19
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembinaan Narapidana Residivis 2.1.1 Pengertian Pembinaan Menurut ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan, menyatakan pengertian pembinaan adalah Pembinaan meliputi tahanan, pelayanan tahanan, pembinaan narapidana dan bimbingan klien. a. Pelayanan tahanan adalah segala kegiatan yang dilaksanakan dari mulai penerimaan sampai dalam tahap pengeluaran tahanan. b. Pembinaan narapidana adalah semua usaha yang ditujukan untuk memperbiki dan meningkatkan akhlak( budi pekerti ) para narapidana yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan/ Rutan. c. Bimbingan klien ialah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak( budi pekerti ) para klien pemasyarakatan di luar tembok. 1 Ditinjau dari segi bahasa, Pembinaan diartikan sebagai Proses, cara, perbuatan membina , kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik (Kamus Besar Bahasa Indonesia : 655). 2 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pembinaan adalah bentuk corak, model kegiatan atau tindakan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna memperoleh hasil yang baik. 1 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor:M.02-PK.04.10,Tahun 1990,Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan,From http://www.Departemen hukum dan ham. Co. id Ditjen Pas =Search 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia,Cetakan Ketiga,2001,Balai Pustaka,Jakarta,Hlm.655.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembinaan Narapidana …eprints.ung.ac.id/2317/5/2013-1-74201-271409106-bab2... · pengertian tentang norma-norma hidup dan kegiatan sosial untuk ... konsep

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembinaan Narapidana Residivis

2.1.1 Pengertian Pembinaan

Menurut ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02-PK.04.10

Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan, menyatakan

pengertian pembinaan adalah Pembinaan meliputi tahanan, pelayanan tahanan,

pembinaan narapidana dan bimbingan klien.

a. Pelayanan tahanan adalah segala kegiatan yang dilaksanakan dari mulai

penerimaan sampai dalam tahap pengeluaran tahanan.

b. Pembinaan narapidana adalah semua usaha yang ditujukan untuk

memperbiki dan meningkatkan akhlak( budi pekerti ) para narapidana

yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan/ Rutan.

c. Bimbingan klien ialah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki dan

meningkatkan akhlak( budi pekerti ) para klien pemasyarakatan di luar

tembok.1

Ditinjau dari segi bahasa, Pembinaan diartikan sebagai Proses, cara,

perbuatan membina , kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk

memperoleh hasil yang lebih baik (Kamus Besar Bahasa Indonesia : 655).2

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pembinaan adalah

bentuk corak, model kegiatan atau tindakan yang dilakukan secara berdaya guna

dan berhasil guna memperoleh hasil yang baik.

1 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor:M.02-PK.04.10,Tahun 1990,Tentang Pola Pembinaan

Narapidana/Tahanan,From http://www.Departemen hukum dan ham. Co. id Ditjen Pas =Search 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia,Cetakan Ketiga,2001,Balai Pustaka,Jakarta,Hlm.655.

2

Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 , dalam rangka

pembinaan terhadap narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar:

1) Umur;

2) Jenis Kelamin;

3) Lama Pidana yang dilakukan;

4) Jenis Kejahatan; dan

5) Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan

pembinaan.3

Menurut Ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia

Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990, menyatakan bahwa dasar pemikiran

pembinaan Narapidana tertuang dalam 10 prinsip pemasyarakatan, yaitu:

(1) Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya

sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

(2) Penjatuhan pidana tidak lagi didasarkan oleh latar belakang pembalasan. Ini

berarti tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana pada umumnya, baik

yang berupa tindakan, ucapan, cara penempatan ataupun penempatan. Satu-

satunya derita yang dialami narapidana adalah hanya dibatasi kemerdekannya

untuk leluasa bergerak di dalam masyarakat bebas.

(3) Berikan bimbingan supaya mereka bertobat. Berikan kepada mereka

pengertian tentang norma-norma hidup dan kegiatan sosial untuk

menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.

(4) Negara tidak berhak membuat mereka menjadi buruk atau lebh jahat dari

pada sebelum dijatuhi pidana.

(5) Selama kehilangan( dibatasi ) kemerdekaan bergeraknya para narapidana

tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995,Tentang Pemasyarakatan.

3

(6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh sekedar pengisi

waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi keperluan

jabatan atau kepentingan negara kecuali pada waktu tertentu.

(7) Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana adalah

berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa kepada mereka harus

ditanamkan semangat kekeluargaan dan toleransi disamping meningkatkan

pemberian pendidikan rohani kepada mereka disertai dorongan untuk

menunaikan ibadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut.

