Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
18
BAB II
TEORI KEADILAN JENDER
2.1. Pendahuluan
Keadilan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak
dapat diganggu gugat. HAM adalah hak-hak dasar yang melekat dan dimiliki oleh
setiap manusia dari sejak lahir. Sebagai HAM, keadilan seyogyanya
diperuntukkan secara universal kepada seluruh umat manusia tanpa melihat
adanya faktor pembeda, seperti: suku, bahasa, kasta, ras, bangsa, agama,
kepercayaan, warna kulit, dan khususnya jenis kelamin. Begitu pentingnya arti
keadilan bagi kehidupan umat manusia, sehingga Tuhan telah menetapkan
keadilan sebagai bagian dari ajaran agama bagi umatNya.
Seiring gencarnya tuntutan akan emansipasi/kesetaraan kaum perempuan
terhadap kaum laki-laki oleh para feminis di berbagai belahan dunia, keadilan
jender kini menjadi konsep yang terus dibahas dan dikaji dalam studi jender.
Keadilan jender menjadi topik yang sangat menarik, terlebih ketika dikaitkan
dengan sebuah tafsir keagamaan.1 Sebagai hasil pemikiran atau ijtihad manusia,
tafsir keagamaan, khususnya dalam hal ini adalah tafsir terhadap sebuah ayat
dalam kitab suci agama, terkadang mendapat pemahaman yang keliru, dan bahkan
dirasa bias jender. Ketika hal ini terjadi, maka pada gilirannya tidak mustahil
apabila sebuah agama kemudian mendapat tudingan sebagai penyebab bagi
lahirnya ketidakadilan jender tersebut.
1 Tafsir keagamaan yang dimaksud pada tesis ini adalah tafsir Alquran.
19
Pada bab ini, dipaparkan tentang: Studi Jender; Keadilan dalam Studi
Jender; Konsep Keadilan dalam Alquran; Jender dalam Perspektif Alquran;
Pentingnya Analisis Jender dalam Pembahasan Tafsir Keadilan; Keadilan dalam
Masyarakat Patriarkat; dan Teori Keadilan Humanis Berbasis Jender Susan
Moller Okin.
2.2. Studi Jender.
Istilah „jender‟ secara etimologis berasal dari bahasa Inggris „gender‟ yang
berati „jenis kelamin‟.2 Konsep jender baru dapat dipahami dengan benar, ketika
kata jender dan kata seks (jenis kelamin) dibedakan.3 Dalam Ensiklopedia
Feminisme, jender diartikan sebagai kelompok karakter yang melekat pada laki-
laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi budaya masyarakat, sedangkan seks
(jenis kelamin) lebih menunjuk kepada kondisi biologis seseorang dimana laki-
laki dan perempuan dibedakan secara anatomi.4
Menurut Mansour Fakih, konsep jender menunjuk pada pensifatan kepada
laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya. Disini,
perempuan diasumsikan sebagai sosok yang cantik, lembut, emosional, dan
keibuan. Adapun laki-laki adalah sosok yang kuat, jantan, rasional, dan perkasa.
Sedangkan konsep seks (jenis kelamin) menunjuk pada pensifatan yang secara
biologis melekat pada laki-laki dan perempuan. Misalnya laki-laki memiliki penis,
2 Lihat Hendra Prijana dalam Modul Studi Gender, (Program Studi Pendidikan Ilmu
Pengetahuan sosial, UNIBBA, 2012), 3. dan Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-
Qur‟an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 42. Dalam hal ini, baik
Prijana maupun Yunahar merujuk pada John M. Echols dan Hasan Shadily dalam Kamus Inggris-
Indonesia.
3 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), 7.
4 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj. Mundi Rahayu), (Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2007), 177, 421.
20
jakala dan memproduksi sperma. Perempuan memiliki rahim, vagina, alat
menyusui (payudara) dan memproduksi telur. Sebagai hasil konstruksi sosial dan
budaya, konsep jender memiliki sifat yang dapat dipertukarkan, sedangkan konsep
jenis kelamin merupakan kodrat Tuhan, dan karenanya tidak dapat dipertukarkan.5
Sejalan dengan hal tersebut, Nasaruddin Umar juga menyebutkan bahwa secara
umum, jender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi sosial-budaya, sedangkan seks (jenis kelamin) dilihat
dari segi anatomi biologi.6
Dari beberapa pengertian mengenai konsep jender dan seks di atas, maka
penulis menyimpulkan bahwa jender dan jenis kelamin (seks) adalah dua hal yang
berbeda. Jender membedakan manusia melalui pensifatan yang dikonstruksikan
oleh masyarakat dan budaya kepada laki-laki dan perempuan dalam hal: peran,
sikap, sifat, tanggungjawab, dan kesemuanya itu masih dapat dipertukarkan.
Adapun jenis kelamin (seks) membedakan manusia secara biologis kepada dua
jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Misalnya, bahwa laki-laki memiliki penis,
jakala dan memproduksi sperma, adapun perempuan memiliki vagina, rahim,
memproduksi sel telur dan memiliki payudara untuk menyusui, dan kesemuanya
itu bersifat kodrati dan tidak dapat dipertukarkan.
Saat ini, studi jender telah menjadi kajian pada berbagai bidang ilmu
pengetahuan, seperti: sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, politik, dan
bahkan keagamaan. Studi jender menjadi kian marak seiring dengan munculnya
5 Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 7-9. Mansour Fakih adalah salah seorang
aktivis penegakan HAM di Indonesia yang berasal dari Jawa Timur. Selanjutnya dalam penulisan
ini akan disebut Fakih.
6 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Dian
Rakyat, 2010), 31.
21
kesadaran manusia akan arti pentingnya kesetaraan/keadilan jender. Kesadaran ini
berawal dari banyaknya ketimpangan/ketidakadilan jender yang dirasakan dan
dialami, khususnya oleh kaum perempuan. Bagi kaum feminis, ketidakadilan
jender terlahir sebagai akibat dari adanya kesalahpahaman dalam menafsirkan
konsep gender yang disamakan dengan konsep seks.7
Terkait hal tersebut, Fakih berpendapat bahwa perbedaan jender (gender
differences) pada gilirannya telah melahirkan ketidakadilan jender (gender
inequalities) baik pada laki-laki, dan lebih khususnya lagi pada perempuan.
Bentuk ketidakadilan jender tersebut dapat berupa: marginalisasi, subordinasi,
pelabelan negatif (stereotipe), kekerasan (violence), dan beban kerja ganda pada
perempuan.8 Sementara itu, Yunahar Ilyas berpendapat bahwa dalam lingkungan
umat Islam, pemahaman yang keliru dan bias laki-laki terhadap sumber utama
ajaran Islam yakni Kitab Suci Alquran merupakan akar dari diskriminasi dan
segala macam bentuk ketidakadilan jender, dan salah satu cara untuk mengatasi
hal tersebut adalah melalui sebuah dekonstruksi pemikiran teologis tentang
perempuan.9
Sebagai bahan kajian dalam studi jender, pandangan atau pemikiran kaum
feminis memiliki kedudukan yang sangat penting. Feminisme merupakan sebuah
istilah pendefinisian tentang advokasi/pembelaan terhadap kesetaraan perempuan
7 Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 42.
8 Fakih, Analisis Gender & Transformasi social, 12-13, 72-76.
9 Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer, 58. Terkait
pentingnya dilakukan dekonstruksi terhadap Hukum Islam, juga disampaikan oleh Dr. A. Qodri
Azizy, M.A. dalam pengantar buku Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam. Menurutnya,
untuk mendobrak stagnasi berfikir terkait adanya kejumudan perkembangan hukum Islam, maka
diperlukan sebuah langkah radikal, yakni hukum Islam harus dibongkar (didekonstruksi) untuk
selanjutnya diperbaiki kembali (direkonstruksi). Lihat, Ilyas Supena & M. Fauzi, Dekonstruksi dan
Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), v.
22
dan laki-laki dengan tujuan untuk meningkatkan posisi perempuan di dalam
masyarakat. Dalam pandangan feminisme, kondisi yang tidak sederajat antara
perempuan dan laki-laki dalam masyarakat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
dominasi laki-laki, patriarki, ketimpangan jender atau efek sosial dari perbedaan
jenis kelamin.10
Feminisme merupakan wadah perjuangan bagi terwujudnya
persamaan hak antara kaum perempuan dengan hak kaum laki-laki.11
Menurut
Yunahar Ilyas, yang menjadi pusat perhatian feminisme adalah “kesadaran akan
ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga
maupun masyarakat serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk
mengubah keadaan tersebut.”12
Dari beberapa pengertian mengenai feminisme di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa feminisme adalah sebuah paham dan gerakan yang
bertujuan untuk membangkitkan kesadaran terhadap arti pentingnya kesetaraan
antara perempuan dengan laki-laki, sehingga nantinya dapat terwujud posisi yang
sederajat diantara kedua jenis kelamin tersebut baik dalam kehidupan keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Feminisme bertujuan untuk menghapus atau
paling tidak, meminimalisir ketimpangan/ketidakadilan jender sebagai efek dari
kesalahpahaman dalam memaknai konsep jender dan jenis kelamin yang telah di
kontruksi sedemikian rupa oleh budaya dan masyarakat.
Pandangan atau pemikiran kaum feminis sangatlah beragam. Terkait hal
tersebut, Lapian menyatakan bahwa pada dasarnya studi feminis itu berangkat
10 William Outhwaite, (ed.), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, (Jakarta:
Kencana, 2008), 313. 11
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, tt), 997.
12 Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan kontemporer, 42.
23
dari pengalaman perempuan yang bersifat partikular. Hal ini karena pada
hakikatnya tidak semua perempuan itu sama.13
Adapun, Tong berpendapat bahwa
feminisme bukanlah ideologi monolitik karena didalamnya terdapat pemikiran
dan ruang waktu yang berbeda di kalangan feminis. Pemikiran feminis sangat
beragam dengan berbagai pelabelannya, seperti: “liberal”, “radikal”, “Marxis-
sosialis”, dan sebagainya. Menurut Tong, label tersebut telah sangat membantu
para feminis di dalam menjelaskan tentang opresi14
perempuan dengan
menawarkan pemecahannya melalui berbagai cakupan pendekatan, perspektif dan
bingkai kerja yang berbeda. Meski demikian, pelabelan tersebut suatu saat harus
diganti dengan penamaan yang lebih mengedepankan komitmen intelektual dan
politis terhadap kaum perempuan.15
Adapun Fakih, ia telah membagi aliran feminisme ke dalam dua aliran
besar di dalam ilmu sosial, yakni aliran status quo atau fungsionalisme dan aliran
konflik.
