Upload
dinhquynh
View
220
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Universitas Esa Unggul
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Skizofrenia
2.1.1.1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan
serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran
konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan
interpersonal, serta memecahkan masalah (Stuart, 2006).
Skizofrenia merupakan gangguan psikiatris serius yang dicirikan
melalui kelemahan komunikasi akibat kehilangan kontak dengan
realita dan kemunduran tingkat fungsi dalam bekerja, hubungan
sosial atau pemeliharaan diri dari sebelumnya (Aprilistyawati,
2013). Diagnosis skizofrenia mensyaratkan setidaknya satu
gejala diantara delusi, halusinasi, atau ucapan yang tidak
terorganisir (Mahan dan Raymon, 2017).
2.1.1.2. Tipe-Tipe Skizofrenia
Dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia tahun
2015, bentuk-bentuk skizofrenia meliputi :
a. Skizofrenia Paranoid
Gangguan skizofrenia yang didominasi oleh waham
paranoid yang relatif stabil, biasanya disertai dengan
halusinasi, terutama berbagai variasi halusinasi dengar dan
gangguan persepsi lainnya. Tanda gangguan berlangsung
terus-menerus sedikitnya selama 6 bulan (Stuart, 2006 ;
WHO, 2004).
b. Skizofrenia Hebefrenik (Skizofrenia disorganisasi)
Gangguan skizofrenia yang biasanya timbul pada usia
remaja atau dewasa awal, dengan perubahan afektif yang
menonjol, waham dan halusinasi yang singkat dan terpecah,
perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat
diramalkan serta seringkali disertai dengan manerisme.
Ditandai dengan ketidaklogisan (proses berpikir tidak
terorganisasi), mood dangkal dan tidak sesuai, pembicaraan
inkoheren serta cenderung menarik diri secara sosial.
Prognosisnya cenderung buruk karena perkembangan gejala
negatif terjadi dengan cepat, terutama afek datar atau tumpul
dan kehilangan minat dalam semua hal (WHO, 2004).
c. Skizofrenia Katatonik
Gangguan skizofrenia yang didominasi oleh
menonjolnya gangguan psikomotor seperti hiperkinesis dan
Universitas Esa Unggul
12
stupor, atau kepatuhan otomatik dan negatifisme. Sikap dan
posisi tubuh yang terbatas mungkin dipertahankan dalam
periode yang cukup lama. Gambaran klinis yang menonjol
dapat berupa episode kesenangan terhadap kekerasan (WHO,
2004).
d. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated Type)
Merupakan kondisi yang memenuhi kriteria diagnostik
umum untuk skizofrenia, tetapi tidak memenuhi salah satu
dari subtipe skizofrenia lain (WHO, 2004).
e. Skizofrenia Residual
Stadium kronik dalam perkembangan penyakit
skizofrenia, yang progresivitasnya jelas dimulai dari stadium
awal, terdiri dari satu atau lebih episode ke stadium lebih
lanjut, ditandai oleh adanya gejala negatif jangka panjang
yang kadang-kadang ireversibel serta adanya perburukan
seperti keterlambatan psikomotor, aktivitas rendah, afek
tumpul, pasif, kurang inisiatif, kuantitas dan isi pembicaraan
buruk, serta rendahnya perawatan diri, penampilan sosial dan
komunikasi non verbal (WHO, 2004).
f. Skizofrenia Simpleks (Skizofrenia Sederhana)
Suatu gangguan munculnya perilaku aneh, tidak
mampu memenuhi tuntutan masyarakat, kehilangan ambisi,
minat, dan inisiatif yang tersembunyi dan membahayakan
secara berangsur, melakukan penarikan diri secara sosial, dan
mengalami penurunan penampilan total, yang terjadi secara
mendadak tetapi progresif (Aprilistyawati, 2013; WHO,
2004).
2.1.1.3. Gejala Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan mental yang ditandai
dengan beberapa domain gejala, terutama gejala positif
(halusinasi dan delusi), dan gejala negatif (afek tumpul,
rendahnya kemampuan berbicara, kehilangan minat, dan
penarikan sosial), serta gangguan kognitif dengan penurunan
fungsional yang lambat namun progresif (Lasevoli et al., 2014).
Menurut National Institute of Mental Health (2007), gejala
skizofrenia terbagi dalam tiga kategori umum:
a. Gejala Positif
Meliputi pemikiran atau persepsi yang tidak biasa,
termasuk halusinasi, delusi, gangguan pikiran, dan gangguan
gerakan. Gejala positif skizofrenia berhubungan dengan
gangguan sirkuit mesolimbik yang merupakan bagian dari
sistem limbik otak yang dianggap terlibat dalam banyak
Universitas Esa Unggul
13
perilaku seperti sensasi yang menyenangkan, serta delusi dan
halusinasi. Neurotransmiter yang mengatur fungsi neuronal
mesolimbik termasuk dopamin, yang memainkan peran
pengatur yang dominan, serta beberapa neurotransmitter lain
yang memainkan peran regulasi yang penting tetapi mungkin
lebih sedikit, seperti serotonin, asam gamma-aminobutirik
(GABA), dan glutamat (glu). Secara khusus, gejala positif
sering terjadi berkaitan dengan gejala agresif seperti
penyerangan dan umpatan (Stahl, 2008).
b. Gejala Negatif
Meliputi penurunan kemampuan untuk memulai
rencana, berbicara, mengekspresikan emosi, atau menemukan
kesenangan dalam kehidupan sehari-hari. Gejala ini lebih
sulit dikenali sebagai bagian dari gangguan skizofrenia dan
bisa disalah artikan sebagai bentuk kemalasan atau depresi.
Gejala negatif secara hipotetis terkait dengan gangguan
sirkuit mesokortikal dan mungkin juga melibatkan daerah
mesolimbik seperti nukleus akumbens, yang merupakan
bagian dari sirkuit penghargaan (reward circuit) otak dan
dengan demikian memainkan peran dalam motivasi. Nukleus
akumbens juga dapat terlibat dalam peningkatan tingkat
penggunaan zat dan penyalahgunaan yang terlihat pada
pasien dengan skizofrenia. Gejala negatif dapat terjadi dan
tumpang tindih bersama dengan gejala kognitif dan gejala
afektif seperti kehilangan minat (Stahl, 2008).
c. Gejala Kognitif
Merupakan gangguan yang mempengaruhi atensi, jenis
memori tertentu, dan fungsi eksekutif. Defisit kognitif juga
sulit dikenali sebagai bagian dari gangguan skizofrenia
namun merupakan gangguan yang paling melumpuhkan
dalam menjalani kehidupan normal. Gejala kognitif
skizofrenia secara hipotesis terkait dengan pemrosesan
informasi abnormal di korteks prefrontal dorsolateral.
Korteks prefrontal dorsolateral dihipotesiskan berperan
dalam mengatur kognisi dan fungsi eksekutif (Stahl, 2008).
2.1.1.4. Patofisiologi
Asal-usul dan penyebab skizofrenia belum sepenuhnya
diketahui. Namun, sebagian besar diasumsikan sebagai kelainan
heterogen yang kemungkinan diakibatkan oleh kombinasi faktor
biokimia, genetik dan lingkungan, gizi, serta infeksi (Mahan dan
Raymon, 2017).
Universitas Esa Unggul
14
a. Faktor Biokimia
Kemungkinan ketidakseimbangan sistem kimia otak
yang saling terkait dan melibatkan neurotransmiter dopamin
dan glutamat, berperan dalam skizofrenia (Bennasir et al.,
2010). Dopamin adalah neurotransmiter yang terlibat dalam
patologi skizofrenia (Brisch et al., 2014). Hipotesis dopamin
klasik tentang skizofrenia menyatakan adanya hiperaktivitas
transmisi dopaminergik pada reseptor dopamin D2 dalam
proyeksi mesensefalik ke striatum limbik terutama pada
etiologi gejala positif. Selain itu, gejala negatif dan gejala
ekstrapiramidal (EPS) telah dipostulasikan berkaitan dengan
defisit dalam aktivitas dopaminergik pada sistem
mesokortikal dan nigrostriatal (Gaur et al., 2008). Sementara
itu, hipotesis dopamin yang direvisi menyatakan bahwa
terdapat kelainan dopamin di daerah otak mesolimbik dan
prefrontal pada skizofrenia (Brisch et al., 2014).
