80
18 BAB II TEORI KEADILAN JENDER 2.1. Pendahuluan Keadilan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat diganggu gugat. HAM adalah hak-hak dasar yang melekat dan dimiliki oleh setiap manusia dari sejak lahir. Sebagai HAM, keadilan seyogyanya diperuntukkan secara universal kepada seluruh umat manusia tanpa melihat adanya faktor pembeda, seperti: suku, bahasa, kasta, ras, bangsa, agama, kepercayaan, warna kulit, dan khususnya jenis kelamin. Begitu pentingnya arti keadilan bagi kehidupan umat manusia, sehingga Tuhan telah menetapkan keadilan sebagai bagian dari ajaran agama bagi umatNya. Seiring gencarnya tuntutan akan emansipasi/kesetaraan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki oleh para feminis di berbagai belahan dunia, keadilan jender kini menjadi konsep yang terus dibahas dan dikaji dalam studi jender. Keadilan jender menjadi topik yang sangat menarik, terlebih ketika dikaitkan dengan sebuah tafsir keagamaan. 1 Sebagai hasil pemikiran atau ijtihad manusia, tafsir keagamaan, khususnya dalam hal ini adalah tafsir terhadap sebuah ayat dalam kitab suci agama, terkadang mendapat pemahaman yang keliru, dan bahkan dirasa bias jender. Ketika hal ini terjadi, maka pada gilirannya tidak mustahil apabila sebuah agama kemudian mendapat tudingan sebagai penyebab bagi lahirnya ketidakadilan jender tersebut. 1 Tafsir keagamaan yang dimaksud pada tesis ini adalah tafsir Alquran.

BAB II TEORI KEADILAN JENDER...dalam kitab suci agama, terkadang mendapat pemahaman yang keliru, dan bahkan dirasa bias jender. Ketika hal ini terjadi, maka pada gilirannya tidak mustahil

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 18

    BAB II

    TEORI KEADILAN JENDER

    2.1. Pendahuluan

    Keadilan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak

    dapat diganggu gugat. HAM adalah hak-hak dasar yang melekat dan dimiliki oleh

    setiap manusia dari sejak lahir. Sebagai HAM, keadilan seyogyanya

    diperuntukkan secara universal kepada seluruh umat manusia tanpa melihat

    adanya faktor pembeda, seperti: suku, bahasa, kasta, ras, bangsa, agama,

    kepercayaan, warna kulit, dan khususnya jenis kelamin. Begitu pentingnya arti

    keadilan bagi kehidupan umat manusia, sehingga Tuhan telah menetapkan

    keadilan sebagai bagian dari ajaran agama bagi umatNya.

    Seiring gencarnya tuntutan akan emansipasi/kesetaraan kaum perempuan

    terhadap kaum laki-laki oleh para feminis di berbagai belahan dunia, keadilan

    jender kini menjadi konsep yang terus dibahas dan dikaji dalam studi jender.

    Keadilan jender menjadi topik yang sangat menarik, terlebih ketika dikaitkan

    dengan sebuah tafsir keagamaan.1 Sebagai hasil pemikiran atau ijtihad manusia,

    tafsir keagamaan, khususnya dalam hal ini adalah tafsir terhadap sebuah ayat

    dalam kitab suci agama, terkadang mendapat pemahaman yang keliru, dan bahkan

    dirasa bias jender. Ketika hal ini terjadi, maka pada gilirannya tidak mustahil

    apabila sebuah agama kemudian mendapat tudingan sebagai penyebab bagi

    lahirnya ketidakadilan jender tersebut.

    1 Tafsir keagamaan yang dimaksud pada tesis ini adalah tafsir Alquran.

  • 19

    Pada bab ini, dipaparkan tentang: Studi Jender; Keadilan dalam Studi

    Jender; Konsep Keadilan dalam Alquran; Jender dalam Perspektif Alquran;

    Pentingnya Analisis Jender dalam Pembahasan Tafsir Keadilan; Keadilan dalam

    Masyarakat Patriarkat; dan Teori Keadilan Humanis Berbasis Jender Susan

    Moller Okin.

    2.2. Studi Jender.

    Istilah „jender‟ secara etimologis berasal dari bahasa Inggris „gender‟ yang

    berati „jenis kelamin‟.2 Konsep jender baru dapat dipahami dengan benar, ketika

    kata jender dan kata seks (jenis kelamin) dibedakan.3 Dalam Ensiklopedia

    Feminisme, jender diartikan sebagai kelompok karakter yang melekat pada laki-

    laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi budaya masyarakat, sedangkan seks

    (jenis kelamin) lebih menunjuk kepada kondisi biologis seseorang dimana laki-

    laki dan perempuan dibedakan secara anatomi.4

    Menurut Mansour Fakih, konsep jender menunjuk pada pensifatan kepada

    laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya. Disini,

    perempuan diasumsikan sebagai sosok yang cantik, lembut, emosional, dan

    keibuan. Adapun laki-laki adalah sosok yang kuat, jantan, rasional, dan perkasa.

    Sedangkan konsep seks (jenis kelamin) menunjuk pada pensifatan yang secara

    biologis melekat pada laki-laki dan perempuan. Misalnya laki-laki memiliki penis,

    2 Lihat Hendra Prijana dalam Modul Studi Gender, (Program Studi Pendidikan Ilmu

    Pengetahuan sosial, UNIBBA, 2012), 3. dan Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-

    Qur‟an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 42. Dalam hal ini, baik

    Prijana maupun Yunahar merujuk pada John M. Echols dan Hasan Shadily dalam Kamus Inggris-

    Indonesia.

    3 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

    1996), 7.

    4 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj. Mundi Rahayu), (Yogyakarta: Fajar

    Pustaka Baru, 2007), 177, 421.

  • 20

    jakala dan memproduksi sperma. Perempuan memiliki rahim, vagina, alat

    menyusui (payudara) dan memproduksi telur. Sebagai hasil konstruksi sosial dan

    budaya, konsep jender memiliki sifat yang dapat dipertukarkan, sedangkan konsep

    jenis kelamin merupakan kodrat Tuhan, dan karenanya tidak dapat dipertukarkan.5

    Sejalan dengan hal tersebut, Nasaruddin Umar juga menyebutkan bahwa secara

    umum, jender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan

    perempuan dilihat dari segi sosial-budaya, sedangkan seks (jenis kelamin) dilihat

    dari segi anatomi biologi.6

    Dari beberapa pengertian mengenai konsep jender dan seks di atas, maka

    penulis menyimpulkan bahwa jender dan jenis kelamin (seks) adalah dua hal yang

    berbeda. Jender membedakan manusia melalui pensifatan yang dikonstruksikan

    oleh masyarakat dan budaya kepada laki-laki dan perempuan dalam hal: peran,

    sikap, sifat, tanggungjawab, dan kesemuanya itu masih dapat dipertukarkan.

    Adapun jenis kelamin (seks) membedakan manusia secara biologis kepada dua

    jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Misalnya, bahwa laki-laki memiliki penis,

    jakala dan memproduksi sperma, adapun perempuan memiliki vagina, rahim,

    memproduksi sel telur dan memiliki payudara untuk menyusui, dan kesemuanya

    itu bersifat kodrati dan tidak dapat dipertukarkan.

    Saat ini, studi jender telah menjadi kajian pada berbagai bidang ilmu

    pengetahuan, seperti: sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, politik, dan

    bahkan keagamaan. Studi jender menjadi kian marak seiring dengan munculnya

    5 Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 7-9. Mansour Fakih adalah salah seorang

    aktivis penegakan HAM di Indonesia yang berasal dari Jawa Timur. Selanjutnya dalam penulisan

    ini akan disebut Fakih.

    6 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Dian

    Rakyat, 2010), 31.

  • 21

    kesadaran manusia akan arti pentingnya kesetaraan/keadilan jender. Kesadaran ini

    berawal dari banyaknya ketimpangan/ketidakadilan jender yang dirasakan dan

    dialami, khususnya oleh kaum perempuan. Bagi kaum feminis, ketidakadilan

    jender terlahir sebagai akibat dari adanya kesalahpahaman dalam menafsirkan

    konsep gender yang disamakan dengan konsep seks.7

    Terkait hal tersebut, Fakih berpendapat bahwa perbedaan jender (gender

    differences) pada gilirannya telah melahirkan ketidakadilan jender (gender

    inequalities) baik pada laki-laki, dan lebih khususnya lagi pada perempuan.

    Bentuk ketidakadilan jender tersebut dapat berupa: marginalisasi, subordinasi,

    pelabelan negatif (stereotipe), kekerasan (violence), dan beban kerja ganda pada

    perempuan.8 Sementara itu, Yunahar Ilyas berpendapat bahwa dalam lingkungan

    umat Islam, pemahaman yang keliru dan bias laki-laki terhadap sumber utama

    ajaran Islam yakni Kitab Suci Alquran merupakan akar dari diskriminasi dan

    segala macam bentuk ketidakadilan jender, dan salah satu cara untuk mengatasi

    hal tersebut adalah melalui sebuah dekonstruksi pemikiran teologis tentang

    perempuan.9

    Sebagai bahan kajian dalam studi jender, pandangan atau pemikiran kaum

    feminis memiliki kedudukan yang sangat penting. Feminisme merupakan sebuah

    istilah pendefinisian tentang advokasi/pembelaan terhadap kesetaraan perempuan

    7 Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer,

    (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 42.

    8 Fakih, Analisis Gender & Transformasi social, 12-13, 72-76.

    9 Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer, 58. Terkait

    pentingnya dilakukan dekonstruksi terhadap Hukum Islam, juga disampaikan oleh Dr. A. Qodri

    Azizy, M.A. dalam pengantar buku Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam. Menurutnya,

    untuk mendobrak stagnasi berfikir terkait adanya kejumudan perkembangan hukum Islam, maka

    diperlukan sebuah langkah radikal, yakni hukum Islam harus dibongkar (didekonstruksi) untuk

    selanjutnya diperbaiki kembali (direkonstruksi). Lihat, Ilyas Supena & M. Fauzi, Dekonstruksi dan

    Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), v.

  • 22

    dan laki-laki dengan tujuan untuk meningkatkan posisi perempuan di dalam

    masyarakat. Dalam pandangan feminisme, kondisi yang tidak sederajat antara

    perempuan dan laki-laki dalam masyarakat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

    dominasi laki-laki, patriarki, ketimpangan jender atau efek sosial dari perbedaan

    jenis kelamin.10

    Feminisme merupakan wadah perjuangan bagi terwujudnya

    persamaan hak antara kaum perempuan dengan hak kaum laki-laki.11

    Menurut

    Yunahar Ilyas, yang menjadi pusat perhatian feminisme adalah “kesadaran akan

    ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga

    maupun masyarakat serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk

    mengubah keadaan tersebut.”12

    Dari beberapa pengertian mengenai feminisme di atas, penulis dapat

    menyimpulkan bahwa feminisme adalah sebuah paham dan gerakan yang

    bertujuan untuk membangkitkan kesadaran terhadap arti pentingnya kesetaraan

    antara perempuan dengan laki-laki, sehingga nantinya dapat terwujud posisi yang

    sederajat diantara kedua jenis kelamin tersebut baik dalam kehidupan keluarga,

    masyarakat, bangsa dan negara. Feminisme bertujuan untuk menghapus atau

    paling tidak, meminimalisir ketimpangan/ketidakadilan jender sebagai efek dari

    kesalahpahaman dalam memaknai konsep jender dan jenis kelamin yang telah di

    kontruksi sedemikian rupa oleh budaya dan masyarakat.

