Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4
BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1 Metode Perencanaan dan Persyaratan
Peraturan dan standar persyaratan struktur bangunan pada hakekatnya
ditujukan untuk kesejahteraan umat manusia, untuk mencegah korban
manusia. Oleh karena itu, peraturan struktur bangunan harus menetapkan
syarat minimum yang berhubungan dengan segi keamanan. Oleh karena itu
semua hal yang berhubungan dengan perencanaan haruslah ada dasar atau
acuan yang ditunjuk untuk mendapatkan keamanan dan kesejahteraan agar
diperoleh hasil yang memuaskan bukan hanya bagi perencana tetapi untuk
masyarakat luas.
Ada beberapa peraturan di indonesia yang sedikit banyak telah
mengalami perubahan menyesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan
indonesia, sejak Peraturan Beton Indonesia 1955 ( PBI 1955 ) kemudian
PBI 1971, kemudian Standar Tata Cara Penghitungan Struktur Beton SK
SNI T-15-1991-03, dan diperbaharui dengan Standar Tata Cara Perhitungan
Struktur Beton untuk Bangunan Gedung SK-SNI-03-2487-2002.
Pembaharuan tersebut tiada lain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
dalam upaya mengimbangi pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi khususnya yang berhubungan dengan beton ataupun
beton bertulang.
PBI 1955 merupakan terjemahan dari GBVI (Gewapend Beton
Voorschriften in Indonesia) 1935, yang merupakan suatu peraturan produk
pemerintah penjajah Belanda di Indonesia. PBI 1955 memberikan
ketentuan tata cara perencanaan menggunakan metode elastis atau cara n,
dengan menggunakan nilai banding modulus elastisitas baja dan beton, n,
yang bernilai tetap untuk segala keadaan bahan dan pembebanan. Batasan
mutu bahan di dalam peraturan baik untuk beton maupun tulangan baja
5
masih rendah disamping peraturan tata cara pelaksanaan yang sederhana
sesuai dengan taraf teknologi yang dikuasai pada waktu itu.
2.2 Beton
Beton adalah campuran antara semen portland atau semen hidraulik
yang lain, agregat halus, agregat kasar dan air, dengan atau tanpa bahan
tambahan yang membentuk masa padat. (SNI-03-2847-2002).
Beton adalah suatu campuran yang terdiri dari pasir, kerikil, batu
pecah, atau agregat-agregat lain yang dicampur menjadi satu dengan suatu
pasta yang terbuat dari semen dan air membentuk suatu massa mirip batuan.
Terkadang, satu atau lebih bahan aditif ditambahkan untuk menghasilkan
beton dengan karakteristik tertentu, seperti kemudahan pengerjaan
(workability), durabilitas dan waktu pengerasan. (Mc Cormac, 2004).
Beton didapat dari pencampuran bahan-bahan agregat halus dan kasar
yaitu pasir, batu, batu pecah, atau bahan semacam lainnya dengan
menambahkan secukupnya bahan perekat semen, dan air sebagai bahan
pembantu guna keperluan reaksi kimia selama proses pengerasan dan
perawatan beton berlangsung. (Dipohusodo, 1999).
2.3 Beton Bertulang
Beton bertulang adalah beton yang ditulangi dengan luas dan jumlah
tulangan yang tidak kurang dari jumlah minimum, yang disyaratkan dengan
atau tanpa prategang, dan direncanakan berdasarkan asumsi bahwa kedua
material berkerja bersama-sama dalam menahan gaya yang bekerja. (SNI-
03-2847-2002).
Beton bertulang adalah merupakan gabungan logis dari dua jenis
bahan: beton polos yang memiliki kekuatan tekan yang tinggi akan tetapi
kekuatan tarik yang rendah dan batang-batang baja yang ditanamkan
didalam beton dapat memberikan kekuatan tarik yang diperlukan. (Wang,
1993).
2.4 Kombinasi Pembebanan
Dengan mengacu pada kombinasi pembebanan SNI 03-2847-2002,
standar kombinasi pembebanan sebagai berikut:
6
a. U = 1,4 D
b. U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (A atau R)
c. U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,6 W + 0,5 (A atau R)
d. U = 0,9 D ± 1,6 W
e. U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,0 E atau U = 0,9 D ± 1,0 E;
Dimana:
1. Beban Mati (D)
2. Beban Hidup (L)
3. Beban Angin (W)
4. Beban Gempa (E)
2.5 Baja Tulangan
Baja berbentuk batang berpenampang bundar yang digunakan untuk
penulangan beton, yang diproduksi dari bahan baku billet dengan cara (hot
rolling) canai panas (SNI-07-2052-2002).
Ketentuan SK SNI-03-2487-2002 menetapkan nilai modulus
elastisitas beton, baja tulangan, dan tendon sebagai berikut :
1. Untuk nilai wc diantara 1500 kg/m3 dan 2500 kg/m3, nilai modulus
elastisitas beton Ec Dapat diambil sebesar (wc )1,5 0,043 √f’c (dalam
Mpa). Untuk beton normal diambil sebesar 4700 √f’c.
2. Modulus elastisitas untuk tulangan non-prategang Es boleh diambil
sebesar 200.000 MPa.
3. modulus elastisitas untuk beton prategang Es’ ditentukan melalui
pengujian atau dari data pabrik.
2.6 Pondasi
Setiap bangunan sipil seperti gedung, jembatan, jalan raya,
terowongan, menara, dam/tanggul dan sebagainya harus mempunyai
pondasi yang dapat mendukungnya. Istilah pondasi digunakan dalam teknik
sipil untuk mendefenisikan suatu konstruksi bangunan yang berfungsi
sebagai penopang bangunan dan meneruskan beban bangunan di atasnya
(upper structure) ke lapisan tanah yang cukup kuat daya dukungnya.
Untuk itu, pondasi bangunan harus diperhitungkan agar dapat menjamin
7
kestabilan bangunan terhadap berat sendiri, beban – beban yang bekerja,
gaya – gaya luar seperti tekanan angin, gempa bumi dan lain – lain.
Setiap pondasi harus mampu mendukung beban sampai batas
keamanan yang telah ditentukan, termasuk mendukung beban maksimum
yang mungkin terjadi. Jenis pondasi yang sesuai dengan tanah pendukung
yang terletak pada kedalaman 10 meter di bawah permukaan tanah adalah
pondasi tiang.
2.6.1 Penyelidikan Tanah
Pada perencanaan pondasi terlebih dahulu perlu diketahui susunan
lapisan tanah yang sebenarnya pada suatu tempat dan juga hasil pengujian
laboratorium dari sampel tanah yang diambil dari berbagai kedalaman
lapisan tanah dan mungkin kalau ada perlu juga diketahui hasil pengamatan
lapangan yang dilakukan sewaktu pembangunan gedung - gedung atau
bangunan - bangunan lain yang didirikan dalam kondisi tanah yang serupa.
Penyelidikan tanah diperlukan untuk menentukan pilihan jenis
pondasi, daya dukungnya dan untuk menentukan metode konstruksi
yang efisien dan juga diperlukan untuk menentukan stratifikasi (pelapisan)
tanah dan karakteristik teknis tanah sehingga perancangan dan konstruksi
pondasi dapat dilakukan dengan ekonomis.
2.6.2 Kemampatan dan Konsolidasi Tanah
Tanah mempunyai sifat kemampatan yang sangat besar jika
dibandingkan dengan bahan konstruksi seperti baja atau beton. Baja dan
beton itu adalah bahan yang tidak mempunyai air pori. Itulah sebabnya
volume pemampatan baja dan beton tidak mempunyai masalah. Sebaliknya
karena tanah mempunyai pori yang besar, maka pem bebanan biasa akan
mengakibatkan deformasi tanah yang besar. Hal ini tentu akan
mengakibatkan penurunan pondasi yang akan merusak konstruksi.
Berlainan dengan bahan-bahan konstruksi yang lain, karekteristik
tanah itu didominasi oleh karakteristik mekanisme seperti permeabilitas
tanah atau kekuatan geser yang berubah-ubah sesuai dengan pembebanan.
Mengingat kemampatan butir-butir tanah atau air itu secara teknis
8
sangat kecil sehingga dapat diabaikan, maka proses deformasi tanah akibat
beban luar dapat dipandang sebagai suatu gejala penyusutan pori.
Jika beban yang bekerja pada tanah itu kecil, maka deformasi itu
terjadi tanpa pergeseran pada titik-titik antara butir-butir tanah.
Deformasi pemampatan tanah yang terjadi memperlihatkan gejala yang
elastis, sehingga bila beban yang itu ditiadakan, tanah akan kembali pada
bentuk semula. Umumnya beban-beban yang bekerja mengakibatkan
pergeseran titik-titik sentuh antara butir-butir tanah, yang mengakibatkan
perubahan susunan butir-butir tanah sehingga terjadi deformasi
pemampatan, deformasi sedemikian disebut deformasi plastis, karena
bilamana tanah ditiadakan, tanah itu tidak akan kembali pada bentuk
semula.
Air dalam pori pada tanah yang jenuh air perlu dialirkan keluar
supaya penyusutan pori itu sesuai dengan deformasi atau sesuai dengan
perubahan struktur Mengingat permeabilitas tanah kohesif lebih kecil dari
permeabiltas tanah pasiran, maka pengaliran keluar air itu membutuhkan
waktu yang lama. Jadi untuk mencapai keadaan deformasi yang tetap
sesuai dengan beban yang bekerja, diperlukan suatu jangka waktu yang
lama. Gejala demikian disebut konsolidasi. Maka dengan adanya
pemadatan, berat isi dan kekuatan tanah akan meningkat.