Adapun gagasan teori glutamat berakar dari
pengamatan bahwa ketika phensiklidin hidroklorida (PCP)
diberikan kepada orang normal, maka dapat memicu gejala-
gejala psikosis yang sangat menyerupai skizofrenia. Peran
utama PCP adalah mengurangi aktivitas glutamat pada
reseptor NMDA yang merupakan reseptor glutamat didalam
otak yang berperan dalam mengendalikan kecepatan kerja
neurotransmiter di sinaps dan fungsi memori. Teori ini
mendapatkan dukungan kuat ketika diketahui bahwa aktivitas
NMDA (N-methyl-D-aspartate) yang meningkat dapat
mengurangi gejala-gejala skizofrenia secara efektif (Walsh,
2015).
b. Faktor Genetik dan Lingkungan
Terdapat kecenderungan skizofrenia dapat ditularkan
secara genetis (Fadhli, 2010). Risiko skizofrenia meningkat
sekitar 9% pada seseorang yang mempunyai hubungan
keluarga tingkat satu (seperti orang tua, saudara laki-laki atau
perempuan) dengan gangguan skizofrenia, atau, pada kasus
anak-anak dari dua orang tua yang terkena dampak, sekitar
27%. Sedangkan, pada anak angkat dengan orang tua biologis
penderita skizofrenia berisiko mengalami skizofrenia sekitar
6-10 kali lebih tinggi daripada populasi umum (Giegling et
al., 2017).
Gen berada pada 23 pasang kromosom yang ditemukan
di setiap sel. Setiap individu mewarisi dua salinan dari setiap
gen, satu dari setiap induknya. Beberapa gen ini dianggap
Universitas Esa Unggul
15
terkait dengan peningkatan risiko skizofrenia, namun para
ilmuwan meyakini bahwa setiap gen memiliki efek yang
sangat kecil terhadap kejadian skizofrenia. Beberapa faktor
lingkungan telah diperkirakan sebagai faktor risiko, seperti
paparan virus atau kekurangan gizi di dalam rahim, masalah
saat lahir, dan faktor psikososial, seperti kondisi lingkungan
yang penuh tekanan (National Institute of Mental Health,
2007).
Interaksi antara risiko genetik dan stresor lingkungan
mempengaruhi metilasi DNA, memproduksi perubahan
ekspresi gen melalui epimutasi. Mekanisme penting dimana
efek samping dari faktor risiko lingkungan dapat
mempengaruhi ekspresi gen merupakan faktor epigenetik
(Moran et al., 2016). Modulasi epigenetik aktivitas DNA
berlanjut sepanjang umur, sebagai respons terhadap
perubahan atau lingkungan patologis, bahkan pada sel
somatik dan neuron yang terdiferensiasi sepenuhnya.
Kerentanan seumur hidup terhadap pengaruh lingkungan ini
memberi mekanisme adaptasi genom terhadap lingkungan.
Namun, hal itu juga memungkinkan patogen lingkungan
mencapai inti sel dan mempengaruhi genom dengan
menciptakan keadaan epigenetik abnormal yang dapat
menginduksi disregulasi perkembangan dan atau fungsi serta
meningkatkan risiko penyakit kompleks, termasuk kanker
dan skizofrenia (Svrakic et al., 2013).
c. Faktor Gizi
Asupan zat gizi merupakan faktor penting yang
mempengaruhi kesehatan mental dan perkembangan
gangguan kejiwaan seperti skizofrenia. Selain itu, zat gizi
yang tepat selama kehamilan sangat penting untuk
perkembangan otak janin yang optimal. Hal ini
dimungkinkan karena insufisiensi gizi (misalnya, asam folat,
asam lemak esensial, zat besi, vitamin A, vitamin D)
meningkatkan risiko spontan mutasi genetik dan atau
mengganggu perkembangan saraf yang tepat, sehingga
meningkatkan risiko skizofrenia (King et al., 2010; Opler et
al., 2013; Lim et al., 2016).
Salah satu faktor gizi penting yang dapat berkontribusi
pada perkembangan skizofrenia sebelum konsepsi adalah
berkurangnya kadar folat pada ibu, suatu mikronutrien yang
diperlukan untuk pembelahan sel. Selama kehamilan,
kebutuhan tubuh akan folat meningkat (Opler et al., 2013).
Universitas Esa Unggul
16
Kadar folat ibu yang rendah dan kadar homosistein yang
meningkat pada trimester ketiga dapat menjadi faktor risiko
untuk skizofrenia melalui efek perkembangan pada struktur
dan fungsi otak dan atau melalui kerusakan halus pada
pembuluh darah plasenta yang membahayakan pengiriman
oksigen ke janin (Ramachandran dan Thirunavakarasu,
2012).
d. Faktor Infeksi
Infeksi bakteri maternal dianggap sebagai salah satu
faktor yang berkaitan dengan risiko berkembangnya psikosis.
Sebuah studi menggunakan data kohort perinatal Kopenhagen
telah mengidentifikasi 85 kasus skizofrenia. Dalam kasus ini,
paparan trimester pertama terhadap infeksi bakteri dikaitkan
dengan peningkatan risiko skizofrenia, yang menunjukkan
adanya hubungan antara infeksi bakteri ibu selama kehamilan
dan keturunan berisiko skizofrenia. Asosiasi antara risiko
skizofrenia dan paparan pra lahir terhadap infeksi (baik virus
maupun bakteri) dapat dimediasi melalui saluran sitokin
trans-plasenta yang diproduksi oleh ibu sebagai respons
terhadap infeksi. Misalnya, Interleukin-8 (IL-8) melintasi
penghalang plasenta dan telah terlibat dalam perkembangan
otak awal (Mufaddel et al., 2014). Peningkatan kadar IL-8 ibu
hamil terkait secara signifikan dengan penurunan volume
otak, yaitu volume yang lebih rendah dari cingulum posterior
kanan dan korteks entorhinal kiri serta volume ventrikel yang
lebih tinggi pada keturunan skizofrenia (Muller et al., 2015).
Selain itu, beberapa virus dan patogen lain yang berimplikasi
pada perkembangan skizofrenia yakni :
1) Rubella
Rubella pada masa prenatal adalah teratogen sistem
saraf yang dikenal luas dan mungkin merupakan penyebab
beberapa gangguan kejiwaan masa kanak-kanak. Sebuah
penelitian yang memeriksa risiko skizofrenia pada peserta
kohort di kota New York yang terlahir dari ibu dengan
rubella klinis, menemukan bahwa 20 % dari subyek yang
terkena rubella pra lahir didiagnosis dengan skizofrenia
dewasa dan menunjukkan peningkatan risiko 10 hingga 20
kali lipat (Duggal et al., 2008).
2) Influenza
Di antara infeksi in utero yang merupakan faktor
risiko yang mungkin untuk skizofrenia, influenza telah
paling sering diperiksa. Sebuah studi dari Denmark
Universitas Esa Unggul
17
menggunakan database registri longitudinal nasional pada
catatan kesehatan, menunjukkan peningkatan risiko
skizofrenia yang terkait dengan influenza ibu selama
kehamilan (Duggal et al., 2008).
3) Cytomegalovirus (CMV)
CMV mungkin memainkan peran penting dalam
etiologi skizofrenia. Penelitian telah melaporkan bahwa
beberapa pasien yang mengalami episode awal skizofrenia
memiliki peningkatan kadar antibodi IgG terhadap CMV
dalam serum dan cairan serebrospinal. Argumen yang
paling kuat terhadap peran CMV pada skizofrenia adalah
tidak adanya perubahan neuropatologis yang biasa pada
otak individu dengan skizofrenia (Duggal et al., 2008).
2.1.1.5. Skor PANSS
PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale) adalah salah
satu instrumen paling penting yang digunakan untuk mengevaluasi
gejala kejiwaan. Instrumen ini dikembangkan untuk mengkaji
keparahan gejala, mengukur psikopatologi umum dan perubahan terkait
obat. PANSS telah menjadi instrumen penting dalam penelitian
skizofrenia dan sering digunakan untuk mengkaji kemanjuran obat
antipsikotik. PANSS telah divalidasi dalam beberapa bahasa (Higuchi et
al., 2014).
