Upload
ngotu
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Gambut
Gambut (Peat) merupakan campuran dari fragmen material organik yang berasal
dari tumbuh –tumbuhan yang telah berubah sifatnya secara kimiawi dan menjadi fosil.
Material gambut yang berada dibawah permukaan mempunyai daya mampat yang tinggi
dibandingkan dengan material tanah yang umumnya (Mac Farlane, 1958). Sub komisi 6
pada kongres Ilmu Tanah Internasional di Rusia pada Tahun 1930 telah merumuskan
pengertian Peat atau gambut sebagai ”Bahan organik tanah dengan kedalaman 0,5 meter
dan luasnya 1 Hektar”. Pengertian ini bertahan cukup lama hingga Anderson (1964)
pada tahun 1960 menambah pengertian ini dengan ”jumlah mineral maksimun 35%”.
Apabila mineral di antara 35% - 65% maka tanah tersebut disebut Muck (gambul).
Gambut hanya mungkin terbentuk apabila terdapat limpahan biomass atau
vegetasi pada suatu kawasan yang mengalami hambatan dalam proses dekomposisinya.
Faktor penghambat utama tersebut adalah genangan air sepanjang tahun atau kondisi
rawa. Dalam konteks yang demikian, hutan sebagai penghasil limpahan biomass,
khususnya pada areal-areal yang selalu tergenang air adalah merupakan kawasan
potensial terbentuknya gambut.
8
Menurut (Maltby, 1992) akumulasi bahan organik sebagai hasil perombakan
tidak sempurna sisa jaringan tanaman yang mati pada suatu kondisi air yang berlimpah
yang mengakibatkan kekurangan oksigen. Akumulasi dipacu oleh faktor – faktor
lingkungan antara lain suhu rendah, pH rendah dan pasokan hara sedikit. Pada saat
proses perombakan bahan organik berjalan lambat dan sisa tumbuhan terus menimbun
tahun demi tahun maka terjadilah deposit gambut.
Gambar 2.1 Lahan Gambut.
2.1.1. Sifat dan Jenis tanah Gambut
Tanah gambut pada umumnya berwarna coklat tua sampai kehitaman,
akibat mengalami proses dekomposisi sehingga muncul senyawa – senyawa
humus yang berwarna gelap. Selain itu gambut juga memiliki sifat menyerap air
yang tinggi serta dapat menahan air 2 – 4 kali dari beratnya, terlebih pada
gambut lumut (moss peat) yang belum terdekomposisi dapat menahan air 12 – 15
kali bahkan sampai 20 kali beratnya.
9
Salah satu sifat tanah gambut yang penting untuk diketahui adalah tanah
gambut mempunyai sifat menyusut (subsidience), hal ini disebabkan karena
proses dehidrasi (kehilangan air) maupun proses dekomposisi bahan organik
yang terus berjalan sehingga ketebalan gambut akan terus menyusut (Setiadi,
1990). Selain itu tanah gambut juga cenderung bersifat lebih asam apabila
dibandingkan dengan tanah mineral pada kejenuhan basa yang sama.
Komponen pembentuk tanah gambut terdiri dari zat organik dan zat
anorganik dalam jumlah yang kecil. Zat organik tersebut terdiri dari selulosa,
lignin, bitumen (wax dan resin), humus, dan yang lainnya. Selulosa (C6H10O5)
merupakan senyawa organik yang paling utama terdapat pada tanah: dimana
komposisi dari zat organik ini tidak stabil, tergantung pada proses
pembusukannya, misalnya selulosa pada tingkat pembusukan dini (H1-H2)
sebanyak 15-20% tetapi pada tingkat pembusukan lanjut (H9-H10) mencapai
50-60%. Unsur – unsur pembentukgambut sebagian besar terdiri dari karbon,
hidrogen, nitrogen dan unsur lainnya seperti Al, Si, Na, S, P, Ca. Tingkat
pembusukan pada tanah gambut akan menaikkan kadar karbon dan menurunkan
oksigen (Setiadi, 1990). Partikel organik berukuran kurang dari 0,1μm, dimana
sifat spesifik dari partikel koloidal ini sangat tergantung dari mineral pembentuk
iklim dan tingkat dekomposisi tanah.
10
Tabel 2. 1 Unsur utama Gambut Berdasarkan perbedaan tingkat Humifikasi.
(Sumber. Setiadi, 1990)
2.1.2. Klasifikasi Tanah Gambut
Pengklasifikasian mengenai tanah gambut telah banyak dilakukan tetapi
sampai saat ini belum ditemukan sistem klasifikasi yang berlaku baku secara
universal, karena banyak peneliti yang mengklasifikasikan tanah gambut
berdasarkan hal yang berbeda dan untuk kepentingan yang berbeda pula.
Beberapa klasifikasi yang ada antara lain :
A. Menurut Mac Farlane (1969), berdasarkan kadar serat tanah gambut
dapat digolongkan menjadi :
Fibrous Peat, merupakan tanah gambut yan mempunyai
kandungan serat sebesar 20% atau lebih, dan gambut ini
mempunyai dua jenis pori yaitu makropori (pori diantara
serat) dan mikropori (pori yang ada didalam serat – serat yang
bersangkutan).
11
Amorphous Granular Peat, merupakan gambut yang
mempunyai kandungan serat kurang dari 20% dan terdiri dari
butiran dengan ukuran koloidal (2μ), serta sebagian besar air
porinya terserap di sekeliling permukaan butiran gambut.
B. Menurut Van De Meene (1982), berdasarkan perbedaan bentuk
dan kondisi geografisnya, tanah gambut dibedakan menjadi :
Topogenous Peat atau Marsh Peat merupakan gambut yang
diendapkan dibawah muka air tanah. Endapan gambut ini
dibentuk oleh tumbuhan yang menyerap sisa makanan yang
terbawa air limpahan sungai akibat pasang surut sungai dan
hasil dekomposisi tumbuhan di daerah lembah antar
pegunungan. Endapan gambut ini disebut juga Eutropic Peat
atau gambut yang terbentuk oleh tumbuhan yang kaya akan
nutrisi.
Ombrogeneus Peat, merupakan gambut yang diendapkan
diatas muka air tanah. Endapan gambut ini dibentuk oleh
tumbuhan yang menyerap zat makanan hasil dekomposisi
material organik / gambut itu sendiri dan tergantung pada
daerah genangan air. Endapan gambut ini disebut juga
Oligotropic peat atau gambut yang terbentuk dari tumbuhan
yang kekurangan zat makanan atau kandungan nutrisinya
rendah.
12
C. Rigg dan Gessel (1956), membagi gambut menjadi 4 jenis yaitu :
Tanah gambut yang berasal dari lumut.
Tanah gambut berserat.
Tanah gambut yang berasal dari kayu, seperti batang, daun,
dan ranting.
Tanah gambut sedimen yang berasal dari tumbuhan
mikroskopik.
D. Menurut ASTM D2607-69 (1989), berdasarkan kandungan organik dan
kadar seratnya tanah gambut dibagi menjadi :
Spahagnum Moss Peat, yang memiliki kandungan serat
minimum sebesar 66,6% dari berat kering.
Hypnum Moss Peat, yang memiliki kandungan serat
minimum sebesar 33,3% dari berat kering.
Reed Sedge Peat, yang memiliki kandungan serat minimum
sebesar 33,3% dan serat – serat selain lumut (Moss).
Peat Hummus yang memiliki kandungan serat lebih kecil
dari 33,3% dari berat kering.