    Pandangan atau pemikiran kaum feminis sangatlah beragam. Terkait hal

    tersebut, Lapian menyatakan bahwa pada dasarnya studi feminis itu berangkat

    10 William Outhwaite, (ed.), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, (Jakarta:

    Kencana, 2008), 313. 11

    Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, tt), 997.

    12 Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan kontemporer, 42.

  • 23

    dari pengalaman perempuan yang bersifat partikular. Hal ini karena pada

    hakikatnya tidak semua perempuan itu sama.13

    Adapun, Tong berpendapat bahwa

    feminisme bukanlah ideologi monolitik karena didalamnya terdapat pemikiran

    dan ruang waktu yang berbeda di kalangan feminis. Pemikiran feminis sangat

    beragam dengan berbagai pelabelannya, seperti: “liberal”, “radikal”, “Marxis-

    sosialis”, dan sebagainya. Menurut Tong, label tersebut telah sangat membantu

    para feminis di dalam menjelaskan tentang opresi14

    perempuan dengan

    menawarkan pemecahannya melalui berbagai cakupan pendekatan, perspektif dan

    bingkai kerja yang berbeda. Meski demikian, pelabelan tersebut suatu saat harus

    diganti dengan penamaan yang lebih mengedepankan komitmen intelektual dan

    politis terhadap kaum perempuan.15

    Adapun Fakih, ia telah membagi aliran feminisme ke dalam dua aliran

    besar di dalam ilmu sosial, yakni aliran status quo atau fungsionalisme dan aliran

    konflik.

    1. Aliran Fungsionalisme struktural atau aliran fungsionalisme.

    Aliran ini dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Meski

    teori Fungsionalisme tidak secara langsung menyinggung masalah perempuan,

    tetapi dengan keyakinan mereka bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang

    terdiri atas bagian yang saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik

    13 L.M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan

    Gender, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012), 226. 14

    Opresi dalam bahasa Inggris “oppression” berarti penindasan. Humm menyatakan

    bahwa penindasan merupakan pengalaman seksisme sebagai sebuah sistem dominasi. Lihat

    Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, 322.

    15 Rosemarie Putnam Tong, dalam prakata Feminist Thought: Pengantar Paling

    Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, (terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro),

    (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 2.

  • 24

    sampai keluarga) dimana masing-masing bagian secara terus menerus mencari

    keseimbangan (equilibrium) dan harmoni, maka secara tidak langsung telah dapat

    menjelaskan tentang bagaimana kedudukan/posisi kaum perempuan dalam

    masyarakat. Bagi penganut teori ini, masyarakat berubah secara evolusioner.

    Perubahan hanya boleh terjadi melalui sebuah “reformasi” yang terkontrol tanpa

    boleh mengganggu stabilitas sosial yang ada. Konflik dalam masyarakat harus

    dihindarkan, sedangkan harmoni dan integrasi sebagai fungsional harus

    ditegakkan. Status quo harus dipertahankan. Pengaruh fungsionalisme tersebut

    menurut Fakih terdapat dalam pemikiran Feminis Liberal.

    2. Aliran Konflik.

    Aliran ini berkeyakinan bahwa setiap hubungan sosial yang terjadi dalam

    kelompok masyarakat, pasti memiliki kepentingan (interes) dan kekuasaan

    (power) yang berbeda-beda. Untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak

    terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan, maka gagasan dan nilai-nilai

    akan digunakan sebagai senjata. Dalam aliran ini, konflik memiliki peran penting

    dalam sebuah perubahan. Perubahan posisi dan hubungan antar laki-laki dan

    perempuan, dengan demikian dapat terjadi melalui sebuah konflik kepentingan

    antar kedua jenis kelamin tersebut. Aliran konflik dalam feminisme terdapat

    dalam pemikiran feminisme radikal, feminisme Marxis, feminisme sosialis.16

    Untuk lebih mengenal aliran-aliran dalam feminisme, berikut diuraikan

    tentang: Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis, Feminisme

    Sosialis, Feminisme Muslim dan Feminis Kristen.

    16

    Fakih, Analisis Gender, 79-98.

  • 25

    1. Feminisme Liberal

    Megawangi menyebutkan bahwa feminisme liberal berkembang dengan

    pesat di Barat pada abad ke-18, yakni bersamaan dengan arus pemikiran baru

    “zaman pencerahan” (enlightment atau age of reason). Dasar asumsi yang dipakai

    Feminis Liberal adalah doktrin John Lock tentang natural rights (hak asasi

    manusia), yakni meliputi: hak hidup, hak mendapatkan kebebasan dan hak

    mencari kebahagiaan.17

    Pernyataan mengenai “Feminisme Liberal”, pertama kali dikemukakan

    oleh Mary Wollstonecraft.18

    Dalam buku tersebut dikatakan bahwa pendidikan

    yang rendah telah menjadikan perempuan sebagai agen rasional yang inferior.

    Akar penindasan bagi perempuan adalah perbedaan hak sipil antara kaum

    perempuan dengan laki-laki dalam hal pendidikan. Dalam hal seksualitas,

    dikotomi publik-domestik dianggap sebagai hal yang wajar. Kehidupan pribadi

    seseorang bagi mereka tidak semestinya menjadi objek peraturan masyarakat.

    Dengan kata lain, bahwa feminis Liberal berupaya memperbaiki status perempuan

    di dalam sistem, namun mereka tidak mempermasalahkan opresi sistem tersebut

    atau legitimasinya.

    Sependapat dengan hal tersebut, Nasaruddin Umar juga menyatakan

    bahwa Feminisme Liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki

    dan perempuan. Khususnya, dalam hal ini adalah terkait dengan fungsi

    17

    Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi

    Gender, (Bandung: Mizan, 1999), 118-119. Mengenai hal ini Megawangi merujuk pada

    pernyataan L.M. Clarck dan L. Lange. 18

    Istilah “Feminis Liberal” pertama kali ditemukan di dalam sebuah karya Mary

    Wollstonecraft yang berjudul A Vindication of the Right of Women yang diterbitkan pada tahun

    1789. Lihat, Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, 250.

  • 26

    reproduksi. Menurutnya, fungsi reproduksi pada perempuan diyakini akan

    membawa konsekuensi logis dalam kehidupan masyarakat.19

    Lebih lanjut

    dikatakan, bahwa kelompok Feminisme Liberal adalah kelompok yang paling

    moderat dikalangan feminisme. Kelompok ini beranggapan bahwa perubahan

    struktural tidak mesti dilakukan secara menyeluruh. Disini, perempuan cukup

    dilibatkan dalam berbagai peran, misalnya: peran sosial, ekonomi dan politik.

    Organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran tersebut.20

    Berbeda dengan pendapat diatas, Megawangi justeru menyatakan

    sebaliknya, bahwa dalam perjuangannya mewujudkan persamaan hak antara pria

    dan wanita, feminis Liberal sangat memerlukan dukungan dasar hukum yang kuat.

    Oleh karena itu, fokus perjuangan feminis liberal adalah pada perubahan segala

    undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi keluarga

    yang patriarkat.21

    Tokoh feminis Liberal yang cukup terkenal diantaranya adalah Elizabeth

    Cady Stanton dan Betty Friedan.22

    Feminis Liberal banyak mendapat kritikan

    antara lain: Jean Berthke Elshtain dan Shulamith Firestone. Elshtain menyatakan

    bahwa feminisme liberal mereduksi nilai motivasi manusia sebatas utilitarian

    19

    Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 57-58. 20

    Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 58. Dalam hal ini Nasaruddin mengutip Bryson. 21

    Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 120-121. 22

    Mengenai hal ini, dapat dibaca di dalam Tong, Feminist Thought. Elizabeth Cady

    Stanton adalah penganjur Seneca Falls dan merupakan tokoh feminis Amerika yang paling

    berpengaruh dalam kampanye untuk perubahan hukum perceraian, hak-hak kekayaan perempuan

    yang sudah menikah, dan hak bersuara. Lihat, Sarah Gamble (ed.), Pengantar Memahami

    Feminisme dan Postfeminisme, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Jalasutra, (Yogyakarta:

    Jalasutra, 2010), 29. Adapun Betty Friedan adalah pengarang buku The Feminine Mystique (1963),

    pendiri dan sekaligus presiden pertama dari sebuah organisasi perempuan “National Organization

    for Woman” atau NOW di tahun 1966. The Feminine Mystique (1963) disebut sebagai penanda

    bagi munculnya feminis gelombang kedua. Lihat, Asmaeny Azis, Feminisme Profetik,

    (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), 62. dan Tong, Feminist Thought, 36.

  • 27

    terhadap kepentingan diri, sedangkan Firestone menggambarkan dan menuding

    feminis Liberal itu sebagaimana National Organization of Women (NOW) yang

    hanya berkonsentrasi pada indikator seksisme yang lebih dangkal.23

    2. Feminisme Radikal

    Teori Feminisme Radikal berkembang pesat di AS pada era 1960-an dan

    1970-an. Feminisme Radikal berpandangan bahwa sumber ketidakadilan jender

    adalah perbedaan biologis antara pria dan wanita. Menurut mereka, dalam institusi

    keluarga, peran kehamilan dan keibuan (sifatnya biologis) harus selalu diperankan

    oleh perempuan. Keluarga, dengan demikian dianggap sebagai institusi yang

    melahirkan dominasi pria sehingga perempuan menjadi tertindas. Alasan inilah

    yang dijadikan dasar oleh feminis Radikal untuk menyerang keberadaan institusi

    keluarga dan sistem patriarkat.24

    Jones menyatakan bahwa, sebuah kebebasan

    mungkin baru akan diperoleh perempuan apabila secara teknologi telah

    dimungkinkan adanya pembuahan hingga mengandung di luar rahim. Jika

    keadaan tersebut tercapai maka perbedaan gender tidak lagi relevan dan peranan

    biologis perempuan dalam keluarga akan hilang.25

    Sementara itu, Humm, dalam hal ini menyitir Zillah R. Eisenstein,

    menyatakan bahwa bagi feminisme Radikal, akar dominasi dan penindasan laki-

    laki terhadap perempuan adalah patriarki. Penindasan perempuan menurut mereka

    berasal dari penempatan perempuan ke dalam kelas yang lebih rendah dibanding

    23

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 251. Mengenai NOW, dapat dilihat pada teori

    keadilan jender, tepatnya pada bahasan tentang konteks lahirnya pemikiran Susan Moller Okin. 24

    Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 178. 25

    Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-

    modernisme, (Alih bahasa: Achmad Fedyani Saifuddin), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

    Indonesia, 2010), 129.

