31
18 BAB II Tinjauan Pustaka A. Sistem Peradilan Pidana 1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Istilah “Sistem Peradilan Pidana” terdiri dari dua suku kata yang membentuknya, yaitu kata “sistem” dan kata “peradilan pidana”. Istilah sistem berasal dari perkataan sistema dalam Bahasa Yunani. Secara umum sistem dapat didefinisikan sebagai suatu jaringan kerja yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya dan kesemuanya beroperasi untuk mencapai suatu tujuan. Sebuah sistem bukanlah seperangkat unsur yang tersusun secara tidak teratur, namun sistem terdiri dari unsur yang dapat dikenal untuk saling melengkapi dan tersusun secara terorganisasi karena memiliki maksud, tujuan, dan sasaran tertentu. 1 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sistem dapat diartikan sebagai seperangkat sistem yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk totalitas; susunan yang teratur dari pandangan, teori, dan metode. Gabriel A. Almond mengartikan “sistem” sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukan adanya suatu organisasi yang berinteraksi dengan satu lingkungan yang memengaruhi ataupun yang dipengaruhinya. 2 Muladi menyatakan pengertian sistem harus dilihat dalam konteks, baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan sususan yang teratur yang 1 H. Edi Setiadi & Kristian, Op. Cit, hal. 9. 2 Ibid., hal. 10.

BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

18

BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Sistem Peradilan Pidana

1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Istilah “Sistem Peradilan Pidana” terdiri dari dua suku kata yang

membentuknya, yaitu kata “sistem” dan kata “peradilan pidana”. Istilah

sistem berasal dari perkataan sistema dalam Bahasa Yunani. Secara umum

sistem dapat didefinisikan sebagai suatu jaringan kerja yang terdiri dari

bagian-bagian yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya dan

kesemuanya beroperasi untuk mencapai suatu tujuan. Sebuah sistem

bukanlah seperangkat unsur yang tersusun secara tidak teratur, namun

sistem terdiri dari unsur yang dapat dikenal untuk saling melengkapi dan

tersusun secara terorganisasi karena memiliki maksud, tujuan, dan sasaran

tertentu.1

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sistem dapat diartikan

sebagai seperangkat sistem yang secara teratur saling berkaitan sehingga

membentuk totalitas; susunan yang teratur dari pandangan, teori, dan

metode.

Gabriel A. Almond mengartikan “sistem” sebagai suatu konsep

ekologis yang menunjukan adanya suatu organisasi yang berinteraksi

dengan satu lingkungan yang memengaruhi ataupun yang

dipengaruhinya.2

Muladi menyatakan pengertian sistem harus dilihat dalam konteks,

baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara

terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system

dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan sususan yang teratur yang

1 H. Edi Setiadi & Kristian, Op. Cit, hal. 9. 2 Ibid., hal. 10.

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

19

satu sama lain saling ketergantungan.3 Apabila di kaji secara etimologis,

maka “sistem” mengandung arti terhimpun (antar) bagian atau komponen

(subsistem) yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan

suatu keseluruhan.4

Lili Rasjidi dan I.B. Wiyasa Putra mengatakan ciri suatu sistem

adalah sebagai berikut:

a. Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan

interaksi (proses)

b. Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan

yang satu sama lain saling bergantung (interdependence of its

parts)

c. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan

yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen

pembentuknya itu (the whole is more than the sum of its parts)

d. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian

pembentukanya (the whole determines the nature of its parts)

e. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia

dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu

(the parts cannot be understood if considered in isolation from

the whole)

f. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau

secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu.5

Berdasarkan berbagai pendapat diatas, dapat dirumuskan bahwa

pengertian sistem secara umum didalamnya terkandung sub-sub sistem,

yakni:

1. Terdiri atas bagian, sistem, elemen, dan komponen,

2. Satu sama lain berinteraksi dan interdependensi yang tersusun

secara sistematis sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh

3. Terdapat tujuan yang ingin dicapai sebagai hasil akhir, dan

3 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: BP. UNDIP, 1995, hal. 3. 4 Ali Mufiz, Sistem Administrasi Negara, Jakarta: Karunika, 1985, hal. 137. 5 Lili Rasjidi dan I.B. Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 1993, hal. 43-44.

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

20

4. Berada dalam suatu lingkungan yang kompleks.6

Kata kedua yang membentuk terminologi “sistem peradilan pidana”

adalah kata “peradilan” yang berasal dari kata “pengadilan”. Istilah

“pengadilan” sendiri awalnya berasal dari kata “adil” yang ditambah

awalan “pe-“ dan akhiran “-an”. Kata “adil” sendiri secara sederhana

berarti sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang

benar, berpegang pada kebenaran, sepatutnya dan tidak sewenang-

wenang.7

Pada hakikatnya, adil bermakna menempatkan sesuatu pada

tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya,

yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama

kedudukannya. Kata adil, dalam Bahasa Latin disebut sebagai “Ius suum

cuique tribuere”, atau lengkapnya berbunyi, “Iustitia est constans et

perpetua voluntas ius suum cuique tribuere”.8

Terjemahan dalam Bahasa Inggrisnya “justice is the constant and

perpetual will to render to each man what his due” artinya keadilan adalah

kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa

yang semestinya.9

Dari adagium diatas, dapat disimak bahwa bagian atau hak dari

setiap orang itu tidak selalu sama dan jangan dipandang sebagai

penyamarataan, sebab apabila terjadi penyamarataan justru akan terjadi

ketidakadilan. Dengan demikian, maka tuntutan yang paling mendasar dari

keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap setiap orang. Oleh sebab

itu, seseorang yang berprofesi di bidang peradilan harus berperilaku adil

dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas tersebut di dalam praktek

6 H. Edi Setiadi & Kristian, Op. Cit, hal. 12. 7 Ibid., hal. 15. 8 Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum (Sebuah Sketsa), Bandung: Penerbit

PT Refika Aditama, 2003, hal. 24. 9 The Liang Gie, Keadilan Sebagai Landasan Bagi Etika Administrasi Pemerintahan dalam

Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1983, hal. 36.

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

21

disebut dengan asas kedudukan yang sama di muka hukum (equality

before the law).

Romli Atmasasmita menyatakan bahwa ciri pendekatan ”sistem”

dalam “peradilan pidana” ialah sebagai berikut:

a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen-

komponen yang membentuk peradilan pidana (Kepolisian,

Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan)

b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh

komponen-komponen peradilan pidana

c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari

efisiensi penyelesaian perkara

d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “the

administration of justice”.10

Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh

pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science di

Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja

aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan itu

terbukti dengan meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun

1960. Di Amerika Serikat, pendekatan yang digunakan dalam penegakan

hukum adalah “hukum dan ketertiban” (law and order approach) yang

dikenal dengan law enforcement. Istilah tersebut menunjukan bahwa aspek

hukum dalam penanggulangan kejahatan dikedepankan dengan kepolisian

sebagai pendukung utama, keberhasilan penanggulangan kejahatan sangat

tergantung kepada efektifitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian.

Istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana telah menjadi

suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan

10 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif

Ekstensialisme dan Abolisionisme, Bandung: Bina Cipta, 1996, hal. 9.

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

22

kejahatan dengan dasar pendekatan sistem.11 Black Law Dictionary,

mengartikan criminal justice system sebagai “the network of court and

tribunals which deal with criminal law and it’s enforcement”.

Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice

System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi

masalah kejahatan. Menanggulangi di sini harus diartikan sebagai

mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi, yang

terdiri dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan

Pemasyarakatan terpidana. Sistem Peradilan Pidana merupakan sistem

yang dibuat untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat

mengganggu ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat. Sistem

Peradilan Pidana juga merupakan salah satu usaha masyarakat untuk

mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas

toleransi yang dapat diterima. Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana

(sebagai alat untuk penanggulangan kejahatan) dilakukan dnegan cara

mengajukan para pelaku kejahatan ke pengadilan sehingga menimbulkan

efek jera kepada para pelaku kejahatan dan membuat para calon pelaku

kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan.12

Romli Atmasasmita berpendapat bahwa “pengendalian” dan

“penegakan hukum” memiliki makna yang jauh berbeda. Apabila sistem

peradilan pidana diartikan sebagai suatu penegakan hukum atau law

enforcement, maka didalamnya terkandung aspek hukum yang

menitikberatkan kepada operasionalisasi peraturan perundang-undangan

dalam upaya menanggulangi kejahatan dan bertujuan untuk mencapai

kepastian hukum (certainly). Di lain pihak, apabila pengertian sistem

peradilan pidana dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan social

defence (perlindungan masyarakat) yang terkait kepada tujuan untuk

mewujudkan kesejahteraan masyarakat (social welfare), maka dalam

sistem peradilan pidana terkandung aspek sosial yang menitikberatkan

kepada kegunaan (expediency). 13

Noval Moris berpendapat bahwa: “The Criminal Justice System is

best seen as a crime containment system, one of the method that society

uses to keep crime at whatever level each particular culture is willing to

eccept. But, to a degree, the criminal justice system is also involved in the

secondary prevention of crime, that is to say, in trying to reduce

criminality among those who have been convicted of crimes and trying by

deterrent processes of detection, conviction, and punishment to reduce the

commission of crime by those who are so mended and so acculturated”.14

11 H. Edi Setiadi & Kristian, Op. Cit, hal. 18. 12 Ibid., hal. 18-19. 13 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2010, hal. 4. 14 Ibid.

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

23

Philip P. Purpura menyatakan bahwa sistem peradilan pidana

(criminal justice system) merupakan suatu sistem yang terdiri dari

pengacara, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga

pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban

masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan, dan penahanan

terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya

seseorang, memidana pelaku yang bersalah dan melalui komponen sistem

secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan hokum terhadap hak-

hak terdakwa.15

Remington dan Ohlin mengemukakan bahwa criminal justice system

dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme

administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana

merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik

administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu

sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang telah

dipersiapkan secara rasional dan dengan cara yang efisien untuk

memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.16

Pada hakikatnya, Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu proses

penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, sistem peradilan pidana

berhubungan erat sekali dengan peraturan perundang-undangan pidana itu

sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana.

Dikatakan demikian karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya

merupakan penegakan hukum pidana in abstracto yang akan diwujudkan

dalam penegakan hukum pidana in concreto.17

2. Sejarah Praperadilan

Munculnya konsep praperadilan tak bisa lepas dari sejarah Panjang

perlunya pengawasan peradilan yang ketat (strict judicial security)

terhadap semua tindakan perampasan kebebasan sipil seseorang. Konsep

ini mengemuka pertama kali ketika inggris mencetuskan Magna Charta

15 Sidik Sumaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press, 2005, hal.

2. 16 H. Edi Setiadi & Kristian, Op. Cit, hal. 27-28. 17 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung:

PT Alumni, 1992, hal. 197.

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

24

pada Tahun 1215, yang lahir sebagai kritik atas kesewenang-wenangan

raja saat itu.18

Meski kelahiran konsep Magna Charta bertujuan membatasi

kekuasaan raja, namun didalamnya terdapat gagasan bahwa HAM lebih

penting dari pada kekuasaan raja. Tak seorang warga negara dapat ditahan,

atau dirampas harta kekayaannya, atau diasingkan, atau dengan cara

apapun dikebiri hak-haknya kecuali dengan pertimbangan hukum.

Konsepsi ini selanjutnya dikenal dengan termin habeas corpus. Paradigma

absolutisme raja bergeser ke arah kedaulatan rakyat, setelah sekian lama

dikekang oleh raja, dia luluh oleh sentuhan aliran rasionalisme.

Merujuk pada sejarahnya, habeas corpus muncul dari prinsip dasar

bahwa pemerintah harus selalu tunduk pada hukum. Karenanya, hukum

ditafsirkan dan diterapkan oleh hakim. Konsep ini kemudian diformalkan

oleh parlemen Inggris pada abad ke-17. Pasca lahirnya habeas corpus,

penangkapan dan penahanan yang dilakukan harus dilengkapi dengan

surat perintah dari pengadilan, yang dikeluarkan atas nama raja, dan

ditujukan ke pejabat kerajaan tertentu. Surat nama itu memiliki subpoena.

19

Pentingnya habeas corpus kembali ditegaskan dalam Konstitusi

Amerika Serikat pada abad ke-18. Amandemen pertama konstitusi

Amerika Serikat menyatakan bahwa pengadilan harus tegas mengawasi

semua kasus yang meiliki dampak nyata dan cukup besar atau gangguan

yang sifnifikan dengan pelaksanaan hak-hak fundamental seseorang

(kebebasan sipil).

Secara Gramatikal, istilah habeas corpus berarti “menguasai diri

orang”. Sederhananya konsep ini adalah upaya hukum untuk menentang

penahanan seseorang. Pengertiannya dapat dilihat dari dua sisi, secara

materil habeas corpus berarti “upaya hukum yang menentang penahanan

18 Supriyadi Widodo Eddyono, DKK, Praperadilan di Indonesia: Teori, Sejarah dan

Praktiknya, (Jakarta, ICJR, 2014), hal. 17. 19 Ibid., hal. 18.

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

25

seseorang”. Secara formil, diwujudkan dengan surat perintah pengadilan

atau dikenal sebagai “great wit”. Great wit merupakan cara menanyakan

dan meninjau kembali keabsahan penahanan, kepada institusi/pihak yang

sedang menahan seseorang. Surat perintah habeas corpus berisi, “Si

tahanan berada dalam penguasaan saudara. Saudara wajib membawa

orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukan alasan yang

menyebabkan penahanannya”.20

Habeas corpus tidak menciptakan hak hukum substantif, melainkan

memberikan pemulihan atas pelanggaran hak-hak hukum atau atas

tindakan mengabaikan kewajiban hukum. Dengan kata lain, habeas corpus

adalah mekanisme prosedural penegakan hukum atas hak dan kewajiban

yang diberikan, dikenakan, atau diakui pada otoritas lainnya-praperadilan

terhadap penyidikan.

Dalam perkembangannya, terma habeas corpus diadopsi oleh

banyak negara-negara di dunia, baik yang menganut sistem common law

maupun civil law. Perbedaan sistem ini tentu melahirkan banyak varian

habeas corpus. Salah satunya Indonesia yang menterjemahkan habeas

corpus menjadi praperadilan.21 Pendapat Steven Semeraro bisa digunakan

untuk memahami varian habeas corpus, yang penekanannya pada

pengawasan peradilan.

Menurut Semeraro, ada dua teori yang menjelaskan doktrin habeas

corpus. Pertama, teori “kekuasaan judisial” (the judicial power theory),

yang menafsirkan surat perintah sebagai perangkat yang digunakan untuk

menegakan otoritas pengadilan guna menyatakan hukum ketika hakim

yang lebih rendah posisinya, menentang atau meremehkan kekuatan

pengadilan tersebut. Kedua, teori yang berfokus pada ideologi terkait

dengan surat perintah. Sejarah habeas corpus umumnya menafsirkan

doktrin perubahan sebagai respon terhadap faktor sosial dan politik

eksternal yang independen untuk sistem hukum. Penafsiran ini menjadi

20 Lihat, Gregory Churchill, Peranan Upaya Habeas Corpus dalam Pengawasan

Pelaksanaan Hukum Acara Pidana di Amerika Serikat, Makalah dalam Raker Peradin di Jakarta, 29

september – 3 oktober 1982. 21Amir Ilyas & Apriyanto Nusa, Praperadilan Pasca Putisan Mahkamah Konstitusi,

Yogyakarta: Genta Publishing, 2017, hal. 3.