2.6.3 Uji Sondir
Pengujian CPT atau sondir adalah pengujian dengan menggunakan
alat sondir yang ujungnya berbentuk kerucut dengan sudut 60º dan dengan
luasan ujung 1,54 in² (10 cm²). Alat ini digunakan dengan cara ditekan ke
dalam tanah terus menerus dengan kecepatan tetap 20 mm/detik, sementara
itu besarnya perlawanan tanah terhadap kerucut penetrasi (qc ) juga terus
diukur.
Dilihat dari kapasitasnya, alat sondir dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu sondir ringan (2 ton) dan sondir berat (10 ton). Sondir
ringan digunakan untuk mengukur tekanan konus sampai 150 kg/cm², atau
kedalam maksimal 30 m, dipakai untuk penyelidikan tanah yang terdiri dari
9
lapisan lempung, lanau dan pasir halus. Sondir berat dapat mengukur
tekanan konus 500 kg/cm² atau kedalaman maksimal 50 m, dipakai untuk
penyelidikan tanah di daerah yang terdiri dari lempung padat, lanau padat
dan pasir kasar.
Keuntungan utama dari penggunaan alat ini adalah tidak perlu
diadakan pemboran tanah untuk penyelidikan. Tetapi tidak seperti pada
pengujian SPT, dengan alat sondir sampel tanah tidak dapat diperoleh
untuk penyelidikan langsung ataupun untuk uji laboratorium. Tujuan dari
pengujian sondir ini adalah untuk mengetahui perlawanan penetrasi konus
dan hambatan lekat tanah yang merupakan indikator dari kekuatan tanahnya
dan juga dapat menentukan dalamnya berbagai lapisan tanah yang berbeda.
Dari alat penetrometer yang lazim dipakai, sebagian besar mempunyai
selubung geser (bikonus) yang dapat bergerak mengikuti kerucut penetrasi
tersebut. Jadi pembacaan harga perlawanan ujung konus dan harga
hambatan geser dari tanah dapat dibaca secara terpisah. Ada 2 tipe ujung
konus pada sondir mekanis yaitu:
1. Konus biasa, yang diukur adalah perlawanan ujung konus dan
biasanya digunakan pada tanah yang berbutir kasar, dimana besar
perlawanan lekatnya kecil.
2. Bikonus, yang diukur adalah perlawanan ujung konus dan hambatan
lekatnya dan biasanya digunakan pada tanah yang berbutir halus.
Hasil penyelidikan dengan alat sondir ini pada umumnya digambarkan
dalam bentuk grafik yang menyatakan hubungan antara kedalaman setiap
lapisan tanah dengan besarnya nilai sondir yaitu perlawanan penetrasi
konus atau perlawanan tanah terhadap ujung konus yang dinyatakan dalam
gaya persatuan luas. Hambatan lekat adalah perlawanan geser tanah
terhadap selubung bikonus yang dinyatakan dalam gaya persatuan
panjang. Dari hasil sondir diperoleh nilai jumlah perlawanan (JP) dan nilai
perlawanan konus (PK), sehingga hambatan lekat (HL) dapat dihitung
sebagai berikut :
10
Hambatan Lekat ( HL )= ( − ) ............................(2.1)
Jumlah Hambatan Lekat (JHL)= ∑ ............................(2.2)
dimana :
JP = Jumlah perlawanan, perlawanan ujung konus + selimut
(kg/cm²)
PK = Perlawanan penetrasi konus, qc (kg/cm²)
A = Interval pembacaan (setiap kedalaman 20 cm)
B = Faktor alat = luas konus/luas torak = 10 cm
I = Kedalaman lapisan tanah yang ditinjau (m)
Data sondir tersebut digunakan untuk mengidentifikasikan dari profil
tanah terhadap kedalaman. Hasil akhir dari pengujian sondir ini dibuat
dengan menggambarkan variasi tahanan ujung (qc) dengan gesekan selimut
(fs) terhadap kedalamannya. Bila hasil sondir diperlukan untuk
mendapatkan daya dukung tiang, maka diperlukan harga kumulatif gesekan
(jumlah hambatan lekat), yaitu dengan menjumlahkan harga gesekan
selimut terhadap kedalaman, sehingga pada kedalaman yang ditinjau dapat
diperoleh gesekan total yang dapat digunakan untuk menghitung gesekan
pada kulit tiang.
2.6.4 Standart Penetration Test
Standard Penetration Test (SPT) sering digunakan untuk
mendapatkan daya dukung tanah secara langsung di lokasi. Metode SPT
merupakan percobaan dinamis yang dilakukan dalam suatu lubang bor
dengan memasukkan tabung sampel yang berdiameter dalam 35 mm
sedalam 450 mm dengan menggunakan massa pendorong (palu) seberat 63,
5 kg yang jatuh bebas dari ketinggian 760 mm. Banyaknya pukulan palu
tersebut untuk memasukkan tabung sampel sedalam 305 mm dinyatakan
sebagai nilai N.
Tujuan dari percobaan SPT ini adalah untuk menentukan kepadatan
11
relatif lapisan tanah dari pengambilan contoh tanah dengan tabung sehingga
diketahui jenis tanah dan ketebalan tiap-tiap lapisan kedalaman tanah dan
untuk memperoleh data yang kualitatif pada perlawanan penetrasi tanah
serta menetapkan kepadatan dari tanah yang tidak berkohesi yang biasa sulit
diambil sampelnya. Percobaan SPT ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
a. Siapkan peralatan SPT yang dipergunakan seperti : mesin bor,
batang bor,split spoon sampler, hammer, dan lain – lain.
b. Letakkan dengan baik penyanggah tempat bergantungnya beban
penumbuk.
c. Lakukan pengeboran sampai kedalaman testing, lubang
dibersihkan dari kotoran hasil pengeboran dari tabung segera
dipasangkan pada bagian dasar lubang bor.
d. Berikan tanda pada batang peluncur setiap 15 cm, dengan total 45
cm.
e. Dengan pertolongan mesin bor, tumbuklah batang bor ini
dengan pukulan palu seberat 63,5 kg dan ketinggian jatuh 76
cm hingga kedalaman tersebut, dicatat jumlah pukulan untuk
memasukkan penetrasi setiap 15 cm (N value).
Contoh :
N1 = 10 pukulan/15 cm
N2 = 5 pukulan/15 cm
N3 = 8 pukulan/15 cm
Maka total jumlah pukulan adalah jumlah N2 dengan N3 adalah 5
+ 8 = 13 pukulan = nilai N. N1 tidak diperhitungkan karena
dianggap 15 cm pukulan pertama merupakan sisa kotoran
pengeboran yang tertinggal pada dasar lubang bor, sehingga
perlu dibersihkan untuk memperkecil efisiensi gangguan.
f. Hasil pengambilan contoh tanah dari tabung tersebut dibawa ke
permukaan dan dibuka. Gambarkan contoh jenis - jenis tanah
yang meliputi komposisi, struktur, konsistensi, warna dan
12
kemudian masukkan ke dalam botol tanpa dipadatkan atau
kedalaman plastik, lalu ke core box.
2.6.5 Tiang Pancang
Pondasi tiang adalah suatu konstruksi pondasi yang mampu menahan
gaya orthogonal kesumbu tiang dengan jalan menyerap lenturan. Pondasi
tiang dibuat menjadi satu kesatuan yang monolit dengan menyatukan
pangkal tiang pancang yang terdapat dibawah konstruksi, dengan
tumpuan pondasi. (Sosrodarsono dan Nakazawa, 2000).
Pondasi tiang digunakan untuk mendukung bangunan bila lapisan
tanah kuat terletak sangat dalam. Pondasi jenis ini dapat juga digunakan
untuk mendukung bangunan yang menahan gaya angkat keatas,
terutama pada bangunan-bangunan tingkat yang tinggi yang dipengaruhi
oleh gaya-gaya penggulingan akibat angin. Tiang-tiang juga digunakan
untuk mendukung bangunan dermaga (Hardiyatmo,2003).
2.6.5.1 Tiang Pancang Berdasarkan Bahan dan Karakteristik
a. Tiang pancang beton
Tiang pancang jenis ini terbuat dari beton seperti
biasanya. Tiang pancang ini dapat dibagi dalam 3 macam
berdasarkan cara pembuatannya (Bowles, 1991), yaitu: a.
Precast Reinforced Concrete Pile Precast Reinforced Concrete
Pile adalah tiang pancang beton bertulang yang dicetak dan
dicor dalam acuan beton (bekisting) yang setelah cukup keras
kemudian diangkat dan dipancangkan. Karena tegangan tarik
beton kecil dan praktis dianggap sama dengan nol, sedangkan
berat sendiri beton besar, maka tiang pancang ini harus
diberikan penulangan yang cukup kuat untuk menahan momen
lentur yang akan timbul pada waktu pengangkatan dan
pemancangan.
Tiang pancang ini dapat memikul beban yang lebih besar
dari 50 ton untuk setiap tiang, hal ini tergantung pada jenis
beton dan dimensinya. Precast Reinforced Concrete Pile
13
penampangnya dapat berupa lingkaran, segi empat, segi delapan
dapat dilihat pada (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Tiang pancang beton precast concrete pile(Bowles, 1991)
b. Precast Prestressed Concrete Pile
Tiang pancang Precast Prestressed Concrete Pile adalah
tiang pancang beton yang dalam pelaksanaan pencetakannya
sama seperti pembuatan beton prestess, yaitu dengan menarik
besi tulangannya ketika dicor dan dilepaskan setelah beton
mengeras seperti dalam (Gambar 2.3). Untuk tiang pancang
jenis ini biasanya dibuat oleh pabrik yang khusus membuat
tiang pancang, untuk ukuran dan panjangnya dapat dipesan
langsung sesuai dengan yang diperlukan.
