22
11 BAB II TEORI REKONSILIASI KONFLIK Dalam bab ini, akan dibahas kajian teoritis yang digunakan sebagai dasar penuntun dalam analisa data secara holistik. Menurut Budiardjo teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Tentang menyusun generalisasi itu teori selalu memakai konsep-konsep yang lahir dalam pikiran (mind) manusia dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan. 1 Lebih spesifik Kerlinger menjelaskan teori adalah serangkaian asumsi, konsep, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. 2 Penulis akan membahas teori-teori rekonsiliasi, akan tetapi sebelum membahas teori-teori rekonsiliasi, penulis akan terlebih dahulu membahas hakekat konflik, sehingga lebih tertata. 2.1. Hakekat Konflik Konflik berasal dari kata confligere, conflictum yang artinya saling benturan dan mendapat makna sebagai semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang antagonis-bertentangan. 3 Berdasarkan asal kata tersebut di atas konflik diartikan sebagai relasi-relasi antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan, 1 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1979), 30. 2 F. N. Kerlinger, Foundations of Behavioral Research. 2 nd Edition, (Holt, Rinehart and Winston, 1973), 9. 3 D. Jary and Julia Jary, Collinss Dictionary of Sociology (Great Britain: Harper Collinss Publisher, 1991), 56.

BAB II TEORI REKONSILIASI KONFLIK · hubungan antar konsep.2 Penulis akan membahas teori-teori rekonsiliasi, akan tetapi sebelum membahas teori-teori rekonsiliasi, penulis akan terlebih

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 11

    BAB II

    TEORI REKONSILIASI KONFLIK

    Dalam bab ini, akan dibahas kajian teoritis yang digunakan sebagai dasar penuntun

    dalam analisa data secara holistik. Menurut Budiardjo teori adalah generalisasi yang

    abstrak mengenai beberapa fenomena. Tentang menyusun generalisasi itu teori selalu

    memakai konsep-konsep yang lahir dalam pikiran (mind) manusia dan karena itu bersifat

    abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan. 1 Lebih spesifik

    Kerlinger menjelaskan teori adalah serangkaian asumsi, konsep, defenisi, dan proposisi

    untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan

    hubungan antar konsep. 2 Penulis akan membahas teori-teori rekonsiliasi, akan tetapi

    sebelum membahas teori-teori rekonsiliasi, penulis akan terlebih dahulu membahas

    hakekat konflik, sehingga lebih tertata.

    2.1. Hakekat Konflik

    Konflik berasal dari kata confligere, conflictum yang artinya saling benturan dan

    mendapat makna sebagai semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian,

    ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang

    antagonis-bertentangan.3 Berdasarkan asal kata tersebut di atas konflik diartikan sebagai

    relasi-relasi antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan,

    1 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1979), 30. 2 F. N. Kerlinger, Foundations of Behavioral Research. 2nd Edition, (Holt, Rinehart and Winston,

    1973), 9. 3 D. Jary and Julia Jary, Collinss Dictionary of Sociology (Great Britain: Harper Collinss Publisher,

    1991), 56.

  • 12

    interest-interest eksklusif yang tidak dapat dipertemukan, sikap-sikap emosional yang

    bermusuhan dan struktur-struktur nilai yang berbeda. Konflik dapat terjadi, jika ada

    ketidaksepahaman ilmiah di antara individu atau kelompok yang berbeda sikap,

    kepercayaan, nilai dan kebutuhan. Konflik juga dapat berasal dari persaingan masa lalu

    maupun perbedaan individual.4

    Konflik juga seringkali muncul karena adanya kompetisi terhadap akses atau kontrol

    pada sumber-sumber atau kesempatan yang langka. Lebih jauh konflik juga merupakan

    aksi dan reaksi terhadap ketidakadilan, ketidakjujuran dan kebencian terhadap kelompok

    atau orang tertentu. Konflik dapat terjadi pada semua kelompok atau siapa saja, tidak

    mengenal status dan kedudukan.5

    Konflik merupakan bagian dari dinamika sosial yang lumrah terjadi di setiap interaksi

    sosial dalam tatanan pergaulan keseharian baik individu, ataupun kelompok dalam

    masyarakat. 6 Menurut Weber, konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial,

    terjadinya konflik tidak terelakkan dalam suatu masyarakat disebabkan karena masyarakat

    dipandang sebagai struktur sosial yang mencakup proses-proses asosiatif dan disosiatif

    yang hanya dapat dibedakan secara analisis. 7 Bagi Weber seperti yang dikutip oleh

    Anthony Giddens dan kawan-kawan bahwa konflik merupakan pencerminan pertentangan

    kepentingan dan naluri untuk bermusuhan.8 Mengingat konflik merupakan gejala yang

    4 Bnd: Bambang Mulyanto, dkk, 1998 dalam Kutut Suwondo, Gereja dan Kemajemukan: Gereja

    Dalam Konflik Dengan Agama-agama Lain : Jalan Baru Menuju Terbentuknya “Civil Society”, : Visi Gereja Memasuki Milenium Baru, Bunga Rampai Pemikiran, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 85.

    5 Hargyaningtyas, Anatomi Konflik - Bahan Pengantar Diskusi Untuk Peserta KRA 34 Lemhannas, 2001,7.

    6 Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), 56. 7 Max Weber, The Sociology of Religion (Boston: Beacon Press, 1963), 154-155. 8 Anthony Giddens, Daniel Bell, DKK, Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, (Yogyakarta:

    Kreasi Wacana, 2004), 38.

  • 13

    selalu hadir dalam masyarakat, maka konflik tidak mungkin dihilangkan, melainkan hanya

    dapat diatur mekanisme penyelesaiannya.9

    Konflik seringkali dinilai sebagai sesuatu yang selalu berdampak negatif. Lewis A.