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

26

kebutuhan- respon hipotesis pembangunan doktrinal yang benar pada

tingkat tertentu, meski tidak lengkap. Oleh karena itu, untuk memahami

perkembangan doktin habeas corpus, harus juga dipertimbangkan sejauh

mana ajaran itu dan ideologi sekitarnya, membantu menciptakan

perubahan dalam masyarakat, politik, dan hukum itu sendiri. Teori kedua

dari Semeraro ini bisa menjadi pembenar atas adopsi konsep habeas

corpus di Indonesia yang diwujudkan dalam mekanisme praperadilan.22

Lembaga praperadilan di Indonesia lahir dari inspirasi yang

bersumber dari adanya hak habeas corpus dalam sistem peradilan Anglo

Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi

manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus, memberikan hak

pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut

(menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi

ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah tidak

melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai dengan

ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa

perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka

atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum

yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia.

Prinsip dasar habeas corpus memberikan inspirasi untuk

menciptakan suatu lembaga yang memberikan hak dan kesempatan kepada

seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau dibatasi

kemerdekaannya untuk mengadukan nasibnya sekaligus menguji

kebenaran dan ketetapan dari tindakan kekuasaan berupa penggunaan

upaya paksa (dwang middelen), baik penangkapan, penahanan,

penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat yang

22 Ibid.

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

27

diberlakukan oleh pihak kepolisian ataupun kejaksaan. Prinsip

dasar habeas corpus memunculkan gagasan lembaga praperadilan yang

memberikan perlindungan kepada tersangka terhadap upaya paksa yang

dilakukan aparat penegak hukum.

Jadi, untuk melacak sejarahnya, kehadiran Lembaga praperadilan

muncul dari semangat untuk memasukan konsep habeas corpus dalam

sistem hukum acara pidana di Indonesia. Menurut Oemar Seno Adji,

konsep ini hadir sebagai mekanisme testing atas sah tidaknya suatu

tindakan penangkapan dan penahanan, karena tindakan tersebut

merupakan “indruising” terhadap hak-hak dan kebebasan seseorang

sehingga membuthkan pengujian dari pengadilan.23

3. Tujuan Praperadilan

Hukum pidana (materiil dan formil) merupakan hukum istimewa,

karena hukum dimaksudkan untuk melidungi manusia terhadap

pelanggaran hak-haknya, sedangkan hukum pidana justru diciptakan untuk

“merampas” hak-hak tersebut “dalam keadaan tertentu”. Keadaan tertentu

inilah yang seharusnya sangat dibatasi dan diberi garis yang tegas tentang

batas-batasnya.24

Hukum melidungi hak asasi manusia yang paling utama, yaitu hak

untuk hidup, sedangkan hukum pidana menciptakan pidana mati yang

akan merenggut hak yang paling asasi itu. Hukum melindungi hak orang

untuk bergerak kemana saja yang ia kehendaki, sedangkan hukum pidana

mengenal pidana penjara dan hukum acara pidana mengenal penahanan.

Hukum melindungi ketenteraman rumah tangga orang, padahal hukum

acara pidana mengenal penggeledahan rumah atau tempat kediaman. Oleh

karena itu, pelaksanaan “perampasan” hak-hak tersebut harus menurut

cara dan batas yang ditentukan oleh undang-undang.25

Praperadilan dapat dikatakan sebagai upaya koreksi terhadap

penyimpangan yang terjadi selama proses penyidikan dan penuntutan.

Adanya ketentuan praperadilan dalam KUHAP ini juga merupakan

tuntutan bagi pejabat yang terlibat dalam proses penyidikan dan

23 Ibid., hal. 3-4. 24 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 139. 25 Ibid.

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

28

penuntutan (utamanya ditujukan kepada penyidik dan penuntut umum)

untuk menjalankan tugasnya secara professional dan demi tegaknya the

rule of law.26

M. Yahya Harahap mengemukakan, ada maksud dan tujuan yang

hendak ditegakan dan dilindungi dengan adanya pelembagaan

praperadilan, yakni tegaknya hukum dan perlindungan hak tersangka

dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Demi untuk

terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang

memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk

melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan,

penyitaan dan sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat

penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya

merupakan perlakuan yang bersifat:

1. Tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi

kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan

kepada tersangka

2. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-

undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan

perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan

terhadap hak asasi tersangka.27

Setiap tindakan upaya paksa penyidik yang melanggar ketentuan

perundang-undangan, khususnya hukum acara pidana yang didalamnya

menganut asas legalitas formil (Pasal 3 KUHAP), seharusnya dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum (hukum pidana). Sebab, perkosaan

terhadap hak asasi manusia tersebut bukan hanya bertentangan dengan

undang-undang, tetapi juga melanggar Pasal 12 Universal Declaration of

Human Rights yang menjelaskan bahwa: “tiada seorangpun diperbolehkan

mencampuri secara sewenang-wenang kehidupan partikelir, keluarga,

tempat tinggal, surat menyurat orang lain.

Untuk mengantisipasi terjadinya tindakan secara “liar” yang

berakibat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia seseorang, maka

kesemua prosedur dan tahapan harus sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, tujuan utama

26 Amir Ilyas & Apriyanto Nusa, Op.Cit., hal. 5-6. 27 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal.

3.

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

29

pelembagaan praperadilan dalam KUHAP, adalah untuk melakukan

“pengawasan secara horizontal” atas segala tindakan upaya paksa yang

dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum kepada tersangka selama

dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar

tindakan itu tidak bertentangan dengn ketentuan-ketentuan hukum dan

undang-undang yang berlaku.28

4. Model-Model Sistem Peradilan Pidana

Sistem hukum secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu sistem

hukum Anglo Saxon dan sistem hukum Eropa Kontinental. Kedua sistem

hukum ini memiliki perbedaan yang mendasar pada pembangunan sistem

peradilan pidananya.

Sistem hukum Anglo Saxon memperlihatkan semangat

individualisme dan desentralisasi dengan mengutamakan keadilan dan

semangat perlindungan terhadap hak-hak individu yang sangat tinggi.

Sedangkan sistem hukum Eropa Kontinental bersandarkan pada prinsip

keseragaman, organisasi birokratik sentralisasi serta menekankan pada

pengembangan secara hati-hati sistem hukum acara yang memadai untuk

dapat memastikan fakta-fakta agar dapat dicapai suatu keputusan yang adil

dalam suatu perkara.29

Sistem peradilan pidana Anglo Saxon dan Eropa Kontinental

memunculkan metode penemuan fakta yang pada dasarnya berbeda, yaitu

sistem accusatoir dimana tersangka dijadikan sebagai subjek yang berhak

mengetahui dan mengikuti setiap tahap dari proses peradilan dan juga

berhak mengajukan sanggahan. Sistem accusatoir menghendaki agar

kebenaran dapat diungkapkan secara akurat dalam suatu keadaan di mana

masing-masing pihak pada sistem peradilan yang berperkara dalam posisi

yang bertentangan dengan memberikan kesempatan yang sama kepada

tertuduh dan penuntut umum untuk mengajukan argumentasi disertai bukti

penunjang.30

Sistem inquisitoir adalah sistem dimana tersangka dijadikan sebagai

objek, satu-satunya tujuan pemeriksaan pada sistem ini adalah untuk

memperoleh pengakuan (confession) dari tersangka karena di dalam

praktiknya, sering kali tersangka tidak mau secara sukarela mengakui

perbuatannya atau kesalahannya. Petugas pemeriksa akan memperpanjang

penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan (torture) sampai diperoleh

