Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1. Budaya Organisasi
2.1.1. Definisi Budaya Organisasi
Budaya organisasi telah banyak dipelajari dan oleh karena itu ada beberapa
pengertian tentang apa sebenarnya budaya organisasi itu. Pengertian yang umum
digunakan adalah pengertian budaya organisasi yang dibuat oleh Schein (1992) yang
memahami budaya organisasi sebagai pola asumsi-asumsi dasar yang dibuat oleh
sebuah kelompok berdasarkan pengalaman, yang kemudian membentuk nilai dan
perilaku. Nilai dan perilaku ini tidak hanya mengendalikan perilaku antara anggota
dalam organisasi di dalam organisasi namun juga mengendalikan interaksi dengan
pihak di luar organisasi seperti supplier, pelanggan, dll (Jones, 2004). Karena
budaya organisasi dibentuk oleh anggota organisasi berdasarkan pengalaman, maka
budaya satu organisasi berbeda dengan budaya organisasi lain. Menurut Arnold
(2005:625) budaya organisasi merupakan kombinasi norma, kepercayaan, prinsip
dan perilaku yang menjadi karakter sebuah organisasi yang membedakan dengan
organisasi lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi
adalah asumsi dasar, nilai, norma dan perilaku yang mengendalikan interaksi
anggota organisasi dan membentuk karakter organisasi.
Budaya bukan hanya membentuk perilaku anggota dan karakter organisasi,
namun memiliki pengaruh yang lebih luas pada level kinerja organisasi. Menurut
Smircich (1983) budaya memiliki pengaruh terhadap efektivitas organisasi. Selain
efektivitas, menurut Gibson (2003) budaya organisasi dapat menciptakan stabilitas
yang pada akhirnya berpengaruh pada menarik SDM yang berkualitas. Pengaruh
budaya pada kinerja organisasi ini disebabkan karena anggota organisasi adalah
unsur yang menjalankan organisasi, maka perilaku yang terbentuk dari budaya akan
mempengaruhi cara kerja anggota sehingga mempengaruhi hasil kerja.
Nilai dan norma dalam organisasi adalah dua hal yang kuat membentuk
budaya organisasi. Menurut Gibson (2003) semakin anggota organisasi menganut
nilai yang sama, semakin kuat budaya organisasi. Jones (2004) membedakan antara
nilai dan norma dalam budaya. Menurutnya nilai organisasi adalah standar umum
atau prinsip-prinsip yang menentukan perilaku, kejadian, situasi atau hasil mana
yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, yang tertuang dalam norma, aturan,
SOP, tujuan. Sedangkan norma adalah standar atau gaya berperilaku yang diterima
oleh semua orang dalam sebuah kelompok, atau yang khas dari sekelompok orang.
Lebih lanjut lagi menurut Jones nilai yang paling kuat bukanlah dalam bentuk
2
tertulis melainkan dalam norma, kepercayaan, asumsi, cara berpikir dan bertindak
yang dianut secara bersama-sama. Sama seperti Rokeach (1973), Jones juga
membedakan dua macam nilai yakni Nilai Terminal (Terminal Value) dan Nilai
Instrumental (Instrumental Value). Rokeach membedakan nilai dalam konteks nilai
pribadi misalnya cinta, kebahagiaan, dll, sedangkan Jones membedakan dalam
konteks organisasi. Menurut Jones (2004) nilai terminal adalah keadaan atau hasil
yang ingin dicapai misalnya keunggulan, profitabilitas, daya inovasi, dll. Sedangkan
nilai instrumental adalah pola perilaku yang diharapkan untuk ada dalam organisasi
misalnya bekerja keras, jujur, mengambil resiko, dll. Jika dilihat, nilai terminal dan
instrumental saling berhubungan dimana nilai terminal bisa mempengaruhi nilai
instrumental yang terbentuk dan sebaliknya nilai instrumental mendukung
tercapainya nilai terminal.
Sumber: Jones (2004)
Gambar 2.1 Nilai Akhir dan Nilai Instrumental dalam Budaya Organisasi
2.1.2. Pembentukan dan Penyebaran Budaya Organisasi
Menurut Jones (2004) budaya organisasi terbentuk karena interaksi empat
faktor yaitu karakter anggota organisasi, etika dalam organisasi, hak kepemilikan
(property right) dan struktur organisasi. Karakter anggota organisasi diawali dan
sangat dipengaruhi oleh nilai dan kepercayaan pendiri organisasi. Pendiri organisasi
kemudian merekrut anggota-anggota awal organisasi yang akhirnya terpengaruh
langsung dengan nilai dan kepercayaan pribadi pendiri. Kemudian seiring
Organizational Values
Terminal Values
Instrumental Values
Desired end states of
outcomes (e.g. high
quality; excellence)
Desired modes of
behaviour (e.g. being
helpful; working hard)
Specific norms, rules, SOPs (e.g.
being courteous to coworkers,
tidying up work areas)
3
bertambahnya anggota nilai inipun disalurkan ke anggota yang lain. Selain itu, nilai
juga terbentuk saat anggota organisasi berusaha beradaptasi dengan lingkungan luar
dan berusaha membentuk integrasi internal Schein (1985). Nilai-nilai inilah yang
membentuk perilaku anggota yang kemudian menjadi karakter organisasi. Faktor
yang kedua yakni etika dalam organisasi. Jones (2004) mengartikan etika organisasi
sebagai nilai moral, kepercayaan, dan aturan yang menentukan cara yang paling
tepat untuk anggota organisasi bersikap satu sama lain. Etika ini tidak hanya timbul
secara perlahan dan alami berdasarkan nilai yang dipegang bersama, namun
manajemen puncak juga bisa secara sengaja mengembangkan nilai budaya untuk
mengendalikan perilaku anggota organisasi. Faktor ketiga adalah hak kepemilikan
(property rights) yang merupakan hak yang diberikan organisasi terhadap
anggotanya untuk menerima dan menggunakan sumber daya organisasi (Jones,
2004). Pemberian hak ini berdampak pada nilai yang membentuk perilaku karyawan
dan memotivasi anggota organisasi (Jones, 1983). Semakin besar hak yang diberikan
semakin besar komitmen dan kesetiaan anggota terhadap organisasi. Faktor yang
terakhir adalah struktur organisasi yang merupakan sistem resmi tugas dan
hubungan otoritas yang dibuat organisasi untuk mengontrol aktivitas (Jones, 2004).
Keempat faktor ini secara bersama-sama membentuk budaya dalam organisasi.
Setelah budaya terbentuk, budaya kemudian disebarkan ke anggota
organisasi. Menurut Jones (2004) budaya disebarkan secara formal dan informal.
Salah satu penyebaran secara formal adalah melalui sosialisasi dimana anggota
mempelajari dan menginternalisasi nilai dan norma organisasi. Proses penyebaran
budaya yang bersifat informal adalah melalui kisah, perayaan dan bahasa.
Organisasi membuat perayaan untuk menyampaikan nilai dan norma organisasi.
Trica dan Beyer (1993) mengemukakan tiga tipe perayaan dalam organisasi. 1) Rites
of passage yang menandakan pada saat karyawan baru masuk, pada saat karyawan
dipromosikan dan pada saat karyawan berhenti bekerja. 2) Rites of integration
seperti misalnya pengumuman tentang kesuksesan yang diraih perusahaan, atau
kegiatan lain yang mempererat hubungan antar anggota misalnya pesta kantor. 3)
Rites of enhancement yakni pada saat organisasi mengadakan acara pemberian
penghargaan yang mengakui dan memberikan penghargaan terhadap kontribusi
karyawan. Kisah dalam organisasi juga bisa menjadi media menyebarkan budaya,
misalnya kisah tentang karyawan berprestasi mengindikasikan nilai dan norma yang
diharapkan organisasi. Sedangkan bahasa sebagai media lainnya dalam menyebar
budaya tidak hanya terbatas pada bahasa lisan tetapi bisa juga melalui cara
berpakaian dan desain kantor. Bahasa verbal sebagai media menyebar budaya
misalnya bahasa teknis yang digunakan dalam perusahaan yang bergerak dibidang
teknik. Semua proses ini menjadi sarana organisasi mengkomunikasikan nilai,
perilaku dan norma yang dipegang oleh organisasi dan dengan demikian diharapkan
oleh organisasi untuk dipegang dan dilakukan oleh anggotanya.
4
2.1.3. Mengelola Budaya Organisasi
Budaya organisasi bisa dikelola dengan memperhatikan empat faktor
pembentuknya (Jones, 2004). Budaya organisasi bisa diubah dengan mengubah
struktur organisasi, hak kepemilikan, atau dengan mengubah anggota organisasi
khususnya manajemen puncak. Meskipun budaya bisa diubah, Menurut Jones
(2004) norma dan nilai biasanya susah untuk berubah. Selain mengubah budaya
organisasi juga dapat mempertahankan budayanya agar tidak berubah apalagi
menurunkan efektivitas organisasi. Menurut Jones (2004) salah satu cara untuk
mempertahankan adalah manajemen puncak mendesain struktur organisasi yang bisa
mengontrol masalah yang terjadi ketika organisasi menjadi lebih besar dan
kompleks.
2.2. Budaya Engineering Centric
Budaya engineering centric berakar dari budaya engineering yang adalah
sebuah budaya pekerjaan (occupational culture). Budaya pekerjaan adalah budaya
yang terbentuk oleh sekelompok orang yang memiliki identitas profesi atau
pekerjaan yang sama, misalnya engineer (Van Maanen dan Barley, 1984). Nilai
budaya engineering sendiri sudah tertanam pada para engineer sebelum mereka
masuk dalam lingkungan kerja profesional, yakni pada saat mereka menjalani
pendidikan untuk menjadi engineer. Selama masa pendidikan mereka didoktrin
tentang bagaimana cara bekerja dan berpikir sebagai seorang engineer (Bucciarelli
dan Kuhn 1997). Dalam bukunya Four cultures of education: expert, engineer,
prophet, communicator, Walter Leirman menggambarkan budaya engineering dalam
pendidikan sebagai berikut:
In the engineering culture the mission of education is to seek to
produce an efficient society with skilled citizens capable of managing
the practical needs of society – Sparta rather than Athens. Learning-
by-doing in the site of knowledge application is highly valued.
Engineering education cultures are characterised by clear economic
and societal objectives, medium and long-term development plans,
well-resourced training strategies, reviews and evaluations. The
educator’s role is largely as a manager of education systems that
encourage practical application and problem solving. The learner is
encouraged to be autonomous, goal-oriented and actively involved in
the learning process. The engineering culture is characterised by
detailed planning and is generally pedagogically innovative.
Leirman (1994) menggambarkan budaya pendidikan engineering sangat
menghargai proses belajar dengan melakukan (learning-by-doing), memiliki
perencanaan yang rinci dan inovatif secara pedagogis, peserta didik dalam budaya
5
pendidikan ini didorong untuk bisa mandiri, berorientasi pada hasil, terlibat aktif
dalam proses belajar dan melakukan problem solving. Setelah menjalani pendidikan
dan kemudian masuk dalam dunia pekerjaan profesional sebagai engineer, nilai-nilai
budaya ini terbawa dan membentuk perilaku-perilaku khas engineer. Ketika
engineering bertemu, berinteraksi dan bekerjasama dengan sesama rekan engineer
dalam lingkungan kerja, nilai dan perilaku engineering ini semakin kuat dan
membentuk budaya pekerjaan (occupational culture).
Pilotte (2013) melakukan penelitian dengan melibatkan sekitar 300 engineer
untuk mempelajari budaya engineering dari sisi praktik atau perilaku menggunakan
Enam Dimensi Budaya yang dirumuskan oleh Hofstede yakni Proses versus Hasil
(PVR), Berorientasi pada Karyawan versus pada pekerjaan (EVJ), Berorientasi
Parokial (organisasi) versus Profesional (PVP), Terbuka versus Tertutup (OVC),
Terkontrol secara Longgar versus Ketat (LVT), dan Normatif versus Pragmatis
(NVP). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktik atau perilaku dalam budaya
engineering adalah 1) lebih banyak berorientasi pada hasil daripada proses, 2)
sedikit lebih banyak berorientasi pada karyawan daripada pekerjaan, 3) sedikit lebih
profesional daripada parokial, 4) lebih terbuka daripada tertutup, 5) agak lebih
terkontrol ketat daripada longgar, dan 6) hampir seimbang sempurna antara normatif
dan pragmatis. Lebih banyak berorientasi pada hasil berarti budaya engineering
lebih berorientasi pada goal, lebih mengambil resiko, pekerjaan yang berubah-ubah,
dan input pribadi yang tinggi. Sedikit lebih banyak berorientasi pada karyawan
daripada pekerjaan berarti sedikit lebih peduli pada karyawan melampaui batasan
pekerjaan, berarti karyawan bukan hanya sekedar sumber daya perusahaan saja.
