Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB)
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) adalah pembangkit listrik yang
memanfaatkan tenaga (aliran) angin sebagi sumber penghasil energi baik untuk
skala besar maupun untuk skala kecil. PLTB termasuk sumber energi baru
terbarukan dan layak disebut clean energy karena ramah lingkungan. Dari segi
teknologi, PLTB berskala kecil saat ini lebih banyak diteliti dan dikembangkan
karena kontruksinya yang sederhana, mudah dioperasikan, serta mudah dalam
hal perawatannya. Pada prinsipnya, PLTB berskala kecil hanya bergantung dari
sudut datangnya kecepatan angin yang mengalir. Aliran angin kemudian akan
memutar turbin yang dalam hal ini terhubung pada bilah-bilah, sehingga
menghasilkan energi mekanik. Energi mekanik dari putaran bilah selanjutnya
terhubung pada generator sinkron dan menghasilkan listrik dengan jenis arus
AC (Alternating Current). Arus AC kemudian melalui subsistem pengatur dan
penyimpanan ke dalam baterai yang terlebih dahulu harus diubah menjadi arus
DC (Direct Current). Sebelum disuplai kepada konsumen arus DC diubah
kembali menjadi arus AC. Gambar 2.1 dibawah ini menggambarkan secara
skematis bagaimana proses angin diubah menjadi energi listrik dari energi
mekanik kemudian ditransmisikan.
Gambar 2.1 Proses Konversi Energi Pada PLTB
6
Besarnya tenaga angin yang tersedia tergantung pada kecepatan dari aliran
angin. Dalam teori momentum dasar, jumlah energi kinetik yang dihasilkan dari
aliran udara yang memutar dapat dihitung dengan persamaan 2.1.
E = �
� . m . �2 (2.1)
Dimana:
m = aliran massa udara dalam turbin angin ( ��
��� )
� = kecepatan udara ( �
��� )
E = energi kinetik dari massa fluida dalam turbin angin ( � .���
�� )
Aliran massa yang melewati area A sesuai dengan persamaan 2.2.
m = A . � . � (2.2)
Dimana:
A = luas sapuan rotor ( m2 )
� = kerapatan udara rata rata ( ��
�� )
Karena luas sapuan rotor dalam bentuk lingkaran, maka didapatkan
persaman A dengan jari-jari r dan konstanta � adalah
A = � r2 (2.3)
(nilai konstanta � adalah 3.1415926536)
Dengan mensubistusi persamaan 2.1 dan 2.2 didapatkan rumus jumlah
energi dari daya angin yang tersedia sesuai dengan persamaan 2.4.
Pwind = E . m = �
� � . � . �� (2.4)
jika diketahui rendemen dari efisiensi generator (ƞg), efisiensi transmisi
(ƞtr), dan efisiensi baterai (ƞb), maka daya yang dihasilkan generator dapat
dihitung dengan persamaan 2.5 [9].
Pwind = �
� · ƞg . ƞtr . ƞb . ρ · A . ϑ3 (2.5)
7
2.2 Konsep Dasar Generator
Konsep dasar generator dapat ditentukan dengan hukum kaidah tangan
kanan pada persamaan 2.6 sebagai berikut.
e = B . l . u (2.6)
Dimana:
e = tegangan keluaran ( V )
B = kerapatan fluks ( T )
l = panjang kumparan ( m )
u = kecepatan gerak ( m/s )
Persamaan 2.6 menjelaskan bahwa sebuah konduktor dapat menghasilkan
suatu tegangan e apabila bergerak dengan kecepatan u secara tegak lurus
melalui medan magnet. Dapat diilustrasikan sebagai berikut.
Gambar 2.2 Konduktor Didalam Medan Magnet
2.3 Topologi Generator Suface Magnet Permanen
Generator Surface magnet permanen merupakan teknologi mendesain
sebuah generator yang memiliki beberapa bagian penting sebagai berikut.