    Coser menilai secara positif fenomena konflik. Coser mengatakan bahwa konflik adalah

    unsur penting bagi integrasi sosial. Selama ini konflik selalu dipandang sebagai faktor

    negatif yang memecah belah. Konflik sosial dalam beberapa cara memberikan sumbangan

    pada kepentingan kelompok serta mempererat hubungan interpersonal.10

    Bertolak dari kedua pandangan di atas yang sama-sama melihat konflik sebagai gejala

    yang normal dan alamiah terjadi maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya konflik

    tidak mengacaukan sistem sosial, akan tetapi memberikan kontribusi menuju

    terpeliharanya masyarakat. Konflik dapat berperan sebagai pemicu proses menuju pada

    penciptaan keseimbangan sosial bahkan dapat berperan sebagai alat perekat kehidupan

    individu, atau kelompok dalam masyarakat.11 Konflik dapat membangun dan membentuk

    manusia menjadi manusia yang civil dan dewasa tapi konflik juga berbahaya dan merusak

    dunia kehidupan manusia. Itu berarti konflik tidak dapat dihindari namun dapat dihadapi.

    Karena penghindaran konflik bisa mengakibatkan terjadinya konflik yang lebih besar.

    9 Ibid 10 Lewis A. Coser, The Function of Social Conflict (New York: The Free, 1964), 22. 11 Durkheim juga melihat bahwa kelompok manusia memiliki sifat yang lebih dari atau sama dengan

    jumlah dari sifat-sifat individual yang menyusun kelompok tersebut. Dari sini Durkheim menekankan bahwa sistem sosial seimbang, oleh karena adanya nilai-nilai yang dianut bersama oleh individu, seperti nilai moral dan agama. Nilai-nilai inilah yang mengikat individu dalam kelompok masyarakat. Rusaknya nilai-nilai ini berarti rusaknya keseimbangan sosial melalui ketidaknyamanan pada individu-individu masyarakatnya. Pemikiran Durkheim ini dikritik oleh teori fungsionalis yang melihat masyarakat pada awalnya disusun oleh individu-individu yang ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Adanya kelanggengan kolektif ini membentuk nilai masyarakat, dan nilai-nilai inilah yang membuat masyarakat tetap seimbang, Kedua teori ini sama-sama memiliki persamaan dalam melihat keseimbangan yang terjadi dalam masyarakat terbentuk karena adanya nilai-nilai dan norma-norma yang mengikat individu dalam masyarakat. Band: Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (New York : Free Press, 1965), 121. Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini, Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi (Jakarta: Sinar Grafika, 1988), 89-93.

  • 14

    Semakin cepat konflik ditangani dan dihadapi atau bahkan dicegah semakin baik. Konflik

    tidak selalu negatif, melainkan bisa dijadikan wadah atau sarana untuk membangun saling

    pengertian dan membentuk kedewasaan berinteraksi antar individu maupun kelompok

    yang memiliki beragam sifat, sikap dan kepentingan.

    2.2. Konsep-konsep Rekonsiliasi

    Dalam upaya penanganan konflik, ada berbagai istilah yang digunakan seperti

    “resolusi konflik”, “manajemen konflik”, dan “penyelesaian konflik”. Cara yang

    digunakan pun ada berbagai macam, seperti mediasi, arbitrasi, dan tim pencari fakta. Dari

    semua istilah yang sering digunakan kalangan akademisi dalam penanganan konflik adalah

    alternative dispute resolution atau disingkat dengan ADR. Umumnya kalangan akademik

    Indonesia menerjemahkannya menjadi “pilihan penyelesaian sengketa”.12

    Istilah ADR merujuk kepada berbagai bentuk penanganan konflik atau sengketa,

    seperti negosiasi, mediasi, tim pencari fakta, dan arbitrasi. Lalu di manakah posisi

    rekonsiliasi dalam ADR? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya berangkat dari apa

    yang dikemukakan Kimberlee K. Kovach tentang ADR. Menurut Kovach, ADR terbagi

    atas beberapa tipe, yaitu13:

    1. Adjudicative, yaitu berbasis pada sistem yang legal dan ada pihak ketiga yang

    mengambil keputusan. Adjudicative terdiri dari beberapa cara, yakni arbitrasi, private

    judging, dan tim pencari fakta.

    12 Margaret Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), 110-111. 13 Kimberlee K. Kovach, Mediation Principles and Practice (St. Paul: West Group, 2004), 9-18.

  • 15

    2. Evaluasi, evaluasi dapat didefenisikan sebagai situasi advokat mempresentasikan versi

    mereka tentang kasus kepada pihak ketiga yang menilai kelemahan dan kekuatan dari

    kasus yang dipresentasikan.

    3. Facilitative, dalam tipe yang ketiga ini pihak yang netral tidak mengambil keputusan

    atau mengevaluasi. Pihak yang netral hanya membantu untuk mencapai, “acceptable

    agreement”. Pada tipe ketiga inilah mediasi dan rekonsiliasi berada.

    4. Proses kombinasi dan hybrids. Karena kelebihan ADR adalah fleksibilitas, maka dapat

    memodifikasi masing-masing proses untuk mencapai resolusi.

    Ada hal yang menarik mengenai mediasi dan rekonsiliasi. Orang cenderung

    menyamakan mediasi dan rekonsiliasi, padahal keduanya berbeda, walaupun hampir sama.

