Upload
nguyennga
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembinaan Narapidana Residivis
2.1.1 Pengertian Pembinaan
Menurut ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02-PK.04.10
Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan, menyatakan
pengertian pembinaan adalah Pembinaan meliputi tahanan, pelayanan tahanan,
pembinaan narapidana dan bimbingan klien.
a. Pelayanan tahanan adalah segala kegiatan yang dilaksanakan dari mulai
penerimaan sampai dalam tahap pengeluaran tahanan.
b. Pembinaan narapidana adalah semua usaha yang ditujukan untuk
memperbiki dan meningkatkan akhlak( budi pekerti ) para narapidana
yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan/ Rutan.
c. Bimbingan klien ialah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki dan
meningkatkan akhlak( budi pekerti ) para klien pemasyarakatan di luar
tembok.1
Ditinjau dari segi bahasa, Pembinaan diartikan sebagai Proses, cara,
perbuatan membina , kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk
memperoleh hasil yang lebih baik (Kamus Besar Bahasa Indonesia : 655).2
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pembinaan adalah
bentuk corak, model kegiatan atau tindakan yang dilakukan secara berdaya guna
dan berhasil guna memperoleh hasil yang baik.
1 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor:M.02-PK.04.10,Tahun 1990,Tentang Pola Pembinaan
Narapidana/Tahanan,From http://www.Departemen hukum dan ham. Co. id Ditjen Pas =Search 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia,Cetakan Ketiga,2001,Balai Pustaka,Jakarta,Hlm.655.
2
Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 , dalam rangka
pembinaan terhadap narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar:
1) Umur;
2) Jenis Kelamin;
3) Lama Pidana yang dilakukan;
4) Jenis Kejahatan; dan
5) Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan
pembinaan.3
Menurut Ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990, menyatakan bahwa dasar pemikiran
pembinaan Narapidana tertuang dalam 10 prinsip pemasyarakatan, yaitu:
(1) Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya
sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
(2) Penjatuhan pidana tidak lagi didasarkan oleh latar belakang pembalasan. Ini
berarti tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana pada umumnya, baik
yang berupa tindakan, ucapan, cara penempatan ataupun penempatan. Satu-
satunya derita yang dialami narapidana adalah hanya dibatasi kemerdekannya
untuk leluasa bergerak di dalam masyarakat bebas.
(3) Berikan bimbingan supaya mereka bertobat. Berikan kepada mereka
pengertian tentang norma-norma hidup dan kegiatan sosial untuk
menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.
(4) Negara tidak berhak membuat mereka menjadi buruk atau lebh jahat dari
pada sebelum dijatuhi pidana.
(5) Selama kehilangan( dibatasi ) kemerdekaan bergeraknya para narapidana
tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995,Tentang Pemasyarakatan.
3
(6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh sekedar pengisi
waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi keperluan
jabatan atau kepentingan negara kecuali pada waktu tertentu.
(7) Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana adalah
berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa kepada mereka harus
ditanamkan semangat kekeluargaan dan toleransi disamping meningkatkan
pemberian pendidikan rohani kepada mereka disertai dorongan untuk
menunaikan ibadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut.
(8) Narapidana bagaikan orang sakit yang perlu diobati agar mereka sadar
bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukan adalah merusak diri,
keluarga dan lingkungan, kemudian dibina/ dibimbing ke jalan yang benar.
Selain itu mereka harus diperlukan sebagai manusia yang memiliki harga diri
akan tumbuh kembali kepribadiannya yang percaya akan kekuatan dirinya
sendiri.
(9) Narapidana hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekannya dalam
waktu tertentu.
(10) Untuk pembinaan dan pembimbingan narapidana maka disediakan sarana
yang diperlukan.4
2.1.2 Pembinaan Dan Pengaturan Narapidana
1. Pembinaan Narapidana
Kebutuhan akan pedoman-pedoman perilaku yang akan dapat memberikan
pegangan bagi manusia, antara lain, menimbulkan norma atau kaedah. Norma atau
4 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor:M.02-PK.04.10,Tahun 1990,Tentang Pola Pembinaan
Narapidana/Tahanan,From http://www.Departemen hukum dan ham. Co. id Ditjen Pas =Search
4
kaedah tersebut, dari sudut hakekatnya merupakan suatu pandangan menilai
terhadap perilaku manusia. Dengan demikian, maka suatu norma atau kaedah
merupakan patokan-patokan mengenai perilaku yang di anggap pantas.