  • 28

    kelas laki-laki. Oleh karena itu, mereka bertujuan menghancurkan sistem kelas

    jenis kelamin tersebut.26

    Perintis Feminis Radikal antara lain; Charlotte Perkins Gilman, Emma

    Goldman dan Margaret Sanger. Adapun teori utama Feminisme Radikal

    kontemporer dikembangkan oleh Ti-Grace-Atkinson dan Anne Koedt. Atkinson

    menyatakan bahwa sistem peran laki-laki dan perempuan yang secara politik

    menindas merupakan model asli dari semua penindasan. Sementara itu Koedt

    menyatakan bahwa penindasan perempuan terutama terjadi secara psiologis dan

    bukan ekonomis.27

    3. Feminisme Marxis

    Dalam pemahaman materialisme Marx, konflik dalam masyarakat

    bersumber dari aktivitas ekonomi masyarakat dimana pola relasi materialistis dan

    ekonomi dianggap sebagai pondasi masyarakat yang mendasari segala hukum,

    moral, agama, dan institusi politik kemasyarakatan. Hukum, moral, agama dan

    sistem politik tersebut oleh Marx disebut sebagai superstructure atau

    superstruktural yang kesemuanya merupakan produk sosial yang bersifat relatif

    sehingga tidak ada esensi kebenaran absolut dari sistem tersebut.28

    Kedudukan agama sebagai superstruktur dalam masyarakat kapitalis oleh

    Marx disebut sebagai opium (candu) bagi masyarakat. Menurutnya, agama yang

    berisikan segala peraturan dan norma telah dipakai oleh pemilik modal untuk

    mengajarkan kepada kaum proletar (penulis disini mengartikan: kaum yang

    tertindas, seperti halnya juga dengan kaum perempuan), untuk senantiasa sabar,

    26

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 383-384. 27

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 384. 28

    Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 78-79.

  • 29

    karena hidup yang sebenarnya adalah di akhirat. Agama disini berfungsi sebagai

    bius terhadap masyarakat untuk dapat menerima begitu saja keadaan yang kurang

    menguntungkan. Agama telah membuat kaum tertindas lupa bahwa mereka

    sesungguhnya dapat mengubah keadaan di dunia menjadi lebih baik. Salah satu

    bentuk penyadaran bagi kaum yang tertindas tersebut adalah dengan cara

    menghilangkan pengaruh opium (agama). Atau dengan kata lain, menuntut

    seorang untuk mengabaikan ajaran agama tersebut atau menjadi seorang yang

    atheis.29

    Mengenai “agama sebagai candu” juga dijelaskan oleh Ramly yang

    menyatakan bahwa fungsi agama oleh Marx telah diubah citranya menjadi alat

    yang “meninabobokan” dengan janji penyelamatan di atas kelaparan dan

    penderitaan. Lembaga-lembaga agama dan pemimpin agama tidak lagi berperan

    sebagai pengemban kasih dan pembela hak-hak kaum tertindas. Agama hanya

    dijadikan sebagai alat pelegalisasi kekuasaan negara yang memihak segelintir elit,

    yang kemudian melahirkan istilah agama sebagai pendukung status quo.30

    Dalam pola relasi materialistis dan ekonomi pada masyarakat kapitalis

    yang memiliki struktur produksi industri, Marx telah membagi mayarakat ke

    dalam dua kelas; yakni kaum borjuis dan proletar, kelas tuan-tuan dan kelas

    budak, kelas penguasa dan rakyat, serta kelas feodal dan kelas hamba.31

    Dalam hal

    ini, kaum laki-laki dapat dikatakan telah mewakili kelas borjuis, tuan-tuan,

    penguasa dan feodal sedangkan perempuan sebagai kelas proletar, budak, rakyat

    dan hamba.

    29

    Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 80. 30

    Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektis dan

    Materialisme Historis, (Yogyakarta: LKiS, 2009), 164-165. 31

    Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 80.

  • 30

    Terkait kelas di dalam masyarakat, filsafat Feminisme Marxis

    menganggap bahwa segala pemilikan pribadi, termasuk disini pria memiliki

    wanita (peneliti mengartikan: keluarga, yakni pria memiliki wanita melalui sebuah

    perkawinan) adalah sumber penindasan. Pria sebagai “pemilik sumber daya” yang

    telah dilegitimasi oleh budaya dan nilai-nilai patriarkat, telah menempatkan

    perempuan sebagai “abdi” atau kelas yang lebih rendah yang terus bergantung

    pada suami.32

    Menurut Tong, Feminis Marxis lebih cenderung mengidentifikasi

    kelasisme (classism) dan bukan seksisme sebagai penyebab utama opresi terhadap

    perempuan.33

    Bagi Marx, jalan terbaik untuk menghilangkan kelas-kelas dalam

    masyarakat adalah melalui sebuah revolusi sosial.34

    4. Feminis Sosialis

    Pandangan dasar Feminisme Sosialis adalah bahwa masalah ekonomi dan

    struktur sosial telah melahirkan subordinasi wanita.35

    Pandangan Feminisme

    Sosialis tidak jauh beda dari Feminisme Marxis karena Feminisme Sosialis ini

    bersumber dari formulasi teori dan ideologi Karl Marx dan Frederich Engels,

    bahwa kedudukan kaum perempuan itu identik dengan kaum proletar pada

    masyarakat kapitalis Barat. Mereka mempermasalahkan konsep kepemilikan

    pribadi dan menganalogikan perkawinan sebagai lembaga yang melegitimasikan

    pria memiliki istri secara pribadi. Seorang istri yang dimiliki suami merupakan

    bentuk penindasan pada perempuan. Perempuan hanya dapat terbebaskan dari

    penindasan tersebut, manakala sistem ekonomi kapitalis diganti dengan

    32

    Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 87. 33

    Tong, Feminist Thought, 139. 34

    Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 81. 35

    Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 178.

  • 31

    masyarakat sosialis, yakni masyarakat egaliter tanpa kelas.36

    Karena adanya

    kesamaan antara Feminisme Marxis dan Feminis Sosialis tersebut, maka tidak

    jarang keduanya disebut sebagai Feminisme Maxis-sosialis.

    Bagi Feminisme Sosialis, perempuan adalah penduduk kelas dua dalam

    masyarakat kapitalis patriarkis yang menggantungkan hidupnya pada eksploitasi

    orang-orang yang bekerja (khususnya perempuan). Dalam pandangan mereka,

    yang menjadi akar penindasan terhadap perempuan adalah sistem ekonomi

    kapitalisme. Disini, laki-laki mempunyai kepentingan material khusus dalam

    mendominasi perempuan, dan bahwa laki-laki mengkonstruksikan berbagai

    tatanan institusional untuk melanggengkan dominasi tersebut.37

    Menurut Feminis

    Sosialis, penyebab fundamental opresi terhadap perempuan adalah lebih kepada

    kapitalisme dan patriarki, bukan “kelasisme” atau “seksisme”.38

    Dari berbagai pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang

    membedakan antara Feminis Marxis dan feminis Sosialis adalah penyebab utama

    terjadinya opresi (penindasan) bagi kaum perempuan. Menurut Feminis Marxis,

    penyebab opresi adalah kelasisme (classism) dan bukan seksisme, sedangkan

    menurut feminis sosialis, bukan “kelasisme” atau “seksisme” tetapi lebih kepada

    kapitalisme dan patriarki.

    5. Feminisme Muslim

    Di kalangan umat Islam, gerakan feminis dikenal dengan gerakan Feminis

    Muslim. Dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, disebutkan bahwa yang

    36

    Dalam hal ini, Megawangi mengutip Josephine Donovan (1994). Megawangi,

    Membiarkan Berbeda?, 128-129. 37

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 447-448. 38

    Tong, Feminist Thought, 139.

  • 32

    menjadi tuntutan bagi perjuangan kaum Feminis Muslim adalah emansipasi

    perempuan sebagai warga negara di bidang publik, dan menerima

    komplementaritas peran di bidang keluarga.39

    Adapun dalam wacana sekular yang

    mengakomodasi Islam, feminis Muslim mengupayakan masyarakat nonseksis dan

    pascapatriarkal, yakni, bahwa perempuan mempunyai hak serta peluang dalam

    pengembangan potensi diri baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat.40

    Tokoh feminis muslim tidak hadir dari kalangan perempuan saja, tetapi

    juga dari kalangan laki-laki.41

    Terkait dengan hal tersebut, Yunahar Ilyas tidak

    sependapat dengan Margot Badran, yang menyatakan bahwa syarat seseorang

    untuk dapat disebut sebagai feminis (feminis Muslim), maka orang tersebut harus

    memenuhi tiga kriteria, yakni;

    1) Mereka memiliki kesadaran jender dan memperjuangkan penghapusan

    ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan.

    2) Beragama Islam atau datang dari lingkungan dunia Islam dan

    mempersoalkan ajaran Islam, baik dari sisi normativitas maupun

    historisitasnya.

    3) Berjenis kelamin perempuan.

    Disini, Yunahar Ilyas tidak setuju dengan kriteria yang ketiga. Menurutnya

    seorang laki-laki juga dapat disebut sebagai Feminis Muslim. Dalam hal ini, ia

    mencontohkan Asghar Ali Engineer dari India. Selain itu, Yunahar juga

    39

    John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001),

    57. 40

    Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, 61. 41

    Tokoh feminis Muslim laki-laki diantaranya adalah Qosim Amin (Mesir), dan Asghar

    Ali Engineer (India). http://digilib.uinsby.ac.id/882/6/Bab%202.pdf, diakses pada Rabu, 22 Juni

    2016.

    http://digilib.uinsby.ac.id/882/6/Bab%202.pdf

  • 33

    berpendapat bahwa tidak semua feminis yang beragama Islam itu dapat

    dikategorikan sebagi feminis Muslim. Mereka yang dimaksud adalah feminis

    yang beragama Islam, yang meskipun mereka tetap mendasarkan pada perspektif

    feminisme (liberal, radikal, marxis, sosialis dan lainnya) tapi tidak

    mempersoalkan ajaran Islam (baik normativitas maupun historisitas).42

    Di kalangan Islam banyak dikenal feminis perempuan, antara lain: Riffat

    Hassan (Pakistan), Fatima Mernissi (Maroko), Nawal El Saadawi (Mesir), Amina

    Wadud Muchsin (Amerika Serikat).43

    Adapun dalam lingkup Indonesia, antara

    lain; Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ratna Megawangi, Siti Musdah Mulia, Budi

    Munawar Rachman, dan Nasaruddin Umar. 44

    42

    Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer, 55-56. 43

    Budhy Munawar Rachman, “Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan

    Feminisme di Indonesia” dalam Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana

    Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 34. Pemikiran Fatima

    Mernissi yang cukup terkenal adalah mengenai “Islam dan Demokrasi”. Baca, Fatima Mernissi,

    Islam dan Demokrasi, Antologi Ketakutan, (terj. Amirudin Ar-Rany), (Yogyakarta: LKis, 2007).

    Adapun pemikiran yang terkenal dari Nawal El-Saadawi adalah mengenai “Perempuan dalam

    Budaya Patriarki”. Baca, Nawal El-Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki, (terj.

    Zulhilmiyasri), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). Pemikiran terkenal dari Amina Wadud

    Muhsin adalah “Perempuan dalam Islam” yang terdapat dalam bukunya Qur‟an and Woman.

    Adapun pemikiran Riffat Hasan yang terkenal adalah mengenai pentingnya dekonstruksi

    pemikiran teologis. http://digilib.uinsby.ac.id/882/6/Bab%202.pdf, diakses, Rabu, 22 Juni 2016. 44

    Andik Wahyun Muqoyyidin, Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam

    Kontemporer tentang Gerakan Feminisme Islam, Jurnal Al-Ulum (Jurnal studi-studi Islam) IAIN

    Gorontalo, Vol. 13 No. 2 (Desember 2013), 503-504. Pemikiran yang cukup terkenal dari Siti

    Ruhaini Dzuhayatin adalah “Pergulatan Pemikiran Feminis dalam Wacana Islam di Indonesia”;

    Budi Munawar Rachman: “Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan Feminisme”;

    Nasaruddin Umar: “Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat Gender”. Baca, Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar, 2002). Selanjutnya, pemikiran yang sangat terkenal dari Siti Musdah Mulia adalah “Islam

    Menggugat Poligami”. Baca, Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT.