Sedikit lebih profesional daripada parokial berarti kehidupan pribadi dan kehidupan
bisnis terpisah, kompetensi tugas itu penting, orientasi pribadi jangka panjang. Lebih
terbuka daripada tertutup berarti terbuka pada pendatang atau anggota baru,
siapapun bisa cocok, karyawan baru hanya membutuhkan beberapa hari untuk
menyesuaikan atau melebur. Agak lebih terkontrol ketat daripada longgar agak lebih
berorientasi pada biaya, rapat tepat waktu, sedikit candaan tentang
perusahaan/kelompok atau pekerjaan. Hampir seimbang sempurna antara normatif
dan pragmatis berarti ada keseimbangan antara menaati aturan dengan berorientasi
pada pelanggan, seimbang antara menaati prosedur dan mencapai hasil, seimbang
antara pandangan yang dogmatis dan pragmatis tentang etika.
Jika penelitian yang dilakukan oleh Pilotte (2013) menggunakan dimensi
budaya Hofstede, studi yang dilakukan oleh Royal Academy of Engineering (RAE)
pada tahun 2017 meneliti tentang budaya engineering dari sudah pandang para
engineer tentang nilai dan perilaku dalam budaya engineering. Lebih dari 7000
engineer menjawab pertanyaan tentang pengalaman mereka akan budaya
engineering. Penelitian ini menemukan bahwa budaya engineering terdiri 1)
pemecahan masalah (problem solving) dimana budaya engineering diarahkan untuk
memahami masalah dan mengeksplorasi solusi; 2) sadar keselamatan (safety-
conscious) yang artinya budaya engineering memprioritaskan keselamatan dimana
produk yang diciptakan aman bagi pengguna; 3) bangga (proud) dimana engineer
6
mencintai pekerjaan mereka, bangga dengan yang mereka kerjakan baik secara
individu maupun bersama-sama; 4) setia (loyal) dimana engineer berkomitmen pada
engineering dan pada profesi sebagai engineer; 5) berorientasi pada tim (team
oriented) dimana hubungan para engineer bersifat informal, bersahabat dan
kolaboratif; 6) dan fleksibel dalam hal kapan dan dimana mereka bekerja.
Sebelum Pilotte dan RAE, Kunda (2006) telah mempelajari budaya
engineering pada perusahaan high-tech dan menemukan bahwa budaya engineering
menciptakan kondisi kerja yang non otoriter, informal, lingkungan kerja yang
fleksibel yang mendorong dan menghargai komitmen, inisiatif, dan kreativitas
individu sambil mendorong perkembangan individu. Luceyer (2001) mempelajari
engineering culture pada perusahaan-perusahaan teknologi mula-mula di Silicon
Valley yang berkembang tahun 1970-an dan menemukan bahwa budaya engineering
di perusahaan-perusahaan tersebut mencakup persahabatan, ideologi demokrasi yang
sangat kuat dan sangat menjunjung tinggi kecerdasan dan inovasi. Perusahaan-
perusahaan dengan budaya ini memberikan otonomi yang sangat besar terhadap
karyawannya, mengatur penelitian dan pengembangan dalam tim independen, dan
memberikan insentif finansial yang tidak biasa berupa pembagian keuntungan (profit
sharing), kepemilikan saham, dan program opsi saham (stock-option programs).
Berdasarkan teori budaya Schein, budaya engineering dikategorikan sebagai
subbudaya atau subkultur (subculture), dan subbudaya ini bisa melampaui batasan
organisasi dan bisa dianggap sebagai budaya makro (Schein 2010). Walaupun
budaya engineering ini merupakan budaya pekerjaan dan dikategorikan sebagai
subbudaya, namun budaya ini bisa membawa pengaruh yang besar terhadap budaya
organisasi dan bahkan bisa membentuk budaya organisasi. Hal ini karena budaya
organisasi terbentuk oleh interaksi empat faktor yaitu karakter anggota organisasi,
etika dalam organisasi, hak kepemilikan (property right) dan struktur organisasi
(Jones 2004). Karakter engineer sebagai anggota organisasi membawa budaya
engineering yang sangat kuat yang terbentuk mulai dari masa pendidikan. Selain itu
Van Maanen dan Barley (1984) menyatakan budaya pekerjaan bisa memiliki
kekuatan mengatur (organizing force) yang lebih kuat daripada budaya di tempat
kerja karena budaya ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya bahkan
melalui aktivitas di luar pekerjaan. Pengaruh budaya engineering terhadap budaya
organisasi terbukti secara empiris dimana perusahaan-perusahaan teknologi
memiliki budaya organisasi yang memiliki unsur budaya engineering yang kuat,
sehingga menjadi budaya engineering centric.
Budaya engineering-centric adalah budaya organisasi yang berakar dari
budaya engineering. Jika budaya engineering adalah budaya pekerjaan
(occupational) yang dimiliki oleh sekelompok orang dengan pekerjaan atau profesi
yang sama, sehingga merupakan subbudaya dalam sebuah organisasi, maka budaya
engineering-centric adalah budaya organisasi yang dimiliki dan dijalankan oleh
seluruh anggota organisasi bukan hanya para engineer. Dalam penelitian tentang
nilai dan benefit yang dimiliki dan diberikan Google kepada karyawannya, Kunzte
7
dan Matulich (2010) menggambarkan budaya perusahaan Google sebagai
lingkungan kerja yang serba cepat, karyawannya bekerja sambil bersenang-senang,
menjunjung kreativitas dan inovasi, lingkungan yang informal dengan atmosfer yang
santai, pakaian bebas, dan karyawan bebas berolahraga dan bermain video game.
Google sendiri menyebut budaya mereka sebagai budaya engineering centric.
Melihat hasil penelitian dan studi di atas maka dapat disimpulkan unsur-
unsur dalam budaya engineering centric adalah sebagai berikut 1) sangat
menjunjung tinggi inovasi; 2) fokus pada pemecahan masalah (problem solving); 3)
sangat menjunjung tinggi kecerdasan; 4) menjunjung kreativitas; 5) memberikan
otonomi yang sangat besar terhadap karyawannya dan kondisi kerja yang non
otoriter; 6) Lingkungan yang informal dengan atmosfer yang santai, karyawan
bekerja sambil bersenang-senang; 7) Lingkungan kerja yang fleksibel dalam hal
kapan dan dimana mereka bekerja; 8) Berorientasi pada tim (team oriented) dimana
hubungan para engineer bersifat informal, bersahabat dan kolaboratif; 9)
Berorientasi pada hasil, lebih mengambil resiko, pekerjaan yang berubah-ubah, dan
input pribadi yang tinggi; 10) Belajar dengan melakukan (learning-by-doing) dan
aktif dalam proses belajar; 11) Mendorong perkembangan individu; 12) Karyawan
bukan hanya sekedar sumber daya manusia perusahaan; 13) Mendorong dan
menghargai komitmen dan inisiatif individu; 14) Bangga (proud) dimana engineer
mencintai pekerjaan mereka, bangga dengan yang mereka kerjakan baik secara
individu maupun bersama-sama; 15) Setia (loyal) dimana engineer berkomitmen
pada engineering dan pada profesi sebagai engineer; 16) lingkungan kerja yang
serba cepat; 17) memberikan insentif finansial yang tidak biasa berupa pembagian
keuntungan (profit sharing), kepemilikan saham, dan program opsi saham (stock-
option programs); 19) Sadar keselamatan (safety-conscious) yang artinya budaya
engineering memprioritaskan keselamatan dimana produk yang diciptakan aman
bagi pengguna; 20) Ideologi demokrasi yang sangat kuat; 21) keseimbangan antara
menaati aturan dengan berorientasi pada pelanggan, seimbang antara menaati
prosedur dan mencapai hasil, seimbang antara pandangan yang dogmatis dan
pragmatis tentang etika; 22) Agak lebih terkontrol ketat daripada longgar misalnya
berorientasi pada biaya, rapat tepat waktu, sedikit candaan tentang
perusahaan/kelompok atau pekerjaan.
2.3. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis
2.3.1. Definisi Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis
Manajemen sumber daya manusia strategis (MSDM strategis) adalah
perkembangan dari MSDM yang biasanya hanya berfokus pada aktivitas
administratif. Seperti yang dikemukakan Dessler (2015:4) bahwa manajemen
sumber daya manusia adalah “proses untuk memperoleh, melatih, menilai, dan
8
mengompensasi karyawan, dan untuk mengurus relasi tenaga kerja mereka,
kesehatan dan keselamatan mereka, serta hal-hal yang berhubungan dengan
keadilan.” Lebih lanjut lagi menurut Dessler (2015) seiring munculnya tren-tren
baru seperti kemajuan teknologi, globalisasi, deregulasi, perubahan demografi dan
sifat pekerjaan serta tantangan ekonomi, maka organisasi membutuhkan sumber
daya manusia yang memiliki keterampilan dan perilaku yang bisa mendukung
organisasi mencapai sasaran strategisnya di tengah tren-tren tersebut. Oleh sebab
itulah MSDM berkembang menjadi berfokus pada isu-isu strategis organisasi. Inilah
yang disebut dengan Manajemen sumber daya manusia strategis (MSDM strategis),
yang merupakan manajemen sumber daya manusia (SDM) yang sejalan dengan
strategi organisasi untuk mencapai sasaran strategis organisasi.
Konsep MSDM strategis telah lama berkembang. Pada tahun 1981
Devanna, Fombrun dan Tichy membahas mengenai hubungan MSDM strategis dan
strategi bisnis. Menurut mereka MSDM menjadi strategis dan dapat meningkatkan
kinerja perusahaan jika MSDM dikaitkan dengan tujuan perusahaan. Lebih spesifik
lagi sehubungan dengan tujuan perusahaan, Hendry dan Pettigrew (1986)
mengemukakan bahwa dalam MSDM strategis SDM dipandang sebagai sumber
daya strategis untuk mencapai keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Pendapat dari Baird dan Meshoulam (1988) memasukkan unsur kebutuhan
organisasi dalam konsep mereka tentang MSDM strategis. Menurut mereka MSDM
strategis mengembangkan dan mengelola praktik, prosedur dan sistem SDM yang
sesuai dengan kebutuhan organisasi sehingga tujuan bisnis dapat tercapai. Masih
senada dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya, menurut Wright dan McMahan
(1992) MSDM strategis adalah sebuah pola aktivitas dan penggunaan SDM yang
bertujuan untuk memampukan organisasi mencapai tujuan. MSDM strategis dapat
mempengaruhi organisasi mencapai tujuannya karena MSDM strategis merumuskan
dan melaksanakan kebijakan dan praktik SDM yang menghasilkan kompetensi dan
perilaku karyawan yang dibutuhkan perusahaan untuk mencapai sasaran strategisnya
(Dessler, 2015).
Praktik, prosedur, sistem, pola aktifitas seperti yang dikemukakan di atas
adalah bagian dari MSDM yang tentunya harus berjalan berdampingan dan saling
mendukung. Seperti yang dikemukakan Armstrong (2008), bahwa MSDM strategis
adalah manajemen SDM yang menggunakan strategi, kebijakan dan praktik SDM
yang terintegrasi untuk mencapai tujuan organisasi. Lebih lanjut, Amrstrong juga
menekankan bahwa MSDM strategis adalah sebuah pola pikir yang menjadi nyata
pada saat ada aksi dan reaksi yang strategis, dalam bentuk strategi-strategi dan
perilaku strategis dari staff HR yang bekerja sama dengan manajer lini (2008:48).
Dengan demikian MSDM strategis dapat diartikan sebagai manajemen sumber daya
manusia yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan organisasi untuk membantu
organisasi mencapai tujuannya.
