Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
18
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Sistem Peradilan Pidana
1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Istilah “Sistem Peradilan Pidana” terdiri dari dua suku kata yang
membentuknya, yaitu kata “sistem” dan kata “peradilan pidana”. Istilah
sistem berasal dari perkataan sistema dalam Bahasa Yunani. Secara umum
sistem dapat didefinisikan sebagai suatu jaringan kerja yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya dan
kesemuanya beroperasi untuk mencapai suatu tujuan. Sebuah sistem
bukanlah seperangkat unsur yang tersusun secara tidak teratur, namun
sistem terdiri dari unsur yang dapat dikenal untuk saling melengkapi dan
tersusun secara terorganisasi karena memiliki maksud, tujuan, dan sasaran
tertentu.1
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sistem dapat diartikan
sebagai seperangkat sistem yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk totalitas; susunan yang teratur dari pandangan, teori, dan
metode.
Gabriel A. Almond mengartikan “sistem” sebagai suatu konsep
ekologis yang menunjukan adanya suatu organisasi yang berinteraksi
dengan satu lingkungan yang memengaruhi ataupun yang
dipengaruhinya.2
Muladi menyatakan pengertian sistem harus dilihat dalam konteks,
baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara
terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system
dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan sususan yang teratur yang
1 H. Edi Setiadi & Kristian, Op. Cit, hal. 9. 2 Ibid., hal. 10.
19
satu sama lain saling ketergantungan.3 Apabila di kaji secara etimologis,
maka “sistem” mengandung arti terhimpun (antar) bagian atau komponen
(subsistem) yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan
suatu keseluruhan.4
Lili Rasjidi dan I.B. Wiyasa Putra mengatakan ciri suatu sistem
adalah sebagai berikut:
a. Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan
interaksi (proses)
b. Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan
yang satu sama lain saling bergantung (interdependence of its
parts)
c. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan
yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen
pembentuknya itu (the whole is more than the sum of its parts)
d. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian
pembentukanya (the whole determines the nature of its parts)
e. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia
dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu
(the parts cannot be understood if considered in isolation from
the whole)
f. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau
secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu.5
Berdasarkan berbagai pendapat diatas, dapat dirumuskan bahwa
pengertian sistem secara umum didalamnya terkandung sub-sub sistem,
yakni:
1. Terdiri atas bagian, sistem, elemen, dan komponen,
2. Satu sama lain berinteraksi dan interdependensi yang tersusun
secara sistematis sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh
3. Terdapat tujuan yang ingin dicapai sebagai hasil akhir, dan
3 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: BP. UNDIP, 1995, hal. 3. 4 Ali Mufiz, Sistem Administrasi Negara, Jakarta: Karunika, 1985, hal. 137. 5 Lili Rasjidi dan I.B. Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1993, hal. 43-44.
20
4. Berada dalam suatu lingkungan yang kompleks.6
Kata kedua yang membentuk terminologi “sistem peradilan pidana”
adalah kata “peradilan” yang berasal dari kata “pengadilan”. Istilah
“pengadilan” sendiri awalnya berasal dari kata “adil” yang ditambah
awalan “pe-“ dan akhiran “-an”. Kata “adil” sendiri secara sederhana
berarti sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang
benar, berpegang pada kebenaran, sepatutnya dan tidak sewenang-
wenang.7
Pada hakikatnya, adil bermakna menempatkan sesuatu pada
tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya,
yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama
kedudukannya. Kata adil, dalam Bahasa Latin disebut sebagai “Ius suum
cuique tribuere”, atau lengkapnya berbunyi, “Iustitia est constans et
perpetua voluntas ius suum cuique tribuere”.8
Terjemahan dalam Bahasa Inggrisnya “justice is the constant and
perpetual will to render to each man what his due” artinya keadilan adalah
kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa
yang semestinya.9
Dari adagium diatas, dapat disimak bahwa bagian atau hak dari
setiap orang itu tidak selalu sama dan jangan dipandang sebagai
penyamarataan, sebab apabila terjadi penyamarataan justru akan terjadi
ketidakadilan. Dengan demikian, maka tuntutan yang paling mendasar dari
keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap setiap orang. Oleh sebab
itu, seseorang yang berprofesi di bidang peradilan harus berperilaku adil
dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas tersebut di dalam praktek
6 H. Edi Setiadi & Kristian, Op. Cit, hal. 12. 7 Ibid., hal. 15. 8 Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum (Sebuah Sketsa), Bandung: Penerbit
PT Refika Aditama, 2003, hal. 24. 9 The Liang Gie, Keadilan Sebagai Landasan Bagi Etika Administrasi Pemerintahan dalam
Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1983, hal. 36.
21
disebut dengan asas kedudukan yang sama di muka hukum (equality
before the law).
Romli Atmasasmita menyatakan bahwa ciri pendekatan ”sistem”
dalam “peradilan pidana” ialah sebagai berikut:
a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen-
komponen yang membentuk peradilan pidana (Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan)
b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh
komponen-komponen peradilan pidana
c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari
efisiensi penyelesaian perkara
d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “the
administration of justice”.10
Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh
pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science di
Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja
aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan itu
terbukti dengan meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun
1960. Di Amerika Serikat, pendekatan yang digunakan dalam penegakan
hukum adalah “hukum dan ketertiban” (law and order approach) yang
dikenal dengan law enforcement. Istilah tersebut menunjukan bahwa aspek
hukum dalam penanggulangan kejahatan dikedepankan dengan kepolisian
sebagai pendukung utama, keberhasilan penanggulangan kejahatan sangat
tergantung kepada efektifitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian.
Istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana telah menjadi
suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan
10 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif
Ekstensialisme dan Abolisionisme, Bandung: Bina Cipta, 1996, hal. 9.
22
kejahatan dengan dasar pendekatan sistem.11 Black Law Dictionary,
mengartikan criminal justice system sebagai “the network of court and
tribunals which deal with criminal law and it’s enforcement”.
Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice
System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi
masalah kejahatan. Menanggulangi di sini harus diartikan sebagai
mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi, yang
terdiri dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan
Pemasyarakatan terpidana. Sistem Peradilan Pidana merupakan sistem
yang dibuat untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat
mengganggu ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat. Sistem
Peradilan Pidana juga merupakan salah satu usaha masyarakat untuk
mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi yang dapat diterima. Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana
(sebagai alat untuk penanggulangan kejahatan) dilakukan dnegan cara
mengajukan para pelaku kejahatan ke pengadilan sehingga menimbulkan
efek jera kepada para pelaku kejahatan dan membuat para calon pelaku
kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan.12
Romli Atmasasmita berpendapat bahwa “pengendalian” dan
“penegakan hukum” memiliki makna yang jauh berbeda. Apabila sistem
peradilan pidana diartikan sebagai suatu penegakan hukum atau law
enforcement, maka didalamnya terkandung aspek hukum yang
menitikberatkan kepada operasionalisasi peraturan perundang-undangan
dalam upaya menanggulangi kejahatan dan bertujuan untuk mencapai
kepastian hukum (certainly). Di lain pihak, apabila pengertian sistem
peradilan pidana dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan social
defence (perlindungan masyarakat) yang terkait kepada tujuan untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat (social welfare), maka dalam
sistem peradilan pidana terkandung aspek sosial yang menitikberatkan
kepada kegunaan (expediency). 13
Noval Moris berpendapat bahwa: “The Criminal Justice System is
best seen as a crime containment system, one of the method that society
uses to keep crime at whatever level each particular culture is willing to
eccept. But, to a degree, the criminal justice system is also involved in the
secondary prevention of crime, that is to say, in trying to reduce
criminality among those who have been convicted of crimes and trying by
deterrent processes of detection, conviction, and punishment to reduce the
commission of crime by those who are so mended and so acculturated”.14
11 H. Edi Setiadi & Kristian, Op. Cit, hal. 18. 12 Ibid., hal. 18-19. 13 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010, hal. 4. 14 Ibid.