    Gramedia Pustaka Utama, 2007) dan “Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia”. Lihat,

    Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam Negara & Demokrasi, 302. Adapun

    pemikiran dari Ratna Megawangi adalah “Membiarkan Berbeda”. Baca, Membiarkan Berbeda?:

    Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, (Bandung: Mizan, 1999).

    http://digilib.uinsby.ac.id/882/6/Bab%202.pdf

  • 34

    6. Feminis Kristen

    Selain lima jenis aliran feminis yang telah dipaparkan diatas, masih ada

    banyak jenis aliran feminis lainnya, satu diantaranya adalah feminis Kristen.

    Humm menyatakan bahwa teori feminis tentang kekristenan terbagi kedalam tiga

    kategori: mereka yang meragukan pandangan teologis tentang perempuan dan

    androsentrisitas teologi tradisional; mereka yang meragukan hukum teologis yang

    menghalangi perempuan dari pentahbisan; dan mereka yang mengevaluasi gereja

    sebagai institusi yang bertujuan untuk peningkatan status profesional perempuan

    dalam gereja.45

    Selanjutnya, dengan merujuk pada Daly, Humm menyatakan

    bahwa, dalam teolog feminis, hanya ada dua citra perempuan dalam gereja dan

    dalam sejarah Kristen, yaitu sebagai pendosa (Eva) dan sebagai perawan suci

    (Mary), yang dalam hal ini mewakili sikap “keibuan” dan ketaatan.46

    Dalam

    beberapa tahun terakhir, feminis dari gereja Kristen dalam konteks non-kulit putih

    dan dunia ketiga membuat kajian mendalam untuk membaca tradisi Kristen dari

    perspektif-perspektif yang berbeda.47

    Hingga saat ini, ada sederet nama terkenal dari feminis Kristen,

    diantaranya adalah: Jacquelyn Grant (dari lingkungan Afrika-Amerika), Maria

    Isasi-Diaz (Amerika-Hispanik), Mercy Amba Oduyoye (Nigeria) Kwok Puilan

    (Cina), dan Chung Hyun Kyung (Korea).48

    Dari pembahasan mengenai berbagai aliran feminisme di atas, terlihat

    bahwa keluarga sebagai institusi yang dibentuk melalui lembaga perkawinan

    45

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 59. 46 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 59. 47

    Sarah Gamble (ed.), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, (terj. Tim

    Penerjemah Jalasutra), (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 261. 48

    Gamble (ed.), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 261.

  • 35

    merupakan hal yang paling disorot dalam perjuangan para feminis. Menurut

    Humm, alasan mengapa feminis begitu peduli terhadap keluarga adalah bahwa

    selain diasumsikan sebagai sumber utama bagi penindasan perempuan, keluarga

    juga merupakan pewaris utama dan fokus kerja bagi perempuan serta sumber

    identitas perempuan yang paling mendasar, yakni sebagai ibu. Capaian paling

    berharga dari teori feminis tentang keluarga adalah bahwa keluarga sebagai unit

    alamiah telah direkonstruksi menjadi sebuah ideologi, sebagai nexus institusional

    yang memiliki makna sosial dan kultural serta relasi.49

    Selanjutnya, Humm

    mendeskripsikan keluarga sebagai unit patriarkis yang memperantarai struktural

    dan individual.50

    Sedangkan menurut Esposito, salah satu kecenderungan dari

    gerakan feminisme abad ke-20 adalah memperbaharui hukum keluarga.51

    Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa, selama ini, keluarga telah

    menjadi fokus kajian yang sangat penting di dalam gerakan feminisme. Hal ini

    karena keluarga telah dianggap sebagai unit patriarkis yang menjadi sumber

    utama bagi penindasan kaum perempuan. Untuk dapat mewujudkan keadilan

    jender di dalam keluarga, maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah

    diadakannya perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat

    melestarikan institusi keluarga yang patriarkat tersebut.

    49

    Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, 2007), 143. Dalam hal ini Maggie Humm

    mengutip Thorne dan Yalom (1982). 50

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 143.

    51 Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, 58.

  • 36

    2.3. Keadilan dalam Studi Jender.

    2.3.1. Pengertian Keadilan

    Keadilan berasal dari kata dasar “adil”. Dalam Kamus Besar Bahasa

    Indonesia (KBBI), adil diartikan tidak berat sebelah, berpihak kepada yang benar

    dan tidak sewenang-wenang. Keadilan berarti sifat (perbuatan, perlakuan) yang

    adil di dalam mempertahankan hak bagi masyarakat.52

    Konsep keadilan secara

    umum diartikan “memberikan sesuatu sesuai dengan haknya.” Keadilan dapat

    dibedakan menjadi dua macam yakni keadilan formal (keadilan hukum) dan

    keadilan material (keadilan substantif). Keadilan formal melibatkan standar

    keadilan prosedural yang diarahkan kepada fairness dan akurasi dalam penerapan

    aturan-aturan tersebut. Intinya, bahwa setiap orang harus diperlakukan

    berdasarkan aturan yang sama secara setara. Sementara itu, keadilan material

    sangat terkait dengan identifikasi kriteria distribusi (misalnya: hak, kewajiban,

    kebutuhan, atau pilihan), sebagai konsepsi keadilan yang saling bersaing.

    Keadilan material sering dikaitkan dengan keadilan sosial.53

    John Rawls berpendapat bahwa “keadilan adalah kebajikan utama dalam

    institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.54

    Adapun

    Faturochman, menyatakan bahwa keadilan merupakan suatu situasi sosial ketika

    norma-norma tentang hak dan kelayakan dipenuhi.55

    Selanjutnya, Messakh,

    menyatakan bahwa keadilan merupakan fenomena sosiologis. Keadilan sebagai

    52

    Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

    Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 6-7 53

    William Outhwaite, (ed.), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, 417. 54

    John Rawls, Teori Keadilan: Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan

    Sosial dalam Negara, (terj.Uzair Fauzan & Heru Prasetyo), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),

    3. 55

    Faturochman, Keadilan Perspektif Psikologis, (Yogyakarta: Unit Publikasi Fak.

    Psikologi UGM dan Pustaka Pelajar, 2012), 20.

  • 37

    nilai moralitas sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Keadilan

    berfungsi sebagai nilai yang mengatur relasi antar individu dalam masyarakat agar

    kerja sama yang terjalin dapat bermanfaat secara maksimal bagi kepentingan

    individual dan sekaligus bagi kepentingan bersama. Nilai keadilan diwujudkan

    dalam hak dan kewajiban yang harus dimiliki dan dilaksanakan oleh setiap

    anggota masyarakat.56

    Berbicara mengenai konsep “keadilan”, tentu tidak terlepas dari konsep

    “keadilan sosial”. Keadilan sosial dalam KBBI diartikan sebagai “kerjasama

    untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organik sehingga setiap

    anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh

    dan belajar hidup pada kemampuan aslinya.”57

    Sedangkan dalam Ensiklopedi

    Indonesia, keadilan sosial memiliki makna sebagai dasar tata kehidupan

    bermasyarakat yang memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mencapai

    keadilan bagi setiap anggota masyarakat. Keadilan sosial mencakup semua segi

    keadilan, yakni komutatif (keadilan dalam perjanjian/tukar-menukar), distributif

    (keadilan dalam pembagian jasa, sumbangan, tugas dan pengorbanan), dan

    keadilan legal (keadilan dalam tuntutan ketaatan maupun perlakuan yang sama di

    depan undang-undang/hukum). Untuk dapat mewujudkan suatu keadilan sosial,

    masyarakat diwajibkan mempunyai atau membentuk tata cara, proses kehidupan

    56

    Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Satya Wacana

    University Press, 2007), 9-10. 57

    Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar

    Bahasa Indonesia (KBBI), 6-7.

  • 38

    atau mekanisme-mekanisme sosial, yang memungkinkan hak-hak dasar warga

    negara terjamin dan terlaksana secara wajar.58

    Dari beberapa pengertian tentang konsep keadilan diatas, dapat

    disimpulkan bahwa keadilan merupakan norma/nilai moral tentang pengaturan

    pembagian hak dan kewajiban yang layak diterima dan dilaksanakan secara

    seimbang baik oleh individu/kelompok sebagai anggota institusi/masyarakat

    dalam suatu sistem. Adapun ketidakadilan merupakan sebuah fenomena yang

    ditimbulkan akibat sistem pembagian yang timpang.

    Keadilan merupakan hal yang paling disorot dalam studi jender. Terkait

    hal tersebut, Lapian menyatakan bahwa studi feminis lahir dalam rangka

    memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang tertindas.59

    Adapun Stevi

    Jackson dan Jackie Jones menyatakan bahwa teori feminis berusaha menganalisis

    pelbagai kondisi termasuk didalamnya budaya yang telah membentuk kehidupan

    kaum perempuan. Pentingnya mempertanyakan ketidaksetaraan antara laki-laki

    dan perempuan, berawal dari pandangan kaum feminis yang menolak anggapan

    bahwa ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan bersifat alamiah dan tak

    terelakkan.60

    Pembahasan mengenai keadilan di dalam studi jender, dikemas dengan

    istilah “kesetaraan/keadilan jender”. Keadilan jender adalah perlakuan adil yang

    diberikan baik kepada perempuan maupun laki-laki. Adapun ketidakadilan jender

    adalah proses marginalisasi dan pemiskinan khususnya bagi kaum perempuan.

    58

    Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, tt), 1701.

    59 L.M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan

    Gender, 226. 60

    Stevi Jackson dan Jackie Jones, (ed.), Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer,

    (terj. Tim Penerjemah Jalasutra), (Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2009), 1.

  • 39

    Ketidakadilan jender dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain; kebijakan

    pemerintah, keyakinan tradisi, tafsir agama, kebiasaan dan asumsi ilmu

    pengetahuan.61

    Ketidakadilan jender termanifestasi dalam beberapa bentuk, yakni;

    marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, stereotipe, dan beban kerja.62

    Ketidakadilan jender dapat terjadi pada berbagai tingkatan dalam

    kehidupan bermasyarakat, yakni:

    1) Pada tingkat negara. Adanya kebijakan dan hukum negara, perundang-

    undangan serta program kegiatan yang masih mencerminkan sebagian dari

    wujud ketidakadilan jender.

    2) Pada tempat kerja, organisasi, dan dunia pendidikan. Banyak aturan kerja,

    manajemen, kebijakan keorganisasian, dan kurikulum pendidikan yang

    masih melanggengkan ketidakadilan jender.

    3) Dalam adat istiadat, kultur dan penafsiran keagamaan juga banyak

    melahirkan ketidakadilan jender.

    4) Dalam Lingkungan rumahtangga. Hal ini dapat dilihat dari proses

    pengambilan keputusan, pembagian kerja, hingga interaksi antar anggota

    keluarga.