    Menurut Kovach14, mediasi agak bersifat informal, tapi lebih mempertahankan struktur

    jika dibandingkan dengan konsiliasi murni. Misalnya masih memungkinkan untuk

    melaksanakan konsiliasi melalui telepon. Kata konsili biasanya menandakan hubungan

    yang diperbaiki. Dalam mediasi juga diperhitungkan hubungan tetapi tidak menjadi faktor

    utama, resolusi dapat dicapai tanpa adanya rekonsiliasi yang sebenarnya antara pihak yang

    bersengketa. Tapi menurutnya dalam konteks internasional, konsiliasi memiliki arti yang

    berbeda. Kata konsiliasi dalam kepentingan komersial internasional kata ini digunakan

    untuk proses atau prosedur di mana pihak netral yang independen menyediakan bantuan

    14 Ibid, 14.

  • 16

    penyelesaian sengketa.15 Jadi dalam konteks internasional menurut Kovach rekonsiliasi

    lebih menyerupai mediasi.

    Perbedaan juga dikemukakan oleh Duane Ruth-Heffelbower dari sudut pandang lain.

    Menurutnya kecenderungan orang menggunakan mediasi atau rekonsiliasi dalam

    penanganan sengketa lebih dipengaruhi oleh latar belakang budaya. Ia ikut membagi

    konteks budaya menjadi “budaya konteks renggang” dan “budaya konteks erat”. Budaya

    konteks renggang seperti Eropa, Amerika dan Eropa cenderung menyukai mediasi. Pihak

    yang bertikai duduk bersama pihak luar untuk membantu komunikasi. Sedangkan dalam

    budaya konteks erat orang lebih menyukai rekonsiliasi dalam penanganan sengketa karena

    langkah mediasi terlalu beresiko menyebabkan kehilangan muka. Karena mediasi terlalu

    banyak melakukan pertemuan langsung serta melibatkan pihak luar.16

    Lalu apakah rekonsiliasi itu? Apa yang menjadi ciri khas dari rekonsiliasi? Apa

    unsur-unsur yang ada dalam kata rekonsiliasi ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

    ini, menurut penulis ada baiknya dimulai dari asal-usul kata rekonsiliasi.

    Melihat perkembangan penggunaan kata rekonsiliasi mengakibatkan maknanya pun

    semakin berkembang. Lalu bagaimana memahami kata rekonsiliasi? Menurut penulis

    untuk memahami apa yang dimaksud dengan rekonsiliasi ada baiknya dimulai dari

    etimologis kata ini. Kata ini terdiri dari kata Latin, concilium. Kata ini mengandaikan suatu

    proses yang dimaksud dengan sengaja, di mana pihak-pihak yang berseteru bertemu satu

    sama lain “dalam dewan” guna membahas pandangan mereka yang berbeda dan mencapai

    15 Ibid, 15. 16 Duane Ruth - Heffelbower, Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi; Edisi kedua (Yogyakarta: Duta

    Wacana Press, 2000), 23-24.

  • 17

    kesepakatan bersama.17 Jika dilihat dari akar katanya ini menimbulkan kesan bahwa kata

    ini mirip dengan negosiasi. Dalam Oxford Dictionary18 kata ini didefenisikan sebagai the

    restoration of friendly relations atau the action of making of one view or belief compatible

    with another. Dari defenisi ini dapat dilihat bahwa kata ini berkembang dari usaha mencari

    kesepakatan bergerak ke arah memperbaiki hubungan yang rusak. Dalam Kamus Besar

    Bahasa Indonesia pun mendefinisikan dengan maksud yang sama. Oleh KBBI kata ini

    didefenisikan sebagai “perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan

    semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan.”19 Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat

    Bahasa kata ini diartikan sebagai perdamaian atau perbaikan. 20 Jadi, dalam kata

    rekonsiliasi terkandung makna perbaikan kembali suatu hubungan yang telah rusak.

    Rekonsiliasi tidak hanya sekedar menyangkut suatu perjanjian kontrak, tetapi lebih kepada

    hubungan - meminjam istilah Ferdinand Tonies - Gemeinschaft dibanding Gesselscaft.21

    Untuk lebih jelasnya, di bawah ini penulis akan menjabarkan beberapa teori rekonsiliasi

    menurut para ahli.

    2.2.1. Rekonsiliasi menurut Geiko Muller - Fahrenholz

    Geiko Muller- Fahrenholz tidak memberikan defenisi secara eksplisit apa itu

    rekonsiliasi. Ia menjelaskan apa itu rekonsiliasi melalui beberapa sisi dari rekonsiliasi. Sisi

    17 Geiko Muller - Fahrenholz, Rekonsiliasi Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan dalam Masyarakat

    (Maumere: Ledalero, 2005), 5. 18 Oxford Dictionary Online, reconciliation, diunduh pada tanggal 22 September 2015 dari

    http:/oxforddictionaries.com/definition/english/reconciliation?q=reconciliation 19 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, rekonsiliasi, diunduh dari: http://kbbi.web.id/rekonsiliasi. 20 Tim Redaksi, Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Departemen Pendidikan Nasional),

    Rekonsiliasi. 21 Ferdinand Tonnies, “Gemmeinscaft and Gesselscaft” dalam Talcot Parson, dkk, (ed)., Theories of

    Society (New York: The Free Press of Glencoe, Inc. 1961), 191.