Gambut lainnya yaitu semua bentuk selain klasifikasi
diatas.
13
E. Menurut ASTM D4427-84 (1989) dan Organic Sediments Research
Center (OSRC) dari The University of South Carolina (A.O. Landva, E.O
Korpijaako, dan P.E. Pheeney, 1982) berdasarkan kadar abunya gambut
digolongkan menjadi :
Low Ash Peat yang memiliki kadar abu kurang dari 5% berat kering.
Medium Ash Peat yang memiliki kadar abu 5% - 15% berat kering.
High Ash Peat yang memiliki kadar abu 15% - 25% berat kering.
F. Selain menurut OSRC, LGS (Lousiana Geological Survey) dan Jarrett
System (1982) juga mendefinisikan bahwa suatu tanah disebut sebagai
tanah gambut bila kandungan abunya kurang atau sebesar 25%. Sedang
menurut Davis (1946) suatu tanah disebut sebagai tanah gambut apabila
kandungan abunya sebesar 35% atau kurang . Berdasarkan USSR System
suatu tanah disebut sebagai tanah gambut apabila kandungan abunya
sebesar 50% atau kurang.
14
Kelima sistem klasifikasi tanah gambut berdasarkan kandungan
abunya dapat ditunjukkan sebagai berikut :
Tabel 2. 2 Klasifikasi Tanah berdasarkan OSRC System, Jarrett System, Davis,
USSR System dan LGS System.
(Sumber. ASTM, 1983)
G. Klasifikasi tanah yang dibuat oleh Amaryan, dkk.adalah :
Tabel 2. 3 Klasifikasi tanah Gambut menurut Amaryan, dkk.
( Peat Engineering Hanbook, 1991)
15
2.1.3. Sejarah Tanah Gambut di Indonesia
Menurut Anderson (1964), orang pertama yang menemukan gambut di
daerah tropika adalah Beecari pada tahun 1904, tetapi penemuan itu baru berarti
setelah dilaporkan oleh Potonie dan Koordes pada tahun 1909 mengenai
pentingnya gambut di pedalaman Sumatera sebagai bahan asal Batubara.
Penelitian mengenai hutan gambut di Sumatera Selatan dan Riau pernah
dilakukan oleh Endert (1920) dan Sewandodo ( 1938).
Sedangkan penelitian pertama yang dilakukan mengenai asal dan
perkembangan gambut di Indonesia dilakukan oleh Polak pada tahun 1930-an
(Diemont, 1986). Proses pembentukan gambut di daerah tropika seperti di
Indonesia terutama dipengaruhi oleh kelebihan kadar air dan kekurangan oksigen
serta pH yang rendah. Sieffermann et al (1987) memberikan pemikiran tambahan
mengenai terjadinya gambut di wilayah tropika yaitu disebabkan oleh
kemampuan faktor organik untuk bereaksi dengan tanah mineral dan desaturasi
basa yang sangat kuat.
Diemont (1986) merangkum pemikiran Polak (1933), Anderson (1964),
Adriesse (1974) dan Driessen (1978) tentang pembentukan gambut di Indonesia
yaitu sebagai berikut :
Permukaan laut berada dalam kondisi stabil 5000 tahun yang lalu.
Beberapa abad kemudian terjadi dengan cepat deposisi sedimen pantai
yang menyebabkan terbentuknya daratan pantai yang luas dibeberapa
daerah pantai timur Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya. Beberapa
daratan tersebut tertutupi oleh komunitas Hutan Mangrove.
16
Komunitas Mangrove itu membuat daerah menjadi stabil dan
mengakibatkan terjadinya perluasan tanah –tanah yang akhirnya
membentuk daerah mangrove dan Lagoon yang mampu mengurangi
kadar garam serta meningkatkan daerah air yang segar (Fresh water)
yang mengakibatkan terjadinya hutan tropika atau danau berair segar.
Danau berair segar itu secara bertahap menampung bahan organik yang
dihasilkan oleh tumbuhan, dan berkembang menjadi hutan gambut
tropika yang dipengaruhi oleh air tanah gambut (Groundwater peat).
Pembentukan gambut seperti ini disebut sebagai gambut topogen yaitu
terbentuk berdasarkan kondisi topografi dan geomorphologi.
Diatas gambut topogen tersebut terbentuklah hutan gambut
Ombrotrophic.
2.1.4. Tanah Gambut di Indonesia
Secara geologis gambut terbentuk pada lingkungan pengendapan yang
berbeda-beda yaitu dapat terjadi pada daerah dataran rendah, dataran tinggi dan
pegunungan, sedangkan kondisi pembentukannya terjadi pada daerah beriklim
tropis, sedang dan dingin. Serta tumbuhan pembentuk gambut juga sangat
bervariasi di setiap daerah mulai dari tumbuhan tropis hingga padang rumput
atau lumut pada daerah yang tinggi. Karena beragamnya tipe tumbuhan tersebut
maka sumber formasi pembentuk endapan gambut juga akan berbeda. Dengan
demikian, karena bervariasinya kondisi iklim dan tumbuhan sisa di suatu daerah
pembentukan maka tipe gambut di suatu daerah akan berbeda dengan daerah
yang lain.
17
Luas lahan gambut diperkirakan sekitar 384 juta hektar yang tersebar di
seluruh negara di dunia. Diantaranya sekitar 31 juta hektar terdapat didaerah
tropika, yaitu 21 juta hektar di Asia Tenggara, 4,5 juta hektar di Amazone dan
Caribean, 3 juta hektar di USA, 1,5 juta hektar di Afrika dan 1 juta hektar di
Cina. Di Asia Tenggara sendiri lahan gambut sebagian besar terpusat di
Indonesia dan Malaysia, dan sedikit di beberapa negara lainnya seperti Filipina,
Thailand, Vietnam, dan Papua (Andriesse, 1986).
Sedangkan menurut Soekardi dan Hidayat (1988) lahan gambut di
Indonesia diperkirakan seluas 18,4 juta hektar yang terbagi atas 4,5 juta ha di
pulau Sumatera, 9,3 juta ha di pulau Kalimantan, dan sekitar 4,6 juta ha di pulau
Irian Jaya, dan di pulau-pulau lainnya hanya menempati lembah pedalaman
dengan luas yang sedikit. Lahan gambut tersebut tersebar di pantai timur
Sumatera, pantai selatan dan barat Kalimantan, pantai selatan Irian, dan sedikit di
Sulawesi, Maluku dan Jawa.
Peta penyebaran lahan gambut di Indonesia dapat dilihat di bawah ini :
Gambar 2.2 Peta penyebaran Gambut di Indonesia. (Sumber. GEOguide)
18
2.1.5. Pengujian pada Tanah Gambut
Penyelidikan tanah merupakan suatu upaya memperoleh informasi bawah
tanah untuk perencanaan pondasi bangunan sipil. Penyelidikan tanah mencakup
antara lain, pengeboran tanah, pengambilan contoh tanah, pengujian lapangan,
pengujian laboratorium dan observasi air tanah. Penyelidikan tanah merupakan
bagian yang penting dalam perencanaan pondasi sehingga harus dilakukan oleh
personal yang terampil dalam melakukan eksplorasi dan diawasi oleh ahli
geoteknik.