    5) Ideologi yang berisikan ketidakadilan jender yang telah mengakar dalam

    masyarakat.63

    61

    Tafsir Al-Qur‟an Tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan, (Jakarta: Lajnah

    Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 1-2. 62

    Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 12-13, 72-76. Lihat juga Riant

    Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

    2011), 17-18, Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer,

    41-42. 63

    Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar, 2011), 17-18.

  • 40

    2.3.2. Prinsip-prinsip Keadilan

    Untuk menetapkan standar keadilan, bukanlah hal yang mudah. Ini

    disebabkan karena standar keadilan selalu terkait erat dengan pemahaman dan

    ekspektasi yang berlaku pada masyarakat tertentu. Dengan merujuk pada teori

    “komunitarian”, Walzer berpendapat bahwa kriteria keadilan akan tergantung

    pada “ruang” distribusi, sehingga antara keadilan politik dan ekonomi juga akan

    berbeda pula.64

    Meski bukan hal yang mudah, namun teori keadilan kontemporer

    John Rawls telah berupaya mengkombinasikan sejumlah kriteria keadilan material

    menjadi dua prinsip keadilan yang sangat terkenal, yakni: Pertama, setiap orang

    punya hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan mendasar dengan sistem

    kebebasan yang serupa. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti ditata

    sedemikian rupa sehingga keduanya: (a) memberi manfaat terbesar bagi yang

    paling kurang diuntungkan; dan (b) dikaitkan dengan posisi yang terbuka untuk

    semua orang di dalam kondisi kesempatan yang setara.65

    Prinsip keadilan Rawls

    ini, kemudian dikenal dengan istilah “justice as fairness”.

    2.4. Konsep Keadilan Dalam Alquran

    2.4.1. Keadilan dalam Alquran.

    Dalam Tafsir Al-Qur‟an Tematik, dinyatakan bahwa keadilan berasal dari

    kata dasar “adil” yang diserap dari kata berbahasa Arab „adl. Secara literal, kata

    „adl adalah bentuk masdar (kata jadian) dari kata kerja „adala – ya‟dilu – adlan –

    wa „udulan – wa „adalatan. Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf „ain, dal, dan

    lam, yang makna pokoknya adalah al-istiwa‟ (posisi lurus) dan al-i‟wijaj (posisi

    64

    Mengenai kriteria keadilan ini, lihat William Outhwaite (ed.), Ensiklopedi Pemikiran

    Sosial Modern, (Jakarta: Kencana, 2008), 418. 65

    Outhwaite (ed.), Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern, 418.

  • 41

    bengkok). Rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang bertolak

    belakang, yakni “lurus” atau “sama,” dan “bengkok” atau “berbeda.” Makna

    pertama dari kata „adl adalah “menetapkan hukum dengan benar.” Orang yang

    „adl adalah dia yang berjalan lurus, dan sikapnya selalu menggunakan standar

    yang sama. Orang yang „adl selalu berpihak pada kebenaran dan tidak berbuat

    sewenang-wenang. Dalam makna „adl, pihak yang benar dan yang salah sama-

    sama harus memperoleh haknya.66

    Kata „adl dan derivatnya di dalam Alquran terulang sebanyak 28 kali. Kata

    „adl dalam bentuk aslinya disebutkan sebanyak 13 kali, yakni pada surah al-

    Baqarah/2: 48, 123, dan 282 (dua kali), an-Nisa‟/4: 58, al-Ma‟idah/5: 95 (dua kali)

    dan 106, al-An‟am/6: 70, an-Nahl/16: 76 dan 90, al-Hujurat/49: 9, serta at-

    Talaq/65: 2.67

    Kata „adl, memiliki beberapa definisi, diantaranya; “memberi pembagian

    yang sama (al-Asfahani); “sikap proporsional yang tidak berlebihan (ifrat) dan

    tidak kekurangan (tafrit) (al-Jurjani); “menyampaikan hak kepada pemiliknya

    secara efektif (al-Maraghi).68

    2.4.2. Aspek, Objek dan Subjek Keadilan dalam Alquran

    Keadilan didalam Alquran, selain disebut dengan terma „adl, juga disebut

    dengan terma al-qist dan al-mizan. Ketiga terma tersebut, selanjutnya

    mengarahkan keadilan kepada aspek, objek dan subjek yang cukup beragam.

    Dalam Tafsir Al-Qur‟an Tematik, tepatnya dalam hal ini didasarkan pada

    66

    Muchlis M. Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik: Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Departemen RI, 2010), 2-3.

    67 Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 3

    68 Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 3.

  • 42

    penelitian M. Quraish Shihab, disebutkan bahwa sedikitnya ada empat makna

    berbeda dari kata „adl, sebagai berikut;

    1) „adl berarti “sama.” „adl dalam pengertian ini terdapat pada beberapa

    surah di dalam Alquran, antara lain: an-Nisa‟/4: 3, 58, 129; asy-Syura/42:

    15; al-Ma‟idah/5: 8, an-Nahl/16: 76, 90 dan al-Hujurat/49: 9. Makna kata

    „adl pada ayat-ayat tersebut menunjuk pada persamaan dalam persoalan

    hak, termasuk didalamnya mencakup sikap dan perlakuan hakim ketika

    proses pengambilan keputusan berjalan.

    2) „adl berarti “seimbang”. Arti ini ditemukan dalam surah al-Maidah/5:95

    dan al-Infitar/82:7. Keadilan dalam pengertian “keseimbangan” ini

    mengarah pada sebuah keyakinan bahwa Allah itu Maha Bijaksana dan

    Maha Mengetahui. Allah telah menciptakan serta mengelola segala

    sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu. Keyakinan ini

    selanjutnya mengantarkan kepada pengertian keadilan Ilahi.

    3) „adl berarti “perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu

    kepada setiap pemiliknya.” Pengertian ini kemudian didefinisikan dengan

    “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya

    melalui jalan yang terdekat.” Pengertian ini pada tahap selanjutnya

    melahirkan konsep mengenai “keadilan sosial”.

    4) „adl dalam arti “yang dinisbahkan kepada Allah”. Makna ini sebagaimana

    terdapat pada kandungan surah Ali Imran/3:18, yang menunjukkan Allah

    swt sebagai qa‟iman bil-qist (Yang menegakkan keadilan).69

    69

    Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 3-5.

  • 43

    Selanjutnya beralih pada terma al-qist dan al-mizan. Kata al-qist

    mengandung arti “bagian” yang wajar dan patut. Disini, pengertian sama, tidak

    harus persis sama, tetapi dapat berbeda bentuk asal substansinya sama. Sedangkan

    kata al-mizan mengandung arti seimbang atau timbangan, merujuk pengertian

    bahwa keadilan itu mendatangkan harmoni karena segala sesuatu diperlakukan

    atau ditempatkan sesuai dengan semestinya. Sebagai contoh disini adalah alam

    tata surya, diciptakan Tuhan dengan prinsip keseimbangan (ar-Rahman/55: 7).70

    Kata al-qist beserta derivatnya disebutkan dalam Alquran sebanyak 25

    kali. Ada yang mengikuti pola fa‟ala, seperti al-qist dan al-qistun; dan ada pula

    yang mengikuti pola af„ala, seperti aqsata, aqsatu, al-muqsitun, atau al-muqsitin.

    Semua berarti “adil, berlaku adil, atau orang-orang yang adil,” kecuali bentuk al-

    qasitun (al-Jin/72: 14-15) yang berarti “menyimpang dari kebenaran.”71

    Menurut Al-Qur‟an Tematik, dalam hal ini menyitir Ibnu „Asyur, bahwa

    kata al-qist, sebenarnya berasal dari kata non-Arab yang mengalami proses

    arabisasi untuk menunjukkan arti adil dalam putusan (qada‟) dan hukum.72

    Sementara itu, term al-mizan digunakan untuk menunjukkan sikap adil, namun

    penekanannya lebih pada keseimbangan, tidak berlebihan, tidak memihak pada

    salah satu pihak. Hal yang menarik disini adalah bahwa kesimbangan sebagai

    refleksi sikap keadilan dikaitkan dengan alam raya.73

    Dari bahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa, aspek adil dalam Alquran

    meliputi: Persamaan kedudukan di dalam hukum; Keseimbangan alam; dan Hak

    70

    Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 6. 71

    Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 166. 72

    Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 167. 73

    Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 175.

  • 44

    individu dalam keadilan sosial. Objek keadilan meliputi: Keadilan Hukum,

    Keadilan Ilahi, dan Keadilan Sosial. Adapun, subjek/pelaku dari keadilan adalah

    Allah swt (sebagai pelaku keadilan yang sempurna) dan manusia selaku umatNya

    yang merupakan khalifah di muka bumi.

    2.4.3. Prinsip-prinsip Keadilan dalam Alquran.

    Sebagaimana teori-teori keadilan pada umumnya, prinsip-prinsip keadilan

    juga disebutkan dengan jelas di dalam Alquran. Tafsir Al-Qur‟an Tematik

    menyatakan bahwa keadilan dalam Alquran memiliki dua prinsip utama, yakni:

    1) al-Musawah dan at-Taswiyah (Prinsip Persamaan Hak).

    Prinsip al-musawah berarti memperlakukan semua pihak secara sejajar

    didepan hukum atau peradilan. Adapun prinsip at-taswiyah, yaitu upaya

    menyamakan antara hak satu dengan hak yang lain. Itu hanya bisa ditempuh

    dengan mengambil sesuatu dari tangan orang yang tidak berhak, dan

    mengembalikannya kepada yang berhak.74

    Q.S. An-Nisa‟/4:1 adalah landasan

    ideal bagi prinsip taswiyah. Bahwa setiap manusia, apapun latar belakangnya,

    berasal dari asal yang satu. Karena itu, tidak boleh seorang merasa berhak

    diprioritaskan mengalahkan yang lain. Persamaan hak sebagai salah satu prinsip

    keadilan terkait dengan banyak hal, sebagian di antaranya dianggap paling

    mendasar, seperti hak setiap orang untuk mendapat perlakuan wajar dalam

    pergaulan sosial, posisi yang setara di depan hukum dan peradilan, pendidikan

    74

    Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 176-177.

  • 45

    yang baik, pelayanan kesehatan yang memadai, kesempatan bekerja secara wajar

    dan bermartabat untuk memperoleh kehidupan yang layak.75

    2) Proporsional.

    Proporsional berarti meletakkan sesuatu pada posisi yang sesuai dengan

    proporsinya atau memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.

    Dengan demikian, yang menjadi titik tekan pada kata adil adalah unsur

    proporsionalnya, bukan unsur kesamaan. Dalam hal ini, adil merupakan antonim

    dari zalim, yang didefinisikan sebagai “meletakkan sesuatu pada posisi yang tidak

    sesuai dengan proporsinya.”76

    2.5. Jender dalam Perspektif Alquran

    Kata “jender” berbeda dari kata jenis kelamin (sex). Jender diartikan

    sebagai kelompok karakter yang melekat pada laki-laki dan perempuan sebagai

    hasil konstruksi budaya masyarakat. Sedangkan jenis kelamin menunjuk kepada

    kondisi biologis seseorang dimana laki-laki dan perempuan dapat dibedakan dari

    anatominya.77

    Adapun perspektif, diartikan sebagai: pandangan, sudut pandang.78

    Dengan mengacu pada kedua pengertian tersebut, jender dalam perspektif

    Alquran yang dimaksud disini adalah perbedaan laki-laki dan perempuan ditinjau

    dari sudut pandang Alquran.

