. Selanjutnya House dan Mitchell pada tahun
1974 mengemukakan teori situasional dengan berbasis pada hasil penelitian dari Universitas
Ohio (Robbins, 1996). Teori yang dinamakan sebagai teori path goal (jalan tujuan) ini
mengungkapkan bahwa seorang pemimpin mempunyai tugas untuk membantu bawahan dalam
mencapai tujuan-tujuan (goal) mereka dan menyediakan petunjuk (path) atau dukungan yang
diperlukan untuk memastikan bahwa tujuan tersebut sejalan dengan tujuan organisasi secara
keseluruhan.
Teori path goal membedakan empat perilaku pemimpin yaitu direktif, suportif, partisipatif
dan berorientasi pencapaian hasil kerja (kinerja), kemudian dikombinasikan dengan tiga jenis
sikap bawahan yaitu kepuasan kerja, penerimaan pemimpin dan harapan tentang hubungan
14
antara usaha, prestasi dan kompensasi. Teori path goal mengasumsikan bahwa pemimpin harus
fleksibel sehingga apabila situasi membutuhkan perubahan tipe kepemimpinan maka pemimpin
mampu mengganti tipe kepemimpinannya secara cepat. Namun Horner (1997) mengungkapkan
bahwa dari sekian banyak peneliti yang meneliti tentang teori situasional ternyata diketahui
bahwa teori situasional sangat ambigu karena teori situasional lebih menjelaskan konsep-konsep
manajerial, dengan kata lain teori tersebut seharusnya ditujukan untuk manajer. Selain itu, teori
situasional tidak mampu menjelaskan mengenai konsep kepemimpinan itu sendiri. Kelemahan
lain dari teori ini adalah tidak menjelaskan perlu atau tidaknya pekerja mengubah perilaku,
seperti yang dilakukan pemimpin, sesuai dengan perubahan situasi pekerjaan.
Berdasarkan pemaparan mengenai tiga haluan besar teori kepemimpinan, sebenarnya muncul
harapan bahwa teori-teori tersebut mampu memberikan gambaran jelas mengenai teori-teori
kepemimpinan yang dapat digunakan dalam organisasi. Namun pada kenyataannya kelemahan-
kelemahan masih muncul pada masing-masing teori tersebut. Berdasarkan kelemahan-kelemahan
tersebut maka penelitian-penelitian lanjutan yang awalnya meneliti mengenai sifat dan perilaku
pemimpin serta kaitannya dengan situasi, bergerak menuju penelitian yang berfokus pada
interaksi antara pemimpin dan bawahan (Schimmoeller, 2006). Schimmoeller (2006)
menyatakan bahwa salah satu alternatif pendekatan teori, berkaitan dengan interaksi antara
pemimpin dan bawahan, untuk meneliti konsep kepemimpinan adalah teori tipe kepemimpinan
transaksional dan transformasional. Teori ini muncul karena teori-teori terdahulu tidak mampu
menciptakan perubahan mendasar berkaitan dengan tingkah laku, nilai-nilai dan kebutuhan,
dimana perubahan tersebut diperlukan untuk menghasilkan peningkatan kinerja pegawai.
- Teori tipe kepemimpinan transaksional dan transformasional
Konsep awal mengenai kepemimpinan transaksional dan transformasional dikemukakan oleh
Burns pada tahun 1978 dan dikembangkan lebih lanjut oleh Bass pada tahun 1985 (Bass, Avolio,
Jung & Berson, 2003). Burns (1978) mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai
kepemimpinan berdasarkan transaksi atau pertukaran yang terjadi antara pemimpin dan
bawahan. Pertukaran ini didasarkan pada diskusi pemimpin dengan pihak-pihak terkait untuk
menentukan kebutuhan, spesifikasi serta kondisi imbalan atau hadiah yang akan diberikan
kepada bawahan jika bawahan memenuhi atau mencapai syarat-syarat yang ditentukan oleh
pemimpin. Kepemimpinan transaksional melihat kebutuhan bawahan sebagai motivator potensial
dan menyadarkan bawahan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh bawahan akan mendapat
15
imbalan yang pantas (Schimmoeller, 2006). Bass (1985) mendefinisikan kepemimpinan
transaksional berhubungan dengan kebutuhan bawahan yang difokuskan pada perubahan
(attention on exchanges), dimana pemimpin memenuhi kebutuhan bawahan dalam perubahan
untuk meningkatkan kinerja. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin transaksional bertindak
dengan menghindari resiko dan membangun kepercayaan diri bawahan agar bawahan mampu
mencapai tujuan.
Dalam kepemimpinan transaksional, proses memandu dan memotivasi pengikut dilakukan
dengan menjelaskan hak dan kewajiban, peran serta tuntutan tugas. Bila pengikut berhasil
melaksanakan tugas maka pengikut berhak mendapat imbalan (Robbins, 1996). Menurut
Robbins, pola hubungan pemimpin dan bawahan dalam kepemimpinan transaksional dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Pemimpin mengetahui keinginan bawahan dan berusaha menjelaskan bahwa bawahan akan
memperoleh apa yang diinginkan apabila kinerja mereka memenuhi harapan.
2. Pemimpin memberikan atau menukar usaha-usaha yang dilakukan bawahan dengan imbalan
atau janji untuk mendapatkan imbalan.
3. Pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadi bawahan selama kepentingan pribadi
tersebut sepadan dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan oleh bawahan.
Selanjutnya Bass (1985) menyatakan bahwa karakteristik kepemimpinan transaksional
ditunjukkan oleh tiga dimensi yaitu:
1. Contingent reward (imbalan kontinjen)
Kepemimpinan ini merupakan perilaku yang menjelaskan harapan bawahan dan imbalan yang
didapat apabila bawahan mencapai tingkat kinerja yang diharapkan. Imbalan kontinjen
ditunjukkan dalam bentuk perilaku pemimpin yang memberitahukan kepada anggota
mengenai kegiatan yang harus dilakukan jika ingin memperoleh imbalan tertentu, selalu
berbicara mengenai rekomendasi dan promosi untuk setiap pekerjaan yang dilakukan bawahan
dengan baik, menjamin bahwa bawahan akan mendapatkan keinginannya sebagai pengganti
usaha-usaha yang telah dilakukan, bawahan dapat menegosiasikan apa yang akan diperoleh
dari usaha yang telah dilakukan serta memberikan keinginan bawahan sebagai pengganti atas
dukungan yang diberikan bawahan kepada organisasi.
16
2. Active management by exception (manajemen eksepsi aktif)
Kepemimpinan ini merupakan perilaku yang memantau pelaksanaan tugas dan masalah yang
mungkin muncul serta melakukan tindakan perbaikan untuk memelihara kinerja yang telah
ada. Dalam hal ini pemimpin menunjukkan adanya aturan dan pengendalian agar bawahan
terhindar dari kesalahan dan kegagalan melaksanakan tugas. Pemimpin juga selalu memantau
gejala penyimpangan, kesalahan anggota serta melakukan tindakan perbaikan atau
menunjukkan sikap korektif yang bersifat aktif pada permasalahan dan kinerja anggota.
3. Laissez-faire atau passive avoidant
Kepemimpinan ini merupakan perilaku yang tidak mengupayakan adanya kepemimpinan (no
leadership), bereaksi hanya setelah terjadi kesalahan dan menghindari mengambil keputusan.
Dalam kepemimpinan ini, pemimpin memberikan kebebasan penuh pada bawahan untuk
bertindak, menyediakan materi serta tidak mau berpartisipasi kecuali menjawab pertanyaan
dan tidak membuat evaluasi atau penilaian. Pemimpin juga cenderung membiarkan bawahan
melakukan pekerjaan dengan cara yang sama setiap waktu. Kepemimpinan ini merupakan
gabungan dari perilaku kepemimpinan laissez-faire dengan kepemimpinan eksepsi pasif serta
merupakan dimensi yang paling ekstrim dan tidak efektif.
Penelitian-penelitian mengenai tipe kepemimpinan transaksional menyimpulkan bahwa
segala aktifitas pekerjaan yang dilakukan bawahan harus memiliki harga atau mendapatkan
imbalan. Namun hal tersebut justru menjadi kelemahan tipe kepemimpinan transaksional karena
komitmen bawahan terhadap organisasi biasanya berjangka pendek (Avolio, Bass & Jung, 1999).
Avolio et al. (1999) menambahkan bahwa aktifitas pekerjaan bawahan hanya terfokus pada
negosiasi upah serta mengabaikan pemecahan masalah atau visi bersama. Komitmen bawahan
terhadap organisasi akan tergantung pada sejauh mana kemampuan organisasi dalam memenuhi
keinginan bawahan. Hal tersebut mendorong Bass (1990) untuk mengembangkan konsep
kepemimpinan transformasional untuk melengkapi teori kepemimpinan transaksional yang masih
memiliki kelemahan.
Bass mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai pemimpin adaptif yang bekerja
efektif dalam perubahan lingkungan yang cepat dengan membantu menghadapi tantangan yang
dihadapi pemimpin dan pengikut serta melakukan respon yang sesuai terhadap tantangan
tersebut (Avolio et al., 1999). Kepemimpinan transformasional bukan kepemimpinan yang
bersifat jangka pendek namun lebih terfokus pada jangka panjang dengan cara mengembangkan
17
visi secara berkesinambungan untuk menginspirasi pengikut tanpa menghiraukan akibat
negatifnya, sehingga dengan sikap itu diharapkan motivasi, kepuasan, komitmen, produktifitas
dan kinerja bawahan menjadi meningkat. Bass pada tahun 1990 mencontohkan sosok Adolf
Hitler sebagai seorang pemimpin transformasional karena Hitler mampu mengayomi seluruh
keinginan bawahan tanpa menghiraukan akibat negatifnya sehingga pengaruh kepemimpinan
Hitler masih dirasakan oleh rakyat Jerman selama bertahun-tahun setelah kematiannya
(Schimmoeller, 2006).
Bass (1985) menyatakan bahwa proses kepemimpinan transformasional dapat dicapai
melalui tiga cara yaitu:
1. Mendorong dan meningkatkan kesadaran anggota mengenai penting dan bernilainya tujuan
yang akan dicapai dan cara pencapaiannya.
2. Mendorong anggota untuk mendahulukan kepentingan kelompok atau organisasi daripada
kepentingan pribadi.
