19
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cookies Menurut SNI (2011) biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu biskuit keras, cracker, wafer dan cookies. Cookies adalah makanan kering yang dibuat dari adonan lunak yang mengandung bahan dasar terigu, pengembang, kadar lemak tinggi, renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat. Syarat mutu cookies di Indonesia tentunya mengacu pada syarat mutu biskuit. Syarat mutu biskuit yang berlaku saat ini adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2973-1992 seperti tercantum dalam Tabel 2.1. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies terbagi menjadi dua bagian yaitu bahan pengikat dan bahan pelembut tekstur. Bahan-bahan yang berfungsi sebagai pengikat atau bahan pembentuk adonan adalah tepung, susu dan putih telur. Sedangkan bahan yang berfungsi sebagai pelembut adalah gula, kuning telur, shortening dan bahan pengembang (Lukitasari, 2012). Tabel 2.1 Syarat Mutu Biskuit Kriteria Uji Syarat Energi (kkal/100 gram) Min 400 Air (%) Maks 5 Protein(%) Min 9 Lemak(%) Min 9,5 Karbohidrat(%) Min 70 Abu(%) Maks 1,6 Serat Kasar(%) Maks 0,5 Logam Berbahaya Negatif Bau dan Rasa Normal dan tidak tengik Warna Normal Sumber: SNI (1992) Cookies tidak memerlukan bahan dasar yang volumenya dapat berkembang besar sehingga cookies dapat dibuat dengan menggunakan tepung yang mengandung gluten < 1 % (Midlanda et al., 2014). Karakteristik utama cookies adalah kandungan air yang rendah, dengan tingkat kekerasan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cookiesrepository.ub.ac.id/4005/3/BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.pdf · TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cookies Menurut SNI (2011) biskuit diklasifikasikan menjadi empat

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Cookies

    Menurut SNI (2011) biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu

    biskuit keras, cracker, wafer dan cookies. Cookies adalah makanan kering yang

    dibuat dari adonan lunak yang mengandung bahan dasar terigu, pengembang,

    kadar lemak tinggi, renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya

    bertekstur kurang padat. Syarat mutu cookies di Indonesia tentunya mengacu

    pada syarat mutu biskuit. Syarat mutu biskuit yang berlaku saat ini adalah

    Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2973-1992 seperti tercantum dalam Tabel

    2.1. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies terbagi menjadi

    dua bagian yaitu bahan pengikat dan bahan pelembut tekstur. Bahan-bahan

    yang berfungsi sebagai pengikat atau bahan pembentuk adonan adalah tepung,

    susu dan putih telur. Sedangkan bahan yang berfungsi sebagai pelembut adalah

    gula, kuning telur, shortening dan bahan pengembang (Lukitasari, 2012).

    Tabel 2.1 Syarat Mutu Biskuit

    Kriteria Uji Syarat

    Energi (kkal/100 gram) Min 400

    Air (%) Maks 5

    Protein(%) Min 9

    Lemak(%) Min 9,5

    Karbohidrat(%) Min 70

    Abu(%) Maks 1,6

    Serat Kasar(%) Maks 0,5

    Logam Berbahaya Negatif

    Bau dan Rasa Normal dan tidak tengik

    Warna Normal

    Sumber: SNI (1992)

    Cookies tidak memerlukan bahan dasar yang volumenya dapat

    berkembang besar sehingga cookies dapat dibuat dengan menggunakan tepung

    yang mengandung gluten < 1 % (Midlanda et al., 2014). Karakteristik utama

    cookies adalah kandungan air yang rendah, dengan tingkat kekerasan,

  • 6

    kerapuhan dan kerenyahan bervariasi. Perbedaan kadar air yang ada di dalam

    cookies ditunjukkan dari pengaruh yang nyata pada pengukuran tekstur. Tekstur

    cookies akan dikatakan rapuh jika dipatahkan dengan mudah tanpa didahului

    oleh adanya perubahan bentuk saat diberi tekanan, sedangkan kerenyahan

    cookies ditentukan oleh adanya bunyi yang dikeluarkan saat cookies diberi

    tekanan (Mubarokah, 2012).

    Arina (2015) meneliti pembuatan cookies dengan menformulasikan

    tepung ubi jalar kuning dan tepung tempe, produk cookies dengan penambahan

    tepung tempe 15 gram, merupakan produk terbaik dan paling banyak digemari

    serta diterima oleh konsumen. Sedangkan menurut Vernanda et al. (2016)

    konsentrasi tepung mocaf 50% dan tepung beras pecah kulit 50% memiliki daya

    terima paling disukai dengan penambahan sari kurma 25% dengan kandungan

    protein 5,12% ; lemak 11,85% ; karbohidrat 79,2%, serat makanan 3,09% dan

    kadar abu 1,20%. Dan menurut Tanjung (2013) pada pembuatan biskuit bebas

    gluten untuk penderta autis formulasi terbaik dari segi fisik dan kimia diperoleh

    pada perlakuan rasio tepung mocaf dan tepung kacang hijau 55% : 45% dengan

    penambahan margarine 25%.

    2.2 Tepung Mocaf

    Mocaf (Modified Cassava Flour) merupakan tepung singkong yang

    mengalami modifikasi. Secara definitif, mocaf adalah produk tepung dari

    singkong (Manihot esculenta Crantz) yang diproses menggunakan prinsip

    memodifikasi sel singkong secara fermentasi, dimana mikroba BAL (Bakteri

    Asam Laktat) mendominasi selama fermentasi tepung singkong ini. Mikroba yang

    tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan sellulolitik yang dapat

    menghancurkan dinding sel singkong, sehingga terjadi liberasi granula pati

    (Subagyo, 2008). Mikroba tersebut juga menghasilkan enzim-enzim yang

    menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya mengubahnya menjadi asam-

    asam organik, terutama asam laktat (Subagyo, 2008). Hal ini akan menyebabkan

    perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas,

    kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut (Subagyo, 2008).