(8) Narapidana bagaikan orang sakit yang perlu diobati agar mereka sadar

bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukan adalah merusak diri,

keluarga dan lingkungan, kemudian dibina/ dibimbing ke jalan yang benar.

Selain itu mereka harus diperlukan sebagai manusia yang memiliki harga diri

akan tumbuh kembali kepribadiannya yang percaya akan kekuatan dirinya

sendiri.

(9) Narapidana hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekannya dalam

waktu tertentu.

(10) Untuk pembinaan dan pembimbingan narapidana maka disediakan sarana

yang diperlukan.4

2.1.2 Pembinaan Dan Pengaturan Narapidana

1. Pembinaan Narapidana

Kebutuhan akan pedoman-pedoman perilaku yang akan dapat memberikan

pegangan bagi manusia, antara lain, menimbulkan norma atau kaedah. Norma atau

4 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor:M.02-PK.04.10,Tahun 1990,Tentang Pola Pembinaan

Narapidana/Tahanan,From http://www.Departemen hukum dan ham. Co. id Ditjen Pas =Search

4

kaedah tersebut, dari sudut hakekatnya merupakan suatu pandangan menilai

terhadap perilaku manusia. Dengan demikian, maka suatu norma atau kaedah

merupakan patokan-patokan mengenai perilaku yang di anggap pantas.

Adanya peraturan-peraturan hukum harus dipatuhi, penguasa yang membuat

hukum tidak bermaksud untuk menyusun peraturan-peraturan untuk dilanggar oleh

karena peraturan-peraturan hukum dibuat adalah dengan tujuan untuk memecahkan

problema-problema yang terjadi dan bukan untuk menambah jumlah problema yang

sudah ada di masyarakat.

Untuk memberikan keadilan kepada masyarakat, dalam hukum positif kita diatur

perbuatan-perbuatan yang di golongkan ke dalam pelanggaran dan kejahatan.5

Pembinaan narapidana merupakan salah satu upaya yang bersifat Ultimum

Remidium(upaya terakhir) yang lebih tertuju kepada alat agar narapidana sadar akan

perbuatannya sehingga pada saat kembali ke dalam masyarakat ia akan menjadi

baik, baik dari segi keagaman, sosial budaya maupun moral sehingga akan tercipta

keserasian dan keseimbangan di tengah-tengah masyarakat.

Pemasyarakatan membentuk sebuah prinsip pembinaan dengan sebuah

pendekatan yang lebih manusiawi hal tersebut terdapat dalam usaha-usaha

pembinaan yang dilakukan terhadap pembinaan dengan sistem pemasyarakatan

seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang

pemasyarakatan. Hal ini mengandung artian pembinaan narapidana dalam sistem

pemasyarakatan merupakan wujud tercapainya reintegrasi sosial yaitu pulihnya

5 Rena Yulia,Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Cet. Pertama,Graha

Ilmu,Yogyakarta,Hlm.70-72.

5

kesatuan hubungan narapidana sebagai individu, makhluk sosial dan makhluk

Tuhan.6

Kemudian dirumuskan dalam konfrensi dinas kepenjaraan yang menghasilkan

sepuluh prinsip dasar pembinaan dan bimbingan bagi narapidana yaitu:

1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal

hidup sebagai warganegara yang baik dan berguna dalam masyarakat.

2. Penjatuhan pidana bukan merupakan tindakan pembalasan dendam oleh

negara.

3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan

bimbingan.

4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk dan jahat daripada

sebelum ia masuk lembaga.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan

kepada masyarakat dan tidak bolehdi asingkan dari padanya.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi

waktu,atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan negara

sewaktu saja.

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila.

8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun

telah tersesat.

9. Narapidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.

6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

6

10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru dan sesuai

dengan kebutuhan pelaksanaan program-pembinaan pemasyarakatan.7

2. Pengaturan Pembinaan Narapidana

Dalam mencapai sistem pembinaan yang baik partisipasi datang bukan

hanya datang dari petugas, tetapi juga masyarakat disamping narapidana itu

sendiri. Dalam usaha memberikan parisipasinya, seorang petugas lembaga

pemasyarakatan senantiasa bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip

pemasyarakatan. Seorang petugas lembaga pemasyarakatan barulah dianggap

berpartisipasi jika ia sanggup menunjukkan sikap, tindakan dan kebijaksanaan

dalam mencerminkan pengayoman baik terhadap masyarakat maupun terhadap

narapidana.