  • 18

    pertama yang ia perhatikan adalah pengampunan. Ia berusaha menjelaskan bahwa

    pengampunan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan. Geiko Muller - Fahrenholz

    memulai apa itu rekonsiliasi dari sudut pandang teologis. Ia memang mengakui bahwa

    dalam Alkitab manusia tidak terlibat secara aktif dalam proses rekonsiliasi.22 Menurut

    Fahrenholz, Alkitab memahami pengampunan sebagai suatu proses yang mencakup baik

    pelaku kejahatan dan korban, seperti yang ditulis oleh Fahrenholz:

    Pengampunan itu terjadi ketika pelaku meminta maaf dan si korban

    memberikannya. Kedua belah pihak diubah dalam perjumpaan ini. Terjadilah

    sebuah penyembuhan yang meretas jalan bagi suatu kerjasama yang lebih baik di

    antara pihak-pihak yang berseteru. Lebih dari sekedar kata atau gerak-gerik,

    pengampunan merupakan suatu proses perjumpaan, proses penyembuhan, proses

    penyingkapan pilihan-pilihan baru yang sejati untuk masa depan.23

    Pendapatnya ini sangat berbeda dengan yang dikemukakan oleh Robert J. Screiter.

    Menurut Screiter, pengampunan hanya bersifat satu sisi saja, yakni dari korban. Baginya

    korban juga merupakan manusia berdosa yang menerima pengampunan dari Tuhan. Jadi,

    sudah sepatutnya si korban mengampuni pelaku kejahatan, karena dia sudah terlebih

    dahulu menerima pengampunan.24 Hal ini hampir sama dengan apa yang dikemukakan

    oleh Izak Lattu. Di mana Lattu menyatakan bahwa Yesus merupakan jembatan

    rekonsiliasi antara manusia dan Tuhan. Rekonsiliasi merupakan cara terbaik untuk

    memperbaiki hubungan antara dua pihak atau lebih yang terlibat dalam konflik. Menurut

    Lattu, seseorang mendapatkan rekonsiliasi ketika korbannya mendapat keadilan, baik

    melalui pengadilan maupun rekonsiliasi budaya. Rekonsiliasi tidak hanya berhubungan

    22 Geiko Muller - Fahrenholz, Rekonsiliasi Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan dalam Masyarakat

    (Maumere: Ledalero, 2005), 7. 23 Ibid, 8-9. 24 Robert J. Screiter, Reconciliation: Mission and Ministry in a Changing Social Order (New York:

    Orbit Books & Massachussetts, Boston Teological Institutes, 1992), 59.

  • 19

    dengan alasan dan implikasi yudisial, tapi juga berhubungan dengan kerohanian.

    Menganggap rekonsiliasi sebagai pengalaman kerohanian menuntun manusia kepada jalan

    hidup baru dan hidup tersebut dapat menginspirasi orang lain.25

    Fahrenholz berpendapat bahwa privatisasi dan vertikalisasi pengampunan dapat

    mengakibatkan hubungan horizontal menjadi terabaikan, 26 dalam arti pengampunan

    menjadi suatu hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan, maka orang akan

    cenderung enggan untuk meminta maaf. Jika tidak ada permintaan maaf, maka

    pengampunan tidak akan terjadi.

    Dari sudut pandang Fahrenholz, pelaku atau penindas pun turut diperbudak oleh

    tindakannya. Untuk terlepas dari perbudakan ini, pelaku harus mengakui kesalahannya

    kepada korban, dan hal inilah yang sering ditakutkan.27 Pendapat dari Fahrenholz ini

    sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Olaf Schumann. Pengampunan pun tidak

    berarti bahwa apa yang dibuat akan dicoret dalam sejarah. Menurut Schumann,

    pemahaman tentang pengampunan seperti itu keliru. Pengampunan berarti bahwa yang

    terjadi tidak akan dihitung lagi, setelah ia diakui sebagai sesuatu yang memang ada dan

    layak dihitung.28 Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Douglas W. Young29.

    Walaupun ia setuju dengan Screiter bahwa rekonsiliasi harus dimulai dari korban, tapi

    menurutnya pengampunan harus dikomunikasikan dengan pengakuan. Baginya tindakan

    25 Izak Lattu, ‘Identity and Reconciliation in Jesus’ Peacebuilding Narrative in John 4:1-26: An

    Interdisciplinary Perspective,” dalam Journal of Asian and Asian American Theology Vol. 11 (2013), 48-49. 26 Geiko Muller - Fahrenholz, 26. 27 Ibid, 27. 28 Olaf Schumann, Agama-agama: Kekerasan dan Perdamaian (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011),

    485. 29 Young Douglass W, Rekonsiliasi Membongkar Tembok Permusuhan, dalam Guido Tisera (ed),

    Mengelola Konflik, Mengupayakan Perdamaian (Maumere: Lembaga Pembentukan Berlanjut Arnold Jansen, 2002), 172.

  • 20

    meminta dan memberi pengakuan adalah tindakan dua pihak dalam gerak menuju

    rekonsiliasi. Setiap tindakan menuntut balasan dari pihak lain.

    Pengakuan yang dimaksud oleh Fahrenholz adalah suatu proses pengakuan yang

    sangat mendalam. Ia menggunakan kata Jerman Entblossung yang secara harafiah berarti

    menelanjangi diri. Menurutnya kata ini menggambarkan suatu proses di mana seseorang

    berbalik dari titik di mana tindakan jahat pertama kali dilakukan. Mengakui semua

    implikasi dari tindakan memalukan tersebut, dan tindakan ini memang merupakan

    tindakan yang menyakitkan. Tindakan ini akan lebih menyakitkan lagi jika diakui di

    hadapan orang yang menderita karenanya.30

    Tapi perlu diingat bahwa pengampunan bukanlah suatu proses yang otomatis. Ketika

    si pelaku mengaku kesalahannya dengan tulus, korban tidak otomatis memaafkannya. Pada

    pihak korban, perasaan terluka begitu terasa. Menurut Fahrenholz, perasaan terluka ini juga

    merupakan suatu perusakan pada inti pati kepribadian manusia. Pendapatnya ini sama

    dengan apa yang dikemukakan oleh Schreiter, bahwa kekerasan dapat merusak inti

    kehidupan manusia. Lebih lanjut, menurut Fahrenholz, hal ini berakibat pada begitu

    banyak alasan mengapa korban tidak mau berpaling lagi ke kedalaman luka traumatis

    mereka. Lebih mudah untuk bersembunyi di balik barikade represi, amarah dan

    pembenaran diri. Akibatnya kadang permintaan maaf yang tulus tidak digubris.31

    Oleh karena itu, Geiko Muller - Fahrenholz, ia melihat bahwa adanya faktor perantara

    diperlukan sebagai sisi lain dari rekonsiliasi. Biasanya yang menjadi seorang perantara

    adalah seorang yang cukup dipercayai oleh kedua pihak yang sedang berselisih untuk