Uji reliabilitas, validitas, dan uji sensitivitas PANSS telah
dilakukan oleh A. Kusumawardhani serta tim dari Fakultas Kedokteran
UI pada tahun 1994 untuk dapat digunakan terhadap pasien skizofrenia
Indonesia (Kusumawardhani, 1994 dalam Yulianti, 2015). Reliabilitas
internal diuji dengan rumus koefisien alfa dari Cronbach terhadap 140
pasien skizofrenia. Untuk gejala positif didapat alfa 0,725, untuk gejala
negatif didapat 0,838, dan untuk gejala psikopatologi umum didapat
0,684. Realibilitas interater oleh tiga orang psikiater untuk masing-
masing skala meliputi 0,923 untuk gejala positif, 0,921 untuk gejala
negatif, 0,912 untuk indeks komposit, dan 0,838 untuk gejala
psikopatologi umum. Reliabilitas test-retest juga dilakukan, dengan
hasil 0,604 untuk gejala positif, 0,802 untuk gejala negatif, 0,884 untuk
indeks komposit, dan 0,565 untuk gejala psikopatologi umum
(Kusumawardhani, 1994 dalam Ambarwati, 2009).
PANSS terdiri dari 33 butir antara lain: 7 butir skala positif, 7
butir skala negatif, 16 butir psikopatologi umum dan terdapat 3 butir
tambahan untuk menilai adanya risiko agresi. PANSS dinilai oleh
klinisi yang telah terlatih dan dinilai pada skala 1-7. Nilai 1 (tidak ada),
2 (minimal), 3 (ringan), 4 (sedang), 5 (agak berat), 6 (berat), 7 (sangat
berat) sehingga rentang skala positif dan negatif dari 7-49 dan rentang
Universitas Esa Unggul
18
skala psikopatologi umum dari 16 sampai 112 (Ambarwati, 2009;
Lestari, 2018).
a. Skala Positif
Meliputi waham (delusi), kekacauan proses pikir, perilaku
halusinasi, gaduh gelisah (excitement), waham kebesaran,
kecurigaan/kejaran dan permusuhan (Lestari, 2018).
b. Skala Negatif
Meliputi afek tumpul, penarikan emosional, kemiskinan
rapport, penarikan diri dari hubungan sosial secara pasif/apatis,
kesulitan dalam pemikiran abstrak, kurangnya spontanitas dan arus,
pemikiran stereotipik (Lestari, 2018).
c. Skala Psikopatologi Umum
Skala psikopatologi umum dimasukkan sebagai tambahan
penting untuk penilaian positif-negatif karena skala ini dapat
berfungsi sebagai titik acuan, atau ukuran kontrol, untuk menafsirkan
skor sindrom. Skala ini tidak diasumsikan secara statistik atau
konseptual berbeda dari penilaian positif-negatif, tetapi hanya dapat
digunakan sebagai tolak ukur dari gejala nonspesifik tertentu untuk
menilai keparahan manifestasi positif dan negatif yang berbeda (Kay
et al., 1967).
2.1.1.6. Penatalaksanaan Skizofrenia
Berdasarkan The Nice Guideline on Treatment and Management
tahun 2014 tentang panduan tata laksana terhadap psikosis dan
skizofrenia pada orang dewasa. Intervensi yang diberikan untuk
memperbaiki skor gejala yang dapat dinilai dari skor PANSS (Positive
and Negative Syndrome Scale) meliputi intervensi farmakologi
(pemberian obat antipsikotik), intervensi psikologis (terapi perilaku
kognitif, terapi remediasi kognitif, dukungan psikoterapi dan konseling,
intervensi keluarga, psikoterapi psikodinamik dan psikoanalisis,
pendidikan psikososial, pelatihan keterampilan sosial serta terapi seni)
dan intervensi diet atau gizi.
Saat ini, pengobatan antipsikotik (dengan atau tanpa
psikoterapi) merupakan pengobatan utama bagi individu dengan
skizofrenia. Pengobatan optimal dan efektif dalam mengelola gejala
positif itu terbatas dalam hal mengobati gejala negatif. Selain
kekurangan pengobatan ini, terapi jenis ini hanya berdasarkan
simptomatologi dan dosisnya sering ditentukan oleh proses trial and
error. Pada mereka yang merespons obat antipsikotik, efek sampingnya
bisa menyusahkan dan sering tak tertahankan, termasuk gerakan tak
disengaja seperti tremor dan kekakuan, tardive dyskinesia, hipersaliva,
peningkatan denyut jantung, sindrom metabolik dan penambahan berat
badan. Seringkali efek sampingnya sendiri memerlukan perawatan
Universitas Esa Unggul
19
farmakologis lebih lanjut dan atau mengakibatkan penghentian
pengobatan yang berakhir pada kekambuhan. Selain itu, kira-kira
sepertiga penderita skizofrenia tidak menanggapi pengobatan
antipsikotik, baik sendiri atau bersamaan dengan konseling
psikodinamik dan farmakoterapi lainnya (Arroll et al., 2014).
Di lain sisi, faktor gizi yang dapat diberikan melalui intervensi
gizi atau diet mampu memperbaiki skor gejala dan perkembangan
kelainan meski bukan merupakan etiologi utama. Faktor gizi yang
memiliki efek menguntungkan pada kesehatan mental adalah
polyunsaturated fatty acids atau asam lemak esensial tak jenuh ganda,
terutama omega-3, fosfolipid, kolesterol, niasin, vitamin B9 (folat, asam
folat), vitamin B6, vitamin B12 dan vitamin D (Lim et al., 2016).
2.1.2. Polyunsaturated Fatty Acids (Asam Lemak Tak Jenuh Ganda)
Polyunsaturated fatty acids (PUFA) memainkan peran penting
dalam pemeliharaan kondisi fisiologis normal. PUFA meliputi dua kelompok
penting yaitu asam lemak omega-3 dan omega-6 yang merupakan asam lemak
esensial sehingga tidak dapat disintesis dalam tubuh dan harus diperoleh dari
diet atau asupan makanan (Medic et al., 2013). PUFA adalah komponen utama
fosfolipid membran sel dan terlibat dalam peran biologis penting yang berbeda
seperti pengikatan reseptor, neurotransmisi dopaminergik, serotonergik dan
glutamatergik, transduksi sinyal, dan sintesis eikosanoid (Schlogelhofer et al.,
2014).
2.1.2.1. Asam Lemak Omega-3
Asam lemak omega-3 merupakan salah satu asam lemak yang
memiliki ikatan tak jenuh ganda. Asam lemak omega-3 meliputi asam
α-linolenat (ALA) yang bersumber dari nabati, serta asam
eikosapentanoat (EPA) dan asam dokosaheksaenoat (DHA) yang
bersumber dari hewani. Induk dari asam lemak omega-3 adalah asam α-
linolenat (ALA). Di dalam tubuh, asam α-linolenat (ALA) akan diubah
menjadi asam eikosapentanoat (EPA) dan asam dokosaheksaenoat
(DHA) dengan bantuan enzim desaturase dan elongase. ALA (asam α-
linolenat) (C18:3, n-3) adalah 18 karbon panjang dengan tiga ikatan
rangkap. Sedangkan EPA (asam eikosapentanoat) (C20:5, n- 3) adalah
20 karbon panjang dengan lima ikatan rangkap, dan DHA (asam
dokosaheksaenoat) (C22:6, n-3) adalah 22 karbon panjang dengan enam
ikatan rangkap (Akter et al.,, 2012; Lingga, 2012; Diana, 2012).
a. Fungsi
Omega-3 adalah asam lemak esensial anti inflamasi yang
berperan penting dalam fungsi otak, serta pertumbuhan dan
perkembangan normal. DHA adalah komponen struktural utama
membran neuronal dan perubahan komposisi asam lemak membran
neuronal yang menyebabkan perubahan fungsional pada aktivitas
Universitas Esa Unggul
20
reseptor dan protein lainnya yang tertanam dalam membran
fosfolipid. Sedangkan EPA memiliki fungsi fisiologis penting yang
dapat mempengaruhi fungsi saraf karena merupakan prekursor
penting dari eikosanoid dan modulator sitokin yang memiliki
neurotransmiter dan efek neuromodulator (Bozzatello et al., 2016;
Peet, 2008; Balasubramanian, 2013).