9
2.3.2. Dasar-Dasar Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis
Menurut Armstrong (2018) MSDM strategis memiliki tiga dalil yang
menjadi dasar MSDM strategis. Dalil yang pertama yaitu bahwa SDM memiliki
peran strategis dan merupakan sumber utama keunggulan kompetitif. Pendapat yang
sama dikemukakan oleh Wright dan McMahan (1992) bahwa SDM adalah sumber
keunggulan kompetitif karena 1) SDM bersifat beragam (heterogen) sehingga SDM
di tiap perusahaan dalam sebuah industri berbeda-beda dan 2) SDM bisa bersifat
tetap atau tidak bergerak (immobile) yang artinya perusahaan pesaing kemungkinan
tidak dapat merekrut mereka. Dalil yang kedua adalah bahwa strategi-strategi SDM
harus terintegrasi dengan strategi organisasi (vertical integration). Jadi bukan hanya
strategi SDM yang disesuaikan dengan strategi organisasi, tetapi organisasi juga
harus mempertimbangan SDM dalam pembuatan strategi dan sasaran strategisnya.
Seperti yang dikatakan Devanna, Fombrun, dan Tichy (1981), bahwa unsur SDM
harus dimasukkan dalam tujuan organisasi agar untuk dapat meningkatkan kinerja
organisasi. Dalil yang terakhir yaitu bahwa setiap strategi SDM harus terintegrasi
dan mendukung satu sama lain (horizontal integration).
2.3.3. Konsep-Konsep Manajemen Sumber Daya Manusia
Strategis
Selain tiga dasar MSDM strategis di atas, ada juga tiga konsep yang
mendukung MSDM strategis, yakni: resource-based view (RBV), strategic fit dan
strategic flexibility (Armstrong, 2008:34). Konsep resource-based view (RBV)
memandang bahwa untuk mencapai tujuan organisasi atau untuk mencapai
keunggulan kompetitif berkelanjutan (sustainable competitive advantage) maka
organisasi harus memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya-sumber daya
organisasi, sehingga bisa memiliki empat ciri kompetensi inti (core competence)
yakni memberi nilai bagi organisasi (valuable); langka atau tidak dimiliki oleh
organisasi lain (rare); sulit ditiru (imperfectly imitable) dan tidak memiliki
pengganti/substitusi di organisasi lain (non-substitutable). Sumber daya yang
dimaksud di atas mencakup sumber daya manusia. Selain Armstrong, Lengnick-Hall
dan Lengnick-Hall (1990) juga berpendapat bahwa perusahaan dapat mencapai
competitive advantage melalui pengelolaan SDMnya.
Konsep yang kedua yakni strategic fit yang berarti bahwa strategi
manajemen SDM harus mendukung strategi organisasi/bisnis (vertical integration).
Selain itu konsep ini juga menekankan pentingnya koordinasi dan kesesuaian antar
praktik-praktik SDM. Konsep yang ketiga adalah strategic flexibility, yang
dikatakan Armstrong (2008) sebagai kemampuan organisasi untuk menyesuaikan
dengan perubahan lingkungan organisasi. Organisasi harus fleksibel dan mampu
menyesuaikan strateginya berdasarkan kondisi luar. Menurut Armstrong (2008)
dalam mengembangkan dan mengimplementasikan berbagai pendekatan untuk
mengelola SDM, MSDM strategis memperhitungkan konteks organisasi yang
10
berubah-ubah yang memiliki tuntutan jangka panjang. Misalnya jika sebuah
perusahaan berada dalam industri yang cepat berubah karena kemajuan teknologi
maka manajemen SDM harus mampu membuat strategi yang bisa reaktif terhadap
perkembangan teknologi ini sehingga bisa menciptakan SDM yang memiliki banyak
keahlian dan cepat menguasai kemajuan teknologi.
2.3.4. Tujuan dan Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia
Strategis
MSDM strategis memiliki satu tujuan yakni membantu organisasi mencapai
sasaran strategisnya melalui pengelolaan sumber daya manusia. Lebih rinci lagi,
menurut Armstrong (2008) tujuan MSDM strategis adalah untuk menghasilkan
SDM yang ahli, terikat (engaged) dan termotivasi sehingga organisasi mampu untuk
mencapai keunggulan kompetitif berkelanjutan. Untuk memiliki SDM yang ahli
maka organisasi harus merekrut SDM yang berpotensi dan mengembangkan
keahlian mereka. Organisasi juga harus membuat sistem penghargaan (reward
system), kompensasi dan pengembangan karir yang membuat SDM termotivasi dan
memiliki keterikatan pada organisasi. Selain itu menurut Armstrong (2008), tujuan
dari MSDM strategis harus selalu mempertimbangkan hal-hal etis, yakni
kepentingan dari seluruh stakeholder organisasi, karyawan/anggota, para pemilik,
para manajer, dan tanggung jawab organisasi terhadap masyarakat.
Menurut Storey (1989) untuk mencapai tujuannya MSDM strategis harus
menyeimbangkan model MSDM strategis yang “soft” dan “hard”. Model MSDM
soft lebih menekankan pada aspek hubungan manusia pada saat mengelola “orang”
atau SDM, dengan menekankan pada pengembangan terus-menerus, komunikasi,
keterlibatan, keamanan kerja, kerja yang berkualitas dan kesimbangan antara
kehidupan dan pekerjaan. Dengan kata lain, mengutip Mills (1983) MSDM strategis
haruslah selalu mempertimbangkan faktor SDM, yakni apa yang menjadi kebutuhan
dan aspirasi dari anggota organisasi. Sedangkan model hard lebih menekankan pada
hasil yang harus dicapai dari investasi pada SDM untuk kepentingan bisnis. Dengan
menyeimbangkan model soft dan hard maka tujuan organisasi bisa tercapai dan
kesejahteraan anggota di dalamnya juga terjamin.
Selain memperhatikan SDM, organisasi juga harus bertanggung jawab
terhadap masyarakat secara umum (Mills 1983). Satu dari tujuh prinsip MSDM
strategis menurut Ondrack dan Nininger (1984) adalah bahwa MSDM strategis
memiliki tanggung jawab untuk mengidentifikasi dan berinteraksi dalam lingkungan
sosial, politik, teknologi dan ekonomi, dimana organisasi berada dan melakukan
bisnisnya. Mendukung gagasan
Mills dan Ondrack dan Nininger, menurut Armstrong (2008) tanggung
jawab sosial perusahaan (Corporate Social responsibility - CSR) merupakan salah
11
satu aspek dalam MSDM strategis karena CSR berhubungan dengan aksi etis untuk
kepentingan orang, dan orang adalah hal yang dikelola oleh MSDM.
Dalam perkembangannya MSDM strategis telah menunjukkan pengaruhnya.
Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan pengaruh MSDM strategis pada
peningkatan kinerja organisasi termasuk Arthur. Walaupun ada pendapat yang
mengatakan bahwa sulit untuk mengukur kaitan antara MSDM strategis terhadap
kinerja organisasi (Purcell et al 2003), namun sebenarnya hal ini bisa diukur dengan
melihat bagaimana pengaruh strategi yang diturunkan dalam bentuk praktik dan
kebijakan MSDM pada kinerja anggota organisasi yang pada akhirnya berpengaruh
pada kinerja organisasi, seperti model yang dikembangkan Guest et al (2000b) di
bawah ini:
Sumber: Guest et al (2000b)
Gambar 2.2 Model Pengaruh MSDM pada Kinerja Organisasi
2.3.5. Mengembangkan Dan Melaksanakan Manajemen Sumber
Daya Manusia Strategis
Untuk bisa menjalankan fungsi strategis, unsur MSDM harus dilibatkan
sejak awal organisasi melakukan proses penentuan tujuan/sasaran strategis dan
strategi organisasi. Inilah dasar kedua MSDM strategis yakni integrasi vertikal
(vertical integration) yang sesuai dengan konsep strategic fit. MSDM dan
manajemen strategis organisasi harus saling terintegrasi. Sasaran strategis organisasi
harus dibuat dengan memperhitungkan faktor SDM dan strategi MSDM harus dibuat
untuk menunjang organisasi mencapai sasaran strategisnya. Seperti yang dikatakan
Dessler (2015:82) bahwa manajer SDM harus terlebih dahulu memahami peran yang
akan dimainkan kebijakan dan praktik SDM dalam mencapai sasaran strategis
organisasi, barulah manajer dapat merancang secara cerdas kebijakan dan praktik
SDM. Manajer divisi SDM harus menjadi bagian dalam tim manajemen puncak dan
harus mengambil peran aktif dalam pembahasan tujuan dan strategi organisasi
Armstrong (2008). Dengan demikian MSDM strategis bukan hanya pendukung
12
dalam pelaksanaan strategi organisasi tetapi MSDM strategis merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam pengembangan sasaran strategis dan pelaksanaan
manajemen strategis organisasi. Dengan adanya integrasi vertikal maka organisasi
akan lebih mudah mencapai tujuannya seperti dikemukakan Delery dan Doty (1996)
bahwa organisasi yang memiliki tingkat kesesuaian strategi MSDM dan strategi
bisnis yang tinggi akan memiliki kinerja yang tinggi juga.
Untuk mengembangkan strategi SDM diperlukan analisis strategis untuk
menganalisis kondisi organisasi dan praktik-praktik SDM yang sedang dilakukan,
sehingga dapat terlihat apa saja yang sudah dilakukan, apa yang belum dilakukan
dan harus dilakukan dan apa yang harus dikembangkan dan diperbaiki (Armstrong
2008). Dengan demikian akan muncul pilihan-pilihan strategi untuk
mengembangkan strategi SDM. Setelah strategi-strategi HR dikembangkan, maka
dalam pelaksanaannya dibutuhkan juga perilaku strategis (strategic behavior) dari
divisi SDM bekerja sama dengan manajer lini setiap hari untuk memastikan strategi
ini berjalan dengan baik sehingga tujuan organisasi tercapai dan nilainya terendap
dalam praktik organisasi sehari-hari (Armstrong 2008). Oleh karena itu manajer lini
memegang peranan penting dalam pelaksanaan MSDM strategis. Seperti yang
dikemukakan Tyson (1997) bahwa selain melalui proses pelaksanaan yang formal
dan sistematis seperti dalam bentuk kebijakan dan aturan tertulis, strategi juga bisa
direalisasikan melalui tindakan para manajer. Menurut pendapatnya, tindakan para
manajer ini akan menuai reaksi seperti penerimaan, konfrontasi, negosiasi, dsb, yang
mana reaksi ini merupakan proses dari strategi. Dengan demikian sangat penting
bagi manajer untuk memahami dengan benar strategi. Pada saat pihak manajemen
termasuk manajemen lini telah terintegrasi dalam melaksanakan MSDM strategis
maka hal ini akan berdampak pada seluruh karyawan menjadi bagian dalam
pelaksanaan MSDM strategis.
Terdapat tiga pendekatan untuk mengembangkan dan melaksanakan MSDM
strategis, seperti yang disarankan oleh Richardson dan Thompson (1999) yaitu best
practice, best fit dan bundling. Tiga pendekatan ini berdasar pada tiga perspektif
MSDM strategis oleh Delery dan Doty (1996) yaitu perspektif universalistic,
contingency dan configurational.
1) Best Practice
Best practice adalah pendekatan berdasarkan perspektif universalistic bahwa
ada beberapa praktik SDM yang terbaik dan bisa diadopsi oleh semua organisasi
dalam segala situasi. Walaupun ada beberapa pendapat yang tidak menyetujui
adanya best practice misalnya karena tidak sesuai dengan konsep RBV dari MSDM
strategis (Purcell, 1999) namun best practice tetap masih bisa digunakan setidaknya
sebagai rujukan untuk pilihan-pilihan praktik yang baik (Becker dan Gerhart, 1996).
Armstrong (2008) mengelompokkan daftar best practices yang digagas oleh Pfeffer
13
(1994), Delery dan Doty (1996), dan Guest (1999), seperti yang dapat dilihat pada
tabel 2.1.