Adanya peraturan-peraturan hukum harus dipatuhi, penguasa yang membuat
hukum tidak bermaksud untuk menyusun peraturan-peraturan untuk dilanggar oleh
karena peraturan-peraturan hukum dibuat adalah dengan tujuan untuk memecahkan
problema-problema yang terjadi dan bukan untuk menambah jumlah problema yang
sudah ada di masyarakat.
Untuk memberikan keadilan kepada masyarakat, dalam hukum positif kita diatur
perbuatan-perbuatan yang di golongkan ke dalam pelanggaran dan kejahatan.5
Pembinaan narapidana merupakan salah satu upaya yang bersifat Ultimum
Remidium(upaya terakhir) yang lebih tertuju kepada alat agar narapidana sadar akan
perbuatannya sehingga pada saat kembali ke dalam masyarakat ia akan menjadi
baik, baik dari segi keagaman, sosial budaya maupun moral sehingga akan tercipta
keserasian dan keseimbangan di tengah-tengah masyarakat.
Pemasyarakatan membentuk sebuah prinsip pembinaan dengan sebuah
pendekatan yang lebih manusiawi hal tersebut terdapat dalam usaha-usaha
pembinaan yang dilakukan terhadap pembinaan dengan sistem pemasyarakatan
seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang
pemasyarakatan. Hal ini mengandung artian pembinaan narapidana dalam sistem
pemasyarakatan merupakan wujud tercapainya reintegrasi sosial yaitu pulihnya
5 Rena Yulia,Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Cet. Pertama,Graha
Ilmu,Yogyakarta,Hlm.70-72.
5
kesatuan hubungan narapidana sebagai individu, makhluk sosial dan makhluk
Tuhan.6
Kemudian dirumuskan dalam konfrensi dinas kepenjaraan yang menghasilkan
sepuluh prinsip dasar pembinaan dan bimbingan bagi narapidana yaitu:
1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal
hidup sebagai warganegara yang baik dan berguna dalam masyarakat.
2. Penjatuhan pidana bukan merupakan tindakan pembalasan dendam oleh
negara.
3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan
bimbingan.
4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk dan jahat daripada
sebelum ia masuk lembaga.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan
kepada masyarakat dan tidak bolehdi asingkan dari padanya.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi
waktu,atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan negara
sewaktu saja.
7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila.
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun
telah tersesat.
9. Narapidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.
6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
6
10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru dan sesuai
dengan kebutuhan pelaksanaan program-pembinaan pemasyarakatan.7
2. Pengaturan Pembinaan Narapidana
Dalam mencapai sistem pembinaan yang baik partisipasi datang bukan
hanya datang dari petugas, tetapi juga masyarakat disamping narapidana itu
sendiri. Dalam usaha memberikan parisipasinya, seorang petugas lembaga
pemasyarakatan senantiasa bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip
pemasyarakatan. Seorang petugas lembaga pemasyarakatan barulah dianggap
berpartisipasi jika ia sanggup menunjukkan sikap, tindakan dan kebijaksanaan
dalam mencerminkan pengayoman baik terhadap masyarakat maupun terhadap
narapidana.
Untuk pelaksanaan pidana penjara yang berdasarkan kepada sistem
pemasyarakatan di Indonesia saat ini mengacu kepada Undang-undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Serta penjelasan Umum Undang-undang
Pemasyarakatan yang merupakan dasar yuridis filosofi tentang pelaksanaan sistem
pemasyarakatan di Indonesia dinyatakan bahwa:
1. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiranpemikiran baru
mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga
merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan
pemasyarakatan telah melahirkan suatu sitem pembinaan yang sejak lebih dari
tiga puluh tahun yang dinamakan sistem pemasyarakatan.
