Upload
others
View
31
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Otak
Otak manusia kira-kira mencapai 2% dari berat badan dewasa. Otak
menerima 15% dari curah jantung memerlukan sekitar 20% pemakaian oksigen
tubuh, dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak bertanggung jawab
terhadap bermacam-macam rangsangan terhadap kemampuan manusia untuk
melakukan gerakan-gerakan yang disadari, dan kemampuan untuk melaksanakan
berbagai macam proses mental, seperti ingatan atau memori, perasaan emosional,
intelegensia, berkomunikasi, sifat atau kepribadian dan ramalan. Berdasarkan
gambar dibawah, otak dibagi menjadi lima bagian, yaitu otak besar (serebrum),
otak kecil (serebelum), otak tengah (mesensefalon), otak depan (diensefalon), dan
jembatan varol (pons varoli) (Russell J. Greene and Norman D.Harris, 2008 ).
Gambar 2.1 Anatomi Otak
- Otak besar (serebrum) merupakan bagian terbesar dan terdepan dari otak
manusia. Otak besar mempunyai fungsi dalam mengatur semua aktivitas
mental, yang berkaitan dengan kepandaian (intelegensia), ingatan
7
(memori), kesadaran, dan pertimbangan. Otak besar terdiri atas Lobus
Oksipitalis sebagai pusat penglihatan, Lobus temporalis yang berfungsi
sebagai pusat pendengaran, dan Lobus frontalis yang berfungsi sebagai
pusat kepribadian dan pusat komunikasi.
- Otak kecil (serebelum) mempunyai fungsi utama dalam koordinasi
terhadap otot dan tonus otot, keseimbangan dan posisi tubuh. Bila ada
rangsangan yang merugikan atau berbahaya maka gerakan sadar yang
normal tidak mungkin dilaksanakan. Otak kecil juga berfungsi
mengkoordinasikan gerakan yang halus dan cepat.
- Otak tengah (mesensefalon) terletak di depan otak kecil dan jembatan
varol. Otak tengah berfungsi penting pada refleks mata, tonus otot serta
fungsi posisi atau kedudukan tubuh.
- Otak depan (diensefalon) terdiri atas dua bagian, yaitu thalamus yang
berfungsi menerima semua rangsang dari reseptor kecuali bau, dan
hipotalamus yang berfungsi dalam pengaturan suhu, pengaturan nutrien,
penjagaan agar tetap bangun, dan penumbuhan sikap agresif.
- Jembatan varol (pons varoli) merupakan serabut saraf yang
menghubungkan otak kecil bagian kiri dan kanan. Selain itu,
menghubungkan otak besar dan sumsum tulang belakang.
2.2 Definisi Stroke
Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal
dan/atau global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat (RISKESDAS, 2013).
Stroke merupakan suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian
otak tiba-tiba terganggu, karena sebagian sel-sel otak mengalami kematian akibat
gangguan aliran darah karena sumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak.
Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi
biokimia yang dapat merusakan atau mematikan sel-sel saraf otak. Kematian
jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh
jaringan itu. Aliran darah yang berhenti membuat suplai oksigen dan zat makanan
ke otak terhenti, sehingga sebagian otak tidak bisa berfungsi sebagaimana
mestinya (Nabyl, 2012).
8
2.3 Epidemiologi Stroke
Pada tahun 2013, stroke turun dari penyebab utama keempat menjadi
penyebab utama kelima kematian di Amerika Serikat setelah penyakit jantung,
kanker, infeksi saluran pernapasam bawah kronis, dan cedera yang tidak
disengaja. Dari tahun 2003 sampai 2013, tingkat relatif kematian akibat stroke
turun 33,7%. Namun setiap tahun, 795.000 orang terus mengalami stroke baru
atau TIA (iskemik ataupun hemoragik). Sekitar 610.000 orang ini merupakan
peristiwa pertama dan 185.000 orang mengalami peristiwa stroke berulang. Pada
tahun 2013, stroke menyebabkan 1 dari setiap 20 kematian di Amerika Serikat.
Rata-rata setiap 40 detik, seseorang di Amerika Serikat mengalami stroke, dan
satu orang meninggal setiap 4 menit (Mozaffarian, 2016).
Sebuah studi terbaru yang dilakukan di daerah perkotaan Karachi (kota
metropolitan terbesar Pakistan) memperkirakan 21,8% prevalensi stroke dan atau
Transient Ischemic Attack (TIA) terjadi pada individu berusia 35 tahun keatas.
Studi berbasis wawancara dengan kelompok etnis yang dipilih dari barat laut
Pakistan dan Afghanistan menemukan prevalensi stroke 4,8%, dengan usia rata-
rata 45 tahun. Di Pakistan, ada dominan perempuan stroke dan TIA, dan usia
onset stroke bahkan lebih muda pada wanita dibandingkan pada laki-laki (Wasay
et al, 2014).
Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan gejala sebesar 12,1 per
mil. Prevalensi Stroke tertinggi di Sulawesi Utara (10,8%), diikuti DI Yogyakarta
(10,3%), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi
Stroke berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala tertinggi terdapat di
Sulawesi Selatan (17,9%), DI Yogyakarta (16,9%), Sulawesi Tengah (16,6%),
diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil (RISKESDAS, 2013).
2.4 Klasifikasi dan Etiologi Stroke
Berdasarkan proses terjadinya stroke terbagi menjadi dua yaitu stroke
iskemik dan stroke hemoragik. Pasien dengan stroke iskemik tercatat sekitar 87%
dan hemoragik sekitar 13%. Stroke iskemik disebabkan oleh adanya pembentukan
trombus dan emboli yang menghambat arteri serebral. Aterosklerosis serebral
9
merupakan faktor penyebab kebanyakan masalah stroke iskemik (Dipiro et al,
2012). Apabila pembuluh darah di sekitar otak pecah maka akan menyebabkan
perdarahan yang disebut stroke hemoragik (Stroke Association, 2012).
2.4.1 Stroke Iskemik
Stroke iskemik diprakarsai oleh fenomena trombus lokal dan atau emboli,
sehingga menimbulkan terjadinya infark bahkan oklusi pada arteri serebral.
Terbentuknya kedua fenomena tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor
penyebab seperti kardioemboli, arterosklerosis, perdarahan ekstrakranial, nyeri
kepala, dan efek samping penggunaan obat antikoagulan (Varona, 2012).
2.4.1.1 Trombosis
Trombosis adalah pembentukan bekuan darah dalam arteri yang bertahan
cukup lama untuk menyebabkan iskemik pada jaringan otak yang disuplai oleh
pembuluh darah yang terkena. Trombosis sering dipicu oleh patologi di lokal
endotelium seperti plak arterosklerosis yang memicu terjadinya protrombotik,
kelebihan inhibitor plasminogen (Maas and Safdieh, 2009).
2.4.1.2 Emboli
Emboli dapat terbentuk dari arteri intra dan ekstra kranial dimana 20%
stroke emboli muncul dari jantung. Pada kasus embolisme kardiogen, aliran darah
berhenti pada atrium atau ventrikel membentuk lokal klot yang dapat lepas dan
bergerak melalui aorta menuju sirkulasi serebral, sehingga pembentukan trombus
dan emboli yang menghambat arteri akan menurunkan aliran darah serebral dan
menyebabkan iskemik, sehingga dapat timbul infak distal (Dipiro et al, 2012)
10
Gambar 2.2 Etiologi Stroke Iskemik (Fauci, 2008)
2.4.2 Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik (13% dari stroke) termasuk perdarahan subarachnoid
(SAH), perdarahan intraserebral, dan hematoma subdural. SAH mungkin akibat
dari trauma atau pecahnya aneurisma atau arteriovenous malformation intrakranial
(AVM). Perdarahan intraserebral terjadi bila pembuluh darah pecah di dalam otak
menyebabkan hematoma. Hematoma subdural biasanya disebabkan oleh trauma.
Darah di kerusakan parenkim otak jaringan di sekitarnya melalui massa efek dan
neurotoksisitas komponen darah dan produk degradasinya (Dipiro et al, 2015).
Stroke hemoragik, meskipun kurang umum, secara signifikan lebih mematikan
dibanding stroke iskemik, dengan tingkat kasus kefatalan dua sampai enam kali
lebih tinggi (Dipiro et al, 2012).
11
Gambar 2.3 Stroke Hemoragik (Ikawati, 2009)
2.4.2.1 Perdarahan Subarachnoid (SAH)
Subarachnoid hemoragik terjadi ketika darah memasuki ruang
subarachnoid (tempat cairan cerebrospinal) yang disebabkan oleh adanya trauma,
ruptur pada aneorisma atau malvormasi pada arteriovenous (Dipiro et al, 2012).
Perdarahan subarachnoid merupakan tanda-tanda disfungsi neurologis yang cepat
berkembang dengan tanda sakit kepala karena perdarahan ruang subarachnoid
(ruang antara membran arachnoid dan pia mater dari otak atau sumsum tulang
belakang). Dampak dari SAH adalah terjadinya cedera permanen pada (SSP)
sistem saraf pusat (Sacco et al, 2013).
2.4.2.2 Perdarahan Intraserebral (ICH)
Perdarahan intraserebral terjadi ketika pecahnya pembuluh darah pada
parenkim otak sehingga terjadi pembentukan hematoma. Hemoragik tipe ini
sering terjadi dengan kenaikan tekanan darah yang tidak terkontrol dan terkadang
karena pemberian terapi antitrombotik atau trombotik (Dipiro et al, 2012).