Tabel 2.1 Daftar-daftar Best Practices yang Dikembangkan oleh Pfeffer (1994),
Delery dan Doty (1996) dan Guest (1999)
Pfeffer (1994) Delery dan Doty (1996) Guest (1999)
1) keamanan kerja
(employment
security)
1) penggunaan jenjang karir
internal
1) seleksi dan
penggunaan tes seleksi
yang cermat untuk
mengidentifikasi
kandidat yang
memiliki potensi untuk
berkontribusi
2) perekrutan yang
selektif (selective
hiring)
2) sistem pelatihan formal 2) pelatihan, dan
kesadaran bahwa
pelatihan adalah
aktivitas yang
berkelanjutan
3) tim yang mandiri
(self-managed teams)
3) penilaian berorientasi hasil 3) rancangan (desain)
pekerjaan yang
memastikan adanya
fleksibilitas, komitmen
dan motivasi, termasuk
langkah-langkah untuk
memastikan para
karyawan memiliki
tanggung jawab dan
kewenangan penuh
untuk menggunakan
pengetahuan dan
keahlian mereka
4) kompensasi tinggi
sesuai dengan kinerja
(high compensation
contingent on
performance
4) kompensasi berbasis kinerja 4) komunikasi untuk
memastikan bahwa
proses komunikasi dua
arah menjamin semua
pihak mendapatkan
informasi
5) pelatihan untuk
menyediakan tenaga
kerja terampil dan
termotivasi (training
to provide a skilled
and motivated
workforce)
5) keamanan kerja 5) program
kepemilikan saham
bagi karyawan untuk
meningkatkan
kesadaran karyawan
akan dampak dari
tindakan mereka
14
terhadap kinerja
keuangan perusahaan
6) pengurangan
perbedaan status
(reduction of status
differentials)
6) “suara” karyawan
7) berbagi informasi
(sharing
information).
7) pekerjaan yang ditentukan
secara luas (broadly defined
jobs)
Sumber: Armstrong (2008)
2) Best Fit
Pendekatan kedua adalah best fit yang menekankan bahwa strategi SDM
harus sesuai dengan konteks, keadaan dan tipe organisasi (Armstrong 2008).
Pendekatan best fit sesuai dengan perspektif contingency yang menekankan pada
vertical fit. Dalam best fit sendiri ada tiga model atau pendekatan yakni siklus hidup
(life cycle), strategi kompetitif (competitive strategy), dan konfigurasi strategis
(strategic configuration) (Armstrong 2008). MSDM strategis dirancang dan
dilaksanakan berdasarkan pada tiga pendekatan tersebut.
a) Siklus hidup (life cycle)
Model siklus hidup (life cycle) berdasar pada teori perkembangan perusahaan
yang terdiri dari empat tahap yaitu permulaan (startup), perkembangan (growth),
kematangan (maturity) dan penurunan (decline). Dasar dari model ini seperti yang
dikemukakan oleh Baird dan Meshoulam (1988) adalah bahwa efektivitas MSDM
tergantung pada kesesuaiannya pada tahap perkembangan organisasi, sehingga
seiring dengan berkembangnya organisasi maka program, praktik dan prosedur
SDM harus diubah agar sesuai dengan apa yang dibutuhkan organisasi.
Lebih rinci lagi, menurut Buller dan Napier (1993) pada tahap permulaan,
manajemen SDM lebih bersifat informal dan longgar, dan mungkin saja fungsi
MSDM dilakukan oleh pemilik atau pendiri organisasi. Pada saat organisasi mulai
berkembang, misalnya penjualan semakin banyak sehingga dibutuhkan lebih banyak
produk maka organisasi membutuhkan karyawan tambahan, dan bahkan mungkin
menambah beberapa posisi spesialis, pada saat ini fungsi SDM tidak bisa lagi
ditangani oleh pendiri atau pemilik atau manajer lini. Sedangkan pada saat
pertumbuhan organisasi sedang pada puncaknya maka peran MSDM fokus pada
menghadirkan SDM sesuai dengan jumlah dan kualitas yang dibutuhkan, sehingga
sejalan dengan sistem rekrutmen yang efektif, MSDM harus mampu untuk
melakukan manajemen bakat, manajemen kinerja, pelatihan dan pengembangan
15
serta praktik dan kebijakan reward. Pada saat organisasi sudah mencapai tahap
kedewasaan, MSDM lebih fokus pada memperkuat dan mengembangkan praktik-
praktik yang telah lama ada. Pada saat organisasi mengalami penurunan maka fokus
MSDM bisa saja berada pada isu-isu yang lebih rumit misalnya downsizing atau
pada saat organisasi diambil alih.
b) Strategi Kompetitif (competitive strategy)
Model selanjutnya adalah best fit dan competitive advantage yang
menekankan bahwa praktik MSDM harus disesuaikan dengan competitive strategy.
Tiga strategi kompetitif yang diajukan Porter (1985) yakni innovation –
memproduksi produk yang unik; quality – menyediakan barang atau jasa dan
layanan konsumen yang berkualitas; cost leadership – dengan cara mengelola
pengeluaran dengan efektif. Schuler dan Jackson (1987) menemukan dalam
penelitian mereka bahwa menggabungkan praktik MSDM dengan strategi kompetitif
dapat meningkatkan efektifitas. Mereka mengembangkan praktik-praktik MSDM
yang menunjang strategi kompetitif. Sebagai contohnya, untuk mendukung strategi
Kualitas maka MSDM mengadakan pelatihan dan pengembangan karyawan yang
berkesinambungan dan ekstensif. Contoh lain sehubungan dengan mencapai cost
leadership maka MSDM terus memperhatikan dengan cermat market pay sebagai
bahan pertimbangan dalam membuat struktur kompensasi. Atau untuk mendukung
strategi inovasi maka MSDM merancang pekerjaan yang memfasilitasi
perkembangan keahlian baru yang bisa digunakan untuk posisi lain dalam
perusahaan.
c) Konfigurasi Strategis (strategic configuration)
Model atau pendekatan terakhir dari best fit adalah konfigurasi strategis
(strategic configuration) dimana menurut Delery dan Doty (1996) organisasi akan
berjalan efektif jika memiliki kebijakan konfigurasi strategis yaitu dengan
mencocokkan strategi dengan tipe organisasi. Dengan demikian maka akan muncul
konsistensi atau kecocokan antara unsur strategi, struktural dan kontekstual
organisasi sehingga bisa meningkatkan efektifitas.
Menurut Minstzberg (1979) ada lima tipe organisasi yang ideal yaitu:
struktur sederhana (simple structure), birokrasi mesin (machine bureaucracy),
birokrasi professional (professional bureaucracy), departementasi (divisionalized
form) dan adhokrasi (adhocracy). Sedangkan menurut Miles dan Snow (1978) ada
empat tipe organisasi, dimana menurut mereka tiga tipe pertama adalah tipe yang
“ideal”. Tipe pertama ialah prospectors, yaitu organisasi yang beroperasi dalam
lingkungan yang cepat yang perubahannya tidak bisa diprediksi. Dengan keadaan
lingkungan seperti ini maka organisasi dengan tipe prospector berfokus pada
pengembangan produk, pasar dan teknologi baru. Tipe organisasi ini biasanya
menciptakan perubahan di pasar sehingga pesaing mau tidak mau harus merespon
terhadap perubahan yang diciptakan. Tingkat formalisasi (peraturan tertulis maupun
16
tidak tertulis) dan spesialisasi dalam organisasi ini rendah sedangkan
desentralisasinya tinggi. Tingkatan hirarkinya juga cenderung sedikit.
Tipe yang kedua adalah Defender, tipe yang beroperasi dalam lingkungan
yang lebih stabil dan bisa diprediksi sehingga memiliki perencanaan jangka panjang.
Pendekatan tipe ini terhadap pasar adalah mempertahankannya. Berbeda dari
prospector yang fokus pada pengembangan produk, defender melakukan hanya
sedikit penelitian dan pengembangan. Mereka lebih fokus pada efisiensi yang
bergantung pada teknologi rutin dan skala ekonomis (economies of scale). Secara
struktur, tipe ini lebih mekanistis atau birokratis. Koordinasi dilakukan melalui
formalisasi, sentralisasi, spesialisasi dan diferensiasi vertical.
Tipe ideal yang ketiga adalah gabungan antara prospector dan defender,
yang disebut dengan analyser. Lingkungan dimana mereka beroperasi merupakan
lingkungan yang stabil, tapi pasarnya selalu menuntut produk baru. Tipe ini
biasanya bukan inisiator perubahan seperti prospector namun mereka mengikuti
perubahan lebih cepat daripada defender. Tipe ini fokus pada efektivitas melalui
efisiensi dan produk atau pasar baru sehingga kemungkinan besar ukuran
organisasinya lebih besar, karena tipe organisasi ini fokus pada produksi massal dan
penelitian dan pengembangan. Tipe yang terakhir adalah reactor yang merupakan
organisasi yang tidak stabil yang berada dalam lingkungan yang tidak stabil. Tipe ini
tidak memiliki strategi yang konsisten dan matang dan juga tidak memiliki
perencanaan jangka panjang.
Delery dan Doty (1996) mengemukakan dua sistem SDM yang sesuai
dengan strategi yang dihubungkan dengan konfigurasi organisasi. Kedua system itu
adalah market-type system dan internal system, yang masing masing cocok dengan
tipe organisasi yang berbeda. Market type lebih cocok untuk strategi prospector
karena dalam system HR market type rekrutmen lebih banyak dari luar organisasi,
jenjang karir internal tidak begitu digunakan, tidak ada pelatihan formal, penilaian
kinerja berdasarkan hasil, tidak begitu banyak keamanan dan pekerjaan tidak
ditentukan dengan jelas. Sedangkan internal system lebih cocok untuk strategi
defender karena system ini melakukan lebih banyak rekrutmen internal, jenjang karir
sangat digunakan, banyak pelatihan formal, kinerja dinilai dengan ukuran yang
berorientasi pada perilaku, keamanan kerja baik, dan pekerjaan ditentukan secara
detail dan jelas. Delery dan Doty tidak mengusulkan sistem yang tepat untuk strategi
analyser tapi menurut Armstrong (2008) sistem untuk strategi ini bisa jadi
merupakan campuran dari sistem market dan internal.
Sama seperti best practice, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa
best fit memiliki beberapa limitasi, walaupun menurut Armstrong (2008) best fit
lebih realistis daripada best practice. Paauwe (2004) menyorot best fit yang
berdasarkan pada konteks, dimana konteks adalah satu-satunya yang menentukan
strategi, sedangkan menurut Paauwe seharusnya ada ruang untuk pilihan-pilihan
strategis. Sejalan dengan pemikiran Paauwe, Boxall et al (2007) berpendapat bahwa
17
tidak mungkin membuat semua kebijakan SDM berdasarkan misi
ekonomi/kompetitif tertentu, karena harus juga mempertimbangkan tujuan legitimasi
sosial. Sedangkan Purcell (1999) lebih menyorot pada contingency model karena
tidak mungkin bisa membuat model semua variabel, dan juga sulit untuk melihat
hubungan antar variabel, belum lagi bagaimana perubahan dalam satu variabel
berpengaruh pada variabel lain. Menurut Armstrong (2008), best fit cenderung statis
dan tidak memperhitungkan proses perubahan, dan bahwa kekuatan institusional
yang membentuk SDM (pemberi kerja bukanlah agen bebas yang membuat
keputusan sendiri).
3) Bundling
Pendekatan terakhir untuk MSDM strategis adalah penggabungan atau
“bundling”. Bundling adalah pengembangan dan pelaksanaan beberapa praktik HR
secara bersama-sama sehingga praktik-praktik ini saling melengkapi dan
menguatkan satu sama lain Armstrong (2008). Gabungan praktik-praktik ini
tentunya harus sesuai atau konsisten dengan strategi kompetitif agar dapat
meningkatkan kinerja organisasi (Richardson dan Thompson, 1999). Tujuan dari
bundling menurut MacDuffie (1995) adalah menggabungkan beberapa praktik SDM
yang bisa saling menguatkan satu sama lain sehingga memiliki dampak lebih besar
terhadap kinerja organisasi. Ini sesuai dengan dasar MSDM strategis yang ketiga
yaitu horizontal integration. Contoh-contoh bundling adalah sistem high-
performance, high-commitment dan high involvement. Menurut Armstrong (2008)
tantangan dari bundling adalah menentukan cara yang terbaik untuk menggabungkan
praktik-praktik SDM yang berbeda-beda.