23
Philip P. Purpura menyatakan bahwa sistem peradilan pidana
(criminal justice system) merupakan suatu sistem yang terdiri dari
pengacara, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban
masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan, dan penahanan
terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya
seseorang, memidana pelaku yang bersalah dan melalui komponen sistem
secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan hokum terhadap hak-
hak terdakwa.15
Remington dan Ohlin mengemukakan bahwa criminal justice system
dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme
administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana
merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik
administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu
sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang telah
dipersiapkan secara rasional dan dengan cara yang efisien untuk
memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.16
Pada hakikatnya, Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu proses
penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, sistem peradilan pidana
berhubungan erat sekali dengan peraturan perundang-undangan pidana itu
sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana.
Dikatakan demikian karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya
merupakan penegakan hukum pidana in abstracto yang akan diwujudkan
dalam penegakan hukum pidana in concreto.17
2. Sejarah Praperadilan
Munculnya konsep praperadilan tak bisa lepas dari sejarah Panjang
perlunya pengawasan peradilan yang ketat (strict judicial security)
terhadap semua tindakan perampasan kebebasan sipil seseorang. Konsep
ini mengemuka pertama kali ketika inggris mencetuskan Magna Charta
15 Sidik Sumaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press, 2005, hal.
2. 16 H. Edi Setiadi & Kristian, Op. Cit, hal. 27-28. 17 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung:
PT Alumni, 1992, hal. 197.
24
pada Tahun 1215, yang lahir sebagai kritik atas kesewenang-wenangan
raja saat itu.18
Meski kelahiran konsep Magna Charta bertujuan membatasi
kekuasaan raja, namun didalamnya terdapat gagasan bahwa HAM lebih
penting dari pada kekuasaan raja. Tak seorang warga negara dapat ditahan,
atau dirampas harta kekayaannya, atau diasingkan, atau dengan cara
apapun dikebiri hak-haknya kecuali dengan pertimbangan hukum.
Konsepsi ini selanjutnya dikenal dengan termin habeas corpus. Paradigma
absolutisme raja bergeser ke arah kedaulatan rakyat, setelah sekian lama
dikekang oleh raja, dia luluh oleh sentuhan aliran rasionalisme.
Merujuk pada sejarahnya, habeas corpus muncul dari prinsip dasar
bahwa pemerintah harus selalu tunduk pada hukum. Karenanya, hukum
ditafsirkan dan diterapkan oleh hakim. Konsep ini kemudian diformalkan
oleh parlemen Inggris pada abad ke-17. Pasca lahirnya habeas corpus,
penangkapan dan penahanan yang dilakukan harus dilengkapi dengan
surat perintah dari pengadilan, yang dikeluarkan atas nama raja, dan
ditujukan ke pejabat kerajaan tertentu. Surat nama itu memiliki subpoena.
19
Pentingnya habeas corpus kembali ditegaskan dalam Konstitusi
Amerika Serikat pada abad ke-18. Amandemen pertama konstitusi
Amerika Serikat menyatakan bahwa pengadilan harus tegas mengawasi
semua kasus yang meiliki dampak nyata dan cukup besar atau gangguan
yang sifnifikan dengan pelaksanaan hak-hak fundamental seseorang
(kebebasan sipil).
Secara Gramatikal, istilah habeas corpus berarti “menguasai diri
orang”. Sederhananya konsep ini adalah upaya hukum untuk menentang
penahanan seseorang. Pengertiannya dapat dilihat dari dua sisi, secara
materil habeas corpus berarti “upaya hukum yang menentang penahanan
18 Supriyadi Widodo Eddyono, DKK, Praperadilan di Indonesia: Teori, Sejarah dan
Praktiknya, (Jakarta, ICJR, 2014), hal. 17. 19 Ibid., hal. 18.
25
seseorang”. Secara formil, diwujudkan dengan surat perintah pengadilan
atau dikenal sebagai “great wit”. Great wit merupakan cara menanyakan
dan meninjau kembali keabsahan penahanan, kepada institusi/pihak yang
sedang menahan seseorang. Surat perintah habeas corpus berisi, “Si
tahanan berada dalam penguasaan saudara. Saudara wajib membawa
orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukan alasan yang
menyebabkan penahanannya”.20
Habeas corpus tidak menciptakan hak hukum substantif, melainkan
memberikan pemulihan atas pelanggaran hak-hak hukum atau atas
tindakan mengabaikan kewajiban hukum. Dengan kata lain, habeas corpus
adalah mekanisme prosedural penegakan hukum atas hak dan kewajiban
yang diberikan, dikenakan, atau diakui pada otoritas lainnya-praperadilan
terhadap penyidikan.
Dalam perkembangannya, terma habeas corpus diadopsi oleh
banyak negara-negara di dunia, baik yang menganut sistem common law
maupun civil law. Perbedaan sistem ini tentu melahirkan banyak varian
habeas corpus. Salah satunya Indonesia yang menterjemahkan habeas
corpus menjadi praperadilan.21 Pendapat Steven Semeraro bisa digunakan
untuk memahami varian habeas corpus, yang penekanannya pada
pengawasan peradilan.
Menurut Semeraro, ada dua teori yang menjelaskan doktrin habeas
corpus. Pertama, teori “kekuasaan judisial” (the judicial power theory),
yang menafsirkan surat perintah sebagai perangkat yang digunakan untuk
menegakan otoritas pengadilan guna menyatakan hukum ketika hakim
yang lebih rendah posisinya, menentang atau meremehkan kekuatan
pengadilan tersebut. Kedua, teori yang berfokus pada ideologi terkait
dengan surat perintah. Sejarah habeas corpus umumnya menafsirkan
doktrin perubahan sebagai respon terhadap faktor sosial dan politik
eksternal yang independen untuk sistem hukum. Penafsiran ini menjadi
20 Lihat, Gregory Churchill, Peranan Upaya Habeas Corpus dalam Pengawasan
Pelaksanaan Hukum Acara Pidana di Amerika Serikat, Makalah dalam Raker Peradin di Jakarta, 29
september – 3 oktober 1982. 21Amir Ilyas & Apriyanto Nusa, Praperadilan Pasca Putisan Mahkamah Konstitusi,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2017, hal. 3.
26
kebutuhan- respon hipotesis pembangunan doktrinal yang benar pada
tingkat tertentu, meski tidak lengkap. Oleh karena itu, untuk memahami
perkembangan doktin habeas corpus, harus juga dipertimbangkan sejauh
mana ajaran itu dan ideologi sekitarnya, membantu menciptakan
perubahan dalam masyarakat, politik, dan hukum itu sendiri. Teori kedua
dari Semeraro ini bisa menjadi pembenar atas adopsi konsep habeas
corpus di Indonesia yang diwujudkan dalam mekanisme praperadilan.22
Lembaga praperadilan di Indonesia lahir dari inspirasi yang
bersumber dari adanya hak habeas corpus dalam sistem peradilan Anglo
Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi
manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus, memberikan hak
pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut
(menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi
ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah tidak
melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa
perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka
atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia.