    Demikian pula, cita rasa mocaf menjadi netral dengan menutupi cita rasa

    singkong sampai 70% (Subagyo, 2008). Viskositas mocaf lebih tinggi dari pada

    tepung ubi kayu, hal ini disebabkan karena selama proses fermentasi mikrobia

    akan mendegradasi dinding sel yang menyebabkan pati dalam sel akan keluar,

  • 7

    sehingga akan mengalami gelatinisasi dengan pemanasan. Selanjutnya

    dibandingkan dengan pati tapioka, viskositas dari mocaf lebih rendah, hal ini

    karena pada tapioka komponen pati mencakup hampir seluruh bahan kering,

    sedangkan pada mocaf komponen selain pati masih dalam jumlah yang

    signifikan, namun dengan lama fermentasi 72 jam akan didapatkan produk mocaf

    yang mempunyai viskositas mendekati tapioka, maka dari itu fermentasi yang

    lama akan membuat semakin banyak sel ubi kayu yang pecah, sehingga

    liberalisasi granula pati menjadi sangat ekstensif. Liberasi pati juga

    menyebabkan mocaf akan lebih mudah membentuk jaringan tiga dimensi antar

    komponen, sehingga mendorong timbulnya konsistensi yang baik dari produk,

    jika dibandingkan dengan ubi kayu biasa. Liberasi pati menyebabkan

    kemampuan mengikat air meningkat, dan mendorong kemudahan terdispersinya

    butir-butir tapung pada sistem pangan. Dilain pihak, mocaf bukanlah seperti

    tapioka yang granula patinya sempurna terliberasi. Dengan demikian, tidak

    terjadi peristiwa gelatinisasi sempurna yang menyebabkan peningkatan

    viskositas dan daya gleasii yang tinggi setelah kondisi dingin. Selama proses

    fermentasi terjadi pula penghilangan komponen penimbul warna, seperti pigmen

    (khususnya pada ketela kuning), dan protein yang dapat menyebabkan warna

    coklat ketika pemanasan (Subagyo, 2008).

    Mocaf tidak memiliki kandungan gluten seperti yang terdapat pada tepung

    terigu. Gluten sendiri digunakan sebagai bahan yang menentukan kekenyalan

    makanan. Mocaf mengandung sedikit protein karena berbahan baku singkong,

    berbeda dengan tepung terigu yang berbahan baku gandum memiliki kadar

    protein yang tinggi (Nusa et al., 2012). Tepung mocaf mengandung karbohidrat

    yang tinggi dan gelasi yang lebih rendah dibandingkan tepung terigu (Rifyan et

    al., 2015). Mocaf memiliki karakteristik derajat viskositas (daya rekat),

    kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan larut yang lebih baik

    dibandingkan tepung terigu (Salim, 2011). Mocaf juga mempunyai karakteristik

    yang khas, sangat berbeda dengan ubi kayu biasa dan pati tapioka, seperti

    beraroma dan bercitarasa khas, warna mocaf lebih putih dibandingkan tepung

    gaplek, kandungan serat terlarut pada mocaf lebih tinggi dari tepung gaplek dan

    kandungan mineral pada mocaf lebih tinggi dibanding gandum dan padi.

    Karakteristik tersebut membawa dampak yang sangat baik bagi pemanfaatan

    mcaf, karena mocaf mempunyai daya kembang setara dengan tepung terigu

    protein sedang (Subagio, 2008).

  • 8

    Tabel 2.2 Kandungan Gizi Tepung Mocaf setiap 100 g

    Kritriteria Uji Jumlah(%)

    Kadar air 10,22

    Kadar protein 1,29

    Kadar abu 0,58

    Kadar lemak 0,78

    Kadar Karbohidrat 89,9

    Sumber: Ridwansyah dan Yusraini (2014)

    Tepung mocaf sering dijadikan sebagai alternatif pengganti tepung terigu.

    Penggunaan tepung mocaf juga beragam, baik sebagai bahan baku utama suatu

    produk, maupun substitusi dari keseluruhan tepung yang digunakan dalam

    pembuatan berbagai jenis produk bakery seperti kue kering (cookies, nastar, dan

    kastengel dll), kue basah (cake, kue lapis, brownies, spongy), dan roti tawar.

    Selain itu tepung mocaf juga dapat digunakan dalam pembuatan bihun, dan

    campuran produk lain berbahan baku gandum atau tepung beras. Hasil produk

    berbahan mocaf ini tidak jauh berbeda dengan produk yang menggunakan

    bahan tepung terigu. Hal ini karena jenis dan karakteristik yang hampir sama

    dengan terigu, namun dengan harga yang jauh lebih murah membuat tepung

    mocaf menjadi pilihan yang sangat menarik, serta dapat menggantikan berbagai

    jenis produk olahan tepung terigu.

    Gambar 2.1 Tepung Mocaf (Dok. Pribadi)

  • 9

    Tahap – tahap pembuatan tepung mocaf menurut Badan Ketahanan

    Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kab. Bantul (2013) :

    1. Cara pembuatan tepung mocaf diawali dengan proses pengupasan sampai

    pada kulit bagian dalam hingga singkong berwarna putih bersih. Kemudian

    singkong dicuci hingga benar-benar bersih, baik kotoran maupun lendir pada

    umbi harus dihilangkan.