Gambar 2.2 Tiang pancang Precast Prestressed Concrete Pile(Bowles, 1991)
14
c. Cast in Place
Cast in Place merupakan tiang pancang yang dicor
ditempat dengan cara membuat lubang ditanah terlebih dahulu
dengan cara melakukan pengeboran. Pada Cast in Place ini
dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
1. Dengan pipa baja yang dipancangkan ke dalam
tanah, kemudian diisi dengan beton dan ditumbuk
sambil pipa baja tersebut ditarik keatas.
2. Dengan pipa baja yang dipancang ke dalam
tanah, kemudian diisi dengan beton sedangkan pipa
baja tersebut tetap tinggal di dalam tanah.
Gambar 2.3 Tiang pancang Cast in place pile (Sardjono, 1991)
2.6.5.2 Tiang Pancang Menurut Pemasangannya
A. Tiang pancang pracetak
Tiang pancang pracetak adalah tiang pancang yang
dicetak dan dicor didalam acuan beton (bekisting),
15
kemudian setelah cukup kuat lalu diangkat dan
dipancangkan. Tiang pancang pracetak ini menurut cara
pemasangannya terdiri dari :
1. Cara penumbukan
Dimana tiang pancang tersebut dipancangkan kedalam
tanah dengan cara penumbukan oleh alat penumbuk
(hammer).
2. Cara penggetaran
Dimana tiang pancang tersebut dipancangkan kedalam
tanah dengan cara penggetaran oleh alat penggetar
(vibrator).
3. Cara penanaman
Dimana permukaan tanah dilubangi terlebih dahulu
sampai kedalaman tertentu, lalu tiang pancang
dimasukkan, kemudian lubang tadi ditimbun lagi
dengan tanah. Cara penanaman ini ada beberapa metode
yang digunakan :
a. Cara pengeboran sebelumnya, yaitu dengan cara
mengebor tanah sebelumnya lalu tiang
dimasukkan kedalamnya dan ditimbun kembali.
b. Cara pengeboran inti, yaitu tiang ditanamkan
dengan mengeluarkan tanah dari bagian dalam
tiang.
c. Cara pemasangan dengan tekanan, yaitu tiang
dipancangkan kedalam tanah dengan
memberikan tekanan pada tiang.
d. Cara pemancaran, yaitu tanah pondasi diganggu
dengan semburan air yang keluar dari ujung
serta keliling tiang, sehingga dapat dipancangkan
kedalam tanah.
16
B. Tiang yang dicor ditempat (cast in place pile)
Tiang yang dicor ditempat (cast in place pile) ini
menurut teknik penggaliannya terdiri dari beberapa macam cara
yaitu :
1. Cara penetrasi alas
Cara penetrasi alas yaitu pipa baja yang
dipancangkan kedalam tanah kemudian pipa baja
tersebut dicor dengan beton.
2. Cara penggalian
Cara ini dapat dibagi lagi menurut peralatan
pendukung yang digunakan antara lain :
a. Penggalian dengan tenaga manusia
Penggalian lubang pondasi tiang pancang dengan
tenaga manusia adalah penggalian lubang pondsi yang
masih sangat sederhana dan merupakan cara
konvensional. Hal ini dapat dilihat dengan cara
pembuatan pondasi dalam, yang pada umumnya
hanya mampu dilakukan pada kedalaman tertentu.
b. Penggalian dengan tenaga mesin
Penggalian lubang pondasi tiang pancang dengan
tenaga mesin adalah penggalian lubang pondasi
dengan bantuan tenaga mesin, yang memiliki
kemampuan lebih baik dan lebih canggih.
2.6.6 Kapasitas Daya Dukung Tanah
A. Kapasitas daya dukung tiang dari data sondir
Diantara perbedaaan tes dilapangan, sondir atau Cone
Penetration Test (CPT) seringkali sangat dipertimbangkan peranan
dari geoteknik. CPT atau sondir ini tes yang sangat cepat, sederhana,
ekonomis dan tes tersebut dapat dipercaya dilapangan dengan
17
pengukuran terus-menerus dari permukaan tanah-tanah dasar. CPT
atau sondir ini dapat juga mengklasifikasi lapisan tanah dan dapat
memperkirakan kekuatan dan karakteristik dari tanah. Didalam
perencanaan pondasi tiang (pile), data tanah sangat diperlukan dalam
merencanakan kapasitas daya dukung (bearing capacity) tiang
sebelum pembangunan dimulai, guna menentukan kapasitas daya
dukung ultimit dari tiang. Kapasitas daya dukung ultimit ditentukan
dengan persamaan sebagai berikut :
Qu = Qb + Qs = qbAb + f.As .....…………………………(2.3)
Dimana :
Qu = Kapasitas daya dukung aksial ultimit tiang.
Qb = Kapasitas tahanan di ujung tiang.
Qs = Kapasitas tahanan kulit.
Qb = Kapasitas daya du kung di ujung tiang persatuan luas.
Ab = Luas di ujung tiang.
f = Satuan tahanan kulit persatuan luas.
As = Luas kulit tiang.
Dalam menentukan kapasitas daya dukung aksial ultimit (Qu) dipakai
metode Aoki dan De Alencar.
Aoki dan De Alencar mengusulkan untuk memperkirakan kapasitas
dukung ultimit dari data Sondir. Kapasitas dukung ujung persatuan
luas (qb) diperoleh sebagai berikut :
qb=( )
............................(2.4)
qca (base) = Perlawanan konus rata-rata 1,5D diatas ujung tiang, 1,5D
dibawah ujung tiang dan Fb adalah faktor empirik tergantung pada tipe
tanah.
F=( )
...........................(2.5)
18
Dimana :
qc (side) = Perlawanan konus rata-rata pada masing lapisan
sepanjang tiang.
Fs = Faktor empirik yang tergantung pada tipe tanah.
Fb = Faktor empirik yang tergantung pada tipe tanah.
Faktor Fb dan Fs diberikan pada Tabel 2.1 dan nilai-nilai faktor empirik
αs diberikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.1 Faktor emperik Fb dan Fs
Tipe Tiang Pancang Fb Fs
Tiang Bor 3,5 7,0
Baja 1,75 3,5
Beton Pracetak 1,75 3,5
Sumber: (Titi & Farsakh, 1999)
Tabel 2.2 Nilai faktor empirik untuk tipe tanah yang berbeda
Tipe Tanah As(%)
Tipe Tanah Αs(%)
Tipe Tanah Αs(%)
Pasir 1,4 Pasirberlanau
2,2 Lempungberpasir
2,4
PasirKelanauan
2,0 Pasirberlanaudengan
lempung
2,8 Lempungberpasirdenganlanau
2,8
PasirKelanauandenganlempung
2,4 Lanau 3,0 Lemungberlanaudenganpasir
3,0
Pasirberlempungdenganlanau
2,8 Lanauberlempungdengan pasir
3,0 Lempungberlanau
3,4
Pasirberlempung
3,0 Lanauberlempung
3,4 Lempung 6,0
Sumber: (Titi & Farsakh, 1999)
Pada umumnya nilai αs untuk pasir = 1,4 persen, nilai αs untuk
18
Dimana :
qc (side) = Perlawanan konus rata-rata pada masing lapisan
sepanjang tiang.
Fs = Faktor empirik yang tergantung pada tipe tanah.
Fb = Faktor empirik yang tergantung pada tipe tanah.
Faktor Fb dan Fs diberikan pada Tabel 2.1 dan nilai-nilai faktor empirik
αs diberikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.1 Faktor emperik Fb dan Fs
Tipe Tiang Pancang Fb Fs
Tiang Bor 3,5 7,0
Baja 1,75 3,5
Beton Pracetak 1,75 3,5
Sumber: (Titi & Farsakh, 1999)
Tabel 2.2 Nilai faktor empirik untuk tipe tanah yang berbeda
Tipe Tanah As(%)
Tipe Tanah Αs(%)
Tipe Tanah Αs(%)
Pasir 1,4 Pasirberlanau
2,2 Lempungberpasir
2,4
PasirKelanauan
2,0 Pasirberlanaudengan
lempung
2,8 Lempungberpasirdenganlanau
2,8
PasirKelanauandenganlempung
2,4 Lanau 3,0 Lemungberlanaudenganpasir
3,0
Pasirberlempungdenganlanau
2,8 Lanauberlempungdengan pasir
3,0 Lempungberlanau
3,4
Pasirberlempung
3,0 Lanauberlempung
3,4 Lempung 6,0
Sumber: (Titi & Farsakh, 1999)
Pada umumnya nilai αs untuk pasir = 1,4 persen, nilai αs untuk
18
Dimana :
qc (side) = Perlawanan konus rata-rata pada masing lapisan
sepanjang tiang.
Fs = Faktor empirik yang tergantung pada tipe tanah.
Fb = Faktor empirik yang tergantung pada tipe tanah.