1. Aliran Fungsionalisme struktural atau aliran fungsionalisme.
Aliran ini dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Meski
teori Fungsionalisme tidak secara langsung menyinggung masalah perempuan,
tetapi dengan keyakinan mereka bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang
terdiri atas bagian yang saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik
13 L.M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan
Gender, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012), 226. 14
Opresi dalam bahasa Inggris “oppression” berarti penindasan. Humm menyatakan
bahwa penindasan merupakan pengalaman seksisme sebagai sebuah sistem dominasi. Lihat
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, 322.
15 Rosemarie Putnam Tong, dalam prakata Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, (terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro),
(Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 2.
24
sampai keluarga) dimana masing-masing bagian secara terus menerus mencari
keseimbangan (equilibrium) dan harmoni, maka secara tidak langsung telah dapat
menjelaskan tentang bagaimana kedudukan/posisi kaum perempuan dalam
masyarakat. Bagi penganut teori ini, masyarakat berubah secara evolusioner.
Perubahan hanya boleh terjadi melalui sebuah “reformasi” yang terkontrol tanpa
boleh mengganggu stabilitas sosial yang ada. Konflik dalam masyarakat harus
dihindarkan, sedangkan harmoni dan integrasi sebagai fungsional harus
ditegakkan. Status quo harus dipertahankan. Pengaruh fungsionalisme tersebut
menurut Fakih terdapat dalam pemikiran Feminis Liberal.
2. Aliran Konflik.
Aliran ini berkeyakinan bahwa setiap hubungan sosial yang terjadi dalam
kelompok masyarakat, pasti memiliki kepentingan (interes) dan kekuasaan
(power) yang berbeda-beda. Untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak
terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan, maka gagasan dan nilai-nilai
akan digunakan sebagai senjata. Dalam aliran ini, konflik memiliki peran penting
dalam sebuah perubahan. Perubahan posisi dan hubungan antar laki-laki dan
perempuan, dengan demikian dapat terjadi melalui sebuah konflik kepentingan
antar kedua jenis kelamin tersebut. Aliran konflik dalam feminisme terdapat
dalam pemikiran feminisme radikal, feminisme Marxis, feminisme sosialis.16
Untuk lebih mengenal aliran-aliran dalam feminisme, berikut diuraikan
tentang: Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis, Feminisme
Sosialis, Feminisme Muslim dan Feminis Kristen.
16
Fakih, Analisis Gender, 79-98.
25
1. Feminisme Liberal
Megawangi menyebutkan bahwa feminisme liberal berkembang dengan
pesat di Barat pada abad ke-18, yakni bersamaan dengan arus pemikiran baru
“zaman pencerahan” (enlightment atau age of reason). Dasar asumsi yang dipakai
Feminis Liberal adalah doktrin John Lock tentang natural rights (hak asasi
manusia), yakni meliputi: hak hidup, hak mendapatkan kebebasan dan hak
mencari kebahagiaan.17
Pernyataan mengenai “Feminisme Liberal”, pertama kali dikemukakan
oleh Mary Wollstonecraft.18
Dalam buku tersebut dikatakan bahwa pendidikan
yang rendah telah menjadikan perempuan sebagai agen rasional yang inferior.
Akar penindasan bagi perempuan adalah perbedaan hak sipil antara kaum
perempuan dengan laki-laki dalam hal pendidikan. Dalam hal seksualitas,
dikotomi publik-domestik dianggap sebagai hal yang wajar. Kehidupan pribadi
seseorang bagi mereka tidak semestinya menjadi objek peraturan masyarakat.
Dengan kata lain, bahwa feminis Liberal berupaya memperbaiki status perempuan
di dalam sistem, namun mereka tidak mempermasalahkan opresi sistem tersebut
atau legitimasinya.
Sependapat dengan hal tersebut, Nasaruddin Umar juga menyatakan
bahwa Feminisme Liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki
dan perempuan. Khususnya, dalam hal ini adalah terkait dengan fungsi
17
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender, (Bandung: Mizan, 1999), 118-119. Mengenai hal ini Megawangi merujuk pada
pernyataan L.M. Clarck dan L. Lange. 18
Istilah “Feminis Liberal” pertama kali ditemukan di dalam sebuah karya Mary
Wollstonecraft yang berjudul A Vindication of the Right of Women yang diterbitkan pada tahun
1789. Lihat, Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, 250.
26
reproduksi. Menurutnya, fungsi reproduksi pada perempuan diyakini akan
membawa konsekuensi logis dalam kehidupan masyarakat.19
Lebih lanjut
dikatakan, bahwa kelompok Feminisme Liberal adalah kelompok yang paling
moderat dikalangan feminisme. Kelompok ini beranggapan bahwa perubahan
struktural tidak mesti dilakukan secara menyeluruh. Disini, perempuan cukup
dilibatkan dalam berbagai peran, misalnya: peran sosial, ekonomi dan politik.
Organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran tersebut.20
Berbeda dengan pendapat diatas, Megawangi justeru menyatakan
sebaliknya, bahwa dalam perjuangannya mewujudkan persamaan hak antara pria
dan wanita, feminis Liberal sangat memerlukan dukungan dasar hukum yang kuat.
Oleh karena itu, fokus perjuangan feminis liberal adalah pada perubahan segala
undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi keluarga
yang patriarkat.21
Tokoh feminis Liberal yang cukup terkenal diantaranya adalah Elizabeth
Cady Stanton dan Betty Friedan.22
Feminis Liberal banyak mendapat kritikan
antara lain: Jean Berthke Elshtain dan Shulamith Firestone. Elshtain menyatakan
bahwa feminisme liberal mereduksi nilai motivasi manusia sebatas utilitarian
19
Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 57-58. 20
Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 58. Dalam hal ini Nasaruddin mengutip Bryson. 21
Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 120-121. 22
Mengenai hal ini, dapat dibaca di dalam Tong, Feminist Thought. Elizabeth Cady
Stanton adalah penganjur Seneca Falls dan merupakan tokoh feminis Amerika yang paling
berpengaruh dalam kampanye untuk perubahan hukum perceraian, hak-hak kekayaan perempuan
yang sudah menikah, dan hak bersuara. Lihat, Sarah Gamble (ed.), Pengantar Memahami
Feminisme dan Postfeminisme, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Jalasutra, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2010), 29. Adapun Betty Friedan adalah pengarang buku The Feminine Mystique (1963),
pendiri dan sekaligus presiden pertama dari sebuah organisasi perempuan “National Organization
for Woman” atau NOW di tahun 1966. The Feminine Mystique (1963) disebut sebagai penanda
bagi munculnya feminis gelombang kedua. Lihat, Asmaeny Azis, Feminisme Profetik,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), 62. dan Tong, Feminist Thought, 36.
27
terhadap kepentingan diri, sedangkan Firestone menggambarkan dan menuding
feminis Liberal itu sebagaimana National Organization of Women (NOW) yang
hanya berkonsentrasi pada indikator seksisme yang lebih dangkal.23
2. Feminisme Radikal
Teori Feminisme Radikal berkembang pesat di AS pada era 1960-an dan
1970-an. Feminisme Radikal berpandangan bahwa sumber ketidakadilan jender
adalah perbedaan biologis antara pria dan wanita. Menurut mereka, dalam institusi
keluarga, peran kehamilan dan keibuan (sifatnya biologis) harus selalu diperankan
oleh perempuan. Keluarga, dengan demikian dianggap sebagai institusi yang
melahirkan dominasi pria sehingga perempuan menjadi tertindas. Alasan inilah
yang dijadikan dasar oleh feminis Radikal untuk menyerang keberadaan institusi
keluarga dan sistem patriarkat.24
Jones menyatakan bahwa, sebuah kebebasan
mungkin baru akan diperoleh perempuan apabila secara teknologi telah
dimungkinkan adanya pembuahan hingga mengandung di luar rahim. Jika
keadaan tersebut tercapai maka perbedaan gender tidak lagi relevan dan peranan
biologis perempuan dalam keluarga akan hilang.25
Sementara itu, Humm, dalam hal ini menyitir Zillah R. Eisenstein,
menyatakan bahwa bagi feminisme Radikal, akar dominasi dan penindasan laki-
laki terhadap perempuan adalah patriarki. Penindasan perempuan menurut mereka
berasal dari penempatan perempuan ke dalam kelas yang lebih rendah dibanding
23
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 251. Mengenai NOW, dapat dilihat pada teori
keadilan jender, tepatnya pada bahasan tentang konteks lahirnya pemikiran Susan Moller Okin. 24
Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 178. 25
Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-
modernisme, (Alih bahasa: Achmad Fedyani Saifuddin), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010), 129.
28
kelas laki-laki. Oleh karena itu, mereka bertujuan menghancurkan sistem kelas
jenis kelamin tersebut.26
Perintis Feminis Radikal antara lain; Charlotte Perkins Gilman, Emma
Goldman dan Margaret Sanger. Adapun teori utama Feminisme Radikal
kontemporer dikembangkan oleh Ti-Grace-Atkinson dan Anne Koedt. Atkinson
menyatakan bahwa sistem peran laki-laki dan perempuan yang secara politik
menindas merupakan model asli dari semua penindasan. Sementara itu Koedt
menyatakan bahwa penindasan perempuan terutama terjadi secara psiologis dan
bukan ekonomis.27
3. Feminisme Marxis
Dalam pemahaman materialisme Marx, konflik dalam masyarakat
bersumber dari aktivitas ekonomi masyarakat dimana pola relasi materialistis dan
ekonomi dianggap sebagai pondasi masyarakat yang mendasari segala hukum,
moral, agama, dan institusi politik kemasyarakatan. Hukum, moral, agama dan
sistem politik tersebut oleh Marx disebut sebagai superstructure atau
superstruktural yang kesemuanya merupakan produk sosial yang bersifat relatif
sehingga tidak ada esensi kebenaran absolut dari sistem tersebut.28
Kedudukan agama sebagai superstruktur dalam masyarakat kapitalis oleh
Marx disebut sebagai opium (candu) bagi masyarakat. Menurutnya, agama yang
berisikan segala peraturan dan norma telah dipakai oleh pemilik modal untuk
mengajarkan kepada kaum proletar (penulis disini mengartikan: kaum yang
tertindas, seperti halnya juga dengan kaum perempuan), untuk senantiasa sabar,
26
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 383-384. 27
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 384. 28
Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 78-79.