Uji baling-baling lapangan merupakan uji coba untuk mendapatkan
kekuatan geser tanah liat secara langsung. Kekuatan geser yang didapat
berhubungan dengan kondisi tidak alir (undrained). Alat uji berupa baling-baling
yang ditekan kedalam tanah. Baling-baling yang umum dipakai berbentuk
persegi dengan perbandingan tinggi sebesar dua kali lebar. Baling-baling tersebut
diputar sehingga terjadi gesekan antara tanah berbentuk silinder disela-sela
baling-baling dengan tanah disekitarnya. Momen puntir yang dibutuhkan untuk
memutar silinder tanah tersebut diukur dan dapat dicari kekuatan geser tanah
yang dianggap bekerja secara homogen diselimut silinder tanah serta sisi atas dan
bawahnya.
Uji baling-baling sangat sesuai untuk dilakukan pada tanah jenis liat
sangat lunak hingga sedang. Pada tanah lunak, uji baling-baling dapat dilakukan
dengan menekan baling-baling secara menerus pada beberapa kedalaman.
Sedangkan pada tanah liat sedang, uji baling-baling harus dilakukan dengan
bantuan membuat lubang bor terlebih dahulu kemudian disusul dengan uji
baling-baling. Uji baling-baling tidak dapat dilakukan pada tanah liat keras
19
karena baling-baling tidak dapat ditekan masuk kedalam tanah. Uji baling-baling
juga tidak sesuai untuk pasir.
Untuk tanah liat sangat lunak hingga lunak, sangat dianjurkan untuk
menggunakan alat uji baling-baling buatan Swiss yaitu SGI (Swedish
Geotechnical Institute) Vane atau buatan Norwegia yaitu Geonor Vane yang
mana stang putar terlindung dengan selubung luar dan putaran torsi dapat
dilakukan dengan kecepatan rendah yang standard. Alat uji baling-baling
sederhana dengan stang putar tunggal hanya boleh dipakai pada tanah liat sedang
yang tidak terlalu sensitif terhadap gangguan. Banyak faktor mempengaruhi hasil
uji baling-baling antara lain gesekan stang putar dengan selubung, pelat baling-
baling yang lebih tebal dari standar yaitu 5% lebar baling-baling, aus serta
rusaknya plat baling-baling. Alat uji coba sebaiknya dilakukan perawatan berkala
dan dikalibrasi ulang. Kecepatan putar uji coba juga harus dijaga konstan yaitu
0,1 derajat per detik.
20
Gambar 2. 3 Uji Baling – baling
(Sumber. Peat Engineering Handbook)
Perhitungan kekuatan geser untuk baling-baling persegi adalah sebagai
berikut :
Sfv =
⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎠⎞
⎜⎝⎛+×⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛×⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛
HDHDP
T
31
22
106
dimana: Sfv = kekuatan geser uji baling-baling (KPa)
T = torsi atau momen puntir (N.m)
D = lebar baling-baling (cm)
H = tinggi baling-baling (cm)
21
Perlu diperhatikan bahwa kekuatan geser uji baling-baling (field vane
shear strength) yang diukur serta dihitung dengan formula diatas belum tentu
merupakan kekuatan geser tidak alir (undrained shear strength) dari tanah yang
diukur. Banyak faktor mempengaruhi hasil uji antara lain kecepatan uji,
pengaruh isotropi tanah liat sendiri, sejarah tegangan tanah dan lain-lain.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, Bjerrum (1972) memperkenalkan faktor
koreksi untuk mendapatkan kekuatan geser tanah tidak alir dari kekuatan geser
uji Baling-baling.
Dengan mendapatkan faktor koreksi (m), kekuatan tanah dapat diperoleh
dengan perkalian dibawah ini:
SfvmSu ×=
dimana: Su = kekuatan geser tanah tidak alir (undrained shear strength )
m = faktor koreksi
Gambar. 2. 4 Grafik Korelasi Uji baling – baling.
(Sumber. Paper HATTI)
22
2.2 Timbunan pada Lahan Gambut
Permasalahan yang timbul bilamana akan membangun diatas lapisan tanah
gambut adalah: terbatasnya informasi perilaku dan cara memperkirakan pemampatan
serta metode perubahan lapisan tanah gambut yang akan dijadikan sebagai tanah dasar
suatu konstruksi. Dalam studi ini dibahas studi analisis dan eksperimen penggunaan
material geosintetik dan bambu pada tanah gambut Sumatera.
2.2.1. Kasus – Kasus dalam Timbunan Tanah Gambut
Kasus – kasus yang mungkin timbul pada lahan gambut adalah :
A. Penurunan Konsolidasi tanah yang cukup lama
B. Perilaku pemampatan tanah gambut yang cenderung berbeda dengan
jenis tanah lainnya.
C. Pemilihan sistem drainasi air tanah.
D. Akibat – akibat yang muncul karena daya dukung tanah yang cukup
rendah.
E. Kesulitan jalannya konstruksi akibat sulitnya bahan baku.
F. Keruntuhan tanah dasar di bawah timbunan.
2.2.2. Alternatif Penanggulangan pada Tanah Gambut
Beberapa Metode yang sering digunakan untuk menanggulangi ataupun
menangani permasalahan pada tanah gambut adalah :
A. Metode perbaikan Permukaan :
• Trench Method
• Sand Mat Method
• Material Placement Method
23
B. Metode Pengurangan Beban mengganti material perkuatan dengan:
• Serbuk Gergaji
• Potongan – potongan kayu
• EPS Block
C. Metode Penggantian (Replacement Method) :
• Penggantian dengan Penggalian
• Penggantian dengan Timbunan
• Perpindahan dengan Peledakan
D. Metode Vertical Drain.
E. Konstruksi dengan Corduroy.
F. Perkuatan dengan Geosintetik
(a).Penggalian dan penggantian (b). Cerucuk kayu dengan potongan kayu
(c). Sand Mat Method (d). Matras bambu
24
(f) (e). Penggantian material (f).Timbunan ulang
(g).Vertical drain Gambar 2. 5 Alternatif Penanggulangan pada Tanah Gambut
( Sumber. Banlitbang dan Brosur geosintetik) 2.3. Geosintetik
Geosintetik adalah suatu produk yang dibentuk oleh bahan polimer dan
digunakan terkait dengan tanah, batuan dan rekayasa geoteknik lainnya sebagai bagian
dari proyek konstruksi.
2.3.1. Sejarah Geosintetik
Awalnya perkembangan geosintetik dari usaha perkuatan tanah rawa
dengan cara menambah material sehingga memperkuat dan menstabilkan tanah.
Bahan yang dipakai mula-mula adalah batang pohon dan semak – semak. Tanah
lunak akan menerima material berserat sampai terbentuk suatu massa yang
mempunyai sifat memadai sesuai kegunaan yang diinginkan.
Namun diperoleh bahwa perkuatan material tesebut tidak cukup kuat
akibat dari beban yang dipikul dan kondisi waktu. Kemudian percobaan terus
25
dikembangkan secara sistematis dimana kayu yang dipakai mempunyai bentuk
dan ukuran yang seragam disusun seperti lapisan matras. Terus dikembangkan
samapai mengisi bagian atas dengan tanah lunak, beberapa dengan campuran
berpasir bahkan dengan perkerasan blok batu. Namun kekurangan terhadap
waktu dan ikatan tetap ditemukan.
Tahun 1926, pertama kali digunakan produk pabrik yang berupa katun
tebal oleh South Carolina Highway Department. Hingga tahun 1935 hasil dari
proyek ditemukan bahwa jalan dalam kondisi bagus, patahan/ retakan dan
keruntuhan berkurang. Dari proyek inilah penggunaan geosintetik dalam separasi
dan perkuatan mulai digunakan.