Asam lemak omega-3 berfungsi memperkaya membran sel
otak dengan menjaga lembaran mielin untuk membantu memperbaiki
kerusakan sel saraf di otak dengan mempromosikan pertumbuhan sel
saraf di otak. Pada korteks prefrontal (PFC) otak, asam lemak
omega-3 yang rendah dianggap dapat menurunkan neurotransmisi
dopaminergik, yang mungkin berkontribusi terhadap gejala negatif
dan neurokognitif pada skizofrenia. Penurunan fungsi sistem
dopamin di PFC dapat menyebabkan aktivitas yang berlebihan dalam
fungsi dopaminergik pada sistem limbik otak, yang dikontrol oleh
sistem dopamin PFC, sehingga dapat menyebabkan gejala positif
skizofrenia (Balasubramanian, 2013).
b. Absorpsi dan Metabolisme
Sifat fisis dan sifat kimia metabolisme, pencernaan, absorpsi
dan sekresi omega-3 sama dengan lemak (Diana, 2012). Pencernaan
lemak tidak terjadi di mulut dan lambung, melainkan di dalam usus
karena usus mengandung enzim lipase. Adapun absorpsi lemak
terutama terjadi dalam jejunum, dan hasil pencernaan lemak
diabsorpsi ke dalam mukosa usus halus dengan cara difusi pasif
(Doloksaribu, 2016).
c. Defisiensi
Gejala kekurangan asam lemak omega-3 meliputi kelelahan,
kekurangan memori, kulit kering, masalah jantung, mood swings atau
depresi dan sirkulasi yang buruk (Balasubramanian, 2013).
d. Sumber Makanan
Sumber makanan utama asam α-linolenat (ALA) adalah
minyak nabati (seperti minyak biji rami, minyak sayur dan walnut),
sayuran hijau, biji gandum, kedelai, kenari, kacang-kacangan,
alpukat, ganggang laut. Sedangkan satu-satunya sumber asam
eikosapentanoat (EPA) dan asam dokosaheksaenoat (DHA) adalah
ikan dan makanan laut lainnya (Akter et al., 2012; Lingga, 2012).
2.1.2.2. Asam Lemak Omega-6
Asam lemak omega-6 berasal dari asam linoleat (LA), yang
dapat dikonversi menjadi asam gamma linolenat 18 karbon (GLA), dan
asam arakidonat 20 karbon (AA) serta dihomogamma-asam linolenat
(DGLA). Peran omega-6 menjadi penting karena sifatnya yang
mendukung fungsi omega-3 (Diana, 2012).
Universitas Esa Unggul
21
a. Fungsi
Didalam tubuh termasuk sistem saraf, asam linoleat (LA)
melalui reaksi enzimatis yang melibatkan enzim desaturase dan
elongase, akan diubah menjadi asam arakidonat (AA), yang
merupakan prekursor kunci dalam sintesis prostaglandin dan
leukotrien (Muchtadi, 2015; Lingga, 2012). Asam arakidonat sangat
penting untuk pertumbuhan otak, dan kekurangan ringan dikaitkan
dengan berat lahir rendah. Selain itu, asam arakidonat juga
memainkan peran kunci dalam proses seluler yang mendasari
pembelajaran dan ingatan (Richardson, 2004; Grosso et al., 2014).
b. Absorpsi dan Metabolisme
Sifat fisis dan sifat kimia, metabolisme, pencernaan dan
absorpsi serta sekresi sama dengan lemak (Diana, 2012). Pencernaan
lemak tidak terjadi di mulut dan lambung, melainkan di dalam usus
karena usus mengandung enzim lipase. Adapun absorpsi lemak
terutama terjadi dalam jejunum, dan hasil pencernaan lemak
diabsorpsi ke dalam mukosa usus halus dengan cara difusi pasif
(Doloksaribu, 2016).
c. Defisiensi
Kekurangan omega-6 dapat menyebabkan perubahan perilaku,
rambut rontok, gangguan kulit, penurunan kekebalan tubuh, kelainan
detak jantung, kulit tipis dan kering, rambut kering, serta kuku rapuh,
mata kering, kerusakan ginjal dan infiltrasi lemak hati (Diana, 2012).
d. Interaksi dengan Omega-3
Asam lemak omega-6 dan omega-3 berperan sebagai
prekursor atau bahan baku senyawa eikosanoid yaitu senyawa yang
sangat reaktif (Diana, 2012). Secara umum, eikosanoid yang berasal
dari asam lemak omega-6 adalah pro inflamasi sedangkan eikosanoid
yang berasal dari asam lemak omega-3 adalah anti inflamasi (Grosso
et al., 2014). Ketika rasio omega-6 terhadap omega-3 terlalu tinggi,
maka ketersediaan omega-3 akan ditekan oleh omega-6 yang
memicu peningkatan eikosanoid buruk dan memicu stres oksidatif
(Lingga, 2012).
Stres oksidatif mengacu pada ketidakseimbangan radikal
bebas. Kegagalan pertahanan antioksidan untuk melindungi terhadap
radikal bebas akan merusak membran sel dengan akibat disfungsi
yang dapat berdampak pada transmisi neurotransmiter dan simptom
pada skizofrenia (Flatow et al., 2013). Gangguan pada keseimbangan
oksidatif sejalan dan konsisten dengan peningkatan keparahan gejala
(simptom) negatif pada penderita skizofrenia (Gunes et al., 2017).
Asam lemak omega-6 lebih sering ditemukan dan dikonsumsi,
karena asam linoleat (LA) terdapat pada kebanyakan minyak nabati
Universitas Esa Unggul
22
sedangkan asam arakidonat (AA) ditemukan secara langsung pada
produk daging dan susu (Richardson, 2004).
e. Sumber Makanan
Asam linoleat ditemukan di sebagian besar minyak nabati,
kacang-kacangan, serealia. Sedangkan sumber makanan asam
arakidonat dapat berasal dari lemak hewani, produk daging dan susu,
hati, telur dan ikan (Akter et al., 2012; Lingga, 2012).
2.1.3. Rasio Omega-6/Omega-3
Di dalam tubuh, terdapat lebih dari 300 jenis lemak, dan otak
memiliki kandungan lemak yang sangat tinggi (kurang lebih 65 %). Asam
lemak tak jenuh khususnya penting karena dapat menjadi pelumas membran
sel dan membantu komunikasi antar sel-sel otak. Kegiatan ini terjadi di sinaps.
Lebih dari 90 % kandungan lipid di dalam sinaps berasal dari empat jenis
asam lemak, yang meliputi asam dokosaheksaenoat (DHA), asam
eikosapentanoat (EPA), asam arakidonat (AA), asam dihomo-gamma-
linolenat (DGLA). Proporsi ideal asam lemak esensial dalam asupan makanan
antara 3-6 gram omega-6 untuk setiap gram omega-3 (Walsh, 2015).
Rasio asam linoleat terhadap asam α-linolenat yang tinggi dalam
diet cenderung mengurangi jumlah asam α-linolenat yang diubah menjadi
asam eikosapentanoat (EPA) dan asam dokosaheksaenoat (DHA), dengan
menghambat kinerja enzim desaturase dan elongase. Peningkatan omega-6
akan meningkatkan pembentukan prostaglandin, tromboksan, leukotrien, asam
lemak hidroksil, lipoksin. Sedangkan EPA dan DHA bertindak sebagai
penghambat kompetitif asam lemak omega-6 yang menyebabkan penurunan
sintesis mediator pro inflamasi (Junaidi, 2010; Mann dan Truswell, 2014;
Lingga, 2012).
2.1.4. Vitamin
Vitamin merupakan nutrien organik yang dibutuhkan dalam jumlah
kecil untuk berbagai fungsi biokimiawi dan yang umumnya tidak disintesis
oleh tubuh sehingga harus dipasok dari makanan (Triana, 2006). Vitamin
memainkan peran utama dalam sejumlah fungsi vital. Kekurangan vitamin
mengarah pada kerusakan oksidatif, defisit metilasi, serta mempengaruhi
mekanisme perkembangan otak dan neurodegenerasi. Sebagian besar
defisiensi vitamin menghasilkan gejala psikiatri, terutama defisiensi vitamin D
dan vitamin B kompleks (vitamin B6, B9 dan B12) yang terlibat dalam
gangguan skizofrenia (Ramachandran dan Thirunavakarasu, 2012).
2.1.4.1. Vitamin D
Vitamin D merupakan nama generik dari dua molekul, antara
lain ergokalsiferol (vitamin D2) dan kolekalsiferol (vitamin D3).
Vitamin D2 dan D3 tersedia dalam makanan tetapi hanya vitamin D3
yang disintesis di kulit oleh radiasi ultraviolet B (UVB) dari sinar
matahari (Yuksel et al., 2014).