    2. Singkong yang sudah bersih selanjutnya diiris tipis-tipis, dengan ketebalan

    chip 1-1,5 mm, ketajaman pisau mempengaruhi hasil chip yang baik (tipis tetapi

    tidak hancur).

    3. Setelah berbentuk bulatan-bulatan tipis selanjutnya dimasukkan ke dalam sak

    yang bersih untuk selanjutnya difermentasi. Fermentasi dilakukan dengan

    merendam sak berisi chip dalam bak fermentasi. Pada proses ini seluruh bagian

    sak harus terendam air yang telah diformulasikan dengan enzim. Perendaman

    dilakukan selama 12-72 jam. Untuk perendaman dari 24 jam, air rendaman harus

    diganti setiap 24 jam sekali.

    4. Chip yang telah difermentasi selanjutnya ditiriskan lalu direndam dengan air

    garam. Jumlah garam yang digunakan adalah 2 sdm/ kubik air. Penggaraman ini

    dilakukan selama 10-30 menit.

    5. Kemudian chip dikeringkan dengan pengeringan alami menggunakan sinar

    matahari selama 1-3 hari sampai kering.

    6. Tahap akhir adalah tahap penepungan dengan menggunakan mesin

    penepungan. Selanjutnya untuk mendapatkan tepung yang seragam, tepung

    diayak sehingga dapat dipisahkan antara butiran yang halus dan kasar. Untuk

    tepung yang masih berbutir kasar dapat digiling kembali hingga menghasilkan

    tepung yang halus.

    Penelitian mengenai pembuatan cookies mocaf telah dilakukan

    sebelumnya oleh Nizar (2010), menunjukkan bahwa rasio tepung mocaf dan

    tepung terigu memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakteristik cookies

    yaitu kadar protein, kadar pati, kadar air, daya kembang, daya patah, tekstur dan

    warna. Sedangkan menurut Mulyani et al. (2015) tentang pembuatan cookies

    bekatul (kajian proporsi tepung bekatul dan tepung mocaf) dengan penambahan

    margarin didapatkan cookies perlakuan terbaik dengan perbandingan tepung

    mocaf : tepung bekatul (60% : 40%) dengan penambahan margarine 60%,

    cookies tersebut mempunyai karakteristik dengan kadar air 4,60%, kadar protein

  • 10

    3,82%, kadar lemak 37,87%, dan hasil organoleptik dengan nilai rata-rata

    terhadap rasa 69, warna 71 dan kerenyahan 65.

    2.3 Kelapa Parut Kering

    Kelapa (Cocos nucifera L.) termasuk dalam genus Cocos dapat tumbuh

    dimana saja. Komposisi buah kelapa terdiri dari sabut 33 %, tempurung 12 %,

    daging buah 28 % dan air 25 %. Daging dari buah kelapa dapat dijadikan kelapa

    parut kering (Desiccated coconut), biasanya dimanfaatkan untuk pembuatan roti,

    biskuit, manisa, ataupun dapat diambil santannya. Komposisi kimia kelapa parut

    kering dan asam lemak kelapa disajikan pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4

    Tabel 2.3 Komposisi Kimia Kelapa Kering

    Komposisi (%) Jumlah

    Kadar air 6,99

    Lemak 38,24

    Protein 5,79

    Abu 0,27

    Karbohidrat 48,71

    Sumber : Raghavendra et al. (2004)

    Tabel 2.4 Komposisi Asam Lemak Daging Buah Kelapa

    No Rantai C Asam Lemak Kelapa Muda (%) Kelapa Tua (%)

    1 C 8:0 Caprilat 0.03 4.34

    2 C 10:0 Caprat 0.07 6.22

    3 C 12:0 Laurat 2.25 48.6

    4 C 14:0 Myristat 3.99 19.2

    5 C 16:0 Palmitat 22.5 9.64

    6 C 18:0 Stearat 0.04 3.23

    7 C 18:1 Oleat 38.3 7.18

    8 C 18:2 Linoleat 32.6 1.59

    Sumber : Santoso et al. (1996)

    Kandungan asam lemak terbesar berdasarkan tabel diatas adalah asam

    laurat. Asam laurat termasuk kedalam asam lemak rantai medium, menurut Enig

    (1998) bahwa telah terbukti asam laurat mempunyai ciri-ciri yang unik dalam

  • 11

    kegunaan makanan. Ciri-ciri unik ini dikaitkan dengan fungsinya sebagai antiviral,

    antibakteri dan antiprotozoa. Asam – asam kaprat juga merupakan salah satu

    komponen asam lemak kelapa yang mempunyai ciri istimewa ini.

    Gambar 2.2 Kelapa Parut Kering (Rahmawati, 2015)

    Tahap–tahap pembuatan kelapa parut kering adalah sebagai berikut

    (Djatmiko dan Ketaren, 1985):

    1. Pengupasan Kulit Daging Buah

    Kulit daging buah dikupas dengan pisau khusus. Pengupasan dilakukan

    sampai bagian luar daging buah menjadi putih bersih tanpa menyisakan kulit

    daging.

    2. Pemotongan dan Pencucian

    Daging buah dipotong, kemudian dicuci bersih. Setelah itu daging buah

    ditiriskan.

    3. Blanching

    Potongan daging buah dicelupkan ke dalam air panas (80-850C) selama 5-8

    menit. Proses ini akan membunuh sebagian mikroba, mematikan enzim

    penyebab pencoklatan dan melunakkan jaringan daging buah.