2.4.2.3 Hematoma Subdural
Hematoma subdural terjadi ketika terkumpulnya darah dibawah dura dan
ini sering terjadi karena trauma. Meskipun prevalensi terjadinya stroke hemoragik
rendah namun tingkat kematian karena stroke hemoragik ini cukup tinggi
dibandingkan dengan stroke iskemik (Dipiro et al, 2012).
12
Gambar 2.4 Perbedaan SAH dan ICH
2.5 Patofisiologi Stroke Iskemik
Penyakit serebrovaskular iskemik terutama disebabkan oleh trombosis,
emboli dan hipoperfusi, yang semuanya dapat menyebabkan pengurangan atau
gangguan dalam CBF (Cerebral Blood Flow) yang mempengaruhi fungsi
neurologis. Otak hanya menerima 20% dari output jantung, hal tersebut
merupakan bagian awal terjadinya iskemik, periode iskemik yang singkat dapat
memicu terjadinya suatu kejadian yang komplek sehingga menyebabkan
kerusakan otak permanen (Guo et al, 2013).
Aliran rata-rata darah otak yang normal 50 mL / 100 g per menit, ini
dipertahankan melalui berbagai tekanan darah (tekanan arteri antara 50 sampai
150 mm Hg) dengan proses yang disebut autoregulasi cerebral. Pembuluh darah
otak melebar dan menyempit dalam menanggapi perubahan tekanan darah, tetapi
proses ini dapat terganggu oleh aterosklerosis, hipertensi kronis, dan cedera akut,
seperti stroke. Ketika aliran darah otak lokal menurun di bawah 20 mL / 100 g per
menit, iskemia akan terjadi, dan ketika pengurangan lebih lanjut di bawah 12 mL /
13
100 g per menit, kerusakan permanen otak terjadi, yang disebut infark. Jaringan
yang iskemik tapi mempertahankan integritas membran disebut sebagai penumbra
iskemik karena biasanya mengelilingi inti infark. Penumbra ini berpotensi
diselamatkan melalui intervensi terapeutik (Dipiro et al, 2012).
Penyebab utama stroke iskemik adalah trombus dan emboli yang
seringkali dipengaruhi oleh penurunan perfusi sistemik. Trombus disebabkan oleh
kerusakan pada endotel pembuluh darah, dapat terjadi baik di pembuluh darah
besar (large vessel thrombosis) maupun di pembuluh darah lakunar (small vessel
thrombosis). Kerusakan ini dapat mengaktivasi dan melekatkan platelet pada
permukaan endotel tersebut, kemudian membentuk bekuan fibrin. Penyebab
terjadinya kerusakan yang paling sering adalah aterosklerosis (aterotrombotik).
Pada aterotrombotik terbentuk plak akibat deposisi lipid sehingga terjadi
penyempitan lumen pembuluh darah yang menghasilkan aliran darah yang
turbulen sepanjang area stenosis. Hal ini dapat menyebabkan disrupsi intima atau
pecahnya plak sehingga memicu aktivitas trombisit. Gangguan pada jalur
koagulasi atau trombolisis juga dapat menyebabkan trombus. Pembentukan
trombus atau emboli yang menutupi arteri akan menurunkan aliran darah di
serebral dan bila ini berlangsung dalam waktu lama dapat mengakibatkan iskemik
jaringan sekitar lokasi trombus (Fagan and Hess, 2008).
2.6 Patofisiologi Stroke Hemoragik
Infark hemorage didefinisikan sebagai iskemik infark di mana jumlah sel
darah yang bervariasi ditemukan dalam jaringan nekrotik. Infark hemorage
disebabkan oleh kebocoran dari pembuluh darah yang rusak, karena permeabilitas
pembuluh darah meningkat pada jaringan iskemik (Hossmann and Heiss, 2012).
Patofisiologi stroke hemoragik tidak seperti stroke iskemik. Namun,
diketahui bahwa adanya darah dalam parenkim otak menyebabkan kerusakan pada
jaringan sekitarnya melalui efek mekanik menghasilkan massa dan neurotoksisitas
dari komponen darah dan produk degradasi tersebut. Sekitar 30% dari perdarahan
intraserebral terus memperbesar selama 24 jam pertama, paling cepat dalam waktu
4 jam, dan volume gumpalan adalah prediktor yang paling penting dari hasil
perdarahan yang terlepas dari lokasi. Perdarahan dengan volume >60 mL
berhubungan dengan 71% kematian pada 15 hari dan 93% kematian pada 30 hari.
14
Sebagian besar kematian dini stroke hemoragik (hingga 50% pada 30 hari)
disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan intrakranial yang dapat
menyebabkan herniasi dan kematian (Dipiro et al, 2012).
2.7 Faktor Risiko
Berdasarkan guidelines AHA (American Heart Association) faktor resiko
terjadinya stroke ada dua yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang
tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya
umur, jenis kelamin, ras, dan genetik. Sedangkan faktor resiko yang dapat
dimodifiasi antara lain hipertensi, konsumsi rokok, dan diabetes melitus
(Goldstein et al, 2011).
2.7.1 Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi
a. Umur
Stroke merupakan salah satu penyakit yang banyak menyerang orang tua,
beberapa tahun terakhir tingkat insiden stroke pada pediatrik telah mengalami
peningkatan. Meskipun kelompok usia muda yaitu umur 25 sampai 44 tahun
berada pada resiko stroke yang rendah, namun beban kesehatan akan menjadi
lebih tinggi karena besarnya resiko yang terjadi bila stroke terjadi pada pasien
dengan usia produktif. Resiko terjadinya stroke iskemik dan stroke hemoragik
akan meningkat pada usia diatas 55 tahun (Goldstein et al, 2011). Efek kumulatif
dari penuaan pada sistem kardiovaskular dan sifat progresif faktor resiko stroke
selama jangka waktu lama secara substansial meningkatkan resiko stroke iskemik
dan pendarahan intraserebral (ICH). Stroke yang terjadi di usia muda memiliki
potensi untuk gangguan seumur hidup yang lebih besar dan kecacatan (Meschia,
2014).
b. Jenis Kelamin
Stroke lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan pada wanita. Baik stroke
iskemik maupun stroke hemoragik. Pria memiliki rentang usia tertentu dimana resiko
terjadinya stroke lebih besar dibandingkan pada wanita. Namun terdapat pengecualian
pada usia 35-44 tahun dan atau pada usia >85 tahun, dimana pada rentang usia
tersebut faktor resiko terjadinya stroke lebih besar terjadi pada wanita (American
Stroke Association, 2009). Pada umumnya, faktor resiko stroke pada wanita usia
15
muda terjadi karena pengguaan alat kontasepsi oral dan kehamilan. Sedangkan
pada pria faktor terjadinya stroke paling sering karena penyakit kardiovaskular
(Goldstein et al, 2011). Faktor resiko stroke dapat meningkat pada pasien saat
masa transisi menopause yang diakibatkan oleh penurunan konsentrasi esterogen
endogen sebanyak 60% (Lisabeth and Bushnell, 2012).
c. Ras
Berdasarkan American Heart Association prevalensi terjadinya stroke
meningkat pada pasien dengan kulit hitam daripada pada pasien dengan kulit putih
(Fagan and Hess, 2008). Ras kulit hitam seperti ras Amerika Latin memiliki
insiden lebih tinggi untuk terserang penyakit stroke dan kematian karena penyakit
stroke daripada orang kulit putih. Semua ras kulit hitam pada usia muda dan
setengah baya memiliki resiko lebih tinggi terkena subarachnoid hemorage
(SAH) dan intracranial hemorage (ICH) dibandingkan dengan ras kulit putih
pada usia yang sama. Berdasarkan Artherosclerosis Risk In Communities (ARIC),
prevalensi terjadinya stroke pada ras kulit hitam sekitar 38% lebih tinggi daripada
ras kulit putih dan tingkat kematian pada ras kulit hitam yang tinggi karena
prevalensi hipertensi, obesitas, dan diabetes yang lebih tinggi dibandingkan
dengan ras kulit putih. Sedangkan menurut Study Strong Heart (SHS) orang
Indian Amerika memiliki insiden lebih tinggi terserang stroke daripada orang
Afrika-Amerika dan ras kulit putih. Tingginya resiko terserang stroke pada orang
kulit hitam daripada orang kulit putih karena tingginya cIMT (Increased carotid
intima-media thickness) dibandingkan dengan ras kulit putih (Goldstein et al,
2011).
d. Genetik
Berdasarkan studi kohort meta analisa menunjukkan bahwa keluarga yang
positif terkena stroke dapat meningkatkan resiko terjadinya stroke pada anak
sekitar 30%. Pada wanita yang memiliki riwayat keluarga stroke lebih poten
terserang stroke dari pada pria. Peningkatan resiko stroke pada orang dengan
riwayat keluarga positif stroke dapat dimediase melalui beberapa mekanisme,
seperti: heritabilitas faktor resiko stroke karena genetik, adanya kerentanan
terhadap efek dari faktor resiko, keluarga mempengaruhi budaya maupun gaya
hidup seseorang, interaksi antara faktor genetik dan lingkungan (Goldstein et al,
16
2011). Pada sebuah studi kohort dinyatakan bahwa keluarga yang memiliki riwayat
stroke maka memiliki resiko 30% terjadinya stroke kembali. Sementara pada janin
kembar monozigot memiliki resiko terjadinya stroke 1,65 kali lebih besar
dibandingkan janin kembar dizigot. Pada wanita dengan riwayat keluarga stroke
maka lebih berpotensi terjadinya stroke dibandingkan pada pria (Mandal, 2013).