Universitas Esa Unggul
23
a. Fungsi
Vitamin D dikenal luas karena perannya yang penting dalam
penyerapan kalsium dan kesehatan tulang. Selain berperan dalam
kesehatan tulang, Vitamin D tampak berperan aktif dalam
perkembangan dan fungsi normal dari beberapa sistem organ tubuh
termasuk otak. Telah ditemukan bahwa pasien dengan penyakit
kejiwaan khususnya skizofrenia memiliki kemungkinan mengalami
defisiensi vitamin D dibandingkan dengan populasi umum (Chiang
et al., 2016).
b. Absorpsi dan Metabolisme
Ergokalsiferol (D2) dan kolekalsiferol (D3) dalam diet atau
makanan bersifat non-aktif secara biologis dan diaktivasi menjadi
25-hidroksivitamin D di hati (bentuk ini memiliki jumlah aktivitas
biologis yang terbatas) (Webster-Gandy et al., 2014). Vitamin D2
dan D3 diabsorpsi dalam usus halus bersama lipida dengan bantuan
cairan empedu. Vitamin D2 dan D3 dari bagian atas usus halus
diangkut oleh D-plasma binding protein (DBP) ke hati dimana
keduanya dihidroksilasi untuk membentuk vitamin D (25-OH),
yaitu, 25-hidroksivitamin D (Yuksel et al., 2014 dan Almatsier,
2009).
25(OH)D masih belum berupa metabolit aktif. 25(OH)D
harus mempunyai gugus hidroksil ketiga (OH) yang berada pada
atom karbon 1. Reaksi penambahan gugus hidroksil ini dilakukan
oleh enzim, 1-α-hidroksilase, di dalam ginjal (dalam mitokondria
tubulus kontortus proksimal) untuk memproduksi 1,25-
dihidroksivitamin D atau 1,25(OH)2D yang disebut kalsitriol
(Mann dan Truswell, 2014).
c. Defisiensi
McGrath mengemukakan bahwa defisiensi prenatal vitamin
D mungkin merupakan faktor risiko skizofrenia (Azar et al., 2017).
Dalam sebuah penelitian laboratorium, perkembangan otak dinilai
pada tikus neonatal yang ibunya kekurangan vitamin D dengan
menghilangkan vitamin D dari makanan dan menghilangkan
radiasi UVB (Ultraviolet B) dari pencahayaan di ruang
penyimpanan hewan. Efek pada otak keturunannya sangat
dramatis. Kekurangan vitamin D mengubah ukuran dan bentuk
otak neonatal, mengubah ekspresi faktor pertumbuhan, dan
mengubah proliferasi sel. Data ini mengkonfirmasi bahwa
defisiensi vitamin D dapat mempengaruhi struktur otak, seperti
pembesaran ventrikel dan penipisan kortikal yang berhubungan
dengan skizofrenia (Yuksel et al., 2014).
Universitas Esa Unggul
24
d. Interaksi dengan Obat-Obatan
Penggunaan obat antikonvulsan seperti barbiturat dapat
menyebabkan penurunan absorpsi vitamin D (Webster-Gandy et
al., 2014).
e. Sumber Makanan
Makanan hewani merupakan sumber utama vitamin D,
dalam kolekalsiferol, yaitu kuning telur, hati, beberapa ikan, krim,
mentega, daging merah, dan minyak hati-ikan. Vitamin D juga
didapat melalui sumber makanan seperti ikan berlemak, jamur dan
telur yang secara alami mengandung kadar vitamin D tinggi.
Vitamin D relatif stabil dan tidak rusak bila makanan dipanaskan
atau disimpan untuk jangka waktu yang lama (Almatsier, 2009;
Mann dan Truswell, 2014).
2.1.4.2. Vitamin B6
Vitamin B6 merupakan salah satu vitamin B kompleks
yang berfungsi dalam metabolisme protein dan asam amino,
biosintesis beberapa neurotransmiter terutama serotonin, dopamin
dan GABA (asam γ-amino butirat), metabolisme homosistein,
sintesis asam nukleat dan protein. Konsentrasi vitamin B6 di dalam
otak kurang lebih 100 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam darah.
Zat gizi ini berperan penting dalam proses kognitif dan mental
(Grober, 2012 ; Walsh, 2015).
a. Fungsi
Bentuk koenzim yang utama di dalam tubuh adalah PLP
(Piridoksal Fosfat). Vitamin B6 di dalam makanan dihidrolisis
oleh enzim fosfatase di dalam usus halus. Di dalam hati, ginjal,
dan otak, vitamin B6 difosforilasi kembali untuk kemudian diubah
menjadi bentuk PLP (Piridoksal Fosfat) oleh enzim oksidase.
Senyawa ini berfungsi dalam semua reaksi yang terlibat di dalam
metabolisme asam amino termasuk transaminasi dan sintesis asam
amino non esensial; deaminasi serin dan treonin; metabolisme
asam amino yang mengandung sulfur termasuk homosistein;
dekarboksilasi yang meliputi pembentukan neurotransmiter
adrenalin, noradrenalin, dopamin, serotonin, dan asam γ-amino
butirat (GABA); serta pembentukan asam δ-aminolevulinat yang
merupakan langkah pertama dalam sintesis porfirin untuk
membuat hemoglobin. Selain itu, pembentukan sfingolipida yang
diperlukan dalam pembentukan lapisan mielin yang menyarungi
sel-sel saraf juga memerlukan PLP (Piridoksal Fosfat). (Mann dan
Truswell, 2014; Almatsier, 2009; Walsh, 2015).
Universitas Esa Unggul
25
b. Absorpsi dan Metabolisme
Sebelum diabsorpsi, vitamin B6 di dalam makanan yang
terutama terdapat dalam bentuk fosforilasi, dihidrolisis oleh enzim
fosfatase di dalam usus halus. Di dalam hati, ginjal dan otak,
vitamin B6 difosforilasi kembali untuk diubah menjadi bentuk
PLP (Piridoksal Fosfat) oleh enzim oksidase. Fosforilasi dan
perubahan oksidatif vitamin B6 juga dapat terjadi di dalam sel
darah merah dimana PLP (Piridoksal Fosfat) terikat pada
hemoglobin. PLP (Piridoksal Fosfat) di dalam hati diikat oleh
apoenzim dan beredar di dalam darah dalam keadaan terikat
dengan albumin. PLP (Piridoksal Fosfat) yang tidak terikat diubah
menjadi asam piridoksat oleh enzim oksidase di dalam hati dan
ginjal, yaitu metabolit utama yang dikeluarkan melalui urin
(Almatsier, 2009).
c. Defisiensi
Gejala defisiensi vitamin B6 meliputi kelemahan umum,
sulit tidur, neuropati perifer, perubahan personalitas, dermatitis,
keilosis dan glositis, anemia serta gangguan imunitas (Mann dan
Truswell, 2014). Defisiensi vitamin B6 yang berat berkaitan
dengan perilaku mudah marah dan tersinggung, depresi, memori
jangka pendek yang buruk dan psikosis (Grober, 2012).
d. Interaksi dengan Zat Gizi Lain dan Obat
Asupan protein yang tinggi meningkatkan kebutuhan
vitamin B6 (Mann dan Truswell, 2014). Sedangkan, obat-obatan
tertentu dapat mengganggu metabolisme vitamin B6. Salah
satunya, isoniazida (Asam Iso Nikotenat Hidroksida/INH) yang
merupakan antagonis vitamin B6 karena membentuk kompleks
dengan Piridoksal Fosfat (PLP) yang tidak aktif. Penisillamin
yang digunakan dalam artritis reumatoid juga merupakan
antagonis vitamin B6. Selain itu, obat-obat kontraseptif juga
mampu mengakibatkan gangguan metabolisme triptofan yang
dapat menyebabkan defisiensi vitamin B6 (Almatsier, 2009).
e. Sumber Makanan
Sumber vitamin B6 dapat meliputi daging, produk biji-
bijian yang utuh, hati, ayam, telur, ikan, pisang, kentang, kacang,
sayur-sayuran seperti bayam, wortel, kembang kol, brokoli
(Junaidi, 2010; Mann dan Truswell, 2014).
2.1.4.3. Vitamin B9
Asam folat merupakan bentuk sintetik vitamin dan
merupakan molekul induk bagi sejumlah derivat yang dikenal
sebagai folat. Asam folat merupakan molekul yang sangat stabil
dengan aktivitas biologis yang tinggi. Asam folat digunakan dalam
Universitas Esa Unggul
26
fortifikasi makanan dan dalam suplemen. Sedangkan, folat
merupakan bentuk yang terdapat secara alamiah dalam makanan.
Bentuk aktifnya secara biologis adalah tetrahidrofolat (Webster-
Gandy et al., 2014; Grober, 2012).
Tetrahidrofolat (THF) memiliki komponen 1-karbon (metil
atau formil) yang terikat dengan atom nitrogen 5 atau 10, atau
menjadi jembatan di antara kedua atom tersebut (5, 10-metilen THF).