7 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor:M.02-PK.04.10,Tahun 1990,Tentang pola Pembinaan
Narapidana/Tahanan,From http://www.Departeman hukum dan ham.co.id Ditjen Pas Search
7
2. Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan
(stelsel)pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat(Pasal 14a KUHP),
pelepasan bersyarat (Pasal 15KUHP), dan pranata khusus penentuan serta
penghukuman terhadap anak (Pasal 45, 46, dan 47 KUHP), namun pada
dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem pemenjaraan.
Sitem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan
penjeraan, sehingga institusi yang dipergunakan sebagai tempat pembinaan
adalah rumah penjara bagi narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak
yang bersalah.
3. Sistem pemenjaraan sangat menekankan kepada unsur balasdendam dan
penjeraan yang disertai dengan lembaga rumah penjara secara berangsur-
angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan
konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari
kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan
menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan
lingkungannya. 8
2.1.3 Narapidana Residivis
Narapidana Residivis adalah anggota masyarakat yang karena
kesalahannya telah melanggar hukum berulang-kali dalam kurun waktu tertentu.
Biasanya masyarakat mempunyai pandangan yang berbeda terhadap mereka,
bahkan enggan untuk menerima kembali mereka , hal ini tentu saja menjadi
hambatan tersendiri bagi proses pemasyarakatan.
8 Dwidja Priyanto,2009,Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia Cet Kedua,PT Refika
Aditama,Bandung,Hlm.102.
8
Sistem yang di pergunakan KUHP adalah sistem antara, berhubung
penggolongan kejahatan yang di lakukan oleh seorang yang memilki sifat yang
sama dengan kejahatan yang di lakukan sebelumnya. Namun ada beberapa pasal
yang di sebutkan dalam KUHP yaitu mengatur tentang terjadinya sebuah tindakan
pengulangan (recidive). Ada dua kelompok yang dikategorikan sebagai kejahatan
pengulangan yaitu:
a. Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu
dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya.
Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana tertentu yang di sebutkan
dalam Pasal 486, 487 dan 488 KUHP.
b. Diluar kelompok kejahatan dalam Pasal 486 sampai 488, KUHP juga
menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi
pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3), Pasal 489 ayat (2), Pasal 495
ayat (2) dan Pasal 512 ayat (3). 9
Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat digolongkan
menjadi:
1. Pengulangan tindak pidana menurut ilmu kriminologi, dibagi dalam
penggolongan pelaku tindak pidana sesuai dengan perbuatanperbuatan
yang dilakukan yaitu;
a. Pelanggaran hukum bukan residivis (mono deliquent/pelanggar satu
kali/first offenders) yaitu yang melakukan tindak pidana hanya satu
kali saja.
b. Residivis yang di bagi menjadi:
1. Penjahat yang akut meliputi para pelanggar yang bukan residivis dan mereka
telah berulangkali melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana umum
9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Cetakan II, Pustaka Yustisia, Jakarta, Hlm.611-612.
9
namun rentang waktu melakukan tindak pidana itu jauh, atau perbuatan
pidana berbeda-beda sehingga ada hubungan kriminalitas atau dengan kata
lain dalam jarak waktu tersebut misalnya 5 tahun menurutPasal 486,487 dan
488 KUHP Indonesia.
2. Penjahat kronis, adalah golongan pelanggar hukum yang telah mengalami
penjatuhan pidana yang berlipat ganda dalam waktu singkat dari selang
masing-masing putusan.
3. Penjahat berat, yaitu mereka yang paling sedikit telah dijatuhi pidana 2 kali
dan menjalani pidana berbulan-bulan dan lagi mereka yang karena kelakuan
anti sosial sudah merupakan kebiasaan atau sesuatu hal yang telah menetap
bagi mereka.