3. Meningkatkan jenis kebutuhan anggota atau memperluas cakupan kebutuhan tersebut.
Karakteristik kepemimpinan transformasional dijelaskan oleh empat dimensi yaitu (Bass et
al., 2003):
1. Idealized influence (idealisasi pengaruh)
Kepemimpinan ini merupakan perilaku yang menjadi panutan bagi bawahan, memberikan
kesadaran akan visi dan misi, menghasilkan rasa hormat, percaya dan bangga serta
memperlihatkan standar etika moral yang tinggi. Idealisasi pengaruh menekankan pada
pengaruh ideologi, idealisme dan nilai-nilai yang dianut. Pemimpin dipercaya, dihormati dan
dikagumi oleh bawahan sehingga bawahan ingin mengidentifikasikan diri dengan para
pemimpinnya. Pemimpin ini juga didukung oleh bawahan karena memiliki kemampuan dan
keteguhan hati yang luar biasa, berani mengambil resiko dan bertindak secara konsisten.
Pemimpin dipercaya dapat melakukan hal yang benar serta menunjukkan standar etika dan
moral yang tinggi.
2. Inspirational motivation (motivasi inspirasional)
Kepemimpinan ini merupakan perilaku yang menumbuhkan ekspektasi tinggi melalui
pemanfaatan simbol untuk memfokuskan usaha, membangkitkan antusiasme dan optimisme
serta mendorong bawahan unuk mencapai masa depan yang lebih baik. Pemimpin
membangkitkan antusiasme para bawahan untuk bekerja secara kelompok dan membangun
18
kepercayaan melalui kemampuan melakukan pekerjaan dengan sukses dan mencapai tujuan
kelompok. Pemimpin memotivasi dan menginspirasi bawahan dengan cara memberi makna
dan tantangan pada pekerjaan bawahan serta menciptakan harapan-harapan yang
dikomunikasikan secara jelas sehingga bawahan ingin mencapainya.
3. Intellectual stimulation (stimulasi intelektual)
Kepemimpinan ini merupakan perilaku yang meningkatkan kecerdasan dan rasionalitas
bawahan, mendorong bawahan menemukan cara baru yang dapat digunakan untuk
memecahkan masalah dan mendorong bawahan untuk mengkaji kembali metode-metode yang
selama ini digunakan. Pemimpin secara intelektual merangsang pengikut agar inovatif dan
kreatif dengan cara mempertanyakan kondisi yang berlaku sekarang ini, mempertanyakan
asumsi dan melihat kembali masalah-masalah serta situasi lama dengan cara baru. Pemimpin
merangsang timbulnya inovasi dan cara-cara baru untuk menyelesaikan masalah secara
berhati-hati sehingga pengikut didorong untuk memahami konsep dan masalah dengan lebih
baik. Pemimpin tidak akan menyalahkan bawahan apabila melontarkan gagasan-gagasan yang
berbeda dengan pemimpin dan menghargai kesalahan yang muncul dalam proses inovasi dan
kreatifitas.
4. Individual consideration (konsiderasi individual)
Kepemimpinan ini merupakan perilaku yang bertindak sebagai pelatih atau pembimbing
terhadap kebutuhan prestasi bawahan, memperlakukan bawahan sebagai individu yang
berbeda-beda dan membantu bawahan dalam mengembangkan potensi mereka.
Kepemimpinan yang konsiderasi individual adalah pemimpin yang mau memberikan
perhatian kepada pengikut dan membuat pengikut merasa bahwa dirinya bernilai penting.
Pemimpin mau melatih dan memberikan nasehat pada setiap bawahan untuk mengembangkan
diri dan mampu mencapai tingkat potensi yang lebih tinggi. Pemimpin juga memperlakukan
bawahan sebagai pribadi yang utuh sehingga mereka mampu menghasilkan kinerja yang
maksimal.
Dari berbagai pemaparan mengenai berbagai macam tipe kepemimpinan, diketahui bahwa
tipe kepemimpinan transformasional merupakan tipe yang tepat dan sesuai bagi sebuah
organisasi pada saat ini. Tipe kepemimpinan ini tidak hanya sekedar menggunakan kekuatan dan
kekuasaan dalam mencapai tujuan namun juga mampu mempengaruhi anggota organisasi dengan
cara-cara yang sesuai. Cara-cara yang sesuai tersebut menyebabkan pegawai senang dalam
19
menerima tugas dari pemimpin sehingga pegawai puas dalam bekerja dan tidak menganggap
tugas tersebut sebagai beban dalam bekerja (Oshagbemi, 2000).
Humphreys (2005) menyatakan bahwa pemimpin yang menerapkan gaya memimpin
transformasional dengan karakteristik yang diungkapkan oleh Bass akan menyebabkan
terjadinya perubahan yang konstan menuju kearah perbaikan bagi organisasinya. Dengan
perubahan-perubahan positif tersebut, pegawai siap untuk menerima tugas yang diberikan
pemimpin tanpa beban, senang dan puas dalam melakukan pekerjaannya serta akan
meningkatkan produktifitas dan kinerja pegawai yang bersangkutan. Selanjutnya Metcalfe dan
Metcalfe (2006) menyatakan bahwa saat ini teori tipe kepemimpinan transformasional yang
dikembangkan oleh Bass sering digunakan dalam penelitian yang berkaitan dengan
kepemimpinan pada sektor publik. Hal tersebut menandakan bahwa teori ini mampu diterima
oleh seluruh lapisan yang ada dalam organisasi. Metcalfe dan Metcalfe (2006) menambahkan
bahwa seringnya teori kepemimpinan transformasional digunakan pada penelitian di sektor
publik juga disebabkan oleh banyaknya kelemahan yang terdapat pada tiga haluan besar teori
kepemimpinan dan teori kepemimpinan transaksional sehingga teori-teori tersebut sudah
dianggap ‘old paradigm’ atau paradigma usang dalam penelitian pada sektor publik.
2.2. Sistem Kompensasi
Kompensasi merupakan fungsi penting bagi elemen manusia, baik pegawai maupun
manajemen, yang ada dalam organisasi. Bagi pegawai, kompensasi adalah wujud penghargaan
organisasi atas hasil kerja (kinerja) yang telah dilakukan dalam membantu organisasi untuk
mencapai tujuannya. Sedangkan bagi manajemen, kompensasi merupakan kewajiban utama yang
harus dilakukan sebagai representasi rasa terima kasih atas kinerja yang telah ditunjukkan
pegawai. Dalam merancang suatu paket atau sistem kompensasi, biasanya keinginan manajemen
dan pegawai selalu bertentangan. Pegawai menginginkan pendapatan tetap, kompensasi ekstra
untuk kinerja diatas rata-rata serta kompensasi yang layak berdasarkan pengalaman dan masa
kerja, sedangkan manajemen harus mempertimbangkan suatu sistem kompensasi secara optimal
baik dari sisi ekonomi maupun kemudahannya (Zobal, 1998).
Menurut Dessler (1997), sistem kompensasi yang ideal dapat memberi kepuasan kerja bagi
pegawai dan sistem kompensasi yang tidak memadai menyebabkan kepuasan kerja pegawai
terganggu, produktivitas dan kinerja menurun, mogok kerja, keluhan-keluhan serta berdampak
20
pada pengunduran diri atau meninggalkan pekerjaan untuk mencari pekerjaan lain yang
memberikan pendapatan lebih tinggi. Namun Zobal (1998) menyatakan bahwa pemberian
kompensasi yang terlalu tinggi justru menyebabkan menurunnya daya saing perusahaan,
kegelisahan diantara pegawai dan ketidaknyamanan dalam bekerja, sehingga sistem kompensasi
harus dirancang sedemikian rupa oleh pihak pemberi kerja atau manajemen dengan harapan
kepuasan kerja dan kinerja pegawai meningkat. Oleh karena itu tidak mengherankan jika
sebagian besar organisasi, baik pemerintah maupun swasta, menghabiskan waktu dan usaha
untuk memikirkan sistem kompensasi yang sesuai bagi semua pihak dalam organisasi.
Sistem kompensasi didefinisikan oleh Dessler (1997) sebagai sesuatu yang diterima para
pegawai berupa balas uang dan balas jasa lainnya atas jasa kerja pegawai. Dessler (1997)
menambahkan bahwa sistem kompensasi memiliki dua komponen secara umum yaitu:
1. Sistem pembayaran keuangan langsung yaitu berupa gaji, insentif, komisi dan bonus.
2. Sistem pembayaran keuangan tidak langsung yaitu berupa tunjangan seperti asuransi dan uang
liburan, fasilitas anak, uang pensiun dan rencana pendidikan.
Menurut Kotler (1997), kompensasi yang akan diberikan kepada pegawai harus disesuaikan
dengan kondisi pasar atau upah minimum yang disyaratkan oleh pihak serikat pekerja,
kompensasi dibawah pasar akan menyebabkan kualitas dan kuantitas pelamar yang diperoleh
kurang memenuhi syarat, sedangkan kompensasi diatas pasar menjadi tidak ada gunanya. Oleh
sebab itu untuk merancang sistem kompensasi yang sesuai, manajemen harus menetapkan
komponen-komponen dan tingkat kontribusi efektif dari masing-masing komponen tersebut
terhadap sistem kompensasi. Kotler (1997) merumuskan empat buah komponen dalam sistem
kompensasi yang dapat diterapkan pada suatu organisasi yaitu:
1. Pendapatan tetap yaitu berupa gaji pokok untuk memenuhi kebutuhan dasar pegawai.
2. Pendapatan variabel yaitu berupa komisi, insentif, bonus atau pembagian keuntungan yang
digunakan sebagai perangsang untuk dapat bekerja lebih giat.
3. Pendapatan finansial lainnya yaitu berupa biaya transportasi dan biaya akomodasi apabila
ditugaskan ke luar daerah.
4. Pendapatan lainnya yaitu berupa asuransi kecelakaan, pensiun, asuransi jiwa maupun liburan
yang dapat memberikan rasa aman dan kepuasan kerja bagi pegawai.
21
Kemudian Davis dan Newstron pada tahun 1987 menyatakan bahwa terdapat tiga hal yang
harus diperhatikan dan dijadikan landasan dalam merancang sistem kompensasi yang baik,
lengkap dan ekonomis yaitu (Peni, 2005):
1. Job evaluation; untuk menentukan gaji dasar atau pokok yang diperoleh pegawai sesuai
dengan tugas dan tanggung jawab.