Serta memiliki hingga tujuh buah residu asam glutamat dalam bentuk
barisan (Mann dan Truswell, 2014).
a. Fungsi
Folat berperan dalam remetilasi homosistein menjadi
metionin dalam kombinasi dengan vitamin B12. Senyawa 5-metil
--THF bekerja sama dengan vitamin B12 dalam kerja enzim
metionin sintase yang menambahkan gugus metil pada
homosistein dan membentuk metionin serta THF (Tetrahidrofolat)
(Mann dan Truswell, 2014).
Tetrahidrofolat juga memainkan peran penting dalam
transfer 1–karbon di dalam tubuh. Senyawa ini menerima gugus
1–karbon dari asam amino, seperti serin, glisin, histidin, dan
triptofan, kemudian mendonasikannya pada dua tahap dalam
sintesis purin serta satu tahap yang penting dalam sintesis
pirimidin (Mann dan Truswell, 2014).
b. Absorpsi dan Metabolisme
Folat dalam makanan terdapat sebagai poliglutamat yang
harus terlebih dahulu dihidrolisis menjadi bentuk monoglutamat di
dalam mukosa usus halus, sebelum ditransportasi secara aktif ke
dalam sel usus halus. Pencernaan ini dilakukan oleh enzim
hidrolase, terutama conjugase pada mukosa bagian atas usus
halus. Hidrolisis poliglutamat folat dibantu oleh seng. Setelah
dihidrolisis, monoglutamat folat diikat oleh reseptor folat khusus
pada mikrovili dinding usus halus yang kemungkinan juga
merupakan alat angkut vitamin tersebut. Folat di dalam sel
kemudian diubah menjadi 5-metil tetrahidrofolat dan dibawa ke
hati melalui sirkulasi darah portal untuk disimpan. Di dalam hati,
asam metil tetrahidrofolat diubah menjadi asam tetrahidrofolat
dan gugus metil disumbangkan ke metionin. Tetrahidrofolat
kemudian bereaksi dengan enzim poliglutamat sintetase untuk
membentuk kembali poliglutamil folat yang kemudian berikatan
dengan berbagai macam enzim dan melakukan sebagian besar
fungsi metabolik vitamin tersebut. Folat yang dihidrolisis
meninggalkan hati dan bersirkulasi di dalam plasma dan empedu
sebagai 5-metil tetrahidrofolat. Setelah diambil dan digunakan
Universitas Esa Unggul
27
oleh sumsum tulang, folat bersirkulasi sebagai poliglutamat di
dalam simpanan sel darah merah. Folat dikeluarkan melalui feses
dan urin sebagai 5-metil tetrahidrofolat. Jumlah total folat tubuh
diperkirakan sekitar 10 mg yang separuhnya berada di dalam hati.
Folat yang diekskresikan ke dalam urin sangat sedikit. Lebih
banyak folat diekskresikan ke dalam getah empedu dan sekitar
separuhnya akan diserap kembali (Almatsier, 2009; Mann dan
Truswell, 2014).
c. Defisiensi
Tanda dan gejala defisiensi umum meliputi anoreksia,
mudah tersinggung, depresi, penurunan kemampuan untuk
berkonsentrasi, penurunan berat badan, napas pendek (Grober,
2012).
d. Interaksi dengan Zat Gizi Lain dan Obat
Folat berinteraksi dengan vitamin B12. Vitamin C dalam
makanan akan mengurangi kehilangan folat dalam proses
memasak makanan. Beberapa obat mengganggu metabolisme
folat yang sebagian besar diantaranya terjadi melalui sifat
antagonis dihidrofolat reduktase (yang mengubah 2H folat
menjadi 4H folat, yaitu THF (tetrahidrofolat)) meliputi
metotreksat, aminopterin, ametopterin, pirimetamin dan
kotrimoksazol. Beberapa obat yang mempunyai struktur kimia
yang sama dengan folat dan dapat menggantikan vitamin ini pada
enzim-enzim, sehingga menutup alur metabolisme folat, meliputi
obat-obatan antikanker, aspirin dan antasid. Obat-obatan diuretik
(misalnya tiazida dan furosemida) dapat meningkatkan ekskresi
melalui ginjal (Grober, 2012; Almatsier, 2009; Mann dan
Truswell, 2014).
e. Sumber Makanan
Sumber folat antara lain hati, daging tanpa lemak, serealia
utuh, biji-bijian, kacang-kacangan, sayuran hijau. Vitamin C yang
ada dalam jeruk dapat menghambat kerusakan folat. Bahan
makanan yang tidak banyak mengandung folat adalah susu, telur,
umi-umbian, dan buah, kecuali jeruk (Almatsier, 2009).
2.1.4.4. Vitamin B12
Bentuk koenzim vitamin B12 meliputi metilkobalamin dan
dioksiadenosilkobalamin. Hanya ada dua enzim tergantung-B12
yang ditemukan pada setiap individu, yaitu metilmalonil-CoA
mutase (yang memerlukan dioksiadenosilkobalamin) dan metionin
sintase (yang memerlukan metilkobalamin) (Mann dan Truswell,
2014).
Universitas Esa Unggul
28
a. Fungsi
Vitamin B12 diperlukan untuk mengubah folat menjadi
bentuk aktif, dan dalam fungsi normal metabolisme semua sel,
terutama sel-sel saluran cerna, sumsum tulang dan jaringan saraf.
Vitamin B12 merupakan kofaktor dua jenis enzim, yaitu metionin
sintase dan metilmalonil-CoA mutase. Reaksi metionin sintase
melibatkan asam folat. Gugus metil 5-metil tetrahidrofolat (5-
metil THF) dipindahkan ke kobalamin untuk membentuk
metilkobalamin yang kemudian memberikan gugus metil ke
homosistein (Almatsier, 2009).
Sedangkan, reaksi metilmalonil-CoA mutase terjadi dalam
mitokondria sel dan menggunakan dioksiadenosilkobalamin
sebagai kofaktor. Reaksi ini mengubah metilmalonil-CoA menjadi
suksinil-CoA. Reaksi-reaksi ini diperlukan untuk degradasi asam
propionat dan asam lemak rantai ganjil terutama dalam sistem
saraf. Diduga gangguan saraf pada kekurangan vitamin B12
disebabkan oleh gangguan aktivitas enzim ini (Almatsier, 2009).
b. Absorpsi dan Metabolisme
Sejumlah bakteri anaerob dalam usus besar mensintesis
vitamin B12. Akan tetapi, vitamin ini dibentuk di bawah lokasi
reseptor ileum sehingga kecil kemungkinannya akan terserap.
Adapun absorpsi vitamin B12 dari makanan terjadi melalui
mekanisme yang sangat spesifik. Pertama-tama vitamin ini harus
dilepas terlebih dahulu dari ikatan dengan protein hewani dalam
makanan. Pelepasan ini memerlukan pepsin dan asam lambung.
Ketika asam lambung disekresikan sesudah makan, sel-sel parietal
pada saat yang sama akan melepas glikoprotein yang spesifik,
yaitu faktor intrinsik (IF). Glikoprotein ini tidak terikat dengan
vitamin B12, hingga keduanya berada dalam duodenum. (Ketika
di dalam lambung, vitamin B12 terikat dengan R-binder
[haptocorrin] dari dalam saliva yang dicerna dalam duodenum).
Kompleks B12/IF melintasi usus halus dan di dalam ileum
terminalis terdapat reseptor yang spesifik untuk IF. Kompleks
B12/IF akan diserap dan setelah 2-3 jam akan terlihat vitamin B12
di dalam aliran darah yang dibawa oleh transkobalamin II (TCII),
yaitu protein pengangkut B12 yang utama (Mann dan Truswell,
2014).
Vitamin B12 kemudian dipekatkan, dan disimpan dalam
hati. Vitamin B12 akan diekskresikan melalui getah empedu ke
dalam duodenum tempat sebagian besar vitamin tersebut
bergabung dengan IF (yang disekresikan sesudah makan) dan juga
Universitas Esa Unggul
29
diserap dalam ileum terminalis. Siklus enterohepatik ini
membantu menyimpan vitamin B12 (Mann dan Truswell, 2014).
c. Defisiensi
Tanda dan gejala defisiensi meliputi kehilangan nafsu
makan, sulit berkonsentrasi, demensia, suasana hati yang depresif,
halusinasi, psikosis (Grober, 2012).
d. Interaksi dengan Zat Gizi Lain dan Obat
Vitamin B12 dibutuhkan untuk mengubah folat menjadi
bentuk aktif. Vitamin B12 memiliki potensi untuk berinteraksi
dengan beberapa obat tertentu yang dapat menurunkan keefektifan
kerja dari vitamin B12, meliputi kloramfenikol, Proton Pump
Inhibitors (PPI) (misalnya omeprazole dan lansoprazole) yang
dapat mengganggu penyerapan vitamin B12 dari makanan dengan
cara memperlambat pelepasan asam klorida ke dalam saluran
pencernaan, serta antagonis reseptor H2 dan metformin (Hidayati,
2016; Mann dan Truswell, 2014).
e. Sumber Makanan
Sumber yang paling kaya berasal dari hati, ikan dan
makanan laut lainnya, daging, telur, susu, keju, yoghurt (Mann
dan Truswell, 2014).