Faktor Fb dan Fs diberikan pada Tabel 2.1 dan nilai-nilai faktor empirik
αs diberikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.1 Faktor emperik Fb dan Fs
Tipe Tiang Pancang Fb Fs
Tiang Bor 3,5 7,0
Baja 1,75 3,5
Beton Pracetak 1,75 3,5
Sumber: (Titi & Farsakh, 1999)
Tabel 2.2 Nilai faktor empirik untuk tipe tanah yang berbeda
Tipe Tanah As(%)
Tipe Tanah Αs(%)
Tipe Tanah Αs(%)
Pasir 1,4 Pasirberlanau
2,2 Lempungberpasir
2,4
PasirKelanauan
2,0 Pasirberlanaudengan
lempung
2,8 Lempungberpasirdenganlanau
2,8
PasirKelanauandenganlempung
2,4 Lanau 3,0 Lemungberlanaudenganpasir
3,0
Pasirberlempungdenganlanau
2,8 Lanauberlempungdengan pasir
3,0 Lempungberlanau
3,4
Pasirberlempung
3,0 Lanauberlempung
3,4 Lempung 6,0
Sumber: (Titi & Farsakh, 1999)
Pada umumnya nilai αs untuk pasir = 1,4 persen, nilai αs untuk
19
lanau = 3,0 persen dan nilai αs untuk lempung = 1,4 persen.
Untuk menghitung daya dukung tiang pancang berdasarkan
data hasil pengujian sondir dapat dilakukan dengan menggunakan metode
Meyerhoff.
Daya dukung ultimit pondasi tiang dinyatakan dengan rumus :
Qult = (qc x Ap)+(JHL x K) .......……………………….(2.6)
Dimana :
Qult = Kapasitas daya dukung tiang pancang tunggal.
Qc = Tahanan ujung sondir.
Ap = Luas penampang tiang.
JHL = Jumlah hambatan lekat.
K = Keliling tiang.
Daya dukung ijin pondasi dinyatakan dengan rumus :
Qijin= + ...................................................(2.7)
Dimana
Qijin = Kapasitas daya dukung ijin pondasi.
Qc = Tahanan ujung sondir.
Ap = Luas penampang tiang.
JHLK
==
Jumlah hambatan lekat.Keliling tiang.
2.6.7 Kapasitas Daya Dukung Tiang Dari Data SPT
Harga N yang diperoleh dari SPT tersebut diperlukan untuk
memperhitungkan daya dukung tanah. Daya dukung tanah tergantung
pada kuat geser tanah. Hipotesis pertama mengenai kuat geser tanah
diuraikan oleh Coulomb yang dinyatakan dengan:
τ = c + σ tan ϕ .........………………….…………..…..…(2.8)
dimana :
τ = Kekuatan geser tanah (kg/cm²)
20
c = Kohesi tanah (kg/cm²)
σ = Tegangan normal yang terjadi pada tanah (kg/cm²)
ϕ = Sudut geser tanah (º)
Table 2.3 Hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk penentuan
harga N
Klasifikasi Hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan
Hal yang perlu
dipertimbangkan
secara menyeluruh dari
hasil-hasil survei
sebelumnya
Unsur tanah, variasi daya dukung vertikal
(kedalaman permukaan dan susunannya),
adanya lapisan lunak (ketebalan konsolidasi
atau penurunan), kondisi drainase dan lain- lain
Hal-hal yang perlu
diperhatikan
Langsung
Tanah pasir
(tidak kohesif)
Berat isi, sudut geser
dalam, ketahanan
terhadap penurunan dan
daya dukung tanah
Tanah lempung(kohesif)
Keteguhan, kohesi, daya dukung dan ketahananterhadap hancur
Sumber: (Sosrodarsono, 1983)
Untuk mendapatkan sudut geser tanah dari tanah tidak kohesif
(pasiran) biasanya dapat dipergunakan rumus Dunham (1962) sebagai
berikut :
1. Tanah berpasir berbentuk bulat dengan gradasi seragam, atau butiran
pasir bersegi segi dengan gradasi tidak seragam, mempunyai sudut
geser sebesar :
ɸ= √12 + 15 ............................(2.9)
2. Butiran pasir bersegi dengan gradasi seragam, maka sudut gesernya
adalah :
ɸ= 0.3N + 27 ..........................(2.10)
Angka penetrasi sangat berguna sebagai pedoman dalam eksplorasi
tanah dan untuk memperkirakan kondisi lapisan tanah. Hubungan
21
antara angka penetrasi standart dengan sudut geser tanah dan kepadatan
relatif untuk tanah berpasir, secara perkiraan dapat dilihat pada tabel 2.4
berikut :
Tabel 2.4 Hubungan antara angka penetrasi standard dengan sudutgeser dalam dan kepadatan relatif pada tanah pasir
Angka PenetrasiStandart, N
Kepadatan RelatifDr(%)
Sudut Geser dalam ɸ( ͦ )
0-5 0-5 26-305-10 5-30 28-35
10-30 30-60 35-4230-50 60-65 38-46
Sumber: (Das, 1985)
Hubungan antara harga N dengan berat isi yang sebenarnya hampir
tidak mempunyai arti karena hanya mempunyai partikel kasar (tabel 2.5).
Harga berat isi yang dimaksud sangat tergantung pada kadar air.
Tabel 2.5 Hubungan N dan berat isi
Tanahtidak
kohesif
Harga N <10 10-30 30-50 >50Berat isiɣKN / m³
12-16 14-18 16-20 18-23
Tanahkohesif
Harga N <4 4-15 16-25 >25Berat isiɣKN / m³
14-18 16-18 16-18 >20
Sumber: (Das, 1985)
Pada tanah tidak kohesif daya dukung sebanding dengan berat isi
tanah, hal ini berarti bahwa tinggi muka air tanah banyak mempengaruhi
daya dukung pasir. Tanah dibawah air mempunyai berat isi efektif yang
kira-kira setengah berat isi tanah diatas muka air.
2.7 Balok
Dalam menghitung komponen struktur terhadap beban lentur atau
aksial atau kombinasi dari beban lentur dan aksial, asumsi dalam
perencanaan sebagai berikut :
1. Bidang rata dianggap tetap rata setelah mengalami pelenturan dan tetap
tegak lurus pada sumsu konstruksinya (azas Bernoulli).
22
2. Regangan – regangan di dalam penampang dianggap berbanding lurus
dengan jaraknya ke garis netral (azas Navier), Kecuali untuk komponen
struktur lentur tinggi.
3. Beton dianggap tidak dapat menahan gaya tarik, sehingga semua gaya
tarik yang terjadi pada penampang ditahan sepenuhnya oleh baja
tulangan tarik.
4. Hubungan antara distribusi tegangan tekan beton dan regangan tekan
beton mengikuti diagram tegangan parabolis maupun empat persegi
panjang seperti diperlihatkan dalam gambar 2.6
Gambar 2.6 Hubungan antara tegangan dan regangan dan diagram tekan
beton. Diambil dari SNI-03-2847-2002
5. Distrubusi tegangan beton persegi ekuivalen didefinisikan sebagai
berikut :
a. Tegangan beton sebesar 0,85 f’c harus diasumsikan terdistribusi secara
merata pada daerah tekan ekivalen yang dibatasi oleh tepi penampang
dan suatu garis lurus yang sejajar dengan sumbu netral sejarak a = β1c
dari serat dengan regangan tekan maksimum,
b. Jarak c dari serat dengan regangan maksimum ke sumbu netral harus
diukur dalam arah tegak lurus terhadap sumbu tersebut,
c. Faktor β1 harus diambil sebesar :
1) Jika f’c < 30 MPa ; β1 = 0,85 ..........................(2.11)
SNI 03-2847-2002
23
2) Jika 30 < f’c < 55 MPa; β1 = 0,85 – 0,0071 (f’c – 30) ..............(2.12)
3) Jika f’c > 55 MPa ; β1 = 0,65 ..........................(2.13)
6. Hubungan antara tegangan dan regangan baja tulangan (baik tarik
maupun tekan) mengikuti kurva bilinier seperti dijelaskan didalam
gambar 2.7
Gambar 2.7 Hubungan antara regangan dan tegangan baja tulangan.Dikutib dari SNI-03-2847-2002.
Secara umum terdapat dua jenis/keadaan penampang yang dibebani
lentur murni yaitu :
a. Penampang dengan penulangan tunggal (baja tulangan tunggal) dan
b. Penampang dengan penulangan rangkap (baja tulangan rangkap).
24
Penampang dengan Baja Tulangan Tunggal
Ditinjau balok beton berpenampang persegi dengan baja tulangan
tunggal yang dibebani lentur seperti yang diperlihatkan gambar 2.8
Gambar 2.8 Perlawanan internal terhadap lenturan tampang bertulangtunggal dikutip dari SNI-03-2847-2002.
Syarat kompabilitas regangan menghasilkan persamaan := 0.003 ......................................(2.14)
Jika ( Baja tulangan sudah leleh) maka fs = fy
Jika S Y (Baja Tulangan Belum Leleh) maka fs = S . ES
Cc = Ts 0,85 . f'c . a . b = As . fs
S Y
Mn = Cc (d – ½.a)
2.7.2 Metode Kekuatan Batas/ SNI-03-2847-2002
Pengujian terhadap balok beton bertulang memberikan suatu hasil
bahwa regangan bervariasi menurut jarak garis pusatnya ke serat tarik
bahkan pada saat beban mendekati beban batas. Tegangan tekan
bervariasi hampir menurut suatu garis lurus hingga tegangan dan regangan
kira-kira akan mencapai seperti yang terlihat pada gambar berikut:
25
Gambar 2.8. Analisis Balok Persegi (Dikutip dari buku Jack C.McCormac, Desain Beton Bertulang)
Tegangan tekan bervariasi mulai dari nol pada garis netral hingga
mencapai nilai maksimum pada suatu titik yang dekat dengan serat terluar
sisi tekan. Walaupun distribusi tegangan yang sebenarnya merupakan suatu
hal yang penting, beberapa bentuk asumsi dapat digunakan secara praktis
jika hasil perbandingan hasil analisa sesuai dengan hasil pengujian. Bentuk
yang umum digunakan adalah bentuk persegi, parabola, dan trapesium.