29
karena hidup yang sebenarnya adalah di akhirat. Agama disini berfungsi sebagai
bius terhadap masyarakat untuk dapat menerima begitu saja keadaan yang kurang
menguntungkan. Agama telah membuat kaum tertindas lupa bahwa mereka
sesungguhnya dapat mengubah keadaan di dunia menjadi lebih baik. Salah satu
bentuk penyadaran bagi kaum yang tertindas tersebut adalah dengan cara
menghilangkan pengaruh opium (agama). Atau dengan kata lain, menuntut
seorang untuk mengabaikan ajaran agama tersebut atau menjadi seorang yang
atheis.29
Mengenai “agama sebagai candu” juga dijelaskan oleh Ramly yang
menyatakan bahwa fungsi agama oleh Marx telah diubah citranya menjadi alat
yang “meninabobokan” dengan janji penyelamatan di atas kelaparan dan
penderitaan. Lembaga-lembaga agama dan pemimpin agama tidak lagi berperan
sebagai pengemban kasih dan pembela hak-hak kaum tertindas. Agama hanya
dijadikan sebagai alat pelegalisasi kekuasaan negara yang memihak segelintir elit,
yang kemudian melahirkan istilah agama sebagai pendukung status quo.30
Dalam pola relasi materialistis dan ekonomi pada masyarakat kapitalis
yang memiliki struktur produksi industri, Marx telah membagi mayarakat ke
dalam dua kelas; yakni kaum borjuis dan proletar, kelas tuan-tuan dan kelas
budak, kelas penguasa dan rakyat, serta kelas feodal dan kelas hamba.31
Dalam hal
ini, kaum laki-laki dapat dikatakan telah mewakili kelas borjuis, tuan-tuan,
penguasa dan feodal sedangkan perempuan sebagai kelas proletar, budak, rakyat
dan hamba.
29
Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 80. 30
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektis dan
Materialisme Historis, (Yogyakarta: LKiS, 2009), 164-165. 31
Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 80.
30
Terkait kelas di dalam masyarakat, filsafat Feminisme Marxis
menganggap bahwa segala pemilikan pribadi, termasuk disini pria memiliki
wanita (peneliti mengartikan: keluarga, yakni pria memiliki wanita melalui sebuah
perkawinan) adalah sumber penindasan. Pria sebagai “pemilik sumber daya” yang
telah dilegitimasi oleh budaya dan nilai-nilai patriarkat, telah menempatkan
perempuan sebagai “abdi” atau kelas yang lebih rendah yang terus bergantung
pada suami.32
Menurut Tong, Feminis Marxis lebih cenderung mengidentifikasi
kelasisme (classism) dan bukan seksisme sebagai penyebab utama opresi terhadap
perempuan.33
Bagi Marx, jalan terbaik untuk menghilangkan kelas-kelas dalam
masyarakat adalah melalui sebuah revolusi sosial.34
4. Feminis Sosialis
Pandangan dasar Feminisme Sosialis adalah bahwa masalah ekonomi dan
struktur sosial telah melahirkan subordinasi wanita.35
Pandangan Feminisme
Sosialis tidak jauh beda dari Feminisme Marxis karena Feminisme Sosialis ini
bersumber dari formulasi teori dan ideologi Karl Marx dan Frederich Engels,
bahwa kedudukan kaum perempuan itu identik dengan kaum proletar pada
masyarakat kapitalis Barat. Mereka mempermasalahkan konsep kepemilikan
pribadi dan menganalogikan perkawinan sebagai lembaga yang melegitimasikan
pria memiliki istri secara pribadi. Seorang istri yang dimiliki suami merupakan
bentuk penindasan pada perempuan. Perempuan hanya dapat terbebaskan dari
penindasan tersebut, manakala sistem ekonomi kapitalis diganti dengan
32
Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 87. 33
Tong, Feminist Thought, 139. 34
Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 81. 35
Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 178.
31
masyarakat sosialis, yakni masyarakat egaliter tanpa kelas.36
Karena adanya
kesamaan antara Feminisme Marxis dan Feminis Sosialis tersebut, maka tidak
jarang keduanya disebut sebagai Feminisme Maxis-sosialis.
Bagi Feminisme Sosialis, perempuan adalah penduduk kelas dua dalam
masyarakat kapitalis patriarkis yang menggantungkan hidupnya pada eksploitasi
orang-orang yang bekerja (khususnya perempuan). Dalam pandangan mereka,
yang menjadi akar penindasan terhadap perempuan adalah sistem ekonomi
kapitalisme. Disini, laki-laki mempunyai kepentingan material khusus dalam
mendominasi perempuan, dan bahwa laki-laki mengkonstruksikan berbagai
tatanan institusional untuk melanggengkan dominasi tersebut.37
Menurut Feminis
Sosialis, penyebab fundamental opresi terhadap perempuan adalah lebih kepada
kapitalisme dan patriarki, bukan “kelasisme” atau “seksisme”.38
Dari berbagai pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang
membedakan antara Feminis Marxis dan feminis Sosialis adalah penyebab utama
terjadinya opresi (penindasan) bagi kaum perempuan. Menurut Feminis Marxis,
penyebab opresi adalah kelasisme (classism) dan bukan seksisme, sedangkan
menurut feminis sosialis, bukan “kelasisme” atau “seksisme” tetapi lebih kepada
kapitalisme dan patriarki.
5. Feminisme Muslim
Di kalangan umat Islam, gerakan feminis dikenal dengan gerakan Feminis
Muslim. Dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, disebutkan bahwa yang
36
Dalam hal ini, Megawangi mengutip Josephine Donovan (1994). Megawangi,
Membiarkan Berbeda?, 128-129. 37
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 447-448. 38
Tong, Feminist Thought, 139.
32
menjadi tuntutan bagi perjuangan kaum Feminis Muslim adalah emansipasi
perempuan sebagai warga negara di bidang publik, dan menerima
komplementaritas peran di bidang keluarga.39
Adapun dalam wacana sekular yang
mengakomodasi Islam, feminis Muslim mengupayakan masyarakat nonseksis dan
pascapatriarkal, yakni, bahwa perempuan mempunyai hak serta peluang dalam
pengembangan potensi diri baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat.40
Tokoh feminis muslim tidak hadir dari kalangan perempuan saja, tetapi
juga dari kalangan laki-laki.41
Terkait dengan hal tersebut, Yunahar Ilyas tidak
sependapat dengan Margot Badran, yang menyatakan bahwa syarat seseorang
untuk dapat disebut sebagai feminis (feminis Muslim), maka orang tersebut harus
memenuhi tiga kriteria, yakni;
1) Mereka memiliki kesadaran jender dan memperjuangkan penghapusan
ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan.
2) Beragama Islam atau datang dari lingkungan dunia Islam dan
mempersoalkan ajaran Islam, baik dari sisi normativitas maupun
historisitasnya.
3) Berjenis kelamin perempuan.
Disini, Yunahar Ilyas tidak setuju dengan kriteria yang ketiga. Menurutnya
seorang laki-laki juga dapat disebut sebagai Feminis Muslim. Dalam hal ini, ia
mencontohkan Asghar Ali Engineer dari India. Selain itu, Yunahar juga
39
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001),
57. 40
Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, 61. 41
Tokoh feminis Muslim laki-laki diantaranya adalah Qosim Amin (Mesir), dan Asghar
Ali Engineer (India). http://digilib.uinsby.ac.id/882/6/Bab%202.pdf, diakses pada Rabu, 22 Juni
2016.
http://digilib.uinsby.ac.id/882/6/Bab%202.pdf
33
berpendapat bahwa tidak semua feminis yang beragama Islam itu dapat
dikategorikan sebagi feminis Muslim. Mereka yang dimaksud adalah feminis
yang beragama Islam, yang meskipun mereka tetap mendasarkan pada perspektif
feminisme (liberal, radikal, marxis, sosialis dan lainnya) tapi tidak
mempersoalkan ajaran Islam (baik normativitas maupun historisitas).42
Di kalangan Islam banyak dikenal feminis perempuan, antara lain: Riffat
Hassan (Pakistan), Fatima Mernissi (Maroko), Nawal El Saadawi (Mesir), Amina
Wadud Muchsin (Amerika Serikat).43
Adapun dalam lingkup Indonesia, antara
lain; Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ratna Megawangi, Siti Musdah Mulia, Budi
Munawar Rachman, dan Nasaruddin Umar. 44
42
Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer, 55-56. 43
Budhy Munawar Rachman, “Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan
Feminisme di Indonesia” dalam Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana
Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 34. Pemikiran Fatima
Mernissi yang cukup terkenal adalah mengenai “Islam dan Demokrasi”. Baca, Fatima Mernissi,
Islam dan Demokrasi, Antologi Ketakutan, (terj. Amirudin Ar-Rany), (Yogyakarta: LKis, 2007).
Adapun pemikiran yang terkenal dari Nawal El-Saadawi adalah mengenai “Perempuan dalam
Budaya Patriarki”. Baca, Nawal El-Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki, (terj.
Zulhilmiyasri), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). Pemikiran terkenal dari Amina Wadud
Muhsin adalah “Perempuan dalam Islam” yang terdapat dalam bukunya Qur‟an and Woman.
Adapun pemikiran Riffat Hasan yang terkenal adalah mengenai pentingnya dekonstruksi
pemikiran teologis. http://digilib.uinsby.ac.id/882/6/Bab%202.pdf, diakses, Rabu, 22 Juni 2016. 44
Andik Wahyun Muqoyyidin, Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam
Kontemporer tentang Gerakan Feminisme Islam, Jurnal Al-Ulum (Jurnal studi-studi Islam) IAIN
Gorontalo, Vol. 13 No. 2 (Desember 2013), 503-504. Pemikiran yang cukup terkenal dari Siti
Ruhaini Dzuhayatin adalah “Pergulatan Pemikiran Feminis dalam Wacana Islam di Indonesia”;
Budi Munawar Rachman: “Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan Feminisme”;
Nasaruddin Umar: “Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat Gender”. Baca, Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002). Selanjutnya, pemikiran yang sangat terkenal dari Siti Musdah Mulia adalah “Islam
Menggugat Poligami”. Baca, Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2007) dan “Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia”. Lihat,
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam Negara & Demokrasi, 302. Adapun
pemikiran dari Ratna Megawangi adalah “Membiarkan Berbeda”. Baca, Membiarkan Berbeda?:
Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, (Bandung: Mizan, 1999).
http://digilib.uinsby.ac.id/882/6/Bab%202.pdf
34
6. Feminis Kristen
Selain lima jenis aliran feminis yang telah dipaparkan diatas, masih ada
banyak jenis aliran feminis lainnya, satu diantaranya adalah feminis Kristen.