2. Performance appraisal; untuk memberikan besaran insentif yang sesuai dengan kinerja yang
dilakukan pegawai.
3. Profit sharing; untuk memperhatikan besar keuntungan yang harus dibagikan kepada
pegawai.
Pada Gambar 2.1 dijelaskan garis besar perancangan sistem imbalan menurut Davis dan
Newstron (1987).
Gambar 2.1
Piramida Kompensasi
Robbins (1996) menyatakan bahwa perancangan sistem kompensasi yang baik harus
disesuaikan dengan kebutuhan dasar manusia, dimana teori kebutuhan dasar manusia terdiri dari
kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan akan harga diri dan
kebutuhan aktualisasi diri. Berdasarkan teori kebutuhan dasar manusia tersebut maka
perancangan sistem kompensasi yang dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia
tersebut yaitu:
22
1. Kebutuhan fisiologis: bentuk imbalan yang diberikan berupa gaji, upah, insentif atau bonus
dalam bentuk uang tunai.
2. Kebutuhan rasa aman: bentuk imbalan yang diberikan berupa asuransi kesehatan, pensiun,
atau tunjangan lainnya.
3. Kebutuhan sosial: bentuk imbalan yang diberikan berupa kondisi kerja yang nyaman serta
kemudahan untuk memperoleh pelayanan sosial seperti kantin, tempat ibadah, atau fasilitas
olahraga.
4. Kebutuhan harga diri: bentuk imbalan yang diberikan berupa pengakuan, promosi serta
jabatan.
5. Kebutuhan aktualisasi diri: bentuk imbalan yang diberikan berupa kemandirian dan tanggung
jawab.
Selanjutnya menurut Robbins (1996), sistem kompensasi didefinisikan sebagai sesuatu yang
diberikan oleh organisasi kepada pegawai dengan tujuan untuk menarik pegawai berkualitas agar
bersedia bergabung dalam organisasi, mempertahankan kinerja positif pegawai serta memotivasi
pegawai untuk mencapai kinerja yang lebih baik lagi. Berdasarkan definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa perancangan sistem kompensasi yang baik tentu sangat dibutuhkan apabila
organisasi ingin mencapai tujuannya dan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas.
Oleh karena pentingnya kompensasi maka pemberian kompensasi secara optimal akan
membantu organisasi untuk meningkatkan kepuasan kerja pegawai dalam usaha membangun
hubungan yang baik dengan pegawai. Robbins (1996) secara umum membagi sistem kompensasi
menjadi tiga yaitu kompensasi intrinsik, kompensasi ekstrinsik langsung dan kompensasi
ekstrinsik tak langsung. Kompensasi intrinsik adalah kompensasi yang diterima pegawai secara
pribadi yang dapat memberikan dampak langsung terhadap kepuasan kerja pegawai, kompensasi
ekstrinsik langsung adalah kompensasi yang mudah diukur dan menjadi kewajiban organisasi
untuk memenuhinya secara langsung, dan kompensasi ekstrinsik tidak langsung adalah
kompensasi yang mudah diukur dan menjadi kewajiban organisasi untuk memenuhinya secara
tidak langsung. Pada Tabel 2.1 dijelaskan secara menyeluruh mengenai sistem kompensasi
menurut Robbins (1996).
23
Tabel 2.1 Jenis-Jenis Sistem Kompensasi
Sistem Kompensasi
Intrinsik
Partisipasi dalam pengambilan keputusanKebebasan dan keleluasaan bekerjaTanggung jawab yang lebih besarKesempatan untuk berkembang
Ekstrinsik Langsung
Gaji pokokUang lembur dan liburanBonus prestasiPembagian keuntungan
Ekstrinsik Tidak Langsung
Program perlindungan (asuransi)Gaji tetap dalam kondisi tidak dapat melakukan pekerjaanRuang kantor khusus yang nyamanAsisten pribadi
Sumber: Robbins, S.P. (1996). Organizational Behaviour: Concept, Controversies, Applications. Prentice-Hall, Inc. New Jersey.
Selanjutnya Ivancevich dan Matteson (2002) merumuskan sistem kompensasi yang serupa
dengan sistem kompensasi dari Robbins (1996), namun sistem kompensasi yang dirumuskan
hanya terdiri atas dua komponen dan tidak selengkap komponen sistem kompensasi yang
dijelaskan oleh Robbins (1996). Komponen pertama dinamakan sebagai kompensasi ekstrinsik
yang terdiri dari gaji pokok, tunjangan pensiun, asuransi kesehatan serta bonus, dan komponen
kedua dinamakan kompensasi intrinsik yang terdiri dari pengakuan dari pihak atasan serta
kesempatan untuk berkembang.
Zobal (1998) menyatakan bahwa istilah kompensasi, imbalan, maupun upah sebenarnya
memiliki makna yang sama namun dapat berarti macam-macam bagi setiap orang. Selanjutnya
Zobal menambahkan, berdasarkan American Compensation Association’s (ACA, 1995),
kompensasi didefinisikan sebagai pembayaran langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja
bagi pelayanan yang diberikan oleh pekerja sehingga definisi tersebut memiliki arti yang
bermacam-macam. Misalnya kompensasi yang berbentuk upah mingguan atau kompensasi yang
berbentuk tiket menonton pertandingan basket. Lingkup definisi ini menyebabkan kompensasi
dapat diklasifikasi, didefinisi dan dikarakterisasi dalam banyak cara seperti klasifikasi
kompensasi ekstrinsik dan intrinsik, klasifikasi kompensasi finansial dan non finansial, serta
klasifikasi kompensasi langsung dan tidak langsung (Zobal, 1998).
24
Berdasarkan hal tersebut, Zobal (1998) merumuskan sistem kompensasi yang terdiri atas tiga
komponen yaitu:
1. Base pay dan base pay adjustment.
Base pay yaitu gaji pokok yang dibayarkan perusahaan kepada pegawai (ACA, 1995). Base
pay dapat dikalkulasikan melalui persaingan pasar maupun evaluasi kinerja pegawai serta
dapat ditentukan dari besarnya kemampuan dan kompetensi pegawai yang dapat digunakan
(Gross, 1995). Sedangkan base pay adjustment adalah penyesuaian dan peningkatan gaji
pokok seiring dengan perputaran waktu. Penyesuaian dan peningkatan gaji pokok bisa melalui
banyak cara seperti peningkatan base pay berdasarkan biaya hidup, peningkatan base pay
berdasarkan kemampuan atau kompetensi pegawai yang terus berkembang, serta peningkatan
base pay berdasarkan kemahiran atas ilmu pengetahuan yang dimiliki pegawai.
2. Other financial rewards
Other financial rewards adalah kompensasi tambahan berupa finansial yang diperoleh oleh
pekerja diluar gaji pokok (ACA, 1995). Kompensasi ini terpisah dan tidak termasuk dalam
gaji pokok, contohnya insentif finansial, bonus, penghargaan finansial, pembagian
kompensasi insidental dan pembagian keuntungan perusahaan. Insentif finansial diberikan
pada saat pegawai bekerja melebihi ekspektasi. Bonus dan penghargaan diberikan pada saat
pegawai berhasil menyelesaikan tugas dengan baik dan menunjukkan perilaku yang sopan dan
hormat pada atasan. Pembagian kompensasi insidental diberikan apabila produktivitas dari
pegawai melebihi ekspektasi namun biasanya berlaku pada lantai produksi (shop floor) saja.
Pembagian keuntungan perusahaan diberikan apabila perusahaan mendapatkan keuntungan
bersih dan biasanya diberikan pada akhir tahun.
3. Non financial rewards
Non financial rewards adalah kompensasi lainnya yang tidak berupa uang atau non finansial
(ACA, 1995). Kompensasi ini dapat diberikan dengan berbagai macam alasan seperti perilaku
pegawai yang sopan dan ramah atau mampu menyelesaikan tugas sesuai perintah atasan.
Kompensasi non finansial ini berupa uang liburan, jamuan makan malam, penghargaan
tertulis, atau hanya sekedar ucapan terima kasih. Kompensasi ini dapat berbentuk formal,
informal serta spontanitas dari manajemen atau rekan kerja.
25
Kreitner dan Kinicki (2004) menyatakan bahwa sistem kompensasi yang dirancang dengan
baik oleh organisasi diharapkan mampu meningkatkan kepuasan kerja pegawai sehingga tujuan
dari sistem kompensasi dapat dicapai oleh organisasi. Harapan dari terciptanya sebuah sistem
kompensasi yang baik adalah:
1. Mampu menarik individu-individu yang berbakat, memotivasi dan memuaskan individu
tersebut ketika individu tersebut memutuskan untuk bergabung dalam organisasi.
2. Mampu membangun dan mengembangkan kemampuan individu serta mampu
mempertahankan individu-individu berbakat agar tetap bekerja dalam organisasi.
Selanjutnya Kreitner dan Kinicki (2004) menambahkan bahwa sistem kompensasi yang tidak
dirancang dengan baik dapat menghilangkan motivasi pegawai dalam bekerja sehingga dapat
berimbas pada terganggunya kepuasan kerja pegawai tersebut. Indikasi sebuah sistem
kompensasi yang dapat menghilangkan motivasi dan kepuasan kerja pegawai adalah:
1. Terlalu banyak menekankan pada kompensasi berupa materi.
2. Kurangnya penghargaan yang diberikan oleh pihak manajemen.
3. Keharusan dalam mencapai keuntungan yang tinggi.
4. Kompensasi hanya diberikan bagi pegawai yang memiliki produktifitas tinggi.
5. Terlalu banyak perbedaan antara kinerja dan kompensasi.
6. Terlalu banyak penyeragaman kompensasi.
7. Rendahnya imbalan sehingga berdampak pada rendahnya motivasi dalam bekerja.
2.3. Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja merupakan suatu konsep penting yang harus dimengerti dalam mempelajari
organisasi. Oleh karena pentingnya faktor kepuasan kerja dalam suatu organisasi maka banyak
peneliti saat ini yang meneliti mengenai faktor kepuasan kerja serta menelusuri hubungannya
dengan komitmen, tingkat absensi, tingkat turnover, produktifitas dan kinerja. Yukl (1994)
mengartikan kepuasan kerja sebagai perasaan seseorang berkaitan dengan pekerjaan yang
dilakukan. Definisi tersebut mempunyai arti bahwa kepuasan kerja merupakan suatu perasaan
yang menyokong atau tidak menyokong dalam diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan
maupun kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek
seperti upaya, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lain, penempatan
26
kerja dan struktur organisasi. Sementara itu perasaan yang berhubungan dengan dirinya antara
lain berupa umur, kondisi kesehatan, kemampuan dan pendidikan.