4. Penjahat sejak umur muda tipe ini ia melakukan kejahatan semenjak dia
kanak-kanak berawal dari kenakalan anak.10
2. Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tindak pidana
dibedakan 2 (dua) jenis, yaitu: Pengulangan tindak pidana yang dibedakan
berdasarkan cakupannya antara lain:
1) Pengertian yang luas yaitu meliputi orang-orang yang melakukan suatu
rangkaian kejahatan tampa diselingi suatu penjatuhan pidana/comdemnation
2) Dalam pengertian yang lebih sempit yaitu bila sipelaku telah melakukan
kejahatan yang sejenis (homologus recidivism) artinya ia menjalani suatu
pidana tertentu dan ia mengulangi perbuatan itu lagi dalam rentang waktu
10
Friendric Stumpl,1997, Pemikiran Hukum Pidana Di Dalam Teori Dan Praktik, Refika
Aditama, Bandung,Hlm.161.
10
tertentu misalnya 5 (lima) tahun semenjak terpidana menjalani semua atau
sebagian hukuman yang telah dijatuhkan padanya.
Selain kepada bentuk di atas, pengulangan tindak pidana juga dapat di
bedakan atas;
1) Accidentale recidive,yaitu pengulangan tindak pidana yang
dilakukan merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan
menjepitnya.
2) Habituele recedive, yaitu pengulangan tindak pidana yang dilakukan
karena sipelaku memang sudah mempunyaiinner criminal situation
yaitu tabiat jahat sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa
baginya.11
A. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Residivis, Yaitu:
Seseorang melakukan perilaku yang terlarang karena hati nurani, atau
superego-nya begitu lemah atau tidak sempurna sehingga ego-nya (yang berperan
sebagai suatu penengah antara superego dan id) tidak mampu mengontrol
dorongan-dorongan dari id (bagian dari kepribadian yang mengandung keinginan
dan dorongan yang kuat untuk di puaskan dan di penuhi).12
Residivis merupakan seseorang hasil dari suatu gejala sosial yang dapat
timbul dari prilaku jahat nya dan menjadi kebiasaan dari pelaku suatu tindak
pidana itu, dalam pembinaan narapidana salah satu tujuan nya adalah untuk
menekan tingkat angka residivis setelah mereka kembali ketengah-tengah
11
Ibid,Friendric Stumpl,Hlm164. 12
Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa,2011,Kriminologi,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,Hlm.51.
11
masyarakat. Selain dari kesalahan penerapan pembinaan narapidana ada banyak
faktor yang menjadi pendukung terjadinya pengulangan perbuatan pidana
diantaranya dari lingkungan masyarakat tempat kembalinya.
1. Lingkungan Masyarakat
Didalam masyarakat orang yang kelakuannya menyimpang atau menyalahi
norma yang telah disepakati maka akan menimbulkan akibat yang beragam ada
yang berakibat positif dan ada juga akibat yang negatif. Diantara akibat itu kalau
yang berbentuk positif maka akan menimbulkan suatu perubahan dan gejala sosial
dan ini dapat memancing timbulnya kreatifitas manusia untuk menanggulanginya
dan mencari penyelesaian yang sesuai dengan norma yang dilanggar itu,
sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan dari prilaku yang menyimpang itu
akan menyebabkan terancamnya ketenangan dan ketentraman serta akan
menimbulkan tidak terciptanya ketertiban dalam masyarakat dan ini jelas akan
menimbulkan respon dari masyarakat karena mereka merasa terancam karena
penyimpangan itu.
Salah satu respon dari masyarakat yang merasa terancam ketenangan
lingkungan dan ketertiban masyarakat kemudian menimbulkan stigmatisasi
terhadap individu yang melakukan perilaku yang menyimpang tersebut.
Stigmatisasi sebagai mana yang telah dijelaskansebelumnya merupakan proses
pemberian cap oleh masyarakat melalui tindakan-tindakan yang dilakukan dalam
proses peradilan bahwa ia adalah orang yang jahat. Lebih lanjut dan lebih dalam
lagi pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hukum yang bersangkutan, lebih
besar kemungkinan ia menghayati dirinya sebagai benar-benar pelanggar hukum
12
yang jahat dan pada gilirannya yang lebih besar lagi penolakan masyarakat
terhadap yang bersangkutan sebagai anggota masyarakat yang tidak dapat di
percaya. 13
Pada dasarnya jika kita lihat stigmatisasi ini muncul disebabkan karena rasa
ketakutan dari masyarakata terhadap mantan terpidana karena ada kekhawatiran ia
akan mempengaruhi orang lain dan membawa orang itu untuk juga melakukan
perbuatan melanggar hukum.