2.3.6. Tantangan Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis
Menerapkan konsep MSDM strategis memiliki tantangan. Menurut
Armstrong (2008) karena dalam penerapannya harus ada integrasi strategis, maka
harus dibangun koherensi dan konsistensi kebijakan dan praktik. Selain itu, karena
menerapkan MSDM strategis dibutuhkan komitmen maka harus ada tekad yang kuat
dan kompetensi di semua level manajerial. Dari sisi departemen SDM sendiri harus
beroperasi secara efektif dan SDMnya harus berorientasi bisnis (Armstrong, 2008).
Lebih lanjut lagi menurut Armstrong, hal-hal di atas akan sulit dicapai jika budaya
SDM yang dibutuhkan untuk ini bertentangan dengan budaya organisasi dan
perilaku manajerial tradisional.
18
2.3.7. Strategi-Strategi Manajemen Sumber daya Manusia
Strategis
Menurut Armstrong (2008) ada macam strategi yaitu strategi menyeluruh (overall)
dan strategi spesifik.
1) Strategi Menyeluruh (Overall)
Strategi menyeluruh menjabarkan intensi/niat/tujuan umum organisasi tentang
bagaimana mengelola dan mengembangkan SDM, apa yang harus dilakukan agar
organisasi bisa mendapatkan dan mempertahankan SDM yang dibutuhkan dan
memastikan SDM tetap berkomitmen, termotivasi dan terikat pada organisasi
(Armstrong, 2008). Lebih lanjut lagi menurut Armstrong ada empat kategori dari
strategi menyeluruh yaitu:
Pemahaman tentang pendekatan yang dibutuhkan untuk mengelola SDM.
Terkadang pemahaman ini tidak disebutkan. Strategi ini dipengaruhi oleh
strategi bisnis, fase pertumbuhan organisasi, konfigurasi organisasi. Hal lain
yang mempengaruhi juga adalah pandangan, pengalaman dan gaya
manajemen puncak.
Pernyataan umum tentang maksud dan tujuan strategi, yang menjadi dasar
pembuatan strategi yang lebih spesifik. Kategori ini fokus pada efektivitas
organisasi yang dicapai dengan cara mempekerjakan SDM yang tepat
dengan proses yang tepat dan menciptakan tempat kerja yang baik.
Kategori yang ketiga adalah rancangan yang jelas dan spesifik untuk
membuat bundle praktik-praktik SDM dan mengembangkan sistem HR
yang koheren. Kategori ini dapat dibuat menggunakan pendekatan high-
performance management, high-involvement management and high-
commitment management.
Kategori yang terakhir adalah pengenalan terhadap pendekatan SDM
menyeluruh yakni high-performance management, high-involvement
management and high-commitment management. Ketiga pendekatan ini
memiliki beberapa kesamaan praktik.
High-performance management adalah manajemen SDM yang berfokus
pada menggunakan SDM untuk meningkatkan kinerja organisasi di bidang
produktivitas, kualitas, layanan konsumen, pertumbuhan, profit dan yang bermuara
pada nilai shareholder yang meningkat. Untuk mencapai hal-hal tersebut, praktik-
praktik MSDM yang dilakukan adalah prosedur rekrutmen dan seleksi yang ketat,
aktivitas pengembangan manajemen dan pelatihan yang ekstensif, sistem bayaran
insentif dan proses manajemen kinerja. Praktik-praktik ini disebut dengan high-
performance work systems (HPWS).
19
High-involvement management menurut Lawler (1986) adalah sistem
manajemen yang berbasis komitmen dan keterlibatan (involvement). Sistem ini
adalah kebalikan dari model manajemen birokrasi yang kaku dan sangat mengontrol
karena menurut sistem ini untuk dapat membuat karyawan berkomitmen adalah
dengan memberikan kesempatan karyawan untuk mengontrol dan memahami
pekerjaan mereka. Selain itu dalam high-involvement management karyawan
diperlakukan sebagai rekan perusahaan yang kepentingannya dihormati perusahaan
dan yang pendapatnya didengar oleh perusahaan (sehingga ada sinergitas).
Unsur yang penting dalam manajemen ini adalah keterlibatan (involvement)
dan komunikasi. Oleh karena komunikasi merupakan unsur penting maka sistem ini
akan menciptakan kondisi yang mendukung untuk adanya dialog antara manajer dan
karyawan secara terus menerus tentang ekspektasi karyawan dan perusahaan, dan
untuk memberikan informasi tentang misi, nilai dan tujuan organisasi. Dengan
demikian semua anggota organisasi memahami apa tujuan yang ingin dicapai dan
bagaimana mencapainya.
Menurut Guest (1997) tingkat keterlibatan yang tinggi membuat karyawan
berkomitmen dan memiliki motivasi sehingga perilaku kerja mereka mengarah pada
kinerja yang lebih baik, tingkat turnover yang lebih rendah, produktivitas yang
meningkat dan kualitas kerja yang tinggi. Benson et al (2006) mengidentifikasi
praktik-praktik SDM yang digunakan dalam high-involvement system yang berfokus
pada pengambilan keputusan oleh karyawan, akses mendapatkan informasi,
pelatihan dan insentif. Ada beberapa praktik dalam sistem ini yang sama dengan
yang ada dalam high-performance system seperti misalnya pelatihan dan sistem
bayaran insentif. Sung dan Ashton (2005) mengkategorikan praktik high-
involvement sebagai satu dari tiga area praktik high performance system yaitu
praktik SDM, praktik penghargaan (reward) dan komitmen, dan praktik high
involvement.
Pendekatan yang terakhir adalah high commitment management. Menurut
Wood (1996) manajemen ini menekankan pada pengembangan komitmen sehingga
karyawan dapat mengatur diri mereka sendiri tanpa sanksi dan tekanan dari luar, dan
hubungan antar anggota organisasi didasarkan pada kepercayaan. Armstrong (2008)
merumuskan beberapa pendekatan untuk menerapkan manajemen ini, antara lain
merujuk pada yang dikemukakan oleh Beer et al (1984) dan Walton (1985), dan
Wood dan Albanese (1995). Semua pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan
rasa nyaman, aman dan diperhatikan dalam bekerja sehingga bisa membentuk
komitmen terhadap organisasi.
20
Tabel 2.2 Pendekatan dalam High Commitment Management
Beer et al (1984) dan
Walton (1985) Wood dan Albanese (1995)
1) Pengembangan jenjang
karir dan penekanan pada
komitmen dan kemampuan
untuk bisa dilatih.
1) Manajemen merancang pekerjaan yang
memberikan kepuasan intrinsik
2) Fleksibilitas fungsional
yang tinggi (jabaran
pekerjaan yang tidak kaku).
2) Kebijakan yang membuat tidak adanya
pemecatan karena ketidaktersediaan pekerjaan;
jaminan pekerjaan permanen dan kemungkinan
Menggunakan tenaga kerja sementara dalam
menghadapi fluktuasi tuntutan akan tenaga kerja
3) Pengurangan hirarki dan
peniadaaan pembedaan
status
3) Sistem penilaian dan penggajian yang baru
khususnya mencocokkan gaji dan profit sharing
4) Keterlibatan karyawan yang lebih dalam pada
manajemen kualitas.
Sumber: Armstrong (2008)
2) Strategi Spesifik
Strategi SDM spesifik menurut Armstrong (2008) adalah strategi yang menentukan
apa yang harus organisasi lakukan pada praktik-praktik MSDM di bawah ini:
high-performance management – mengembangkan dan
mengimplementasikan sistem kerja berkinerja tinggi (high performance
work systems)
corporate social responsibility – komitmen untuk mengelola bisnis secara
etis untuk memberikan dampak positif pada masyarakat dan lingkungan
engagement – pengembangan dan pengimplenetasian kebijakan-kebijakan
yang dirancang untuk meningkatkan engagement karyawan dengan
pekerjaan mereka dan organisasi
21
pengembangan organisasi – perencanaan dan pelaksanaan program-
program yang dirancang untuk meningkatkan efektifitas organisasi dalam
menjalankan fungsinya dan dalam merespon perubahan
human capital management – memperoleh, menganalisis dan melaporkan
data yang menunjukkan arah manajemen SDM, investasi dan keputusan
operasional yang menambah nilai.
knowledge management – menciptakan, mendapatkan, menangkap,
membagikan dan menggunakan pengetahuan untuk meningkatkan kinerja
dan pembelajaran
resourcing – mendapatkan dan mempertahankan SDM berkualitas tinggi
manajemen bakat – bagaimana organisasi memastikan bahwa SDM yang
dimiliki saat ini adalah SDM yang bisa membuat organisasi mencapai
kesuksesan
pembelajaran dan pengembangan (learning and development) –
menyediakan lingkungan yang mendukung karyawan untuk belajar dan
berkembang
penghargaan (reward) – apa yang akan organisasi lakukan dalam jangka
panjang untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan,
praktik dan proses reward, yang bisa membantu tercapainya tujuan bisnis
dan memenuhi kebutuhan stakeholder.
Hubungan kekaryawanan (employee relations) – apa yang harus organisasi
lakukan atau ubah dalam hal mengelola hubungan dengan karyawan dan
serikat buruh.
a) Strategi Manajemen Kinerja Tinggi (High-Performance Management)
Strategi high-performance adalah strategi yang dibuat untuk meningkatkan
kinerja karyawan agar organisasi bisa mencapai sasaran strategisnya. Strategi high-
performance dimaksudkan agar organisasi mencapai keunggulan kompetitif lewat
sumber daya manusianya (Armstrong 2008). Dengan semua karyawan bekerja
secara maksimal maka organisasi akan berkembang baik secara termasuk secara
finansial dan operational.
Strategi high-performance bisa dilakukan dengan menggunakan high-
performance work systems (HPWS). Menurut Thompson dan Heron (2005) dalam
high-performance work systems (HPWS) perusahaan berinvestasi pada keahlian dan
kemampuan karyawan, dimana perusahaan merancang pekerjaan yang memberikan
ruang bagi karyawan untuk berkolaborasi dalam mencari jalan keluar untuk
penyelesaian masalah (problem solving), dan dimana perusahaan memberikan
insentif untuk memotivasi karyawan untuk memberikan kinerja semaksimal
mungkin. Dengan cara ini maka karyawan bisa banyak dilibatkan, dan kemampuan,
keahliannya serta motivasinya meningkat (Appelbaum et al, 2000). Gephart (1995)
dan Sung dan Ashton (2005) sama-sama berpendapat bahwa tidak ada satu set
praktik SDM yang paten sehingga sistem high-performance tergantung pada konteks
22
organisasi, yang terpenting tujuan dari strategi ini adalah untuk meningkatkan
kinerja agar mendukung organisasi mencapai tujuannya. Armitage dan Keeble-
Allen (2007) memberikan tiga konsep yang mendasari high-performance work
systems (HPWS). Praktik-praktik MSDM yang ditujukan untuk high-performance
work bisa dibuat berdasarkan konsep ini:
Budaya terbuka dan kreatif yang bersifat inklusif dan people-centred,
dimana pengambilan keputusan dikomunikasikan dan disampaikan kepada
semua orang dalam organisasi.
Investasi pada sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan,
kesetiaan, inklusifitas dan cara kerja yang fleksibel.
Hasil kinerja yang terukur dan pembuatan target dan juga invasi melalui
proses dan best practice.
b) Strategi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social
Responsibility)
Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah
tanggung jawab perusahaan untuk menjalankan usahanya secara etis dengan
memperhitungkan dampak dari cara beroperasi perusahaan terhadap terhadap
masyarakat, lingkungan dan bahkan ekonomi Armstrong (2008). Bagi Porter dan
Kramer (2006), CSR merupakan sebuah proses dimana perusahaan
mengintegrasikan aktivitas bisnisnya dan keadaan masyarakat dimana perusahaan
tersebut berada. Lebih lanjut lagi menurut mereka dengan melakukan CSR,
perusahaan selain memberikan dampak positif pada masyarakat juga akan
mendapatkan keuntungan. Redington (2005) lebih khusus lagi menekankan bahwa
CSR bukan hanya fokus pada lingkungan sekitar perusahaan tetapi CSR harus
mengembangkan kualitas hidup tenaga kerjanya beserta keluarga mereka. Dengan
demikian CSR adalah usaha dari perusahaan untuk sebisa mungkin dalam aktivitas
bisnisnya perusahaan memberikan dampak yang baik bagi karyawan beserta
keluarga dan masyarakat di sekitar perusahaan.