Kepuasan kerja didefinisikan oleh Handoko (2001) sebagai keadaan emosional yang
menyenangkan pada saat para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja
mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini merupakan dampak dari sikap
positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.
Selanjutnya Luthans (1992) berpendapat bahwa kepuasan kerja terjadi apabila kebutuhan-
kebutuhan individu sudah terpenuhi. Terkait dengan pegawai, kepuasan kerja merupakan sikap
umum yang dimiliki oleh pegawai dan erat kaitannya dengan kompensasi-kompensasi yang
pegawai terima setelah melakukan sebuah pengorbanan. Pendapat Robbins tersebut mengandung
dua dimensi, pertama yaitu kepuasan yang dirasakan individu menitikberatkan pada individu
sebagai anggota masyarakat, serta kedua yaitu kepuasan yang merupakan sikap umum yang
dimiliki oleh pegawai.
Menurut Robbins (1996), kepuasan kerja adalah suatu perasaan emosional positif atau
menyenangkan yang dirasakan oleh pegawai sebagai hasil atau penilaian terhadap pekerjaan
yang telah dilakukan. Kepuasan kerja yang dirasakan oleh pegawai ini didasarkan pada nilai-
nilai yang terdapat didalam organisasi, baik berupa kompensasi, lingkungan kerja,
kepemimpinan, rekan kerja dan faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan perasaan nyaman
bekerja dalam organisasi. Selanjutnya Davis dan Newstron pada tahun 1987 mendefinisikan
kepuasan kerja sebagai perasaan karyawan tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan yang
mereka lakukan (Peni, 2005). Pada saat individu bergabung dalam organisasi, individu tersebut
membawa sejumlah keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang membentuk
harapan kerja. Kepuasan kerja akan menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang dengan
kompensasi yang diperoleh sebagai hasil kerja.
Menurut Yukl (1994), terdapat tiga teori tentang kepuasan kerja yang cukup dikenal yaitu:
1. Teori ketidaksesuaian (discrepancy theory)
Teori ini dikemukakan oleh Porter (1961). Porter mengukur kepuasan kerja seseorang dengan
menghitung selisih dari banyaknya sesuatu yang didapat dengan yang diharapkan. Selanjutnya
Locke (1969) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung pada kesesuaian
antara apa yang menurut perasaannya atau persepsinya dianggap telah didapatkan dengan apa
yang diinginkan. Jumlah yang diinginkan didefinisikan sebagai jumlah minimal yang
27
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Seseorang akan merasa puas jika tidak ada
selisih antara kondisi yang diinginkan dengan kondisi kenyataan (aktual). Semakin besar
kekurangan dan semakin banyak hal penting yang diinginkan maka semakin besar rasa
ketidakpuasan tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan Wanous dan Lawler (1972)
ditemukan fakta bahwa sikap pegawai terhadap pekerjaannya tergantung bagaimana
ketidaksesuaian itu dirasakan.
2. Teori keadilan (equity theory)
Teori ini dikemukakan oleh Adams (1963). Prinsip dari teori ini adalah seseorang akan
merasa puas atau tidak puas tergantung kepada apakah orang tersebut merasa adanya keadilan
(equity) atau tidak terhadap sesuatu situasi. Perasaan adil atau tidak terhadap suatu situasi
diperoleh dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain pada kondisi yang sama.
Menurut teori ini elemen-elemen dari keadilan terdiri dari tiga yaitu input, outcomes dan
comparison person. Input adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan pegawai
sebagai sumbangan terhadap pekerjaan seperti pendidikan, pengalaman, kemampuan serta
jumlah jam kerja. Outcomes adalah sesuatu yang berharga yang dirasakan pegawai sebagai
hasil dari pekerjaannya seperti imbalan, simbol status, penghargaan, kesempatan untuk
berkembang serta ekspresi diri (self expression). Selanjutnya comparison person adalah orang
yang dijadikan pembanding oleh pegawai mengenai rasio input-outcomes yang dimiliki.
Comparison person ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama atau ditempat lain atau
bisa juga dengan orang yang sama pada waktu yang lalu.
3. Teori dua faktor (two factor theory)
Prinsip dari teori ini adalah bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal
yang berbeda (Herzberg, 1966), dalam artian kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan
bukan merupakan suatu variabel yang berkelanjutan. Dalam teori dua faktor ini, Herzberg
membagi situasi yang dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi
dua kelompok yaitu:
28
a. Kelompok pemuas (satisfier atau motivator)
Satisfier adalah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikan sebagai sumber kepuasan kerja
yang antara lain terdiri dari:
- Perasaan berprestasi - Pengakuan atau penghargaan
- Kemajuan - Kemungkinan untuk berkembang
- Tanggung jawab - Pekerjaan itu sendiri
Keberadaan faktor ini menurut Herzberg dapat menimbulkan kepuasan serta tidak adanya
faktor ini akan menimbulkan ketidakpuasan.
b. Kelompok pemeliharaan (dissatisfier atau hygiene factors)
Dissatisfier adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, antara lain terdiri
dari:
- Status sosial - Kondisi kerja
- Jaminan kerja - Gaji
- Hubungan dengan bawahan - Hubungan dengan rekan kerja
- Hubungan dengan atasan - Kemampuan atasan
- Kebijakan dan administrasi perusahaan
Perbaikan terhadap kondisi tersebut hanya dapat mengurangi dan bukan menghilangkan
ketidakpuasan kerja karena variabel-variabel tersebut bukan sumber kepuasan kerja.
Menurut teori ini perbaikan gaji dan kondisi kerja tidak akan menimbulkan kepuasan kerja
tetapi hanya akan mengurangi ketidakpuasan. Selanjutnya dijelaskan dalam teori ini bahwa
yang dapat memacu individu untuk bekerja dengan baik adalah kelompok satisfier.
Selanjutnya berkaitan dengan kepuasan kerja, Universitas Minnesota melakukan studi
berkelanjutan mengenai perbaikan pekerjaan yang dapat menimbulkan kepuasan kerja. Studi
tersebut dikenal dengan nama proyek penyesuaian kerja (work adjustment project) (Nilfia,
2004). Secara spesifik studi ini difokuskan pada proyek penyesuaian kerja yang berhubungan
dengan pelayanan perbaikan kerja. Studi yang dimulai pada tahun 1957 ini mempunyai dua
tujuan yaitu mengembangkan alat-alat diagnosa untuk menilai penyesuaian kerja pegawai dan
mengevaluasi hasil penyesuaian kerja. Pendekatan yang dilakukan adalah menyesuaikan
personalitas dengan lingkungan kerja. Personalitas kerja menyangkut kemampuan dan kebutuhan
pegawai. Sedangkan kemampuan yang dibutuhkan dan sistem penguat (reinforce system)
merupakan aspek yang penting dari lingkungan kerja.
29
Penyesuaian kerja dilakukan dengan menyesuaikan personalitas kerja individu dengan
lingkungan kerja. Dengan kata lain, penyesuaian kerja tergantung pada seberapa baik
kemampuan individu sesuai dengan kebutuhan kemampuan yang dibutuhkan pekerjaan dan
seberapa baik kebutuhan yang sesuai dengan sistem penguat yang tersedia dalam lingkungan
kerja. Derajat kesesuaian yang tinggi antara personalitas pegawai dengan kebutuhan pekerjaan
akan menguntungkan keduanya yaitu kinerja organisasi yang baik dan tingkat kepuasan yang
tinggi pada pegawai.
Berdasarkan studi penyesuaian kerja tersebut maka Universitas Minnesota mengembangkan
suatu instrumen kuesioner yang mampu digunakan untuk mengukur kepuasan kerja pegawai.
Instrumen kuesioner tersebut terdiri dari beberapa aspek yang terdapat pada lingkungan
pekerjaan yang berbeda dan dinamakan Minnesota Satisfaction Questionare (Nilfia, 2004).
Kuesioner ini mampu memberikan gambaran yang lebih individual mengenai kepuasan kerja.
Pengukuran individual ini penting karena mungkin saja masing-masing individu pada sebuah
organisasi mempunyai tingkat kepuasan yang sama pada suatu pekerjaan namun alasan mengapa
individu tersebut puas bisa jadi berbeda.
Variabel-variabel yang diukur pada Minnesota Satisfaction Questionare dikembangkan dari
dua puluh kebutuhan pekerjaan. Variabel-variabel ini dikelompokkan menjadi dua faktor
berdasarkan sistem penguat (reinforce system). Faktor tersebut adalah faktor ekstrinsik yang
penguatnya berasal dari eksternal individu dan faktor intrinsik yang penguatnya berasal dari
internal individu. Dua faktor yang terdapat pada Minnesota Satisfaction Questionare dijelaskan
secara rinci sebagai berikut:
1. Kepuasan kerja internal (intrinsik), yang terdiri dari: aktifitas, kemandirian, variasi tugas,
status sosial, nilai-nilai moral, keamanan, hubungan sosial, otoritas, pemanfaatan kemampuan,
kreatifitas dan prestasi kerja.
2. Kepuasan kerja eksternal (ekstrinsik) yang terdiri dari: pengarahan individu, pengarahan
teknis, kebijakan perusahaan, kompensasi, kemajuan dan pengakuan.
Minnesota Satisfaction Questionare memiliki dua jenis kuesioner yaitu short form yang terdiri
dari 20 pertanyaan pendek dan long form yang terdiri dari 100 pertanyaan serta 20 variabel
pengamatan.
Menurut Yukl (1994), kepuasan kerja dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain gaji,
kondisi kerja, pemimpin, rekan sekerja, jenis pekerjaan, keamanan kerja serta kesempatan untuk
30
maju atau mendapatkan promosi. Selanjutnya Luthans (1992) menyatakan bahwa kepuasan kerja
tergantung pada pekerjaan, atasan, kondisi kerja, kompensasi dan hubungan dengan rekan
sekerja. Schermerhorn (1999) mengidentifikasi lima aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja
yaitu:
1. Pekerjaan itu sendiri (work it self)
Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu. Tingkat kesulitan suatu pekerjaan
serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan suatu pekerjaan
tersebut akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja.