Gambar2.9. Kemungkinan Bentuk Distribusi Tekan (Dikutip dari bukuJack C. McCormac, Desain Beton Bertulang)
Whitney menggantikan blok kurva tegangan dengan suatu balok
persegi ekivalen dengan intensitas 0.85f’c dan kedalaman a = β1c, seperti
tampak pada gambar diatas, luas balok persegi harus sama dengan luas
balok kurva tegangan yang sebenarnya dan pusat berat dari kedua balok ini
juga harus berhimpit.
26
Dalam peraturan SK SNI 03-2847-2002, untuk nilai f’c yang lebih
kecil atau sama dengan 30 Mpa nilai β1 ditentukan sebesar 0.85, dan nilai
ini berkurang 0.05 untuk tiap kenaikan f’c sebesar 7 Mpa. Tetapi nilai ini
tidak diambil kurang dari 0.65.
Beberapa alasan digunakannya metode kuat batas (ultimate strength
design) sebagai trend perencanaan struktur beton adalah:
1. Struktur beton bersifat in-elastis saat beban maksimum, sehingga teori
elastis tidak dapat secara akurat menghitung kekuatan batasnya. Untuk
struktur yang direncanakan dengan metode beban kerja (working
stress method) maka faktor beban (beban batas/beban kerja) tidak
diketahui dan dapat bervariasi dari struktur satu dengan struktur yang
lainnya.
2. Faktor keamanan dalam bentuk faktor beban lebih rasional, yaitu faktor
beban rendah untuk struktur dengan pembebanan yang pasti,
sedangkan faktor beban tinggi untuk untuk pembebanan yang fluktuatif
(berubah-ubah).
3. Kurva tegangan-regangan beton adalah non-linier dan tergantung dari
kurva, misal regangan rangkak (creep) akibat tegangan yang konstan
dapat beberapa kali lipat dari regangan elastis awal. Oleh karena itu,
nilai rasio modulus yang digunakan dapat menyimpang dari
kondisi sebenarnya. Regangan rangkak dapat memberikan
redistribusi tegangan yang lumayan besar pada penampang struktur
beton, artinya tegangan sebenarnya yang terjadi pada struktur
tersebut bisa berbeda dengan tegangan yang diambil dalam
perencanaan. Contoh, tulangan baja desak pada kolom beton dapat
mencapai leleh selama pembebanan tetap, meskipun kondisi tersebut
tidak terlihat pada saat direncanakan dengan metode beban kerja
yang memakai nilai modulus ratio sebelum creep. Metode perencanaan
kuat batas tidak memerlukan ratio modulus.
4. Metode perencanaan kuat batas memanfaatkan kekuatan yang dihasilkan
27
dari distribusi tegangan yang lebih efisien yang dimungkinkan oleh
adanya regangan in-elastis. Sebagai contoh, penggunaan tulangan desak
pada penampang dengan tulangan ganda dapat menghasilkan momen
kapasitas yang lebih besar karena pada tulangan desaknya dapat
didayagunakan sampai mencapai tegangan leleh pada beban batasnya,
sedangkan dengan teori elastis tambahan tulangan desak tidak terlalu
terpengaruh karena hanya dicapai tegangan yang rendah pada baja.
5. Metode perencanaan kuat batas menghasilkan penampang struktur beton
yang lebih efisien jika digunakan tulangan baja mutu tinggi dan tinggi
balok yang rendah dapat digunakan tanpa perlu tulangan desak.
6. Metode perencanaan kuat batas dapat digunakan untuk mengakses
daktilitas struktur di luar batas elastisnya. Hal tersebut penting
untuk memasukkan pengaruh redistribusi momen dalam perencanaan
terhadap beban gravitasi, perencanaan tahan gempa dan perencanaan
terhadap beban ledak (blasting).
Gambar 2.10 Hubungan Non-Linear antara tegangan dan regangan(Dikutip dari buku Gideon Kusuma, DasarDasarPerencanaan Beton Bertulang)
2.7.3 keruntuhan Akibat Geser
Keruntuhan akibat geser pada balok, diketahui bahwa transfer beban
ke tumpuan melalui mekanisme momen lentur dan gaya geser yang
terjadi secara bersamaan. Pola keruntuhan (retak) yang terjadi akibat
kedua mekanisme tersebut terlihat berbeda (lihat gambar 2.11) dari
28
komponen tegangan utama yang terjadi.
Gambar 2.11 Balok dengan Keruntuhan Geser (Dikutip dari bukuWiryanto Dewobroto, Aplikasi Rekayasa Konstruksi)
Bagian yang menerima lentur dan geser, materialnya mengalami
tegangan utama biaksial dengan orientasi diagonal, sehingga retaknya pun
terbentuk diagonal pada daerah yang mengalami tegangan tarik. Perhatikan
pada daerah lentur murni, retak yang terjadi cenderung berorientasi vertikal.
Keruntuhan balok akibat geser (akibat tegangan biaksial) bersifat getas dan
terjadinya tiba-tiba. Berbeda dengan keruntuhan lentur yang bersifat daktail,
didahului dengan timbulnya lendutan besar yang dapat digunakan sebagai
pertanda. Oleh karena itu, dalam perencanaan struktur, semua elemen harus
didesain sedemikian agar kekuatan gesernya lebih besar dari yang
diperlukan sehingga dapat dijamin bahwa keruntuhan lentur akan terjadi
terlebih dahulu.
2.7.4 Balok Persegi Dengan Tulangan Rangkap
Apabila suatu penampang dikehendaki untuk menopang beban
yang lebih besar dari kapasitasnya, sedangkan di lain pihak seringkali
sebagai pertimbangan teknis pelaksanaan dan arsitektural membatasi
dimensi balok, maka diperlukan usaha-usaha lain untuk memperbesar kuat
momen penampang balok yang sudah tertentu dimensinya.
Sebagai salah satu alternatifnya yaitu dengan melakukan
penambahan tulangan baja tarik lebih dari batas nilai ρmaks bersamaan
29
dengan penambahan tulangan baja di daerah tekan penampang balok. Hal
ini dapat meningkatkan kapasitas momen yang dapat ditahan oleh balok
dengan tetap menjaga sifat daktilitasnya.
Pada analisis balok persegi bertulangan rangkap, sering akan dijumpai
dua kondisi kehancuran pada balok. Yang pertama adalah dimana tulangan
tarik dan tekan sama-sama telah luluh (dalam tugas akhir ini disebut
sebagai kondisi I) dan yang kedua adalah dimana tulangan tarik telah luluh,
namun tulangan tekan belum luluh (dalam tugas akhir ini disebut sebagai
Kondisi II).
Disamping kedua kondisi di atas, masih ada dua kondisi lain yang
jarang terjadi, salah satunya yaitu baik tulangan tarik maupun tekan
sama-sama belum leleh. Hal ini hanya terjadi pada balok bertulangan
rangkap dengan penulangan lebih.
Dengan mengcu pada Gambar di bawah ini, akan diturunkan
persamaan- persamaan dan langkah-langkah yang akan digunakan untuk
menganalisis suatu balok bertulangan rangkap untuk kedua kondisi yang
mungkin terjadi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Gambar 2.12. Analisi Balok Bertulangan Rangkap (Dikutip dari bukuJack C. McCormac, Desain Beton Bertulang)
Ingat bahwa As2 = As’ dan As1 = As – As2.
30
Langkah-langkah analisis balok persegi bertulangan rangkap:
Anggap bahwa tulangan tarik dan tulangan tekan telah leleh sehingga :
fs = fs’ = fy ........................(2.15)Dengan menggunakan persamaan pasangan kopel beton tekan dan
tulangan baja tarik dan tekan, tinggi balok tekan a dihitung dengan :
T = Cc + Cs
As fy = (0.85f’c)ab + As’fy
a = ( )( . ) = ( . ) . .........................(2.16)
Tentukan letak garis netral
c= .........................(2.17)
Periksa regangan yang terjadi pada tulangan baja tekan dan baja tarik
dengan menggunakan diagram regangan.= − ′ 0.003= 0.003 .........................(2.18)
Dengan menganggap s ≥ yang berarti tulangan baja tarik telah
meleleh akan timbul salah satu dari kedua kondisi berikut:
Kondisi 1 : s’ ≥ , Menunjukan tulangan baja telah leleh.
Kondisi 2 : s’ ≤ , Menunjukan tulangan baja tekan belum leleh.
2.8 Kolom
Kolom adalah komponen struktur bangunan yang fungsi utamanya
adalah meneruskan beban dari sistem lantai ke fondasi. Sebagai bagian dari
suatu kerangka bangunan dengan fungsi dan peran tersebut, kolom
menempati posisi penting di dalam sistem struktur bangunan. Kegagalan
kolom akan berakibat langsung pada runtuhnya komponen struktur lain
yang berhubungan dengannya, atau bahkan merupakan batas runtuh total
keseluruhan struktur bangunan. Pada umumnya kegagalan atau keruntuhan
31
komponen tekan tidak diawali dengan tanda peringatan yang jelas, bersifat
mendadak.