Pada tahun 2007 Business in the Community melakukan survei terhadap 120
perusahaan di Inggris untuk melihat aktivitas-aktivitas CSR yang dilakukan
(Armstrong 2008). Aktivitas-aktivitas ini digolongkan menjadi empat bagian
sebagai berikut:
CSR terhadap Masyarakat: termasuk di dalamnya membuka lapangan
pekerjaan dan mendukung kegiatan-kegiatan masyarakat sekitar serta
menjaga keamanan di lingkungan masyarakat.
CSR terhadap Lingkungan. Perusahaan melakukan pengelolaan terhadap
dampak dengan membuat sistem untuk mengelola lingkungan.
23
CSR terhadap Pasar. Contohnya penjualan dan marketing yang bertanggung
jawab dan keamanan produk. Termasuk di dalamnya menyediakan
informasi yang sesuai tentang produk dan dampak produk terhadap
kesehatan penggunanya
CSR terhadap Tempat Kerja (Workplace). Dimana dipandang bahwa
karyawan memegang peranan besar untuk dalam usaha perusahaan untuk
menjalankan praktik-praktik bisnis yang bertanggung jawab, oleh karena itu
karyawan harus diberikan pengertian dan kesadaran tentang hal ini.
Aktivitas CSR dalam bidang ini termasuk banyak perusahaan semakin
memperhatikan kesehatan, keselamatan dan well-being karyawan
Companies Selain itu perusahaan juga sudah mulai memperhatikan tentang
keragaman (diversity).
c) Strategi Keterikatan Karyawan (Employee Engagement)
Manajemen SDM harus mampu membuat karyawan merasa terikat dengan
perusahaannya. Engagement karyawan adalah sebuah keadaan dimana karyawan
bekerja semaksimal mungkin bahkan melampaui yang diharapkan. Amstrong (2008)
menyatakan bahwa karyawan yang terikat (engaged) akan menunjukkan sikap yang
positif dan bersemangat dengan pekerjaan mereka sehingga mereka akan berusaha
melakukan yang terbaik. Menurut Robinson et al (2004), karyawan yang engaged
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: bersikap positif terhadap pekerjaannya; percaya
pada perusahaannya; selalu berusaha untuk melakukan improvement; menghormati
karyawan lain dan membantu sesama karyawan untuk bekerja lebih efektif; bisa
diandalkan, melakukan lebih daripada yang ditentukan; fokus pada hal yang lebih
besar, bahkan sampai mengorbankan kepentingan pribadi; mengikuti perkembangan
bidang pekerjaannya; mencari dan mendapatkan kesempatan untuk membuat kinerja
perusahaan menjadi lebih baik lagi.
Perusahaan harus membuat karyawannya engaged karena hal ini menentukan kinerja
perusahaan juga. Armstrong (2008) merumuskan beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat keterikatan karyawan, sebagai berikut:
Pekerjaan (The work itself)
Pekerjaan bisa menentukan tingkat keterikatan (engagement) karyawan.
Engagement karyawan akan meningkat jika pekerjaan yang dikerjakan
menyenangkan dan menantang, karyawan merasa bahwa mereka memegang kendali
dan bertanggung jawab atas pekerjaan mereka dan pekerjaan tersebut penting, jika
karyawan diberikan otonomi dalam bekerja, dan kesempatan untuk menggunakan
dan mengembangkan kemampuan dan keahlian, ketersediaan sumber daya yang
dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan, dan peluang untuk berkembang. Hal lain
yang penting juga adalah manajer bisa membuat desain pekerjaan dengan baik. Agar
24
tercipta engagement melalui pekerjaan maka Lawler (1969) merumuskan tiga hal
yang dapat dilakukan oleh manajemen terkait dengan pekerjaan yaitu melalui
Feedback dimana karyawan harus diberikan feedback yang tepat sehubungan dengan
kinerjanya. Feedback diberikan dengan terlebih dahulu mengevaluasi secara benar
kinerja karyawan. Yang kedua adalah Use of abilities dimana karyawan harus
merasa bahwa pekerjaan yang diberikan kepada mereka adalah pekerjaan yang
membutuhkan kemampuan mereka. Yang ketiga adalah Self-control (autonomy)
dimana karyawan harus merasa bahwa mereka diberikan otonomi untuk bekerja
dengan cara mereka mencapai goal.
Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja yang berperan untuk terciptanya engagement adalah
lingkungan kerja yang mendukung dan inspirasional bagi karyawan yang
mendukung mereka untuk memaknai dan melaksanakan peran mereka. Sehingga
karyawan bisa memiliki kinerja tinggi dan melakukan yang terbaik. Lingkungan
yang mendukung (supportive) adalah lingkungan memperhatikan work-life balance,
yang tidak membebani emosional karyawan secara berlebihan, lingkungan kerja
yang sehat dan aman, dan keamanan pekerjaan. Lingkungan kerja yang inspirational
Armstrong mengutip John Purcell yang memaknai lingkungan kerja yang
inspirational sebagai lingkungan kerja yang memiliki “big idea”, dimana organisasi
memiliki visi yang jelas dan nilai-nilai bersama yang tertanam, terukur dan bisa
dikelola. Lingkungan kerja juga mencakup proses kerja, peralatan dan fasilitas dan
kondisi fisik ditempat kerja karyawan. Dalam hal lingkungan kerja, yang bisa
dilakukan agar adalah mengembangkan budaya yang mendorong sikap positif untuk
bekerja, lingkungan kerja yang membuat karyawan berminat dan bersemangat untuk
bekerja, dan menurunkan stres. Dengan lingkungan ini maka karyawan akan
bersemangat untuk bekerja bahwa memberikan usaha lebih dalam melakukan
pekerjaanya. Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah komunikasi, involvement,
work–life balance dan kondisi kerja.
Kepemimpinan
Hal lain yang bisa mendorong terbentuknya engagement adalah cara
karyawan dipimpin dan dikelola. Termasuk di dalamnya seberapa besar otonomi
yang diberikan kepada karyawan dan peluang bagi karyawan untuk berkembang,
mencapai goal, dan menyediakan feedback yang menghargai kontribusi karyawan.
Dalam hal kepemimpinan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan engagement
harus berfokus pada apa yang harus dilakukan manajer lini sebagai pemimpin.
Dalam hal ini MSDM harus memastikan bahwa manajer lini paham apa yang
diharapkan dari seorang manajer lini sebagai pemimpin dan keahlian apa yang harus
mereka miliki. Ini dapat dilakukan melalui pelatihan formal terlebih khusus bagi
yang berpotensi untuk menjadi manajer, melalui mentoring atau coaching.Pada
25
manajer lini juga dapat melatih keahlian memimpin mereka dengan menggunakan
[proses manajemen kinerja. Aktivitas manajemen kinerja mencakup penetapan
peran, rencana pengembangan kinerja, mengamati kinerja dan memberikan
feedback.
Peluang untuk Pengembangan Diri
Pengembangan diri merupakan hal yang sangat penting bagi semua orang,
oleh karena itu ketika perusahaan mampu menciptakan peluang untuk karyawan bisa
mengembangkan dirinya, maka hal ini akan membuat karyawan terikat dengan
perusahaan. Armstrong (2008) mengatakan bahwa peluang untuk berkembang
merupakan motivasi yang berdampak langsung pada engagement ketika peluang ini
menjadi elemen dari pekerjaan. Untuk bisa menghadirkan peluang untuk
pengembangan diri yang diperlukan adalah budaya belajar. Reynolds (2004)
mengatakan bahwa budaya belajar adalah merupakan media untuk berkembang yang
akhirnya mendorong karyawan untuk melakukan positive discretionary behavior,
including learning’. Budaya belajar mencakup: penguatan bukan supervisi
(empowerment not supervision), pembelajaran mandiri bukan instruksi, membangun
kapasitas dalam jangka panjang dan bukan perbaikan jangka pendek (long-term
capacity building not short-term fixes).
Karyawan harus didorong untuk belajar dan berkembang saat melakukan
tugas mereka, sehingga dibutuhkan kebijakan yang fokus pada fleksibilitas peran
(role flexibility) yaitu kesempatan bagi karyawan untuk mengembangkan peran
mereka dengan cara menggunakan talenta karyawan dengan lebih baik dan lebih
luas lagi. Untuk mencapai hal ini dibutuhkan manajemen kinerja yang menekankan
pada perencanaan perkembangan individu. Strategi Peluang Pengembangan Diri
juga harus mencakup peluang untuk mengembangan karir dan bagaimana karyawan
dituntun dan didukung.
Peluang untuk Berkontribusi
Ketika karyawan merasakan bahwa mereka memberikan kontribusi bagi
perusahaan, maka pada saat itulah rasa terikat akan semakin kuat. Kontribusi ini
hanya akan ada jika pendapat karyawan didengar, sehingga mereka akan terus
berpikir untuk memberikan ide-ide dan pandangan yang bisa berkontribusi pada
perusahaan.
Untuk bisa menciptakan dan meningkatkan engagement karyawan, SDM
bisa melakukan beberapa hal pada faktor-faktor di atas. Menyediakan peluang untuk
berkontribusi berarti tidak hanya memberikan ruang untuk proses konsultasi formal,
tetapi yang terpenting adalah menciptakan lingkungan yang membuat karyawan bisa
mengungkapkan pendapat dan mendorong mereka untuk mengungkapkannya, dan
26
menekankan sebagai sebuah nilai dalam perusahaan bahwa manajemen dalam semua
level harus siap untuk mendengar dan merespon kontribusi apapun yang karyawan
berikan.
d) Strategi Penyediaan Tenaga Kerja (Employee Resourcing Strategy)
Strategi penyediaan tenaga kerja bertujuan untuk memastikan bahwa
perusahaan memiliki tenaga kerja yang dibutuhkan. Strategi ini tidak hanya
mencakup aktivitas mendapatkan tenaga kerja berdasarkan jumlah dan kualitas yang
dibutuhkan melalui rekrutmen dan seleksi, tetapi juga mencakup mempertahankan
karyawan yang memiliki potensi untuk berkembang dan melakukan promosi. Seperti
yang dikatakan Keep (1989) bahwa yang dibutuhkan perusahaan adalah bukan
hanya karyawan bukan hanya kualitas, pengetahuan dan keahlian yang dimiliki saat
ini tetapi juga potensi yang dimiliki oleh karyawan yang dapat dikembangkan.
Sedangkan untuk promosi, menurut Armstrong (2008) promosi ini dilakukan kepada
karyawan yang memiliki kesesuaian budaya dengan budaya perusahaan dan
memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk perusahaan mencapai sasaran
strategisnya.
Lebih jauh lagi menurut Amstrong (2008), strategi penyediaan tenaga kerja
mencakup praktik-praktik MSDM lain yang dibutuhkan untuk menyediakan
perusahaan karyawan dengan keahlian dan perilaku kerja yang dibutuhkan
perusahaan. Oleh karena itu strategi ini mencakup juga learning and development
untuk meningkatkan keahlian dan semakin membentuk perilaku yang diharapkan.
Bukan hanya itu, strategi ini juga mencakup memberikan reward bagi karyawan
yang meningkatkan keahlian mereka. Manajemen talenta dan proses manajemen
kinerja juga termasuk dalam praktik-praktik MSDM yang bisa digunakan untuk
memastikan bahwa perusahaan memiliki tenaga kerja yang memiliki keahlian,
kemampuan, pengetahuan dan cara kerja yang mumpuni untuk menunjang
perusahaan mencapai tujuannya. Berikut ini komponen-komponen strategi
penyediaan tenaga kerja seperti dirumuskan oleh Armstrong (2008).
Perencanaan Sumber Daya Manusia (Human resource planning)
Dalam perencanaan ini organisasi menilai kebutuhan perusahaan di masa
depan dan mencari tenaga kerja yang dibutuhkan. Yang dibutuhkan bukan hanya
jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan namun juga kualitas yang dibutuhkan. Lebih
jauh lagi menurut Armstrong (2008) perencanaan SDM juga mencakup hal-hal yang
berhubungan dengan cara mempekerjakan karyawan yang efektif dan
mengembangkan kompetensi karyawan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan.
