Upload
ngotuyen
View
226
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi Pulmonal
Hipertensi pulmonal adalah peningkatan resistensi vaskular pulmonal yang
menyebabkan menurunnya fungsi ventrikel kanan oleh karena peningkatan
afterload ventrikel kanan (Diah et al, 2006). HTP sering terjadi pada pasien PGK
(Abdelwhab et al, 2009).
HTP dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit, jika HTP tidak
diatasi maka dapat mengakibatkan menurunnya regangan vaskular, peningkatan
tekanan arteri pulmonalis yang progresif dan akhirnya menjadi gagal jantung
kanan dan kematian. Pasien dengan HTP berkepanjangan mempunyai morbiditas
dan mortalitas yang lebih tinggi dari pada kondisi kausatif yang menyebabkan
HTP itu sendiri (Abdelwhab et al, 2009).
2.1.1 Klasifikasi Hipertensi Pulmonal
Klasifikasi klinis HTP berdasarkan WHO dan Venice (2003),
HTP dikelompokkan dalam 5 kelompok.
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Pulmonal (Michael et al 2007; Diah et al 2006)
Hipertensi arteri pulmonal - Idiopatik atau primer - Familial - Hipertensi yang berhubungan dengan :
Penyakit kolagen pada pembuluh darah Shunt kongenital sistemic-ke-pulmonal Hipertensi portal Infeksi HIV Toxin dan obat - obatan Penyakit lain (kelainan tiroid, kelainan
penyimpangan glikogen, penyakit Gaucher, hemoragik telangiektasis herediter, hemoglobinopati, kelainan mieloproliferativ, splenektomi
- Yang berhubungan dengan keterlibatan vena atau kapiler Penyakit oklusi vena pulmonal
Universitas Sumatera Utara
Hemangiomatosis kapiler pulmonal Hipertensi pulmonal dengan penyakit jantung kiri
- Penyakit atrium atau ventrikel kiri jantung - Penyakit katup jantung kiri
Hipertensi pulmonal yang dihubungkan dengan penyakit paru dan atau hipoksia
- Penyakit paru obstruksi kronik - Penyakit jaringan paru - Gangguan nafas saat tidur - Kelainan hipoventilasi alveolar - Tinggal lama ditemapt yang tinggi - Perkembangan abnormal
Hipertensi pulmonal oleh karena penyakit emboli dan trombitik kronik
- Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis proksimal - Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis distal - Emboli pulmonal non trombotik ( tumor, parasit, benda
asing ) Miscellaneous
Sarcoidosis, histiocytosis-X, lymphangiomatosis, penekanan pembuluh darah paru (adenopati, tumor, fibrosis mediastinitis).
WHO juga mengusulkan klasifikasi fungsional HTP dengan memodifikasi
klasifikasi fungsional dari New York Heart Association (NYHA) sistem.
Tabel 2.2 Klasifikasi Status Fungsional WHO Penderita Hipertensi Pulmonal
(Diah et al 2006)
Kelas I : Pasien dengan hipertensi pulmonal tanpa keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari – hari. Kelas II : Pasien dengan hipertensi pulmonal, dengan sedikit keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari – hari. Kelas III : Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang bila melakukan aktifitas ringan akan merasakan sesak dan rasa lelah yang hilang bila istirahat. Kelas IV : Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang tidak mampu melakukan aktifitas apapun (aktifitas ringan akan merasakan sesak), dengan tanda dan gejala gagal jantung kanan.
2.1.2 Etiologi Hipertensi Pulmonal
Etiologi pasti HTP pada pasien PGTA masih belum diketahui. Beberapa
proses etiologi yang berbeda telah ditetapkan sebagai faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Perubahan hormonal dan metabolik yang berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
PGK dapat menyebabkan vasokonstriksi arteri pulmonalis dan meningkatnya
resistensi vaskular pulmonal. Selanjutnya, peningkatan tekanan arteri pulmonalis
juga disebabkan oleh karena peningkatan cardiac output akibat dari akses AV
fistula itu sendiri dan diperburuk oleh kondisi-kondisi umum yang terjadi pada
PGK seperti anemia dan overload cairan (Abdelwhab et al, 2009).