2.7.2 Faktor yang Dapat Dimodifikasi
a. Merokok
Tingakat kematian penyakit stroke karena merokok di Amerika Serikat
pertahunnya diperkirakan sekitar 21.400 (tanpa ada penyesuaian untuk faktor
resiko) dan 17.800 (setelah ada penyesuaian), ini menunjukkan bahwa rokok
memberikan kontribusi terjadinya stroke yang berakhir dengan kematian sekitar
12% sampai 14% (Goldstein et al, 2011). Dapat dilakukan pendekatan non-
farmakologi dengan mengurangi intensitas merokok bagi perokok aktif atau
menjauhi asap rokok bagi perokok pasif (National Stroke Association, 2013).
b. Diabetes Melitus
Orang dengan diabetes melitus lebih rentan terhadap aterosklerosis dan
peningkatan prevalensi proaterogenik, terutama hipertensi dan lipid darah yang
abnormal. Pada tahun 2007 sekitar 17,9 juta atau 5,9% orang Amerika menderita
diabetes. Berdasarkan studi case control pada pasien stroke dan studi
epidemiologi prospektif telah mengkonfirmasikan bahwa diabetes dapat
meningkatkan resiko stroke iskemik dengan resiko relatif mulai dari 1,8 kali lipat
menjadi hampir 6 kali lipat. Berdasarkan data dari Center for Disease Control and
Prevention 1997-2003 menunjukkan bahwa prevalensi stroke berdasarkan usia
sekitar 9% stroke terjadi pada pasien dengan penyakit diabetes pada usia lebih
dari 35 tahun (Goldstein et al, 2011). Diabetes melitus menyebabkan stroke
melalui kemampuannya menebalkan pembuluh darah otak yang berukuran besar.
Penebalan tersebut akan mengakibatkan diameter pembuluh darah mengecil yang
akhirnya menyebabkan gangguan aliran darah ke otak yang berujung pada
kematian sel-sel otak (Dinata, 2013).
c. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk kejadian infark serebral
dan ICH. Hubungan antara tekanan darah dan resiko stroke sangat kuat. Resiko
17
stroke meningkat secara progresif dengan peningkatan tekanan darah, dan
sejumlah besar individu yang memiliki tekanan darah dibawah ambang yang
harus diterapi. Berdasarkan JNC7 pada kondisi diatas pendekatan non
farmakologi dan perubahan gaya hidup direkomendasikan untuk mengurangi
tekanan darah (Goldstein et al, 2011).
Pasien dengan hipertensi memiliki peningkatan resiko terhadap stroke, ini
terjadi karena tekanan darah yang meningkat mengakibatkan pembuluh serebral
akan berkonstriksi. Bila tekanan darah meningkat cukup tinggi akan menyebabkan
hialinisasi pada lapisan otot pembuluh serebral. Akibatnya, diameter lumen
pembuluh darah tersebut akan menjadi tetap. Hal ini akan berbahaya karena
pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi dengan leluasa untuk
mengatasi fluktuasi dari tekanan darah sistemik (Hariyono, 2010). Bila terjadi
penurunan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi ke jaringan otak tidak
adekuat. Hal ini akan mengakibatkan iskemik serebral. Sebaliknya bila terjadi
kenaikan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi pada dinding kapiler
menjadi tinggi. Akibatnya terjadi edema dan kemungkinan perdarahan pada otak
atau stroke hemoragik. Penanganan pada pasien hipertensi pada saat stroke akut
mempunyai resiko kurang baik pada prognosis stroke. Penurunan tekanan darah
secara mendadak pada penderita stroke akut dapat mengakibatkan perburukan
kelainan neurologis yang disebabkan karena adanya penurunan tekanan perfusi di
daerah infark. Beberapa peneliti melaporkan bahwa apabila hipertensi tidak
diturunkan pada saat serangan stroke akut dapat mengakibatkan edema otak,
namun berdasarkan penelitian dari Chamorro menunjukkan bahwa perbaikan yang
sempurna pada stroke iskemik dipermudah oleh adanya penurunan tekanan darah
yang cukup ketika edema otak berkembang sehinggga menghasilkan tekanan
perfusi serebral yang adekuat (PERDOSSI, 2007).
2.8 Tanda dan Gejala Stroke
Manifestasi klinik pada pasien stroke pada umumnya mengalami kelemahan
pada salah satu sisi tubuh dan kesulitan dalam berbicara atau memberikan
informasi karena adanya penurunan kemampuan kognitif atau bahasa. Stroke
iskemik biasanya tidak menyakitkan, tetapi pasien akan mengeluh sakit kepala,
18
dan pada stroke hemoragik, sakit kepala bisa sangat parah. (Dipiro et al, 2012).
Gejala klinis yang dialami pada pasien stroke, antara lain:
a. Kelemahan / rasa berat pada salah satu sisi tubuh disertai mati rasa,
kesemutan, kesulitan tidur dan kelelahan.
b. Gangguan berbicara, pelo, sengau, antara lain :
- Dysphasia-aphasia yaitu kesulitan berkomunikasi/berbahasa dengan
baik secara verbal/tertulis karena gangguan sirkulasi anterior di otak
- Receptive dysphasia yaitu penderita kesulitan mengerti.
- Expressive dysphasia yaitu penderita mengerti pembicaraan namun
tidak dapat mengungkapkan kata-kata.
c. Gangguan penglihatan seperti pandangan kabur, gelap, pusing atau
berputar yang menetap pada saat istirahat menunjukkan adanya gangguan
sirkulasi pada posterior otak.
d. Kehilangan keseimbangan, koordinasi pada tubuh serta penurunan
kesadaran.
e. Mual dan muntah.
f. Kaku kuduk disertai nyeri kepala hebat biasa dijumpai pada pasien dengan
kondisi perdarahan subarachnoid (Dipiro et al, 2012).
2.9 Penatalaksanaan Terapi Umum Stroke
Tujuan utama terapi stroke adalah untuk (1) mengurangi cedera neurologis
yang sedang berlangsung dan menurunkan mortalitas dan kecacatan jangka
panjang, (2) mencegah komplikasi sekunder imobilitas dan disfungsi neurologis,
dan (3) mencegah stroke kambuh (Dipiro et al, 2015).
Pada awal kedatangan pasien harus dipastikan keseimbangan pernafasan
pasien dan bantuan jantung. Selain itu, harus segera diperiksa secara cepat untuk
menentukan lesi yang ada termasuk iskemik atau hemoragik berdasarkan
pemantauan CT scan. Pada pasien stroke hemoragik dilakukan operasi melalui
endovaskular atau pendekatan kraniotomi. Setelah fase hiperakut, perhatian pasien
difokuskan pada pencegahan defisit, meminimalkan komplikasi, dan strategi
pencegahan serangan stroke berulang (Dipiro et al, 2015).
Pada pasien stroke iskemik menunjukkan onset gejala dalam beberapa jam
dan harus dievaluasi untuk terapi reperfusi. Peningkatan tekanan darah harus
19
segera ditangani selama periode akut yaitu 7 hari pertama setelah stroke iskemik
karena resiko penurunan aliran darah ke otak dan akan memperburuk gejala.
Tekanan darah harus diturunkan bila terjadi peningkatan tekanan darah hingga
220/120 mmHg atau terbukti adanya IMA, edema pulmonaris, encefalopati
hipersensitif. Jika tekanan darah diobati pada fase akut bahan-bahan parenteral
dengan kerja cepat lebih direkomendasikan seperti labetalol, nicardipine, atau
nitroprusside (Dipiro et al, 2015).
2.10 Terapi Khusus Stroke Hemoragik
Manajemen stroke hemoragik dapat dilihat dari penyebab perdarahan
(misalnya, tekanan darah tinggi, penggunaan obat-obatan antikoagulan, trauma
kepala, pembuluh darah malformasi). Kebanyakan pasien dipantau secara ketat di
unit perawatan intensif selama dan setelah stroke hemoragik. Perawatan awal
seseorang dengan stroke hemoragik mencakup beberapa komponen yaitu (1)
menentukan penyebab perdarahan, (2) mengontrol tekanan darah (3)
menghentikan semua obat yang dapat meningkatkan perdarahan (misalnya,
warfarin, aspirin). Jika pasien telah menggunakan warfarin, perawatan khusus
seperti faktor VIIa atau transfusi faktor pembekuan darah, dapat diberikan untuk
menghentikan pendarahan yang sedang berlangsung, (4) mengukur dan
mengendalikan tekanan dalam otak. Tekanan dalam otak dapat diukur dengan
menggunakan alat yang dikenal sebagai tabung ventriculostomy, melalui
tengkorak ke daerah otak yang disebut ventrikel. Jika tekanan yang ditinggikan,
sejumlah kecil cairan serebrospinal dapat dihilangkan dari ventrikel. Alat
ventriculostomy juga dapat digunakan untuk mengalirkan darah yang telah
dikumpulkan di otak akibat stroke. Prosedur ini dapat dilakukan di samping
tempat tidur pasien atau di ruang operasi (Louis R.C,2015).
Penatalaksaan terapi stroke hemoragik pada pasien diantaranya adalah
neuroprotektan, diuretik osmotik, antikoagulan, antifibrinolitik (trombolitik),
antihipertensi, dan antidislipidemia. Pasien harus dirawat di ICU jika volume
hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan
klinis cenderung memburuk. Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial
meningkat, posisi kepala dinaikkan 300, posisi kepala dan dada di satu bidang,
pemberian manitol dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg). Serta Tekanan darah
20
harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila tekanan
sistolik >180 mmHg, diastolik >120mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume
hematoma bertambah (Ismail S, 2011).