Oleh karena itu, dalam merencanakan struktur kolom
harus memperhitungkan secara cermat dengan memberikan cadangan
kekuatan lebih tinggi daripada untuk komponen struktur lainnya.
Selanjutnya, oleh karena penggunaan didalam praktek umumnya
kolom tidak hanya bertugas menahan beban aksial vertikal, defenisi
kolom diperluas dengan mencakup tugas menahan kombinasi beban
aksial dan momen lentur. Atau dengan kata lain, kolom harus
diperhitungkan untuk menyangga beban aksial tekan dengan eksentrisitas
tertentu. Secara garis besar ada tiga jenis kolom bertulang, yaitu:
1. Kolom menggunakan pengikat sengkang lateral. Kolom ini
merupakan kolom beton yang ditulangi dengan batang tulangan
pokok memanjang, yang pada jarak spesi tertentu diikat dengan
pengikat sengkang ke arah lateral. Sengkang tersebut berfungsi untuk
mengurangi bahaya pecah (spliting) beton yang dapat mempengaruhi
daktilitas kolom tersebut.
2. Kolom menggunakan pengikat spiral. Bentuknya sama dengan
pengikat lateral, hanya saja sebagai pengikat tulangan pokok
memanjang adalah tulangan spiral yang dililitkan keliling
membentuk heliks menerus di sepanjang kolom. Lilitan melingkar
atau spiral memberikan tekanan kekang (confine) di sekeliling
penampang.
3. Struktur kolom komposit merupakan komponen struktur tekan yang
diperkuat pada arah memanjang dengan gelagar baja profil atau
pipa, dengan atau tanpa diberi tulangan pokok memanjang.
32
Gambar 2.13 Jenis-Jenis Kolom (Dikutip dari buku IstimawanDipohusodo, Struktur Beton Bertulang)
Perbedaan kekuatan kolom spiral dengan sengkang baru terlihat
pada kondisi pasca puncak. Untuk itu diperlihatkan prilaku kedua kolom
tersebut berdasarkan kurva beban lendutan. Pada tahap awal sampai
puncak, kedua kolom memperlihatkan prilaku yang sama. Setelah beban
maksimum tercapai dan mulai mengalami kondisi plastis, maka terlihat
bahwa kolom sengkang akan mengalami keruntuhan terlebih dahulu yang
sifatnya mendadak (non daktail), sedangkan kolom spiral masih bertahan
(daktail)
Gambar 2.14 Perilaku Keruntuhan Kolom Sengkang dan Spiral(Dikutip dari buku Wiryanto Dewobroto, Aplikasi Rekayasa Konstruksi)
33
Kolom spiral digunakan jika daktilitas sangat dipentingkan atau
beban yang besar sehingga cukup efisien untuk memanfaatkan nilai
(faktor reduksi) spiral yang lebih tinggi, yaitu 0,70 dibandingkan pakai
sengkang yaitu 0,65.
2.8.1 Hubungan Beban Aksial dan Moment
Gambar 2.15 Hubungan Beban Aksial-Momen-Eksentrisitas(Dikutip dari buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)
Pada gambar diatas dapat dijelaskan bahwa kesepadanan statika
antara beban aksial eksentrisitas dengan kombinasi beban aksial-momen.
Apabila gaya dari beban Pu bekerja pada penampang kolom berjarak e
terhadap sumbu seperti terlihat pada gambar (a), akibat yang ditimbulkan
akan sama dengan apabila suatu pasangan yang terdiri dari gaya beban
aksial Pu pada sumbu dan momen, Mu = Pu e, bekerja serentak bersama-
sama seperti tampak pada gambar (c). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa apabila suatu pasangan momen rencana terfaktor
Mu dan beban rencana terfaktor Pu bekerja bersama-sama pada suatu
komponen struktur tekan, hubungannya dapat dituliskan sebagai berikut:= ......................................(2.19)
Untuk suatu penampang tertentu, hubungan tersebut diatas bernilai
konstan dan memberikan variasi kombinasi beban lentur dan beban aksial
dalam banyak cara. Apabila dikehendaki eksentrisitas yang semakin besar,
beban aksial Pu harus berkurang sedemikian rupa sehingga kolom tetap
mampu menopang kedua beban, beban aksial Pu dan momen Pu e. Sudah
34
tentu besar atau jumlah pengurangan Pu yang diperlukan sebanding dengan
peningkatan besarnya eksentrisitas.
2.8.2 Faktor Reduksi Kekuatan Untuk Kolom
Persyaratan dalam memberikan pembatasan tulangan untuk
komponen struktur yang di bebani kombinasi lentur dan aksial tekan
tersebut selaras dengan konsep daktilitas komponen struktur yang menahan
momen lentur dengan beban aksial, dimana di kehendaki agar keruntuhan
diawali dengan meluluhnya batang tulangan tarik terlebih dahulu.
Sejalan dengan hal tersebut, untuk komponen dengan beban aksial
kecil diijinkan untuk memperbesar faktor reduksi kekuatannya, lebih
besar dari nilai yang digunakan bila komponen yang bersangkutan hanya
menahan beban aksial tekan sentris. Seperti diketahui bahwa:
1. Untuk komponen yang menahan lentur murni tanpa beban aksial,
digunakan faktor reduksi kekuatan Ø = 0,80;
2. Untuk kolom dengan pengikat spiral sejauh ini digunakan faktor
reduksi kekuatan Ø = 0,70;
3. Sedangkan untuk kolom pengikat sengkang digunakan faktor reduksi
kekuatan Ø = 0,65.
Seperti diketahui, kolom yang dibebani eksentrisitas akan menahan
beban aksial maupun momen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk
kasus dimana kolom dengan beban aksial kecil tetapi pasangan momennya
besar dapat diberlakukan seperti komponen struktur lentur, atau balok pada
umumnya.
2.8.3 Perencanaan Kolom
Kolom adalah komponen struktur bangunan yang tugas utamanya
menyangga beban aksial tekan vertikal. Atau dengan kata lain kolom harus
diperhitungkan untuk menyangga beban aksial tekan dengan eksentrisitas
tertentu.
Pada kolom, pembatasan jumlah tulangan kolom agar penampang
berperilaku daktail agak sukar dilakukan karena beban aksial tekan
lebih dominan sehingga keruntuhan tekan sulit dihindari. Jumlah luas
35
penampang tulangan pokok memanjang kolom dibatasi dengan rasio
penulangan ρg antara 0.01–0.08. Penulangan yang lazim dilakukan diantara
1.5% sampai 3% dari luas penampang kolom.
Khusus untuk struktur bangunan berlantai banyak, kadang-kadang
penulangan kolom dapat mencapai 4%, namun disarankan untuk tidak
menggunakan nilai lebih dari 4% agar penulangan tidak berdesakan
terutama pada titik pertemuan balok-balok, plat, dan kolom.
2.8.4 Kekuatan Kolom Eksentris Kecil
Hampir tidak pernah dijumpai kolom yang menopang beban
aksial tekan secara konsentris, bahkan kombinasi beban aksial dengan
eksentrisitas kecil sangat jarang ditemui. Meskipun demikian untuk
memperoleh dasar pengertian perilaku kolom pada waktu menahan beban
dan timbulnya momen pada kolom, pertama-tama akan dibahas kolom
dengan beban aksial tekan eksentrisitas kecil. Apabila beban tekan P
berimpit dengan sumbu memanjang kolom, berarti tanpa eksentrisitas,
perhitungan teoritis menghasilkan tegangan tekan merata pada
permukaan penampang lintangnya. Sedangkan apabila gaya tekan
tersebut bekerja di suatu tempat berjarak e terhadap sumbu memanjang,
kolom cenderung melentur seiring dengan timbulnya momen:= .........................(2.20)
Jarak e dinamakan eksentrisitas gaya terhadap sumbu kolom. Tidak
sama halnya dengan kejadian beban tanpa eksentrisitas, tegangan tekan
yang terjadi tidak merata pada seluruh permukaan penampang tetapi akan
timbul lebih besar pada satu sisi terhadap sisi lainnya.
Kondisi pembebanan tanpa eksentrisitas yang merupakan keadaan
khusus, kuat beban aksial nominal atau teoritis dapat ditulis sebagai berikut
:
Po = 0.85f’c (Ag – Ast) + fy Ast ..........................(2.21)Apabila diuraikan lebih lanjut akan didapatkan :Po = Ag{0.85 f c(1 − ρg) + fy ρg}= {0.85 + ( )(0.85 )} .........................(2.22)
36
Sedangkan peraturan memberikan ketentuan hubungan dasar antara
beban dengan kekuatan sebagai berikut :≤ ∅ .........................(2.23)
Dimana,
Ag = Luas kotor penampang lintang kolom (mm2)
Ast = Luas total penampang penulangan memanjang (mm2)
Po = Kuat beban aksial nominal atau teoritis tanpa eksentrisitas
Pn = Kuat beban aksial nominal atau teoritis dengan eksentrisitas
tertentu
Pu = Beban aksial terfaktor dengan eksentrisitas= .........................(2.24)
Sehingga apabila memang terjadi, pada kasus beban tanpa
eksentrisitas, Pn akan menjadi sama dengan Po. Sehingga demikian,
SK-SNI 03-2847-2002 menentukan bahwa dalam praktek tidak akan ada
kolom yang dibebani tanpa eksentrisitas. Eksentrisitas beban dapat terjadi
akibat timbulnya momen yang antara lain disebabkan oleh kekangan pada
ujung-ujung kolom yang dicetak secara monolit dengan komponen lain,
pemasangan yang kurang sempurna, ataupun penggunaan mutu bahan yang
tidak merata.