2. Dampak dari Prisonisasi
Prisonisasi bukanlah hal yang baru dalam sisitem pemasyarakatan yang
diartikan sebagai sesuatu hal yang buruk menjadi pengaruh negatif terhadap
narapidana dimana pengaruh itu berasal dari nilai dan budaya penjara. Pada
saat dicetuskannya sistem pemasyarakatan pada tahun 1963 oleh Sahardjo salah
satu asumsi yang dikemukakan adalah bahwa negara tidak berhak membuat
orang lebih buruk atau jahat sebelum dan di penjara, asumsi ini secara langsung
menunjukkan pengakuan terhadap pemenjaraan secara potensial dapat
menimbulkan dampak negatif.14
2.2 Efektivitas Pidana Penjara
Menurut Dwidja Priyanto, efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua
aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat meliputi
tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan
keseimbangan masyarakat (antara lain menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa
13
Didin Sudirman,2006,Masalah-Masalah Actual Tentang Pemasyarakatan,Pusat Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia,Gandul Cinere Depok,Hlm.52. 14
Didin Sudirman,2006,Masalah-Masalah Actual Tentang Pemasyarakatan,Pusat Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia,Gandul Cinere Depok,Hlm.54.
13
aman, memperbaiki kerugian/kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat
kembali nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat); sedangkan yang dimaksud
dengan aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan, antara lain melakukan
rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari
perlakuan sewenang-wenang di luar hukum.15
2.2.1 Efektivitas Pidana Penjara Di Lihat Dari Aspek Perlindungan
Masyarakat
Di lihat dari aspek perlindungan/kepentingan masyarakat maka suatu pidna di
katakana efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau
mengurangi kejahatan.Jadi kriteria efektivitas di lihat dari seberapa jauh frekuensi
kejahatan dapat di tekan. Dengan kata lain, kriterianya terletak pada seberapa jauh
efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah
warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan.16
2.2.2 Efektivitas Pidana Penjara Di Lihat Dari Aspek Perbaikan Si
Pelaku
Di lihat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektivitas terletak pada
aspek pencegahan khusus (special prevention) dari pidana.Jadi ukurannya terletak
pada masalah seberapa jauh pidana itu (penjara) mempunyai pengaruh terhadap si
pelaku/terpidana. Ada dua aspek pengaruh pidana terhadap terpidana, yaitu aspek
pencegahan awal (deterent aspect)dan aspek perbaikan (remormative aspect).
Aspek pertama (deterent aspect), biasanya di ukur dengan menggunakan
indikator residivis. Berdasarkan indikator inilah maka suatu pidana adalah efektif
apabila si pelanggar tidak di pidana lagi dalam suatu periode tertentu. Selanjutnya
15
Dwidja Priyanto,2009,Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia Cet Kedua,PT Refika Aditama,Bandung,Hlm.83. 16
Ibid,Dwidja Priyanto,Hlm.83.
14
di tegaskan, bahwa efektivitas adalah suatu pengukuran dari perbandingan antara
jumlah pelanggar yang di pidana kembali dan yang tidak di pidana kembali.
Aspek kedua yaitu aspek perbaikan (remormative aspect), berhubungan
dengan masalahperubahan sikap dari terpidana, masih merupakan masalah yang
belum dapat di jawab secara memuaskan. Hal ini di sebabkan adanya beberapa
problem metodologis yang belum terpecahkan dan belum ada kesepakatan,
khususnya mengenai:
a. Apakah ukuran untuk menentukan telah adanya “tanda-tanda perbaikan
atau adanya perubahan sikap pada diri si pelaku; ukuran recidivism rate
atau reconviction rate masih banyak yang meragukan
b. Berapa lamanya periode tertentu untuk melakukan eveluasi terhadap ada
tidaknya perubahan sikap setelah terpidana menjalani pidana penjara.17
2.3 Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
kepada narapidana dan anak didik pemasyarakatan (Kamus Hukum : 240).18
Selama ini Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) identik dengan tempat
penghukuman para pelaku kejahatan dan pelakunya di sebut sebagai
penjahat.Secara berbeda, Josias Simon mengatakan tidak ada kejahatan tanpa
penjahat, sebaliknya tak ada penjahat tanpa kejahatan.Kejahatan bila hanya di
tengok dari sisi kacamata hukum pidana menyerupai “hukum tanpa kepala” tak
jelas pandangan kemasyarakatannya. Seorang kriminal atau narapidana ada,
17
Ibid,Dwidja Priyanto,Hlm.84. 18
Kamus Hukum,Citra Umbara,Bandung,Hlm.240.