2. Pemimpin (leaders)
Pemimpin yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahan. Bagi bawahan, pemimpin
sering dianggap sebagai figur ayah atau ibu dan sekaligus atasannya.
3. Teman sekerja (workers)
Teman sekerja bisa berarti hubungan antara pegawai dengan atasan atau dengan pegawai
lainnya, baik yang sejenis maupun yang berbeda jenis pekerjaan.
4. Promosi (promotion)
Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada atau tidaknya kesempatan untuk
memperoleh peningkatan karir selama bekerja.
5. Upah (pay)
Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak.
Robbins (1996) menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek yang mampu menggambarkan
tingkat kepuasan kerja pegawai yaitu:
1. Mentally challenging work (kerja yang secara mental menantang)
Pegawai biasanya cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberikan kesempatan
untuk menggunakan keahlian dan kemampuan yang dimiliki serta pekerjaan yang
menawarkan berbagai macam variasi tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai bagaimana
hasil pekerjaan yang telah pegawai selesaikan. Karakter-karakter tersebut yang membuat
suatu pekerjaan menantang secara mental. Pekerjaan yang kurang memiliki tantangan akan
menciptakan kebosanan sedangkan pekerjaan yang tantangannya terlalu berlebihan akan
menciptakan perasaan frustasi dan kegagalan. Dalam kondisi pekerjaan yang tantangannya
cukup, pegawai akan mengalami kesenangan dan kepuasan.
31
2. Supportive working conditions (kondisi kerja yang mendukung)
Pegawai peduli terhadap lingkungan kerja, baik untuk kenyamanan dan keamanan pribadi
maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa pegawai lebih menyukai keadaan lingkungan yang tidak berbahaya atau merepotkan.
Selain itu kebanyakan pegawai lebih suka bekerja tidak jauh dari rumah, dalam fasilitas yang
bersih dan relatif modern serta dengan alat dan perlengkapan yang memadai. Temperatur,
cahaya, kebisingan, dan faktor lingkungan lain seharusnya tidak ekstrem (terlalu banyak atau
sedikit).
3. Equitable rewards (ganjaran yang pantas)
Para pegawai menginginkan kebijakan sistem upah dan kebijakan promosi yang pegawai
persepsikan sebagai adil, tidak kembar arti dan sesuai dengan harapan mereka. Bila upah
dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu,
dan standar pengupahan komunitas maka kepuasan kerja akan tercapai. Tentu saja tidak
semua orang mengejar uang. Banyak orang bersedia menerima uang yang lebih kecil untuk
bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan serta mempunyai keleluasaan yang lebih besar
dalam kerja yang mereka lakukan pada jam-jam kerja. Tetapi faktor kunci yang
menghubungkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah uang yang dibayarkan namun yang
lebih penting adalah persepsi keadilan. Begitu pula dengan kebijakan promosi. Promosi
memberikan peluang bagi pertumbuhan pribadi, lebih banyak tanggung jawab dan
meningkatkan status sosial. Pegawai berusaha mendapatkan kebijakan dan praktik promosi
yang lebih banyak serta status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu-individu
yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil (fair and just)
kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dalam bekerja.
4. Supportive colleagues (rekan kerja yang mendukung)
Bekerja bagi kebanyakan pegawai adalah untuk mengisi kebutuhan akan interaksi sosial
sehingga tidak mengherankan apabila rekan sekerja yang ramah dan mendukung akan
meningkatkan kepuasan dalam bekerja. Selain itu, perilaku atasan juga merupakan penentu
utama dari kepuasan kerja. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kepuasan
pegawai akan meningkat apabila atasan langsung bersifat ramah, bersahabat dan dapat
memahami, memberikan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat pegawai
serta menunjukkan suatu minat pribadi pada pegawai.
32
Smith, Kendall dan Hulin pada tahun 1969 mengemukakan bahwa terdapat lima dimensi
penting dari kepuasan kerja yaitu (Nilfia, 2004):
1. Kesempatan promosi
Kesempatan untuk meningkatkan posisi, pangkat maupun jabatan pada struktur organisasi.
2. Kepuasan terhadap pemimpin
Bergantung pada kemampuan pemimpin dalam memberikan bantuan teknis untuk memotivasi
bawahan.
3. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri
Hal ini terjadi apabila suatu pekerjaan memberikan kesempatan individu untuk belajar sesuai
dengan minat serta kesempatan untuk bertanggung jawab.
4. Kepuasan terhadap kompensasi
Sejumlah kompensasi, baik langsung maupun tidak langsung, yang diterima sesuai dengan
beban kerja dan seimbang dengan pegawai pada organisasi tersebut.
5. Kepuasan terhadap rekan sekerja
Seberapa besar rekan sekerja mampu memberikan bantuan teknis dan dorongan sosial.
Bavendam Research Incorporated pada tahun 2000 menyatakan bahwa kepuasan kerja
dipengaruhi oleh enam faktor yaitu (Nilfia, 2004):
1. Opportunity
Pegawai akan puas apabila pegawai mempunyai tantangan pada pekerjaannya. Hal itu
termasuk kesempatan untuk berpartisipasi pada proyek yang menarik serta kesempatan untuk
bertanggung jawab.
2. Stress
Kepuasan kerja pegawai akan cenderung rendah apabila tingkat stress yang dirasakan tinggi.
3. Leadership
Pegawai akan merasa puas apabila atasannya adalah seorang pemimpin yang baik dan layak
untuk dijadikan panutan.
4. Work standarts
Pegawai akan puas apabila organisasi memiliki standar bekerja yang baik bagi pegawai dalam
melakukan pekerjaannya.
33
5. Fair rewards
Pegawai akan merasa puas apabila pegawai merasa mendapatkan kompensasi yang sesuai
untuk pekerjaan dan tanggung jawab yang telah dilakukannya.
6. Adequate authority
Pegawai akan puas apabila pegawai mendapat kebebasan dan kewenangan yang sesuai dengan
harapannya.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2004), beberapa kunci yang berkaitan dengan kepuasan kerja
antara lain:
1. Motivasi
Beberapa penelitian menjelaskan bahwa terdapat hubungan positif antara motivasi dan
kepuasan kerja. Hal ini disebabkan oleh pengawasan yang juga berkaitan dengan motivasi
dimana manajer memberikan arahan kepada bawahan mengenai perilaku yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja.
2. Keterlibatan dalam pekerjaan
Menggambarkan keterlibatan pegawai dengan pekerjaannya didalam organisasi. Keterlibatan
dalam pekerjaan ini berkaitan dengan kepuasan kerja.
3. Perilaku anggota organisasi
Perilaku anggota organisasi ini ditentukan oleh tipe kepemimpinan yang ditunjukkan oleh
pemimpin dalam organisasi tersebut. Karakteristik lingkungan pekerjaan juga memberi andil
dalam menentukan baik-buruknya perilaku anggota organisasi.
4. Komitmen organisasi
Menggambarkan identitas-identitas individu dalam organisasi yang memiliki komitmen untuk
bersama-sama dalam mencapai tujuan organisasi.
5. Ketidakhadiran atau absensi
Ketidakhadiran sangat mahal harganya dan pemimpin harus mampu mencari jalan dalam
rangka mengurangi tingkat absensi. Jika kepuasan kerja meningkat maka tingkat absensi akan
menurun.
6. Tingkat turnover pegawai
Tingkat turnover pegawai merupakan hal yang sangat penting karena turnover dapat
menghambat kelanjutan organisasi dan tingkat turnover yang tinggi menyebabkan organisasi
mengeluarkan biaya yang besar.
34
7. Stres
Stres memiliki pengaruh negatif terhadap perilaku anggota organisasi. Semakin tinggi tingkat
stress yang dialami oleh anggota organisasi maka kepuasan anggota dalam bekerja akan
menurun sehingga menimbulkan perilaku dan kinerja yang buruk.
8. Kinerja
Kinerja pegawai berhubungan positif dengan kepuasan kerja. Semakin tinggi tingkat kepuasan
kerja pegawai maka kinerja yang ditunjukkan oleh pegawai akan semakin baik dan begitu
pula sebaliknya.
2.4. Kinerja
Kinerja pegawai merupakan suatu hal yang sangat penting dalam usaha organisasi untuk
mencapai tujuan sehingga berbagai kegiatan harus dilakukan organisasi untuk meningkatkannya.
Pengelolaan untuk mencapai kinerja pegawai yang tinggi bertujuan untuk meningkatkan kinerja
organisasi secara keseluruhan. Kinerja dapat diartikan sebagai hasil pencapaian dari tujuan yang
telah direncanakan. Dalam suatu organisasi, faktor kritis yang berkaitan dengan keberhasilan
jangka panjang organisasi adalah kemampuan organisasi untuk mengukur seberapa baik karya
pegawainya dan menggunakan informasi tersebut guna memastikan bahwa pelaksanaan kerja
memenuhi standar serta meningkat sepanjang waktu.
Menurut Maier pada tahun 1965, kinerja adalah keberhasilan seseorang dalam melaksanakan
suatu pekerjaan (Kemal, 2000). Keberhasilan itu tidak sama antara satu individu dengan individu
lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik individu. Individu yang
sama dapat menghasilkan kinerja yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Berdasarkan hal
tersebut, Maier (1965) menyimpulkan bahwa kinerja dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
individu dan faktor situasi. Luthans (1992) mendefinisikan kinerja sebagai successful
achievement atau keberhasilan pencapaian suatu fungsi atau peranan yang diperoleh seseorang
dari pekerjaannya. Luthans (1992) menambahkan bahwa dalam tinjauan psikologi, kinerja
didefinisikan sebagai proses tingkah laku kerja seseorang sehingga menghasilkan suatu
pencapaian keberhasilan yang diperoleh dari pekerjaannya.
Teori lain yang berkaitan dengan kinerja adalah teori yang dijelaskan oleh Wagner dan
Hollenbenck pada tahun 1992 (Mahfudz, 2002). Wagner dan Hollenbenck (1992)
mendefinisikan kinerja sebagai fungsi interaktif antara kemampuan dan motivasi yang dapat
35
mempengaruhi kepribadian seseorang, artinya bahwa walaupun seseorang memiliki kemampuan
untuk melakukan suatu pekerjaan namun orang tersebut dapat melakukannya dengan tidak baik
apabila tidak ada motivasi untuk melakukan pekerjaan tersebut. Menurut Hariandja (2002),
kinerja merupakan hasil kerja yang dihasilkan oleh pegawai sesuai dengan perannya di dalam
organisasi. Selanjutnya Vroom pada tahun 1964 menyatakan bahwa kinerja adalah sejauh mana
keberhasilan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan (Hariandja, 2002).