Namun terkadang strategi penyediaan tenaga kerja ini tidak mudah untuk dilakukan
karena beberapa kondisi. Rothwell (1995) berpendapat bahwa ada kesenjangan
antara teori dan praktik, seperti misalnya jika ada kesulitan memprediksi masa
depan, jika ada perubahan prioritas kebijakan dan strategi perusahaan, manajer yang
27
lebih memiliki adaptasi (reaktif), kurangnya bukti bahwa teori perencanaan sumber
daya manusia ini efektif sehingga banyak perusahaan tidak melakukannya dalam
praktik-praktik SDM mereka.
Mengembangkan Employee Value Proposition
Employee Value Proposition merupakan penawaran yang diberikan kepada
karyawan atau calon karyawan agar mereka bersedia bekerja atau tetap bekerja di
perusahaan. Tujuan dari Employee Value Proposition ini adalah untuk menarik dan
mempertahankan tenaga kerja. Employee Value Proposition mencakup remunerasi,
tetapi menurut Amstrong (2008) ada hal non-finansial lain yang bisa menjadi
Employee Value Proposition seperti daya tarik perusahaan, etika dan tanggung
jawab perusahaan, penghargaan termasuk keberagaman, work–life balance,
kesempatan karyawan untuk berkembang secara pribadi maupun profesional. Hal ini
membuat Employee Value Proposition semacam brand sebuah perusahaan atau
organisasi, dimana perusahaan tersebut terkenal karena proposisi yang disediakan
yang bisa membuat perusahan tersebut berbeda dari perusahaan lain, seperti yang
diungkapkan Walker (2007) bahwa Employee Value Proposition adalah ‘a set of
attributes and qualities – often intangible – that make an organization distinctive,
promise a particular kind of employment experience and appeal to people who will
thrive and perform their best in its culture’.
Perencanaan Penyediaan Tenaga Kerja (Resourcing plans)
Perencanaan penyediaan tenaga kerja mencakup rencana untuk menunjuk
karyawan untuk menempati sebuah posisi dan/atau menyediakan program
pembelajaran dan pengembangan (learning and development) untuk membantu
karyawan mendapatkan keahlian dan kemampuan serta pengetahuan yang
dibutuhkan. Untuk melakukan ini maka diperlukan analisis kebutuhan. Dua jenis
penyediaan tenaga kerja adalah Penyediaan dari Internal (Internal resourcing) dan
dari Eksternal (External resourcing). Internal resourcing ditujukan untuk mencari
tenaga kerja dari karyawan yang sedang bekerja. Idealnya untuk bisa mendapatkan
data yang tepat bisa dilakukan dengan audit keahlian dan kompetensi secara regular
dan menganalisis hasil manajemen kinerja. Memasang iklan tentang internal
recruitment merupakan salah satu alat untuk mencari tenaga kerja yang dibutuhkan
untuk Internal resourcing.
External resourcing lebih menekankan pada strategi rekrutmen dan seleksi.
Tapi selain itu menurut Armstrong (2008) strategi external resourcing juga harus
mencakup bagaimana agar membuat perusahaan menjadi perusahaan yang diminati
bahkan diincar oleh pencari kerja. Strategi ini juga mencakup metode yang tepat
untuk menentukan keahlian dan kompetensi apa yang dibutuhkan. Hal terakhir
menurut Amstrong yang harus diperhatikan dalam strategi ini adalah menentukan
metode yang paling efektif untuk mendapatkan jumlah dan tipe karyawan yang
28
dibutuhkan. Menurut Spellman (1992) strategi External resourcing dibuat dengan
cara sebagai berikut:
Menentukan keahlian dan kompetensi yang dibutuhkan, termasuk perilaku.
Menganalisis faktor yang mempengaruhi keputusan calon karyawan untuk
bekerja di perusahaan atau tidak. Faktor-faktor tersebut adalah gaji dan total
benefit; peluang karir; kesempatan untuk menggunakan keahlian yang
dimiliki atau peluang untuk mendapatkan keahlian baru; kesempatan untuk
menggunakan peralatan/teknologi terbaru; kesempatan untuk mendapatkan
pelatihan tingkat tinggi; pekerjaan yang rewarding; keyakinan bahwa yang
dilakukan perusahaan adalah sesuatu yang berarti; reputasi perusahaan;
peluang karir yang diciptakan oleh pekerjaan
Penyediaan Kompetitif (Competitive resourcing). Ini berhubungan dengan
analis tentang persaingan mendapatkan tenaga kerja dengan perusahaan lain.
Sehingga perusahaan harus memperhatikan hal-hal di atas agar bisa
memberikan yang lebih dari perusahaan lain. Disini juga perusahaan perlu
memantau market rates (salary) dan bagaimana posisi perusahaan terkait
dengan ini.
Strategi alternatif untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja seperti misalnya
outsourcing, downsizing, meningkatkan pelatihan, re-engineering, multi
skilling.
Teknik rekrutmen dan seleksi. Strategi ini mencakup metode untuk mencari
tenaga kerja sesuai jumlah dan kualitas yang dibutuhkan termasuk keahlian
dan pengalaman, perilaku dan tenaga kerja yang bisa langsung cocok
dengan budaya organisasi. Inti dari strategi ini adalah menemukan alat
rekrutmen dan seleksi yang terbaik.
Strategi retensi (Retention strategy)
Perencanaan untuk mempertahankan karyawan yang dibutuhkan
perusahaan, dan mengurangi angka turnover karyawan. Untuk melakukan strategi
ini dibutuhkan analisis tentang alasan karyawan tetap tinggal dan bekerja dan alasan
karyawan meninggalkan perusahaan. Analisis ini bisa dilakukan dengan cara survey
dan juga interview pada saat karyawan memutuskan untuk bekerja di
perusahaan/keluar dari pekerjaannya. Beberapa hal yang bisa dianalisis karena
mempengaruhi alasan karyawan tetap bekerja dan keluar adalah sebagai berikut:
Bayaran / Gaji : Jika gaji tidak kompetitif atau sistem penggajian tidak
adil.
Rancangan pekerjaan: Pekerjaan seharusnya dirancang agar bisa
memaksimalkan keahlian karyawan pekerjaan yang memiliki manfaat,
pekerjaan yang memberikan otonomi kepada karyawan untuk bekerja
dengan cara sendiri, adanya feedback dan kesempatan untuk belajar dan
berkembang.
Kinerja: Karyawan bisa terdemotivasi jika tanggung jawabnya tidak
jelas dan standar kinerja yang diharapkan seperti apa tidak jelas,
29
karyawan tidak dievaluasi dan tidak tahu seberapa baik kinerja mereka
atau jika karyawan merasa penilaian kinerja nya tidak adil. Oleh karena
itu hal-hal yang bisa dilakukan ladah memperjelas kepada karyawan
apa goal yang harus dicapai dan bagaimana mencapainya, memberikan
feedback yang informatif dan reguler dan juga penghargaan atau pujian
saat karyawan kinerjanya baik, melatih manajer tentang cara meninjau
kinerja.
Learning and development: Karyawan bisa berhenti bekerja ketika
tidak diberikan peluang untuk belajar dan berkembang.
Pengembangan Karir: Prospek pengembangan karir merupakan salah
satu penyebab utama karyawan berhenti bekerja, oleh karena itu
perusahaan harus memperhatikan hal ini.
Komitmen: Komitmen bisa ditingkatkan melalui beberapa cara sebagai
berikut: menjelaskan misi, nilai dan strategi perusahaan dan berdiskusi
dengan karyawan tentang ini; komunikasi yang reguler dengan
karyawan; memperhitungkan pendapat atau ide karyawan; membuka
peluang bagi karyawan untuk berkontribusi pada memperbaiki sistem
kerja melalui ide mereka.
Kurangnya Kohesivitas Kelompok: Karyawan akan merasa terisolasi
dan jika tidak ada kohesivitas dalam kelompok. Untuk mengatasi ini
perusahaan bisa memfasilitasi kerjasama tim dan team building.
Ketidakpuasan dan konflik dengan manajer: Hal ini bisa terjadi ketika
karyawan menilai bahwa manajer tidak memberikan kepemimpinan
yang seharusnya, atau memperlakukan karyawan secara tidak adil. Oleh
karena itu selain memilih manajer dengan kualitas kepemimpinan yang
baik, perusahaan juga bisa memberikan pelatihan kepemimpinan
termasuk metode untuk menyelesaikan konflik.
Rekrutmen, Seleksi dan Promosi: Proses-proses ini sangat penting
untuk memastikan ada kesesuaian antara kapasitas karyawan yang
bekerja dengan tuntutan pekerjaan.
Marketing yang Berlebihan: Ketidakpuasan karyawan bisa tercipta jika
ekspektasi karyawan sebagai akibat dari marketing yang berlebihan
misalnya tentang peluang karir, dengan kenyataan.Oleh karena itu
dalam proses rekrutmen dan seleksi yang diberitahukan adalah yang
realistis atau kenyataan.
Strategi Fleksibilitas (Flexibility strategy)
Perencanaan untuk meningkatkan fleksibilitas dalam hal penggunaan SDM
untuk memastikan bahwa perusahaan menggunakan tenaga kerjanya sebaik mungkin
dan jika ada perubahan maka SDM bisa menyesuaikan. Hal ini bisa dilakukan
dengan cara antara lain outsourcing dan mendorong multiskilling untuk
meningkatkan kemampuan karyawan untuk mengganti pekerjaan atau mengerjakan
pekerjaan apapun yang dibutuhkan.
30
Strategi Manajemen Talenta (Talent management strategy).
Memastikan bahwa perusahaan memiliki SDM yang dibutuhkan untuk
suksesi manajemen dan kebutuhan bisnis masa akan datang.
e) Strategi Pembelajaran dan Pengembangan
Masih dalam kerangka untuk memastikan bahwa perusahaan memiliki
karyawan yang memiliki keahlian yang dibutuhkan oleh perusahaan maka
perusahaan juga harus memberikan ruang dan menyediakan kesempatan bagi
karyawan untuk mengembangkan pengetahuan dan keahliannya. Menurut Amstrong
(2008), strategi Learning and development adalah strategi yang mencakup
membangun sebuah budaya belajar, pembelajaran organisasi, membangun sebuah
organisasi pembelajar dan menyediakan pembelajaran individu.
Strategi untuk menciptakan budaya belajar
Budaya belajar adalah budaya yang menjadikan aktivitas belajar sebagai
aktivitas yang penting yang dilakukan secara terus menerus oleh semua karyawan,
termasuk manajemen puncak, manajer lini dan semua karyawan. Reynolds (2004)
merumuskan langkah-langkah menciptakan budaya belajar:
Membuat dan membagikan visi
Memberikan kewenangan pada karyawan (empower) dalam hal
memberikan otonomi, kebebasan ada karyawan untuk mengatur
pekerjaannya tetapi masih tetap dalam batasan-batasan berupa
kebijakan dan perilaku yang diharapkan, tapi tetap didukung. Selain
itu, karyawan juga diberikan kesempatan untuk memiliki tanggung
jawab untuk membuat keputusan.
Menyediakan lingkungan yang mendukung proses belajar, misalnya
jejaring rekan kerja, sistem dan kebijakan yang mendukung dan
waktu untuk dikhususkan untuk belajar.
Gunakan teknik coaching untuk memunculkan bakat karyawan
dengan cara mendorong karyawan untuk membuat pilihan-pilihan dan
mencari solusi dengan cara mereka sendiri.
Memandu karyawan ketika menghadapi tantangan dalam pekerjaan
dan menyediakan waktu dan sumber daya yang diperlukan dan
khususnya feedback.
Mengakui pentingnya peran manajer sebagai panutan (role model)
Mendorong jejaring – komunitas praktik
Menghubungkan sistems dengan visi – hilangkan sistem birpokrasi
yang bisa memunculkan masalah dan bukannya mendukung kerja.