Humm menyatakan bahwa teori feminis tentang kekristenan terbagi kedalam tiga
kategori: mereka yang meragukan pandangan teologis tentang perempuan dan
androsentrisitas teologi tradisional; mereka yang meragukan hukum teologis yang
menghalangi perempuan dari pentahbisan; dan mereka yang mengevaluasi gereja
sebagai institusi yang bertujuan untuk peningkatan status profesional perempuan
dalam gereja.45
Selanjutnya, dengan merujuk pada Daly, Humm menyatakan
bahwa, dalam teolog feminis, hanya ada dua citra perempuan dalam gereja dan
dalam sejarah Kristen, yaitu sebagai pendosa (Eva) dan sebagai perawan suci
(Mary), yang dalam hal ini mewakili sikap “keibuan” dan ketaatan.46
Dalam
beberapa tahun terakhir, feminis dari gereja Kristen dalam konteks non-kulit putih
dan dunia ketiga membuat kajian mendalam untuk membaca tradisi Kristen dari
perspektif-perspektif yang berbeda.47
Hingga saat ini, ada sederet nama terkenal dari feminis Kristen,
diantaranya adalah: Jacquelyn Grant (dari lingkungan Afrika-Amerika), Maria
Isasi-Diaz (Amerika-Hispanik), Mercy Amba Oduyoye (Nigeria) Kwok Puilan
(Cina), dan Chung Hyun Kyung (Korea).48
Dari pembahasan mengenai berbagai aliran feminisme di atas, terlihat
bahwa keluarga sebagai institusi yang dibentuk melalui lembaga perkawinan
45
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 59. 46 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 59. 47
Sarah Gamble (ed.), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, (terj. Tim
Penerjemah Jalasutra), (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 261. 48
Gamble (ed.), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 261.
35
merupakan hal yang paling disorot dalam perjuangan para feminis. Menurut
Humm, alasan mengapa feminis begitu peduli terhadap keluarga adalah bahwa
selain diasumsikan sebagai sumber utama bagi penindasan perempuan, keluarga
juga merupakan pewaris utama dan fokus kerja bagi perempuan serta sumber
identitas perempuan yang paling mendasar, yakni sebagai ibu. Capaian paling
berharga dari teori feminis tentang keluarga adalah bahwa keluarga sebagai unit
alamiah telah direkonstruksi menjadi sebuah ideologi, sebagai nexus institusional
yang memiliki makna sosial dan kultural serta relasi.49
Selanjutnya, Humm
mendeskripsikan keluarga sebagai unit patriarkis yang memperantarai struktural
dan individual.50
Sedangkan menurut Esposito, salah satu kecenderungan dari
gerakan feminisme abad ke-20 adalah memperbaharui hukum keluarga.51
Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa, selama ini, keluarga telah
menjadi fokus kajian yang sangat penting di dalam gerakan feminisme. Hal ini
karena keluarga telah dianggap sebagai unit patriarkis yang menjadi sumber
utama bagi penindasan kaum perempuan. Untuk dapat mewujudkan keadilan
jender di dalam keluarga, maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah
diadakannya perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat
melestarikan institusi keluarga yang patriarkat tersebut.
49
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, 2007), 143. Dalam hal ini Maggie Humm
mengutip Thorne dan Yalom (1982). 50
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 143.
51 Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, 58.
36
2.3. Keadilan dalam Studi Jender.
2.3.1. Pengertian Keadilan
Keadilan berasal dari kata dasar “adil”. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), adil diartikan tidak berat sebelah, berpihak kepada yang benar
dan tidak sewenang-wenang. Keadilan berarti sifat (perbuatan, perlakuan) yang
adil di dalam mempertahankan hak bagi masyarakat.52
Konsep keadilan secara
umum diartikan “memberikan sesuatu sesuai dengan haknya.” Keadilan dapat
dibedakan menjadi dua macam yakni keadilan formal (keadilan hukum) dan
keadilan material (keadilan substantif). Keadilan formal melibatkan standar
keadilan prosedural yang diarahkan kepada fairness dan akurasi dalam penerapan
aturan-aturan tersebut. Intinya, bahwa setiap orang harus diperlakukan
berdasarkan aturan yang sama secara setara. Sementara itu, keadilan material
sangat terkait dengan identifikasi kriteria distribusi (misalnya: hak, kewajiban,
kebutuhan, atau pilihan), sebagai konsepsi keadilan yang saling bersaing.
Keadilan material sering dikaitkan dengan keadilan sosial.53
John Rawls berpendapat bahwa “keadilan adalah kebajikan utama dalam
institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.54
Adapun
Faturochman, menyatakan bahwa keadilan merupakan suatu situasi sosial ketika
norma-norma tentang hak dan kelayakan dipenuhi.55
Selanjutnya, Messakh,
menyatakan bahwa keadilan merupakan fenomena sosiologis. Keadilan sebagai
52
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 6-7 53
William Outhwaite, (ed.), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, 417. 54
John Rawls, Teori Keadilan: Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan
Sosial dalam Negara, (terj.Uzair Fauzan & Heru Prasetyo), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
3. 55
Faturochman, Keadilan Perspektif Psikologis, (Yogyakarta: Unit Publikasi Fak.
Psikologi UGM dan Pustaka Pelajar, 2012), 20.
37
nilai moralitas sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Keadilan
berfungsi sebagai nilai yang mengatur relasi antar individu dalam masyarakat agar
kerja sama yang terjalin dapat bermanfaat secara maksimal bagi kepentingan
individual dan sekaligus bagi kepentingan bersama. Nilai keadilan diwujudkan
dalam hak dan kewajiban yang harus dimiliki dan dilaksanakan oleh setiap
anggota masyarakat.56
Berbicara mengenai konsep “keadilan”, tentu tidak terlepas dari konsep
“keadilan sosial”. Keadilan sosial dalam KBBI diartikan sebagai “kerjasama
untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organik sehingga setiap
anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh
dan belajar hidup pada kemampuan aslinya.”57
Sedangkan dalam Ensiklopedi
Indonesia, keadilan sosial memiliki makna sebagai dasar tata kehidupan
bermasyarakat yang memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mencapai
keadilan bagi setiap anggota masyarakat. Keadilan sosial mencakup semua segi
keadilan, yakni komutatif (keadilan dalam perjanjian/tukar-menukar), distributif
(keadilan dalam pembagian jasa, sumbangan, tugas dan pengorbanan), dan
keadilan legal (keadilan dalam tuntutan ketaatan maupun perlakuan yang sama di
depan undang-undang/hukum). Untuk dapat mewujudkan suatu keadilan sosial,
masyarakat diwajibkan mempunyai atau membentuk tata cara, proses kehidupan
56
Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Satya Wacana
University Press, 2007), 9-10. 57
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), 6-7.
38
atau mekanisme-mekanisme sosial, yang memungkinkan hak-hak dasar warga
negara terjamin dan terlaksana secara wajar.58
Dari beberapa pengertian tentang konsep keadilan diatas, dapat
disimpulkan bahwa keadilan merupakan norma/nilai moral tentang pengaturan
pembagian hak dan kewajiban yang layak diterima dan dilaksanakan secara
seimbang baik oleh individu/kelompok sebagai anggota institusi/masyarakat
dalam suatu sistem. Adapun ketidakadilan merupakan sebuah fenomena yang
ditimbulkan akibat sistem pembagian yang timpang.
Keadilan merupakan hal yang paling disorot dalam studi jender. Terkait
hal tersebut, Lapian menyatakan bahwa studi feminis lahir dalam rangka
memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang tertindas.59
Adapun Stevi
Jackson dan Jackie Jones menyatakan bahwa teori feminis berusaha menganalisis
pelbagai kondisi termasuk didalamnya budaya yang telah membentuk kehidupan
kaum perempuan. Pentingnya mempertanyakan ketidaksetaraan antara laki-laki
dan perempuan, berawal dari pandangan kaum feminis yang menolak anggapan
bahwa ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan bersifat alamiah dan tak
terelakkan.60
Pembahasan mengenai keadilan di dalam studi jender, dikemas dengan
istilah “kesetaraan/keadilan jender”. Keadilan jender adalah perlakuan adil yang
diberikan baik kepada perempuan maupun laki-laki. Adapun ketidakadilan jender
adalah proses marginalisasi dan pemiskinan khususnya bagi kaum perempuan.
58
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, tt), 1701.
59 L.M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan
Gender, 226. 60
Stevi Jackson dan Jackie Jones, (ed.), Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer,
(terj. Tim Penerjemah Jalasutra), (Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2009), 1.
39
Ketidakadilan jender dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain; kebijakan
pemerintah, keyakinan tradisi, tafsir agama, kebiasaan dan asumsi ilmu
pengetahuan.61
Ketidakadilan jender termanifestasi dalam beberapa bentuk, yakni;
marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, stereotipe, dan beban kerja.62
Ketidakadilan jender dapat terjadi pada berbagai tingkatan dalam
kehidupan bermasyarakat, yakni:
1) Pada tingkat negara. Adanya kebijakan dan hukum negara, perundang-
undangan serta program kegiatan yang masih mencerminkan sebagian dari
wujud ketidakadilan jender.
2) Pada tempat kerja, organisasi, dan dunia pendidikan. Banyak aturan kerja,
manajemen, kebijakan keorganisasian, dan kurikulum pendidikan yang
masih melanggengkan ketidakadilan jender.
3) Dalam adat istiadat, kultur dan penafsiran keagamaan juga banyak
melahirkan ketidakadilan jender.
4) Dalam Lingkungan rumahtangga. Hal ini dapat dilihat dari proses
pengambilan keputusan, pembagian kerja, hingga interaksi antar anggota
keluarga.
5) Ideologi yang berisikan ketidakadilan jender yang telah mengakar dalam
masyarakat.63
61
Tafsir Al-Qur‟an Tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan, (Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 1-2. 62
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 12-13, 72-76. Lihat juga Riant
Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), 17-18, Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer,
41-42. 63
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), 17-18.
40
2.3.2. Prinsip-prinsip Keadilan
Untuk menetapkan standar keadilan, bukanlah hal yang mudah. Ini
disebabkan karena standar keadilan selalu terkait erat dengan pemahaman dan
ekspektasi yang berlaku pada masyarakat tertentu. Dengan merujuk pada teori
“komunitarian”, Walzer berpendapat bahwa kriteria keadilan akan tergantung
pada “ruang” distribusi, sehingga antara keadilan politik dan ekonomi juga akan
berbeda pula.64
Meski bukan hal yang mudah, namun teori keadilan kontemporer
John Rawls telah berupaya mengkombinasikan sejumlah kriteria keadilan material
menjadi dua prinsip keadilan yang sangat terkenal, yakni: Pertama, setiap orang
punya hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan mendasar dengan sistem
kebebasan yang serupa. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti ditata
sedemikian rupa sehingga keduanya: (a) memberi manfaat terbesar bagi yang
paling kurang diuntungkan; dan (b) dikaitkan dengan posisi yang terbuka untuk
semua orang di dalam kondisi kesempatan yang setara.65
Prinsip keadilan Rawls
ini, kemudian dikenal dengan istilah “justice as fairness”.