Hipertensi Arteri Pulmonal Tipe 1
Salah satu penyebab terpenting peningkatan tekanan arteri
pulmonalis pada pasien HD adalah shunting aliran darah melalui AV
fistula. Perubahan hemodinamik yang berkaitan dengan pemasangan
AV fistula dapat menyebabkan peningkatan cardiac output oleh karena
meningkatnya venous return terhadap jantung, menyebabkan aliran
darah berlebihan ke pulmonal yang akhirnya menyebabkan
peningkatan tekanan arteri pulmonal yang berperan penting terhadap
perkembangan HTP pada pasien PGTA dengan HD melalui AV fistula
(Abdelwhab et al, 2009). Mayoritas studi menunjukkan adanya
korelasi HTP dengan derajat aliran AV fistula (Mousavi et al, 2008).
Mekanisme dimana AV fistula dapat mempengaruhi tekanan
arteri pulmonalis adalah dengan mempengaruhi resistensi vaskular
pulmonal dan cardiac output. Selain itu tindakan pemasangan AV
fistula menghasilkan peningkatan signifikan terhadap diameter end
diastolik ventrikel kiri, pemendekan fraksi dan peningkatan cardiac
output ventrikel kanan yang berpengaruh terhadap peningkatan
tekanan arteri pulmonalis. Faktor lain seperti remodeling arteri
pulmonalis yang terjadi setelah pembuatan AV fistula sistemik,
menyebabkan aliran yang memicu timbulnya HTP. Perubahan
karakteristik pembuluh darah yang disebabkan meningkatnya aliran
darah pulmonal termasuk hiperplasia/fibrosis tunika intima, hiperplasia
tunika media, dan pembentukan lesi flexiform. Perubahan – perubahan
ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan compliance vaskulatur
pulmonal (Abdelwhab et al, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Lesi Flexiform arteri pulmonal pada hipertensi pulmonal
(Diah et al 2006)
Meskipun masih kontroversial, adanya kalsifikasi yang
berlebihan pada pembuluh darah dapat diobservasi pada pasien-pasien
usia muda yang menjalani HD. Kalsifikasi vaskular merupakan tipe
kalsifikasi ekstraosseous yang paling sering terjadi pada pasien PGTA.
Kalsifikasi jarang sekali dapat di identifikasi dengan foto thoraks
konvensional (Amin et al, 2003). Kemungkinan lain adalah pada
pasien PGK sering terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang
menyebabkan kalsifikasi arteri pulmonalis (Yigla et al, 2003).
Berbagai studi menghubungkan terjadinya HTP sebagai
ketidakseimbangan antara vasodilator seperti prostacyclin dan nitric
oxide (NO) dan vasokonstriktor seperti thromboxane A2 dan
endothelin-1 (Abdelwhab et al, 2009). NO dan ET-1 merupakan
molekul yang dihasilkan oleh sel endotel berperan penting dalam
patogenesis HTP pada pasien PGTA dengan HD melalui AV fistula.
Respon vasodilatasi yang berkurang pada akses AV fistula
menyebabkan peningkatan cardiac output yang mungkin bisa
menerangkan terjadinya peningkatan tekanan arteri pulmonalis pada
pasien-pasien uremik, menunjukkan bahwa 48% pasien HTP
mengalami peningkatan cardiac output yang signifikan. HTP pada
pasien HD merupakan bentuk HTP yang unik, dimana peningkatan
cardiac output dan kondisi uremik timbulnya disfungsi endotel yang
menetap (Nakhoul et al, 2005). Produksi NO meningkatkan tonus
pembuluh darah paru, mengurangi kapasitas sirkulasi pulmonal dalam
mempertahankan akses AV fistula yang memediasi peningkatan
cardiac output dan akhirnya menyebabkan HTP (Said et al, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan produksi NO pada pasien PGTA dengan HD
melalui AV fistula dihubungkan dengan biocompatibility dialiser.
Mekanisme yang mempengaruhi aktifitas NO pada pasien uremia
masih belum jelas. Terjadinya disfungsi endotel pada seluruh tingkatan
PGK mendukung bahwa uremia berperan langsung terhadap gangguan
ini. Menurunnya bioavailibilitas NO terhadap substrat NO L-arginine,
berkurangnya ekspresi NO synthase pada organ yang bersangkutan,
interaksi NO dengan Reactive Oxygen Species (ROS) dan akumulasi
endogen inhibitor NO synthase seperti dimethyl arginine asimetrik dan
homosistein berperan dalam mekanisme ini (Nakhoul et al, 2005).
ET-1 merupakan vasokonstriktor yang poten dan mitogen yang
sangat kuat yang dihubungkan dengan hipertensi primer dan sekunder.