31
Strategi Pembelajaran Organisasi
Tujuan dari strategi Pembelajaran Organisasi adalah untuk membangun
kemampuan perusahaan berbasis sumber daya, yaitu sumber daya manusia. Karena
perusahaan memiliki sumber daya manusia yang memiliki simpanan modal
produktif (Ehrenberg dan Smith, 1994), yang didapatkan dari pendidikan, pelatihan
dan pengalaman. Berarti dengan modal kualitas ini perusahaan bisa
memanfaatkannya dalam proses pembelajaran antar karyawan. Harrison (1997)
merumuskan lima prinsip pembelajaran organisasi.
Visi organisasi harus dikomunikasikan dan dirawat di antara tenaga
kerjanya untuk mendorong kesadaran karyawan akan pentingnya
pemikiran strategis di semua level.
Mengembangkan strategi dalam konteks visi yang kuat dan tidak
ambigu. Strategi ii akan mendorong terbentuknya pilihan-pilihan
strategi, mendorong cara berpikir lateral dan mengarahkan aktivitas
cipta wawasan bagi karyawan.
Dialog, komunikasi dan percakapan rutin tentang visi dan tujuan
perusahaan adalah fasilitator utama pembelajaran organisasi.
Sangat penting untuk terus menerus menantang karyawan untuk
menguji kembali hal-hal yang mereka abaikan.
Sangat penting untuk mengembangkan iklim belajar dan inovasi yang
kondusif.
Strategi Organisasi Pembelajar
Pembelajaran organisasi erat hubungannya dengan organisasi pembelajar.
Organisasi pembelajar adalah organisasi yang secara terus menerus berkembang
untuk mencapai tujuannya. Perkembangan ini dilakukan dengan cara menciptakan
dan memperbaiki kapasitasnya untuk mencapai kesuksesan. Dalam usaha
menciptakan dan memperbaiki kapasitas ini adalah upaya untuk memfasilitasi
pembelajaran bagi semua tenaga kerja. Salah satu pendekatan dari strategi organisasi
pembelajar adalah fokus pada penyelesaian masalah secara kolektif dengan cara
menggunakan pembelajaran tim dan metode soft systems dimana semua hal yang
dianggap sebagai penyebab masalah dipertimbangkan untuk bisa memilih mana
penyebab yang bisa diselesaikan dan mana yang tidak bisa diselesaikan. Menurut
Sloman (1999) strategi organisasi pembelajar didasarkan pada keyakinan bahwa
proses belajar adalah proses yang bersifat terus-menerus dan bukan hanya beberapa
kegiatan pelatihan.
Strategi Pembelajaran Individu
Strategi ini fokus pada strategi untuk mendukung individu karyawan untuk
belajar agar bisa mengembangkan keahlian dan pengetahuan untuk mencapai goal.
Sloman (2003) menyatakan strategi pembelajaran harus mencakup bagaimana cara
32
mengidentifikasi kebutuhan belajar, peran perencanaan untuk pengembangan diri
dan pembelajaran mandiri, dan dukungan yang harus disediakan dalam bentuk
bimbingan, coaching, pusat belajar, mentoring, kursus eksternal untuk memenuhi
kebutuhan per individu.
f) Strategi Penghargaan (Reward Strategy)
Strategi reward adalah strategi yang merumuskan kebijakan, praktik dan
proses pemberian reward dengan memperhatikan kebutuhan perusahaan dan
kebutuhan karyawan (Armstrong, 2008). Dengan adanya strategi reward,
perusahaan menentukan bagaimana perusahaan menghargai sumber daya
manusianya. Dalam strategi reward ini manajer lini memiliki peran yang penting
karena mereka adalah yang mengetahui paling banyak tentang kinerja karyawan. Hal
ini sejalan dengan Amstrong (2008) yang mengatakan bahwa kecenderungan saat ini
adalah tanggung jawab manajemen reward diberikan pada manajer lini.
Strategi reward harus memiliki prinsip-prinsip yang menjadi acuan dalam
pemberlakukan kebijakan reward, dan dari prinsip-prinsip ini juga tercermin nilai
yang menjadi keyakinan perusahaan tentang bagaimana sumber daya manusianya
dihargai. Menurut Armstrong (2008) prinsip-prinsip ini harus didasarkan pada
keadilan, kesetaraan, konsistensi dan transparansi dan contohnya adalah sebagai
berikut:
Mengembangkan kebijakan dan praktik reward yang mendukung
pencapaian tujuan perusahaan
Menyediakan reward yang menarik tenaga kerja, reward yang membuat
karyawan tetap bekerja dan memotivasi mereka sehingga menciptakan
budaya kerja yang berkinerja tinggi.
Menjaga tingkat bayaran yang kompetitif
Menghargai semua karyawan yang memberikan kontribusi yang efektif,
bukan hanya yang kinerjanya paling bagus.
Menciptakan fleksibilitas dalam proses reward dan pilihan-pilihan
keuntungan bagi karyawan
Menyerahkan tanggung jawab sehubungan dengan keputusan yang
berhubungan dengan reward kepada manajer lini.
Menurut Armstrong (2008), strategi reward mencakup dua hal yaitu Broad-
brush reward strategy dan Specific reward initiatives yang bisa digunakan
bersamaan ataupun tidak. Broad-brush reward strategy merupakan kebijakan
reward yang menyeluruh, yang menyeimbangkan antara reward finansial dan
nonfinansial. Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan komitmen dan keterikatan
karyawan sekaligus menyediakan lebih banyak peluang penghargaan bagi kontribusi
karyawan. Contoh strategi ini adalah membuat manajemen reward yang mendukung
perkembangan diri karyawan dan menyediakan peluang karir. Inisiatif reward yang
33
lebih spesifik (Specific reward initiatives) dibuat berdasarkan keadaan organisasi
serta kebutuhan bisnis dan karyawan. Contohnya adalah membuat skema
pembayaran berdasarkan kontribusi. Contoh lain adalah melakukan peninjauan
untuk memberikan bayaran yang sama (equal pay reviews) sehingga pekerjaan yang
memiliki nilai sama dibayar juga dengan sama.
Strategi reward harus terus dipelajari untuk memastikan bahwa strategi tersebut
efektif. Duncan Brown (2001) menyebutkan tiga komponen yang harus ada untuk
strategi reward bisa menjadi strategi yang efektif yaitu pertama memiliki tujuan-
tujuan yang jelas, dan terintegrasi dengan tujuan perusahaan. Kedua, memiliki
program-program reward dan bayaran yang didesain dengan baik sesuai dengan
kebutuhan perusahaan dan karyawan, yang konsisten dan terintegrasi satu sama lain.
Ketiga adalah proses reward harus efektif dan suportif.
g) Strategi Hubungan Karyawan (Employee Relation)
Strategi ini berhubungan dengan bagaimana perusahaan mengelola
hubungannya dengan karyawan dan serikat pekerja. Karena hubungan perusahaan
dan karyawannya adalah hal penting dalam perusahaan untuk menjalankan strategi
bisnisnya. Strategi atau program perusahaan tidak akan bisa berjalan dengan efektif
jika tidak ada kerjasama yang baik antara perusahaan dan karyawan karena
hubungan yang tidak saling mendukung. Oleh karena itu strategi ini sangat penting
untuk memelihara hubungan perusahaan dan karyawan untuk bisa menciptakan
lingkungan yang mendukung jalannya perusahaan. Amstrong (2008) menekankan
bahwa tujuan dari strategi ini adalah untuk membangun hubungan yang stabil dan
kooperatif yang bisa meminimalisir terjadi konflik antara perusahaan dan karyawan.
Selain itu, strategi ini juga mendorong terbentuknya komitmen melalui komunikasi
yang baik dan keterlibatan karyawan. Tujuan terakhir dari strategi ini adalah untuk
menciptakan hubungan yang saling menguntungkan untuk mencapai tujuan
perusahaan melalui nilai bersama karyawan dan perusahaan atau khususnya pihak
manajemen.
Salah satu strategi yang bisa dilakukan dalam mengelola hubungan dengan
karyawan adalah strategi suara karyawan yang mendorong bukan hanya komunikasi
tapi lebih pada keterlibatan atau partisipasi karyawan. Menurut Boxall dan Purcell
(2003), Suara Karyawan (Employee voice) merujuk pada proses dan struktur yang
memungkinkan bahwa mendorong karyawan untuk berkontribusi pada proses
pengambilan keputusan secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini membuat
karyawan memiliki pengaruh pada proses pengambilan keputusan yang ada di
perusahaan. Marchington et al (2001) menggolongkan suara karyawan menjadi dua
yaitu 1) suara individu dan 2) suara kolektif berupa serikat pekerja atau perwakilan
pekerja dalam bentuk lain.
34
2.3.8. Kebijakan Manajemen Sumber daya Manusia Strategis
Kebijakan dalam MSDM adalah panduan tentang bagaimana nilai, prinsip
dan strategi manajemen SDM harus dilaksanakan dalam area manajemen SDM
(Armstrong 2008). Kebijakan adalah salah satu proses merealisasikan strategi
MSDM (Tyson 1997). Menurut Purcell et al (2003), yang menghidupkan kebijakan
adalah komitmen dan kapabilitas manajer lini untuk menjalankan strategi MSDM.
Menurut Schuler (1992), dalam MSDM strategis harus memastikan bahwa kebijakan
SDM koheren satu sama lain dan antar hirarki.
2.4. Hubungan Budaya Organisasi dan Manajemen Sumber Daya
Manusia Strategis
Budaya organisasi merupakan asumsi dasar (Schein 1992) serta nilai,
kepercayaan, dan norma (Meyer dan Topolnytsky 2000) yang dipegang oleh anggota
organisasi termasuk pimpinan organisasi. Karena pimpinan organisasi adalah pihak
yang membuat strategi organisasi, maka asumsi dasar dan nilai yang dipegang oleh
pimpinan organisasi ini akan mempengaruhi strategi organisasi, termasuk strategi
MSDM. Hal ini telah dimuat dalam teori konteks sosial (Ferris, Hochwarter,
Buckley, Harrell-Cook, dan Frink 1999) bahwa budaya organisasi mempengaruhi
pembuatan dan pengembangan sistem MSDM. Lebih lanjut lagi, budaya ini tidak
hanya berpengaruh pada pembuatan strategi saja namun juga dalam pelaksanaan
MSDM strategis. Seperti dikatakan Wei (2008) bahwa budaya bisa berpengaruh
pada penerapan MSDM dalam hal orientasi penerapan dan apa yang menjadi
penekanan dalam penerapannya, misalnya dalam organisasi dengan budaya
kelompok (group culture) MSDM lebih menekankan pada pemberian reward untuk
mendukung komitmen pada organisasi.
Di sisi lain, MSDM strategis juga mempengaruhi budaya organisasi.
Praktik-praktik MSDM dibuat untuk mengatur bagaimana anggota organisasi harus
berperilaku, seperti dikatakan oleh Bowen dan Ostroff (2004) bahwa penerapan
MSDM membawa pesan-pesan kepada anggota organisasi tentang perilaku-perilaku
yang diharapkan untuk dilakukan oleh karyawan. Dalam pesan ini juga anggota
organisasi dapat mengetahui nilai-nilai yang dipegang oleh organisasi dan akhirnya
memegang nilai tersebut. Nilai yang dipegang dan pola perilaku anggota organisasi
inilah yang kemudian menjadi budaya dalam organisasi. Beberapa studi juga telah
mendukung hal ini. Sistem dan praktik MSDM bisa menjadi sarana bagi
pembentukan, pemeliharaan, penyelarasan atau perubahan budaya organisasi (Kerr
dan Slocum, 1987) dengan cara mengubah atau mendorong perilaku karyawan
(Thornhill et al., 2000).
35
Budaya adalah sejenis kontrol sosial yang menentukan sikap dan perilaku
anggota organisasi (O’Reilly dan Chatman 1996). Begitu juga dengan MSDM yang
mengelola SDM untuk berperilaku seperti yang diharapkan organisasi untuk
mencapai tujuan organisasi. Wei et al., (2008) meneliti hubungan budaya dan
MSDM Strategis dan kaitannya dengan kinerja perusahaan, dan menemukan bahwa
budaya mempengaruhi MSDM strategis yang kemudian berdampak positif pada
kinerja perusahaan. Jika budaya dan MSDM saling terintegrasi dan saling
mendukung maka organisasi akan bisa mencapai tujuannya dengan optimal.