28 Amir Ilyas & Apriyanto Nusa, Op.Cit., hal. 8-9.

29 H. Edi Setiadi & Kristian, Op. Cit, hal. 71. 30 Ibid., hal. 43-44.

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

30

pengakuan, serta selama pemeriksaan perkara berlangsung, tertuduh atau

tersangka tidak dihadapkan ke muka sidang pengadilan secara terbuka,

karena dalam kenyataannya, pemeriksaan terhadap tertuduh atau tersangka

dilaksanakan secara tertutup bahkan dilakukan secara rahasia. Selama

penyelesaian perkara berlangsung, tertuduh atau tersangka tidak berhak

didampingi oleh pembela.31

Pada sistem peradilan pidana Eropa Kontinental. Herbert L. Packer

membedakan pendekatan normatif Sistem Peradilan Pidana menjadi dua

model, yaitu: Crime Control Model dan Due Process Model.

1. Crime Control Model (Model Pengendalian Kejahatan)

Crime Control Model atau umumnya disingkat “CCM”,

merupakan model sistem peradilan pidana yang bersifat represif

dalam menanggulangi perilaku jahat. Penanggulangan kejahatan

dengan model ini cenderung menggunakan penghukuman yang

tinggi dan bersifat penalty, melalui screening yang telah

dilakukan oleh polisi dan jaksa sebagai indicator untuk

menentukan atau melakukan penilaian terhadap seorang

tersangka atau terdakwa bersalah atau tidak dalam proses

peradilan. Konsep ini berdasarkan pada “the preposition that the

repression of criminal conduct is by far the most important

function to be performed by the criminal process”.32

Pelaku kriminal harus berada pada kontrol yang ketat supaya

ketertiban umum terlindungi. Proses peradilan pidana harus

menghasilkan angka yang tinggi untuk penagkapan dan

pemidanaan dan oleh karena itu harus mengutamakan kecepatan

dan hasil akhir. Titik perhatian dari model ini adalah perlindungan

yang efektif terhadap masyarakat dari pelanggaran hukum dan

ketertiban. Crime control model menyatakan bahwa

pemeberantasan atau penanggulangan kejahatan merupakan

fungsi terpenting dan harus diwujudkan dari suatu proses

peradilan pidana, sehingga perhatian utama dari model ini harus

harus ditujukan pada efisiensi proses peradilan pidana.

Penekanan pada model ini adalah efektivitas, yaitu kecepatan dan

kepastian. Pembuktian kesalahan seorang tersangka atau

terdakwa sudah diperoleh pada tingkat pemeriksaan oleh

kepolisian. Presumption of guilty (asas praduga bersalah)

digunakan untuk mempercepat pemrosesan tersangka atau

terdakwa ke sidang pengadilan. 33

31 Ibid., hal. 40. 32 Ibid., hal. 72-73. 33 Ibid., hal. 71-73.

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

31

Nilai-nilai yang melandasi crime control model adalah

tindakan represif terhadap suatu tindak pidana atau tindak

criminal yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini merupakan

fungsi terpenting dalam suatu proses peradilan, perhatian utama

dari crime control model harus ditujukan kepada suatu efisiensi

dari suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka,

menetapkan kesalahannya, namun tetap menjamin hak-hak

tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan. Pada model ini

juga, proses penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan

prisip “cepat dan tuntas” dan model yang dapat mendukung

penegakan hukum tersebut adalah model administratif dan model

manajerial; asas praduga bersalah (presumption of guilty) akan

menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien; proses

penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas

(jumlah) temuan-temuan fakta administratif, oleh karena temuan-

temuan tersebut akan membawa kearah pembebasan seorang

tersangka dari penuntutan atau kesediaan tersangka menyatakan

dirinya bersalah.34

Dalam Crime Control Model (CCM) terdapat anggapan

bahwa penanggulangan kejahatan merupakan hal yang paling

didambakan masyarakat oleh karena itu, diperlukan suatu represi

terhadap pelaku kriminal, menurut anggapan ini, gagalnya

penegak hukum mengatasi kejahatan dapat meruntuhkan tertib

masyarakat (public order) dan menjurus kepada hilangnya

kemerdekaan sosial (social freedom). Dengan anggapan

demikian, Crime Control Model (CCM) menganggap bahwa

proses peradilan pidana atas pelaku-pelaku kejahatan merupakan

upaya yang dapat ditempuh untuk mewujudkan tertib masyarakat

(public order) dan kemerdekaan sosial (social freedom). Untuk

itu kemampuan apparat penegak hukum untuk melakukan

penangkapan, penahanan, dan menjatuhkan hukuman kepada

pelaku kejahatan dipakai sebagai ukuran keberhasilan dari sistem

ini.35

Herbert L. Packer menyatakan ciri-ciri yang terdapat dalam

Crime Control Model, antara lain:

a. The Crime Control Model tends to the emphasize this

adversary aspect of the process. The Process Model

tends to make it central; (Model pengendalian kejahatan

cenderung menekankan aspek yang berlawanan dari

proses itu. Model proses itu cenderung menjadikannya

pusat).

34 Ibid., hal. 73-74. 35 Ibid.

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

32

b. The value system that underlies the Crime Control Model

is based on the proposition that the repression of

criminal conduct is by far the most important function to

be performed by the criminal process. In order to achieve

this high purpose, the Crime Control Model requires that

primary attention be paid to the efficiency with which the

criminal process operated to screen suspect deterinine

guilt and secure appropriate dispositions of prison

convicted of crime; (Sistem nilai yang mendasari model

pengendalian kejahatan didasarkan pada proporsi bahwa

represi perilaku kriminal adalah fungsi yang paling

penting dilakukan oleh proses kriminal. Untuk mencapai

tujuan yang tinggi ini, model pengendalian kejahatan

menuntut perhatian utama untuk efisiensi yang

dengannya proses criminal beroperasi untuk melindungi

kesalahan tersangka dan mengamankan disposisi yang

cocok untuk penjara karena melakukan kejahatan).

c. The presumption of guilt, as it operates in the Crime

Control Model, is the operation expression of that

confidence. It would be a inistake to think of the

presumption of guilt as the opposite of the presumption

of innocence that we are so used to thinking of as the

polestarof the criminal process and that was we shall see,

occupies an important position in the Due Process

Model; (Anggapan bersalah atau praduga bersalah,

seperti yang berlaku pada Model Pengendalian

Kejahatan, adalah pernyataan perlakuan dari keyakinan

itu. Adalah salah bila anggapan bersalah itu sebagai

lawan dari anggapan tidak bersalah atau asas praduga tak

bersalah bahwa kita sangat terbiasa memikirkan sebagai

bintang kutub dari proses criminal dan itu yang akan kita

lihat, menempati posisi penting pada Model

Perlindungan).

d. If the Crime Control Model resembles an assembly line,

the Due Process Model looks very much like an abstacle

course; (Jika Model Pengendalian Kejatahan

menyerupai sistem pekerjaan Model Perlindungan

kelihatannya persis sama dengan rangkaian kesulitan

yang harus dilewati).36

M. Syukuri Akub dan Baharuddin Baharu

mengaklasifikasikan ciri-ciri Crime Control Model sebagai

berikut:

36 M. Syukuri Akub dan Baharuddin Baharu, Wawasan Due Procees of Law dalam Sistem

Peradilan Pidana (Cetakan Pertama), Rangkang Education, 2012, hal. 65-66.