    4. Pemarutan

    Daging buah diparut dengan menggunakan grater machine untuk

    mendapatkan parutan seperti pita halus, atau disintegrator untuk

    mendapatkan parutan berupa butiran.

    5. Pengeringan

    Parutan kelapa dikeringkan untuk menurunkan kadar air menjadi maksimum

    3%. Proses pengeringan dilakukan dengan menggunakan alat pengering.

  • 12

    Tujuan pengeringan adalah selain menurunkan kadar air, juga untuk

    mendapatkan sifat-sifat sensoris tertentu dalam produk pangan, untuk

    memperbaiki rasa, aroma dan tekstur.

    Pada penelitian Lubis et al. (2014) pada pembuatan cookies formulasi

    biskuit kelapa parut kering dengan perlakuan penyangraian dan tanpa

    penyangraian didapatkan hasil, semakin tinggi penggunaan tepung terigu pada

    pembuatan biskuit kelapa parut kering maka semakin tinggi kadar protein yang

    dihasilkan, dan semakin tinggi penambahan kelapa parut kering maka semakin

    tinggi pula kadar lemak yang dihasilkan. Formulasi biskuit kelapa parut kering

    terbaik dilihat dari sifat organoleptik yang paling disukai oleh panelis diperoleh

    dari persentase penambahan kelapa parut kering 75% dan perlakuan kelapa

    parut tanpa penyangraian. Sedangkan penelian yang dilakukan oleh Indrayana

    (2016) mengatakan perlakuan terbaik parameter fisik kimia yaitu proporsi ampas

    tahu sutera 90% dan kelapa parut kering 10% serta penambahan kuning telur

    5% dengan kadar air 5,11% kadar protein 7,12%, kadar lemak 9,22%, kadar abu

    2,13% dan kadar karbohidrat 76,42%.

    2.4 Tepung Tempe

    Tempe kedelai merupakan makanan dari hasil fermentasi kedelai dengan

    aktifitas kapang Rhizopus sp., sehingga membentuk massa yang padat dan

    kompak (Sarwono, 1988). Proses fermentasi yang terjadi pada tempe berfungsi

    untuk mengubah senyawa makromolekul kompleks yang terdapat pada kedelai

    (seperti protein, lemak, dan karbohidrat) menjadi senyawa yang lebih sederhana

    seperti peptide, asam amino, asam lemak dan monosakarida. Jenis kapang yang

    terlibat dalam fermentasi tempe tidak memproduksi racun (toxin) namun

    sebaliknya mampu melindungi tempe terhadap racun aflatoxin dari kapang yang

    memproduksinya (Koswara, 1995). Proses fermentasi tempe mampu

    meningkatkan aktivitas dan jumlah enzim superoksida dismutase, salah satu

    enzim antioksidan yang dipergunakan untuk menjaga tubuh dari serangan radikal

    oksigen bebas yang tidak terkendali yaitu penyakit kanker (Syarief, 1998).

    Tempe mempunyai daya simpan yang singkat dan akan segera

    membusuk selama penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh proses fermentasi

    lanjut, yang menyebabkan degradasi protein menjadi amoniak (Bastian et al.,

    2013). Amoniak yang terbentuk menyebabkan munculnya aroma busuk, oleh

    karena itu pengolahan lebih lanjut dari tempe diperlukan untuk memperpanjang

  • 13

    daya simpannya (Bastian et al., 2013). Salah satu alternative produk turunan

    tempe yaitu dibuat adalah tepung tempe yang kemudian dikembangkan menjadi

    produk formula tepung tempe.

    Tepung tempe merupakan tepung yang diolah dari tempe segar yang

    diproses melalui beberapa tahap yaitu pemotongan tempe, blanching dengan

    uap, pengeringan, penepungan dan pengayakan (Subagyo, 2001). Menurut

    Subagyo (2001) perlakuan blanching menghasilkan warna yang paling disukai.

    Hasil uji sensoris menunjukkan bahwa tepung tempe berasa gurih namun agak

    pahit, getir, langu dan tengik. Blanching pada suhu 1000C selama 10 menit

    bertujuan untuk mematikan kapang pada tempe sehingga fermentasi berhenti

    (Subagyo, 2001). Ketebalan irisan dan cara pengeringan akan mempengaruhi

    mutu tepung tempe (Subagyo, 2001). Untuk memperoleh tepung tempe yang

    baik yaitu dengan irisan 4 mm, reduksi ukuran tempe sebelum proses blanching

    dilakukan untuk memperluas permukaan sehingga kapang yang masih hidup

    pada tempe lebih mudah dimatikan, dan pengeringan yang sesuai untuk

    pembuatan tepung tempe dengan metode oven dilakukan pada suhu 600C

    selama 24 jam akan menghasilkan tepung dengan derajat putih yang baik

    (Bakara, 1996).

    Gambar 2.3 Tepung Tempe (Dok. Pribadi)

    Rachmawati dan Sumiyati (2000) menyebutkan bahwa setelah

    penggilingan tepung tempe diayak dengan ayakan berukuran 60-80 mesh.

    Bennion (1980) menambahakan bahwa tepung tempe dengan ukuran partikel

    kecil akan menghasilkan cake berkualitas tinggi.

  • 14

    Dalam proses pembuatan tepung tempe tentu saja terjadi perubahan sifat

    karena adanya panas pada pengeringan dan penepungan. Perubahan yang

    cukup penting adalah berkurangnya kandungan nitrogen setelah tempe menjadi

    tepung dibandingkan kandungan tempe segar. Kandungan nitrogen terlarut

    (protein rantai panjang) dan hubungannya dengan kualitas protein bahan

    makanan, karena dengan kelarutan ini dianggap bahwa protein rantai pendek

    hanya tersusun dari beberapa asam amino (Winarno, 1984).