2.11 Terapi Khusus Stroke Iskemik
Berdasarkan guidelines American Stroke Association (ASA), untuk
pengaturan stroke iskemik secara umum ada dua terapi farmakologi yang
direkomendasikan dengan grade A yaitu terapi intravena t-PA dengan onset 3 jam
dan aspirin dengan onset 48 jam (Dipiro et al, 2012).
Tabel II.1 Rekomendasi Farmakoterapi untuk Stroke Iskemik (Dipiro et al, 2015)
2.11.1 Neuroprotektan
Obat neuroprotektan yang sering dipakai dalam terapi stroke iskemik
adalah sitikolin dan pirasetam.
2.11.1.1 Sitikolin
Berdasarkan studi Citicoline in Vascular Cognitive Impairment and
Vascular Dementia After Stroke menyatakan bahwa sitikolin merupakan obat
yang aman dan diakui di berbagai negara untuk penggunaan dalam terapi iskemik
stroke. Sitikolin oral dengan dosis 500, 1000, dan 2000 mg yang diberikan dalam
waktu 24 jam dari gejala awal telah menunjukkan bukti keberhasilan pada 1.372
21
pasien dalam 4 clinical trial yang dilakukan di Amerika Serikat. Sitikolin dapat
meningkatkan fungsi neurologis dan fungsi rekoveri. Dibandingkan dengan pasien
yang diberikan plasebo, pasien stroke iskemik yang diberikan sitikolin lebih
memungkinkan untuk perbaikan fungsi neurologis berdasarkan NIHSS dan indeks
barthel yaitu plasebo sebanyak 21% dan sitikolin sebanyak 33%. Studi
eksperimental dan klinis telah menunjukkan kemungkinan efek sitikolin dalam
fungsi neurorepair dan neuroplastisis. Pengobatan kronis dengan menggunakan
sitikolin dapat meningkatkan pemulihan fungsional dan potensi neurorepair
menunjukkan bahwa sitikolin dapat meningkatkan perlindungan syaraf dengan
meningkatkan uptake glutamat. Fungsi neurotropik menunjukkan bahwa sitikolin
dapat meningkatkan fungsi kognitif (Alvarez-Sabin dan Roman, 2010).
Pada sebuah penelitian yang membandingkan sitikolin dengan plasebo,
sitikolin diberikan dalam waktu 24 jam sejak terjadinya stroke meningkatkan
jumlah pasien yang benar-benar pulih setelah tiga bulan terapi. Tetapi sitikolin
dibandingkan dengan plasebo tidak lebih efektif untuk mengurangi angka
kematian pada kejadian stroke berat (Alawneh, 2011).
2.11.1.2 Pirasetam
Dengan toksisitas rendah dan beberapa efek samping, pirasetam efektif
dalam mengobati demensia dan gangguan kognitif, stroke dan iskemia. Pirasetam
memodulasi neuroplastisitas, pelindung saraf dan metabolisme otak, memiliki
efek antikonvulsan, serta mengurangi gejala depresi klinis, kecemasan dan
penarikan alkohol (Grossman, 2011).
Pirasetam mempengaruhi fungsi neuron, vaskular dan fungsi kognitif
tanpa berperan sebagai sedatif atau stimulan. Pirasetam berperan sebagai
modulator alosterik positif untuk reseptor AMPA (α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-
isoxazolepropionic acid). Hal ini diduga berperan dalam memodulasi kanal ion
(Na+, Ka+) tidak spesifik dalam eksitasi neuron. Pirasetam meningkatkan aliran
darah, konsumsi oksigen dengan meningkatkan metabolisme ATP. Meningkatkan
aktifitas adenylate kinase dan meningkatkan fungsi neurotransmitter asetilkolin
melalui reseptor muskarinik yang berperan dalam proses peningkatan daya ingat
(Doijad, 2012).
22
Berdasarkan studi lain, Role of piracetam in cerebral palsy disease,
dikatakan bahwa pirasetam merupakan obat nootropik yang memiliki efek terapi
pada beberpa pasien dengan defisit neurologi terutama jika berada dalam keadaan
hipoksia. Studi ini menunjukkan bahwa pirasetam memiliki manfaat peningkatan
fungsi motorik dan mental pada penderita kelumpuhan otak. Pirasetam dengan
dosis 120mg/kg BB menunjukkan efek yang paling maksimal dibandingkan
dengan pirasetam dosis 40mg/kg BB, 80mg/kg BB, dan plasebo (Elgendy et al,
2012).
2.11.2 Terapi Trombolitik
2.11.2.1 Alteplase
Keefektifan penggunaan t-PA IV pada pengobatan stroke iskemik telah
ditunjukkan oleh studi yang dilakukan The National Institutes of Neurologic
Disorder and Stroke (NINDS). Pada 624 pasien yang diberi t-PA 0,9 mg/kg i.v
atau plasebo pada pasien dengan onset gejala neurologinya tidak lebih dari 3 jam,
sekitar 39% menunjukkan outcomes yang sangat baik pada penelitian yang
dilakukan selama 3 bulan dengan membandingkan 26% pasien yang mendapat
plasebo. Outcomes yang baik didefinisikan dengan meminimalnya atau tidak
adanya kecacatan. Tingkat kematian tidak menunjukkan perbedaan yang
bermakna (17% dengan t-PA dan 21% dengan plasebo) (Dipiro et al, 2012).
Pemberian Alteplase (t-PA) dimulai dalam 4,5 jam dari gejala onset untuk
mengurangi kecacatan pada stroke iskemik. Kepatuhan yang ketat penting untuk
mencapai hasil yang positif. Pemberian alteplase dengan dosis 0,9 mg / kg
(maksimum 90 mg) secara IV lebih dari 1 jam, dengan cara 10% awal diberikan
selama 1 menit. Hindari penggunaan antikoagulan dan terapi antiplatelet selama
24 jam, serta pantau peningkatan tekanan darah, respon, dan perdarahan pada
pasien (Dipiro et al, 2015).
Alasan untuk terapi trombolitik pada stroke akut didasarkan pada dua
konsep kunci. Pertama, sebagian besar stroke iskemik disebabkan oleh oklusi
arteri trombosis atau tromboemboli. Studi angiografi pasien dengan stroke
iskemik dilakukan dalam waktu 6 jam dari onset menemukan oklusi arteri di
hingga 80% kasus. Kedua, ukuran dan beratnya infark secara langsung
23
berhubungan dengan derajat dan durasi iskemia berkelanjutan oleh otak (Brust,
2012).
Tabel II.2 Kriteria inklusi dan eksklusi pemakaian alteplase pada stroke iskemik
Kriteria Inklusi pemakaian alteplase
- Usia 18 tahun atau lebih
- Diaknosa klinis adalah stroke iskemik yang mengakibatkan penurunan
neurologi
- Onset serangan kurang dari 180 menit sebelum terapi dimulai
Kriteria eksklusi pemakaian alteplase
- Terbukti sebagai intrakranial hemoragik melalui CT scan
- Gejala stroke hanya sedikit dan cepat
- Secara klinik kemungkinan besar merupakan subarachnoid hemoragik
dengan menggunakan normal CT
- Terdapat pendarahan internal aktif (misalnya pendarahan di GI dalam 21
hari)
- Diketahui terjadi pendarahan diatesis dan tidak terbatas hanya pada hitungan
trombosit <100.000/mm3
- Pasien mendapatkan terapi heparin dalam waktu 48 jam dan mengalami
peningkatan APTT
- Baru saja menggunakan terapi antikoagulan (walfarin) dan PT meningkat
(>15 menit/INR)
- Operasi intrakranial, trauma kepala serius atau sebelumnya telah mengalami
stroke dalam waktu 3 bulan
- Operasi besar atau trauma serius dalam waktu 14 hari
- Baru saja mendapat tindakan arterial puncture pada bagian yang
nonkompresibel
- Pernah mengalami intrakranial hemoragik, malformasi arteriovenus atau
aneurisma
- Ketika terjadi onset stroke pasien dalam kondisi sadar
- Baru saja mengalami infark miokardial akut
- Pada saat terapi tekanan darah >185/110mmHg
(Dipiro et al, 2012)
2.11.3 Antiplatelet
Pasien yang telah mengalami stroke iskemik akut atau TIA akan
menerima terapi antitrombotik jangka panjang untuk pencegahan sekunder. Pada
pasien stroke nonkardioembolik diperlukan juga terapi antiplatelet.
2.11.3.1 Aspirin
Dalam studi meta-analisis, manfaat terapi antiplatelet pada pasien dengan
gangguan atherothrombotik diperkirakan sebesar 22%. Aspirin merupakan pilihan
24
terbaik sampai saat ini yang dianggap sebagai agen tunggal lini pertama. Namun,
literatur lain mendukung penggunaan clopidogrel dan produk kombinasi
extended-release dipiridamol-aspirin (ERDP-ASA) sebagai tambahan agen lini
pertama dalam pencegahan stroke sekunder (Dipiro et al, 2012).
Aspirin menurunkan jumlah mediator prostaglandin yang berasal dari
turunan asam arakidonat dengan mekanisme penghambatan pada siklooksigenase-
1 (COX-1). Mekanisme penghambatan tersebut melalui reaksi asetilasi dengan
penambahan gugus samping serin sehingga menghasilkan susunan allosteric sub
unit yang menjadikan aspirin menghambat COX-1 secara irreversibel (Awtry and
Loscalzo, 2000). Sebagai bentuk kompensasi penghambatan tersebut maka terjadi
pergeseran pada COX-2 yang menghasilkan prostasiklin untuk memberikan efek
anti-agregasi sehingga terjadi penundaan agregasi trombosit (Harvey and Champe,
2013).
Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 dengan asetilasi ireversibel
enzim siklooksigenase. Prostaglandin tromboksan A2 merupakan produk
arakidonat yang menyebabkan trombosit untuk mengubah bentuk, melepaskan
butiran mereka, dan agregat. Obat-obatan yang menentang jalur ini mengganggu
agregasi platelet in vitro dan memperpanjang waktu perdarahan in vivo (Katzung,
2012).
Penggunaan aspirin untuk mengurangi kematian jangka panjang dan cacat
karena stroke iskemik didukung oleh dua uji klinik secara acak. Dalam
International Stroke Trial (IST), aspirin 300 mg/hari mengurangi kekambuhan
stroke secara signifikan dalam 2 minggu pertama, mengakibatkan penurunan
kematian yang signifikan dalam 6 bulan. Dalam Chinese Acute Stroke Trial
(CAST), aspirin 160 mg/hari dapat mengurangi risiko kekambuhan dan kematian
pada 28 hari pertama, tapi kematian jangka panjang dan kecacatan tidak berbeda
dibandingkan dengan plasebo. Dalam kedua uji coba, peningkatan kecil tapi
signifikan dalam transformasi infark hemoragik yang ditunjukkan (Dipiro et al,
2012).
2.11.3.2 Clopidogrel
Clopidogrel bekerja dengan menghambat pengikatan irreversibel antara
ADP dengan reseptornya pada trombosit sehingga trombosit tidak dapat
25
mengaktifkan reseptor GP IIb/IIIa yang digunakan sebagai aktifator fibrinogen
(Harvey and Champe, 2013). Adanya hambatan pengikatan dan pengaktifan
fibrinogen tersebut menyebabkan tidak terbentuknya agen platelet dan tidak
terjadi koagulasi darah. Clopidogrel merupakan antiplatelet yang sering digunakan
setelah aspirin, karena keefektifannya yang lebih rendah dari aspirin (Yang et al.,
2014).
Berdasarkan studi Clopidogrel versus Aspirin in Patients at Risk of
Ischemic Events (CAPRIE) lebih dari 19.000 pasien dengan riwayat baik infark
miokard (MI), stroke, atau penyakit arteri perifer (PAD) menggunakan
clopidogrel 75 mg / hari dibandingkan dengan aspirin 325 mg / hari karena
kemampuannya untuk menurunkan MI, stroke, atau kematian kardiovaskular.
Dalam analisis akhir, clopidogrel (8% relative risk reduction [RRR]) lebih efektif
daripada aspirin (P = 0,043) dan memiliki insiden serupa efek samping. Hal ini
tidak berhubungan dengan diskrasia darah (neutropenia) dan digunakan secara
luas pada pasien dengan aterosklerosis (Dipiro et al, 2012).
2.11.4 Antikoagulan
Prinsip pemberian antikoagulan pada pasien stroke lebih ditujukan sebagai
upaya pencegahan rekurensi daripada perbaikan proses iskemia atau infark di
otak. Pada stroke iskemik non-kardioemboli, pemberian antikoagulan tidak
dianjurkan mengingat risiko perdarahan. Pemberian antikoagulan hanya
dipertimbangkan jika pasien mengalami hiperkoagulasi. Pemberian antikoagulan
heparin pada kondisi transient ischemic attack (TIA) atau stroke in evolution juga
tidak memberikan manfaat secara signifikan (Roveny, 2015).
2.11.4.1 Warfarin
Warfarin adalah pilihan pengobatan untuk pencegahan stroke pada pasien
dengan atrial fibrilasi. Pada pasien dengan atrial fibrilasi dan sejarah stroke atau
TIA, resiko kekambuhan pasien merupakan salah satu resiko tertinggi yang
diketahui. Pada Eropa Atrial Fibrillation Trial (EAFT), 669 pasien dengan
fibrilasi atrium nonvalvular (NVAF) dan stroke sebelumnya atau TIA diberikan
secara acak baik warfarin (internasional rasio normalisasi [INR] = 2,5-4), aspirin
300 mg / hari, atau plasebo. Pasien pada kelompok plasebo mengalami stroke,
infark miokardium, atau kematian vaskular sebesar 17% per tahun dibandingkan
26
pada kelompok warfarin sebesar 8% per tahun dan sebesar 15% per tahun pada
kelompok aspirin. Hal ini menunjukkan penurunan sebesar 53% risiko dengan
penggunaan antikoagulan. Penelitian selanjutnya dalam pencegahan primer stroke
pada pasien dengan NVAF telah menunjukkan bahwa target rasio normalisasi
internasional (INR) 2,5 untuk mencegah stroke yang dengan risiko terendah
perdarahan (Stroke Prevention in Atrial Fibrillation). Oleh karena itu, target INR
2,5 dianjurkan dalam pencegahan sekunder stroke. Munculnya inhibitor trombin
langsung secara aktif (dabigatran) dapat menggantikan posisi warfarin untuk
pencegahan stroke pada fibrilasi atrium (Dipiro et al, 2012).
Penggunaan warfarin dalam pencegahan sekunder stroke nonkardioemboli
ditujukan dalam Warfarin Aspirin Recurrent Stroke Study. Pada 2206 pasien
stroke, warfarin (INR = 1,4-2,8) tidak lebih baik dari aspirin 325 mg / hari dalam
pencegahan kejadian stroke berulang. Data lebih lanjut dari Warfarin-Aspirin in
Intracranial Disease (WASID) menunjukkan bahwa terapi aspirin lebih efektif
dan lebih aman dibandingkan dengan warfarin pada pasien dengan stenosis
intrakranial. Studi-studi tersebut membuat kebanyakan penggunaan warfarin
dihentikan pada semua pasien dengan stenosis intrakranial yang bersumber dari
kardioemboli, terutama atrial fibrilasi (Dipiro et al, 2012).
2.11.5 Antihipertensi
Tekanan darah tinggi sangat umum terjadi pada pasien stroke iskemik, dan
pengobatan hipertensi pada pasien ini dikaitkan dengan penurunan risiko
kekambuhan stroke. Dalam Perindopril pROtection aGainst REcurrent Stroke
Study (PROGRESS), populasi stroke (40% Asia) telah diacak untuk diberikan
angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor perindopril (dengan atau tanpa
indapamide diuretik thiazide) atau plasebo. Pasien yang dirawat mengalami
penurunan tekanan mencapai 9 mm Hg sistolik dan 4 mm Hg darah diastolik
secara keseluruhan, dan ini berkaitan dengan penurunan sebesar 28% pada
kekambuhan stroke. Pada pasien yang menerima terapi kombinasi, tekanan darah
rata-rata menurun sebesar 12/5 mmHg, dan ini berkaitan dengan pengurangan
yang lebih besar pada kekambuhan stroke (43%). Hasil yang sama dicapai pada
pasien dengan dan tanpa hipertensi. Berdasarkan hasil penelitian ini dan bukti lain
dari tolerabilitas dan sifat pelindung pembuluh darah dari inhibitor ACE, Seventh
27
Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure (JNC7) dan AHA /ASA merekomendasikan
ACE inhibitor dan diuretik untuk pengurangan tekanan darah pada pasien dengan
stroke atau TIA. Penurunan tekanan darah awal dapat memperburuk gejala. Oleh
karena itu, rekomendasi dibatasi untuk pasien di luar periode stroke akut yaitu 7
hari pertama (Dipiro et al, 2012).
2.11.5.1 Diuretik
Diuretik dapat digunakan sebagai terapi antihipertensi lini pertama, karena
penggunaanya yang aman dan efektif pada penyakit stroke, infark miokard, dan gagal
jantung. Diuretik juga lebih aman penggunaannya bagi pasien pediatrik (Harvey and
Champe, 2013). Penggunaan diuretik seperti manitol jarang sekali digunakan pada
kasus stroke iskemik, karena kebanyak dari manitol tersebut digunakan pada kasus
stroke hemorage seperti perdarahan intraserebral. Manitol digunakan untuk
mengurangi peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya edema serebral
(Tavakkoli, 2011). Manitol adalah diuretik osmotik, biasanya digunakan pada
dosis 0,25-0,5 g/kg secara IV selama 15 menit. Untuk menurunkan tekanan
intracranial dapat diberikan setiap 6 jam. Dosis maksimal yang diberikan adalah 2
g/kg. Efeknya pada pasien dengan pembengkakan otak iskemik masih belum
diketahui, tetapi sering digunakan sebagai ukuran sebelum pasien menjalani
dekompresi kraniektomi (Bansal et al, 2013).
2.11.5.2 ACE Inhibitor
Antihipertensi ACE-I digunakan secara luas, bersifat nefroprotektif dan
menurunkan resiko albuminuria ketika penggunaannya dikombinasikan dengan ARB.
ACE-I merupakan standart penggunaan antihipertensi pada pasien paska infark
miokard atau stroke iskemik, dengan terapi dimulai 24 jam setelah terjadinya infark
(Harvey and Champe, 2013). Penggunaan obat ini hanya pada pasien dengan stroke
akut karena penurunan tekanan darah pada periode akut (7 hari pertama) dapat
mengakibatkan penurunan aliran darah serebral dan memperburuk gejala (Dipiro
et al, 2012).