Prinsip dasar habeas corpus memberikan inspirasi untuk
menciptakan suatu lembaga yang memberikan hak dan kesempatan kepada
seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau dibatasi
kemerdekaannya untuk mengadukan nasibnya sekaligus menguji
kebenaran dan ketetapan dari tindakan kekuasaan berupa penggunaan
upaya paksa (dwang middelen), baik penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat yang
22 Ibid.
27
diberlakukan oleh pihak kepolisian ataupun kejaksaan. Prinsip
dasar habeas corpus memunculkan gagasan lembaga praperadilan yang
memberikan perlindungan kepada tersangka terhadap upaya paksa yang
dilakukan aparat penegak hukum.
Jadi, untuk melacak sejarahnya, kehadiran Lembaga praperadilan
muncul dari semangat untuk memasukan konsep habeas corpus dalam
sistem hukum acara pidana di Indonesia. Menurut Oemar Seno Adji,
konsep ini hadir sebagai mekanisme testing atas sah tidaknya suatu
tindakan penangkapan dan penahanan, karena tindakan tersebut
merupakan “indruising” terhadap hak-hak dan kebebasan seseorang
sehingga membuthkan pengujian dari pengadilan.23
3. Tujuan Praperadilan
Hukum pidana (materiil dan formil) merupakan hukum istimewa,
karena hukum dimaksudkan untuk melidungi manusia terhadap
pelanggaran hak-haknya, sedangkan hukum pidana justru diciptakan untuk
“merampas” hak-hak tersebut “dalam keadaan tertentu”. Keadaan tertentu
inilah yang seharusnya sangat dibatasi dan diberi garis yang tegas tentang
batas-batasnya.24
Hukum melidungi hak asasi manusia yang paling utama, yaitu hak
untuk hidup, sedangkan hukum pidana menciptakan pidana mati yang
akan merenggut hak yang paling asasi itu. Hukum melindungi hak orang
untuk bergerak kemana saja yang ia kehendaki, sedangkan hukum pidana
mengenal pidana penjara dan hukum acara pidana mengenal penahanan.
Hukum melindungi ketenteraman rumah tangga orang, padahal hukum
acara pidana mengenal penggeledahan rumah atau tempat kediaman. Oleh
karena itu, pelaksanaan “perampasan” hak-hak tersebut harus menurut
cara dan batas yang ditentukan oleh undang-undang.25
Praperadilan dapat dikatakan sebagai upaya koreksi terhadap
penyimpangan yang terjadi selama proses penyidikan dan penuntutan.
Adanya ketentuan praperadilan dalam KUHAP ini juga merupakan
tuntutan bagi pejabat yang terlibat dalam proses penyidikan dan
23 Ibid., hal. 3-4. 24 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 139. 25 Ibid.
28
penuntutan (utamanya ditujukan kepada penyidik dan penuntut umum)
untuk menjalankan tugasnya secara professional dan demi tegaknya the
rule of law.26
M. Yahya Harahap mengemukakan, ada maksud dan tujuan yang
hendak ditegakan dan dilindungi dengan adanya pelembagaan
praperadilan, yakni tegaknya hukum dan perlindungan hak tersangka
dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Demi untuk
terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang
memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk
melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan,
penyitaan dan sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat
penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya
merupakan perlakuan yang bersifat:
1. Tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi
kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan
kepada tersangka
2. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-
undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan
perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan
terhadap hak asasi tersangka.27
Setiap tindakan upaya paksa penyidik yang melanggar ketentuan
perundang-undangan, khususnya hukum acara pidana yang didalamnya
menganut asas legalitas formil (Pasal 3 KUHAP), seharusnya dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum (hukum pidana). Sebab, perkosaan
terhadap hak asasi manusia tersebut bukan hanya bertentangan dengan
undang-undang, tetapi juga melanggar Pasal 12 Universal Declaration of
Human Rights yang menjelaskan bahwa: “tiada seorangpun diperbolehkan
mencampuri secara sewenang-wenang kehidupan partikelir, keluarga,
tempat tinggal, surat menyurat orang lain.
Untuk mengantisipasi terjadinya tindakan secara “liar” yang
berakibat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia seseorang, maka
kesemua prosedur dan tahapan harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, tujuan utama
26 Amir Ilyas & Apriyanto Nusa, Op.Cit., hal. 5-6. 27 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal.
3.
29
pelembagaan praperadilan dalam KUHAP, adalah untuk melakukan
“pengawasan secara horizontal” atas segala tindakan upaya paksa yang
dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum kepada tersangka selama
dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar
tindakan itu tidak bertentangan dengn ketentuan-ketentuan hukum dan
undang-undang yang berlaku.28
4. Model-Model Sistem Peradilan Pidana
Sistem hukum secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu sistem
hukum Anglo Saxon dan sistem hukum Eropa Kontinental. Kedua sistem
hukum ini memiliki perbedaan yang mendasar pada pembangunan sistem
peradilan pidananya.
Sistem hukum Anglo Saxon memperlihatkan semangat
individualisme dan desentralisasi dengan mengutamakan keadilan dan
semangat perlindungan terhadap hak-hak individu yang sangat tinggi.
Sedangkan sistem hukum Eropa Kontinental bersandarkan pada prinsip
keseragaman, organisasi birokratik sentralisasi serta menekankan pada
pengembangan secara hati-hati sistem hukum acara yang memadai untuk
dapat memastikan fakta-fakta agar dapat dicapai suatu keputusan yang adil
dalam suatu perkara.29
Sistem peradilan pidana Anglo Saxon dan Eropa Kontinental
memunculkan metode penemuan fakta yang pada dasarnya berbeda, yaitu
sistem accusatoir dimana tersangka dijadikan sebagai subjek yang berhak
mengetahui dan mengikuti setiap tahap dari proses peradilan dan juga
berhak mengajukan sanggahan. Sistem accusatoir menghendaki agar
kebenaran dapat diungkapkan secara akurat dalam suatu keadaan di mana
masing-masing pihak pada sistem peradilan yang berperkara dalam posisi
yang bertentangan dengan memberikan kesempatan yang sama kepada
tertuduh dan penuntut umum untuk mengajukan argumentasi disertai bukti
penunjang.30
Sistem inquisitoir adalah sistem dimana tersangka dijadikan sebagai
objek, satu-satunya tujuan pemeriksaan pada sistem ini adalah untuk
memperoleh pengakuan (confession) dari tersangka karena di dalam
praktiknya, sering kali tersangka tidak mau secara sukarela mengakui
perbuatannya atau kesalahannya. Petugas pemeriksa akan memperpanjang
penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan (torture) sampai diperoleh
28 Amir Ilyas & Apriyanto Nusa, Op.Cit., hal. 8-9.
29 H. Edi Setiadi & Kristian, Op. Cit, hal. 71. 30 Ibid., hal. 43-44.
30
pengakuan, serta selama pemeriksaan perkara berlangsung, tertuduh atau
tersangka tidak dihadapkan ke muka sidang pengadilan secara terbuka,
karena dalam kenyataannya, pemeriksaan terhadap tertuduh atau tersangka
dilaksanakan secara tertutup bahkan dilakukan secara rahasia. Selama
penyelesaian perkara berlangsung, tertuduh atau tersangka tidak berhak
didampingi oleh pembela.31
Pada sistem peradilan pidana Eropa Kontinental. Herbert L. Packer
membedakan pendekatan normatif Sistem Peradilan Pidana menjadi dua
model, yaitu: Crime Control Model dan Due Process Model.