    Asam amino itu sendiri lebih mudah dicerna daripada protein rantai

    panjang. Dari kanyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin besar

    kandungan protein terlarut (berasal dari protein) maka semakin baik pula kualitas

    bahan makanan tersebut karena mudah dicerna (Winarno et al.,1980)

    Kandungan gizi tepung tempe dapat dilihat pada Tabel 2.5

    Tabel 2.5 Komposisi Kimia Tepung Tempe

    Komponen kimia Tepung tempe (%)

    Protein 21,7

    Lemak 13,66

    Abu 6,44

    Air 3,02

    Karbohidrat 55,18

    Sumber : Bastian et al. (2013)

    Pratiwi et al. (2007) melakukan penelitian mengenai pembuatan cookies

    tempe yaitu tentang pembuatan cookies ubi jalar ungu, tempe dan isolat soy

    protein, perlakuan terbaik tedapat pada perlakuan perbandingan terigu, ubi ungu,

    tempe, dan ISP (14,4% : 10,9% : 10,9% : 5,4%) dimana Kandungan gizi pada

    produk cookies ini sudah memenuhi standar SNI cookies, kecuali kadar abu dan

    karbohidrat belum memenuhi standart mutu SNI. Cookies F3 mengandung

    vitamin A 1307.5 IU per 100 gram. Cookies dengan bahan tepung terigu, ubi

    ungu, tempe, dan tepung Isolate Soy Protein per sajian 60 g mengandung 309

    kkal, protein 7.44 g, Cookies tersebut sudah memenuhi syarat untuk dijadikan

    snack PMT-AS dilihat kandungan energi dan protein.

    Sedangkan pada penelitian Hestin Rahmawati (2013) pada pembuatan

    cookies substitusi tepung tempe dan ikan teri diperoleh hasil kadar protein

    tertinggi pada cookies dengan substitusi tepung tempe 5 % dan tepung ikan teri

  • 15

    nasi 10 % yaitu 14,5 % per 100g. Kadar kalisum tertinggi pada cookies dengan

    substitusi tepung tempe 25 % dan tepung ikan teri nasi 10 % yaitu 53, 93 mg per

    100g.

    2.5. Bahan Pembantu

    2.5.1 Gula Pasir Halus

    Gula pasir berasal dari cairan sari tebu. Setelah dikristalkan, sari tebu

    akan mengalami kristalisasi dan berubah menjadi butiran gula berwarna putih

    bersih atau putih agak kecoklatan (raw sugar) (Darwin, 2013).

    Gula berpengaruh dalam pembentukan granula, terutama hasil akhir dari

    cookies. Misalnya, apabila kandungan sukrosa meningkat, sukrosa akan

    berperan sebagi agen pengeras, pembentuk sifat crispy dan tekstur yang keras

    (Amandasari, 2009). Selama proses mixing, partikel sukrosa diselubungi oleh

    partikel lemak. Pada saat cookies dipanggang, lapisan lemak akan berpisah

    dengan air. Menurut Amandasari (2009) air tersebut berkaitan dengan gula

    sehingga berubah bentuk menjadi cair. Gula berubah bentuk dari bentuk padat

    menjadi bentuk cair akan membuat tekstur cookies tersebar (Kobs, 2001).

    Menurut Lawson (1995) fungsi dari penambahan gula adalah:

    1. Menambah nilai kalori pangan

    2. Mendukung aktivitas yeast untuk menghasilkan CO2 dalam pengembangan

    3. Memperbaiki kualitas simpan

    4. Memperbaiki grain dan tekstur

    5. Memperbaiki cita rasa

    Menurut Winarno (2002) bahwa apabila gula ditambahkan akan

    memungkinkan terjadinya proses karamelisasi, yaitu bila gula yang telah mencair

    dipanaskan terus-menerus, dan ketika suhunya melampaui titik leburnya, pada

    1600C maka dapat terjadi pembentukan karamel yang diinginkan dan dapat

    meningkatkan rasa dan warna pada makanan. Gula yang sering digunakan pada

    pembuatan cookies adalah gula bubuk dan gula akstor (gula pasir berbutir

    halus). Gula pasir berbutir, agak susah larut pada waktu dikocok, sehingga

    membuat pori-pori kue ralatif besar.

    2.5.2 Kuning Telur

    Telur mengandung beberapa protein dan menghasilkan karakter

    fungsional pada cookies dan cracker. Menurut Amandasari (2009) seperti

  • 16

    kandungan globulin pada telur, menghasilkan aerasi yang cukup bagus, juga

    ovomucin sebagai foaming agent. Lemak pada kuning telur terdiri dari fosfolipid

    yang dapat berfungsi sebagai agen pengemulsi dan pengaerasi (Amandasari,

    2009). Kuning telur terdiri dari dua lipoprotein yang dibutuhkan untuk

    memperbaiki kenampakan (Faridi, 1994).

    Penambahan telur berfungsi sebagai pengembang, memberikan warna,

    memberikan flavor, sebagai emulsifier, meningkatkan nilai gizi serta dapat

    melembutkan tekstur cookies dengan daya emulsi dari lesitin yang terkandung

    dalam kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat

    dari putih telur (Faridi,1994).