    30 Geiko Muller - Fahrenholz, 52-53. 31 Ibid,. 55.

  • 21

    membersitkan percik kepercayaan untuk mengawali proses Entblossung. Sebagai

    perantara ia hanya bertindak sebagai percikan pertama untuk menyalakan api perjumpaan,

    dan menyanggupkan kedua belah pihak untuk saling bertemu muka ke muka (face to

    face).32 Akan tetapi, menurut Fahrenholz tidak selalu, atau tidak mutlak untuk selalu

    menyertakan seorang perantara. Faktor perantara dapat berupa kunjungan ke tugu

    peringatan, atau beberapa tempat berkesan mendalam lainnya yang membuat barikade rasa

    takut dan curiga itu ambruk. Bisa juga berupa begitu menindihnya rasa bersalah atau beban

    keterasingan yang tak tertanggungkan lagi, yang menyebabkan seseorang terdorong

    mengatasi segala macam rintangan dalam batin, dan meminta maaf.33

    Ia mengutip Martin Buber, dari buku “I and Thou”, yang menunjukkan bahwa

    perjumpaan sejati antara pribadi-pribadi, memunculkan sesuatu yang baru, yakni sebuah

    daya tenaga yang tidak terbelenggu di dalam dirinya dan juga tidak terpisah dari yang lain,

    tetapi berasal-usul dari kebersamaan mereka. Manakala dua pribadi menyingkapkan diri

    mereka seorang kepada yang lain maka terciptalah suatu “medan energi” di antara

    keduanya, yang melampaui kekuatan secara perorangan. Dalam wacana religius, menurut

    Fahrenholz, daya tenaga yang mengherankan ini diacu sebagai Roh Allah.34

    Pandangan Fahrenholz ini mirip dengan pendapat Schreiter. Tapi yang membedakan

    keduanya adalah menurut Fahrenholz kemampuan manusia untuk mengampuni, tidak

    boleh diredusir kepada kerahiman ilahi, tetapi harus diakui sebagai kemampuan yang juga

    bersifat manusiawi. Faktor perantara ini menurutnya bisa juga ditemukan di antara

    pribadi-pribadi yang non religius. Ia menyebut daya tenaga ini dengan kekuatan

    32 Ibid,. 67-68. 33 Ibid,. 68. 34 Ibid, 68-69.

  • 22

    kontigensi.35 Walau Fahrenholz tidak menyangkal peran orang ketiga dalam rekonsiliasi,

    tetapi ia melihat faktor antara tidak terpaku pada manusia. Faktor perantara bisa juga

    berbentuk tugu peringatan.36 Baginya kekuatan kontingensi ini berkaitan erat dengan

    imajinasi. Imajinasi untuk melihat jalan keluar yang tidak mampu atau tidak mau digapai

    pihak-pihak yang sedang bertikai.

    Dalam bentuk skema, konsep rekonsiliasi dari Fahrenholz dapat digambarkan sebagai

    berikut:

    Daya Kontigensi/

    Pihak Ketiga

    Memaafkan

    Korban Pelaku

    Mengakui Penindasan

    Lalu bagaimana kondisi dalam skema itu dapat terlaksana? Menurut Fahrenholz perlu

    ada tindakan tulus yang benar-benar mengindahkan perasaan pihak lain. Suatu gerak-gerik

    simbolik dengan sikap yang penuh hormat atas berbagai kesulitan yang ada di dalamnya. Ia

    mencontohkan tindakan ini dengan berlututnya Kanselir Jerman Willy Brant di tugu

    peringatan pemberontakan Warsawa, Polandia. Berlutut merupakan suatu gerak-gerik

    simbolik yang dimaksudkan Fahrenholz.37 Berikutnya menurut Fahrenholz perlu diadakan

    35 Ibid,. 70. 36 bnd. David Androff, “The Meaning of Reconciliation: women stories about their experience with

    suffering frong the grief”, Scandinavian Journal of Science (Vol. 13. 2010), 269-285. Menurut Androff, manusia bukan satu-satunya pemicu rekonsiliasi. Rasa sedih dan duka juga dapat menjadi pemicu seseorang untuk berekonsiliasi.

    37 Ibid,. 123-131.

  • 23

    suatu langkah agar kedua pihak bisa saling berkomunikasi, sehingga tidak terjadi salah

    paham di antara keduanya. 38 Dalam hal ini sangat diperlukan untuk menyingkap

    cerita-cerita para korban yang dipaksa untuk membisu39, di sinilah pihak perantara sangat

    dibutuhkan perannya. Dalam langkah kedua ini nampak bahwa bagaimana kebenaran

    menjadi unsur yang sangat penting untuk terjadinya suatu rekonsiliasi.