2.3.2. Sifat dan jenis Geosintetik pada Perkuatan Tanah
Beberapa fungsi umum dari geosintetik adalah sebagai Penyaring/ Filter,
Pemisah/ Separator, Drainasi/ Drainage, Perkuatan/ Reinforcement, Pengontrol
Erosi/ Erosion Control, Pelindung/ Protection, Pelapis kedap/ Sealing,
Pembungkus/ Container.
Klasifikasi Jenis – jenis Geosintetik antara lain:
1. Geotekstil (Woven dan Non Woven)
2. Geogrid.
3. Geonet.
4. Geomembrane.
5. Geosynthetic Clay Liners
6. Geopipes.
7. Geocomposite
8. Geofoam.
26
Gambar 2.6 Contoh Geosintetik (Sumber . Brosur Geosintetik)
2.3.3. Aplikasi Geosintetik untuk Perkuatan Tanah
Pengunaan geosintetik telah banyak berkembang, berbagai jenis dan
ragam dari geosintetik telah dikembangkan, salah satunya untuk pengunaan
perkuatan tanah.
Tipe geosintetik yang umum digunakan untuk perkuatan tanah dalam
dilihat pada Gambar 2.8
Geosintetik
Geotekstil
Geogrid
Geocomposite non woven dengan benang-benang perkuatan
uniaksial (satu arah)
biaksial (dua arah)
non woven (tidak dianyam)
woven (teranyam)
Gambar 2.7. Bagan tipe geosintetik untuk perkuatan tanah
27
(a) (b)
Gambar 2.8 (a) Geosintetik woven dan (b) non woven (Sumber Koerner, 2005)
(a) (b)
Gambar 2.9 (a) Biaksial geogrid dan (b) Uniaksial geogrid (Sumber Koerner, 2005)
2.4. Bambu
Menurut Siopongco dan Munandar (1987) bambu adalah tanaman yang termasuk
Bamboodiae, salah satu anggota sub familia rumput, yang pertumbuhannya sangat
cepat.
Gambar 2.10 Hutan Bambu
28
2.4.1. Keunggulan Bambu
Pada masa pertumbuhan, bambu tertentu dapat tumbuh vertikal 5 cm per
jam, atau 120 cm per hari. Bambu dapat dimamfaatkan dalam banyak hal.
Sebagai komponen bangunan, bambu dapat dijumpai dalam bentuk tiang, balok,
lantai, dinding atau sekat, struktur atap, serta atap, pintu dan jendela, langit –
langit tangga, dinding penahan tanah, perancah pada saat pelaksanaan bangunan
berlantai banyak, tirai gulung, peralatan dapur, penyalur air minum, jembatan
ringan, bahan makanan, bahan kerajinan tangan, alat musik. Bahkan ketika
Thomas Alva Edison memerlukan kawat halus yang dapat dipakai untuk
menghasilkan cahaya dalam bola lampunya yang pertama, Edison berpaling pada
bambu sebagai bahannya. Waktu Graham Bell mengembangkan kotak musik
piringan hitam, maka bambulah yang dijadikan bahan baku untuk membuat
jarum kotak musik yang pertama.
Tanaman bambu mempunyai ketahanan yang luar biasa, Rumpun bambu
yang telah dibakar, masih dapat tumbuh lagi, bahkan pada saat Hiroshima
dijatuhi bom atom sampai rata dengan tanah, bambu adalah satu- satunya jenis
tanaman yang masih dapat bertahan hidup. Bambu bahkan dapat tumbuh
diladang yang sangat kering seperti kepulauan Nusa Tenggara atau dilahan yang
banyak disirami air hujan seperti di Parahiyangan (Salim,1994).
29
2.4.2. Jenis Bambu
Menurut Sharma (1987) didunia tercatat lebih dari 75 genus dan 1250 species
bambu, sedang Uchimura (1980) menyatakan bahwa bambu yang ada di Asia
Selatan dan Asia Tenggara kira – kira 80% dari keseluruhan bambu yang ada di
dunia. Genus Bambussa mempunyai jumlah spesies paling banyak dan terutama
tersebar di daerah tropis, termasuk di Indonesia.
Adapun jenis bambu yang akan di bahas terbatas pada jenis bambu yang
banyak terdapat di Indonesia, yang antara lain :
A. Bambusa vulgaris Schrad
Beberapa jenis bambu yang mempunyai nama botani bambusa
vulgaris Schrad antara lain bambu kuning, bambu tutul, dan bambu
ampel. Bebrapa nama daerah dari bambu yang termasuk jenis ini yaitu:
Hao adulo, Aur gading, Bambu kuring, Buluh swanggi, Bulog gading,
Haur bahenda dan yang lainnya.
Bambusa vulgaris Schrad mempunyai rumpun tidak rapat dan
tidak teratur, warna kulit kuning, hijau, hijau bertutul cokelat, hijau
bergaris teratur,atau kuning bergaris hijau. Tinggi bambu bervariasi 10-
20 m, dengan diameter 7-13 cm, dan tebal dinding 6-15mm.
Bambusa vulgaris Schrad banyak dipakai untuk tanaman hias,
peralatan rumah tangga, bahan kerajinan serta bahan kertas.
30
B. Dendrocalamus asper (Schult.F) Backer ex Heyne
Bambu dengan nama botani Dendrocalamus asper (Schult.F)
Backer ex Heyne di Indonesia dikenal dengan nama Bambu petung. Di
berbagai daerah, bambu yang termasuk jenis ini di kenal dengan nama :
Buluh petong, Buluh swanggi, Bambu batueng, Pering betung, Betong,
Bulo lotung, Awi bitung, Jajang betung, Pring betung, Pereng petong,
Tiing petung, Au petung, Bulo patung dan Awo petung.
Bambu jenis ini mempunyai rumpun agak rapat, dapat tumbuh di
dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 2000 m di atas
permukaan air laut. Pertumbuhan cukup baik khususnya untuk daerah
yang tidak terlalu kering. Warna kulit batang hijau kekuningan. Batang
dapat mencapai panjang 10-14 m, panjang ruas berkisar antara 40-60 cm,
dengan diameter 6-15 cm, tebal dinding 10-15 mm.
Bambu betung banyak dipakai sebagai bahan bangunan, perahu,
kursi, saluran air, dinding (Gedeg), dan kerajinan tangan.
C. Gigantochloa atroviolacea Widjaja
Bambu dengan nama botani Gigantochola atroviolacea Widjaja
lebih dikenal dengan nama bambu hitam. Jenis bambu ini juga dikenal
dengan nama Awi hideung, Pring wulung, dan Pring ireng.
Bambu hitam mempunyai rumpun jarang, tumbuh di dataran
rendah sampai ketinggian 650 m diatas permukaan air laut.Warna kulit
batang hitam, hijau kehitam – hitaman atau ungu tua. Tinggi batang dapat
mencapai 20 m, panjang ruas 40-60 cm, dengan diameter 6-8 cm, tebal
dinding buluh 6-8 mm.
31
D. Gigantochloa atter (Hassk) Kurz ex. Munro
Bambu dengan nama botani Gigantochloa atter (Hassk) Kurz ex.
Munro di Indonesia dikenal dengan nama Bambu Atter, sedang
diberbagai daerah lebih dikenal dengan nama Awi Ater, Pring Jawa,
Pring Legi, Pereng Keles, Tereng Galah, Auloto, dan Tabadiketul.