2.4. Konsep Keadilan Dalam Alquran
2.4.1. Keadilan dalam Alquran.
Dalam Tafsir Al-Qur‟an Tematik, dinyatakan bahwa keadilan berasal dari
kata dasar “adil” yang diserap dari kata berbahasa Arab „adl. Secara literal, kata
„adl adalah bentuk masdar (kata jadian) dari kata kerja „adala – ya‟dilu – adlan –
wa „udulan – wa „adalatan. Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf „ain, dal, dan
lam, yang makna pokoknya adalah al-istiwa‟ (posisi lurus) dan al-i‟wijaj (posisi
64
Mengenai kriteria keadilan ini, lihat William Outhwaite (ed.), Ensiklopedi Pemikiran
Sosial Modern, (Jakarta: Kencana, 2008), 418. 65
Outhwaite (ed.), Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern, 418.
41
bengkok). Rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang bertolak
belakang, yakni “lurus” atau “sama,” dan “bengkok” atau “berbeda.” Makna
pertama dari kata „adl adalah “menetapkan hukum dengan benar.” Orang yang
„adl adalah dia yang berjalan lurus, dan sikapnya selalu menggunakan standar
yang sama. Orang yang „adl selalu berpihak pada kebenaran dan tidak berbuat
sewenang-wenang. Dalam makna „adl, pihak yang benar dan yang salah sama-
sama harus memperoleh haknya.66
Kata „adl dan derivatnya di dalam Alquran terulang sebanyak 28 kali. Kata
„adl dalam bentuk aslinya disebutkan sebanyak 13 kali, yakni pada surah al-
Baqarah/2: 48, 123, dan 282 (dua kali), an-Nisa‟/4: 58, al-Ma‟idah/5: 95 (dua kali)
dan 106, al-An‟am/6: 70, an-Nahl/16: 76 dan 90, al-Hujurat/49: 9, serta at-
Talaq/65: 2.67
Kata „adl, memiliki beberapa definisi, diantaranya; “memberi pembagian
yang sama (al-Asfahani); “sikap proporsional yang tidak berlebihan (ifrat) dan
tidak kekurangan (tafrit) (al-Jurjani); “menyampaikan hak kepada pemiliknya
secara efektif (al-Maraghi).68
2.4.2. Aspek, Objek dan Subjek Keadilan dalam Alquran
Keadilan didalam Alquran, selain disebut dengan terma „adl, juga disebut
dengan terma al-qist dan al-mizan. Ketiga terma tersebut, selanjutnya
mengarahkan keadilan kepada aspek, objek dan subjek yang cukup beragam.
Dalam Tafsir Al-Qur‟an Tematik, tepatnya dalam hal ini didasarkan pada
66
Muchlis M. Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik: Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Departemen RI, 2010), 2-3.
67 Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 3
68 Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 3.
42
penelitian M. Quraish Shihab, disebutkan bahwa sedikitnya ada empat makna
berbeda dari kata „adl, sebagai berikut;
1) „adl berarti “sama.” „adl dalam pengertian ini terdapat pada beberapa
surah di dalam Alquran, antara lain: an-Nisa‟/4: 3, 58, 129; asy-Syura/42:
15; al-Ma‟idah/5: 8, an-Nahl/16: 76, 90 dan al-Hujurat/49: 9. Makna kata
„adl pada ayat-ayat tersebut menunjuk pada persamaan dalam persoalan
hak, termasuk didalamnya mencakup sikap dan perlakuan hakim ketika
proses pengambilan keputusan berjalan.
2) „adl berarti “seimbang”. Arti ini ditemukan dalam surah al-Maidah/5:95
dan al-Infitar/82:7. Keadilan dalam pengertian “keseimbangan” ini
mengarah pada sebuah keyakinan bahwa Allah itu Maha Bijaksana dan
Maha Mengetahui. Allah telah menciptakan serta mengelola segala
sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu. Keyakinan ini
selanjutnya mengantarkan kepada pengertian keadilan Ilahi.
3) „adl berarti “perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu
kepada setiap pemiliknya.” Pengertian ini kemudian didefinisikan dengan
“menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya
melalui jalan yang terdekat.” Pengertian ini pada tahap selanjutnya
melahirkan konsep mengenai “keadilan sosial”.
4) „adl dalam arti “yang dinisbahkan kepada Allah”. Makna ini sebagaimana
terdapat pada kandungan surah Ali Imran/3:18, yang menunjukkan Allah
swt sebagai qa‟iman bil-qist (Yang menegakkan keadilan).69
69
Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 3-5.
43
Selanjutnya beralih pada terma al-qist dan al-mizan. Kata al-qist
mengandung arti “bagian” yang wajar dan patut. Disini, pengertian sama, tidak
harus persis sama, tetapi dapat berbeda bentuk asal substansinya sama. Sedangkan
kata al-mizan mengandung arti seimbang atau timbangan, merujuk pengertian
bahwa keadilan itu mendatangkan harmoni karena segala sesuatu diperlakukan
atau ditempatkan sesuai dengan semestinya. Sebagai contoh disini adalah alam
tata surya, diciptakan Tuhan dengan prinsip keseimbangan (ar-Rahman/55: 7).70
Kata al-qist beserta derivatnya disebutkan dalam Alquran sebanyak 25
kali. Ada yang mengikuti pola fa‟ala, seperti al-qist dan al-qistun; dan ada pula
yang mengikuti pola af„ala, seperti aqsata, aqsatu, al-muqsitun, atau al-muqsitin.
Semua berarti “adil, berlaku adil, atau orang-orang yang adil,” kecuali bentuk al-
qasitun (al-Jin/72: 14-15) yang berarti “menyimpang dari kebenaran.”71
Menurut Al-Qur‟an Tematik, dalam hal ini menyitir Ibnu „Asyur, bahwa
kata al-qist, sebenarnya berasal dari kata non-Arab yang mengalami proses
arabisasi untuk menunjukkan arti adil dalam putusan (qada‟) dan hukum.72
Sementara itu, term al-mizan digunakan untuk menunjukkan sikap adil, namun
penekanannya lebih pada keseimbangan, tidak berlebihan, tidak memihak pada
salah satu pihak. Hal yang menarik disini adalah bahwa kesimbangan sebagai
refleksi sikap keadilan dikaitkan dengan alam raya.73
Dari bahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa, aspek adil dalam Alquran
meliputi: Persamaan kedudukan di dalam hukum; Keseimbangan alam; dan Hak
70
Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 6. 71
Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 166. 72
Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 167. 73
Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 175.
44
individu dalam keadilan sosial. Objek keadilan meliputi: Keadilan Hukum,
Keadilan Ilahi, dan Keadilan Sosial. Adapun, subjek/pelaku dari keadilan adalah
Allah swt (sebagai pelaku keadilan yang sempurna) dan manusia selaku umatNya
yang merupakan khalifah di muka bumi.
2.4.3. Prinsip-prinsip Keadilan dalam Alquran.
Sebagaimana teori-teori keadilan pada umumnya, prinsip-prinsip keadilan
juga disebutkan dengan jelas di dalam Alquran. Tafsir Al-Qur‟an Tematik
menyatakan bahwa keadilan dalam Alquran memiliki dua prinsip utama, yakni:
1) al-Musawah dan at-Taswiyah (Prinsip Persamaan Hak).
Prinsip al-musawah berarti memperlakukan semua pihak secara sejajar
didepan hukum atau peradilan. Adapun prinsip at-taswiyah, yaitu upaya
menyamakan antara hak satu dengan hak yang lain. Itu hanya bisa ditempuh
dengan mengambil sesuatu dari tangan orang yang tidak berhak, dan
mengembalikannya kepada yang berhak.74
Q.S. An-Nisa‟/4:1 adalah landasan
ideal bagi prinsip taswiyah. Bahwa setiap manusia, apapun latar belakangnya,
berasal dari asal yang satu. Karena itu, tidak boleh seorang merasa berhak
diprioritaskan mengalahkan yang lain. Persamaan hak sebagai salah satu prinsip
keadilan terkait dengan banyak hal, sebagian di antaranya dianggap paling
mendasar, seperti hak setiap orang untuk mendapat perlakuan wajar dalam
pergaulan sosial, posisi yang setara di depan hukum dan peradilan, pendidikan
74
Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 176-177.
45
yang baik, pelayanan kesehatan yang memadai, kesempatan bekerja secara wajar
dan bermartabat untuk memperoleh kehidupan yang layak.75
2) Proporsional.
Proporsional berarti meletakkan sesuatu pada posisi yang sesuai dengan
proporsinya atau memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
Dengan demikian, yang menjadi titik tekan pada kata adil adalah unsur
proporsionalnya, bukan unsur kesamaan. Dalam hal ini, adil merupakan antonim
dari zalim, yang didefinisikan sebagai “meletakkan sesuatu pada posisi yang tidak
sesuai dengan proporsinya.”76
2.5. Jender dalam Perspektif Alquran
Kata “jender” berbeda dari kata jenis kelamin (sex). Jender diartikan
sebagai kelompok karakter yang melekat pada laki-laki dan perempuan sebagai
hasil konstruksi budaya masyarakat. Sedangkan jenis kelamin menunjuk kepada
kondisi biologis seseorang dimana laki-laki dan perempuan dapat dibedakan dari
anatominya.77
Adapun perspektif, diartikan sebagai: pandangan, sudut pandang.78
Dengan mengacu pada kedua pengertian tersebut, jender dalam perspektif
Alquran yang dimaksud disini adalah perbedaan laki-laki dan perempuan ditinjau
dari sudut pandang Alquran.
Kata yang sepadan dengan istilah “jender” tidak ditemukan di dalam
Alquran. Namun demikian, bukan berarti bahwa Alquran tidak membahas
masalah jender didalamnya. Sejumlah istilah yang terkait dengan konsep jender,
75
Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 178. 76
Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 182. 77
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 177, 421. 78
http://kbbi.web.id/perspektif, diakses pada Rabu tanggal 30 Maret 2016 pukul 14.45
WIB.
http://kbbi.web.id/perspektif
46
seperti misalanya: perbedaan fungsi, peran, dan relasi antara laki-laki dan
perempuan, dapat ditemukan dalam Alquran. Istilah-istilah yang digunakan
terhadap laki-laki dan perempuan, seperti: al-rajul/al-rijal dan al-mar‟ah/al-nisa‟
serta al-dzakar dan al-untsa dapat dijadikan sebagai obyek penelusuran terkait
jender di dalam Alquran. 79
Senada dengan hal tersebut, Umar berpendapat bahwa identitas jender
dapat dipahami melalui simbol dan bentuk jender yang digunakan di dalam
Alquran. Istilah-istilah jender dapat diidentifikasi dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan perempuan. Misalnya al-rijal
(bentuk jamak dari kata al-rajul yang berarti laki-laki) dan al-nisa (bentuk
jamak dari kata al-mar‟ah yang berarti perempuan dewasa).