Kadar ET-1 meningkat pada penderita HTP. Aktivitas ET-1 juga
meningkat pada pasien uremia (Albada et al, 2005). Pendapat ini
didukung oleh adanya penemuan BOSENTAN (antagonis ET-1) yang
menurunkan HTP pada PGTA secara signifikan (Abdelwhab
et al, 2009).
Hipertensi pulmonal Tipe 2
HTP tipe 2 dengan disfungsi diastolik ventrikel kiri lebih tinggi
signifikan pada HTP. Disfungsi diastolik berpengaruh terhadap
perkembangan HTP dengan menyebabkan peningkatan tekanan atrium
kiri (Abdelwhab et al, 2009). Pada studi yang lain kadar thromboxane
B2
Selain itu adanya korelasi positif yang signifikan diantara pro-brain
natriuretic peptide (pro-BNP) dan HTP pada pasien PGTA. Peranan
BNP terhadap HTP pada pasien PGTA masih belum jelas dan mungkin
karena BNP adalah prediktor penting adanya kongesti kardiovaskular
(TXB2) lebih tinggi signifikan pada pasien PGTA dengan HTP
(Harp et al, 2005). Vena pulmonalis merupakan tempat kerja primer
dari thromboxane. Meningkatnya sintesis zat – zat vasoaktif ini dapat
menyebabkan kontriksi vena pulmonalis dan meningkatkan tekanan
mikrovaskular. Proses HD sendiri juga berkaitan dengan peningkatan
produksi thromboxane (Abdelwhab et al, 2009) .
Universitas Sumatera Utara
dan disfungsi diastolik ventrikel kiri yang dapat meningkatkan tekanan
intravaskular pada vena pulmonalis (Wang et al, 2007).
Efek lain uremik terhadap tekanan arteri pulmonal telah
ditetapkan sebagai faktor etiologi HTP pada HD melalui disfungsi
endotel yang terjadi pada HTP dan uremia. Penggunaan eritropoetin
(EPO) pada pasien PGK menyebabkan peningkatan resistensi vaskular
pulmonal dimana kemungkinan tidak hanya berhubungan dengan efek
vasomotor tetapi juga remodeling vaskular disebabkan karena
stimulasi reseptor EPO (Abdelwhab et al, 2009).
Hipertensi pulmonal Tipe 3
HTP tipe 3 merupakan tipe hipertensi yang umum terjadi pada
pasien PGK. Selain hipoksemia yang terjadi selama dialisis, sleep
apnea sindrome terjadi pada 30–80% pasien dialisis, menyebabkan
hipoventilasi alveolar. Selain itu resiko obstruktif dan gangguan
respiratori sentral meningkat pada pasien PGK dan terapi dialisis.
Sleep apnea sindrome dan gangguan tidur pada pasien PGTA
disebabkan oleh efek langsung uremik ensefalopati dan sitokin
somnogenik hipoksia yang berhubungan dengan gangguan tidur dan
dialisis memicu terjadinya vasokonstriksi pulmonal dan remodelling
vaskular yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan arteri
pulmonal (Abdelwhab et al, 2009) .
Hipertensi pulmonal Tipe 4
Proses HD sendiri berpengaruh terhadap peningkatan tekanan
arteri pulmonalis, tetapi penyebab pasti masih belum diketahui,
mungkin karena adanya vasokonstriktor seperti endothelin. Penyebab
lain adalah emboli microbubble. Jejas paru dengan mikrobubble yang
berulang dapat menerangkan terjadinya peningkatan tekanan arteri
pulmonalis pada pasien hemodialisis jangka panjang. Selain itu,
hemodialisis menyebabkan episode hipoksemia yang berulang
disebabkan karena blokade parsial capillary bed pulmonal oleh
sel–sel putih atau mikroemboli silikon. Hipoksia menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
vasokonstriktor pulmonal aktif sama seperti remodeling struktur
vaskulatur arteri pulmonalis (Abdelwhab et al, 2009) .
2.1.3 Patogenesis Hipertensi Pulmonal
Akses vaskular yang dibuat untuk terapi HD adalah artificial sering
menyebabkan terjadinya shunting yang besar dari kiri ke kanan dengan kapasitas
yang selalu meningkat seiring waktu. Pasien PGTA mempunyai sirkulasi
pulmonal yang abnormal secara fungsional. Peningkatan tekanan arteri
pulmonalis yang patologis terjadi pada pasien yang tidak mampu
mengkompensasi sirkulasi pulmonal terhadap akses AV fistula yang dihubungkan
dengan cardiac output yang tinggi (Abdelwhab et al, 2009) .