2.3.1 Stator
Stator merupakan tempat untuk menghantarkan aliran fluks. Didalam
stator, alian fluks mengalir karena adanya kawat tembaga yang dililitkan pada
bagian stator yaitu teeth (gigi). Lebar dari gigi stator sangat berpengaruh pada
besarnya aliran fluks yang mengalir. Dari aliran fluks akan mempengaruhi
keluaran yang dihasilkan.
Terdapat jenis stator yang memiliki gigi yang menonjol ke arah magnet
pada rotor yang disebut stator yoke atau back iron [10].
8
2.3.2 Rotor
Sebagai bagian dari generator yang berputar, tipe rotor pada generator ini
diletakkan pada permukaan magnet permanen [4].
Gambar 2.3 Tipe Rotor Terhadap Magnet Permanen. (a) Surface Permanent
Magnet, (b) Interior Permanent Magnet
Untuk perbandingan, pada gambar 2.4 ditampilkan contoh lain tipe rotor
terhadap magnet permanen. Contoh lain tersebut adalah tipe rotor Interior
magnet permanen (Interior Permanent Magnet). Pada tipe ini rotor diletakkan
didalam magnet permanen. Terdapat juga tipe inset-magnet rotor, bread loaf
magnet, decentered magnet, interior double-layer magnet [11].
2.3.3 Magnet Permanen
Perkembangan material magnet permanen telah diteliti sejak tahun
1950an. Keberhasilan mengembangkan karakteristik magnet permanen yang
ditingkatkan dari tahun 1950an terlihat dari gambar 2.5 [12].
Gambar 2.4 Pengembangan Bahan Magnet Permanen dalam Hal Produk
Energi Maksimum
(a) (b)
9
2.3.4 Airgap
Airgap merupakan bagian generator yang memisahkan stator dan rotor
dengan celah udara untuk menghindari gesekan secara langsung. Lebar airgap
akan mempengaruhi kinerja generator karena berfungsi sebagai jalur
perpindahan flux magnetik dari rotor menuju stator.
2.3.5 Dimensi Utama Genertor
Ukuran dari sebuah generator tergantung dari parameter-parameter awal
yang ditentukan seperti daya keluaran yang diinginkan, kecepatan maksimal
putar rotor, faktor belitan, dan faktor daya. Untuk mendapatkan dimensi dari
sebuah generator setelah menentukan parameter awal, dapat dihitung
menggunakan persamaan berikut.
��� = �
�,��.��.��.��.�� .��.���� (2.7)
Dimana:
D = Diameter dalam Stator (m)
L = Panjang Inti (m)
Q = Daya semu (KVA) ( � =�
���� )
P = Daya keluaran (KW)
kw = Faktor belitan
ns = Rotasi per detik (Rps)
cos θ = Faktor daya
2.3.6 Ukuran Stator dan Rotor
Perhitungan hubungan ukuran stator dengan rotor dapat dihitung dengan
persamaan-persamaan dibawah ini.
1. Menghitung diameter rotor (��)
�� = � − 2.�� (2.8)
2. Derajat Slot (�s)
�s = ��
� (2.9)
10
3. Derajat Pole (��)
�� = (�.�)
�� (2.10)
4. Slot Pitch ( s )
psis r . = ��
� �� (2.11)
5. Coil pitch (��)
�� = ���� ����.�� (2.12)
6. Menghitung panjang inti efektif (Li)
�� = �.������ (2.13)
(������ adalah faktor penumpukan stator laminasi, berkisar antara
0,9-0,95 untuk ketebalan laminasi 0,35-0,5 mm) [13].
7. Stator Yoke (Ys)
BtsLiYs
..2
(2.14)
Dengan nilai ∅ = �� ��
= �� (� ��� ��
� .
�
�� . �) ; Di = Dr ; Da = Di - Lm
= �� (� ���(����� )
� .
�
�� . �)
8. Stator Pole Pitch (�p)
p
Dp
2
. (2.15)
9. Menghitung rotor pole pitch (��)
�� = �� .0,75 (2.16)
10. Menghitung area kutub rotor (���)
��� = �� .�� (2.17)
11
11. Lebar Gigi Stator (Wts)
tsi
prg
tsBLZ
ABpW
..