    2.2.2. Rekonsiliasi Menurut Duane Ruth - Heffelbower

    Berbeda dengan dua tokoh lainnya, Duane Ruth - Hefflebower sangat memperhatikan

    sisi strategi dari sebuah rekonsiliasi. Walau menggunakan kata rekonsiliasi Ruth -

    Hefflebower juga memperhatikan unsur-unsur mediasi. Ketika membahas rekonsiliasi, ia

    memulainya dengan membahas tentang konsiliator. Hefflebower berangkat dengan

    menjelaskan perbedaan antara mediator dan konsiliator. Seorang konsiliator adalah orang

    yang bijaksana, paling tidak memiliki status yang sama dengan pihak yang berkonflik dan

    dipercayai oleh kedua belah pihak, yang mendengarkan secara pribadi kedua pihak itu, lalu

    mengusulkan solusi secara pribadi.40

    Semakin erat konteks di mana nasehat diberikan, maka semakin besar kemungkinan

    untuk pihak berselisih mengikuti nasihat konsiliator.41 Jadi dapat dikatakan dalam model

    konsiliasi seorang konsiliator memegang peranan yang sangat besar. Dengan demikian

    dalam hal ini seorang konsiliator dapat mengontrol situasi suatu proses rekonsiliasi.

    38 Ibid,. 132. 39 Geiko Muller- Fahrenholz, “Proses Rekonsiliasi: Menangani Masalah Apartheid”, Seri Pastoral,

    2002, No. 5, 18. 40 Duane Ruth - Hefflebower, Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi; Edisi kedua (Yogyakarta: Duta

    Wacana Press, 2000), 23-24. 41 Ibid,. 24.

  • 24

    Seperti yang sudah penulis singgung sebelumnya bahwa walaupun keduanya

    merupakan hal yang identik, konsiliator dan mediator tetap memiliki perbedaan. Menurut

    Hefflebower, perbedaan antara seorang konsiliator dengan mediator adalah mediator

    dipilih karena pengetahuannya tentang subjek perselisihan dan kemampuan mediasinya.42

    Hal ini juga diungkapkan oleh Kovach, menurutnya seorang mediator harus dipilih

    berdasarkan kemampuannya, bahkan untuk seorang mediator professional biasanya

    dikenakan biaya.43 Sedangkan seorang konsiliator, cenderung bertemu pihak yang bertikai

    secara terpisah untuk menghindari kehilangan muka pihak yang bertikai.44

    Tapi kesamaan antara mediator dan konsiliator sebagai pihak ketiga, pertama adalah

    menyangkut komunikasi. Keduanya harus memiliki keterampilan untuk berkomunikasi

    dengan kedua pihak yang bertikai. Itulah sebabnya pihak ketiga harus mempunyai

    kemampuan untuk berkomunikasi dengan kedua belah pihak.45

    Lebih lanjut, untuk mengadakan rekonsiliasi, sejak awal sudah dijelaskan lebih dahulu

    kepada pihak yang bertikai bahwa tujuan dari rekonsiliasi adalah membuat segala sesuatu

    berjalan sebaik mungkin bagi pihak-pihak yang bertikai dengan cara sejujur mungkin,

    seseimbang mungkin dan seadil mungkin.46

    Secara ringkas, Hefflebower menyusun kriteria pihak ketiga ini menjadi beberapa

    poin, yaitu47:

    42 Ibid,. 25. 43 Kimberlee K. Kovach, 144. 44 Duane Ruth - Hefflebower, 27. 45 Kimberlee K. Kovach, 52-60. 46 Duane Ruth - Hefflebower, 41. 47 Ibid,. 80-81.

  • 25

    1. Ketidakberpihakan. Orang-orang yang melakukan intervensi (pihak ketiga) sebaiknya

    tidak berpihak oleh semua pihak yang terlibat. Dalam kenyataan hampir tidak ditemukan

    ada pihak ketiga yang benar-benar netral.Tapi dalam kenyataannya tidak ada netralitas

    yang bisa dilaksanakan dengan murni. Pihak ketiga cenderung berpihak kepada salah

    satu kubu yang bertikai. 48 Kovach pun mengungkapkan hal yang sama. Menurut

    Kovach netralitas yang absolut adalah mustahil untuk dicapai.49

    2. Akses. Mereka yang melakukan intervensi ini sebaiknya orang-orang yang memiliki

    akses kepada pemimpin dari kedua belah pihak.

    3. Kecocokan. Kelompok yang melakukan intervensi seharusnya merupakan orang yang

    cocok dengan kedua pihak.

    4. Kecakapan. Untuk intervensi dibutuhkan orang-orang yang seperti berikut: (a)

    Seseorang yang memiliki kecakapan untuk menciptakan kemudahan dalam pertemuan.

    (b) Seseorang yang benar-benar paham mengenai masalah politik. (c) Seseorang yang

    mempunyai kemampuan atau koneksi mencari dana.

    5. Identitas. Kelompok yang melaksanakan intervensi sebaiknya merupakan kelompok

    yang mempunyai nama atau lembaga yang dapat diterima oleh semua pihak.

    6. Waktu dan Komitmen. Pihak yang melakukan intervensi harus memiliki komitmen

    untuk menempuh proses yang panjang dan melelahkan.

    48 Jumiati, Penerapan “The Five Basic Principle of Mediation” - Sebuah Tinjauan Teoritis dalam

    Theofransus Litaay, dkk (ed.), Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian (Salatiga: Satya Wacana Peace Centre - SWCU, 2011), 119.

    49 Kimberlee K. Kovach, 213.

  • 26

    7. Ukuran. Jumlah dari para pelaksana intervensi sebaiknya cukup besar untuk memenuhi

    kriteria di atas.