    Kuning telur merupakan pengemulsi yang lebih baik daripada putih telur

    karena kandungan lesitin pada kuning telur terdapat dalam bentuk kompleks

    sebagai lesitin protein (Amandasari, 2009). Lesitin memiliki bagian yang bersifat

    polar terhadap air, karena itu lesitin dapat digunakan sebagai emulsifier

    (Winarno, 1995).

    Penggunaan kuning telur tanpa putih telur pada pembuatan cookies akan

    menghasilkan cookies yang lembut dengan kualitas citarasa yang sempurna

    (Hui, 1992). Fungsi dari penambahan telur ke dalam produk sejenis biskuit

    (Lawson, 1995):

    1. Menambah cita rasa dan rasa lemak

    2. Merupakan bahan pengempuk

    3. Merupakan bahan pembentuk struktur

    4. Menambah nilai nutrisi

    5. Menyumbangkan warna

    Tabel 2.6 Komposisi Telur Ayam Per 100 Gram Bahan

    Bahan penyusun Kulit (%) Kuning (%) Albumin (%)

    Bahan Organik 45,1 - -

    Protein 3,3 17,0 12,0

    Glukosa - 0,2 0,4

    Lemak - 32,2 0,3

    Garam - 0,3 0,3

    Air - 48,5 87,0

    Sumber : Buckle et al. (1987)

  • 17

    2.5.3 Margarin

    Untuk menghasilkan cookies yang kompak dan empuk ditambahkan

    lemak, lemak yang ditambahkan dapat berupa margarin. Margarin merupakan

    lemak pengganti mentega/butter. Penampakannya menyerupai mentega, tetapi

    margarin bahan dasarnya didapat dari bahan nabati. Margarin berfungsi

    pelindung terigu sehingga tidak terlalu banyak menyerap air, jadi saat

    pemanggangan CO2 lepas dan terjadi gelatinisasi yang menghasilkan pori-pori

    yang lebih seragam. Serta dapat menghambat laju penguapan air dan

    terlepasnya CO2 sehingga kue dapat tetap mengembang dan lebih terlihat

    menarik pada waktu yang cukup lama (Sunaryo, 1985).

    Tabel 2.7 Komposisi Kimia Margarin setiap 100g

    Komposisi Jumlah

    Air 29,52 g

    Protein 606 kcal

    Lemak 68,29 g

    Karbohidrat by Difference 0,59 g

    Na 536 mg

    Vit A 3571 IU

    Vit E 13,00 mg

    Asam lemak jenuh 16,688 g

    Asam lemak monounsaturated 24,748 g

    Asam lemak polyunsaturated 23,794 g

    Asam lemak trans 3,265

    Sumber : USDA (2016)

    Tabel 2.8 Tabel Asam Lemak Margarin

    Asam Lemak Jenuh

    (%)

    Asam Lemak Tak Jenuh (%) Asam Lemak Trans-Tak

    Jenuh (%)

    Asam Lemak

    Rantai Sedang

    0.7 Asam Palmitoleat 0.1 Asam

    Monoenost

    8.6

    Asam Laurat 2.7 Asam Oleat 30.0 Asam Dienoat 0.6

    Asam Miristat 1.2 Asam

    Eikosapentatenoat

    0.1 Asam Trienoat 0.5

    Asam Palmitat 11.2 Asam Linoleat 27.0 Total asam

    lemak trans

    9.7

    Asam Stearat 10.8 Asam Linoelaidat 2.9

    Asam Arakidat 0.6 Total Asam lemak

    cis

    60.1

    Asam Behenat 0.4

    Total 27.6

    Sumber : Brat dan Pokorny (2000)

  • 18

    Menurut Sutomo (2008) fungsi lemak margarine adalah memberikan

    aroma harum sehingga meningkatkan citarasa. Lemak juga menjadikan tekstur

    kue lebih lembut dan renyah. Terlalu banyak pemakaian lemak akan

    menyebabkan kue melebar saat dipanggang, sedangkan jika terlalu sedikit akan

    membuat kue seret, keras, dan kasar di mulut.

    2.5.4 Susu Skim

    Susu skim merupakan susu bebas lemak atau susu tanpa lemak. Hal ini

    dikarenakan kandungan lemaknya sangat rendah, maksimum 1% (Susilorini,

    2007). Namun kandungan laktosa dan kandungan proteinnya sangat tinggi yaitu

    sekitar 49,2 % dan 37,4% dengan kandungan kalori yang rendah (Susilorini,

    2007). Oleh sebab itu, susu skim sangat cocok dikonsumsi oleh orang yang

    sedang melakukan diet rendah kalori.

    Matz (1992) dalam Nizar (2010) mengatakan bahwa susu merupakan

    bahan yang penting dalam pembuatan adonan pada beberapa tipe roti dan

    biskuit, susu yang digunakan dapat berupa susu segar maupun produk olahan

    susu segar tersebut. Susu dapat memberikan rasa yang lebih enak pada kue

    kering karena adanya senyawa lemak dan rasa manis yang berasal dari gula

    laktosa.