    Kata yang sepadan dengan istilah “jender” tidak ditemukan di dalam

    Alquran. Namun demikian, bukan berarti bahwa Alquran tidak membahas

    masalah jender didalamnya. Sejumlah istilah yang terkait dengan konsep jender,

    75

    Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 178. 76

    Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 182. 77

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 177, 421. 78

    http://kbbi.web.id/perspektif, diakses pada Rabu tanggal 30 Maret 2016 pukul 14.45

    WIB.

    http://kbbi.web.id/perspektif

  • 46

    seperti misalanya: perbedaan fungsi, peran, dan relasi antara laki-laki dan

    perempuan, dapat ditemukan dalam Alquran. Istilah-istilah yang digunakan

    terhadap laki-laki dan perempuan, seperti: al-rajul/al-rijal dan al-mar‟ah/al-nisa‟

    serta al-dzakar dan al-untsa dapat dijadikan sebagai obyek penelusuran terkait

    jender di dalam Alquran. 79

    Senada dengan hal tersebut, Umar berpendapat bahwa identitas jender

    dapat dipahami melalui simbol dan bentuk jender yang digunakan di dalam

    Alquran. Istilah-istilah jender dapat diidentifikasi dengan hal-hal sebagai berikut:

    1. Istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan perempuan. Misalnya al-rijal

    (bentuk jamak dari kata al-rajul yang berarti laki-laki) dan al-nisa (bentuk

    jamak dari kata al-mar‟ah yang berarti perempuan dewasa).

    2. Gelar status yang berhubungan dengan jenis kelamin. Misal: Suami (al-

    zawj) dan isteri (al-zawjah); Ayah (al-„Ab) dan Ibu (al-„Umm); Anak laki-

    laki (al-Ibn) dan anak perempuan (al-Bint).

    3. Kata ganti (pronoun/dlamir) yang berhubungan dengan jenis kelamin.

    Misal: Kata ganti orang pertama: saya (ana) dan kami (nahnu); Kata ganti

    orang kedua: seorang laki-laki disebut dengan anta, dua orang laki-laki

    disebut dengan antum; Kata ganti orang ketiga tunggal laki-laki (huwa)

    dan kata ganti untuk orang ketiga untuk orang lebih dari satu (huma).

    4. Kata sifat disandarkan kepada bentuk mudzakkar dan mu‟annats.

    Misalnya: orang muslim laki-laki (muslimun) dan orang muslim

    79

    Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama: Tafsir Sosial Fenomena Multi-Religius Kontemporer,

    (Malang: UIN Malang Press, 2006), 50.

  • 47

    perempuan (muslimat); orang mukmin laki-laki (mu‟minun) dan orang

    mukmin perempuan (mu‟minat).80

    Prinsip-prinsip mengenai kesetaraan jender juga dapat ditemukan di dalam

    sejumlah ayat di dalam Alquran. Terkait hal ini, Nasaruddin Umar telah mengkaji

    ayat-ayat yang berisi tentang kesetaraan jender di dalam penelitiannya. Dalam hal

    ini, Umar menggunakan variabel-variabel persamaan laki-laki dan perempuan

    dalam hal: sebagai Hamba Allah; sebagai Khalifah di bumi; potensi meraih

    prestasi; serta Keterlibatan Adam dan Hawa (sebagai simbol laki-laki dan

    perempuan) dalam Drama Kosmis. Kesimpulan dari penelitian tersebut, adalah

    bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan variabel-variabel tersebut telah

    mengisyaratkan adanya konsep kesetaraan jender yang ideal, dimana prestasi

    individual baik dalam urusan spiritual maupun urusan karier profesional tidak

    dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Kedua jenis kelamin memperoleh

    kesempatan yang sama untuk meraih prestasi optimal. Meski terdapat konsep

    yang ideal tersebut, namun pada kenyataannya akan terlihat berbeda di

    masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya kendala budaya yang ada pada

    masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu konsep ideal kesetaraan jender dalam

    Alquran masih harus melalui tahapan dan sosialisasi.81

    2.6. Pentingnya Analisis Jender dalam Pembahasan Tafsir Keadilan.

    Dalam pandangan Fakih, pada dasarnya inti ajaran setiap agama adalah

    penegakkan prinsip keadilan. Dalam Islam, Alquran berisikan prinsip-prinsip

    80

    Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur‟an, (Jakarta: Dian

    Rakyat, 2010), 127-183. 81

    Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur‟an, 229-246.

  • 48

    dasar yang menganjurkan penegakkan keadilan, baik di bidang ekonomi, politik,

    kultural termasuk didalamnya adalah keadilan jender.

    Untuk dapat memahami dan menganalisis tentang apa yang dianggap adil

    dan tidak adil serta untuk mengetahui bagaimana mekanisme ketidakadilan yang

    menjadi prinsip dasar agama, maka dibutuhkan sebuah pisau analisis dengan

    meminjam analisis ilmu lain seperti ilmu-ilmu sosial maupun politik-ekonomi.82

    Terkait hal tersebut, Fakih juga menjelaskan, bahwa di dalam Alquran

    terdapat dalil qoth‟iy dan dalil dhanny. Dalil qoth‟iy (qoth‟iyul dalalah) adalah

    dalil yang bersifat mutlak dan tidak bisa ditafsirkan dari satu pengertian. Adapun

    dalil dhanny (dhanniyul dalalah) adalah dalil yang berisi ayat-ayat Alquran yang

    dapat menimbulkan penafsiran. Untuk mendapatkan pemahaman pada dalil

    dhanny inilah, pisau analisis seperti analisis jender bisa digunakan. Dengan

    meminjam pisau analisis jender, maka pemahaman atau tafsiran terhadap ajaran

    keadilan akan sesuai dengan realitas sosial yang ada. Dengan demikian, prinsip

    keadilan yang menjadi inti dasar ajaran Islam akan tetap bisa relevan sepanjang

    zaman.83

    Pemahaman terhadap paradigma di balik gerakan dan teori feminisme

    juga menjadi sangat diperlukan ketika sebuah analisis jender hendak dilakukan.84

    Dari pandangan Fakih tersebut, dapat disimpulkan, bahwa prinsip keadilan

    adalah inti dasar dari ajaran Islam. Agar sesuai dengan realitas sosial yang ada,

    maka penafsiran terhadap ajaran keadilan harus dilakukan dengan meminjam

    analisis ilmu lain. Untuk dapat menganalisis sebuah tafsir agama tentang keadilan

    jender, maka analisis jender menjadi sangat diperlukan sebagai pisau analisisnya.

    82 Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 135.

    83

    Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 136.

    84 Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 78.

  • 49

    2.7. Keadilan dalam Masyarakat Patriarkat

    Patriarki adalah sistem sosial dimana kaum perempuan mengalami

    dominasi, penindasan dan eksploitasi dari kaum laki-laki.85

    Patriarki merupakan

    suatu sistem otoritas laki-laki dimana didalamnya perempuan mengalami

    penindasan melalui berbagai institusi, baik sosial, politik maupun ekonomi.86

    Dalam bentuk historis masyarakat patriarkis, baik feodal, kapitalis maupun

    sosialis, sebuah sistem berdasarkan jender dan jenis kelamin beserta diskriminasi

    ekonomi beroperasi secara simultan. Pada sistem patriarki, akses laki-laki

    memiliki kekuatan lebih besar dibanding perempuan terhadap, bahkan menjadi

    mediasi dari, sumber daya yang ada dan ganjaran.87

    Penindasan perempuan,

    eksploitasi dan tekanan sosial merupakan bagian integral dari sistem politik,

    ekonomi dan budaya yang terjadi baik pada masyarakat feodal yang terbelakang,

    maupun masyarakat industri modern di hampir seluruh dunia.88

    Bagi feminisme kontemporer, konsep patriarki sangat diperlukan sebagai

    istilah untuk mengekspresikan totalitas relasi yang menindas dan mengeksploitasi

    kaum perempuan. Setiap teori feminis menemukan bahwa patriarki memunculkan

    gaya yang beragam dalam melakukan subordinasi terhadap perempuan. Humm,

    menyatakan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan merupakan akibat dari

    sistem jender-seks. Humm mendefinisikan patriarki sebagai bentuk kontrol laki-

    laki terhadap reproduksi perempuan.89

    Bagi feminis Sosialis atau Marxis, patriarki

    85

    Outhwaite (ed.), Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern, 602. 86

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 332. 87

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 332. 88

    Lihat Pengantar Penulis Nawal El-Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki,

    (terj. Zulhimiyasri), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), v. 89

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 332-333.

  • 50

    ditempatkan dalam konteks materialis. Menurut mereka, model produksi kapitalis

    dibentuk oleh pembagian kerja secara seksual yang patriarkis. Sementara itu,

    feminis Radikal menyamakan patriarki dengan dominasi laki-laki. Mereka

    beranggapan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan atas kelas perempuan karena

    perempuan secara seksual lebih rendah nilainya daripada laki-laki.90

    Sementara itu, terkait dengan nilai-nilai patriarki dalam hukum agama,

    Engineer menyatakan bahwa, masyarakat tradisional adalah patriarkis, dan

    masyarakat modern telah mewarisi nilai-nilai patriarkis tersebut. Patriarki adalah

    penghalang terbesar bagi terwujudnya keadilan jender. Dalam perihal hukum

    agama, tidak jarang nilai-nilai patriarkis dibentuk dan dilegitimasi dengan

    menggunakan kitab-kitab keagamaan sehingga terbentuk anggapan bahwa hukum

    agama tersebut bersifat ilahiah, suci dan tidak dapat diubah.91

    Terkait dengan

    dominasi kaum laki-laki dalam hal penafsiran teks kitab suci, Hasan menyatakan,

    bahwa sejumlah faktor historis menunjukkan bahwa dominasi kaum laki-laki

    dalam penafsiran teks-teks suci agama Islam telah terjadi sejak periode klasik

    Islam. Hal tersebut selanjutnya berdampak pada peminggiran pengalaman

    perempuan dalam penafsiran teologi.92

    Untuk terciptanya kemerdekaan sejati bagi perempuan di seluruh dunia,

    maka salah satu cara yang harus ditempuh adalah dihapuskannya sistem patriarkat

    beserta nilai-nilainya. Berikut kutipan lengkap dari Nawal el-Saadawi:

    “Kemerdekaan wanita yang sejati dan utuh, baik di negara-negara Arab, di Barat atau di

    Timur Jauh, hanya terwujud bila kemanusiaan mengenyahkan masyarakat kelas dan

    90

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 333-334. 91

    Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKis, 2007), 4. 92

    Hamka Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir,

    (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 218.

  • 51

    eksploitasi selama-lamanya, dan bila sistem patriarkat berikut nilai-nilainya, struktur dan

    bekas-bekasnya dihapus dari kehidupan dan pikiran masyarakat. dengan kata lain, wanita

    hanya bisa benar-benar merdeka dibawah sistem masyarakat sosialis bila kelas-kelas

    sosial dihapuskan dan, lebih jauh lagi, bila sistem, konsep dan hukum patriarkalisme

    benar-benar dihapus.”93

    Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keadilan jender

    merupakan perihal yang sangat sulit untuk diwujudkan dalam masyarakat

    patriarkat. Hal ini karena perempuan masih saja ditempatkan sebagai kelas yang

    lebih rendah dibanding laki-laki. Perempuan terus mengalami penindasan melalui

    berbagai institusi, baik: sosial, politik, hukum, ekonomi, dan bahkan juga agama.