15
bukan di bentuk secara lahiriah tapi merupakan produk kondisi sosial ekonomi
politik dimana ia berada.
Seringkali praktisi lembaga pemasyarakatan mengungkapkan
penghukuman pada tataran awal, mulanya di lakukan polisi, jaksa, dan hakim
namun fungsi penghukuman lanjut menjadi tanggung jawab lembaga
pemasyarakatan (Lapas).Di sini Lapas menjadi lembaga yang di bebani peran
untuk melayani kepentingan masyarakat terutama memberikan dampak
penghukuman. Lapas di haruskan menimbulkan efek jerah atau fungsi preventif,
dan di harapkan bisa memenuhi harapan atau tuntutan dari pihak korban
kejahatan beserta keluarnga.
Lapas sebagai institusional tentu memiliki keterbatasan-keterbatasan fisik dan
organisatoris. Untuk meneliti ke dalam Lapas, seorang peneliti harus memperoleh
ijin pihak berwenang untuk bisa masuk dan mengamati dari dalam Lapas. Lapas
tidak saja dibatasi batas-batas fisik tapi juga batas-batas sosial. Tidak di pungkiri,
akses masuk untuk meneliti dan berinteraksi dengan masyarakat di balik tembok
Lapas sangat terbatas.Batas fisik seperti pagar, tembok, jeruji, diberlakukan bagi
terhukum agar tidak berinteraksi secara bebas layaknya masyarakat diluar Lapas.
Batasan atas ruang ini di laksanakan sesuai aturan penghukuman yang di buat para
ahli hukum yang berada di luar penjara (para legislator dan eksekutif).Para
terhukum sebagai bagian dari masyarakat penjara, mempunyai control kecil
terhadap determinasi batas-batas fisik dan social dalam lapas. Berbeda dengan
petugas, mempunyai control besar terhadap pengelolaan batas-batas ini. Jika
batas-batas fisik dapat diamati secara kasat mata, maka batas-batas social berjalan
16
rutin dalam lapas. Dalam praktek batas-batas social dan pengaturannya diciptakan
dan di miliki bersama oleh para aktor petugas dan narapidana. Batas-batas fisik
dan social mendasari timbulnya kesepakatan-kesepakatan tertentu diantara
petugas dan narapidana untuk saling bekerja sama menafsirkan penggunaan dan
pemanfaatan batas-batas tersebut sesuai kebutuhan dan kepentingan masing-
masing.19
2.3.1 Sistem Pemasyarakatan
Sistem pemasyarakatan merupakan sistem baru pengganti sistem penjara
yang dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1964. Sistem pemasyarakatan ini
berbeda dengan sistem kepenjaraan dimana tujuannya sistem pemasyarakatan
adalah memasyarakatkan narapidana dengan memperlakukan narapidana sebagai
manusian dan menjunjung tinggi martabat manusia.
“Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta
cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pansasila yang
dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk
meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.20
Sistem Pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan
hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari
pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan.
19
A. Josias Simon R,2012,Budaya Penjara Pemahaman Dan Implementasi,CV Karya Putra Darwati,Bandung,Hlm.3. 20
Dwidja Priyanto,2009,Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia Cet Kedua,PT Refika Aditama,Bandung,Hlm.105.
17
Sistem pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan
Pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan untuk melindungi masyarakat
terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan
Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga
keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan
maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan
yang telah selesai menjalani pidananya.