    Menurut Webb (1993) susu yang ditambahkan pada produk biskuit dan

    sejenisnya mempunyai tugas diantarannya adalah:

    1. Kasein berfungsi membantu keliatan adonan biskuit

    2. Memberikan rasa yang lebih baik pada biskuit yang dihasilkan

    3. Memberikan kenampakan yang lebih baik pada produk akhir biskuit

    4. Membantu memberikan tekstur yang baik pada produk yang dihasilkan

    Komposisi susu skim dapat dilihat pada Tabel 2.9

    Tabel 2.9 Komposisi Kimia Susu Skim (100g Bahan)

    Komposisi Presentase (%)

    Energi 33 kcal

    Protein 5,42 g

    Carbohidrate by difference 2,50 g

    Sugar 2,50 g

    Ca 167 mg

    Na 52 mg

    Vit A 208 IU

    Vit D 42

    Sumber: USDA (2017)

  • 19

    2.5.5 Pengembang Adonan.

    Baking powder adalah campuran dari baking soda (soda kue) dengan

    asam. Senyawa asam akan menetralkan basa pada soda kue sehingga

    menghasilkan lebih banyak CO2. Baking powder yang sering digunakan adalah

    double-acting baking powder. Baking powder ini mengandung fast-acting baking

    powder (reaksi cepat) yang bereaksi dengan kelembapan pada adonan pada

    suhu ruang dan slow-acting baking powder (reaksi lambat) yang bereaksi ketika

    ada panas (pemanggangan) (Bastin, 2010).

    Baking powder merupakan bahan pengembang (leavening agent) yang

    banyak digunakan dalam pembuatan produk bakery. Baking powder dapat

    menghasilkan gas CO2 melalui reaksi asam-basa yang dapat menyebabkan

    adonan menjadi mengembang. Sodium bikarbonat dapat bekerja pada suhu

    tinggi tetapi jika dikombinasi dengan asam akan dapat bekerja lebih cepat

    (Sumnu dan Sahin, 2008). Reaksi kimia baking powder ketika terkena panas

    adalah sebagai berikut:

    NaHCO3 + H+ → Na+ + H2O + CO2

    Kelembapan pada adonan roti akan bereaksi dengan asam

    menyebabkan pelepasan CO2 dari baking powder sehingga roti mengembang.

    Penambahan baking powder harus diperhatikan, terlalu banyak baking powder

    menyebabkan gelembung udara terlalu besar sehingga adonan roti pecah dan

    roti menyusut. Sedangkan penambahan baking powder yang terlalu sedikit

    menyebabkan roti menjadi bantat (Bastin, 2010).

    2.6 Tinjauan Pembuatan Cookies

    2.6.1 Tahap Persiapan

    Tahap persiapan adalah tahapan di mana bahan-bahan dalam

    pembuatan cookies dipersiapkan sesuai dengan takaran atau formula. Susunan

    dan perbandingan bahan-bahan yang digunakan harus diatur supaya

    memudahkan dalam penanganan dan menghasilkan produk olahan yang sesuai

    dengan yang diinginkan. Karakteristik dari produk akhir akan ditentukan oleh

    susunan bahan dan juga proses yang digunakan (Subarna, 1996).

  • 20

    2.6.2 Tahap Pencampuran Bahan

    Pencampuran bertujuan untuk meratakan pendistribusian bahan-bahan

    yang digunakan dan untuk memperoleh adonan dengan konsistensi yang halus.

    Adonan yang diperoleh juga harus bersifat kohesif dan relatif tidak lengket,

    sehingga mudah dibentuk (Hui, 1992).

    Faridi (1994) menambahkan tahapan pencampuran adonan pada

    pembuatan cookies ada 2 macam antara lain :

    1. Cara pertama adalah, mencampurkan bahan-bahan seperti air, lemak, gula,

    pengemulsi. Kemudian adonan dicampur selama 4-10 menit, tergantung dari

    tipe dan kecepatan mixer. Pencampuran adonan dilakukan sampai adonan

    benar-benar tercampur merata. Selanjutnya tepung dan baking soda

    ditambahkan ke dalam adonan. Adonan dan bahan kembali dicampur, sampai

    merata.

    2. Cara yang kedua yaitu, shortening, gula atau sejenisnya, cairan (susu atau

    air), whey, tepung serta bahan kering lainnya dicampur sampai membentuk

    krim yang lembut. Kemudian ditambahkan emulsifier dan air. Garam, bahan

    tambahan pangan (flavor dan pewarna) dapat ditambahkan pada tahap

    pertama, bersama-sama dengan penambahan air. Hasil campuran akan

    menjadi krim yang halus. Jika telur, lesitin dibutuhkan, maka dapat

    ditambahlan pada tahap pertama bersama-sama dengan penambahan air.

    Tahap selanjutnya adalah penambahan tepung dan dilakukan sampai

    pencampuran kedua sampai adonan memiliki konsistensi tertentu.

    2.6.3 Tahap Pencetakan Adonan

    Menurut Fellows (1990), tahap pencetakan adalah tahapan, yang mana

    adonan dicetak dalam bentuk dan ukuran yang bervariasi yang dilakukan setelah

    proses pencampuran adonan. Pencetakan tidak berpengaruh langsung pada

    nilai nutrisi dan masa simpan bahan pangan. Proses pencetakan itu sendiri

    dilakukan untuk memperoleh produk dengan bentuk yang seragam dan

    meningkatkan daya tarik atau penampilan. Pencetakan biasanya dilakukan

    dengan cara manual seperti pisau kecil atau pisau pemotong, sendok kecil atau

    cetakan kue kering. Pencetakan dilakukan dengan cara membuat lempengan

    adonan dan menekan cetakan cookies diatasnya dan disusun pada loyang yang

    sudah diolesi lemak atau dilapisi kertas kue.

  • 21

    2.6.4 Tahap pemanggangan

    Pemanggangan adalah proses yang merubah masa adonan yang

    palatable menjadi produk yang ringan, porous, dan mudah dicerna. Selama

    proses pemanggangan akan terjadi reaksi maillard, yang merupakan reaksi

    antara gugus reduksi dengan gugus amina primer, dan menghasilkan produk

    yang berwarna coklat (Winarno, 1995).