    2.8. Teori Keadilan Jender Susan Moller Okin

    Pada sub bab ini, akan dibahas mengenai Teori Keadilan Humanis

    Berbasis Jender yang dikembangkan oleh Susan Moller Okin (1946-2004).94

    Pembahasan diawali dengan biografi Okin, dilanjutkan dengan konteks yang

    melatarbelakangi pemikiran Okin tentang teori keadilan jender. Setelah itu

    dilanjutkan dengan mengulas beberapa bagian penting dari buku Justice, Gender

    and The Family, sebuah buku karangan Okin yang didalamnya memuat teori

    keadilan jender tersebut. Ada beberapa sub topik yang dibahas di sini,

    diantaranya: Keadilan dan Gender; Keluarga: Di Luar Jangkauan Keadilan;

    Tradisi dan Pemahaman Bersama yang dipertanyakan Okin; Pandangan Okin

    terkait Justice as Fairness; Ruang Lingkup Keadilan: Menentang Dikotomik

    Publik/Domestik; Kerentanan oleh Pernikahan; dan Menuju Keadilan Humanis.

    93

    Nawal El-Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriark, (terj. Zulhimiyasri),

    (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 365. 94

    Susan Moller Okin adalah seorang ahli filsuf Barat dan sekaligus seorang feminis

    Liberal yang mengembangkan sebuah teori keadilan humanis berbasis jender. Untuk selanjutnya di

    dalam tesis ini disebut dengan nama Okin. Adapun untuk teori keadilan humanis berbasis jender,

    selanjutnya dipersingkat menjadi teori keadilan jender.

  • 52

    Pembahasan berikutnya adalah Inti Kritik Susan Moller Okin, Kelebihan dan

    Kekurangan Teori Keadilan Jender Okin, dan diakhiri dengan Kesimpulan.

    2.8.1. Biografi Susan Moller Okin (1946-2004)

    Susan Moller Okin atau lebih dikenal dengan sebutan Okin, lahir pada

    tanggal 19 Juli 1946.95

    Okin lahir di Aucklan, Selandia Baru. Dia adalah seorang

    ahli filsuf politik ternama yang juga berkonsentrasi pada masalah jender dan

    keluarga. Terkait pendidikannya, Okin berhasil menyelesaikan gelar sarjana pada

    University of Aucklan (1967), gelar master filsafat pada Oxford (1970), dan gelar

    doktor pada Harvard (1975). Sebelum bergabung dengan fakultas di Stanford,

    Okin telah mengajar di berbagai universitas seperti: Universitas Auckland,

    Vassar, Brandeis, dan Harvard. Selain kesibukannya mengajar, Okin juga

    dipercaya menjadi direktur Program Etika Masyarakat (1993-1996).

    Selama karirnya, Okin menerima banyak penghargaan, diantaranya: “The

    American Political Science Association‟s Victoria Schuck Prize” untuk buku

    terbaik tentang perempuan dan politik Justice, Gender and The Family (1989),

    dan “Allan V. Cox Medal” untuk keunggulan fakultas dalam pembinaan

    penelitian tingkat sarjana pada tahun 2002.96

    Pada tahun 2000 Okin juga

    memperoleh penghargaan Radcliffe “Graduate Society Medal” sebagai alumni

    Harvard yang membuat kontribusi luar biasa di dalam bidangnya.97

    95

    http://www.theguardian.com/news/2004/mar/26/guardianobituaries.highereducation,

    diakses pada Kamis, 10 Maret 2016. 96 http://news.stanford.edu/news/2004/march10/obitokin-310.html, diakses pada Rabu, 2

    Maret 2016. 97

    http://oasis.lib.harvard.edu/oasis/deliver/~sch01405, diakses pada Senin, 29 Pebruari

    2016.

    http://www.theguardian.com/news/2004/mar/26/guardianobituaries.highereducationhttp://news.stanford.edu/news/2004/march10/obitokin-310.htmlhttp://oasis.lib.harvard.edu/oasis/deliver/~sch01405

  • 53

    Okin meninggal pada tanggal 3 Maret 2004 dalam usia 57 tahun. Hingga

    saat ini, penyebab kematian Okin masih belum dapat dipastikan. Okin

    meninggalkan seorang puteri bernama Laura Moller Okin (Boston) dan seorang

    putera bernama Justin Moller Okin (New York) serta dua saudara perempuannya:

    Catherine Pitt (Notingham, Inggris) dan Janice Mei (Aucklan, Selandia Baru).

    Pernikahannya dengan Bob Okin dari Los Altos berakhir dengan perceraian.98

    2.8.2. Konteks yang melatarbelakangi Pemikiran Susan Moller Okin

    Teori keadilan jender Okin yang diangkat dalam tesis ini, terdapat dalam

    buku karangan Okin yang berjudul Justice, Gender and The Family (1989).

    Terkait dengan konteks yang melatarbelakangi pemikirannya, Okin di dalam

    pengantar bukunya menyebutkan, bahwa ada tiga faktor utama yang telah

    mendorongnya untuk menulis karya tersebut, yakni: pertama, beberapa teori

    feminis telah terjatuh ke dalam perangkap akademik sehingga kemudian menjadi

    sulit untuk dipahami, bahkan sekalipun oleh sebagian besar kaum yang

    berpendidikan. Kedua, iklim politik Amerika Serikat tahun 1980-an telah

    berdampak pada lemahnya perjuangan menuju kesetaraan perempuan. Ketiga,

    pengalaman kehidupan pribadi Susan Moller Okin, baik sebagai ahli teori politik

    maupun sebagai orang tua tunggal bagi anak-anaknya.99

    Terkait dengan ketiga faktor tersebut, disini peneliti hanya membahas

    faktor yang pertama dan kedua, yakni mengenai kejatuhan teori feminis ke dalam

    perangkap akademik dan situasi politik Amerika yang mendorong Okin dalam

    menulis karyanya tersebut. Kedua faktor tersebut dibahas peneliti dalam satu

    98

    http://news.stanford.edu/news/2004/march10/obitokin-310.html, diakses pada Rabu, 2

    Maret 2016. 99

    Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, (USA: Chicago Press, 1989), vii.

    http://news.stanford.edu/news/2004/march10/obitokin-310.html

  • 54

    rangkaian yang tak terpisahkan karena keduanya memang saling bersangkutan

    satu dengan lainnya.

    Valerie Sanders dalam Gamble (ed.,) menyatakan bahwa aktivisme

    feminis Amerika telah dimulai pada saat menjelang diadakannya konvensi Seneca

    Falls tahun 1848, yakni sebuah pertemuan yang memiliki agenda untuk menuntut

    penghentian seluruh diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Pertemuan tersebut

    dihadiri oleh 300 orang, termasuk didalamnya adalah 40 laki-laki. Penganjur

    utama dari Seneca Falls adalah Elizabeth Cady Stanton (1815-1902) dan Lucretia

    Mott. Dalam perjuangan tersebut, mereka menggunakan Deklarasi Kemerdekaan

    (Declaration of Independence) tahun 1776 sebagai model untuk Declaration of

    Sentiment, yakni sebuah Deklarasi Pernyataan Sikap yang dihasilkan pada

    konvensi tersebut.100

    Selain Deklarasi Pernyataan Sikap (Declaration of

    Sentiments), dalam Seneca Falls, New York, juga dihasilkan dua belas resolusi.

    Deklarasi Pernyataan Sikap menekankan isu yang telah dicanangkan oleh Mill

    dan Tylor di Inggris, terutama kebutuhan untuk mereformasi hukum perkawinan,

    perceraian, hak milik, dan pengasuhan anak. Adapun dua belas resolusi

    menekankan hak-hak perempuan untuk mengutarakan pendapatnya didepan

    umum. Satu-satunya dari resolusi Seneca Falls yang tidak didukung secara penuh

    adalah resolusi dari Susan B. Anthony mengenai resolusi atas hak pilih.101

    100

    Valerie Sanders, “Gerakan Feminis Gelombang Pertama”, dalam Pengantar memahami Feminisme dan Postfeminisme, (Sarah Gamble ed., terj. Tim Penerjemah Jalasutra),

    (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 29. Di sini, Elizabeth Cady Stanton disebut Sander sebagai tokoh

    feminis Amerika yang paling berpengaruh dalam kampanye untuk perubahan hukum perceraian,

    hak-hak kekayaan perempuan yang sudah menikah, dan hak bersuara. 101

    Tong, Feminist Thought, 31.

  • 55

    Mengingat begitu mendesaknya hak-hak perempuan untuk diperjuangkan,

    maka pada tahun 1886, Konvensi hak-hak Perempuan Nasional memutuskan

    untuk membentuk Equal Right Association (Asosiasi Kesetaraan hak). Dibawah

    kepemimpinan Frederick Douglass dan Elizabeth Cady Stanton, asosiasi ini

    mengumumkan tujuan organisasinya, yakni penyatuan perjuangan (laki-laki) kulit

    hitam dan perempuan dalam memperoleh hak pilih. Namun dalam perkembangan

    selanjutnya, muncullah tanda-tanda, bahwa asosiasi ini akan mendukung bagian

    dari Amandemen Kelima Belas, yakni memberikan hak pilih bagi laki-laki kulit

    hitam, tetapi tidak bagi perempuan. Karena hal tersebut, Anthony dan Stanton

    mengajukan pendapat bagi pembubaran Equal Right Association.

    Setelah keluar dari Equal Right Association, Anthony dan Stanton

    membentuk National Woman Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih

    Perempuan Nasional). Adapun, Lucy Stone, seseorang yang memiliki perbedaan

    filosofis dengan Stanton, dan terutama dengan Anthony mengenai peran agama

    yang terorganisir dalam opesi terhadap perempuan, mendirikan American Woman

    Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Amerika). Sejak

    saat itu, gerakan hak-hak perempuan di Amerika Serikat terpecah menjadi dua.

    National Woman Suffrage Association memiliki agenda feminis yang revolusioner

    dan radikal, sementara itu American Woman Suffrage Association mengusung

    agenda feminis yang reformis dan liberal.