Maka sebagai tambahan faktor reduksi kekuatan untuk
memperhitungkan eksentrisitas maksimum, peraturan memberikan
ketentuan bahwa kekuatan nominal kolom dengan pengikat sengkang
direduksi 20% dan untuk kolom dengan spiral direduksi 15%.
Ketentuan tersebut akan memberikan rumus kuat beban aksial
maksimum seperti berikut :
Untuk Kolom Spiral :∅ ( ) = 0.85∅{0.85∅ ( − ) + }...................(2.25)
Untuk Kolom Dengan Penulangan Sengkang :∅ ( ) = 0.80∅{0.85∅ ( − ) + }....................(2.26)
37
Beban aksial bekerja dalam arah sejajar sumbu memanjang dan titik
kerjanya tidak harus di pusat berat kolom, berada di dalam penampang
melintang, atau pusat geometrik. Dalam memperhitungkan kuat kolom
terhadap beban aksial eksentrisitas kecil digunakan dasar anggapan bahwa
akibat bekerjanya beban batas (ultimit), beton akan mengalami tegangan
sampai nilai 0.85f’c dan tulangan bajanya mencapai tegangan leleh fy.
Sehingga untuk setiap penampang kolom, kuat beban aksial nominal
dengan eksentrisitas kecil dapat dihitung langsung dengan menjumlahkan
gaya-gaya dalam dari beton dan tulangan baja pada waktu mengalami
tegangan pada tingkat kuat maksimum tersebut.
Perencanaan kolom beton bertulang pada hakekatnya menentukan
dimensi serta ukuran-ukuran baik beton maupun batang tulangan baja, sejak
dari menentukan ukuran dan bentuk penampang kolom, menghitung
kebutuhan penulangannya sampai dengan memilih tulangan sengkang atau
spiral sehingga di dapat ukuran dan jarak spasi yang tepat. Karena rasio
penulangan terhadap beton ρg harus berada dalam daerah batas nilai 0.01≤ρg ≤ 0.08 maka persamaan kuat perlu dimodifikasi untuk dapat memenuhi
syarat.
Untuk kolom Pengikat sengkang
ɸ Pn (maks) = 0.80ɸ{0.85fc’(Ag-Ast)+fy(Ast)}.............................(2.27)
Sehingga didapat:
Ast = ρg x Ag
Maka,
ɸPn (maks) = 0.80ɸ{0.85fc’(ag-ast) + fy x ρg x Ag }
= 0.80ɸAg{0.85fc’(1-ρg) + fyρg } ..............(2.28)
Karena Pu ≤ ɸ Pn (maks) maka dapat disusun ungkapan Ag perlu
berdasarkan pada kuat kolom Pu dan rasio penulangan ρg, sebagai berikut:
Untuk kolom dengan pengikat sengkang= . ∅{ . ( ) .....................................(2.29)
Untuk kolom dengan pengikat spiral
38
= . ∅{ . ( ) } .....................................(2.30)
Dengan demikian untuk menentukan bentuk dan ukuran kolom
berdasarkan rumus diatas, banyak kemungkinan serta pilihan yang
dapat memenuhi syarat kekuatan menopang sembarang beban Pu. Untuk
nilai ρg yang lebih kecil memberikan hasil Ag lebih besar, demikian pun
sebaliknya. Banyak pertimbangan dan faktor lain yang berpengaruh pada
pemilihan bentuk dan ukuran kolom, diantaranya ialah pertimbangan dan
persyaratan arsitektural atau pelaksanaan membangun yang menghendaki
dimensi seragam untuk setiap lantai agar menghemat acuan kolom dan
perancahnya.
2.8.6 Kekuatan Kolom Eksentris Besar
Peraturan Beton Indonesia 1971 memberikan ketentuan bahwa setiap
struktur bangunan beton bertulang bertingkat harus mempunyai kolom-
kolom dengan kekakuan yang sedemikian rupa, sehingga untuk setiap
pembebanan, stabilitas struktur tetap terjamin. Stabilitas struktur dapat
diperhitungkan dengan meninjau tekuk pada setiap kolom satu persatu
(tekuk parsial) seperti halnya pada kolom-kolom tunggal.
Memperhitungkan tekuk parsial kolom-kolom dapat dilakukan dengan
menerapkan eksentrisitas tambahan pada eksentrisitas awal gaya normal
kolom. Sehingga pada eksentrisitas awal, gaya normal kolom masih harus
ditambahkan pula eksentrisitas-eksentrisitas tambahan, masing-masing
untuk memperhitungkan tekuk, ketidaktepatan sumbu kolom terhadap
sumbu item, dan untuk memperoleh peningkatan keamanan bagi kolom-
kolom dengan eksentrisitas awal yang semakin kecil.
Dalam SK SNI-03-2847-2002, kuat beban aksial nominal
maksimum diberikan batasan apabila sebuah kolom pengaruh
kelangsingan diabaikan, kuat aksial nominal maksimum Pn (maks) tidak
melebihi 0.80 Po untuk kolom berpengikat sengkang dan 0.85 Podengan
pengikat spiral (seperti persamaan sebelumnya). Dengan ketentuan
tersebut, berarti sekaligus diberikan pula pembatasan eksentrisitas
39
minimum yang harus diperhitungkan. Untuk kolom dengan eksentrisitas
besar, kedua persamaan tersebut tidak dapat digunakan.
Eksentrisitas minimum dapat ditimbulkan oleh kekangan di ujung
komponen karena sistem menggunakan hubungan monolit dengan
komponen struktur lainnya. Sedangkan eksentrisitas tidak terduga dapat
timbul akibat pelaksanaan pekerjaan di titik-titik buhul yang tidak
sempurna sehingga terjadi pergeseran sumbu sistem bangunan ataupun
akibat penggunaan bahan berbeda mutu. Dengan berbagai pertimbangan
tersebut, perencanaan kolom umumnya didasarkan pada momen akibat dari
beban aksial dengan eksentrisitas yang relatif besar.
2.9 Plat
Pelat lentur merupakan salah satu elemen penting dari struktur
bangunan gedung. Pada umumnya bangunan gedung tersusun dari pelat
lantai, balok anak, balok induk, kolom,dan pondasi. Idealisasi pelat lentur
juga dapat dijumpai pada pelat atap, lantai jembatan maupun pelabuhan.
Berdasarkan komponen gaya dalam yang bekerja, pelat lentur dapat
dibedakan menjadi dua yaitu: (1) pelat satu arah dimana momen lentur
dianggap hanya bekerja pada satu sumbu dengan arah lenturan utama pada
arah sisi yang lebih pendek, dan (2) pelat dua arah dimana momen lentur
dianggap bekerja pada dua sumbu dengan lenturan terjadi pada dua arah
yang saling tegak lurus. Apabila perbandingan ukuran sisi panjang terhadap
sisi pendek pelat lebih besar dari 2 (dua) maka pelat tersebut dapat
digolongkan sebagai pelat satu arah, dengan asumsi perencanaan
layaknya elemen balok dengan tinggi setebal pelat dan lebar satu satuan
panjang (umumnya diambil 1 meter lebar).
Berdasarkan kondisi tumpuannya, pelat dapat digolongkan
menjadi dua yaitu: (1) pelat dengan balok sebagai tumpuan pada masing-
masing sisinya, dan (2) pelat tanpa balok penumpu yang seringkali disebut
sebagai pelat datar. Pada kasus pelat datar panel pelat langsung ditumpu
oleh kolom sehingga muncul kerawanan terhadap timbulnya akumulasi
gaya geser setempat yang disebut dengan pons, dimana kolom seolah-
40
olah akan menembus panel pelat ke arah atas. Untuk menanggulangi
fenomena ini biasanya diberikan penebalan pelat setempat pada pada posisi
kolom, yang selanjutnya disebut sebagai drop panel atau dilakukan
pembesaran ukuran ujung kolom yang disebut sebagai kapital kolom atau
kepala kolom. Dengan demikian pelat tanpa balok penumpu dapat
dibedakan dibagi dua, yaitu: (1) tanpa penebalan, dan (2) dengan penebalan.
(SNI-03-2847-2002).
2.9.1 Perencanaan Dimensi Tampang
Komponen struktur beton bertulang yang mengalami lentur harus
direncanakan agar mempunyai kekakuan yang cukup untuk membatasi
lendutan atau deformasi apapun yang dapat memperlemah kekuatan ataupun
mengurangi kemampuan layan struktur pada beban kerja.
Tebal minimum untuk balok atau pelat satu arah
Untuk menjamin kekuatan dan kemampuan layan serta menghindari
terjadinya retak dan defleksi yang berlebihan pada elemen balok dan pelat
satu arah, SNI 03-2847-2002 mempersyaratkan ketebalan minimum
yang dihitung dengan ketentuan berikut:
TABEL 2.6 Ketebalan minimum balok non-pratekan dan plat satuarah bila lendutan tidak diperhitungkan
Tebal Minimum, hKomponenStruktur
Dua tumpuansederhana
Satu ujungMenerus
Kedua ujungmenerus
Kantilever
Komponen yang tidak menahan atau tidak disatukan denganpartisi atau konstruksi lain yang mungkin akan rusak lendutanyang besar
Pelatmasif satuarah
120 124 128 110Balok ataupelat rusuksatu arah
116 118,5 121 18Sumber: SNI-03-2847-2002
dengan:
l = panjang bentang balok atau pelat satu arah, dengan ketentuan:
41
1) Panjang bentang dari komponen struktur yang tidak
menyatu dengan struktur pendukung dihitung sebagai
bentang bersih ditambah dengan tinggi dari komponen
struktur. Besarnya bentang tersebut tidak perlu melebihi
jarak pusat ke pusat komponen struktur pendukung yang
ada.