..2 (2.18)
12. Luas Lubang Slot (As)
�� = 0,5 �� (�.��)�(� �� . �)
� �+ �
(�.��)�(� �� . �)
� �� .�
��
�−
��
�� (2.19)
Dengan nilai De = Dos – 2.Ys
13. Menghitung area slot yang dapat terisi oleh lilitan (Ao)
�� = ����
��� (2.20)
(nilai Sf berkisar antara 30% - 50%)
14. Menghitung jumlah lilitan yang dapat terisi (Ns)
�� = ��
�.(�.����)�
�
(2.21)
Gambar 2.5 Kerangka Stator
12
Gambar 2.6 Kerangka Rotor
Dimana:
Dr = Di = Diameter rotor (m)
D = Dc = Diameter dalam stator (m)
lg = Panjang airgap/celah udara (m)
Z = Jumlah slot
2p = Jumlah pole atau kutub
rsi = Jari-jari rotor (m)
L = Panjang inti (m)
∅ = Fluks magnet (webber)
Bts = Kerapatan fluks di gigi stator (T)
Bg = Kerapatan fluks rata-rata (T)
De = Diameter dalam lubang slot (m)
Lm = Ketebalan magnet (m)
Da = Diameter dalam magnet (m)
Dos = Diameter luar stator (m)
2.4 Konsep Umum Torsi Denyut (Cogging Torque)
Cogging torque adalah torsi yang dihasilkan oleh shaft ketika rotor pada
generator magnet permanen berputar terhadap stator. Ini terjadi saat generator
berada pada kondisi tanpa pembebanan. Cogging torque adalah karakteristik
yang melekat pada generator magnet permanent dan disebabkan oleh geometri
dari generator.
13
Untuk mendapatkan nilai cogging torque, generator akan disimulasikan
dengan memutar rotor sejumlah derajat yang diperlukan saja. Jumlah derajat
ini ditentukan dengan menghitung derajat mekanik untuk tiap periode cogging
torque menggunakan persamaan 2.22.
���� = 360�
��� (����,����)
Dimana:
LCM = Least Common Multiple (Kelipatan Persekutuan Terkecil)
2.5 Metode Stator Tooth Width
Stator Tooth Width Method adalah sebuah metode yang digunakan untuk
menentukan ukuran dari sebuah teeth (gigi). Ada dua jenis pemasangan gigi
pada stator yaitu Uniform Tooth Width (lebar gigi-gigi yang sejenis) dan
Nonuniform Tooth Width (lebar gigi-gigi yang tidak sejenis). Penjelasan dari
dua jenis tersebut sebagai berikut.
2.5.1 Uniform Tooth Width (Lebar Gigi Sejenis)
Pada pemasangan jenis ini, lebar dari gigi-gigi dibuat sejenis seperti
terlihat pada gambar 2.7 [8].
Gambar 2.7 Sketsa Gigi Stator Dengan Jenis Uniform Tooth Width
Untuk membuat lebar gigi yang seragam seperti terlihat pada gambar 2.7,
dapat menggunakan persamaan berikut.
n1 = ��
��� (�,��) (2.23)
Hasil nilai n1 dengan persamaan 2.23 diinputkan ke dalam persamaan
2.24 sebagai berikut.
Cn1 = ��
� sin
�� � �
� (2.24)
(2.22)
14
Dimana:
Cn1 = Koefisien lebar gigi
Z = Jumlah slot
a = lebar teeth
2.5.2 Nonuniform Tooth Width (Lebar Gigi Yang Tidak Sejenis)
Gambar 2.8 Sketsa Gigi Stator Dengan Jenis Nonuniform Tooth Width
Dalam mendesain gigi yang tidak seragam seperti pada gambar 2.8, perlu
diketahui nilai n1 genap atau ganjil [8]. Nilai n1 dapat dicari dengan rumus
sebagai berikut.