Berdasarkan teori-teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja pegawai dalam organisasi
pada dasarnya berhubungan langsung dengan dua hal utama yaitu individu dan organisasi. Dari
sisi individu, faktor-faktor yang memegang peranan penting adalah komitmen, motivasi,
kecakapan serta usaha kerja. Sedangkan dari sisi organisasi diharapkan terdapat dukungan
sehingga menciptakan kondisi dan peluang bagi setiap individu untuk dapat bekerja dengan baik.
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan mengenai kinerja, terdapat berbagai macam faktor
yang mampu mempengaruhi kinerja dan dikemukakan oleh berbagai ahli antara lain:
1. Menurut Maier (1965), kinerja dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:
a. Faktor individu: kemampuan dan kemauan atau usaha (kinerja antara orang yang satu
dengan orang lainnya dalam suatu situasi kerja adalah perbedaan karakteristik individu).
b. Faktor situasi: dukungan terhadap organisasi dan kesempatan yang ada (orang yang sama
dapat menghasilkan kinerja yang berbeda dalam situasi yang berbeda).
2. Luthans (1992) menyatakan bahwa kinerja dipengaruhi oleh usaha (effort) yang dimediasi
oleh kemampuan dan persepsi peranan.
3. Tim Minnesota (Gibson, Ivancevich & Donnelly Jr, 1993) berpendapat bahwa kinerja
dipengaruhi oleh:
a. Kualifikasi (qualification), meliputi kemungkinan promosi, kuantitas dan kualitas
pekerjaan pegawai
b. Kesesuaian (conformance), menunjukkan seberapa baik hubungan pekerja dengan atasan
dan rekan kerjanya serta mengikuti peraturan.
c. Ketergantungan (dependability), menunjukkan frekuensi masalah kedisiplinan kerja.
d. Penyesuaian pribadi (personal adjustment), berhubungan dengan kesehatan emosional
pekerja.
36
4. Menurut Rafth pada tahun 1993, dalam upaya meningkatkan kinerja pegawai secara optimal
pada suatu organisasi, terdapat tujuh praktek yang sebagian besar dianggap dapat
mempengaruhi kinerja yaitu (Mahfudz, 2002):
a. Sistem kompensasi dengan tujuan untuk memperbaiki tingkat kepuasan kerja dalam
pelaksanaan tugas.
b. Penetapan tujuan untuk menambah motivasi kerja serta meningkatkan kinerja organisasi.
c. Program management by objective (MBO) untuk menjelaskan dan membuat agar tujuan
individu sejalan dengan tujuan organisasi.
d. Berbagai prosedur seleksi pegawai untuk mencari kemungkinan menyewa individu-
individu yang berbobot dan berpengalaman.
e. Program pelatihan dan pengembangan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
pegawai sehingga dapat berfungsi lebih efektif.
f. Pergantian kepemimpinan dan program-program untuk memperbaiki aktifitas manajerial.
g. Mengubah struktur organisasi untuk memperbaiki efektifitas organisasi.
5. Gomez-Mejia, Balkin, dan Cardy (2001) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja pegawai meliputi:
a. Strategi organisasional (nilai tujuan jangka pendek dan jangka panjang).
b. Batasan situasional (kultur organisasi dan kondisi ekonomi).
c. Atribut individual (kemampuan dan keterampilan).
Menurut Dessler (1997), kinerja mengacu pada kinerja pegawai yang diukur berdasarkan
standar kinerja yang telah ditetapkan oleh organisasi. Standar kinerja menentukan tingkat kinerja
pekerjaan yang diharapkan dari pemegang pekerjaan dan kriteria terhadapnya serta membuat
jelas kuantitas dan kualitas kinerja yang diharapkan. Biasanya standar kinerja adalah pernyataan-
pernyataan mengenai kinerja yang dianggap diterima dan dapat dicapai atas sebuah pekerjaan
tertentu. Menurut Simamora (1997), ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam
pembuatan standar kinerja yaitu:
1. Standar kinerja harus relevan dengan individu dan organisasi.
2. Standar kinerja harus stabil dan dapat diandalkan.
3. Standar kinerja harus dapat membedakan antara pelaksanaan pekerjaan yang baik, sedang dan
buruk.
4. Standar kinerja harus dinyatakan dalam angka.
37
5. Standar kinerja harus mudah diukur.
6. Standar kinerja harus mudah dipahami oleh pemimpin dan bawahan.
7. Standar kinerja harus mudah memberikan penafsiran yang tidak mendua.
Prosedur untuk membuat standar kinerja pekerjaan sangat majemuk. Dalam pendekatan yang
sangat terarah, manajemen dapat langsung menulis standar-standar dan menyosialisasikan
kepada pegawai. Dalam pendekatan partisipatif, lebih banyak terjadi interaksi antara atasan dan
bawahan. Menurut Simamora (1997), prosedur partisipatif untuk menyusun standar-standar
kinerja yaitu:
1. Atasan menjalin kerjasama dengan para pegawai dalam menyusun standar-standar kinerja dan
prosedur yang harus diikuti.
2. Setiap pegawai menulis standar-standar tentatif bagi setiap aspek pekerjaan dan memberikan
usulan pendahuluan kepada atasan.
3. Setiap pegawai menemui atasannya guna membahas standar-standar tentatif dan mencapai
kesepakatan atas dokumen akhir.
4. Standar-standar digunakan oleh pegawai guna menelusuri seberapa baik pekerjaannya dan
oleh para pegawai serta atasan untuk menilai kinerja pegawainya.
Jika memungkinkan, sebaiknya standar-standar kinerja ditulis dalam istilah-istilah kuantitatif.
Namun pada praktiknya memang beberapa aspek pekerjaan sulit dikuantitatifikasikan dan
pernyataan-pernyataan kualitatif bisa digunakan.
Menurut Simamora (1997), standar-standar kinerja mempunyai dua fungsi yaitu:
1. Menjadi tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran dari usaha yang dilakukan pegawai. Jika standar
telah dipenuhi maka pegawai akan merasakan adanya pencapaian dan penyelesaian.
2. Standar-standar kinerja merupakan kriteria pengukuran sebuah kesuksesan sebuah pekerjaan.
Tanpa adanya standar, tidak ada sistem pengendalian yang dapat mengevaluasi kinerja
pegawai.
Sedangkan tujuan membuat standar kinerja yaitu:
1. Membentuk pedoman-pedoman terhadap kinerja aktual sehingga dapat diukur. Hal ini
bermanfaat bagi pegawai yang menduduki jabatan sehingga atasannya dapat mengevaluasi
kinerja pegawai yang bersangkutan.
38
2. Meningkatkan motivasi dan komitmen. Jika atasan dan pegawai bekerjasama untuk membuat
standar-standar kinerja, partisipasi pegawai dapat memberikan kontribusi bagi pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan akan afiliasi, pengakuan dan otonomi.
Selain standar kinerja, penilaian atau pengevaluasian kinerja pegawai juga memberi dampak
besar bagi pekerjaan yang dikerjakan oleh pegawai. Menurut Simamora (1997), penilaian kinerja
adalah alat yang bermanfaat untuk menilai kinerja para pegawai, selain itu juga berfungsi untuk
mengembangkan dan memotivasi para pegawai. Simamora menambahkan bahwa tujuan
dilakukan penilaian kinerja secara umum adalah untuk memberikan umpan balik kepada pegawai
dalam upaya memperbaiki tampilan kerjanya serta dalam rangka meningkatkan produktivitas
organisasi. Selanjutnya tujuan dilakukan penilaian kinerja secara khusus adalah berkaitan dengan
berbagai kebijaksanaan terhadap pegawai seperti untuk tujuan promosi, kenaikan gaji serta
pendidikan dan latihan. Penilaian kinerja dapat menjadi landasan untuk penilaian sejauh mana
kegiatan manajemen sumber daya manusia seperti perekrutan, seleksi, penempatan, pemberian
kompensasi dan pelatihan dilakukan dengan baik.
Berkaitan dengan apa yang harus dinilai oleh manajemen, beberapa ahli manajemen sumber
daya manusia telah mengemukakan rumusan sebagai berikut:
1. Menurut Robbins (1996), tiga perangkat kriteria penilaian kinerja yang paling populer yaitu:
a. Hasil tugas individual, misalnya kuantitas yang diproduksi, bahan buangan yang
ditimbulkan, biaya per unit produksi serta jumlah penjualan. Kriteria ini dipergunakan bila
tujuan akhir lebih diperhitungkan daripada memperhitungkan proses atau caranya.
b. Perilaku, misalnya ketepatan waktu dalam menyampaikan laporan bulanan serta cuti sakit
yang dipakai per tahun.
c. Ciri individual, ciri merupakan perangkat kriteria terlemah (paling jauh dari kinerja aktual
pekerjaan itu sendiri) namun masih digunakan secara luas oleh organisasi-organisasi. Ciri
individu misalnya rasa percaya diri, kooperatif serta dapat diandalkan.
2. Menurut Gomez-Mejia et al. (2001), terdapat tiga jenis kriteria kinerja yaitu:
a. Keterampilan/ kemampuan/ kebutuhan/ sikap, misalnya pengetahuan tentang pekerjaan,
pengetahuan tentang bisnis, kekuatan, kebutuhan sosial, ketergantungan, loyalitas,
kejujuran, kreatifitas dan kepemimpinan.
b. Perilaku, misalnya kepatuhan terhadap instruksi, ketaatan terhadap aturan dan kehadiran.
39
c. Hasil, misalnya kualitas produk, jumlah kecelakaan kerja yang terjadi, jumlah peralatan
yang diperbaiki, jumlah konsumen yang dilayani, jumlah produksi serta jumlah penjualan.
3. Secara lebih rinci dari penelitian mengenai kriteria pengukuran kinerja, Income Data Service
London (McKenna & Beech, 1995) menyimpulkan bahwa faktor-faktor kinerja yang paling
sering digunakan sebagai indikator penelitian adalah pengetahuan, kemampuan dan
keterampilan kerja, sikap terhadap pekerjaan (antusiasme, komitmen dan motivasi), kualitas
kerja, volume hasil produksi dan interaksi (komunikasi serta hubungan dalam kelompok).