Page 16: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

33

a. Harus dapat diinterogasi pribadi tersangka sebelum

timbul masalah untuk tidak mau bekerja sama, karena

kerja sama dari tersangka sangat diharapkan. Untuk

adanya kerja sama dari tersangka harus segera diperiksa

segera setelah ia tertangkap.

b. Penahanan luar harus dihindari sehingga tersangka harus

diasingkan dari teman-temannya atau keluarganya

c. Berat ringannya kejahatan merupakan faktor yang

menentukan sampai berapa lama seseorang dapat

ditahan

d. Tersangka atau terdakwa tidak dapat diasingkan dari hal-

hal kewajaran. Keluarganya harus diberitahu, tetapi

dilarang berdiam dengan keluarganya karena dianggap

akan mempersulit.

e. Tujuan pemeriksaan adalah untuk mendapatkan

kebenaran materiel, sehingga dituntun profesionalisme

dari apparat penegak hukum.37

2. Due Process Model (Model Perlindungan)

Model ini menekankan seluruh temuan-temuan fakta dari

suatu kasus yang sedang diselesaikan harus diperoleh melalui

prosedur formal yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Dalam model ini, setiap prosedur adalah penting dan tidak boleh

diabaikan. Setiap prosedur harus dilakukan melalui suatu tahapan

pemeriksaan yang ketat mulai dari penyidikan, penangkapan,

penahanan, penyitaan dan peradilan. Dengan cara ini, diharapkan

seseorang tersangka yang nyata-nyata tidak bersalah dapat

memperoleh kebebasan dari tuduhan melakukan kejahatan.38

Presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah)

merupakan tulang punggung dari model ini. Konsep ini

didasarkan pada “the concept of primacy of the individual and

complementary concept og limitation on official power atau

individu berpotensi menjadi sasaran penggunaan kekerasan dari

negara. Sistem Peradilan Pidana model ini harus diarahkan guna

mengontrol dan mencegah penguasa dari exploitasi dan efisiensi

yang maksimal. Dengan kata lain, titik perhatian dari model ini

adalah melindungi individu yang bersangkutan dalam proses

pidana dari kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dari negara.39

Due Process Model lebih cenderung mengarah pada

adversary system yang menganggap penjahat atau pelaku tindak

37 H. Edi Setiadi & Kristian, Op. Cit., hal. 77. 38 Ibid., hal. 78. 39 Ibid.

Page 17: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

34

pidana bukan sebagai objek. Proses merupakan suatu arena

rangkaian bagaimana dapat melakukan penangkapan, penahanan,

penuntutan dan mengadili serta mempersalahkan pelaku

kejahatan sesuai dengan norma-norma atau aturan-aturan yang

berlaku. Melalui asas praduga tidak bersalah (presumption of

innocence) yang dianut oleh due process model, seseorang baru

dapat dinyatakan bersalah oleh suatu otoritas yang sah melalui

peradilan. Oleh sebab itu, semua usaha polisi atau jaksa untuk

dapat menghukum seseorang atau terdakwa hanya dapat

dilakukan melalui proses pengadilan. Didalam pelaksanaannya,

selalu timbul hambatan yang dapat menggagalkan seluruh proses

bahkan menyampingkan tujuan pidana itu sendiri.

Nilai-nilai yang melandasi due process model adalah

mengutamakan formal ajudicative dan adversary fact finding, hal

ini berarti dalam setiap kasus, tersangka harus diajukan ke muka

pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa serta tersangka

juga memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan

pembelaannya; menekankan pada pencegahan dan

menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme

administrasi peradilan; proses peradilan harus dikendalikan agar

dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum, karena

kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi

untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari

negara.40

Due process model juga memegang teguh doktrin legal audit,

yaitu seseorang dianggap bersalah apabila penetapan

kesalahannya dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan

dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk tugas

itu. Sebaliknya, seseorang tidak dapat dianggap bersalah

sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlindungan hukum

yang diberikan undang-undang kepada orang yang

bersangkutan tidak dilakukan dengan baik atau tidak dilakukan

sesuai dengan prosedur yang berlaku. Konsep due process model,

40 Ibid., hal. 79.

Page 18: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

35

sangat menjunjung tinggi supremasi hukum, dalam perkara

pidana tidak seorangpun berada dan menempatkan diri diatas

hukum. Setiap penegakan hukum harus sesuai dengan

persyaratan konstitusional, harus menaati hukum, serta harus

menghormati the right of self-incrimination dimana tidak

seorangpun dapat dipaksa menjadi saksi yang memberatkan

dirinya dalam suatu tindak pidana, dilarang mencabut dan

menghilangkan hak hidup, kemerdekaan atau harta benda yang

tidak sesuai dengan hukum acara. Due process model menjamin

persamaan di muka hukum dan lebih mengutamakan kesusilaan

dari kegunaan sanksi pidana, setiap orang harus terjamin hak

terhadap diri sendiri dan kediamannya, penjaminan atas

pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan; hak konfrontasi

dalam bentuk pemeriksaan silang dengan orang yang menuduh

dan melaporkan; hak memperolah pemeriksaan yang cepat; hak

memperoleh perlindungan dan diperlakukan secara sama dalam

hukum dan hak untuk untuk mendapatkan penasihat hukum.41

Sebagaimana Crime Control Model (CCM), sebenarnya Due

Process Model (DPM) juga tidak menolak tindakan represif

terhadap pelaku kejahatan, hanya saja mempunyai prioritas yang

caranya berbeda. Due process of law lebih berakar dalam due

process model, hal ini dapat dilihat dari adanya struktur formal

peraturan perundang-undangan atau hukum untuk melaksanakan

due process of law, sehingga dengan demikian, due process

model merupakan suatu obstacle course, yaitu suatu jalan atau

proses yang berfungsi untuk mengontrol cocok tidaknya tindakan

yang dilakukan oleh apparat penegak hukum menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Due process model

menentang praktik-praktik proses peradilan pidana yang

dilakukan berdasarkan cara-cara seperti yang terdapat dalam

crime control model (CCM). Apabila dalam crime control model

sistem peradilan pidana ditunjukan pada efisiensi dan efektivitas

yaitu adanya kecepatan dan kepastian dari aparatur penegak

hukum, menggunakan asas praduga bersalah (presumption of

guilt), proses penegakan hukum menitikberatkan kepada

kuantitas (jumlah) temuan-temuan fakta, keberhasilan ditentukan

oleh kemampuan parat penegak hukum untuk melakukan

penangkapan, penahanan, dan menjatuhkan hukuman kepada

pelaku kejahatan, due process model lebih menitikberatkan

kepada terpenuhinya prosedur-prosedur formal yang telah

ditetapkan oleh undang-undang. Dalam hal ini, due process

model (DPM) melihat adanya kemungkinan kesalahan

(possibility error) seperti terjadinya salah tangkap, salah

menahan, pemaksaan-pemaksaan dalam memperoleh pengakuan

di tingkat penyidikan dan lain sebagainya yang banyak terjadi

41 Ibid., hal. 79-80.

Page 19: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

36

dalam proses pelaksanaan proses sistem peradilan pidana

berdasarkan crime control model.42

Due process model (DPM) lebih mempercayai proses

adjudikasi atau proses persidangan dalam melaksanakan

peradilan pidana guna menentukan kesalahan tersangka atau

terdakwa. Dalam due process model tidak menuntut adanya

kecepatan dan ketuntasan dalam proses kriminal sebagaimana

halnya sistem peradilan pidana crime control model. Due process

model lebih menekankan kepada bagaimana suatu proses

peradilan bagi pelaku tindak pidana dapat dilakukan sesuai

dengan rambu-rambu yang diperbolehkan menurut peraturan

yang ada.43

M. Syukuri Akub dan Baharuddin Baharu

mengklasifikasikan ciri-ciri due process model sebagai berikut:

a. jika syarat penangkapan dilaksanakan secara tepat dan

baik, maka tidak perlu mencari keterangan dari

tersangka atau terdakwa;

b. tersangka atau terdakwa harus segera disidangkan;

c. setiap orang yang ditangkap atau ditahan berhak menguji

kesalahan penangkapannya;

d. tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan

hukum;

e. tidak dibenarkan menahan seseorang hanya untuk tujuan

interogasi, dan tidak bias terus dibawa ke pengadilan jika

belum memenuhi syarat formalitas yang utama.44

5. Komponen-Komponen Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Setiap negara dalam praktiknya mengembangkan sistem peradilan

pidananya sendiri-sendiri yang ditentukan oleh perkembangan agama,

kebiasaan, budaya, dan tradisi, pengalaman sejarah dan struktur ekonomi

serta organisasi negara tersebut. Sistem peradila pidana Indonesia tertuang

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai

hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Apabila ditelaah lebih jauh

mengenai isi dari ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 1981, maka “Criminal Justice System” atau

sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari komponen-komponen

kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan serta

pengacara atau advokat sebagai apparat penegak hukum. Kelima aparat

penegak hukum tersebut memiliki hubungan yang erat satu sama lain, yang

42 Ibid., hal. 80-81. 43 Ibid. 44 Ibid., hal. 81-82.

Page 20: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

37

kesemuanya itu akan saling terkait dan diharapkan adanya suatu kerjasama

yang terintegrasi. Sebaliknya, jika terdapat kelemahan pada salah satu

sistem kerja komponen simtem peradilan pidana, maka akan

mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem yang terintegrasi itu.45

Bentuk dan komponen sitem peradilan pidana di Indonesia

berdasarkan kodifikasi hukum pidana formil, yaitu Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP). mekanisme peradilan pidana akan

berjalan melalui tahap penyidikan, penuntutan dan melalui pemeriksaan

perkara di pengadilan, akan tetapi disini penulis ingin membatasi diri serta

memfokuskan untuk membahas komponen dalam sistem peradilan pidana

penyelesaian perkara di Kepolisian pada tingkat penyidikan saja, yaitu

sebagai berikut :

Kepolisian

Kepolisian Republik Indonesia mempunyai tugas utama

menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat, manakala

terjadi tindak pidana, melakukan penyelidikan dugaan adanya

tindak pidana, melakukan seleksi atau penyaringan terhadap

kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan,

melaporkan hasil penyidikan kepada kejaksaan dan memastikan

dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan

pidana.46

Tahap-tahap Proses dalam Sistem Peradilan Pidana di

Kepolisian adalah sebagai berikut :

1) Penyelidikan

Makna penyelidikan adalah karena tidak setiap peristiwa

yang terjadi diduga sebagai telah terjadi tindak pidana

atau menampakan bentuknya sebagai tindak pidana. Oleh

karena itu sebelum melangkah pada tahap upaya paksa

(dwang middelen) penahanan, maka perlu diadakan

penyelidikan terlebih dahulu. Menurut KUHAP dalam

Pasal 1 butir 5, yang dimaksud dengan penyelidikan

adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari

45 Ibid., hal. 107-109. 46 Ibid., hal. 113

Page 21: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

38

dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya

diadakan penyidikan menurut cara yang diatur oleh

undang-undang ini. Fungsi penyelidikan merupakan alat

penyaring atau filter terhadap peristiwa-peristiwa apakah

dapat dilakukan penyidikan terhadapnya atau tidak.

Fungsi penyaring inilah yang menempatkan kedudukan

polisi sebagai penyelidik dan/atau penyidik, sebagai

penjaga pintu gerbang proses peradilan pidana dalam

system peradilan pidana (the as the gate keepers in

criminal justice system).47

2) Penyidikan

Berdasarkan Pasal 1 butir 2 KUHAP diartikan sebagai

rangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti, yang dengan bukti tersebut

membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan

guna menemukan tersangkanya. Pasal 1 butir (1) Jo.

Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 1 butir (2) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan

pengertian penyidik yang menyatakan, penyidik adalah

pejabat Polisi Republik Indonesa atau pejabat pegawai

negeri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang. Dalam proses mengumpulkan bukti-

bukti, penyidik diberikan wewenang untuk melakukan

tindakan-tindakan tertentu (upaya paksa) guna

penyelesaian tugas penyidikan. Tindakan penyidikan dan

upaya-upaya yang bersifat memaksa ( ) seperti

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan.

Guna memenuhi pembuktian yang dipandang cukup

untuk kepentingan penuntut dan proses persidangan atas

perkara tersebut.48

3) Berakhirnya Tugas Polisi dalam Penyidikan

Pada dasarnya penyidikan telah dianggap selesai apabila

berkas perkara yang diserahkan penyidik kepada

penuntut umum telah diterima dan dinyatakan lengkap

47 Kadri husin dan Budi Rizki Husin, Op. Cit., hal. 93-94. 48 Ibid., hal. 94-95.

Page 22: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

39

(P-21), setelah tenggang waktu 14 (empat belas) hari dari

penyerahan (Pasal 110 ayat (4) KUHAP).49

B. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi lahir dari kebutuhan untuk

terselenggaranya gagasan pengujian konstitusional. Mahkamah konstitusi

diberi fungsi utama melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang.

Pengujian konstitusionalitas (constitutional review) memiliki dua tugas

pokok yaitu pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam

hubungan perimbangan peran antara cabang-cabang kekuasaan legislatif,

eksekutif, dan peradilan. Dalam hal ini, pengujian konstitusional

dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penggunaan kekuasaan oleh salah

satu cabang kekuasaan negara dengan mengorbankan cabang kekuasaan

negara lainnya. Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari

penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga-lembaga negara sehingga

merugikan hak-hak fundamental individu-individu tersebut yang dijamin oleh

konstitusi.50

Secara filosofis ide dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah

untuk menciptakan sebuah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang

menganut asas pemisahan kekuasaan (separation of power) secara fungsional

dan menerapkan check and balances untuk menggantikan secara bertahap

penggunaan asas pendistribusian kekuasaan (distri bution of power) dan

paham integralisme dari lembaga tinggi negara, dengan alasan bahwa :

1. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan untuk

mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih,

makmur, dan ber keadilan;

49 Ibid., hal. 102. 50 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (constitutional complaint) Upaya

Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Kontstitusional Warga Negara, Jakarta: Sinar Grafika,

Juni 2013, hal. 250.

Page 23: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

40

2. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan

konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan

wewenangnya sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang

Dasar 1945;

3. Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam UndangUndang Dasar

1945 (Pasal 24C) pengaturan tentang pengangkatan dan

pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan

lainnya diatur dalam undang- undang.