Bambu Atter dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran
rendah sampai dataran ketinggian 750 m diatas permukaan air laut. Kulit
batang berwarna hijau sampai hijau gelap. Tinggi batang dapat mencapai
22 m, panjang ruas 40-50 cm, diameter 5-10 cm, tebal dinding 8 mm.
E. Gigantochloa verticillata (Wild) Munro
Bambu dengan nama botani Gigantochloa verticillata (Wild)
Munro dikenal dengan nama Bambu Andong, sedang diberbagai daerah
dikenal dengan nama Awi gombong, Awi surat, Awi temen, dan Pring
surat.
Bambu andong mempunyai rumpun tidak terlalu rapat. Warna
kulit batang hijau kekuningan dengan garis kuning sejajar batang. Tinggi
batang berkisar antara 10 -12 m, panjang ruas 40-60 cm, diameter 8-12
cm, dan tebal dinding sampai 20 mm.
Bambu andong dapat dipakai untuk bahan bangunan, chopstick
dan kerajinan tangan.
32
F. Gigantochloa apus BI Ex. (Schult.f) Kurz
Bambu dengan nama botani Gigantochloa apus BI Ex. (Schult.f)
Kurz di Indonesia dikenal dengan nama Bambu Apus atau Bambu Tali,
sedang di berbagai daerah dikenal dengan nama Awi tali, Pring tali, Pring
apus, Pereng tali, Tiing tali, dan Tiing telantan.
Bambu Apus dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan
dengan tinggi 1000 m di atas permukaan laut. Tinggi batang 8-11 m, ruas
45 – 65 cm, diameter 5-8 cm, tebal 3-15 mm.
Jenis bambu ini kuat, liat, baik untuk kerajinan anyaman karena
seratnya kuat dan lentur. Menurut Sulthoni (1988) bambu ini tidak
mudah terserang hama bubuk sekalipun tidak diawetkan. Oleh karena itu
bambu jenis ini banyak dipakai sebagai bahan bangunan.
2.4.3. Sifat Mekanik Bambu
Pemakaian Bambu seringkali didasarkan pada pengalaman nenek
moyang saja. Perangkaian batang – batang struktur bambu dilakukan secara
konvensional menggunakan tali atau pasak, sehingga rangkaian itu kurang
kokoh. Sebagai akibat penyusutan bahan, ikatan tali/pasak menjadi kendor,
sehingga struktur akan mengalami perubahan bentuk yang cukup besar, dan
kekuatannya pun merosot. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pemakaian
bambu selama ini hanya terbatas pada pemakaian struktur yang ringan saja.
Agar suatu bahan dapat di pakai secara optimum, maka sifat mekanik
bahan itu harus dipahami betul. Tanpa pemahaman sifat mekanik, pemakaian
bahan dapat berlebihan, sehingga dari segi ekonomis akan boros, sedang
pemakaian dengan ukuran yang kecil dapat membahayakan pemakainya. Jika
33
sifat mekanik dapat dikuasai, maka dapat dipikirkan cara mengatasi
kelemahannya, serta memamfaatkan sifat – sifat unggulannya. Lebih lanjut
pemakaian bahan dapat diusahakan lebih optimum. Selain itu dapat juga
dipikirkan kemungkinan diversifikasi produk.
Untuk mengetahui sifat mekanik bambu, Ghavani (1990) melakukan
pengujian dengan bentuk spesimen seperti terlihat pada gambar 2.11.
Gambar 2. 11. Uji Spesimen Bambu
( Sumber: Rekayasa Bambu, Morisco. 1999 )
34
Menurut Morisco (1999) dan Ananda (1996), bambu mempunyai
kekuatan tarik dua kali lebih besar dibandingkan kayu, sedangkan kuat tekannya
10% lebih tinggi dibandingkan dengan kekuatan tarik kayu.
Apabila dibandingkan dengan baja yang mempunyai berat jenis antara
6.0 – 8.0 (Sementara BJ bambu 0.6 – 0.8), kuat tarik (Tensile Strength) baja
hanya sebesar 2.3 – 3.0 lebih besar dibandingkan dengan kekuatan tarik bambu.
Dengan demikian bambu mempunyai kekuatan tarik per unit berat jenisnya
sebesar 3 - 4 kali lebih besar dibandingkan dengan baja (Gambar 2.12)
Gambar 2.12. Diagram Tegangan dan Regangan Bambu dan Baja. ( Sumber: Morisco, 1999 )
35
Gambar 2. 13. Pengambilan Spesimen Bambu
(Sumber: Morisco, 1999).
2.4.4. Aplikasi Bambu Untuk Perkuatan Tanah
Konstruksi timbunan di atas tanah lunak disebut reklamasi. Reklamasi
adalah suatu pekerjaan penimbunan tanah (pasir berlanau) dengan skala volume
dan luasan yang sangat besar pada suatu kawasan atau lahan yang relatif masih
kosong dan berair, misalnya pantai, daerah rawa suatu lokasi di laut, tengah
sungai yang lebar ataupun di danau.
Oleh karena itu dilaksanakan pada kawasan tersebut di atas maka
problem utama tersebut umumnya berkisar pada permasalahan rekayasa
geoteknik, yaitu terkendala dengan kuat dukung tanah yang rendah dan
penurunan yang besar akibat konsolidasi maka stabilitas timbunan di atas tanah
tersebut perlu perhatikan. Salah satu perkuatan yang dapat digunakan adalah
dengan penggunaan matras dan tiang bambu sebagai soil reinforcement.
36
Untuk memilih metoda perbaikan tanah yang tepat dan juga ekonomis
harus mempertimbangkan juga faktor – faktor lainnya seperti : (Rahardjo (1998)
1. Kualifikasi Pelaksana / Kontraktor.
2. Waktu Pelaksanaan.
3. Pengaruh terhadap lingkungan sekitarnya.
4. Biaya.
Melihat faktor di atas maka penggunaan bambu yang telah dilaminasi
cukup baik untuk bahan perbaikan tanah. Bambu memiliki banyak sifat yang
baik untuk konstruksi, karena bambu kuat, ulet, lurus, ringan dan mudah
pengerjaannya. Selain itu bambu mudah didapat dengan harga yang relaif murah.
Bambu dalam bentuk bulat biasa dipakai untuk konstruksi lainnya sebagai
perancah (Scafollding) [ASTM (1989), Ananda et al (1996) dan CNBRC (001)].
Selain keunggulan – keunggulan bambu seperti yang dipaparkan tersebut
diatas, maka bambu dalam penggunaannya menemui beberapa keterbatasan.
Dalam pemakaian sebagai bahan bangunan (konstruksi), faktor yang sangat
mempengaruhi adalah sifat fisik bambu yang membuat sukar dikerjakan secara
mekanis, variasi dimensi dan ketidakseragaman panjang ruas [ Bodiq et al
(1982), Fangchun (2000) ].
37
2.5.1. Perkuatan Timbunan jalan dengan Bambu
Permasalahan longsoran timbunan jalan yang banyak terjadi selama ini
dapat ditanggulangi dengan membuat sistem perkuatan timbunan. Salah satu
alternatif perkuatan timbunan adalah dengan mengembangkan teknologi
sederhana dengan sistem perkuatan (penulangan) timbunan menggunakan matras
bambu (Corduroy) atau cerucuk bambu.
Yang dimaksud dengan penulangan tanah (Corduroy) adalah tanah
timbunan dibuat berlapis bambu untuk memperoleh suatu konstruksi yang
komposit. Ataupun menggunakan bambu sebagai pondasi dasar (cerucuk) untuk
memperkuat stabilisasi tanah.