Berdasarkan studi Cardiovascular and cerebrovascular outcomes in elderly
hypertensive patients treated with either ARB or ACEI, disebutkan bahwa ACEI
lebih efektif dari pada ARB dalam menurunkan morbidity dan mortality
28
terjadinya gangguan kardiovaskular maupun cerebrovaskular pada pasien
hipertensi. Pada lansia ACEI lebih memiliki efek protektif dari pada ARB.
Pembuluh darah pada pasien tua akan mengalami penebalan dinding arteri dan
pembuluh darah inflamasi berkontribusi terhadap disfungsi faskular yang
mempercepat perkembangan penyakit jantung koroner dan stroke. Dengan adanya
ACEI akan meningkatkan Ang 1-7 dan menghambat degradasi bradikinin
sehingga dapat mengakbatkan respon yang lebih menguntungkan daripada ARB
(Ma et al, 2012).
2.11.5.3 Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)
ARB merupakan terapi alternatif pengganti ACE-I, namun ARB tidak
mempengaruhi kadar bradikinin sehingga tidak memicu terjadinya batuk seperti
yang terjadi pada ACE-I. ARB dikontraindikasikan pada wanita hamil (Harvey
and Champe, 2013). Angiotensin reseptor bloker merupakan antagonis kompetitif
dari angiotensin II pada reseptor AT1, yang menyebabkan penurunan resistensi
perifer tanpa adanya reflek peningkatan denyut jantung dan menurunkan kadar
aldosteron. ARB tidak menimbulkan efek bradikin yang menyebabkan munculnya
efek samping batuk seperti pada penggunaan ACEI (Dipiro et al, 2012).
Berdasarkan studi A combined role of calcium channel blockers and
angiotensin receptor blockers in stroke prevention, telah dikaitkan dengan
perkembangan dan kemajuan penyakit serebrovaskular pada pasien dengan
hipertensi. Angiotensin II diperkirangan dapat mendorong remodeling,
menghambat endotelium-dependen relaksasi dan mengganggu darah di barier
otak. Sehingga penggunaan ARB ini dapat untuk cerebroprotection. Menurut
hipotesis yang di usulkan oleh Boutitie et al dalam uji klinik, ARB dapat
memberikan perlindungan terhadap stroke selain menurunkan tekanan darah
karena mereka menghambat efek angiotensin I pada sirkulasi serebral, tetapi disini
dikatakan memungkinkan angiotensin II untuk berpotensi memberikan
perlindungan terhadap stroke melalui reseptor angiotensin II (Wang, 2009).
2.11.5.4 β-Bloker
Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian beta
bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain penurunan
frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah
29
jantung, hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat
penurunan produksi angiotensin II, dan efek sentral yang mempengaruhi aktivitas
saraf simpatis,perubahan pada sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas
neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis prostasiklin (Nafrialdi,
2007).
2.11.5.5 Calcium Channel Blocker (CCB)
Calcium channel blockers juga mengurangi resistensi perifer dan tekanan
darah. Mekanisme kerja pada hipertensi adalah penghambatan masuknya kalsium
ke dalam sel otot polos arteri. Verapamil, diltiazem, dan keluarga dihidropiridin
(amlodipine, felodipin, isradipin, nicardipine, nifedipine, dan nisoldipin) semua
sama-sama efektif dalam menurunkan tekanan darah, dan banyak formulasi yang
saat ini disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat ini. Clevidipine adalah
anggota baru dari grup ini yang diformulasikan untuk digunakan infus saja.
Perbedaan hemodinamik antara calcium channel blocker mungkin mempengaruhi
pilihan agen tertentu. Nifedipine dan agen dihidropiridin lain yang lebih selektif
sebagai vasodilator dan efek depresan jantung lebih rendah dari verapamil dan
diltiazem. Refleks aktivasi simpatik dengan sedikit takikardia menjaga atau
meningkatkan output jantung pada kebanyakan pasien diberikan dihidropiridin.
Verapamil memiliki efek depresan terbesar pada jantung dan dapat menurunkan
denyut jantung dan curah jantung. Diltiazem memiliki tindakan menengah.
Beberapa studi epidemiologi melaporkan peningkatan risiko infark miokard atau
kematian pada pasien yang menerima short-acting nifedipine untuk hipertensi.
Oleh karena itu disarankan bahwa dihidropiridin oral short-acting tidak boleh
digunakan untuk hipertensi. Sustained-release kalsium atau kalsium dengan paruh
panjang mengontrol tekanan darah secara halus dan yang lebih tepat untuk
pengobatan hipertensi kronis. Melalui pembuluh darah nicardipine dan clevidipine
tersedia untuk pengobatan hipertensi saat terapi oral tidak layak; verapamil
parenteral dan diltiazem juga dapat digunakan untuk indikasi yang sama. Oral
nifedipine short-acting telah digunakan dalam manajemen darurat hipertensi berat
(Katzung, 2012).
Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot pembuluh
darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama menimbulkan
30
relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi
perifer ini sering diikuti oleh refleks takikardia dan vasokonstriksi, terutama bila
menggunakan golongan dihidropiridin kerja pendek (nifedipin). Sedangkan
diltiazem dan verapamil tidak menimbulkan takikardia karena efek kronotopik
negatif langsung pada jantung (Nafrialdi, 2007).
Berdasarkan studi perbandingan Primary stroke prevention and
hypertention treatment: which is the first-line strategy obat antihipertensi
golongan Calcium Channel Blocker dapat menurunkan insiden stroke 38% pada
pasien stroke dengan hipertensi. Calcium Channel Blocker juga telah terbukti
memberikan perlindungan yang lebih baik untuk penanganan stroke dibandingkan
obat yang lain seperti ACE inhibitor, β-bloker, dan diuretik. Berdasarkan studi
meta-analisa CCB (Calcium Channel Blocker) telah terbukti memberikan manfaat
dibandingkan dengan ACE inhibitor. Selain itu resiko stroke berulang dengan obat
golongan Calcium Channel Blocker seperti amlodipin secara statistik lebih rendah
dibandingkan dengan obat antihipertensi lain. Nifedipin juga dapat mengurangi
risiko terjadinya stroke atau Transient Ischemic Attack (TIA) sebesar 30%
dibandingkan dengan plasebo pada pasien hipertensi dengan risiko kardiovaskular
tinggi (Ravenni, 2011).
2.11.5.5.1 Amlodipin
Gambar 2.5 Struktur Amlodipin (McEvoy, 2008)
Amlodipin merupakan golongan CCB (Calcium Channel Blocker)
dihydropiridin yang memiliki mekanisme kerja sama dengan nifedipin, namun
tidak memiliki efek inotropik negatif selain itu keduanya memiliki masa kerja
yang lebih panjang sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Amlodipin
diberikan secara oral dalam bentuk base. Amlodipin base 6,9 mg setara dengan
31
5mg amlodipin. Pada hipertensi biasanya digunakan dosis 5 mg satu kali sehari,
dan dapat ditingkatkan sampai 10 mg satu kali sehari (McEvoy, 2008).
Mekanisme kerja
Menghambat pergerakan ion kalsium melintasi membran sel sistemik dan
otot polos pembuluh darah koroner (Tatro, 2008). Sehingga tidak terjadi influk
kalsium dalam pembuluh darah dan mencegah terjadinya vasokonstriksi otot
polos pembuluh darah. Dengan mencegah terjadinya vasokonstrisi otot polos
pembuluh darah maka akan terjadi vasodilatasi pada pembuluh darah yang
mengakibatkan penurunan tekanan perfusi di pembuluh darah sehingga tekanan
darah akan turun dan resiko stroke akan berkurang (McEvoy, 2008).
Farmakokinetik
Amlodipin baik diserap setelah dosis oral, dengan konsentrasi kadar puncak
dalam darah yang terjadi setelah 6 sampai 12 jam. Bioavailabilitasnya bervariasi
biasanya sekitar 60 sampai 65%. Amlodipin dapat berikatan dengan protein
plasma sekitar 97,5% dan memiliki waktu paruh eliminasi sekitar 35 sampai 50
jam. Selain itu konsentrasi steady state dalam plasma tidak tercapai setelah 7
sampai 8 hari penggunaan. Amlodipin secara ekstensif dimetabolisme dalam hati
dan 10% dari dosis di ekskresi melalui ginjal bersama urin (McEvoy, 2008).
Absorpsi
Berdasarkan studi yang menggunakan 24 subyek sehat menunjukkan bahwa
absorpsi dari amlodipin dalam bentuk kapsul sama dengan amlodipin dalam
bentuk larutan. Dijelaskan bahwa cepat lambatnya absorpsi amlodipin tergantung
dari komposisi amlodipin bukan dari bentuk sediaan. Selain itu penyerapan
amlodipin juga tidak dipengaruhi oleh adanya makanan (McEvoy, 2008).
Dosis
Amlodipin diminum 1 dd 5 mg, maksimal pemberian 10 mg (Tjay, 2007).