Gambar 2.2 Patogenesis Hipertensi Pulmonal (Diah et al 2006)
2.1.4 Gambaran Klinik Hipertensi Pulmonal
Gejala HTP yang paling sering adalah dispnu saat aktifitas, fatique dan
sinkop merupakan refleksi ketidakmampuan menaikkan curah jantung selama
aktifitas. Angina tipikal juga dapat terjadi meskipun arteri koroner normal tetapi
nyeri dada disebabkan oleh karena peregangan arteri pulmonal atau iskemia
ventrikel kanan (Diah et al, 2006).
Tabel 2.3 Gejala dan Tanda Hipertensi Pulmonal (Diah et al, 2006)
GEJALA TANDA
Dispnu saat aktifitas Fatique Sinkop Nyeri dada angina Hemoptisis Fenomena Raynauld’s
Distensi vena jugularis Impuls ventrikel kanan dominan Komponen katup paru menguat ( P2
S)
3
Murmur trikuspid jantung kanan
Hepatomegali Edema perifer.
Universitas Sumatera Utara
Pasien HTP dapat berkembang menjadi gagal jantung kanan
dengan gambaran kongesti vena sistemik, efusi pleura dan asites.
Hal inilah yang menyebabkan menurunnya tekanan arteri sistemik dan
hipotensi intradialisis (Tarrass et al, 2005).
2.1.5 Test Diagnosis Hipertensi Pulmonal
1) Ekokardiogarfi
Ekokardiografi merupakan skrining test noninvasive yang
sangat baik dilakukan untuk pasien yang dicurigai mengalami HTP
(Schannwell et al, 2007). Tekanan sistolik arteri pulmonal
ekuivalen dengan tekanan sistolik ventrikel kanan tanpa adanya
obstruksi outflow pulmonal. Untuk menilai tekanan sistolik
ventrikel kanan dengan ekokardiografi harus ada trikuspid
regurgitasi (TR) (Noordegraaf et al, 2009).
Perkembangan TR pada pasien HTP sering dihubungkan
dengan adanya dilatasi annular, perubahan ukuran ruang ventrikel
kanan dan perubahan letak katup trikuspidal bagian apical.
Pemakaian aliran trikuspidal regurgitasi sistolik (v) merupakan
sebuah perhitungan pulmonary artery systolic pressure (PASP)
yang dapat ditentukan dengan ekokardiografi Doppler. Tanpa
adanya pulmonary outflow tract obstruction, PASP ekuivalen
dengan tekanan sistolik ventrikel kanan, yang dapat dihitung
dengan rumus Bernouilli yang sederhana :
Color Doppler
RVSP = 4v2 + right atrial pressure ( RAP ), RVSP singkatan
dari right ventricular systolic pressure, v diukur dengan signal
continuous wave Doppler dan perhitungan nilai RAP
menggunakan karakteristik vena cava inferior. Kecepatan puncak
early diastolik dan end diastolik regurgitasi pulmonal berkorelasi
Universitas Sumatera Utara
signifikan dengan rerata dan tekanan arteri pulmonalis diastolik
(Daniels et al, 2004).
Waktu accelerasi (Acceleration time) right ventricular
outflow tract didefinisikan sebagai interval dari onset kecepatan
maksimal aliran darah yang dipulsasikan melalui signal yang
dihasilkan gelombang Doppler, memiliki korelasi negative dengan
mean pulmonary artery pressure ( mPAP ). Waktu accelerasi right
ventricular outflow tract < 100 ms mencerminkan peningkatan
mPAP. Performan miokard ventrikel kanan (TEI Index) merupakan
rasio interval waktu isovolumetrik terhadap waktu ejeksi ventrikel,
yang dapat dihitung dari pulsasi gelombang Doppler yang
dihasilkan dari lamanya inflow dan outflow. Parameter ini telah
menggambarkan sebagai indeks non geometrik global fungsi
ventrikel sistolik dan diastolik. Nilai normal index ini adalah
0,28±0,04 dan nilai ini meningkat dengan adanya disfungsi
ventrikel kanan (Jae et al, 2006).
Tabel 2.4 Klasifikasi tekanan arteri pulmonalis sistolik (Daniels et al, 2004).