2.1.5. Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan
Angka kecukupan gizi yang dianjurkan berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi (2013) untuk orang Indonesia dalam keadaan tidak sakit,
adalah:
Tabel 2.1.
Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan
Kelompok
Umur
Omega-3
Omega-6 Vitamin
D
Vitamin
B6
Vitamin
B9
Vitamin
B12
(g) (g) (mcg) (mg) (mcg) (mcg)
Laki-Laki
16-18 tahun 1,6 16 15 1,3 400 2,4
19-29 tahun 1,6 17 15 1,3 400 2,4
30-39 tahun 1,6 17 15 1,3 400 2,4
50-54 tahun 1,6 14 15 1,7 400 2,4
Perempuan
16-18 tahun 1,1 11 15 1,2 400 2,4
19-29 tahun 1,1 12 15 1,3 400 2,4
30-39 tahun 1,1 12 15 1,3 400 2,4
50-54 tahun 1,1 11 15 1,5 400 2,4
Sumber : Angka Kecukupan Gizi (AKG), 2013.
Universitas Esa Unggul
30
2.1.6. Metode Penimbangan Makanan (Food Weighing)
Menurut Kusharto dan Supariasa (2014), metode penimbangan
makanan merupakan salah satu metode survei konsumsi kuantitatif yang
bertujuan untuk mengukur asupan makanan dan zat gizi secara aktual dari
responden atau subyek penelitian dimana pertugas menimbang dan
mencatat seluruh makanan dan minuman yang dikonsumsi responden
selama 1 hari.
2.1.6.1. Karakteristik Metode Penimbangan:
a. Makanan dan sisanya ditimbang menggunakan alat timbangan.
b. Metode yang paling tepat untuk memperkirakan asupan
makanan dan zat gizi yang biasa dikonsumsi oleh seorang
individu.
c. Lebih disarankan oleh beberapa peneliti untuk mengumpulkan
data pada individu.
d. Biaya timbangan sangat mahal dalam beberapa kasus.
e. Tingkat ketepatan lebih tinggi dibanding Catatan Perkiraan
Makanan karena ukuran porsinya ditimbang dengan mengurangi
kontribusi terhadap keragaman dari kesalahan pengukuran.
Penimbangan makanan ini sangat bergantung pada tujuan survei,
tersedianya tenaga, peralatan dan dana. Idealnya dilaksanakan selama 7
hari. Namun waktu survei dapat dilaksanakan minimal 3 hari dalam
seminggu yang terdiri dari hari pertama dan kedua tidak dilaksanakan
secara berturut-turut, dan hari ketiga dilaksanakan saat libur atau week end
agar mewakili siklus menu atau hari selama satu minggu. Adapun kelebihan
metode penimbangan dan kelemahan meliputi:
2.1.6.2. Kelebihan metode penimbangan :
a. Data yang diperoleh lebih akurat atau teliti.
b. Tidak tergantung pada daya ingat.
c. Dapat mendukung interpretasi data laboratorium, data
antropometri dan data klinis.
2.1.6.3. Kelemahan metode penimbangan :
a. Memerlukan waktu yang lama.
b. Cukup mahal karena memerlukan peralatan.
c. Tenaga pengumpul data harus terlatih dan terampil.
2.1.7. Hubungan Asupan PUFA, Rasio Omega-6/Omega-3 dan Skor PANSS
Polyunsaturated fatty acids yang meliputi asam lemak omega-3
dan omega-6 adalah konstituen utama dari membran neuronal dan mielin
serta berperan penting dalam migrasi neuronal, pruning dan plastisitas
sinaptik (Kim et al., 2016). DHA (asam dokosaheksaenoat), khususnya,
memainkan peran penting dalam kadar serotonin dan asetilkolin di otak dan
dalam menetralisir radikal bebas oksigen (Akter et al., 2012). Pada korteks
prefrontal (PFC) otak, kadar asam lemak omega-3 yang rendah dianggap
Universitas Esa Unggul
31
dapat menurunkan neurotransmisi dopaminergik, yang mungkin
berkontribusi terhadap gejala negatif dan neurokognitif pada skizofrenia.
Sementara itu, penurunan fungsi sistem dopamin di PFC dapat
menyebabkan aktivitas yang berlebihan dalam fungsi dopaminergik pada
sistem limbik otak, yang dikontrol oleh sistem dopamin korteks prefrontal
(PFC), sehingga dapat menyebabkan gejala positif pada skizofrenia
(Balasubramanian, 2013).
Sedangkan rasio omega-6 terhadap omega-3 yang terlalu tinggi,
akan menekan ketersediaan omega-3, yang menyebabkan peningkatan
eikosanoid buruk dan memicu stres oksidatif (Lingga, 2012). Stres oksidatif
merupakan gangguan keseimbangan mekanisme oksidatif akibat kenaikan
kadar oksidan (radikal bebas) dan penurunan kadar antioksidan, yang
dikaitkan dengan gejala positif atau gejala negatif dalam skor subskala
positif atau skor subskala negatif PANSS (Positive and Negative Syndrome
Scale), prognosis dan perkembangan penyakit (Huang dan Liu, 2017).
Peningkatan keparahan gejala negatif pada penderita skizofrenia sejalan
dan konsisten dengan gangguan pada keseimbangan oksidatif (Gunes et al.,
2017). Radikal bebas oksidatif menguras glutation (GSH), sehingga GSH
yang rendah mengurangi aktivitas glutamat pada reseptor-reseptor NMDA
(N-methyl-D-aspartate). Reseptor NMDA merupakan reseptor glutamat di
dalam otak yang berperan dalam mengendalikan kecepatan kerja
neurotransmiter di sinaps dan berperan dalam proses memori. Kondisi ini
dapat mengakibatkan gejala positif seperti halusinasi, delusi, dan gejala-
gejala klasik skizofrenia lainnya (Walsh, 2015).
Sebuah studi oleh Jamilian et al (2014), mendapatkan hasil bahwa
efikasi omega-3 mampu mengurangi skor total pada hasil pengukuran
PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale) secara signifikan.
Sedangkan, studi lain yang dilakukan oleh Kim et al (2016) mendapatkan
hasil bahwa rasio omega-6/omega-3 secara signifikan mempunyai
hubungan yang positif dengan skor total PANSS.
2.1.8. Hubungan Asupan Vitamin D dan Skor PANSS
Defisiensi vitamin D sejauh ini dikaitkan dengan depresi,
skizofrenia, dan gangguan-gangguan mental lainnya. Namun, telah
ditemukan bahwa pasien dengan skizofrenia memiliki kadar vitamin D
yang lebih rendah dibandingkan dengan subyek sehat atau mereka yang
mengalami depresi. Selain itu, terdapat kemungkinan bahwa pasien
skizofrenia dengan gejala negatif dan kognitif yang lebih parah memiliki
gaya hidup yang mengarah pada status vitamin D yang lebih rendah.
Gejala-gejala yang meliputi isolasi sosial dan amotivasi, akan berpotensi
pada asupan yang lebih buruk, serta lebih sedikit waktu yang dihabiskan di
luar ruangan karena lebih memilih untuk berdiam di dalam ruangan, dan
Universitas Esa Unggul
32
akhirnya kurang mendapatkan paparan sinar matahari, sehingga
meningkatkan risiko kadar vitamin D yang rendah (Graham et al., 2015).
Vitamin D memiliki peran dalam fungsi otak yang sehat. Reseptor
vitamin D dan enzim yang dibutuhkan untuk hidroksilasi molekul prekursor
25OHD ke bentuk aktif, 1-α-hidroksilase, memiliki ekspresi luas di otak
manusia dewasa. Banyak dari daerah otak ini terlibat dalam skizofrenia,
termasuk hipokampus, talamus, hipotalamus, amigdala, korteks prefrontal,
cingulate gyrus dan cuping temporal (Graham et al., 2015). Vitamin D yang
defisit menurunkan transmisi N-methyl-D-aspartate (NMDA) di korteks
prefrontal yang dianggap dapat memicu hiperaktivitas jalur dopamin
mesolimbik sehingga menyebabkan gejala positif, serta memicu
hipoaktivitas di jalur dopamin mesokortikal yang menyebabkan gejala
negatif pada penderita skizofrenia (Johnsen, 2011).