2. Gelar status yang berhubungan dengan jenis kelamin. Misal: Suami (al-
zawj) dan isteri (al-zawjah); Ayah (al-„Ab) dan Ibu (al-„Umm); Anak laki-
laki (al-Ibn) dan anak perempuan (al-Bint).
3. Kata ganti (pronoun/dlamir) yang berhubungan dengan jenis kelamin.
Misal: Kata ganti orang pertama: saya (ana) dan kami (nahnu); Kata ganti
orang kedua: seorang laki-laki disebut dengan anta, dua orang laki-laki
disebut dengan antum; Kata ganti orang ketiga tunggal laki-laki (huwa)
dan kata ganti untuk orang ketiga untuk orang lebih dari satu (huma).
4. Kata sifat disandarkan kepada bentuk mudzakkar dan mu‟annats.
Misalnya: orang muslim laki-laki (muslimun) dan orang muslim
79
Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama: Tafsir Sosial Fenomena Multi-Religius Kontemporer,
(Malang: UIN Malang Press, 2006), 50.
47
perempuan (muslimat); orang mukmin laki-laki (mu‟minun) dan orang
mukmin perempuan (mu‟minat).80
Prinsip-prinsip mengenai kesetaraan jender juga dapat ditemukan di dalam
sejumlah ayat di dalam Alquran. Terkait hal ini, Nasaruddin Umar telah mengkaji
ayat-ayat yang berisi tentang kesetaraan jender di dalam penelitiannya. Dalam hal
ini, Umar menggunakan variabel-variabel persamaan laki-laki dan perempuan
dalam hal: sebagai Hamba Allah; sebagai Khalifah di bumi; potensi meraih
prestasi; serta Keterlibatan Adam dan Hawa (sebagai simbol laki-laki dan
perempuan) dalam Drama Kosmis. Kesimpulan dari penelitian tersebut, adalah
bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan variabel-variabel tersebut telah
mengisyaratkan adanya konsep kesetaraan jender yang ideal, dimana prestasi
individual baik dalam urusan spiritual maupun urusan karier profesional tidak
dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Kedua jenis kelamin memperoleh
kesempatan yang sama untuk meraih prestasi optimal. Meski terdapat konsep
yang ideal tersebut, namun pada kenyataannya akan terlihat berbeda di
masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya kendala budaya yang ada pada
masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu konsep ideal kesetaraan jender dalam
Alquran masih harus melalui tahapan dan sosialisasi.81
2.6. Pentingnya Analisis Jender dalam Pembahasan Tafsir Keadilan.
Dalam pandangan Fakih, pada dasarnya inti ajaran setiap agama adalah
penegakkan prinsip keadilan. Dalam Islam, Alquran berisikan prinsip-prinsip
80
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur‟an, (Jakarta: Dian
Rakyat, 2010), 127-183. 81
Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur‟an, 229-246.
48
dasar yang menganjurkan penegakkan keadilan, baik di bidang ekonomi, politik,
kultural termasuk didalamnya adalah keadilan jender.
Untuk dapat memahami dan menganalisis tentang apa yang dianggap adil
dan tidak adil serta untuk mengetahui bagaimana mekanisme ketidakadilan yang
menjadi prinsip dasar agama, maka dibutuhkan sebuah pisau analisis dengan
meminjam analisis ilmu lain seperti ilmu-ilmu sosial maupun politik-ekonomi.82
Terkait hal tersebut, Fakih juga menjelaskan, bahwa di dalam Alquran
terdapat dalil qoth‟iy dan dalil dhanny. Dalil qoth‟iy (qoth‟iyul dalalah) adalah
dalil yang bersifat mutlak dan tidak bisa ditafsirkan dari satu pengertian. Adapun
dalil dhanny (dhanniyul dalalah) adalah dalil yang berisi ayat-ayat Alquran yang
dapat menimbulkan penafsiran. Untuk mendapatkan pemahaman pada dalil
dhanny inilah, pisau analisis seperti analisis jender bisa digunakan. Dengan
meminjam pisau analisis jender, maka pemahaman atau tafsiran terhadap ajaran
keadilan akan sesuai dengan realitas sosial yang ada. Dengan demikian, prinsip
keadilan yang menjadi inti dasar ajaran Islam akan tetap bisa relevan sepanjang
zaman.83
Pemahaman terhadap paradigma di balik gerakan dan teori feminisme
juga menjadi sangat diperlukan ketika sebuah analisis jender hendak dilakukan.84
Dari pandangan Fakih tersebut, dapat disimpulkan, bahwa prinsip keadilan
adalah inti dasar dari ajaran Islam. Agar sesuai dengan realitas sosial yang ada,
maka penafsiran terhadap ajaran keadilan harus dilakukan dengan meminjam
analisis ilmu lain. Untuk dapat menganalisis sebuah tafsir agama tentang keadilan
jender, maka analisis jender menjadi sangat diperlukan sebagai pisau analisisnya.
82 Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 135.
83
Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 136.
84 Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 78.
49
2.7. Keadilan dalam Masyarakat Patriarkat
Patriarki adalah sistem sosial dimana kaum perempuan mengalami
dominasi, penindasan dan eksploitasi dari kaum laki-laki.85
Patriarki merupakan
suatu sistem otoritas laki-laki dimana didalamnya perempuan mengalami
penindasan melalui berbagai institusi, baik sosial, politik maupun ekonomi.86
Dalam bentuk historis masyarakat patriarkis, baik feodal, kapitalis maupun
sosialis, sebuah sistem berdasarkan jender dan jenis kelamin beserta diskriminasi
ekonomi beroperasi secara simultan. Pada sistem patriarki, akses laki-laki
memiliki kekuatan lebih besar dibanding perempuan terhadap, bahkan menjadi
mediasi dari, sumber daya yang ada dan ganjaran.87
Penindasan perempuan,
eksploitasi dan tekanan sosial merupakan bagian integral dari sistem politik,
ekonomi dan budaya yang terjadi baik pada masyarakat feodal yang terbelakang,
maupun masyarakat industri modern di hampir seluruh dunia.88
Bagi feminisme kontemporer, konsep patriarki sangat diperlukan sebagai
istilah untuk mengekspresikan totalitas relasi yang menindas dan mengeksploitasi
kaum perempuan. Setiap teori feminis menemukan bahwa patriarki memunculkan
gaya yang beragam dalam melakukan subordinasi terhadap perempuan. Humm,
menyatakan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan merupakan akibat dari
sistem jender-seks. Humm mendefinisikan patriarki sebagai bentuk kontrol laki-
laki terhadap reproduksi perempuan.89
Bagi feminis Sosialis atau Marxis, patriarki
85
Outhwaite (ed.), Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern, 602. 86
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 332. 87
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 332. 88
Lihat Pengantar Penulis Nawal El-Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki,
(terj. Zulhimiyasri), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), v. 89
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 332-333.
50
ditempatkan dalam konteks materialis. Menurut mereka, model produksi kapitalis
dibentuk oleh pembagian kerja secara seksual yang patriarkis. Sementara itu,
feminis Radikal menyamakan patriarki dengan dominasi laki-laki. Mereka
beranggapan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan atas kelas perempuan karena
perempuan secara seksual lebih rendah nilainya daripada laki-laki.90
Sementara itu, terkait dengan nilai-nilai patriarki dalam hukum agama,
Engineer menyatakan bahwa, masyarakat tradisional adalah patriarkis, dan
masyarakat modern telah mewarisi nilai-nilai patriarkis tersebut. Patriarki adalah
penghalang terbesar bagi terwujudnya keadilan jender. Dalam perihal hukum
agama, tidak jarang nilai-nilai patriarkis dibentuk dan dilegitimasi dengan
menggunakan kitab-kitab keagamaan sehingga terbentuk anggapan bahwa hukum
agama tersebut bersifat ilahiah, suci dan tidak dapat diubah.91
Terkait dengan
dominasi kaum laki-laki dalam hal penafsiran teks kitab suci, Hasan menyatakan,
bahwa sejumlah faktor historis menunjukkan bahwa dominasi kaum laki-laki
dalam penafsiran teks-teks suci agama Islam telah terjadi sejak periode klasik
Islam. Hal tersebut selanjutnya berdampak pada peminggiran pengalaman
perempuan dalam penafsiran teologi.92
Untuk terciptanya kemerdekaan sejati bagi perempuan di seluruh dunia,
maka salah satu cara yang harus ditempuh adalah dihapuskannya sistem patriarkat
beserta nilai-nilainya. Berikut kutipan lengkap dari Nawal el-Saadawi:
“Kemerdekaan wanita yang sejati dan utuh, baik di negara-negara Arab, di Barat atau di
Timur Jauh, hanya terwujud bila kemanusiaan mengenyahkan masyarakat kelas dan
90
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 333-334. 91
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKis, 2007), 4. 92
Hamka Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir,
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 218.
51
eksploitasi selama-lamanya, dan bila sistem patriarkat berikut nilai-nilainya, struktur dan
bekas-bekasnya dihapus dari kehidupan dan pikiran masyarakat. dengan kata lain, wanita
hanya bisa benar-benar merdeka dibawah sistem masyarakat sosialis bila kelas-kelas
sosial dihapuskan dan, lebih jauh lagi, bila sistem, konsep dan hukum patriarkalisme
benar-benar dihapus.”93
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keadilan jender
merupakan perihal yang sangat sulit untuk diwujudkan dalam masyarakat
patriarkat. Hal ini karena perempuan masih saja ditempatkan sebagai kelas yang
lebih rendah dibanding laki-laki. Perempuan terus mengalami penindasan melalui
berbagai institusi, baik: sosial, politik, hukum, ekonomi, dan bahkan juga agama.