Mempertimbangkan ketersediaan bambu sangat banyak dan tidak sulit
didapat di Indonesia serta jenis bambu ini memiliki kuat tarik yang cukup besar,
maka bambu tali dapat digunakan sebagai bahan lokal untuk penulangan tanah.
Keuntungan dari penggunaan perkuatan dengan Bambu adalah :
1. Ketersediaan bambu yang cukup banyak di Indonesia .
2. Pelaksanaan lapangan sangat mudah dikerjakan .
3. Teknologi sederhana ini dengan menggunakan bahan lokal sebagai
substitusi produk import sangat dapat diandalkan.
38
Gambar 2.15. Konstruksi Perkuatan Bambu. (Sumber : Pusat Penelitian Antar Universitas, Institut Teknologi Bandung)
39
2.5. Metode Elemen Hingga / The Finite Element Method
Banyak program komputer yang menggunakan metode ini, sehingga dalam
menggunakannya perlu memahami konsep dasar, struktur, sistem operasi program itu.
Program Plaxis menggunakan konsep metode elemen hingga.
Metode elemen hingga didasari prinsip membagi atau diskretisasi dari suatu
kontinum, di mana kontinum tersebut dapat berupa sistem struktur, massa ataupun benda
padat lainnya yang akan dianalisis. Pembagian dalam metode ini untuk membagi suatu
benda menjadi elemen yang lebih kecil, sehingga mudah untuk dianalisis. Dengan
adanya pembagian tersebut maka suatu sistem yang memiliki derajat kebebasan tak
terhingga dapat didekati menjadi suatu sistem yang memiliki derajat kebebasan
berhingga.
Semakin kecil elemen yang dibagi yang akan ditinjau, maka hasil analisisnya
akan semakin akurat. Dalam syarat pembagian menjadi elemen kecil ini tidak
mengalami putus di suatu tempat.
2.5.1. Langkah-langkah dalam Metode Elemen Hingga
Langkah – Langkah perumusan dan penerapan dari metode elemen
hingga terdiri atas 8 langkah, yaitu:
40
Gambar 2.16. (a) Diskritisasi benda dua dimensi
(b) Distribusi ue pada suatu elemen umum e.
(Sumber: Desai, 1979)
Langkah 1. Diskritisasi dan Memilih Konfigurasi Elemen.
Langkah ini menyangkut pembagian benda menjadi sejumlah benda
“kecil” yang sesuai. Yang dinamakan elemen-elemen hingga. Perpotongan antara
sisi elemen dinamakan simpul atau titik simpul dan permukaan antara elemen-
elemen disebut garis simpul dan bidang simpul. Seringkali kita perlu
memasukkan titik simpul tambahan di sepanjang garis-garis dan bidang simpul.
(Gambar 2.16 b).
41
Gambar 2.17. Berbagai jenis elemen (a) Elemen satu-dimensi (b) Elemen
dua-dimensi (c) Elemen tiga-dimensi (Sumber: Desai, 1979)
Jenis elemen yang akan digunakan tergantung pada karakteristik
rangkaian kesatuan dan idealisasi yang kita pilih untuk digunakan. Sebagai
contoh, jika suatu struktur atau suatu benda diidealisasi sebagai suatu garis satu-
dimensi, elemen yang akan kita gunakan adalah suatu elemen “garis” (Gambar
2.17.a). Untuk benda-benda dua-dimensi, kita gunakan segitiga dan segiempat
(Gambar 2.17.b), sedangkan untuk idealisasi tiga-dimensi, dapat dipakai suatu
42
prisma segi enam (Hexahedron) dengan kekhususan yang berbeda (Gambar
2.17.c).
Gambar 2.18. Diskritisasi untuk batas tak teratur
(Sumber: Desai, 1979)
Walaupun kita dapat membagi-bagi benda itu ke dalam beberapa bagian
elemen dengan bentuk yang teratur pada bagian dalam (Gambar 2.18), kita bisa
membentuk provisi khusus jika batas yang ada ternyata tak teratur. Dalam
banyak hal, batas tak teratur dapat didekati dengan sejumlah garis lurus (Gambar
2.18). Sebaliknya, dalam banyak persoalan lainnya, mungkin perlu memakai
fungsi matematis dengan orde yang secukupnya untuk mendeteksi batas yang
ada. Sebagai contoh, jika bentuk batas adalah serupa dengan suatu kurva
parabola, maka kita dapat memakai suatu fungsi kaudratis orde-dua untuk
mendekati batas tersebut.
43
Langkah 2. Memilih Model atau Fungsi Pendekatan.
Dalam langkah ini, dipilih suatu pola atau bentuk untuk distribusi besaran
yang tak diketahui (Gambar 2.18.) yang dapat berupa suatu perpindahan dan atau
tegangan untuk persoalan tegangan-deformasi, maupun perpindahan untuk
persoalan gabungan yang menyangkut efek-efek aliran maupun deformasi.
Titik-titik simpul elemen memberikan titik-titik strategis untuk penulisan
fungsi-fungsi matematis yang menggambarkan bentuk distribusi dari besaran
yang tak diketahui pada wilayah elemen. Sejumlah fungsi matematis seperti
polinomial dan deret trigonometri dapat dipakai untuk maksud ini, terutama
polinomial karena mereka memberikan perumusan elemen hingga yang mudah
dan sederhana. Jika kita menyatakan u sebagai besaran yang tak diketahui, maka
fungsi interpolasi dapat dinyatakan sebagai
u = N1 u1 + N2 u2 + N3 u3 + . . . + Nm um (2.1.)
di sini u1, u2, u3, . . . um adalah nilai dari besaran-besaran yang tak
diketahui pada titik-titik simpul dan N1, N2, . . . Nm adalah fungsi-fungsi
interpolasi. Misalnya dalam hal elemen garis dengan dua simpul ujung (Gambar
2.17.a) kita bisa mempunyai u1 dan u2 sebagai besaran yang tak diketahui atau
sebagai derajat kebebasan dan untuk segitiga (Gambar 2.17.b) kita mempunyai
u1, u2, . . . u6 sebagai besaran yang tak diketahui atau derajat kebebasan jika kita
berhubungan dengan suatu persoalan deformasi dengan dua perpindahan pada
setiap simpul.
Derajat kebebasan dapat didefinisikan sebagai suatu perpindahan bebas
(tak diketahui) yang dapat terjadi di suatu titik. Sebagai contoh, untuk persoalan
deformasi satu-dimensi dalam suatu kolom (Gambar 2.17.a) hanya ada satu arah
44
dengan suatu titik bebas bergerak, yaitu dalam arah sumbu tunggal. Jadi sebuah
titik mempunyai satu derajat kebebasan. Untuk persoalan dua-dimensi (Gambar
2.17.b), jika deformasi hanya dapat terjadi dalam bidang benda (dan akibat
lenturan diabaikan), maka suatu titik hanya bebas bergerak dalam dua arah
koordinat yang bebas, jadi di sini suatu titik mempunyai dua derajat kebebasan.
Setelah semua langkah metode elemen-hingga dilaksanakan, maka kita
bisa menemukan jawaban sebagai nilai dari besaran u yang tak diketahui di
semua simpul, yaitu u1, u2, . . . um. Tetapi dalam mengawali tindakan untuk
memperoleh jawaban, kita telah mengasumsikan secara teoritis atau terlebih
dahulu bahwa bentuk atau pola yang kita harapkan akan memenuhi syarat,
hukum dan prinsip persoalan yang ada.