    Untuk melakukan intervensi, pihak ketiga harus memiliki tujuan tertentu. Hefflebower

    mengindikasikan tujuan-tujuan dari sebuah intervensi sebagai berikut50:

    a. Membangun hubungan dengan pihak-pihak yang terlibat.

    b. Berinteraksi dengan pihak-pihak yang terlibat untuk mengenal situasi.

    c. Intervensi berguna untuk membangkitkan tanggapan masyarakat dengan memberikan

    informasi kepada masyarakat tentang kejadian.

    d. Mengurangi kekerasan.

    e. Memperbaiki perilaku, yaitu dengan cara mengkonfrontasi perilaku yang merusak

    atau tidak sah.

    f. Memperbaiki komunikasi.

    g. Memberdayakan negosiasi, mediasi atau rekonsiliasi.

    h. Melakukan advokasi kepada salah satu pihak. Tindakan terakhir ini bertujuan untuk

    menyeimbangkan kekuatan.

    Adapun langkah-langkah dalam melakukan proses rekonsiliasi yang dijabarkan oleh

    Heffelbower adalah sebagai berikut51:

    50 Duane Ruth-Heffelbower, 75-77. 51 Ibid, 42-43.

  • 27

    1. Mengakui adanya kesalahan dan luka hati (membangun kesadaran akan adanya

    ketidaksepahaman).

    Melihat langkah pertama ini, fungsi dari pihak ketiga memiliki kesamaan dengan apa

    yang disebut Coser dengan “katub penyelamat”. Katub penyelamat ini dapat berupa

    lembaga yang berfungsi sebagai tempat penyaluran keluhan-keluhan. Sebagai tempat

    meluapkan permusuhan secara terarah.52

    2. Memulihkan keseimbangan. Langkah ini dilakukan dengan meminta masing-masing

    pihak untuk mengungkapkan apa yang dibutuhkan agar hubungan dapat dipulihkan.

    3. Menjelaskan niat untuk masa depan. Langkah yang ketiga ini dilaksanakan dengan

    menanyakan kepada masing-masing pihak mengenai apa yang perlu dilakukan agar konflik

    tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang.

    4. Membuat rangkuman dan menuliskan hasil persetujuan. Untuk melaksanakan langkah

    ini yang perlu ditanyakan kepada pihak-pihak yang bertikai, yaitu: Apakah hal-hal yang

    tidak seimbang disadari oleh kedua pihak? Apakah persetujuan cukup jelas sehingga

    perselisihan yang sama tidak akan terulang lagi? Apakah persetujuan telah memuat

    penghargaan, membangun rasa simpati satu sama lain, dapat dipahami dan mempunyai

    landasan yang jelas dan dapat diterima oleh semua pihak.

    5. Langkah yang terakhir adalah menandatangani, merayakan, dan kemudian

    menindaklanjuti.

    52 Margaret M Poloma, Sosiologi Kontemporer, pent. Tim Penerjemah YOSOGAMA (Jakarta: PT Raja Grafindo

    Persada, 2011), 108-109.

  • 28

    Selain langkah di atas, Hefflebower menuliskan bahwa sangat penting untuk

    menyelaraskan kepentingan. Dalam menyelaraskan kepentingan ini, ia menyusunnya

    dalam tiga tahap, yaitu53:

    1. Mengidentifikasikan keprihatinan-keprihatinan utama.

    2. Membuat alternatif jalan keluar.

    3. Memilih jalan alternatif yang terbaik.

    3. Rekonsiliasi Menurut John W. De Gruchy

    John W. de Gruchy lebih menekankan teorinya pada pemahaman kontribusi

    spiritualitas Kristen demi terwujudnya suatu rekonsiliasi dan sebagai saksi teologi publik.

    de Gruchy menunjukkan karakter relasional spiritualitas Kristen, yang memperlihatkan

    nilai keterlibatan dalam praktek rekonsiliasi dan penegakan keadilan. Konsep inti ini

    ditemukan untuk menjadi pelekat dalam hubungan perjanjian antara Tuhan dan manusia.

    de Gruchy menggambarkan rekonsiliasi sebagai restorasi, yakni kontur keadilan dan

    hubungan yang benar dalam transendental. Ia melihat spiritualitas, rekonsiliasi dan

    keadilan sebagai tiga hal yang saling berhubungan. Menurutnya, dunia dalam semua

    penderitaan dan harapan adalah tema teologis yang harus dikembangkan.54

    de Gruchy membedakan empat cara membicarakan rekonsiliasi, yaitu:

    1. Upaya untuk menggambarkan berbagai tingkatan rekonsiliasi.

    53 Ibid, 47-51. 54 John W. de Gruchy, Reconciliation Restoring Justice (London: SCM Press, 2002), 1.

  • 29

    2. Memahami inti untuk mengatasi keterasingan.

    3. Berlangsung secara teologis.

    4. Interpersonal, sosial dan politik.55

    Rekonsiliasi dapat berhubungan dengan setiap cara ini untuk mengatasi keterasingan

    secara terpisah atau bersama-sama. Rekonsiliasi biasa mengambil tempat dalam urutan

    atau sebagai sebuah proses - perjalananan yang membutuhkan kesadaran masa lalu,

    sekarang dan langkah-langkah untuk masa depan. 56 de Gruchy menyatakan bahwa

    rekonsiliasi harus dilakukan melalui identitas: memahami identitas seseorang dalam

    kaitannya dengan identitas umum “yang lain” dan menemukan identitas baru.57

    Kebutuhan akan rekonsiliasi adalah sesuatu yang relevan dalam setiap komunitas

    manusia di mana orang teralienasi dan berduka, demi terwujudnya suatu penyembuhan dan

    harapan.58 de Gruchy mengatakan:

    The doctrine of reconciliation will be most relevant to social and political life

    when it is most true to its own distinct character. How pointless it would be if we

    were simply to provide religious terms in which the discussion about political

    reconciliation could be clothed in order to make it more palatable to religious

    people.59

    de Gruchy telah membuat suatu kontribusi yang unik dan cukup relevan dengan

    konteks saat ini. Para politisi bahkan pemuka-pemuka agama seringkali menggunakan

    agama sebagai sarana untuk mengadakan rekonsiliasi. Tetapi ternyata itu belum cukup. Ia

    menawarkan suatu perspektif interdisipliner, ekumenis yang ditanam dalam tradisi Kristen.