2) Dalam analisis untuk menentukan momen pada rangka
atau struktur menerus, panjang bentang harus diambil
sebesar jarak pusat ke pusat komponen struktur
pendukung.
2.9.2 Tebal Minimum Plat Dua Arah
Tebal minimum untuk pelat dua arah dengan balok yang
menghubungkan tumpuan pada semua sisinya harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1) Untuk αm yang sama atau lebih kecil dari 0,2 diterapkan
ketentuan sebagaimana dipersyaratkan pada pelat tanpa balok interior
2) Untuk αm lebih besar dari 0,2 tapi tidak lebih dari 2,0, ketebalanpelat
minimum harus memenuhi= ( . )( . ) ..............(2.30)
Dan tidak boleh kurang dari 120 mm
3) Untuk αm lebih besar dari 2,0, ketebalan pelat minimum tidak boleh
kurang dari:
= ( . )..............(2.31)
Dan tidak boleh kurang dari 90 mm
Dengan:
Ln = panjang bentang bersih dalam arah memanjang dari konstruksi
dua arah, diukur dari muka ke muka tumpuan pada pelat tanpa
balok dan muka ke muka balok atau tumpuan lain pada kasus
42
lainnya (mm)
Α = Rasio kekakuan lentur tampang balok terhadap kekakuan lentur
pelat dengan lebar yang dibatasi secara lateral oleh garis-garis
sumbu tengah panel-panel yang bersebelahan (bila ada) pada tiap
sisi balok
αm = Nilai rata-rata α untuk semua balok pada tepi-tepi suatu panel
β = Rasio bentang bersih dalam arah memanjang terhadap arah
memendek dari pelat dua arah
4) Pada tepi yang tidak menerus, balok tepi harus mempunyai rasio
kekakuan α tidak kurang dari 0,8 atau sebagai alternatif ketebalan
minimum yang ditentukan Pers. (3-1) atau Pers. (3-2) harus dinaikan
paling tidak 10% pada panel dengan tepi yang tidak menerus.
2.9.3 Tebal Minimum Plat Balok Interior
Tebal minimum pelat tanpa balok interior yang menghubungkan
tumpuan- tumpuannya dan mempunyai rasio bentang panjang terhadap
bentang pendek yang tidak lebih dari dua, harus memenuhi ketentuan Tabel
2.7 dan tidak boleh kurang dari nilai berikut:
1) Pelat tanpa penebalan disyaratkan tebal pelat minimal 120 mm
2) Pelat dengan penebalan disyaratkan tebal pelat minimal 100 mm
43
TABEL 2.7 Tebal minimum pelat tanpa balok interior
Teganganleleh F(Mpa)
Tanpa Penebalan Dengan penebalanPanel luar Panel
dalamPanel luar Panel
dalam
Tanpabalokpinggir
Denganbalokpinggir
Tanpabalokpinggir
Denganbalokpinggir
300 33 36 36 36 40 40400 30 33 33 33 36 36500 28 31 31 31 34 34
Catatan: Nilai α untuk balok diantara kolom pada tepi luar tidak boleh kurang dari 0,8.
Dimensi penebalan panel setempat harus sesuai dengan hal-hal berikut ini:
Penebalan panel setempat disediakan pada kedua arah sejarak tidak
kurang daripada seperenam jarak pusat-ke-pusat tumpuan pada arah yang
ditinjau. Tebal penebalan panel setempat tidak boleh kurang daripada
seperempat tebal pelat diluar daerah penebalan panel setempat.
2.9.4 Analisi Plat Dua Arah
Sebagai alternatif, metode pendekatan berikut ini dapat digunakan
untuk menentukan momen lentur pada bagian lapangan maupun tumpuan
panel pelat dua arah dimana momen lentur dianggap bekerja pada dua
sumbu dengan lenturan terjadi pada dua arah yang saling tegak lurus
dengan perbandingan antara sisi panjang dan sisi pendek kurang dari 2
(dua). Cara pendekatan yang ditunjukkan pada Tabel 3-3 dapat
dipergunakan dengan syarat:
1) Beban yang bekerja berupa beban terbagi rata,
2) Perbedaan yang terbatas antara besarnya beban maksimum dan
minimum pada panel pelat memenuhi
WU min ≥ 0,4.WU max , ..........................(2.32)
4) Perbedaan yang terbatas antara beban maksimal pada panel
pelat yang berbeda-beda tipe memenuhi
44
WU max terkecil ≥ 0,8.WU max terbesar , ..........................(2.33)
4) Perbedaan yang terbatas pada panjang bentang, dimana bentang
terpendek lebih besar dari 0,8 bentang terpanjang.
2.10 Dinding Geser
Dinding geser (shear wall) didefinisikan sebagai komponen
struktur vertikal yang relatif sangat kaku. Dinding geser pada
umumnya hanya boleh mempunyai bukaan sekitar 5% agar tidak
mengurangi kekakuannya. Fungsi dinding geser berubah menjadi
dinding penahan beban (bearing wall), jika dinding geser menerima
beban tegak lurus dinding geser. Bangunan beton bertulang yang
tinggi sering didesain dengan dinding geser untuk menahan gempa.
Selama terjadinya gempa, dinding geser yang didesain dengan baik dapat
dipastikan akan meminimalkan kerusakan bagian non struktural bangunan
seperti jendela, pintu, langit-langit dan seterusnya (McCormac, 2003).
Dinding geser bisa digunakan untuk menahan gaya lateral saja maupun
sebagai dinding pendukung. Penempatan dinding geser dapat dilakukan
pada sisi luar bangunan atau pada pusat bangunan. Dinding geser yang
ditempatkan pada bagian dalam bangunan biasanya disebut dengan inti
struktural (structural core/corewall) yang biasa digunakan untuk
ruang lift dan tangga, seperti yang diperlihatkan pada Gambar
2.16. Penempatan dinding geser lainya pada arah melintang yang
diperlihatkan pada Gambar 2.17.
Gambar 2.16. Dinding Geser Mengelilingi Lift Atau Tangga(McCormac,2003)
45
Gambar 2.17. Dinding Geser Melintang Bangunan (McCormac,2003)
Dinding tersebut sebenarnya adalah balok kantilever dengan lebar
h dan tinggi keseluruhan lw. Pada gambar bagian (a) dinding tertekuk
dari kiri ke kanan akibat Vn dan akibatnya tulangan yang diperlukan
sebelah kiri atau pada sisi tarik. Jika Vn diterapkan dari sisi kanan seperti
diperlihatkan pada gambar bagian (b), tulangan tarik akan diperlukan
pada sisi kanan kanan dinding. Maka dapa kita lihat bahwa dinding geser
memerlukan tulangan tarik pada kedua sisinya karena Vu bisa datang
dari kedua arah tersebut. Untuk perhitungan lentur, tinggi balok yang
diperlukan dari sisi tekan dinding ke titik berat tulangan tarik adalah
sekitar 0,8 dari panjang dinding lw. Dinding geser bekerja sebagai sebuah
balok kantilever vertikal dan dalam menyediakan tahanan lateral, dinding
geser menerima gaya tekuk maupun geser. Untuk dinding seperti itu,
geser maksimum Vu dan momen maksimum Mu terjadi pada dasar
dinding. Jika tegangan lentur diperhitungkan, besar tegangan lentur
tersebut akan dipengaruhi oleh beban aksial desain Nu dan selanjutnya
pengaruh tegangan lentur tersebut harus dimasukkan dalam analitis.
46
Gambar 2.18. Dinding Geser Menerima Gaya Lateral Vu (Mosley danBungey,1989)
Geser lebih terpengaruh pada dinding yang mempunyai
perbandingan tinggi dan panjang yang kecil. Momen lebih berpengaruh
pada dinding yang lebih tinggi, terutama pada dinding dengan
tulangan yang terdistribusi secara merata. Tulangan ditempatkan
mengelilingi semua bukaan, baik diperlukan atau tidak oleh analisa
struktur. Praktek seperti ini penting untuk mencegah retak tarik
diagonal yang cenderung berkembang menyebar dari pojok bukaan.
Umumnya dinding geser berupa dinding beton yang mengelilingi
tangga dan atau lorong lift. Bentuk dan penempatan dinding geser dapat
disesuaikan dengan bentuk denah bangunan. Pada denah bangunan tertentu,
dinding geser dapat dirangkai dan diletakkan di inti bangunan. Sistem
penempatan dinding geser seperti ini sering juga disebut dinding inti
(core wall). Perhitungan dinding inti merupakan masalah yang cukup
sulit dalam analisa struktur. Terdapat perbedaan dalam deformasi struktur
pada struktur biasa yang tersusun dari portal terbuka, dan struktur yang
menggunakan dinding inti. Deformasi pada dinding geser menyerupai
deformasi balok kantilever yang tegak lurus tanah dan selain deformasi
lentur, dinding mengalami deformasi geser dan rotasi secara bersamaan.
Deformasi pada dinding geser sangat kecil di lantai dasar dan sangat
besar dilantai atas bangunan.