1. Crime Control Model (Model Pengendalian Kejahatan)
Crime Control Model atau umumnya disingkat “CCM”,
merupakan model sistem peradilan pidana yang bersifat represif
dalam menanggulangi perilaku jahat. Penanggulangan kejahatan
dengan model ini cenderung menggunakan penghukuman yang
tinggi dan bersifat penalty, melalui screening yang telah
dilakukan oleh polisi dan jaksa sebagai indicator untuk
menentukan atau melakukan penilaian terhadap seorang
tersangka atau terdakwa bersalah atau tidak dalam proses
peradilan. Konsep ini berdasarkan pada “the preposition that the
repression of criminal conduct is by far the most important
function to be performed by the criminal process”.32
Pelaku kriminal harus berada pada kontrol yang ketat supaya
ketertiban umum terlindungi. Proses peradilan pidana harus
menghasilkan angka yang tinggi untuk penagkapan dan
pemidanaan dan oleh karena itu harus mengutamakan kecepatan
dan hasil akhir. Titik perhatian dari model ini adalah perlindungan
yang efektif terhadap masyarakat dari pelanggaran hukum dan
ketertiban. Crime control model menyatakan bahwa
pemeberantasan atau penanggulangan kejahatan merupakan
fungsi terpenting dan harus diwujudkan dari suatu proses
peradilan pidana, sehingga perhatian utama dari model ini harus
harus ditujukan pada efisiensi proses peradilan pidana.
Penekanan pada model ini adalah efektivitas, yaitu kecepatan dan
kepastian. Pembuktian kesalahan seorang tersangka atau
terdakwa sudah diperoleh pada tingkat pemeriksaan oleh
kepolisian. Presumption of guilty (asas praduga bersalah)
digunakan untuk mempercepat pemrosesan tersangka atau
terdakwa ke sidang pengadilan. 33
31 Ibid., hal. 40. 32 Ibid., hal. 72-73. 33 Ibid., hal. 71-73.
31
Nilai-nilai yang melandasi crime control model adalah
tindakan represif terhadap suatu tindak pidana atau tindak
criminal yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini merupakan
fungsi terpenting dalam suatu proses peradilan, perhatian utama
dari crime control model harus ditujukan kepada suatu efisiensi
dari suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka,
menetapkan kesalahannya, namun tetap menjamin hak-hak
tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan. Pada model ini
juga, proses penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan
prisip “cepat dan tuntas” dan model yang dapat mendukung
penegakan hukum tersebut adalah model administratif dan model
manajerial; asas praduga bersalah (presumption of guilty) akan
menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien; proses
penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas
(jumlah) temuan-temuan fakta administratif, oleh karena temuan-
temuan tersebut akan membawa kearah pembebasan seorang
tersangka dari penuntutan atau kesediaan tersangka menyatakan
dirinya bersalah.34
Dalam Crime Control Model (CCM) terdapat anggapan
bahwa penanggulangan kejahatan merupakan hal yang paling
didambakan masyarakat oleh karena itu, diperlukan suatu represi
terhadap pelaku kriminal, menurut anggapan ini, gagalnya
penegak hukum mengatasi kejahatan dapat meruntuhkan tertib
masyarakat (public order) dan menjurus kepada hilangnya
kemerdekaan sosial (social freedom). Dengan anggapan
demikian, Crime Control Model (CCM) menganggap bahwa
proses peradilan pidana atas pelaku-pelaku kejahatan merupakan
upaya yang dapat ditempuh untuk mewujudkan tertib masyarakat
(public order) dan kemerdekaan sosial (social freedom). Untuk
itu kemampuan apparat penegak hukum untuk melakukan
penangkapan, penahanan, dan menjatuhkan hukuman kepada
pelaku kejahatan dipakai sebagai ukuran keberhasilan dari sistem
ini.35
Herbert L. Packer menyatakan ciri-ciri yang terdapat dalam
Crime Control Model, antara lain:
a. The Crime Control Model tends to the emphasize this
adversary aspect of the process. The Process Model
tends to make it central; (Model pengendalian kejahatan
cenderung menekankan aspek yang berlawanan dari
proses itu. Model proses itu cenderung menjadikannya
pusat).
34 Ibid., hal. 73-74. 35 Ibid.
32
b. The value system that underlies the Crime Control Model
is based on the proposition that the repression of
criminal conduct is by far the most important function to
be performed by the criminal process. In order to achieve
this high purpose, the Crime Control Model requires that
primary attention be paid to the efficiency with which the
criminal process operated to screen suspect deterinine
guilt and secure appropriate dispositions of prison
convicted of crime; (Sistem nilai yang mendasari model
pengendalian kejahatan didasarkan pada proporsi bahwa
represi perilaku kriminal adalah fungsi yang paling
penting dilakukan oleh proses kriminal. Untuk mencapai
tujuan yang tinggi ini, model pengendalian kejahatan
menuntut perhatian utama untuk efisiensi yang
dengannya proses criminal beroperasi untuk melindungi
kesalahan tersangka dan mengamankan disposisi yang
cocok untuk penjara karena melakukan kejahatan).
c. The presumption of guilt, as it operates in the Crime
Control Model, is the operation expression of that
confidence. It would be a inistake to think of the
presumption of guilt as the opposite of the presumption
of innocence that we are so used to thinking of as the
polestarof the criminal process and that was we shall see,
occupies an important position in the Due Process
Model; (Anggapan bersalah atau praduga bersalah,
seperti yang berlaku pada Model Pengendalian
Kejahatan, adalah pernyataan perlakuan dari keyakinan
itu. Adalah salah bila anggapan bersalah itu sebagai
lawan dari anggapan tidak bersalah atau asas praduga tak
bersalah bahwa kita sangat terbiasa memikirkan sebagai
bintang kutub dari proses criminal dan itu yang akan kita
lihat, menempati posisi penting pada Model
Perlindungan).
d. If the Crime Control Model resembles an assembly line,
the Due Process Model looks very much like an abstacle
course; (Jika Model Pengendalian Kejatahan
menyerupai sistem pekerjaan Model Perlindungan
kelihatannya persis sama dengan rangkaian kesulitan
yang harus dilewati).36
M. Syukuri Akub dan Baharuddin Baharu
mengaklasifikasikan ciri-ciri Crime Control Model sebagai
berikut:
36 M. Syukuri Akub dan Baharuddin Baharu, Wawasan Due Procees of Law dalam Sistem
Peradilan Pidana (Cetakan Pertama), Rangkang Education, 2012, hal. 65-66.