2.8. Teori Keadilan Jender Susan Moller Okin
Pada sub bab ini, akan dibahas mengenai Teori Keadilan Humanis
Berbasis Jender yang dikembangkan oleh Susan Moller Okin (1946-2004).94
Pembahasan diawali dengan biografi Okin, dilanjutkan dengan konteks yang
melatarbelakangi pemikiran Okin tentang teori keadilan jender. Setelah itu
dilanjutkan dengan mengulas beberapa bagian penting dari buku Justice, Gender
and The Family, sebuah buku karangan Okin yang didalamnya memuat teori
keadilan jender tersebut. Ada beberapa sub topik yang dibahas di sini,
diantaranya: Keadilan dan Gender; Keluarga: Di Luar Jangkauan Keadilan;
Tradisi dan Pemahaman Bersama yang dipertanyakan Okin; Pandangan Okin
terkait Justice as Fairness; Ruang Lingkup Keadilan: Menentang Dikotomik
Publik/Domestik; Kerentanan oleh Pernikahan; dan Menuju Keadilan Humanis.
93
Nawal El-Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriark, (terj. Zulhimiyasri),
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 365. 94
Susan Moller Okin adalah seorang ahli filsuf Barat dan sekaligus seorang feminis
Liberal yang mengembangkan sebuah teori keadilan humanis berbasis jender. Untuk selanjutnya di
dalam tesis ini disebut dengan nama Okin. Adapun untuk teori keadilan humanis berbasis jender,
selanjutnya dipersingkat menjadi teori keadilan jender.
52
Pembahasan berikutnya adalah Inti Kritik Susan Moller Okin, Kelebihan dan
Kekurangan Teori Keadilan Jender Okin, dan diakhiri dengan Kesimpulan.
2.8.1. Biografi Susan Moller Okin (1946-2004)
Susan Moller Okin atau lebih dikenal dengan sebutan Okin, lahir pada
tanggal 19 Juli 1946.95
Okin lahir di Aucklan, Selandia Baru. Dia adalah seorang
ahli filsuf politik ternama yang juga berkonsentrasi pada masalah jender dan
keluarga. Terkait pendidikannya, Okin berhasil menyelesaikan gelar sarjana pada
University of Aucklan (1967), gelar master filsafat pada Oxford (1970), dan gelar
doktor pada Harvard (1975). Sebelum bergabung dengan fakultas di Stanford,
Okin telah mengajar di berbagai universitas seperti: Universitas Auckland,
Vassar, Brandeis, dan Harvard. Selain kesibukannya mengajar, Okin juga
dipercaya menjadi direktur Program Etika Masyarakat (1993-1996).
Selama karirnya, Okin menerima banyak penghargaan, diantaranya: “The
American Political Science Association‟s Victoria Schuck Prize” untuk buku
terbaik tentang perempuan dan politik Justice, Gender and The Family (1989),
dan “Allan V. Cox Medal” untuk keunggulan fakultas dalam pembinaan
penelitian tingkat sarjana pada tahun 2002.96
Pada tahun 2000 Okin juga
memperoleh penghargaan Radcliffe “Graduate Society Medal” sebagai alumni
Harvard yang membuat kontribusi luar biasa di dalam bidangnya.97
95
http://www.theguardian.com/news/2004/mar/26/guardianobituaries.highereducation,
diakses pada Kamis, 10 Maret 2016. 96 http://news.stanford.edu/news/2004/march10/obitokin-310.html, diakses pada Rabu, 2
Maret 2016. 97
http://oasis.lib.harvard.edu/oasis/deliver/~sch01405, diakses pada Senin, 29 Pebruari
2016.
http://www.theguardian.com/news/2004/mar/26/guardianobituaries.highereducationhttp://news.stanford.edu/news/2004/march10/obitokin-310.htmlhttp://oasis.lib.harvard.edu/oasis/deliver/~sch01405
53
Okin meninggal pada tanggal 3 Maret 2004 dalam usia 57 tahun. Hingga
saat ini, penyebab kematian Okin masih belum dapat dipastikan. Okin
meninggalkan seorang puteri bernama Laura Moller Okin (Boston) dan seorang
putera bernama Justin Moller Okin (New York) serta dua saudara perempuannya:
Catherine Pitt (Notingham, Inggris) dan Janice Mei (Aucklan, Selandia Baru).
Pernikahannya dengan Bob Okin dari Los Altos berakhir dengan perceraian.98
2.8.2. Konteks yang melatarbelakangi Pemikiran Susan Moller Okin
Teori keadilan jender Okin yang diangkat dalam tesis ini, terdapat dalam
buku karangan Okin yang berjudul Justice, Gender and The Family (1989).
Terkait dengan konteks yang melatarbelakangi pemikirannya, Okin di dalam
pengantar bukunya menyebutkan, bahwa ada tiga faktor utama yang telah
mendorongnya untuk menulis karya tersebut, yakni: pertama, beberapa teori
feminis telah terjatuh ke dalam perangkap akademik sehingga kemudian menjadi
sulit untuk dipahami, bahkan sekalipun oleh sebagian besar kaum yang
berpendidikan. Kedua, iklim politik Amerika Serikat tahun 1980-an telah
berdampak pada lemahnya perjuangan menuju kesetaraan perempuan. Ketiga,
pengalaman kehidupan pribadi Susan Moller Okin, baik sebagai ahli teori politik
maupun sebagai orang tua tunggal bagi anak-anaknya.99
Terkait dengan ketiga faktor tersebut, disini peneliti hanya membahas
faktor yang pertama dan kedua, yakni mengenai kejatuhan teori feminis ke dalam
perangkap akademik dan situasi politik Amerika yang mendorong Okin dalam
menulis karyanya tersebut. Kedua faktor tersebut dibahas peneliti dalam satu
98
http://news.stanford.edu/news/2004/march10/obitokin-310.html, diakses pada Rabu, 2
Maret 2016. 99
Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, (USA: Chicago Press, 1989), vii.
http://news.stanford.edu/news/2004/march10/obitokin-310.html
54
rangkaian yang tak terpisahkan karena keduanya memang saling bersangkutan
satu dengan lainnya.
Valerie Sanders dalam Gamble (ed.,) menyatakan bahwa aktivisme
feminis Amerika telah dimulai pada saat menjelang diadakannya konvensi Seneca
Falls tahun 1848, yakni sebuah pertemuan yang memiliki agenda untuk menuntut
penghentian seluruh diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Pertemuan tersebut
dihadiri oleh 300 orang, termasuk didalamnya adalah 40 laki-laki. Penganjur
utama dari Seneca Falls adalah Elizabeth Cady Stanton (1815-1902) dan Lucretia
Mott. Dalam perjuangan tersebut, mereka menggunakan Deklarasi Kemerdekaan
(Declaration of Independence) tahun 1776 sebagai model untuk Declaration of
Sentiment, yakni sebuah Deklarasi Pernyataan Sikap yang dihasilkan pada
konvensi tersebut.100
Selain Deklarasi Pernyataan Sikap (Declaration of
Sentiments), dalam Seneca Falls, New York, juga dihasilkan dua belas resolusi.
Deklarasi Pernyataan Sikap menekankan isu yang telah dicanangkan oleh Mill
dan Tylor di Inggris, terutama kebutuhan untuk mereformasi hukum perkawinan,
perceraian, hak milik, dan pengasuhan anak. Adapun dua belas resolusi
menekankan hak-hak perempuan untuk mengutarakan pendapatnya didepan
umum. Satu-satunya dari resolusi Seneca Falls yang tidak didukung secara penuh
adalah resolusi dari Susan B. Anthony mengenai resolusi atas hak pilih.101
100
Valerie Sanders, “Gerakan Feminis Gelombang Pertama”, dalam Pengantar memahami Feminisme dan Postfeminisme, (Sarah Gamble ed., terj. Tim Penerjemah Jalasutra),
(Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 29. Di sini, Elizabeth Cady Stanton disebut Sander sebagai tokoh
feminis Amerika yang paling berpengaruh dalam kampanye untuk perubahan hukum perceraian,
hak-hak kekayaan perempuan yang sudah menikah, dan hak bersuara. 101
Tong, Feminist Thought, 31.
55
Mengingat begitu mendesaknya hak-hak perempuan untuk diperjuangkan,
maka pada tahun 1886, Konvensi hak-hak Perempuan Nasional memutuskan
untuk membentuk Equal Right Association (Asosiasi Kesetaraan hak). Dibawah
kepemimpinan Frederick Douglass dan Elizabeth Cady Stanton, asosiasi ini
mengumumkan tujuan organisasinya, yakni penyatuan perjuangan (laki-laki) kulit
hitam dan perempuan dalam memperoleh hak pilih. Namun dalam perkembangan
selanjutnya, muncullah tanda-tanda, bahwa asosiasi ini akan mendukung bagian
dari Amandemen Kelima Belas, yakni memberikan hak pilih bagi laki-laki kulit
hitam, tetapi tidak bagi perempuan. Karena hal tersebut, Anthony dan Stanton
mengajukan pendapat bagi pembubaran Equal Right Association.
Setelah keluar dari Equal Right Association, Anthony dan Stanton
membentuk National Woman Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih
Perempuan Nasional). Adapun, Lucy Stone, seseorang yang memiliki perbedaan
filosofis dengan Stanton, dan terutama dengan Anthony mengenai peran agama
yang terorganisir dalam opesi terhadap perempuan, mendirikan American Woman
Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Amerika). Sejak
saat itu, gerakan hak-hak perempuan di Amerika Serikat terpecah menjadi dua.
National Woman Suffrage Association memiliki agenda feminis yang revolusioner
dan radikal, sementara itu American Woman Suffrage Association mengusung
agenda feminis yang reformis dan liberal.
Pada tahun 1890, kedua asosiasi tersebut melebur menjadi satu dengan
nama National American Woman Suffrage Association dan bertransformasi
menjadi gerakan perempuan untuk memperoleh hak pilih yang relatif jinak, dan
56
hanya berfokus pada satu isu saja. Dari tahun 1890 hingga tahun 1920, tepatnya
ketika Amandemen Kesembilan Belas diloloskan, National American Woman
Suffrage Association membatasi seluruh kegiatannya untuk mencapai hak pilih
bagi perempuan.102
Dalam Garis Besar Sejarah Amerika, disebutkan bahwa
pemilihan presiden tahun 1920 merupakan pertama kalinya perempuan di seluruh
negeri dapat menggunakan hak pilihnya.103
Menurut Humm, pada tahun 1960-an, muncul sebuah gerakan sosial yang
diorganisir untuk melawan segregasi di Amerika Serikat. Gerakan tersebut dikenal
dengan Gerakan Hak Sipil (Civil Right Movement). Feminis gelombang kedua
muncul dari gagasan para anggota perempuan gerakan hak sipil tersebut. Mereka
adalah para aktivis perempuan yang mengalami penindasan dari anggota laki-laki
gerakan tersebut.104
Sementara itu, Sara Evans dalam Humm, menyebutkan bahwa
penyebab terbentukya liberasi perempuan di Amerika adalah kekecewaan
terhadap politik Civil Rights, gerakan anti-perang, dan gerakan mahasiswa untuk
masyarakat demokratis.105
Humm menyatakan bahwa istilah gelombang kedua dirangkai oleh Marsha
Weinman Lear untuk menunjuk pada pembentukkan kelompok liberasi
perempuan di Amerika, Inggris dan Jerman di akhir tahun 1960-an. Istilah
“gelombang kedua” berarti bahwa feminisme “gelombang pertama” telah berakhir
di tahun 1920.106
102
Tong, Feminist Thought, 31-34. 103
Garis Besar Sejarah Amerika, 279. 104
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 60. 105
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 415-416. 106
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 415.