Dalam melaksanakan pengukuran atau penilaian terhadap kinerja pegawai tentu dibutuhkan
suatu sistem penilaian yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Secara sepintas memang seseorang
dapat dengan mudah menilai suatu pekerjaan pegawai gagal atau sukses namun ukuran nyata
sukses maupun gagal sangatlah relatif, apalagi bila pekerjaan tersebut tidak dapat dihitung
hasilnya (output) seperti bagian administrasi dan pekerjaan-pekerjaan manajerial. Menurut
Soeprihanto (2000), syarat-syarat sistem penilaian kinerja adalah sebagai berikut:
1. Relevance, berarti bahwa suatu sistem penilaian digunakan untuk mengukur hal-hal atau
kegiatan yang ada hubungannya antara hasil pekerjaan dan tujuan yang telah ditetapkan lebih
dahulu.
2. Acceptability, berarti hasil dari sistem penilaian tersebut dapat diterima dalam hubungannya
dengan kesuksesan dari pelaksanaan pekerjaan dalam suatu organisasi.
3. Reliability, berarti hasil dari sistem penilaian tersebut dapat dipercaya (konsisten dan stabil).
Reliabilitas sistem penilaian dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: waktu dan frekuensi
penilaian.
4. Sensitivity, berarti sistem penilaian tersebut cukup peka dalam membedakan atau
menunjukkan kegiatan yang berhasil atau sukses, cukup ataupun gagal, yang telah dilakukan
terhadap seorang pegawai.
5. Practicality, berarti bahwa sistem penilaian dapat mendukung secara langsung tercapainya
tujuan organisasi melalui peningkatan produktifitas para pegawai.
Setelah sistem penilaian kinerja ditentukan maka harus ditentukan juga kriteria keberhasilan
suatu pekerjaan yang biasanya meliputi kuantitas, kualitas serta waktu yang digunakan.
Selanjutnya berdasarkan sistem penilaian tersebut dilakukan pengukuran dan perbandingan
terhadap informasi yang telah diperoleh dari setiap pegawai.
40
Dessler (1997) menyatakan bahwa menilai pekerjaan pegawai merupakan sebuah pekerjaan
yang problematis. Dessler menambahkan bahwa terdapat lima masalah utama yang dapat
merusak alat penilaian kinerja yaitu:
1. Standar yang tidak jelas
Masalah ini dicirikan oleh skala penilaian yang terlalu terbuka terhadap interpretasi. Sebagai
gantinya perlu dimasukkan ungkapan-ungkapan deskriptif yang mendefinisikan masing-
masing ciri dan kejelasan mengenai maksud daripada standar-standar “baik” atau “tidak
memuaskan”. Penspesifikasian ini akan menghasilkan penilaian yang lebih konsisten dan
lebih mudah dijelaskan.
2. Efek halo
Efek halo mempunyai arti bahwa penilaian atasan tentang bawahan pada satu ciri membiaskan
cara atasan menilai orang yang bersangkutan pada ciri yang lain.
3. Kecenderungan sentral
Banyak atasan dalam melakukan penilaian menghindari hal-hal yang ekstrim dan cenderung
menilai rata-rata para pegawainya. Hal tersebut dapat mengganggu evaluasi, membuat
penilaian-penilaian menjadi kurang bermanfaat untuk promosi, gaji, atau maksud-maksud
konseling.
4. Terlalu longgar atau terlalu keras
Merupakan kebalikan dari kecenderungan sentral. Beberapa atasan cenderung menilai semua
bawahan mereka pada nilai-nilai yang ekstrim (serba tinggi atau rendah).
5. Prasangka (bias)
Perbedaan individual di kalangan para peserta penilaian, misalnya dinilai dari segi
karakteristik seperti usia, ras dan jenis kelamin, dapat mempengaruhi penilaian sehingga hal
tersebut sering mengakibatkan penyimpangan penilaian dari kinerja aktual masing-masing
orang yang dinilai.
Selanjutnya Dessler (1997) menyatakan bahwa ada tiga cara untuk meminimalkan dampak
dari masalah-masalah penilaian kinerja diatas yaitu:
1. Berusaha untuk menjadi akrab dengan masalah. Dengan memahami masalah maka dapat
membantu menghindari hal-hal tersebut.
2. Memilih alat yang tepat. Perlu disadari bahwa masing-masing alat memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing.
41
3. Melatih atasan untuk menghilangkan kesesatan penilaian seperti efek halo, penilaian ekstrim
dan kecenderungan sentral. Pelatihan-pelatihan akan membantu menghindari masalah-
masalah tersebut. Namun demikian, meningkatkan kecermatan penilaian tidak hanya
menuntut pelatihan melainkan juga mengurangi faktor-faktor luar seperti tekanan serikat
pekerja dan keterbatasan waktu.
Berkaitan dengan kinerja dosen di perguruan tinggi, tugas utama atau tugas pokok dosen
sehari-hari adalah melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagaimana yang tercantum
dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
38/Kep/MK.WASPAN/8/1999 tanggal 24 Agustus 1999. Aspek-aspek yang terdapat pada Tri
Dharma Perguruan Tinggi tersebut dijadikan acuan dalam menilai tingkat baik dan buruknya
kinerja dosen. Adapun aspek-aspek Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagaimana tertuang dalam
Kepmen tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan dan pengajaran
Termasuk dalam komponen ini adalah melaksanakan perkuliahan, membimbing, menguji
serta menyelenggarakan pendidikan di laboraturium, praktek keguruan, bengkel/ studio/
kebun percobaan/ teknologi pengajaran dan praktik lapangan baik pada perguruan tinggi
maupun diluar perguruan tinggi secara melembaga; membimbing seminar mahasiswa;
membimbing kuliah kerja nyata, praktek kerja nyata, praktek kerja lapangan; membimbing
dan ikut membimbing dalam menghasilkan disertasi, tesis, skripsi dan laporan akhir studi;
bertugas sebagai penguji pada ujian akhir; membina kegiatan mahasiswa di bidang akademik
dan kemahasiswaan; mengembangkan program kuliah; mengembangkan bahan pengajaran
dalam bentuk diktat, modul, buku pegangan kuliah, petunjuk praktikum, model, alat bantu,
audio visual, naskah tutorial; menyampaikan orasi ilmiah; menduduki jabatan pimpinan
perguruan tinggi; membimbing dosen yang lebih rendah jabatan fungsionalnya; serta
melaksanakan kegiatan detasering dan pencangkokan dosen.
2. Penelitian
Termasuk dalam komponen ini adalah menghasilkan karya ilmiah (menghasilkan penelitian
atau hasil pemikiran baik yang dipublikasikan dalam bentuk monograf, buku referensi,
majalah ilmiah internasional/ nasional terakreditasi maupun tidak, melalui seminar pada
tingkat nasional maupun internasional, koran/ majalah populer/ umum maupun yang tidak
dipublikasikan; menerjemahkan/ menyadur buku ilmiah yang diterbitkan secara nasional;
42
mengedit/ menyunting karya ilmiah yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional; membuat
rancangan dan karya teknologi yang dipatenkan pada tingkat nasional maupun internasional;
serta membuat rancangan dan karya seni monumental/ seni pertunjukan/ karya sastra baik
untuk tingkat internasional, nasional maupun lokal.
3. Pengabdian kepada masyarakat
Termasuk dalam komponen ini adalah menduduki jabatan pimpinan pada lembaga
pemerintahan/ pejabat negara yang harus dibebaskan dari jabatan organiknya; melaksanakan
pengembangan hasil pendidikan dan penelitian yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat;
memberi latihan/ penyuluhan/ penataran/ ceramah pada masyarakat baik yang sifatnya
terjadwal/ terprogram maupun insidental pada tingkat internasional, nasional maupun lokal;
memberi pelayanan kepada masyarakat atau kegiatan lain yang menunjang pelaksanaan tugas
umum pemerintahan dan pembangunan; serta membuat/ menulis karya pengabdian pada
masyarakat.
2.5. Penelitian-Penelitian yang Telah Dilakukan
Kinerja dan faktor-faktor yang mampu mempengaruhi kinerja merupakan topik yang banyak
diteliti pada saat ini. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, faktor-faktor yang mampu
mempengaruhi kinerja baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain: kepuasan kerja,
komitmen pegawai, proses kerjasama tim, budaya organisasi, beban kerja, sistem kompensasi
dan tipe kepemimpinan transformasional. Penelitian mengenai sistem kompensasi serta
pengaruhnya terhadap kinerja dilakukan oleh Jennings dan McLauglin (1997). Penelitian
tersebut meneliti tentang perancangan sistem kompensasi perguruan tinggi dengan
memperhatikan efek kompresi dan efek inversi.
Efek kompresi adalah efek dimana kompensasi yang diterima oleh dosen muda hampir
mendekati kompensasi yang diterima oleh dosen senior, sedangkan efek inversi adalah efek yang
muncul sebagai akibat dari lebih rendahnya kompensasi yang diterima oleh dosen yang lebih
berpengalaman atau senior dibandingkan dengan dosen yang relatif kurang berpengalaman.
Dalam penelitian tersebut ditemukan fakta bahwa mengurangi bahkan menghilangkan efek
inversi tanpa mengubah efek kompresi dalam sistem kompensasi dapat menurunkan tingkat
turnover, meningkatkan produktifitas dosen dalam melakukan penelitian dan meningkatkan
kinerja mengajar di kelas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa merancang sistem kompensasi
43
yang baik serta memperhatikan kedua efek tersebut dapat meningkatkan kinerja staf pengajar
secara langsung.
Comm dan Mathaisel (2000) meneliti mengenai pengaruh gaji dan sistem promosi yang
diterapkan oleh organisasi pendidikan tinggi terhadap kepuasan kerja dosen. Penelitian ini
membuktikan bahwa faktor utama yang mampu mempengaruhi kepuasan kerja dosen adalah gaji
yang diterima lalu diikuti oleh sistem promosi yang diterapkan oleh universitas. Dalam tesis
Rochani (2000) ditemukan fakta bahwa kepuasan kerja tenaga penjual terhadap imbalan
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, lama kerja dan tingkat pendapatan.
Rochani menambahkan bahwa faktor dalam sistem imbalan, baik materiil dan non materiil,
mampu mempengaruhi kepuasan kerja tenaga penjual.