Jawaban yang diperoleh akan dinyatakan dalam besaran yang tak
diketahui hanya di titik-titik simpul. Ini adalah salah satu hasil proses diskritisasi.
Gambar 2.19. menunjukkan bahwa jawaban akhir adalah suatu kombinasi
jawaban setiap elemen yang dihubungkan menjadi satu pada batas-batas yang
sekutu (bersama). Selanjutnya hal ini dilukiskan dengan memberi sketsa suatu
penampang lintang di sepanjang A-A. Dapat dilihat bahwa jawaban yang dihitung
tidak perlu sama seperti jawaban kontinu yang digambarkan dengan kurva
bergaris tebal. Jelaslah, kita ingin mendiskritisasi sedemikian rupa sehingga
jawaban hasil perhitungan akan sedekat mungkin pada jawaban eksak, yaitu
kesalahan minimum.
45
Gambar 2.19 Pendekatan potongan-potongan kecil jawaban pada elemen
(a) Rakitan (b) Elemen-elemen yang bersebelahan
(c) Bagian di sepanjang penampang A-A
(Sumber: Desai, 1979)
Langkah 3. Menentukan Hubungan Regangan (Gradien)-
Perpindahan (yang tak Diketahui) dan Tegangan-Regangan.
Untuk maju ke langkah berikutnya, yang mempergunakan suatu prinsip
(katakanlah, prinsip energi potensial minimum) untuk penurunan persamaan-
persamaan elemen, kita harus menentukan besaran-besaran yang tepat yang
muncul dalam prinsip tersebut. Untuk persoalan tegangan-deformasi, salah satu
dari besaran semacam ini adalah regangan (atau gradien) perpindahan. Misalnya,
46
dalam hal deformasi yang hanya terjadi dalam satu arah y (Gambar 2.17.a),
diasumsikan bahwa regangan €y, yang bernilai kecil dinyatakan oleh :
€y = dv (2.2.) dy
di sini v adalah deformasi dalam arah y. Untuk hal aliran fluida dalam
satu arah, hubungan semacam ini adalah gradien gx dari tinggi tekan fluida
(Gambar 2.19.b):
gx = dφ (2.3.) dx
di sini φ adalah tinggi tekan fluida atau potensial dan gx adalah gradien
dari φ, yaitu laju perubahan φ terhadap koordinat x.
Gambar 2.20. Persoalan-persoalan yang di idealisasi menjadi satu-dimensi.
(a)Tegangan-deformasi satu-dimensi.
(b) Aliran satu-dimensi. (Sumber: Desai, 1979)
Selain regangan atau gradien, kita juga harus menentukan suatu besaran
tambahan, tegangan atau kecepatan; umumnya hal ini dilakukan dengan
menyatakan hubungannya dengan regangan. Hubungan semacam ini adalah
suatu hukum konstitutif dan menyatakan tanggapan atau pengaruh (perpindahan,
regangan) dalam suatu sistem karena bekerjanya suatu penyebab (gaya). Hukum
47
tegangan-regangan adalah salah satu bagian yang paling penting dalam analisis
elemen-hingga. Kecuali kalau ditentukan untuk mencerminkan secara tepat
perilaku dari bahan atau sistem, maka hasil-hasil dari analisis dapat mempunyai
arti yang sangat kecil. Sebagai suatu contoh yang sederhana, tinjauan hukum
Hooke, yang mendefinisikan hubungan tegangan terhadap regangan dalam suatu
benda pejal:
σy = Ey €y (2.4.a)
Di sini σy = tegangan dalam arah vertikal dan Ey = modulus elastisitas
Young. Jika kita mensubstitusi €y dari Persamaan (2.3) ke dalam Persamaan
(2.4a), kita akan memperoleh pernyataan untuk tegangan yang dinyatakan dalam
suku-suku perpindahan sebagai
σy = Ey dv (2.4.b)
dy
Salah satu dari hukum kontitutif yang linear sederhana adalah hukum
Darcy untuk aliran fluida melalui media berpori:
vx = - kx gx (2.4.c)
di sini kx = koefisien permeabilitas, vx = kecepatan, dan gx = gradien.
48
Langkah 4. Menurunkan Persamaan-persamaan Elemen.
Dengan memakai hukum atau prinsip yang tersedia, kita akan
memperoleh persamaan-persamaan yang mengatur perilaku elemen. Persamaan-
persamaan ini dinyatakan dalam bentuk yang umum, sehingga dapat dipakai
untuk semua elemen dalam benda yang didiskritisasi.
Ada sejumlah cara yang berbeda yang mungkin dipakai untuk
menurunkan persamaan-persamaan elemen. Dua cara yang paling umum dipakai
adalah metode energi dan metode residu.
Dari kedua metode itu akan menghasilkan persamaan-persamaan yang
menggambarkan perilaku suatu elemen, yang umumnya dinyatakan sebagai
[k] {q} = {Q} (2.5)
Di sini [k] = matriks sifat elemen, {q} = vektor besaran yang tak
diketahui di simpul-simpul elemen, dan {Q} = vektor parameter pemaksa simpul
elemen. Persamaan (2.5) dinyatakan dalam pengertian yang umum; untuk
persoalan yang khusus mengenai analisis tegangan, [k] = matriks kekakuan, {q}
= vektor perpindahan simpul dan {Q} = vektor gaya simpul.
Langkah 5. Perakitan Persamaan Elemen untuk Mendapatkan
Persamaan Global atau Persamaan Rakitan dan Mengenal Syarat
Batas.
Tujuan akhir adalah memperoleh persamaan-persamaan untuk benda
secara keseluruhan yang akan menentukan kira-kira perilaku keseluruhan benda
atau struktur. Kenyataannya, penggunaan cara-cara variasi atau residu memang
bersangkut paut dengan benda keseluruhan; adalah untuk tujuan penyederhanaan
49
bahwa kita meninjau tata cara dalam Langkah 4 seolah diterapkan pada suatu
elemen tunggal.
Sekali persamaan-persamaan elemen, Persamaan (2.5), ditetapkan untuk
suatu elemen umum, maka kita akan soap menghasilkan Persamaan secara
berulang-ulang untuk elemen-elemen lainya dengan berkali-kali memakai
Persamaan (2.5). Kemudian kita menjumlahkannya untuk mendapatkan
persamaan-persamaan global. Proses perakitan ini didasarkan pada hukum
kecocokan atau kekontinuan. Hal ini memerlukan bahwa benda harus tetap
kontinu yang artinya bahwa, titik-titik yang bersebelahan harus tetap
bersebelahan satu sama lain setelah diberikan beban (Gambar 2.20.). Dengan
kata lain, perpindahan dua titik yang berbatasan atau yang berurutan harus
mempunyai nilai-nilai identik (Gambar 2.20.a).
Tergantung pada jenis dan sifat persoalan, kita dapat saja memaksakan
syarat-syarat kekontinuan yang lebih berat. Misalnya, untuk deformasi yang
terjadi dalam suatu bidang datar, maka mungkin cukup memaksakan
kekontinuan dari perpindahan saja. Sebaliknya, untuk persoalan-persoalan
pelenturan, sifat-sifat fisis benda yang mengalami deformasi karena beban selain
memerlukan kekontinuan dari perpindahan, juga kita harus memastikan bahwa
kemiringan atau turunan pertama dari perpindahan juga kontinu atau cocok pada
simpul-simpul yang berbatasan (Gambar 2.19.b). Seringkali hal ini menjadi perlu
untuk memenuhi kecocokan dari lengkungan-lengkungan atau turunan kedua.