Kategori Tekanan arteri pulmonalis
Ringan 36 – 50 mmHg
Sedang 51 – 69 mmHg
Berat ≥ 70 mmHg
Karakteristik disfungsi ventrikel kanan pada HTP dengan
ekokardiografi Doppler mencakup penurunan kecepatan dan
integral waktu aliran darah melalui katup pulmonal dan
pemendekan acceleration time (AcT) yang diukur dari permulaan
aliran darah melalui katup pulmonal sampai kecepatan mencapai
puncaknya, satuannya milliseconds dapat digunakan untuk
menghitung rerata tekanan arteri pulmonal dengan rumus :
mPAP = 79 – 0,45 (AcT) (Jae et al, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Short axis menunjukkan gambaran TR yang terlihat pada
atrium kanan selama sistolik (Daniels et al, 2004)
2) Elektrokardiografi
Elektrokardiografi (EKG) juga harus dilakukan pada pasien yang
dicurigai HTP, meskipun tidak spesifik. Gambaran tipikal EKG
pada HTP adalah :
Pergeseran axis ke kanan
Gelombang R>S dengan R/S rasio > 1 di V
qR kompleks di lead V1
Pattern rSR’ di lead V1
Gelombang S besar dan R kecil dengan R/S rasio < 1 di
lead V
1
5 atau V
Pattern S6
1, S2, S
Gambaran gelombang ST depresi dan inversi sering muncul di lead
precordial kanan. Pembesaran atrium kiri ditandai dengan
gelombang P yang tinggi (2,5mm) di lead II, III, AVF dan axis P
frontal 75˚ (Schannwell et al, 2007).
3
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Elektrokardiografi Hipertensi Pulmonal (Diah et al, 2006)
3) Foto Thoraks
Gambaran khas foto thoraks pada HTP ditemukan pembesaran
hilar, bayangan arteri pulmonalis dan pada foto thoraks lateral
pembesaran ventrikel kanan (Diah et al, 2006).
Gambar 2.5 Foto Thoraks Hipertensi Pulmonal (Rastogi et al, 2006)
4) Pemeriksaan Angiografi
Kateterisasi jantung merupakan baku emas untuk diagnosis
HTP. Kateterisasi membantu diagnosis dengan menyingkirkan
etiologi lain seperti penyakit jantung kiri dam memberikan
informasi penting untuk dugaan prognostik pada pasien dengan
HTP. Kateterisasi jantung dilakukan pada pasien dengan HTP yang
signifikan sesudah pemeriksaan klinis dan ekokardiografi, terutama
pada yang direncanakan untuk pengobatan (Diah et al, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Namun hal ini sulit dilakukan terutama pada pasien PGTA dengan
penyakit yang sudah terminal (Abdelwhab et al, 2009).
2.2 Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra et al, 2006).
2.2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) membuat klasifikasi
PGK dalam 5 tahap berdasarkan tingkat penurunan fungsi ginjal yang dinilai
dengan laju filtrasi glomerular (LFG). Untuk menghitung LFG menggunakan
rumus Cockroft-Gault, yaitu :
*) pada perempuan dikalikan 0,85 (Suwitra et al, 2006)
Tabel 2.5 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra et al, 2006)
Stadium Penjelasan LFG (ml/min/1,73m2) 1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
meningkat ≥90
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG yang ringan
60-89
3 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG yang sedang
30-59
4 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG yang berat
15-29
5 Gagal Ginjal <15 atau dialisis
LFG (ml/min/1,73m2) = (140-umur) X BB (kg)
72 x Kreatinin Plasma
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Etiologi Penyakit Ginjal Kronik
Etiologi PGK sangat bervariasi antar satu negara dengan yang lainnya.
Di Indonesia, etiologi gagal ginjal pasien-pasien yang menjalani HD berupa
glomerulonefritis, DM, obstruksi dan infeksi, hipertensi dan sebab lain (nefritis
lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, dan penyebab yang
tidak diketahui) (Suwitra et al, 2006).
2.2.3 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik
Penatalaksanaan PGK amat beragam, yaitu terapi spesifik terhadap
penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid,
memperlambat perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, dan terapi pengganti
ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Terapi pengganti ginjal dilakukan
pada PGK stadium 5 atau gagal ginjal tahap akhir, yaitu pada LFG <15
ml/min/1,73m2
. Terapi pengganti tersebut dapat berupa HD, CAPD maupun
transplantasi ginjal, di mana HD merupakan pilihan yang paling umum dijumpai
di Indonesia (Clarkson et al, 2005) dan salah satu komplikasi dari pasien PGTA
yang menjalani HD adalah HTP (Yigla et al, 2009)
Universitas Sumatera Utara