33
a. Harus dapat diinterogasi pribadi tersangka sebelum
timbul masalah untuk tidak mau bekerja sama, karena
kerja sama dari tersangka sangat diharapkan. Untuk
adanya kerja sama dari tersangka harus segera diperiksa
segera setelah ia tertangkap.
b. Penahanan luar harus dihindari sehingga tersangka harus
diasingkan dari teman-temannya atau keluarganya
c. Berat ringannya kejahatan merupakan faktor yang
menentukan sampai berapa lama seseorang dapat
ditahan
d. Tersangka atau terdakwa tidak dapat diasingkan dari hal-
hal kewajaran. Keluarganya harus diberitahu, tetapi
dilarang berdiam dengan keluarganya karena dianggap
akan mempersulit.
e. Tujuan pemeriksaan adalah untuk mendapatkan
kebenaran materiel, sehingga dituntun profesionalisme
dari apparat penegak hukum.37
2. Due Process Model (Model Perlindungan)
Model ini menekankan seluruh temuan-temuan fakta dari
suatu kasus yang sedang diselesaikan harus diperoleh melalui
prosedur formal yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Dalam model ini, setiap prosedur adalah penting dan tidak boleh
diabaikan. Setiap prosedur harus dilakukan melalui suatu tahapan
pemeriksaan yang ketat mulai dari penyidikan, penangkapan,
penahanan, penyitaan dan peradilan. Dengan cara ini, diharapkan
seseorang tersangka yang nyata-nyata tidak bersalah dapat
memperoleh kebebasan dari tuduhan melakukan kejahatan.38
Presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah)
merupakan tulang punggung dari model ini. Konsep ini
didasarkan pada “the concept of primacy of the individual and
complementary concept og limitation on official power atau
individu berpotensi menjadi sasaran penggunaan kekerasan dari
negara. Sistem Peradilan Pidana model ini harus diarahkan guna
mengontrol dan mencegah penguasa dari exploitasi dan efisiensi
yang maksimal. Dengan kata lain, titik perhatian dari model ini
adalah melindungi individu yang bersangkutan dalam proses
pidana dari kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dari negara.39
Due Process Model lebih cenderung mengarah pada
adversary system yang menganggap penjahat atau pelaku tindak
37 H. Edi Setiadi & Kristian, Op. Cit., hal. 77. 38 Ibid., hal. 78. 39 Ibid.
34
pidana bukan sebagai objek. Proses merupakan suatu arena
rangkaian bagaimana dapat melakukan penangkapan, penahanan,
penuntutan dan mengadili serta mempersalahkan pelaku
kejahatan sesuai dengan norma-norma atau aturan-aturan yang
berlaku. Melalui asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence) yang dianut oleh due process model, seseorang baru
dapat dinyatakan bersalah oleh suatu otoritas yang sah melalui
peradilan. Oleh sebab itu, semua usaha polisi atau jaksa untuk
dapat menghukum seseorang atau terdakwa hanya dapat
dilakukan melalui proses pengadilan. Didalam pelaksanaannya,
selalu timbul hambatan yang dapat menggagalkan seluruh proses
bahkan menyampingkan tujuan pidana itu sendiri.
Nilai-nilai yang melandasi due process model adalah
mengutamakan formal ajudicative dan adversary fact finding, hal
ini berarti dalam setiap kasus, tersangka harus diajukan ke muka
pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa serta tersangka
juga memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan
pembelaannya; menekankan pada pencegahan dan
menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme
administrasi peradilan; proses peradilan harus dikendalikan agar
dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum, karena
kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi
untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari
negara.40
Due process model juga memegang teguh doktrin legal audit,
yaitu seseorang dianggap bersalah apabila penetapan
kesalahannya dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan
dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk tugas
itu. Sebaliknya, seseorang tidak dapat dianggap bersalah
sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlindungan hukum
yang diberikan undang-undang kepada orang yang
bersangkutan tidak dilakukan dengan baik atau tidak dilakukan
sesuai dengan prosedur yang berlaku. Konsep due process model,
40 Ibid., hal. 79.
35
sangat menjunjung tinggi supremasi hukum, dalam perkara
pidana tidak seorangpun berada dan menempatkan diri diatas
hukum. Setiap penegakan hukum harus sesuai dengan
persyaratan konstitusional, harus menaati hukum, serta harus
menghormati the right of self-incrimination dimana tidak
seorangpun dapat dipaksa menjadi saksi yang memberatkan
dirinya dalam suatu tindak pidana, dilarang mencabut dan
menghilangkan hak hidup, kemerdekaan atau harta benda yang
tidak sesuai dengan hukum acara. Due process model menjamin
persamaan di muka hukum dan lebih mengutamakan kesusilaan
dari kegunaan sanksi pidana, setiap orang harus terjamin hak
terhadap diri sendiri dan kediamannya, penjaminan atas
pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan; hak konfrontasi
dalam bentuk pemeriksaan silang dengan orang yang menuduh
dan melaporkan; hak memperolah pemeriksaan yang cepat; hak
memperoleh perlindungan dan diperlakukan secara sama dalam
hukum dan hak untuk untuk mendapatkan penasihat hukum.41
Sebagaimana Crime Control Model (CCM), sebenarnya Due
Process Model (DPM) juga tidak menolak tindakan represif
terhadap pelaku kejahatan, hanya saja mempunyai prioritas yang
caranya berbeda. Due process of law lebih berakar dalam due
process model, hal ini dapat dilihat dari adanya struktur formal
peraturan perundang-undangan atau hukum untuk melaksanakan
due process of law, sehingga dengan demikian, due process
model merupakan suatu obstacle course, yaitu suatu jalan atau
proses yang berfungsi untuk mengontrol cocok tidaknya tindakan
yang dilakukan oleh apparat penegak hukum menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Due process model