50
Akhirnya, kita memperoleh persamaan rakitan yang dinyatakan dalam
notasi matriks sebagai :
[K] {r} = {R} (2.6)
Di sini [K] = matriks sifat rakitan, {r} = vektor rakitan dari simpul yang
tak diketahui dan {Q} = vektor rakitan dari parameter pemaksa simpul.
Untuk persoalan tegangan-deformasi, besaran-besaran tersebut masing-
masing adalah matriks kekakuan rakitan, vektor perpindahan simpul dan vektor
beban simpul.
Gambar 2.21. Kecocokan antar elemen.
(a) Kecocokan untuk persoalan dalam bidang datar.
(b) Kecocokan untuk persoalan jenis-pelenturan. (Sumber: Desai, 1979)
51
Syarat-syarat Batas
Syarat batas adalah batasan atau penyangga fisis (Gambar 2.21.b) yang
harus ada sehingga suatu struktur atau benda dapat berdiri sendiri di dalam
ruang. Syarat-syarat ini umumnya diperinci dan dinyatakan sebagai nilai-nilai
yang diketahui dari besaran-besarn yang tak diketahui pada suatu bagian
permukaan atau batas S1 dan atau gradien atau turunan dari besaran yang tak
diketahui pada S2. Gambar 2.22.a menggambarkan suatu balok. Dalam kasus
balok yang disangga secara sederhana, batas S1 adalah dua titik ujung di mana
perpindahan diberikan. Batasan semacam ini seringkali dinamakan syarat batas
balok, dipaksakan atau geometris.
Pada tumpuan-timpuan sederhana dari balok, momen lentur adalah nol;
yaitu turunan kedua dari perpindahan menghilang. Batasan semacam ini
seringkali dinamakan syarat batas alamiah.
Gambar 2.23.b menunjukkan suatu silinder di mana fluida atau
temperatur mengalir. Pada batas S1, temperatur atau tinggi tekan fluida diketahui;
hal ini adalah syarat batas pokok. Ujung kanan kedap terhadap air, atau diisolasi
terhadap kalor; selanjutnya syarat batas diperincikan sebagai fluks fluida atau
kalor yang sebanding dengan turunan pertaman dari tinggi tekan fluida atau
temperatur. Syarat batas ini adalah syarat batas almiah.
52
Gambar 2.22. Syarat batas atau batasan
(a) Benda tanpa batasan
(b) Benda dengan batasan
(Sumber: Desai, 1979)
Gambar 2.23. Contoh syarat batas.
(a) Balok dengan syarat-syarat batas.
(b) Aliran pipa dengan syarat-syarat batas. (Sumber: Desai, 1979)
53
Untuk mengambarkan syarat-syarat batas dalam pendekatan elemen-
hingga, benda dinyatakan oleh Persamaan 2.6, dan biasanya perlu mengubah
persamaan ini hanya untuk syarat-syarat batas geometris. Persamaan rakitan
akhir yang telah dimodifikasi dinyatakan dengan menambahkan garis di sebelah
atas sebagai berikut:
[K] {r} = {R} (2.7)
Langkah 6. Memecahkan Besaran-besaran Primer yang tak
Diketahui
Persamaan (2.8) adalah sekumpulan persamaan aljabar simultan linier
(atau tak linear), yang dapat dituliskan dalam bentuk baku dan umum sebagai
K11 r1 + K12 r2 + . . . + K1n rn = R1
K21 r1 + K22 r2 + . . . + K2n rn = R2.. (2.8)
Kn1 r1 + Kn2 r2 + . . . + Knn rn = Rn
Persamaan-persamaan ini dapat dipecahkan dengan memakai metode
eliminasi Gauss atau metode iterasi yang sudah dikenal. Di akhir langkah ini,
kita telah memecahkan besaran-besaran yang tak diketahui (perpindahan) r1, r2,
. . . rn. Besaran-besaran ini dinamakan besaran-besaran primer yang tak
diketahui, karena mereka muncul sebagai besaran-besaran pertama yang dicari
dalam Persamaan dasar (2.8). Pemberian nama primer akan berubah tergantung
pada besaran yang tak diketahui yang muncul dalam Persamaan (2.8). Misalnya,
jika persoalan dirumuskan dengan memakai tegangan sebagai besaran yang tak
diketahui, maka tegangan tersebut dinamakan besaran primer.
54
Langkah 7. Memecahkan Besaran-besaran Penurunan atau
Sekunder.
Seringkali besaran-besaran tambahan atau sekunder harus dihitung dari
besaran-besaran primer. Dalam hal persoalan tegangan-deformasi, besaran-
besaran semacam ini dapat berupa regangan, tegangan, momen dan gaya geser,
untuk persoalan aliran besaran-besaran itu dapat berupa kecepatan dan debit.
Adalah relatif langsung untuk mencari besaran-besaran sekunder jika besaran-
besaran primer diketahui, karena kita dapat memakai hubungan antara regangan
dengan perpindahan dan hubungan antara tegangan dengan regangan yang sudah
ditentukan dalama langkah 3.
Langkah 8. Interpretasi Hasil-hasil.
Tujuan akhir dan penting adalah mengurangi hasil-hasil penggunaan cara
elemen-hingga menjadi suatu bentuk yang siap dipakai dalam analisis dan
perancangan. Umumnya hasil-hasil diperoleh dalam bentuk keluaran yang
dicetak dari komputer. Kemudian kita memilih potongan-potongan yang kritis
dari benda dan memplotkan nilai-nilai perpindahan dan tegangan di sepanjang
benda atau kita dapat membuat tabal dari hasil-hasil tersebut. Seringkali sangat
menguntungkan dan tidak membuang waktu dengan menggunakan ‘routine’
yang tersedia dan memerintahkan komputer untuk memplot atau mentabulasikan
hasil-hasilnya.
55
2.6. Program Plaxis
Dalam menganalisis timbunan pada kasus di Perkebunan Kelapa Sawit –
Rantau - Sumatera Utara digunakan program Plaxis 7.11 yang sudah dilengkapi
dengan kemampuan untuk melakukan permodelan elemen hingga.
2.6.1 Sejarah Program Plaxis
Program Plaxis pertama kali dikembangkan oleh Departemen Pekerjaan
Umum dan Pengendalian Air di negara Belanda pada tahun 1987. Pada awal
pembuatannya elemen hingga, yang merupakan dasar dari program ini, masih
harus ditentukan atau dimodelkan secara manual. Tujuan utama pengembangan
program Plaxis pada waktu itu adalah untuk dapat menggunakan metode elemen
hingga agar lebih mudah dalam pengaplikasiannya untuk analisis tanggul sungai
pada tanah lunak. Di sini dapat ditentukan tingkat ‘kehalusan’ elemen tersebut, di
mana semakin halus elemen yang dipakai maka hasil perhitungan akan semakin
akurat.
Penggunaan Program Plaxis dikhususkan sebagai alat bantu untuk
memudahkan pekerjaan yang dikerjakan oleh Insinyur Geoteknik dalam
mengerjakan perhitungan manual menggunakan metode elemen hingga yang
cukup rumit serta membutuhkan waktu yang cukup lama dalam pengerjaannya.
Program Plaxis mempunyai banyak kemampuan menganalisa seperti:
kestabilan konstruksi, faktor keamanan, deformasi, analisa konstruksi. Yang
digunakan dalam aplikasi konstruksi timbunan, dinding penahan tanah dan
terowongan.