Sebuah penelitian retrospektif penting yang dilakukan pada
kelahiran Finlandia menemukan bahwa suplementasi vitamin D3 selama
tahun pertama kehidupan mengurangi risiko skizofrenia sebesar 77% pada
laki-laki. Studi lain menunjukkan bahwa vitamin D yang rendah pada
neonatal secara bermakna dikaitkan dengan skizofrenia pada populasi
Denmark (Amaral et al., 2014). Selain itu, berdasarkan studi yang
dilakukan oleh Yuksel et al (2014) pada pasien-pasien skizofrenia,
mendapatkan hasil yang signifikan bahwa kadar vitamin D berkorelasi
secara negatif dengan skor total PANSS (Positive and Negative Syndrome
Scale).
2.1.9. Hubungan Asupan Vitamin B6, B9, B12 dan Skor PANSS
Vitamin B6, B9 dan B12 memainkan peran penting pada donasi
kelompok metil. Dalam sel, vitamin B12 dan folat adalah bagian dari
kompleks methionine synthase (MS) yang mengurangi homosistein menjadi
metionin, dan kemudian diubah menjadi S-adenosylmethionine (SAM),
yang terlibat dalam reaksi metilasi yang diperlukan untuk produksi
neurotransmiter. Ada dua jalur untuk degradasi homosistein meliputi jalur
remetilasi dan jalur transulfurasi, yang membutuhkan jumlah vitamin B12,
vitamin B6 dan folat yang cukup (Mitchell et al., 2014; Kaur et al., 2014;
Upasna et al., 2014).
Dalam jalur remetilasi dari homosistein, folat bertindak sebagai
donor metil sedangkan vitamin B12 bertindak sebagai kofaktor untuk
metilen tetrahidrofolat reduktase (MTHFR) yang mengubah 5,10 metilen
tetrahidrofolat menjadi 5-metil tetrahidrofolat. 5,10 metilen tetrahidrofolat
sebelumnya dihasilkan dari tetrahidrofolat oleh enzim serin hidroksi metil
transferase (SHMT), yang juga menggunakan vitamin B6 sebagai kofaktor.
Melalui siklus remetilasi, homosistein memperoleh donor metil dari 5-metil
tetrahidrofolat menjadi metionin (Mitchell et al., 2014; Upasna et al., 2014;
Gugun, 2008).
Universitas Esa Unggul
33
Sedangkan dalam jalur transulfurasi, vitamin B6 diperlukan sebagai
kofaktor yang dibutuhkan dalam mengkatalisis homosistein untuk
menghasilkan cystathionine dengan bantuan enzim cystathionine β-
synthase (CβS). Cystathionine dengan bantuan enzim γ-cystathionase
dihidrolisis untuk membentuk sistein dan α-ketobutirat, yang dioksidasi
lebih lanjut untuk membentuk taurin atau sulfat dan diekskresikan melalui
urin. Homosistein juga dapat diubah menjadi glutation, antioksidan penting,
melalui serangkaian langkah menengah yang membutuhkan vitamin B6
sebagai kofaktor dan enzim cystathionine β-synthase (C𝛽S) (Mitchell et al.,
2014; Upasna et al., 2014; Gugun, 2008).
Kekurangan vitamin atau cacat pada enzim yang terlibat dalam
siklus ini dapat menyebabkan kadar homosistein meningkat. Peningkatan
kadar homosistein dilaporkan berhubungan dengan gejala negatif pada
skizofrenia. Semakin tinggi kadar homosistein, maka semakin tinggi tingkat
keparahan gejala negatif pada penderita skizofrenia yang diukur melalui
skor PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale) (Ramachandran dan
Thirunavakarasu, 2012; Misiak et al., 2014).
Misiak et al (2014) dalam penelitiannya melaporkan bahwa gejala
negatif yang lebih parah pada penderita skizofrenia berhubungan dengan
kadar homosistein yang lebih tinggi dengan kadar vitamin B12 yang lebih
rendah. Hasil ini sejalan dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Goff et
al (2004) yang melaporkan bahwa kadar homosistein yang lebih tinggi dan
folat yang lebih rendah terkait dengan tingkat keparahan gejala negatif.
Sedangkan Kulaksizoglu et al (2016) dalam penelitiannya mendapatkan
hasil bahwa vitamin B12 juga ditemukan berkorelasi secara negatif dengan
skor total PANSS dan skor gejala positif pada penderita skizofrenia.
Sementara itu, berdasarkan studi meta analisis oleh Firth et al
(2017) yang menggunakan pencarian database elektronik pada Juli 2016,
berhasil mengidentifikasi 18 uji acak terkontrol dengan data hasil untuk 832
pasien, yang menunjukkan bahwa suplementasi vitamin B (B6, B8 dan
B12) mengurangi gejala psikiatri pada penderita skizofrenia secara
signifikan.
Universitas Esa Unggul
34
2.2. Kerangka Teori
Gambar 2.1
Kerangka Teori
Sumber :
Modifikasi dari Balasubramanian (2013), Lim et al (2016), Lingga (2012), Mahan dan Raymon (2017), Mitchell et al (2014), Johnsen,
2011) dan The Nice Guideline on Treatment and Management (2014).
Faktor Genetik dan
Lingkungan
Faktor Biokimia Faktor Infeksi
Intervensi
Farmakologi
Skor Gejala
(PANSS)
Penatalaksanaan
Skizofrenia
Intervensi
Psikologis
Intervensi Gizi
atau Diet
Faktor Gizi
Rasio Omega-
6/Omega-3
PUFA (Asam lemak
omega-3 dan omega-6)
Vitamin D
Vitamin B6, B9
dan B12 Homosistein
Stress
Oksidatif
Efikasi obat
Aktivitas
Dopamin
Reseptor
NMDA Vitamin
Universitas Esa Unggul
35
2.3. Kerangka Konsep
Gambar 2.2.
Kerangka Konsep
2.4. Hipotesis
2.4.1. Ho : Tidak ada hubungan antara asupan asam lemak omega-3 terhadap
skor PANSS pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Provinsi Sumatera Selatan.
Ha : Ada hubungan antara asupan asam lemak omega-3 terhadap skor
PANSS pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Provinsi Sumatera Selatan.
2.4.2. Ho : Tidak ada hubungan antara asupan asam lemak omega-6 terhadap
skor PANSS pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Provinsi Sumatera Selatan.
Ha : Ada hubungan antara asupan asam lemak omega-6 terhadap skor
PANSS pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Provinsi Sumatera Selatan.
2.4.3. Ho : Tidak ada hubungan antara rasio omega-6/omega-3 terhadap skor
PANSS pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Provinsi Sumatera Selatan.
Asupan Polyunsaturated
fatty acids :
1. Asam lemak omega-3
2. Asam lemak omega-6
Skor PANSS
Rasio Omega-6/Omega-3
Asupan Vitamin :
1. Vitamin D
2. Vitamin B6
3. Vitamin B9
4. Vitamin B12
Universitas Esa Unggul
36
Ha : Ada hubungan antara rasio omega-6/omega-3 terhadap skor
PANSS pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Provinsi Sumatera Selatan.
2.4.4. Ho : Tidak ada hubungan antara asupan vitamin D terhadap skor
PANSS pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Provinsi Sumatera Selatan.
Ha : Ada hubungan antara asupan vitamin D terhadap skor PANSS
pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi
Sumatera Selatan.
2.4.5. Ho : Tidak ada hubungan antara asupan vitamin B6 terhadap skor
PANSS pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Provinsi Sumatera Selatan.
Ha : Ada hubungan antara asupan vitamin B6 terhadap skor PANSS
pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi
Sumatera Selatan.
2.4.6. Ho : Tidak ada hubungan antara asupan vitamin B9 terhadap skor
PANSS pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Provinsi Sumatera Selatan.
Ha : Ada hubungan antara asupan vitamin B9 terhadap skor PANSS
pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi
Sumatera Selatan.
2.4.7. Ho : Tidak ada hubungan antara asupan vitamin B12 terhadap skor
PANSS pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Provinsi Sumatera Selatan.
2.4.8. Ha : Ada hubungan antara asupan vitamin B12 terhadap skor PANSS
pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi
Sumatera Selatan.