    Menurut Faridi (1994), proses perubahan selama pemanggangan adalah

    sebagai berikut :

    a. Adanya perubahan struktur pada adonan yang ditandai dengan

    pengembangan adonan sampai tingkat tertentu.

    b. Adanya penurunan kadar air.

    c. Adanya perubahan warna pada produk, dari pucat menjadi kuning keemasan.

    Pemanggangan dilakukan dengan oven dan waktu pemanggangan

    berlangsung antara 25 sampai dengan 30 menit, tergantung suhu, jenis oven dan

    jenis kue. Semakin sedikit kandungan gula dan lemak, maka suhu

    pemanggangan dapat lebih tinggi (177-2040C). Oven yang digunakan sebaiknya

    tidak terlalu panas ketika cookies dimasukkan, sebab bagian luar akan terlalu

    matang. Hal ini dapat menghambat pengembangan dan permukaan cookies

    menjadi retak-retak. Cookies yang dihasilkan segera didinginkan untuk

    menurunkan suhu pengerasan pada cookies sebagai akibat memadatnya gula

    dan lemak (Hui, 1992). Suhu umum yang digunakan dalam pembuatan cookies

    adalah 28-320C dalam waktu 15-20 menit (Fellows, 1992).

    Dampak pada proses pemanggangan pun bisa menyebabkan susut gizi

    akibat kerusakan zat gizi tersebut. Kerusakan zat gizi pada bahan makanan yang

    dipanggang umumnya terkait dengan suhu yang digunakan dan lamanya

    pemanggangan. Pemanggangan berpengaruh juga terhadap asam amino lisin,

    yang terdapat terdapat dalam jumlah tertentu pada produk serealia. Lisin akan

    berkurang 15% selama pemanggangan.

    2.7 Reaksi-Reaksi yang Terjadi Selama Pemanggangan

    2.7.1 Gelatinisasi Pati

    Gelatinisasi adalah proses pembengkakan pati yang akan disebabkan

    oleh penambahan air panas (Pomeranz,1991). Granula pati tidak laut dalam air

    dingin, tetapu granula pati mengembang dalam air panas. Apabila suatu

    suspense dalam air dipanaskan, maka perubahan selama terjadi gelatinisasi

  • 22

    dapat diamati. Mula-mula suspense pati akan keruh seperti susu, kemudian tiba-

    tiba menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan.

    Terjadinya translusi pati tersebut, diikuti dengan pembengkakan granula, jika

    energi kinetik antar molekul–molekul air dapat menjadi lebih kuat daripada daya

    tarik-menarik antar molekul pati di dalam granula, akibatnya air dapat masuk ke

    butir-butir pati di dalam granula. Hal inilah yang akan mengakibatkan

    pembengkakan granula tersebut (Winarno, 2002).

    Gambar 2.4 Reaksi Gelatinisasi (Remsen dan Clark, 1978)

    Menurut Winarno (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi gelatinisasi

    adalah:

    a. Jenis pati

    Jenis pati yang berbeda akan memiliki kekuatan mengontrol yang berbeda

    pula.

    b. Suhu pati

    Suhu dimana pati mulai mengalami perubahan diatas disebut suhu

    gelatinisasi. Suhu gelatinisasi tergantung dari konsentrasi pati. Semakin kental

    larutan pati, suhu gelatinisasi akan semakin lambat tercapai, namun pada

    suhu tertentu kekentalan tidak bertambah dan akan cenderung turun. Secara

    umum suhu gelatinisasi pati umbi batang seperti kentang dan tapioka lebih

    rendah dibanding kan pati serealia seperti jagung dan gandum. Suhu

    gelatinisasi pati cassava sendir berkisar antar 52-65 0C (Estiasih, 2006).

  • 23

    c. Kandungan amilosa

    Ada dua macam komponen dalam pati yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa

    merupakan rangkaian lurus yang tidak bercabang pada 1,6α-glikosida.

    Amilosa merupakan salah satu komponen pati yang berperan pada proses

    gelatinisasi di samping ukuran granula itu sendiri.

    2.7.2 Reaksi Mailard

    Menurut Winarno (2002), reaksi Mailard merupakan reaksi yang terjadi

    antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dan gugus amina primer. Hasil

    reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat, yang sering dikehendaki

    atau kadang-kadang malahan menjadi pertanda penurunan mutu. Gugus asam

    amino primer biasanya terdapat pada bahan awal berupa asam amino. Reaksi

    mailard berlangsung melalui tahap-tahap sbb:

    1) Aldosa (gula pereduksi) bereaksi dengan asam amino atau dengan gugus

    amino dari protein sehingga dihasilkan basa Schiff

    2) Perubahan terjadi menurut reaksi amadori sehingga menjadi amino ketosa

    3) Hasil reaksi amadori mengalami dehidrasi membentuk furfural dehida dari

    pentose atau hidroksil metal furfural dar heksosa

    4) Proses dihidrasi selanjutnya menghaslkan produk antara berupa metal-

    dikarbonil yang diikuti penguraian menghasilkan reduktor dan –dikarboksil

    seperti metilglioksal, asetol dan siasetil

    5) Aldehida-aldehida aktif dari 3 dan 4 terpolimerisasi tanpa mengikutsetakan

    gugus amino membentuk senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin.

    Reaksi mailard berlangsung cepat pada suasana alkalis dan dalam

    bentuk larutan. Meskipun demikian, pada kadar air 13% sudah terjadi

    pencoklatan.

    Gambar 2.5 Reaksi Mailard (Belitz et al., 2009)