menentang praktik-praktik proses peradilan pidana yang
dilakukan berdasarkan cara-cara seperti yang terdapat dalam
crime control model (CCM). Apabila dalam crime control model
sistem peradilan pidana ditunjukan pada efisiensi dan efektivitas
yaitu adanya kecepatan dan kepastian dari aparatur penegak
hukum, menggunakan asas praduga bersalah (presumption of
guilt), proses penegakan hukum menitikberatkan kepada
kuantitas (jumlah) temuan-temuan fakta, keberhasilan ditentukan
oleh kemampuan parat penegak hukum untuk melakukan
penangkapan, penahanan, dan menjatuhkan hukuman kepada
pelaku kejahatan, due process model lebih menitikberatkan
kepada terpenuhinya prosedur-prosedur formal yang telah
ditetapkan oleh undang-undang. Dalam hal ini, due process
model (DPM) melihat adanya kemungkinan kesalahan
(possibility error) seperti terjadinya salah tangkap, salah
menahan, pemaksaan-pemaksaan dalam memperoleh pengakuan
di tingkat penyidikan dan lain sebagainya yang banyak terjadi
41 Ibid., hal. 79-80.
36
dalam proses pelaksanaan proses sistem peradilan pidana
berdasarkan crime control model.42
Due process model (DPM) lebih mempercayai proses
adjudikasi atau proses persidangan dalam melaksanakan
peradilan pidana guna menentukan kesalahan tersangka atau
terdakwa. Dalam due process model tidak menuntut adanya
kecepatan dan ketuntasan dalam proses kriminal sebagaimana
halnya sistem peradilan pidana crime control model. Due process
model lebih menekankan kepada bagaimana suatu proses
peradilan bagi pelaku tindak pidana dapat dilakukan sesuai
dengan rambu-rambu yang diperbolehkan menurut peraturan
yang ada.43
M. Syukuri Akub dan Baharuddin Baharu
mengklasifikasikan ciri-ciri due process model sebagai berikut:
a. jika syarat penangkapan dilaksanakan secara tepat dan
baik, maka tidak perlu mencari keterangan dari
tersangka atau terdakwa;
b. tersangka atau terdakwa harus segera disidangkan;
c. setiap orang yang ditangkap atau ditahan berhak menguji
kesalahan penangkapannya;
d. tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan
hukum;
e. tidak dibenarkan menahan seseorang hanya untuk tujuan
interogasi, dan tidak bias terus dibawa ke pengadilan jika
belum memenuhi syarat formalitas yang utama.44
5. Komponen-Komponen Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Setiap negara dalam praktiknya mengembangkan sistem peradilan
pidananya sendiri-sendiri yang ditentukan oleh perkembangan agama,
kebiasaan, budaya, dan tradisi, pengalaman sejarah dan struktur ekonomi
serta organisasi negara tersebut. Sistem peradila pidana Indonesia tertuang
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai
hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Apabila ditelaah lebih jauh
mengenai isi dari ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981, maka “Criminal Justice System” atau
sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari komponen-komponen
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan serta
pengacara atau advokat sebagai apparat penegak hukum. Kelima aparat
penegak hukum tersebut memiliki hubungan yang erat satu sama lain, yang
42 Ibid., hal. 80-81. 43 Ibid. 44 Ibid., hal. 81-82.
37
kesemuanya itu akan saling terkait dan diharapkan adanya suatu kerjasama
yang terintegrasi. Sebaliknya, jika terdapat kelemahan pada salah satu
sistem kerja komponen simtem peradilan pidana, maka akan
mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem yang terintegrasi itu.45
Bentuk dan komponen sitem peradilan pidana di Indonesia
berdasarkan kodifikasi hukum pidana formil, yaitu Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). mekanisme peradilan pidana akan
berjalan melalui tahap penyidikan, penuntutan dan melalui pemeriksaan
perkara di pengadilan, akan tetapi disini penulis ingin membatasi diri serta
memfokuskan untuk membahas komponen dalam sistem peradilan pidana
penyelesaian perkara di Kepolisian pada tingkat penyidikan saja, yaitu
sebagai berikut :
Kepolisian
Kepolisian Republik Indonesia mempunyai tugas utama
menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat, manakala
terjadi tindak pidana, melakukan penyelidikan dugaan adanya
tindak pidana, melakukan seleksi atau penyaringan terhadap
kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan,
melaporkan hasil penyidikan kepada kejaksaan dan memastikan
dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan
pidana.46
Tahap-tahap Proses dalam Sistem Peradilan Pidana di
Kepolisian adalah sebagai berikut :
1) Penyelidikan
Makna penyelidikan adalah karena tidak setiap peristiwa
yang terjadi diduga sebagai telah terjadi tindak pidana
atau menampakan bentuknya sebagai tindak pidana. Oleh
karena itu sebelum melangkah pada tahap upaya paksa
(dwang middelen) penahanan, maka perlu diadakan
penyelidikan terlebih dahulu. Menurut KUHAP dalam
Pasal 1 butir 5, yang dimaksud dengan penyelidikan
adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
45 Ibid., hal. 107-109. 46 Ibid., hal. 113
38
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
diadakan penyidikan menurut cara yang diatur oleh
undang-undang ini. Fungsi penyelidikan merupakan alat
penyaring atau filter terhadap peristiwa-peristiwa apakah
dapat dilakukan penyidikan terhadapnya atau tidak.
Fungsi penyaring inilah yang menempatkan kedudukan
polisi sebagai penyelidik dan/atau penyidik, sebagai
penjaga pintu gerbang proses peradilan pidana dalam
system peradilan pidana (the as the gate keepers in
criminal justice system).47
2) Penyidikan
Berdasarkan Pasal 1 butir 2 KUHAP diartikan sebagai
rangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti, yang dengan bukti tersebut
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya. Pasal 1 butir (1) Jo.
Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 1 butir (2) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan
pengertian penyidik yang menyatakan, penyidik adalah
pejabat Polisi Republik Indonesa atau pejabat pegawai
negeri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang. Dalam proses mengumpulkan bukti-
bukti, penyidik diberikan wewenang untuk melakukan
tindakan-tindakan tertentu (upaya paksa) guna
penyelesaian tugas penyidikan. Tindakan penyidikan dan
upaya-upaya yang bersifat memaksa ( ) seperti
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan.
Guna memenuhi pembuktian yang dipandang cukup
untuk kepentingan penuntut dan proses persidangan atas
perkara tersebut.48
3) Berakhirnya Tugas Polisi dalam Penyidikan
Pada dasarnya penyidikan telah dianggap selesai apabila
berkas perkara yang diserahkan penyidik kepada
penuntut umum telah diterima dan dinyatakan lengkap
47 Kadri husin dan Budi Rizki Husin, Op. Cit., hal. 93-94. 48 Ibid., hal. 94-95.
39
(P-21), setelah tenggang waktu 14 (empat belas) hari dari
penyerahan (Pasal 110 ayat (4) KUHAP).49
B. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi lahir dari kebutuhan untuk
terselenggaranya gagasan pengujian konstitusional. Mahkamah konstitusi
diberi fungsi utama melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang.
Pengujian konstitusionalitas (constitutional review) memiliki dua tugas
pokok yaitu pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam
hubungan perimbangan peran antara cabang-cabang kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan peradilan. Dalam hal ini, pengujian konstitusional
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penggunaan kekuasaan oleh salah
satu cabang kekuasaan negara dengan mengorbankan cabang kekuasaan
negara lainnya. Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari
penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga-lembaga negara sehingga
merugikan hak-hak fundamental individu-individu tersebut yang dijamin oleh
konstitusi.50
Secara filosofis ide dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah
untuk menciptakan sebuah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang
menganut asas pemisahan kekuasaan (separation of power) secara fungsional
dan menerapkan check and balances untuk menggantikan secara bertahap
penggunaan asas pendistribusian kekuasaan (distri bution of power) dan
paham integralisme dari lembaga tinggi negara, dengan alasan bahwa :
1. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan untuk
mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih,
makmur, dan ber keadilan;
49 Ibid., hal. 102. 50 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (constitutional complaint) Upaya
Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Kontstitusional Warga Negara, Jakarta: Sinar Grafika,
Juni 2013, hal. 250.
40
2. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan
konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan
wewenangnya sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang
Dasar 1945;
3. Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam UndangUndang Dasar
1945 (Pasal 24C) pengaturan tentang pengangkatan dan
pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan
lainnya diatur dalam undang- undang.