57
Terkait hal tersebut, Humm juga menyatakan bahwa pergeseran dari
gerakan hak-hak sipil ke pembebasan perempuan telah menjadi penanda bagi
dimulainya gelombang feminis kedua, dan ini merupakan pengulangan sejarah
feminisme gelombang pertama. Tercatat dua kali dalam sejarah Amerika Serikat,
perjuangan persamaan rasial telah menjadi bidan yang membantu lahirnya
gerakan feminisme, yakni gerakan abolisi tahun 1830-an dan Civil Right
Movement di tahun 1960-an.107
Menurut Humm, pembebasan perempuan (Woman Liberation) adalah
nama dari gerakan perempuan kontemporer yang telah didopsi oleh para feminis
di tahun 1960-an. Penamaan ini merupakan suatu upaya sadar untuk menghindari
konotasi awal mengenai permasalahan perempuan.108
Sementara itu menurut
Deckard, masih dalam Humm, menyatakan bahwa pembebasan perempuan
muncul dari pengalaman kelompok perempuan dalam kelompok penyadaran dan
diperluas ke dalam studi teoritis yang lebih khusus mengenai relasi sosial
patriarkhi kapitalis. Liberasi perempuan mempunyai beberapa tujuan, diantaranya:
persamaan upah, pendidikan dan peluang kerja, bebas dari kontrasepsi dan aborsi
atas dasar permintaan, bebas dari perawatan anak 24 jam, mengakhiri diskriminasi
terhadap lesbian.109
Dengan adanya liberasi perempuan, maka kemudian muncul sebuah debat
mengenai sampai di mana teori feminis bisa seiring dengan tujuan-tujuan gerakan
liberasi perempuan tersebut. Beberapa feminis melihat adanya kontradiksi yang
mendasar antara metode ilmiah sosial dalam teori tersebut dan prinsip-prinsip
107
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 1. 108
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 509. 109
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 510.
58
gerakan. Sementara itu, feminis lainnya menyatakan bahwa teori tersebut hanya
mempunyai tujuan jika seiring dengan politik liberasi perempuan. Intinya, bahwa
keberhasilan utama liberasi perempuan telah menjadikan debat mengenai
perbedaan jender sebagai kritik menyeluruh terhadap peradaban yang ada, dan
telah membawa pada proses perubahan yang tidak terelakkan.110
Pada tahun 1961, Presiden John F. Kennedy mendirikan Commission on
The Status of Women (Komisi mengenai Status Perempuan), yang diantaranya
menghasilkan diberlakukannya Equal Pay Act (Kebijakan Kesetaraan
Pengupahan) dan Civil Right Act (Kebijakan Hak-hak Sipil) yang pada tahun 1964
diloloskan dalam kongres.111
Gelombang feminisme di Amerika Serikat semakin meningkat di era
reformasi. Hal tersebut ditandai dengan diterbitkannya sebuah buku The Feminine
Mystique karya Betty Friedan pada tahun 1963, yang kemudian disusul dengan
dibentuknya sebuah organisasi perempuan “National Organization for Woman”
atau NOW di tahun 1966 oleh Betty Friedan.112
Menurut Sue Thornham dalam
Gamble (ed.,), NOW dibentuk sebagai reaksi atas kegagalan America‟s Equal
Employment Opportunity Commission (Komisi Kesetaraan Kesempatan Kerja
AS) dalam menanggapi isu diskriminasi seks.113
Betty Friedan dipilih menjadi
presiden pertama NOW oleh 300 anggota pengurus yang terdiri dari laki-laki dan
110
Humm, Ensiklopedia Feminisme, 510-512. 111
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada
Arus Utama Pemikiran Feminis, (terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro), (Yogyakarta: Jalasutra,
2006), 35-36. 112
Asmaeny Azis, Feminisme Profetik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), 62. 113
Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.),
Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 36.
59
perempuan.114
Tujuan dibentuknya Undang-undang Hak Perempuan dalam
konferensi nasional pertama NOW di tahun 1967 adalah untuk memastikan bahwa
perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Tuntutan NOW bagi
perempuan, antara lain: agar segera diloloskannya Amandemen Hak-hak yang
Setara oleh Kongres Amerika Serikat; adanya jaminan bagi kesetaraan perempuan
dengan laki-laki dalam hal kesempatan kerja; adanya perlindungan hukum bagi
perempuan yang melahirkan, termasuk didalamnya untuk mendapat cuti
melahirkan; adanya ketentuan hukum yang mengatur fasilitas bagi pengasuhan
anak; hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan; hak perempuan untuk
menguasai kehidupan reproduktifnya.115
Pada tahun-tahun berikutnya, gerakan perempuan mulai mengalami
pergeseran, yakni mulai terbentuknya kelompok-kelompok pembebasan
perempuan non-hierarkis lokal. Berbeda dengan NOW, kelompok-kelompok baru
tersebut tidak memiliki organisasi nasional. Untuk mencapai tujuannya,
kelompok-kelompok tersebut melakukan berbagai aksi seperti: pendekatan
terhadap infrastruktur komunitas radikal, gerakan bawah tanah, dan universitas-
universitas terbuka.116
Pada bulan Februari tahun 1968, Anne Koedt menyampaikan sebuah
pidato di Universitas Terbuka di Kota New York terkait dengan perkembangan
yang terjadi pada gerakan perempuan tersebut. Koedt menyebutnya sebagai proses
“Conciousness Raising” (peningkatan kesadaran) yang selanjutnya melahirkan
114
Tong, Feminist Thought, 36. 115
Tong, Feminist Thought, 36-38. 116
Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.),
Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 36.
60
asumsi bahwa “masalah pribadi adalah masalah politik”, artinya bahwa, kekuatan
laki-laki dilatih dan dikuatkan melalui institusi personal seperti pernikahan,
membesarkan anak dan kegiatan seksual. Proses peningkatan kesadaran menjadi
ciri khusus kelompok-kelompok pembebasan perempuan.117
Pada tahun 1969,
Cellestine Ware bersama Shulamith Firestone dan Anne Koedth mendirikan
feminis Radikal New York.118
Pada awal tahun 1970-an, feminisme, atau kegiatan terorganisir atas nama
hak dan kepentingan kaum perempuan mencapai titik puncaknya. Jurnalis Gloria
Steinem dan beberapa orang wanita lain mendirikan majalah baru, Ms., yang terbit
pertama kali tahun 1972. Selain itu, juga ada Our Bodies, Ourselves, buku
pedoman kesehatan wanita. Akan tetapi, pada pertengahan hingga akhir tahun
1970-an, gerakan kaum perempuan mengalami kemandekan. Saat itu terjadi
perpecahan antara feminis moderat dengan feminis radikal. Kaum konservatif
yang menjadi lawan mereka melakukan kampanye menentang Amandemen Hak
yang Setara (Equal Rights Amandement, ERA). Pada tahun 1982 ERA mati tanpa
memperoleh persetujuan dari 38 negara bagian yang dibutuhkan untuk
ratifikasi.119
Dengan melihat runtutan sejarah di atas, maka dapat dipahami bahwa Okin
merupakan sosok filosof perempuan Barat dan juga feminis Liberal yang hidup di
tengah masa peralihan dari feminis Gelombang Pertama ke feminis Gelombang
Kedua, dan sekaligus hidup di tengah suasana kelesuan politik kenegaraan. Dalam
117
Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.),
Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 36-37. 118
Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.),
Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 38-39. 119
Garis Besar Sejarah Amerika, 369-370.
61
kehidupan politik kenegaraan, bahwa gerakan perempuan di Amerika telah
berhasil memperjuangkan hak pilih bagi perempuan, yakni dengan diloloskannya
Amandemen Kesembilas Belas di parlemen tahun 1920. Setelah hak pilih
perempuan diraih, gerakan perempuan justeru mengalami kelesuan dalam
perjuangannya hingga tahun 1960-an. Sementara itu, jika dilihat dari gerakan
feminis yang ada, maka NOW yang dibentuk tahun 1966 telah menjadi salah satu
penyebab bagi terjadinya perpecahan dikalangan feminis, dan kemudian
memunculkan sebuah gerakan feminis Radikal. Feminis Liberal yang pada
dasarnya menerima keluarga dalam dikotomi publik-privat, selanjutnya justeru
diserang oleh feminis Radikal yang beranggapan bahwa keluarga telah menjadi
sumber ketidakadilan bagi kaum perempuan, dan oleh karenanya, keluarga harus
dihancurkan karena telah dianggap sebagai sebuah institusi yang telah melahirkan
dominasi laki-laki terhadap perempuan. Selain terjadi perpecahan di tubuh
feminis, kaum feminis juga diperhadapkan pada munculnya gerakan pembebasan
perempuan. Berbagai kejadian tersebut telah menjadi penyebab kegelisahan di
kalangan akademisi. Teori feminis yang berkembang pun terjebak pada perubahan
yang diusung oleh feminis Radikal dan gerakan pembebasan perempuan.
Dalam situasi yang demikian, Okin sebagai seorang filsuf politik dan
feminis Liberal yang begitu peduli terhadap masalah jender dan keluarga merasa
terpanggil dan tergerak hatinya untuk membuat sebuah karya yang berisikan kritik
terhadap situasi yang ada. Terlebih lagi, Okin juga melihat bahwa keluarga
(khususnya dalam hal ini perempuan dan anak-anak), juga belum menjadi subyek
yang pasti di dalam teori keadilan yang berkembang saat itu. Dari berbagai
62
kejadian inilah kegelisahan Okin bermuara, dan selanjutnya ia tuangkan ke dalam
sebuah karya besar yang berjudul Justice, Gender and The Family. Justice,
Gender and The Family adalah sebuah karya yang memuat tentang teori keadilan
humanis, dan untuk selanjutnya dikenal dengan teori keadilan jender.
2.8.3. Keadilan, Jender dan Keluarga
2.8.3.1.Keadilan dan Jender
a. Pen