Dalam melaksanakan fungsi itu Mahkamah Konstitusi diberi sejumlah

kewenangan yang sangat bervariasi antara negara yang satu dengan negara

yang lain. Dari berbagai kewenangan itu lahir kemudian berbagai predikat

atau sebutan untuk Mahkamah Konstitusi yang mencerminkan implementasi

fungsi pengujian konstitusional tersebut. Sebutan atau predikat tersebut

adalah:

a. Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Konstitusi (the

Guardian of the Constitution)

b. Mahkamah Konstitusi sebagai Pengendali Keputusan

berdasarkan Sistem Demokrasi (Control of Democracy)

c. Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Konstitusi (the Sole or the

Highest Interpreter of the Constitution)

d. Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung Hak Konstitusional

Warga Negara (the Protector of the Citizen Constitutional Rights)

e. Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung Hak Asasi Manusia (the

Protector of Human Rights).51

Dalam undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan

kedudukan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

51 Ibid., hal. 313-314.

Page 24: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

41

a. Kedudukan

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu Lembaga negara

yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan

keadilan.52

b. Kewenangan

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. memutus pembubaran partai politik;

d. dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.53

C. Penafsiran Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang

Konstitusi (tertulis), sebagai karya manusia yang dibuat dalam kurun

waktu tertentu, disahkan dan diberlakukan melalui proses pengambilan

keputusan politik dalam forum politik, tidak akan pernah sempurna. Tidak

akan sempurna bukan hanya dalam pengertian tidak lengkap tetapi juga dalam

pengertian bahwa konstitusi (tertulis itu senantiasa membutuhkan legitimasi

zamannya, seperti dikatakan oleh Jed Rubenfeld (yang merujuk pada

Konstitusi AS) dalam bentuk pernyataan reflektif:

How can a two-hundred-year-old legal text, enacted by a series of

majority votes under conditions very distant from our own, exert

legitimate authority in the present? How can it possibly bind a majority

today? A constitution of this sort is a scandal. It is an offence against

reason, against democracy – against nature itself.54

52 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 53 Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 54 I Dewa Gede Palguna, Op. Cit., hal. 280.

Page 25: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

42

Karena itulah konstitusi tertulis senantiasa memerlukan

penyempurnaan. Ada tiga cara untuk menyempurnakan konstitusi, yaitu

melalui:

1. perubahan atau amandemen secara formal (formal amendment);

2. penafsiran atau interpretasi pengadilan (judicial interpretation);

3. kebiasaan dan konvensi (usage and conventions).55

Dengan demikian, penafsiran merupakan salah satu cara untuk

menyempurnakan konstitusi. Penafsiran yang mempunyai kekuatan mengikat

adalah penafsiran yang dilakukan oleh pengadilan (judicial interpretation).

Namun, dalam melakukan penafsiran itu, pengadilan bukanlah melakukannya

sebagai kegiatan khusus atau secara tersendiri, melainkan melalui putusan-

putusannya. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan penafsiran

konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, putusan-putusan

Mahkamah Konstitusi pada dasarnya adalah bentuk-bentuk penafsiran hakim

dan berisi tafsir yang mengikat atas berbagai ketentuan konstitusi yang

berkait dengan perkara yang diajukan kepadanya. Melalui penafsirannya

dalam putusan terhadap suatu kasus, hakim sesungguhnya juga menciptakan

hukum. Sebagaimana dikatakan oleh Malcolm M. Freely dan Edward L.

Rubin, “if legal theory is largely indeterminate, judges are creating law

perhaps as often as every time they reach a decision.” 56

Peran penting badan peradilan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi

dalam melakukan penafsiran konstitusi yang berkaitan dengan tugas dan

fungsi serta kewenangannya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 24C

ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar…” Mahkamah Konstitusi senantiasa melakukan penafsiran atau

inteprtasi pengadilan (judicial interpretation) dalam memutus suatu perkara

Untuk guna menjadikan konstitusi itu tetap hidup (living constitution) karena

55 Ibid., hal. 281. 56 Ibid.

Page 26: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

43

adanya pemikiran-pemikiran serta melahirkan ide-ide yang baik dalam

memutus suatu perkara yang dengan cara itu tugas pengujian konstitusional

untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara

pun tidak akan kehilangan relevansinya dalam masyarakat yang terus

berkembang.

Pentingnya masalah penafsiran konstitusi ini dalam hubungan dengan

pengujian konstitusional karena pada dasarnya tatkala pengadilan melakukan

kegiatan pengujian konstitusional itu, baik yang objeknya norma maupun

tindakan, ia sekaligus melaksanakan aktifitas menafsirkan konstitusi. Pada

akhirnya hasil penafsiran inilah yang akan menetukan pendapat pengadilan

tentang konstitusional – tidaknya norma maupun tindakan (atau kelalaian)

konkret tertentu. Tidaklah berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa, sudut

pandang upaya membangun suatu masyarakat yang dilandasi oleh rule of law

dan penghormatan terhadap hak-hak fundamental dengan penafsiran

konstitusional berarti memberi peran kepada hakim sebagai ko-arsitek (co-

architects) dalam upaya membangun masyarakat yang demikian.57

Menurut Scholler, di negara-negara Eropa Kontinental (negara-negara

civil law atau codified law) pada dasarnya terdapat empat kelompok utama

tori atau metode penafsiran yaitu, literal, intentional, systematic, dan

teleological yang diberlakukan baik dalam penafsiran hukum atau undang-

undang (legal interpretation) adalah titik tolah (starting point) dalam

melakukan penafsiran konstitusi. Namun, sebelum sampai pada penerapan

teori atau metode tersebut, terlebih dahulu harus dipahami sejumlah kriterian

penafsiran (yang disebut “kaidah-kaidah penafsiran” atau canons of

interpretation) yang secara tradisi diberlakukan, yaitu makna verbal (verbal

meaning), konstruksi gramatikal (grammatical construction), konteks

perundang-undangan (statutory context), maksud dari pembentuk undang-

undang yang asli (intention of the original legislator), dan dari segi-segi

teleologis (teleological aspects).58

D. Hal-Hal yang di Pertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam

Melakukan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar 1945

Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan hakim konstitusi yang

ditetapkan dengan keputusan presiden. Kesembilan hakim tersebut diajukan

57 Ibid., hal. 282. 58 Ibid., hal. 287.

Page 27: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

44

masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan

tiga orang oleh presiden.59 Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan

kepribadian yang tidak tercela, adil dalam bersikap, negarawan yang

menguasai konstitusi dan kewajiban ketatanegaraan, dan tidak merangkap

sebagai pejabat negara.60

Dalam Pasal 4 ayat (1-3a) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, dijelaskan susunan dari Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:

Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap

anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang

anggota hakim konstitusi. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah

Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa

jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal

pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Ketua

dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang terpilih sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama

untuk 1 (satu) kali masa jabatan.61

Keberadaan masing-masing hakim konstitusi merupakan institusi yang

otonom dan independen, tidak mengenal hierarki dalam pengambilan putusan

sebagai pelaksana dari kewenangan konstitusionalnya. Dalam memeriksa,

mengadili, dan memutuskan perkara di Mahkamah Konstitusi, ketua dan

wakil ketua tidak dapat memengaruhi pendapat para hakim lainnya,

begitupun sebaliknya.

Tugas hakim dalam memeriksa serta mengadili suatu perkara yaitu

sangat berkaitan dengan persoalan normatif dan filsafat hukum sebab tugas

mengadili berkaitan dengan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Paund mengatakan bahwa salah satu objek filsafat adalah The Application of

Law. Menurut Golding, sebagai The critical evaluation of laws and legal

59 Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 jo. Pasal 4 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi. 60 Pasal 24C UUD 1945. 61 Pasal 4 ayat (1-3a) Undang-undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 2011 tentang

perubahan atas undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 28: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

45

institution… and the study of judicial decision making. Oleh karena itu, tugas

hakim mengadili maka tidak lepas dari kegiatan penemuan hukum.62

Pengadilan berfungsi menyelenggarakan peradilan guna menegakan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun

1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Hakim

adalah pelaku utama fungsi pengadilan. Karena itu semua wewenang dan

tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakan

hukum dan keadilan. Dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim, kata adil

diberi makna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan apa

yang menjadi haknya yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang

sama kedudukannya di hadapan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang

paling mendasar dari keadilan yaitu memberikan perlakuan dan kesempatan

yang sama serta keseimbangan perlindungan hukum di antara pihak-pihak

yang bersengketa.63

Independensi kekuasaan kehakiman yang dalam hal ini Mahkamah

Agung dan badan-badan peradilan yang ada dibawahnya serta Mahkamah

Konstitusi, secara hukum telah memperoleh jaminan kemerdekaan baik

melalui Undang-Undang Dasar Tahun 1945 maupun melalui undang-undang

tentang kekuasaan kehakiman sebagaimana telah beberapa kali diubah dan

disempurnakan sebagaimana terlihat dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Demikian pula independensi hakim

secara personal telah dijamin secara hukum dengan bolehnya melakukan

dissenting opinion dalam mengajukan pertimbangan dan pendapat

hukumnya, dan harus dimuat dalam pertimbangan hukum dalam

putusannya.64

Hakim harus mampu merefleksikan setiap teks pasal yang terkait

dengan fakta kejadian yang ditemukan di persidangan ke dalam putusan

hakim terhadap sengketa pengujian konstitusional yang diajukan kepadanya

dalam hal ini adalah pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar 1945, yang melaksanakan tugas pokoknya yaitu menerima, memeriksa,

serta memutus haruslah mengandung nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai

dasar konstitusi dalam UUD 1945 sesuai dengan prinsip independensi yang

dimilikinya, sehingga setiap putusan hakim memancarkan pertimbangan nilai

62 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta: Prenadamedia

Group, Maret, 2017, hal. 51. 63 Ibid., hal. 90-91. 64 Ibid., hal. 92.

Page 29: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

46

filosofis tinggi, konkretnya ditandai oleh karakter putusan yang

berKetuhanan, berperikemanusiaan, menjaga persatuan, penuh kebajikan,

dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Filsafat harus masuk

membantu pikiran hakim menyusun pertimbangan putusannya, sehingga

putusan hakim mengandung nilai-nilai keadilan filosofis. Putusan hakim yang

baik harus mengandung 3 (tiga) pokok pertimbangan meliputi pertimbangan

keadilan filosofis, pertimbangan keadilan sosiologis, dan pertimbangan

keadilan yuridis.

Mahkamah Agung telah menentukan bahwa putusan hakim harus

mempertimbangkan beberapa aspek yang bersifat yuridis, filosofis, dan

sosiologis sehingga keadilan yang dicapai, diwujudkan, dan

dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang

berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral

justice), dan keadilan masyarakat (social justice).65

Aspek yuridis merupakan aspek pertama dan aspek utama yang

berpatok pada undang-undang yang berlaku. Hakim sebagai aplikator

undang-undang harus memahami undang-undang dengan mencari undang-

undang yang berkaitan dengan perkara yang dihadapi. Hakim harus menilai

apakah undang-undang tersebut adil, bermanfaat, ataupun memberikan

kepastian hukum jika ditegakan. Sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya

adalah menciptakan keadilan.66

Mengenai aspek filosofis, merupakan aspek yang berintikan pada

kebenaran dan keadilan. Sedangkan aspek sosiologis mempertimbangkan tata

nilai budaya yang hidup dalam masyarakat. Aspek filosofis dan sosiologis

penerapannya sangat memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang luas

serta kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilai-nilai dalam masyarakat

yang terabaikan. Jelas penerapannya sangat sulit, karena tidak mengikuti asas

legalitas dan tidak terikat pada sistem. Pencantuman ketiga unsur tersebut

tidak lain agar putusan dianggap adil dan diterima oleh masyarakat.

Sejatinya pelaksanaan tugas dan kewenangan hakim dilakukan dalam

kerangka menegakan kebenaran dan berkeadilan dengan berpegang pada

hukum, undang-undang, dan nilai keadilan dalam masyarakat. Dalam diri

hakim diemban amanah agar peraturan perundang-undangan diterapkan

65 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Perilaku Hakim (Code of Cunduct),

Kode Etik Hakim, Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006, hal. 2. 66 Ahmad Rifa’I, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta:

Sinar Grafika, 2010, hal. 126.

Page 30: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

47

secara benar dan adil. Apabila penerapan perundang-undangan akan

menimbulkan ketidakadilan, maka hakim wajib berpihak pada keadilan moral

(moral justice) dan menyampingkan hukum atau peraturan perundang-

undangan (legal justice). Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan

hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) yang tentunya

merupakan percerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat

(social justice). Keadilan yang dimaksudkan disini bukanlah keadilan

procedural (formil), akan tetapi keadilan subtantif (materiil) yang sesuai

dengan hati nurani hakim.67

Petimbangan hukum putusan merupakan mahkota bagi hakim yang

harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang Maha Esa, kepada pencari

keadilan, dan masyarakat. Hakim bertanggung jawab membawa perubahan

dalam suatu fenomena ketidakpercayaan masyrakat menjadi percaya kepada

lembaga peradilan. Bahwa tinggi rendahnya kepercayaan masyarakat, sangat

ditentukan seberapa jauh argumentatifnya putusan hakim atas kalim, bahwa

apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (Res judicatapro

veritate habetur).68

Untuk memutus suatu perkara, hakim memiliki kemerdekaan dari

campur tangan atau intervensi dari pihak manapun, yang dikenal dengan

kekuasaan kehakiman yang merdeka, atau dapat diartikan sebagai kekuasaan

kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun. Kekuasaan

kehakiman yang merdeka ini merupakan suatu kemandirian atau

kemerdekaan yang dimiliki oleh lembaga peradilan demi terciptanya suatu

putusan yang bersifat obyektif dan imparsial. Maksud dari sifat putusan yang

obyektif adalah dalam proses pemberian putusan hakim harus berpendirian

jujur, berpandangan yang benar atau berpandangan sesuai dengan keadaan

yang sebenarnya dengan mengacu pada ukuran atau kriteria obyektif yang

berlaku umum. Sedangkan maksud dari putusan yang bersifat imparsial

adalah putusan yang dihasilkan seorang hakim tidak memihak kepada salah

satu pihak menimbulkan rasa ketidakadilan dari pihak-pihak yang berperkara

atau bersengketa. Jadi kekuasaan kehakiman yang merdeka, harus menjamin

terlaksananya peradilan yang jujur dan adil serta memenuhi kepastian hukum

dalam masyarakat berdasarkan hukum yang berlaku.69

E. Akibat Putusan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator, boleh jadi

mengabulkan permohonan pemohon atau menolaknya, tetapi juga ada

kemungkinan bahwa permohonan dinyatakan tidak diterima karena tidak

memenuhi syarat formal yang diharuskan. Putusan Mahkamah Konstitusi

meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan hak atau kewenangan

67 Ibid., hal. 128. 68 Ibid., hal. 10-11. 69 Adies Kadir, Menyelamatkan Wakil Tuhan Memperkuat Peran dan Kedudukan Hakim,

Penerbit: MerdekaBook, Jakarta, 2018, hal. 252.

Page 31: BAB II Tinjauan Pustaka · 2020. 3. 9. · Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (Criminal justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

48

tertentu. Dengan kata lain, putusan itu akan membawa akibat tertentu yang

mempengaruhi satu keadaan hukum atau hak dan/atau kewenangan. Akibat

hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian

terhadap undang-undang yang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang

Mahkamh Konstitusi. Pasal tersebut berbunyi:

“Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap

berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa

undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”70

Ini berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang

menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak boleh berlaku

surut. Akibat hukum yang timbul dari putusan itu dihitung sejak putusan

tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Oleh karenanya,

akibat hukum yang timbul dari berlakunya satu undang-undang sejak

diundangkan sampai diucapkannya putusan yang menyatakan undang-

undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.71

70 Ibid., hal. 213. 71 Ibid.