Sediaan di Indonesia
Tabel II.3 Sediaan Amlodpin (ISO INDONESIA, 2016)
NAMA OBAT KANDUNGAN BENTUK SEDIAAN
A-B Vask Amlodipin besilat 5 mg;10 mg Tablet
32
Actapin Amlodipin besilat 5 mg;10 mg Tablet
Amcor Amlodipin besilat 5 mg Tablet
Amdixal Amlodipin maleat 5 mg;10 mg Tablet
Amlodipine Amlodipine 5 mg;10 mg Tablet
Amlodipine Amlodipine besilat 5 mg Tablet
Amlogal Amlodipin 5 mg Tablet
Bufacardo Amlodipin besilat 6,9 mg setara
dengan amlodipin 5 mg
Tablet
Caduet Amlodipin besilat, atorvastatin Tablet
Calsivas Amlodipin besilat 5 mg;10 mg Tablet
Cardicap Amlodipin besilat setara dengan 5
mg/10 mg amlodipin
Tablet
Cardisan Amlodipin 5 mg;10 mg Tablet
Cardivask Amlodipin besilat 5 mg;10 mg Tablet
Comdipin Amlodipin 5 mg;10 mg Tablet
Cydipin Amlodipin besilat 5 mg;10 mg Tablet
Dovask Amlodipin besilat 5 mg;10 mg Tablet
Ethivask Amlodipin besilat 5 mg Tablet
Exforge Amlodipin 5 mg(5 mg;10 mg),
Valsartan 80 mg(160 mg;160 mg)
Tablet
Finevaks Amlodipine 5 mg;10 mg Tablet
Fulopin Amlodipin besilat 5 mg;10 mg Tablet
Gensia Amlodipin besilat 5 mg;10 mg Tablet
Genvask Amlodipin 5 mg;10 mg Tablet
Gracivask Amlodipin besilat 5 mg;10 mg Tablet
Hexavask Amlodipin maleat 5 mg Tablet
Intervask Amlodipin besilat 5 mg;10 mg Tablet
Lodipas Amlodipin 5 mg;10 mg Tablet
Lopiten Amlodipin besilat 10 mg Tablet
Lovask Amlodipin 5 mg;10 mg Tablet
Normoten Amlodipin besilat 5 mg;10 mg Tablet
Norvask Amlodipin 5 mg;10 mg Tablet
Omesivask Amlodipin 5 mg;10 mg Tablet
Opivask Amlodipin 5 mg;10 mg Tablet
Pehavask Amlodipin besilat 5 mg;10 mg Tablet
Provask Amlodipin besilat 5 mg;10 mg Tablet
Sandovask Amlodipin besilat setara amlodipin 5
mg;10 mg
Tablet
Selescardio Amlodpin besilat 5 mg Tablet
Sandovask Amlodipin besilat setara amlodipin
5 mg;10 mg
Tablet
Selescardio Amlodipin besilat 5 mg Kaplet
Simvask Amlodipin 5 mg;10 mg Tablet
Stamotens Amlodipin 5 mg;10 mg Tablet
33
Tensivask Amlodipin besilat 5 mg;10 mg Tablet
Theravask Amlodipin besilat 5 mg;10 mg Tablet
Vasgard Amlodipin 5 mg;10 mg Tablet
Zenicardo Amlodipin 5 mg;10 mg Tablet
Zevask Amlodipin besilat setara amlodipin
10 mg
Tablet
Zevask Kapl Amlodipin 5 mg Kaplet
2.11.5.5.2 Nikardipin
Gambar 2.6 Struktur Nikardipin (McEvoy, 2008)
Nikardipin merupakan golongan CCB (Calcium Channel Blocker)
dihydropiridin yang memiliki mekanisme kerja sama dengan nifedipin dan
memiliki efek inotropik negatif yang mungkin lebih kecil (McEvoy, 2008).
Mekanisme kerja
Menghambat pergerakan ion kalsium melintasi membran sel sistemik dan
otot polos pembuluh darah koroner (Tatro, 2008). Sehingga tidak terjadi influk
kalsium dalam pembuluh darah dan mencegah terjadinya vasokonstriksi otot
polos pembuluh darah. Dengan mencegah terjadinya vasokonstrisi otot polos
pembuluh darah maka akan terjadi vasodilatasi pada pembuluh darah yang
mengakibatkan penurunan tekanan perfusi di pembuluh darah sehingga tekanan
darah akan turun dan resiko stroke akan berkurang (McEvoy, 2008).
Farmakokinetik
Nikardipin terabsorbsi seara sempurna di GIT pada pemberian oral, namun
obat ini dapat mengalami first pass metabolisme dengan bioavailabilitas sekitar
35% dengan dosis steady state 30 mg.
Obat nikardipin dimetaboisme di hati, selain itu obat ini terekskresi melaui
ginjal bersama urin dan terekskresi juga melalui feses dengan waktu paruh
34
eliminasi sekitar 8,6 jam. Nikardipin 95% dapat berikatan dengan protein plasma
(McEvoy, 2008).
Dosis
Dosis awal 3 dd 20 mg, meningkat sampai 3 dd 30 mg dengan dosis lazim 60-120
mg sehari (McEvoy, 2008).
Sediaan di Indonesia
Tabel II.4 Sediaan Nikardipin (ISO INDONESIA, 2016)
NAMA OBAT KANDUNGAN BENTUK SEDIAAN
Blistra Nicardipin HCl Ampul @10 mL inj 1 mg/Ml
Cardene Nicardipin HCL 20 mg Kapsul
Cardene SR Nicardipin HCL 30 mg Kapsul
Carsive Nikardipin HCl 1 mg/mL Ampul
Loxen Retard Nikardipin HCl 20 mg Tablet salut film
Nikardipine Nikardipin HCl 1 mg/mL Ampul
Nikardipine Nikardipin HCl 20 mg Kapsul
Perdipine Nikardipin HCl 2 mg;10 mg Ampul
Tensilo Nikardipin HCl Vial @10 mL inj 1 mg/mL
2.11.5.5.3 Nifedipin
Gambar 2.7 Struktur Nifedipin (McEvoy, 2008)
Sublingual nifedipin menyebabkan penurunan AP dan resistensi pembuluh
darah perifer. Ini tidak mempengaruhi kekakuan aorta. Secara umum, nifedipine
mengurangi daya eksternal total dan komponen stabil hemodinamik. Komponen
berosilasi atau berdenyut seperti impedansi, gelombang refleksi pulsa tidak
berubah signifikan. Nifedipin memilik efek vasodilatasi yang kuat sehingga dapat
menimbulkan refleks simpatis berupa peningkatan fekuensi jantung. Nifedipin
dapat merelaksasi otot polos vaskular sehingga mendilatasi arteri koroner dan
35
perifer. Obat ini lebih berpengaruh pada pembuluh darah dan kurang berpengaruh
pada myocardium. Nifedipin jarang menimbulkan gagal jantung karena efek
inotropik negatifnya diimbangi oleh pengurangan kerja ventrikel kiri. Obat ini
memiliki masa kerja pendek sehingga tidak dianjurkan untuk pengobatan jangka
panjang karena menimbulkan variasi tekanan darah yang besar sehingga
mengurangi manfaat untuk mencegah komplikasi (Chen, 2012).
Mekanisme kerja
Menghambat pergerakan ion kalsium melintasi membran sel myocardium dan
sistemik. Selain itu nifedipin dapat menurunkan resistensi pembuluh darah perifer
dengan meminimalkan efek pada konduksi SA node dan AV node, sehingga dapat
mengurangi kebutuhan oksigen myocardial dan mencegah kejang arteri koroner
(Tatro, 2008).
Farmakokinetik
Nifedipin terabsorbsi secara sempurna pada GIT, namun mengalami first pass
metabolisme dengan bioavaibilitas setelah pemberian oral sekitar 45 dan 75%
tetapi memiliki masa kerja pendek. Kadar puncak dalam darah sekitar 30 menit
setelah pemberian oral. Sekitar 92 sampai 98% obat nifedipin terikat dalam
protein plasma dan termetabolisme di hati dan dapat mengalami ekskresi sekitar
70 sampai 80% melalui urin dan ASI dengan waktu paruh sekitar 2 jam setelah
pemberian oral (McEvoy, 2008).
Dosis
Dosis awal 3 dd 10 mg setelah makan dan dosis pemeliharaan 3 dd 5 mg sampai
20 mg (McEvoy, 2008).
Sediaan di Indonesia
Tabel II.5 Sediaan Nifedipin (ISO INDONESIA, 2016)
NAMA OBAT KANDUNGAN BENTUK SEDIAAN
Adalat Nifedipin 5 mg;10 mg Tablet
Adalat Oros Nifedipin GITS 20 mg;30
mg;60 mg
Tablet
Adalat Retard Nifedipin retard 20 mg Tablet
Calcianta Nifedipin 5 mg;10 mg Tablet
Carvas Nifedipin 10 mg Tablet
Farmalat Nifedipin 5 mg;10 mg Tablet
36
Ficor Nifedipin 10 mg Tablet
Kemolat Nifedipin 10 mg Tablet
Nifedipin Nifedipin 10 mg Tablet
Vasdalat Retard Nifedipin 5 mg;10 mg Tablet
2.11.5.5.4 Diltiazem
Gambar 2.8 Struktur Diltiazem (McEvoy, 2008)
Diltiazem merupakan benzothiazepine calcium-channel blocker . Diltiazem
merupakan vasodilator perifer dan koroner dengan aktifitas inotropik negatif
tetapi terbatas sifat vasodilator dibandingkan dengan nifedipin golongan CCB
dihydropiridin. Selain itu diltiazem berbeda dengan nifedipin, diltiazem
cenderung menghambat konduksi jantung pada SA dan AV node (McEvoy,
2008).
Mekanisme kerja
Menghambat pergerakan ion kalsium melintasi membran sel sistemik dan
otot polos pembuluh darah koroner, memperlambat pergerakan ion kalsium
melintasi membran sel antara otot jantung dan sel cardiac pacemaker,
menurunkan konduksi dari sinoatrial (SA) and atrioventricular (AV) (Tatro,
2008).