Sistem pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan
Pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan untuk melindungi masyarakat
terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan
Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Untuk melaksanakan sistem
pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga keikutsertaan masyarakat, baik dengan
mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia
menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani
pidananya.
“Tujuan diselenggarakannya Sistem Pemasyarakatan dalam rangka
membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia
seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi
tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab
(Pasal 2 UU No.12/1995)”.
18
“Yang dimaksud dengan ‘agar menjadi manusia seutuhnya’ adalah upaya
untuk memulihkan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kepada
fitrahnya dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan
pribadinya, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan
lingkungannya (Penjelasan Pasal 2 UU No.12/1995)”.
“Fungsi sistem pemasyarakatan menyiapkan Warga Binaan
Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat,
sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas
dan bertanggungjawab.Yang dimaksud dengan ‘berintegrasi secara sehat’
adalah pemulihan kesatuan hubungan Warga Binaan Pemasyarakatan
dengan masyarakat (Pasal 3 UU No. 12/1995)”.21
2.3.2 Fungsi Lembaga Pemasyarakatan
Aturan hukum, bukanlah poros dari sebuah keputusan yang berbobot. Aturan
tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan yang kompleks. Lagi pula,
kebenaran yang riil, bukan terletak dalam undang – undang, tapi pada kenyataan
hidup.
Aturan-aturan hukum, hanya menjadi slah satu faktor yang patut
dipertimbangkan dalam keputusan yang berbobot. Faktor moral, soal
kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan sosial misalnya, menjadi faktor yang
tidak kalah penting dalam mengambil keputusan yang berisi. Jadi bukan sebuah
pantangan, jika demi putusan yang fungsional dan kontekstual, aturan resmi
terpaksa di singkirkan (lebih-lebih jika menggunakan aturan itu justru berakibat
buruk).22
Tujuan utama dari lembaga pemasyarakatan adalah melakukan pembinaan
bagi warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara
21
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 22
Jonaedi Efendi,2010,Mafia Hukum Mengungkap Praktik Tersembunyi Jual Beli Hukum & Alternatif Pemberantasannya Dalam Perspektif Hukum Progresif,PT. Prestasi Pustakaraya,Jakarta,Hlm.68-69.
19
pembinaan sebagai bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam system peradilan
pidana. Di dalam lembaga pemasyarakatan di persiapkan berbagai program
pembinaan bagi para narapidana sesuai dengan tingkat pendidikan, jenis kelamin,
agama, dan jenis tindak pidana yang di lakukan narapidana tersebut. Program
pembinaan bagi para narapidana di sesuaikan pula dengan lama hukuman yang
akan di jlani para narapidana dan anak didik, agar mencapai sasara yang di
tetakan, yaitu agar merekamenjadi warga yang baik di kemudian hari.23
Program-program pembinaan narapidana dan anak didik yang di tetapkan
pemerintah sesuai undang-undang bertujuan agar para naraidana dan anak didik
kembali ke masyarakat dan dapat berpartisipasi membangun bangsa. Namun
kehadiran mereka di masyarakat tidak semudah yang kita banyangkan, karena
masyarakat sadar pada saat narapidana dan anak didik di penjara terjadi
prisonisasi yaitu pengambil-alihan atau peniru tentang tata cara, adat istiadat dan
budaya para narapidana dan anak didik pada saat melakuka tindak pidana.
Lembaga pemasyarakatn sebagai instansi terakhir dalam pembinaan narapidana
harus memperhatikan secara sungguh-sungguh hak dan kepentingan narapidana
(warga binaan yang bersangkutan). Peran serta lembaga pemasyarakatan dalam
membina warga binaan sangat stategis dan dominan, terutama dalam memulihkan
kondisi warga binaan pada kondisi sebelum melakukan tindakan pidana, dan
melakukan pembinaan di bidang kerohanian dan keterampilan seperti
pertukangan, menjahit dan sebagainya.
23
C.Djisman Samosir,2012,Sekelumit Tentang Penologi Dan Pemasyarakatan,Nuansa Aulia,Bandung,Hlm.128.