Dalam melaksanakan fungsi itu Mahkamah Konstitusi diberi sejumlah
kewenangan yang sangat bervariasi antara negara yang satu dengan negara
yang lain. Dari berbagai kewenangan itu lahir kemudian berbagai predikat
atau sebutan untuk Mahkamah Konstitusi yang mencerminkan implementasi
fungsi pengujian konstitusional tersebut. Sebutan atau predikat tersebut
adalah:
a. Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Konstitusi (the
Guardian of the Constitution)
b. Mahkamah Konstitusi sebagai Pengendali Keputusan
berdasarkan Sistem Demokrasi (Control of Democracy)
c. Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Konstitusi (the Sole or the
Highest Interpreter of the Constitution)
d. Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung Hak Konstitusional
Warga Negara (the Protector of the Citizen Constitutional Rights)
e. Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung Hak Asasi Manusia (the
Protector of Human Rights).51
Dalam undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan
kedudukan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
51 Ibid., hal. 313-314.
41
a. Kedudukan
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu Lembaga negara
yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan
keadilan.52
b. Kewenangan
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.53
C. Penafsiran Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang
Konstitusi (tertulis), sebagai karya manusia yang dibuat dalam kurun
waktu tertentu, disahkan dan diberlakukan melalui proses pengambilan
keputusan politik dalam forum politik, tidak akan pernah sempurna. Tidak
akan sempurna bukan hanya dalam pengertian tidak lengkap tetapi juga dalam
pengertian bahwa konstitusi (tertulis itu senantiasa membutuhkan legitimasi
zamannya, seperti dikatakan oleh Jed Rubenfeld (yang merujuk pada
Konstitusi AS) dalam bentuk pernyataan reflektif:
How can a two-hundred-year-old legal text, enacted by a series of
majority votes under conditions very distant from our own, exert
legitimate authority in the present? How can it possibly bind a majority
today? A constitution of this sort is a scandal. It is an offence against
reason, against democracy – against nature itself.54
52 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 53 Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 54 I Dewa Gede Palguna, Op. Cit., hal. 280.
42
Karena itulah konstitusi tertulis senantiasa memerlukan
penyempurnaan. Ada tiga cara untuk menyempurnakan konstitusi, yaitu
melalui:
1. perubahan atau amandemen secara formal (formal amendment);
2. penafsiran atau interpretasi pengadilan (judicial interpretation);
3. kebiasaan dan konvensi (usage and conventions).55
Dengan demikian, penafsiran merupakan salah satu cara untuk
menyempurnakan konstitusi. Penafsiran yang mempunyai kekuatan mengikat
adalah penafsiran yang dilakukan oleh pengadilan (judicial interpretation).
Namun, dalam melakukan penafsiran itu, pengadilan bukanlah melakukannya
sebagai kegiatan khusus atau secara tersendiri, melainkan melalui putusan-
putusannya. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan penafsiran
konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi pada dasarnya adalah bentuk-bentuk penafsiran hakim
dan berisi tafsir yang mengikat atas berbagai ketentuan konstitusi yang
berkait dengan perkara yang diajukan kepadanya. Melalui penafsirannya
dalam putusan terhadap suatu kasus, hakim sesungguhnya juga menciptakan
hukum. Sebagaimana dikatakan oleh Malcolm M. Freely dan Edward L.
Rubin, “if legal theory is largely indeterminate, judges are creating law
perhaps as often as every time they reach a decision.” 56
Peran penting badan peradilan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi
dalam melakukan penafsiran konstitusi yang berkaitan dengan tugas dan
fungsi serta kewenangannya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 24C
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar…” Mahkamah Konstitusi senantiasa melakukan penafsiran atau
inteprtasi pengadilan (judicial interpretation) dalam memutus suatu perkara
Untuk guna menjadikan konstitusi itu tetap hidup (living constitution) karena
55 Ibid., hal. 281. 56 Ibid.
43
adanya pemikiran-pemikiran serta melahirkan ide-ide yang baik dalam
memutus suatu perkara yang dengan cara itu tugas pengujian konstitusional
untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara
pun tidak akan kehilangan relevansinya dalam masyarakat yang terus
berkembang.
Pentingnya masalah penafsiran konstitusi ini dalam hubungan dengan
pengujian konstitusional karena pada dasarnya tatkala pengadilan melakukan
kegiatan pengujian konstitusional itu, baik yang objeknya norma maupun
tindakan, ia sekaligus melaksanakan aktifitas menafsirkan konstitusi. Pada
akhirnya hasil penafsiran inilah yang akan menetukan pendapat pengadilan
tentang konstitusional – tidaknya norma maupun tindakan (atau kelalaian)
konkret tertentu. Tidaklah berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa, sudut
pandang upaya membangun suatu masyarakat yang dilandasi oleh rule of law
dan penghormatan terhadap hak-hak fundamental dengan penafsiran
konstitusional berarti memberi peran kepada hakim sebagai ko-arsitek (co-
architects) dalam upaya membangun masyarakat yang demikian.57
Menurut Scholler, di negara-negara Eropa Kontinental (negara-negara
civil law atau codified law) pada dasarnya terdapat empat kelompok utama
tori atau metode penafsiran yaitu, literal, intentional, systematic, dan
teleological yang diberlakukan baik dalam penafsiran hukum atau undang-
undang (legal interpretation) adalah titik tolah (starting point) dalam
melakukan penafsiran konstitusi. Namun, sebelum sampai pada penerapan
teori atau metode tersebut, terlebih dahulu harus dipahami sejumlah kriterian
penafsiran (yang disebut “kaidah-kaidah penafsiran” atau canons of
interpretation) yang secara tradisi diberlakukan, yaitu makna verbal (verbal
meaning), konstruksi gramatikal (grammatical construction), konteks
perundang-undangan (statutory context), maksud dari pembentuk undang-
undang yang asli (intention of the original legislator), dan dari segi-segi
teleologis (teleological aspects).58
D. Hal-Hal yang di Pertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam
Melakukan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar 1945
Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan hakim konstitusi yang
ditetapkan dengan keputusan presiden. Kesembilan hakim tersebut diajukan
57 Ibid., hal. 282. 58 Ibid., hal. 287.
44
masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan
tiga orang oleh presiden.59 Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil dalam bersikap, negarawan yang
menguasai konstitusi dan kewajiban ketatanegaraan, dan tidak merangkap
sebagai pejabat negara.60
Dalam Pasal 4 ayat (1-3a) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, dijelaskan susunan dari Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:
Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap
anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang
anggota hakim konstitusi. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa
jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal
pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Ketua
dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang terpilih sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.61
Keberadaan masing-masing hakim konstitusi merupakan institusi yang
otonom dan independen, tidak mengenal hierarki dalam pengambilan putusan
sebagai pelaksana dari kewenangan konstitusionalnya. Dalam memeriksa,
mengadili, dan memutuskan perkara di Mahkamah Konstitusi, ketua dan
wakil ketua tidak dapat memengaruhi pendapat para hakim lainnya,
begitupun sebaliknya.