Kaitan sistem kompensasi serta kepuasan kerja terhadap kinerja dijelaskan lebih lengkap
pada penelitian Comm dan Mathaisel (2003). Pada penelitian ini dinemukan fakta bahwa sistem
kompensasi dan beban kerja akan memberikan pengaruh signifikan bagi komitmen serta
kepuasan kerja dosen, dimana faktor komitmen serta kepuasan kerja mampu secara signifikan
meningkatkan kinerja dosen. Kemudian Peni (2005) meneliti mengenai pengaruh kompensasi
terhadap kinerja melalui kepuasan kerja dan perilaku berkomitmen. Peni menyatakan bahwa
imbalan tidak mampu mempengaruhi kinerja karyawan secara langsung namun imbalan mampu
memberikan pengaruh secara langsung terhadap perilaku berkomitmen karyawan melalui
kepuasan kerja.
Penelitian berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja serta
kinerja dilakukan oleh Carmeli dan Freund (2004), dimana pada penelitian tersebut ditemukan
fakta bahwa kepuasan kerja dosen dipengaruhi oleh komitmen terhadap universitas serta mampu
mempengaruhi dan meningkatkan kinerja dosen secara signifikan. Namun apabila faktor
kepuasan kerja tidak dicantumkan dalam model maka faktor komitmen terhadap organisasi tidak
mampu mempengaruhi kinerja secara langsung. Selanjutnya Chen et al. (2006) mengembangkan
suatu model mengenai kepuasan kerja dosen beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Dalam penelitian tersebut, Chen et al. (2006) menyatakan bahwa terdapat enam faktor yang
mampu mempengaruhi kinerja yaitu sistem kompensasi, respek, motivasi, sistem manajemen,
visi organisasi dan lingkungan kerja. Selanjutnya Chen et al. (2006) menemukan fakta bahwa
sistem kompensasi yang baik merupakan faktor utama yang sangat dibutuhkan oleh dosen dan
diyakini mampu mempengaruhi kepuasan kerja mereka.
44
Masih terkait dengan faktor kepuasan kerja, Nilfia (2004) meneliti mengenai faktor-faktor
dalam kepuasan kerja yang mampu mempengaruhi kinerja karyawan. Dalam tesis tersebut, Nilfia
menemukan fakta bahwa faktor gaji, promosi, penghargaan dan kondisi kerja mampu memberi
pengaruh positif dan signifikan bagi kinerja karyawan, sedangkan faktor otoritas, kemampuan
atasan dan kebijaksanaan perusahaan memberi pengaruh negatif terhadap kinerja karyawan.
Chen (2004) meneliti mengenai pengaruh perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi
terhadap komitmen, kepuasan kerja serta kinerja pegawai perusahaan kecil dan menengah di
Taiwan. Dalam penelitian tersebut ditemukan fakta bahwa perilaku kepemimpinan dan budaya
organisasi mampu mempengaruhi kepuasan kerja dan komitmen kepada organisasi secara
signifikan serta secara tidak langsung mempengaruhi faktor kinerja. Selanjutnya faktor kepuasan
kerja dan komitmen terhadap organisasi terbukti mampu mempengaruhi kinerja secara langsung
dan signifikan.
Dalam penelitian mengenai faktor-faktor dalam kepuasan kerja yang mampu mempengaruhi
kinerja pegawai, penelitian mengenai tipe kepemimpinan dan pengaruhnya terhadap kinerja
pegawai dilakukan oleh Dionne, Yammarino, Atwater dan Spangler (2004). Dalam penelitian
tersebut, Dionne et al. (2004) meneliti mengenai pengaruh tipe kepemimpinan transformasional
terhadap kinerja baik secara langsung maupun tidak langsung dan menemukan fakta bahwa tipe
kepemimpinan transformasional mampu mempengaruhi kinerja tim melalui faktor manfaat
intermediate dan proses teamwork. Verawaty (2006) dalam tesisnya membandingkan perilaku
kepemimpinan transformasional dan transaksional serta pengaruhnya terhadap kinerja anggota
organisasi melalui iklim etikal dan idealisme. Penelitian ini menemukan fakta bahwa perilaku
kepemimpinan transformasional memberikan pengaruh lebih besar daripada perilaku
kepemimpinan transaksional dalam membantu organisasi mencapai kinerja bermakna. Verawaty
menambahkan bahwa perilaku kepemimpinan transaksional tidak memberikan pengaruh
signifikan terhadap idealisme dan kinerja anggota organisasi.
Chang dan Lee (2007) meneliti mengenai pengaruh tipe kepemimpinan transaksional-
transformasional dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja pegawai melalui
operasionalisasi organisasi pembelajaran. Dalam penelitian tersebut, Chang dan Lee menemukan
fakta bahwa tipe kepemimpinan transaksional-transformasional mempunyai pengaruh langsung
terhadap operasionalisasi organisasi pembelajaran serta secara tidak langsung mempengaruhi
kepuasan kerja pegawai.
45
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, pada Tabel 2.2 dapat dilihat rangkuman mengenai
berbagai penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan tipe kepemimpinan transformasional,
sistem kompensasi, kepuasan kerja dan kinerja.
Tabel 2.2 Penelitian-Penelitian Yang Telah Dilakukan
No. Peneliti Tahun Topik Penelitian
1 Jennings & McLauglin 1997 Measuring and correcting inversion in faculty salaries at public universities
2 Comm & Mathaisel 2000 Assessing employee satisfaction in service firm: an example in high education
3 Rochani 2000 Identifikasi faktor-faktor dalam sistem imbalan yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja tenaga penjual
4 Comm & Mathaisel 2003 A case study of the implications of faculty workload and compensation for improving academic quality
5 Dionne et al. 2004 Transformational leadership and team performance
6 Carmeli & Freund 2004 Work commitment, job satisfaction and job performance: an empirical investigation
7 Chen 2004 Examining the effect of organizational culture and leadership behavior on organizational commitment, job satisfaction and job performance at small and middle sized firms of Taiwan
8 Nilfia 2004 Identifikasi faktor-faktor kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan PT. Aeronurti Catering Services Batam
9 Peni 2005 Pengaruh imbalan terhadap kinerja karyawan (studi kasus: salah satu rumah sakit di Cimahi)
10 Chen et al. 2006 The development of an employee satisfaction model for higher education
11 Verawaty 2006 Identifikasi perilaku kepemimpinan yang mempengaruhi kinerja bermakna (kasus di beberapa perusahaan di Indonesia)
12 Chang & Lee 2007 A study on relationship among leadership, organizational culture, the operation of learning organization and employees job satisfaction
46
2.6. State Of The Art
Berdasarkan kajian pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan, telah banyak yang
menjelaskan keterkaitan antara faktor kepemimpinan transformasional, sistem kompensasi,
kepuasan kerja dan kinerja. Namun belum ada peneliti yang membahas mengenai pengaruh
kepemimpinan transformasional dan sistem kompensasi terhadap kinerja baik secara langsung
maupun melalui kepuasan kerja dalam suatu kesatuan model secara bersama-sama (simultan).
Selain itu peneliti terdahulu lebih tertarik untuk meneliti faktor kinerja dan hubungannya dengan
faktor kepuasan kerja pegawai di sektor organisasi laba dan sedikit yang tertarik untuk meneliti
di sektor nirlaba, khususnya sektor pendidikan tinggi. Menurut Comm dan Mathaisel (2000),
penelitian yang dilakukan pada sektor perguruan tinggi pun masih terbatas pada bagaimana
mengukur tingkat kepuasan mahasiswa sebagai penikmat jasa serta sedikit yang meneliti
mengenai kepuasan dosen, padahal apabila dosen puas dalam melakukan tugas utama tentu
kinerja yang dihasilkan juga meningkat dan mampu mempengaruhi kualitas akademik dosen
bersangkutan.
Berkualitasnya dosen yang dimiliki oleh suatu perguruan tinggi tentu akan meningkatkan
kepuasan konsumen, dalam hal ini mahasiswa, sehingga dapat disimpulkan bahwa kepuasan
kerja dosen setara dengan kepuasan mahasiswa dan penelitian pada sektor perguruan tinggi yang
mempertimbangkan kepuasan kerja dosen harus diberikan perhatian lebih besar lagi.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini berfokus pada penggunaan variabel kepemimpinan
transformasional dan sistem kompensasi dengan tujuan mengetahui pengaruhnya terhadap
kepuasan kerja dan kinerja. Alasannya karena berkualitasnya kinerja dosen hanya akan bisa
dicapai apabila dosen yang bersangkutan telah mencapai kepuasan dalam bekerja, dimana
kepuasan dalam bekerja tersebut hanya bisa tercapai apabila dosen merasa sistem kompensasi
dan perlakuan dari pemimpin yang diterima telah memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Pada
Gambar 2.2 dapat dilihat secara visual mengenai sintesa penelitian (state of the art) dan dapat
diketahui fokus pada penelitian ini.
47
Gambar 2.2 State Of The Art
Keterangan:
(1) Jennings & McLauglin, 1997 (5) Dionne et al., 2003 (9) Peni, 2005
(2) Comm & Mathaisel, 2000 (6) Carmeli & Freund, 2004 (10) Chen et al., 2006
(3) Rochani, 2000 (7) Chen, 2004 (11) Verawaty, 2006
(4) Comm & Mathaisel, 2003 (8) Nilfia, 2004 (12) Chang & Lee, 2007
48
Berdasarkan state of the art tersebut maka dibentuklah model konseptual yang digunakan
pada penelitian ini, dimana model konseptual tersebut memiliki kontribusi ilmiah berupa
pengayaan terhadap penelitian-penelitian mengenai kinerja di sektor perguruan tinggi serta
pengayaan terhadap variabel-variabel yang secara teoritis mampu memberikan pengaruh secara
besama-sama (simultan) terhadap kepuasan kerja dan kinerja dosen di sektor perguruan tinggi.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan selama ini hanya meneliti variabel kepemimpinan
transformasional dan sistem kompensasi secara sendiri-sendiri (parsial) atau terpisah berkaitan
dengan pengaruhnya terhadap kepuasan kerja serta kinerja di sektor perguruan tinggi. Dalam
penelitian ini, variabel kepemimpinan transformasional dan sistem kompensasi diteliti
pengaruhnya secara bersama-sama (simultan) terhadap kepuasan kerja serta kinerja dosen dalam
suatu kesatuan model. Pada Gambar 2.3 dijelaskan model konseptual yang digunakan pada
penelitian ini.
Gambar 2.3
Model Konseptual