    55 Ibid, 26. 56 Ibid, 27-28. 57 Ibid, 30-31. 58 Ibid, 12. 59 Ibid, 46.

  • 30

    Ini juga menggambarkan hubungan antara rekonsiliasi dan keadilan. Ia menggunakan

    Truth and Reconciliation Commission (TRC) sebagai studi kasus. Baginya, spiritualitas

    Kristen dapat berfungsi untuk membentuk identitas orang Kristen mempraktekkan iman

    dalam kehidupan politik, menciptakan ruang untuk rekonsiliasi, di mana kebenaran bisa

    berbicara, dan pengampunan dapat dicari. Pusat argumennya adalah gagasan perjanjian

    antara Tuhan dan penciptaan. Melalui Kristus, mediator antara Allah dan manusia, Allah

    telah memperbarui perjanjian-Nya dalam sebuah inisiatif baru ‘untuk mendamaikan segala

    sesuatu untuk diri-Nya sendiri’.60

    Hubungan interpersonal, sosial dan politik perlu mengadopsi atau menggabungkan

    “nilai-nilai, masalah etika, dan teologis serta wawasan antropologis” dari ikatan atau

    hubungan ‘perjanjian’, yang memberikan bentuk dan struktur.61 de Gruchy mengusulkan

    hubungan ini sebagai kerangka di mana rekonsiliasi harus dipahami. Ikatan perjanjian ini

    didasari oleh karakteristik, komitmen, kepercayaan dan menghormati perbedaan. Hal ini

    didorong oleh niat murni, untuk berusaha memperoleh solidaritas, altruistik dan

    pengorbanan, yang memungkinkan terjadinya kompromi secara terus-menerus.

    Argumennya mengembangkan tugas atau tanggung jawab dari kedua pelaku dan

    korban. Tugas ini meliputi pengungkapan kebenaran, termasuk bersalah untuk pelaku, dan

    pengampunan untuk korban. de Gruchy berpendapat bahwa doktrin dosa menetapkan

    semacam solidaritas di antara semua umat manusia. Oleh karena itu ide dari hubungan

    perjanjian memperluas tanggungjawab manusia (terutama orang-orang beriman) untuk

    bertindak sebagai agen rekonsiliasi di dunia. Menurutnya, tidak ada pemahaman yang

    60 Ibid, 69. 61 Ibid, 183.

  • 31

    koheren mengenai keadilan di dunia modern.62 Keadilan restoratif lebih merupakan upaya

    untuk “memulihkan dimensi terabaikan tertentu yang membuat pemahaman yang lebih

    lengkap tentang keadilan”.63

    Keadilan dalam tradisi Alkitab bersifat sosial dan relasional. Oleh karena itu de

    Gruchy menyoroti hubungan antara keadilan, kasih dan kuasa.64 de Gruchy berpendapat

    bahwa rekonsiliasi dan keadilan merupakan bagian dari proses dan tujuan, atau sarana dan

    tujuan. Dunia yang adil, membutuhkan rekonsiliasi, dunia hanya dapat didamaikan jika

    keadilan dipulihkan.65 Spiritualitas, rekonsiliasi dan keadilan saling berhubungan dalam

    arti bahwa semua adalah alat untuk mencapai tujuan, dan berakhir dalam diri mereka.

    62 Ibid, 200. 63 Ibid, 202. 64 Ibid, 203-204. 65 Ibid, 199.

  • 32

    Kesimpulan

    Konflik dapat diartikan sebagai suatu relasi antagonistik yang terjadi antara lain akibat

    adanya ketidaksepahaman, sikap-sikap emosional, struktur-struktur nilai yang berbeda dan

    bisa juga karena persaingan masa lalu maupun perbedaan individual. Konflik adalah

    sesuatu yang tidak dapat dihindari tapi dapat dihadapi. Selain berdampak negatif, konflik

    juga dapat memberikan dampak positif karena dapat dijadikan wadah atau sarana untuk

    membangun saling pengertian dan membentuk kedewasaan berinteraksi antar individu

    maupun kelompok yang memiliki beragam sifat, sikap dan kepentingan.

    Ada berbagai bentuk dan penyebab terjadinya konflik, baik karena adanya

    ketidaksepahaman, politik dan lain-lain. Untuk mengelola konflik tersebut, terdapat

    beberapa cara yang dapat disesuaikan dengan konteks, bentuk atau sifat konfliknya.

    Meskipun demikian, agar dapat menyelesaikan suatu konflik keahlian mengelola konflik

    sangat dibutuhkan.

    Dalam upaya penanganan konflik, ada banyak pilihan penyelesaian sengketa.

    Rekonsiliasi adalah salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa. Rekonsiliasi mengacu

    pada suatu upaya memperbaiki hubungan yang rusak/ perdamaian. Penulis sempat

    membahas 3 teori yang dikemukakan para ahli mengenai rekonsiliasi. Ketiga teori ini

    dikembangkan dalam konteks berbeda sehingga proses atau tahapannya pun berbeda,

    namun tujuannya sama, yaitu mewujudkan suatu perbaikan hubungan. Dari pendapat para

    ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa rekonsiliasi hanya dapat terwujud jika ada pihak

    yang mengakui kesalahannya dan meminta maaf, sebaliknya pihak lainnya memberi maaf.

    Sehingga terwujud suatu keseimbangan atau kesepahaman.