Farmakokinetik
Pada pemberian oral diltiazem terabsorbsi secara sempurna pada GIT dan
dapat mengalai firts pass hepatic metabolism, dengan konsentrasi kadar
puncaknya sekitar 3 sampai 4 jam setelah pemberian oral. 80% obat ini akan
terikat dengan protein plasma dan dapat terdistribusikan kedalam ASI sehingga
kontrainsikasi pada ibu menyusui. Obat ini mengalami metaboisme di hati,
37
terutama pada sitokrom P450 isoenzyme CYP3A4. Dltiazem memiliki waktu
paruh 3 sampai 4 jam dan dapat terekskresi 2 sampai 4% melalui urin (McEvoy,
2008).
Dosis
Dosis yang diberikan untuk pasien stroke 5-40µg/kg/menit infus kontinyu dengan
mula kerja 5-15 menit (PERDOSSI, 2007). 3 dd 60mg, bila perlu dinaikkan
sampai 3 dd 120mg (Tjay, 2007).
Sediaan di Indonesia
Tabel II.6 Sediaan Diltiazem (ISO INDONESIA, 2016)
NAMA OBAT KANDUNGAN BENTUK SEDIAAN
Dilmen Diltiazem HCl 60 mg Tablet
Diltiazem Diltiazem 30 mg Tablet
Farmabes Diltiazem HCl 30 mg Tablet
Herbesser Diltiazem HCl 30 mg; 60 mg Tablet
Herbesser SR Diltiazem HCl 90 mg; 180 mg Kapsul
Herbesser CD Diltiazem HCl 100 mg;200 mg Kapsul
Herbesser Inj. Diltiazem HCl 10 mg; 50 mg Ampul/vial
2.11.5.5.5 Verapamil
Gambar 2.9 Struktur Verapamil (McEvoy, 2008)
Mekanisme kerja
Menghambat pergerakan ion kalsium melintasi membran sel yang mengakibatkan
kontraksi otot polos pembuluh darah (Tatro, 2008).
Farmakokinetik
Verapamil terabsorbsi secara sempurna pada GIT, namun mengalami first pass
metabolisme di hari dan memiliki bioavaibilitas sekitar 20%. Kadar puncak dalam
darah sekitar 1 sampai 2 jam setelah pemberian oral. Sekitar 90% obat verapamil
38
terikat dalam protein plasma dan termetabolisme di hati dan dapat mengalami
ekskresi sekitar 70% melalui urin dan 16% melalui feses (McEvoy, 2008).
Dosis
Varampamil diberikan dosis 3-4 dd 80mg, maksimal pemberial 720mg sehari
untuk beberapa minggu (Tjay, 2007).
Sediaan di Indonesia
Tabel II.7 Sediaan Verapamil (ISO INDONESIA, 2016)
NAMA OBAT KANDUNGAN BENTUK SEDIAAN
Isoptin/Isoptin SR Verapamil HCl 80 mg Tablet
Tarka Trandolapril 2 mg, Verapamil HCl
180 mg Kapsul
2.11.6 Antihiperlipidemia
2.11.6.1 Statin
Statin telah terbukti mengurangi risiko stroke sekitar 30% pada pasien
dengan penyakit arteri koroner dan plasma lipid tinggi. Berdasarkan The National
Cholesterol Education Program (NCEP), stroke iskemik atau TIA
direkomendasikan penggunaan statin untuk mencapai konsentrasi low-density
lipoprotein (LDL) kurang dari 100 mg / dL. Studi lain pada Heart Protection
Study, membuktikan bahwa simvastatin 40 mg / hari dapat mengurangi risiko
stroke pada individu yang berisiko tinggi (termasuk pasien dengan riwayat stroke)
sebesar 25% (P <0,0001), bahkan pada pasien dengan konsentrasi LDL kurang
dari 116 mg / dL. Para peneliti juga menunjukkan bahwa penggunaan ini sangat
aman, dengan kejadian miopati sebesar 0,01%. Sedangkan berdasarkan studi The
Stroke Prevention by Aggressive Reduction in Cholesterol (SPARCL) penggunaan
atorvastatin 80 mg setiap hari mengurangi risiko stroke berulang sebesar 16% dan
kejadian koroner sebesar 42% yang menyebabkan peningkatan enzim hati, namun
tidak ada peningkatan miopati. Oleh karena itu, direkomendasikan bahwa pasien
stroke iskemik, terlepas dari kolesterol awal, diobati dengan terapi statin dosis
tinggi untuk pencegahan stroke sekunder (Dipiro et al, 2012).
Statin mempunyai peran sentral dalam pengobatan hiperkolesterolemia
(obat penurun lipid). Obat ini sangat efektif dalam menurunkan kolesterol total
dan LDL dan mempunyai sedikit efek samping. Saat ini statin merupakan obat
39
pilihan pertama. Inhibitor HMG KoA Reduktase memblok sintesis kolesterol
dalam hati. Hal ini menstimulasi lebih banyak enzim, cenderung untuk
mengembalikan kolesterol menjadi normal (Calderon, 2010).
2.11.4.2 Fibrat
Selain efektifitasnya dalam menurunkan kolesterol, fibrat juga dapat
menurunkan angka kejadian kardiovaskular fatal dan stroke non fatal. Hasil meta-
analisis yang berjudul “Lipid management in the prevention of stroke: a meta-
analysis of fibrates for stroke prevention” menunjukkan bahwa secara
keseluruhan terapi fibrat tidak dikaitkan dengan penurunan yang signifikan pada
resiko stroke. Namun terapi fibrat berperan penting dalam mengurangi risiko
stroke fatal pada pasien dengan riwayat diabetes sebelumnya dan penyakit
kardiovaskular (Zhou et al, 2013).
Gemfibrozil dan benzafibrat menghasilkan penurunan ringan pada LDL
(sekitar 10%) dan peningkatan HDL (sekitar 10%) menyebabkan penurunan
trigliserida plasma (sekitar 30%). Fibrat sering digunakan pada pasien yang
memiliki kolesterol HDL rendah dan/atau trigliserida tinggi. Fibrat bekerja
sebagai ligan untuk reseptor transkripsi nukleus, reseptor alfa peroksisom yang
diaktifasi proliferator (PPAR-α, peroxisome proliferator-activated receptor
alpha), mengakibatkan peningkatan produksi dan menstimulasi aktivitas
lipoprotein lipase. Fibrat juga menginduksi pengalihan asam lemak bebas hati dari
reaksi esterifikasi dengan oksidasi, sehingga mengurangi sekresi hati dari
triacylglycerol dan kaya kolesterol VLDL kolesterol. Fibrat juga memiliki efek
langsung pada antiatherogenic jaringan pembuluh darah dengan menghambat
tumor necrosis factor-α, yang menginduksi ekspresi molekul adhesi selular
vaskular oleh endotelium (Shao, 2011).
2.12 Penggunaan Calcium Channel Blocker (CCB) pada Pasien Stroke
Iskemik
Calcium Channel Blocker (CCB) telah terbukti memberikan perlindungan
yang lebih baik terhadap stroke dibandingkan obat antihipertensi terdahulu,
seperti β-blocker, diuretik, dan ACE Inhibitor. Hal ini terutama diamati dalam
penelitian meta-analisis yang melibatkan 4 percobaan, dimana CCB telah terbukti
40
memberikan manfaat dibandingkan dengan ACE Inhibitor. Dalam penelitian,
nifedipin dapat mengurangi risiko terjadinya stroke atau Transient Ischemic
Attack (TIA) sebesar 30% dibandingkan dengan plasebo pada pasien hipertensi
dengan risiko kardiovaskular tinggi. Selain itu resiko stroke berulang dengan obat
golongan Calcium Channel Blocker seperti amlodipin secara statistik lebih rendah
dibandingkan dengan obat antihipertensi lain (Ravenni, 2011).
Calcium Channel Blocker (CCB), ACE Inhibitor, diuretik, dan b-
adrenergik dapat menurunkan kejadian stroke pada populasi hipertensi.
Diantaranya, CCB dapat mengurangi stroke lebih banyak daripada plasebo dan b-
adrenergik, namun tidak berbeda dengan ACE Inhibitor dan diuretik (Chen,
2013).
Pengaruh pemberian obat antihipertensi termasuk CCB terhadap pasien
stroke iskemik akut tidak selalu terjadi penurunan tekanan darah, tetapi ada yang
tetap atau bahkan meningkat. Dari 55 subyek yang mengalami stroke iskemik
dengan rentang usia 35-84 tahun, tekanan darah pasien saat masuk rumah sakit
adalah ≥160 mmHg (67%), 140-159 mmHg (24%), dan <140 mmHg (9%).
Diberikan 13 jenis obat antihipertensi (5 golongan obat antihipertensi), baik yang
digunakan sebagai agen tunggal maupun dalam kombinasi. Setelah mendapatkan
obat antihipertensi tunggal, pasien yang mengalami penurunan tekanan darah
sistolik pada hari ke-3 adalah 60%, sedangkan yang 17% tetap dan 23% naik.
Setelah mendapatkan obat antihipertensi kombinasi, pasien yang mengalami
penurunan tekanan darah sistolik pada hari ke-3 adalah 75%, sedangkan yang
10% tetap dan 15% naik. Dilakukan uji chi-square untuk mengevaluasi hubungan
perbandingan hasil dari terapi obat antihipertensi tunggal dan obat anihipertensi
kombinasi terhadap penurunan tekanan darah pasien stroke iskemik. Berdasarkan
hasil uji chi-square, terapi obat antihipertensi tunggal maupun kombinasi
mempunyai kemampuan yang sama dalam menurunkan tekanan darah sistolik dan
diastolik pada pasien stroke iskemik akut di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
(Sedjatiningsih et al, 2012).