�� = ��
��� (�/� , ��) (2.25)
Dimana:
Z = Jumlah slot
2p = Jumlah pole
GCD = Greatest Common Divisor (Faktor Persekutuan Terbesar)
(mencari pembagi bilangan yang sama dan terbesar dari hasil
pembagian slot dan pole. Sebelum itu jumlah slot yang diketauhi
harus terlebih dahulu dibagi 2).
Berikut ini penjelasan untuk nilai n1 yang genap dan n1 yang ganjil.
2.5.2.1 Ketika n1 Genap
Pertama-tama mencari niai ML dengan rumus sebagai berikut.
ML = LCM (Z/2, 2p) (2.26)
Dimana:
LCM = Least Common Multiple (Kelipatan Persekutuan Terkecil)
15
Nilai ML yang telah didapatkan dengan persamaan 2.26 dimasukkan ke
dalam persamaan 2.27 berikut ini.
Cn1 = 2 �
� sin
( ��� ) ��
� cos
( ��� ) ��
� (2.27)
Dengan nilai a dan b dapat dicari dengan persamaan berikut.
a = (2j + 2k – 1) �
�� = (2j + 2k – 1) DL
b = (2j – 2k + 1) �
�� = (2j – 2k + 1) DL
Dimana:
a,b > 0
a + b < 2 x (2�/Z)
2.5.2.2 Ketika n1 Ganjil
Setelah mendapatkan nilai ML menggunakan persamaan 2.26 dimasukan
ke dalam persamaan berikut.
Cn1 = -2 �
� sin
( ��� ) ��
� cos
( �� � ) ��
� (2.29)
Dengan nilai a dan b didapat dari:
a = (2k – 2j + 1) DL
b = (2k + 2j + 1) DL
2.6 Hubungan Torsi Cogging dengan Stator Teeth
Hubungan teeth stator terhadap cogging terletak pada nilai Cn1 yang
didapatkan. Nilai Cn1 kemudian dimasukkan ke persamaan 2.31 untuk
mendapatkan nilai cogging dengan lebar teeth tertentu.
�� = ∑ � �� ��� sin(� � �)���� (2.31)
Dimana:
B2r (�,�) = �� ∑ cos�2�(� + �)�
��� → untuk mencari nilai Am
B2r (�,�) = Fluks rata-rata pada airgap (Webber)
2p = Jumlah pole
(2.30)
(2.28)
16
� = Sudut displacement rotor (degree)
� = Lebar gigi (m)
Cn1 = Koefisien lebar gigi
Z = Jumlah slot
2.7 Konversi Daya dan Torsi Generator
Generator memiliki daya input berupa daya mekanik dari putaran rotor dan
daya output berupa daya elektrik. Besar daya input dan output yang dihasilkan
generator dapat dihitung dengan persamaan-persamaan berikut ini.
� = � . � . �
�� (2.32)
��� = � .� (2.33)
���� = � .� (2.34)
Dimana:
� = Kecepatan sudut (Rad/sec)
� = Kecepatan putar (Rpm)
� = Torsi (Nm)
� = Arus (ampere)
��� = Daya input (Watt)
���� = Daya ouput (Watt)
Gambar 2.9 Diagram Power Flow Generator [14]
Pout
17
Dalam kondisi generator beroperasi normal, terdapat dua medan magnet
yang terjadi yaitu medan magnet pada stator dan medan magnet pada rotor.
Interaksi antara dua medan magnet tersebut menghasilkan torsi di dalam
generator karena adanya gaya putar. dapat dilihat pada gambar 2.10 merupakan
contoh distribusi fluks stator dengan satu kumparan kawat yang dipasang pada
rotor.
Gambar 2.10 Distribusi Fluks Stator Satu Kumparan Pada Rotor [14]
Dari ilustrasi pada gambar 2.10 dimana diketahui Bs adalah kepadatan
fluks puncak ketika mengarah keluar secara radial dari permukaan rotor ke
permukaan stator dengan arah berlawanan jarum jam. Sehingga Didapatkan
nilai torsi yang terbangkitkan adalah sebagai berikut.
� = 2 (� .�)= 2 ����� sin � (2.35)