Tugas hakim dalam memeriksa serta mengadili suatu perkara yaitu
sangat berkaitan dengan persoalan normatif dan filsafat hukum sebab tugas
mengadili berkaitan dengan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Paund mengatakan bahwa salah satu objek filsafat adalah The Application of
Law. Menurut Golding, sebagai The critical evaluation of laws and legal
59 Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 jo. Pasal 4 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. 60 Pasal 24C UUD 1945. 61 Pasal 4 ayat (1-3a) Undang-undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 2011 tentang
perubahan atas undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
45
institution… and the study of judicial decision making. Oleh karena itu, tugas
hakim mengadili maka tidak lepas dari kegiatan penemuan hukum.62
Pengadilan berfungsi menyelenggarakan peradilan guna menegakan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Hakim
adalah pelaku utama fungsi pengadilan. Karena itu semua wewenang dan
tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakan
hukum dan keadilan. Dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim, kata adil
diberi makna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan apa
yang menjadi haknya yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang
sama kedudukannya di hadapan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang
paling mendasar dari keadilan yaitu memberikan perlakuan dan kesempatan
yang sama serta keseimbangan perlindungan hukum di antara pihak-pihak
yang bersengketa.63
Independensi kekuasaan kehakiman yang dalam hal ini Mahkamah
Agung dan badan-badan peradilan yang ada dibawahnya serta Mahkamah
Konstitusi, secara hukum telah memperoleh jaminan kemerdekaan baik
melalui Undang-Undang Dasar Tahun 1945 maupun melalui undang-undang
tentang kekuasaan kehakiman sebagaimana telah beberapa kali diubah dan
disempurnakan sebagaimana terlihat dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Demikian pula independensi hakim
secara personal telah dijamin secara hukum dengan bolehnya melakukan
dissenting opinion dalam mengajukan pertimbangan dan pendapat
hukumnya, dan harus dimuat dalam pertimbangan hukum dalam
putusannya.64
Hakim harus mampu merefleksikan setiap teks pasal yang terkait
dengan fakta kejadian yang ditemukan di persidangan ke dalam putusan
hakim terhadap sengketa pengujian konstitusional yang diajukan kepadanya
dalam hal ini adalah pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar 1945, yang melaksanakan tugas pokoknya yaitu menerima, memeriksa,
serta memutus haruslah mengandung nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai
dasar konstitusi dalam UUD 1945 sesuai dengan prinsip independensi yang
dimilikinya, sehingga setiap putusan hakim memancarkan pertimbangan nilai
62 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta: Prenadamedia
Group, Maret, 2017, hal. 51. 63 Ibid., hal. 90-91. 64 Ibid., hal. 92.
46
filosofis tinggi, konkretnya ditandai oleh karakter putusan yang
berKetuhanan, berperikemanusiaan, menjaga persatuan, penuh kebajikan,
dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Filsafat harus masuk
membantu pikiran hakim menyusun pertimbangan putusannya, sehingga
putusan hakim mengandung nilai-nilai keadilan filosofis. Putusan hakim yang
baik harus mengandung 3 (tiga) pokok pertimbangan meliputi pertimbangan
keadilan filosofis, pertimbangan keadilan sosiologis, dan pertimbangan
keadilan yuridis.
Mahkamah Agung telah menentukan bahwa putusan hakim harus
mempertimbangkan beberapa aspek yang bersifat yuridis, filosofis, dan
sosiologis sehingga keadilan yang dicapai, diwujudkan, dan
dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang
berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral
justice), dan keadilan masyarakat (social justice).65
Aspek yuridis merupakan aspek pertama dan aspek utama yang
berpatok pada undang-undang yang berlaku. Hakim sebagai aplikator
undang-undang harus memahami undang-undang dengan mencari undang-
undang yang berkaitan dengan perkara yang dihadapi. Hakim harus menilai
apakah undang-undang tersebut adil, bermanfaat, ataupun memberikan
kepastian hukum jika ditegakan. Sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya
adalah menciptakan keadilan.66
Mengenai aspek filosofis, merupakan aspek yang berintikan pada
kebenaran dan keadilan. Sedangkan aspek sosiologis mempertimbangkan tata
nilai budaya yang hidup dalam masyarakat. Aspek filosofis dan sosiologis
penerapannya sangat memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang luas
serta kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilai-nilai dalam masyarakat
yang terabaikan. Jelas penerapannya sangat sulit, karena tidak mengikuti asas
legalitas dan tidak terikat pada sistem. Pencantuman ketiga unsur tersebut
tidak lain agar putusan dianggap adil dan diterima oleh masyarakat.
Sejatinya pelaksanaan tugas dan kewenangan hakim dilakukan dalam
kerangka menegakan kebenaran dan berkeadilan dengan berpegang pada
hukum, undang-undang, dan nilai keadilan dalam masyarakat. Dalam diri
hakim diemban amanah agar peraturan perundang-undangan diterapkan
65 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Perilaku Hakim (Code of Cunduct),
Kode Etik Hakim, Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006, hal. 2. 66 Ahmad Rifa’I, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta:
Sinar Grafika, 2010, hal. 126.
47
secara benar dan adil. Apabila penerapan perundang-undangan akan
menimbulkan ketidakadilan, maka hakim wajib berpihak pada keadilan moral
(moral justice) dan menyampingkan hukum atau peraturan perundang-
undangan (legal justice). Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) yang tentunya
merupakan percerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
(social justice). Keadilan yang dimaksudkan disini bukanlah keadilan
procedural (formil), akan tetapi keadilan subtantif (materiil) yang sesuai
dengan hati nurani hakim.67
Petimbangan hukum putusan merupakan mahkota bagi hakim yang
harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang Maha Esa, kepada pencari
keadilan, dan masyarakat. Hakim bertanggung jawab membawa perubahan
dalam suatu fenomena ketidakpercayaan masyrakat menjadi percaya kepada
lembaga peradilan. Bahwa tinggi rendahnya kepercayaan masyarakat, sangat
ditentukan seberapa jauh argumentatifnya putusan hakim atas kalim, bahwa
apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (Res judicatapro
veritate habetur).68
Untuk memutus suatu perkara, hakim memiliki kemerdekaan dari
campur tangan atau intervensi dari pihak manapun, yang dikenal dengan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, atau dapat diartikan sebagai kekuasaan
kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun. Kekuasaan
kehakiman yang merdeka ini merupakan suatu kemandirian atau
kemerdekaan yang dimiliki oleh lembaga peradilan demi terciptanya suatu
putusan yang bersifat obyektif dan imparsial. Maksud dari sifat putusan yang
obyektif adalah dalam proses pemberian putusan hakim harus berpendirian
jujur, berpandangan yang benar atau berpandangan sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya dengan mengacu pada ukuran atau kriteria obyektif yang
berlaku umum. Sedangkan maksud dari putusan yang bersifat imparsial
adalah putusan yang dihasilkan seorang hakim tidak memihak kepada salah
satu pihak menimbulkan rasa ketidakadilan dari pihak-pihak yang berperkara
atau bersengketa. Jadi kekuasaan kehakiman yang merdeka, harus menjamin
terlaksananya peradilan yang jujur dan adil serta memenuhi kepastian hukum
dalam masyarakat berdasarkan hukum yang berlaku.69
E. Akibat Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator, boleh jadi
mengabulkan permohonan pemohon atau menolaknya, tetapi juga ada
kemungkinan bahwa permohonan dinyatakan tidak diterima karena tidak
memenuhi syarat formal yang diharuskan. Putusan Mahkamah Konstitusi
meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan hak atau kewenangan
67 Ibid., hal. 128. 68 Ibid., hal. 10-11. 69 Adies Kadir, Menyelamatkan Wakil Tuhan Memperkuat Peran dan Kedudukan Hakim,
Penerbit: MerdekaBook, Jakarta, 2018, hal. 252.
48
tertentu. Dengan kata lain, putusan itu akan membawa akibat tertentu yang
mempengaruhi satu keadaan hukum atau hak dan/atau kewenangan. Akibat
hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian
terhadap undang-undang yang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang
Mahkamh Konstitusi. Pasal tersebut berbunyi:
“Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap
berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa
undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”70
Ini berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak boleh berlaku
surut. Akibat hukum yang timbul dari putusan itu dihitung sejak putusan
tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Oleh karenanya,
akibat hukum yang timbul dari berlakunya satu undang-undang sejak
diundangkan sampai diucapkannya putusan yang menyatakan undang-
undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.71
70 Ibid., hal. 213. 71 Ibid.