    Pada tahun 1890, kedua asosiasi tersebut melebur menjadi satu dengan

    nama National American Woman Suffrage Association dan bertransformasi

    menjadi gerakan perempuan untuk memperoleh hak pilih yang relatif jinak, dan

  • 56

    hanya berfokus pada satu isu saja. Dari tahun 1890 hingga tahun 1920, tepatnya

    ketika Amandemen Kesembilan Belas diloloskan, National American Woman

    Suffrage Association membatasi seluruh kegiatannya untuk mencapai hak pilih

    bagi perempuan.102

    Dalam Garis Besar Sejarah Amerika, disebutkan bahwa

    pemilihan presiden tahun 1920 merupakan pertama kalinya perempuan di seluruh

    negeri dapat menggunakan hak pilihnya.103

    Menurut Humm, pada tahun 1960-an, muncul sebuah gerakan sosial yang

    diorganisir untuk melawan segregasi di Amerika Serikat. Gerakan tersebut dikenal

    dengan Gerakan Hak Sipil (Civil Right Movement). Feminis gelombang kedua

    muncul dari gagasan para anggota perempuan gerakan hak sipil tersebut. Mereka

    adalah para aktivis perempuan yang mengalami penindasan dari anggota laki-laki

    gerakan tersebut.104

    Sementara itu, Sara Evans dalam Humm, menyebutkan bahwa

    penyebab terbentukya liberasi perempuan di Amerika adalah kekecewaan

    terhadap politik Civil Rights, gerakan anti-perang, dan gerakan mahasiswa untuk

    masyarakat demokratis.105

    Humm menyatakan bahwa istilah gelombang kedua dirangkai oleh Marsha

    Weinman Lear untuk menunjuk pada pembentukkan kelompok liberasi

    perempuan di Amerika, Inggris dan Jerman di akhir tahun 1960-an. Istilah

    “gelombang kedua” berarti bahwa feminisme “gelombang pertama” telah berakhir

    di tahun 1920.106

    102

    Tong, Feminist Thought, 31-34. 103

    Garis Besar Sejarah Amerika, 279. 104

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 60. 105

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 415-416. 106

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 415.

  • 57

    Terkait hal tersebut, Humm juga menyatakan bahwa pergeseran dari

    gerakan hak-hak sipil ke pembebasan perempuan telah menjadi penanda bagi

    dimulainya gelombang feminis kedua, dan ini merupakan pengulangan sejarah

    feminisme gelombang pertama. Tercatat dua kali dalam sejarah Amerika Serikat,

    perjuangan persamaan rasial telah menjadi bidan yang membantu lahirnya

    gerakan feminisme, yakni gerakan abolisi tahun 1830-an dan Civil Right

    Movement di tahun 1960-an.107

    Menurut Humm, pembebasan perempuan (Woman Liberation) adalah

    nama dari gerakan perempuan kontemporer yang telah didopsi oleh para feminis

    di tahun 1960-an. Penamaan ini merupakan suatu upaya sadar untuk menghindari

    konotasi awal mengenai permasalahan perempuan.108

    Sementara itu menurut

    Deckard, masih dalam Humm, menyatakan bahwa pembebasan perempuan

    muncul dari pengalaman kelompok perempuan dalam kelompok penyadaran dan

    diperluas ke dalam studi teoritis yang lebih khusus mengenai relasi sosial

    patriarkhi kapitalis. Liberasi perempuan mempunyai beberapa tujuan, diantaranya:

    persamaan upah, pendidikan dan peluang kerja, bebas dari kontrasepsi dan aborsi

    atas dasar permintaan, bebas dari perawatan anak 24 jam, mengakhiri diskriminasi

    terhadap lesbian.109

    Dengan adanya liberasi perempuan, maka kemudian muncul sebuah debat

    mengenai sampai di mana teori feminis bisa seiring dengan tujuan-tujuan gerakan

    liberasi perempuan tersebut. Beberapa feminis melihat adanya kontradiksi yang

    mendasar antara metode ilmiah sosial dalam teori tersebut dan prinsip-prinsip

    107

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 1. 108

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 509. 109

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 510.

  • 58

    gerakan. Sementara itu, feminis lainnya menyatakan bahwa teori tersebut hanya

    mempunyai tujuan jika seiring dengan politik liberasi perempuan. Intinya, bahwa

    keberhasilan utama liberasi perempuan telah menjadikan debat mengenai

    perbedaan jender sebagai kritik menyeluruh terhadap peradaban yang ada, dan

    telah membawa pada proses perubahan yang tidak terelakkan.110

    Pada tahun 1961, Presiden John F. Kennedy mendirikan Commission on

    The Status of Women (Komisi mengenai Status Perempuan), yang diantaranya

    menghasilkan diberlakukannya Equal Pay Act (Kebijakan Kesetaraan

    Pengupahan) dan Civil Right Act (Kebijakan Hak-hak Sipil) yang pada tahun 1964

    diloloskan dalam kongres.111

    Gelombang feminisme di Amerika Serikat semakin meningkat di era

    reformasi. Hal tersebut ditandai dengan diterbitkannya sebuah buku The Feminine

    Mystique karya Betty Friedan pada tahun 1963, yang kemudian disusul dengan

    dibentuknya sebuah organisasi perempuan “National Organization for Woman”

    atau NOW di tahun 1966 oleh Betty Friedan.112

    Menurut Sue Thornham dalam

    Gamble (ed.,), NOW dibentuk sebagai reaksi atas kegagalan America‟s Equal

    Employment Opportunity Commission (Komisi Kesetaraan Kesempatan Kerja

    AS) dalam menanggapi isu diskriminasi seks.113

    Betty Friedan dipilih menjadi

    presiden pertama NOW oleh 300 anggota pengurus yang terdiri dari laki-laki dan

    110

    Humm, Ensiklopedia Feminisme, 510-512. 111

    Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada

    Arus Utama Pemikiran Feminis, (terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro), (Yogyakarta: Jalasutra,

    2006), 35-36. 112

    Asmaeny Azis, Feminisme Profetik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), 62. 113

    Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.),

    Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 36.

  • 59

    perempuan.114

    Tujuan dibentuknya Undang-undang Hak Perempuan dalam

    konferensi nasional pertama NOW di tahun 1967 adalah untuk memastikan bahwa

    perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Tuntutan NOW bagi

    perempuan, antara lain: agar segera diloloskannya Amandemen Hak-hak yang

    Setara oleh Kongres Amerika Serikat; adanya jaminan bagi kesetaraan perempuan

    dengan laki-laki dalam hal kesempatan kerja; adanya perlindungan hukum bagi

    perempuan yang melahirkan, termasuk didalamnya untuk mendapat cuti

    melahirkan; adanya ketentuan hukum yang mengatur fasilitas bagi pengasuhan

    anak; hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan; hak perempuan untuk

    menguasai kehidupan reproduktifnya.115

    Pada tahun-tahun berikutnya, gerakan perempuan mulai mengalami

    pergeseran, yakni mulai terbentuknya kelompok-kelompok pembebasan

    perempuan non-hierarkis lokal. Berbeda dengan NOW, kelompok-kelompok baru

    tersebut tidak memiliki organisasi nasional. Untuk mencapai tujuannya,

    kelompok-kelompok tersebut melakukan berbagai aksi seperti: pendekatan

    terhadap infrastruktur komunitas radikal, gerakan bawah tanah, dan universitas-

    universitas terbuka.116

    Pada bulan Februari tahun 1968, Anne Koedt menyampaikan sebuah

    pidato di Universitas Terbuka di Kota New York terkait dengan perkembangan

    yang terjadi pada gerakan perempuan tersebut. Koedt menyebutnya sebagai proses

    “Conciousness Raising” (peningkatan kesadaran) yang selanjutnya melahirkan

    114

    Tong, Feminist Thought, 36. 115

    Tong, Feminist Thought, 36-38. 116

    Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.),

    Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 36.

  • 60

    asumsi bahwa “masalah pribadi adalah masalah politik”, artinya bahwa, kekuatan

    laki-laki dilatih dan dikuatkan melalui institusi personal seperti pernikahan,

    membesarkan anak dan kegiatan seksual. Proses peningkatan kesadaran menjadi

    ciri khusus kelompok-kelompok pembebasan perempuan.117

    Pada tahun 1969,

    Cellestine Ware bersama Shulamith Firestone dan Anne Koedth mendirikan

    feminis Radikal New York.118

    Pada awal tahun 1970-an, feminisme, atau kegiatan terorganisir atas nama

    hak dan kepentingan kaum perempuan mencapai titik puncaknya. Jurnalis Gloria

    Steinem dan beberapa orang wanita lain mendirikan majalah baru, Ms., yang terbit

    pertama kali tahun 1972. Selain itu, juga ada Our Bodies, Ourselves, buku

    pedoman kesehatan wanita. Akan tetapi, pada pertengahan hingga akhir tahun

    1970-an, gerakan kaum perempuan mengalami kemandekan. Saat itu terjadi

    perpecahan antara feminis moderat dengan feminis radikal. Kaum konservatif

    yang menjadi lawan mereka melakukan kampanye menentang Amandemen Hak

    yang Setara (Equal Rights Amandement, ERA). Pada tahun 1982 ERA mati tanpa

    memperoleh persetujuan dari 38 negara bagian yang dibutuhkan untuk

    ratifikasi.119

    Dengan melihat runtutan sejarah di atas, maka dapat dipahami bahwa Okin

    merupakan sosok filosof perempuan Barat dan juga feminis Liberal yang hidup di

    tengah masa peralihan dari feminis Gelombang Pertama ke feminis Gelombang

    Kedua, dan sekaligus hidup di tengah suasana kelesuan politik kenegaraan. Dalam

    117

    Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.),

    Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 36-37. 118

    Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.),

    Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 38-39. 119

    Garis Besar Sejarah Amerika, 369-370.

  • 61

    kehidupan politik kenegaraan, bahwa gerakan perempuan di Amerika telah

    berhasil memperjuangkan hak pilih bagi perempuan, yakni dengan diloloskannya

    Amandemen Kesembilas Belas di parlemen tahun 1920. Setelah hak pilih

    perempuan diraih, gerakan perempuan justeru mengalami kelesuan dalam

    perjuangannya hingga tahun 1960-an. Sementara itu, jika dilihat dari gerakan

    feminis yang ada, maka NOW yang dibentuk tahun 1966 telah menjadi salah satu

    penyebab bagi terjadinya perpecahan dikalangan feminis, dan kemudian

    memunculkan sebuah gerakan feminis Radikal. Feminis Liberal yang pada

    dasarnya menerima keluarga dalam dikotomi publik-privat, selanjutnya justeru

    diserang oleh feminis Radikal yang beranggapan bahwa keluarga telah menjadi

    sumber ketidakadilan bagi kaum perempuan, dan oleh karenanya, keluarga harus

    dihancurkan karena telah dianggap sebagai sebuah institusi yang telah melahirkan

    dominasi laki-laki terhadap perempuan. Selain terjadi perpecahan di tubuh

    feminis, kaum feminis juga diperhadapkan pada munculnya gerakan pembebasan

    perempuan. Berbagai kejadian tersebut telah menjadi penyebab kegelisahan di

    kalangan akademisi. Teori feminis yang berkembang pun terjebak pada perubahan

    yang diusung oleh feminis Radikal dan gerakan pembebasan perempuan.

    Dalam situasi yang demikian, Okin sebagai seorang filsuf politik dan

    feminis Liberal yang begitu peduli terhadap masalah jender dan keluarga merasa

    terpanggil dan tergerak hatinya untuk membuat sebuah karya yang berisikan kritik

    terhadap situasi yang ada. Terlebih lagi, Okin juga melihat bahwa keluarga

    (khususnya dalam hal ini perempuan dan anak-anak), juga belum menjadi subyek

    yang pasti di dalam teori keadilan yang berkembang saat itu. Dari berbagai

  • 62

    kejadian inilah kegelisahan Okin bermuara, dan selanjutnya ia tuangkan ke dalam

    sebuah karya besar yang berjudul Justice, Gender and The Family. Justice,

    Gender and The Family adalah sebuah karya yang memuat tentang teori keadilan

    humanis, dan untuk selanjutnya dikenal dengan teori keadilan jender.

    2.8.3. Keadilan, Jender dan Keluarga

    2.8.3.1.Keadilan dan Jender

    a. Pen