Untuk pelaksanaan pidana penjara yang berdasarkan kepada sistem

pemasyarakatan di Indonesia saat ini mengacu kepada Undang-undang Nomor 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Serta penjelasan Umum Undang-undang

Pemasyarakatan yang merupakan dasar yuridis filosofi tentang pelaksanaan sistem

pemasyarakatan di Indonesia dinyatakan bahwa:

1. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiranpemikiran baru

mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga

merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan

pemasyarakatan telah melahirkan suatu sitem pembinaan yang sejak lebih dari

tiga puluh tahun yang dinamakan sistem pemasyarakatan.

7 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor:M.02-PK.04.10,Tahun 1990,Tentang pola Pembinaan

Narapidana/Tahanan,From http://www.Departeman hukum dan ham.co.id Ditjen Pas Search

7

2. Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan

(stelsel)pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat(Pasal 14a KUHP),

pelepasan bersyarat (Pasal 15KUHP), dan pranata khusus penentuan serta

penghukuman terhadap anak (Pasal 45, 46, dan 47 KUHP), namun pada

dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem pemenjaraan.

Sitem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan

penjeraan, sehingga institusi yang dipergunakan sebagai tempat pembinaan

adalah rumah penjara bagi narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak

yang bersalah.

3. Sistem pemenjaraan sangat menekankan kepada unsur balasdendam dan

penjeraan yang disertai dengan lembaga rumah penjara secara berangsur-

angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan

konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari

kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan

menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan

lingkungannya. 8

2.1.3 Narapidana Residivis

Narapidana Residivis adalah anggota masyarakat yang karena

kesalahannya telah melanggar hukum berulang-kali dalam kurun waktu tertentu.

Biasanya masyarakat mempunyai pandangan yang berbeda terhadap mereka,

bahkan enggan untuk menerima kembali mereka , hal ini tentu saja menjadi

hambatan tersendiri bagi proses pemasyarakatan.

8 Dwidja Priyanto,2009,Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia Cet Kedua,PT Refika

Aditama,Bandung,Hlm.102.

8

Sistem yang di pergunakan KUHP adalah sistem antara, berhubung

penggolongan kejahatan yang di lakukan oleh seorang yang memilki sifat yang

sama dengan kejahatan yang di lakukan sebelumnya. Namun ada beberapa pasal

yang di sebutkan dalam KUHP yaitu mengatur tentang terjadinya sebuah tindakan

pengulangan (recidive). Ada dua kelompok yang dikategorikan sebagai kejahatan

pengulangan yaitu:

a. Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu

dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya.

Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana tertentu yang di sebutkan

dalam Pasal 486, 487 dan 488 KUHP.

b. Diluar kelompok kejahatan dalam Pasal 486 sampai 488, KUHP juga

menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi

pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3), Pasal 489 ayat (2), Pasal 495

ayat (2) dan Pasal 512 ayat (3). 9

Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat digolongkan

menjadi:

1. Pengulangan tindak pidana menurut ilmu kriminologi, dibagi dalam

penggolongan pelaku tindak pidana sesuai dengan perbuatanperbuatan

yang dilakukan yaitu;

a. Pelanggaran hukum bukan residivis (mono deliquent/pelanggar satu

kali/first offenders) yaitu yang melakukan tindak pidana hanya satu

kali saja.

b. Residivis yang di bagi menjadi:

1. Penjahat yang akut meliputi para pelanggar yang bukan residivis dan mereka

telah berulangkali melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana umum

9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Cetakan II, Pustaka Yustisia, Jakarta, Hlm.611-612.

9

namun rentang waktu melakukan tindak pidana itu jauh, atau perbuatan

pidana berbeda-beda sehingga ada hubungan kriminalitas atau dengan kata

lain dalam jarak waktu tersebut misalnya 5 tahun menurutPasal 486,487 dan

488 KUHP Indonesia.

2. Penjahat kronis, adalah golongan pelanggar hukum yang telah mengalami

penjatuhan pidana yang berlipat ganda dalam waktu singkat dari selang

masing-masing putusan.

3. Penjahat berat, yaitu mereka yang paling sedikit telah dijatuhi pidana 2 kali

dan menjalani pidana berbulan-bulan dan lagi mereka yang karena kelakuan

anti sosial sudah merupakan kebiasaan atau sesuatu hal yang telah menetap

bagi mereka.

4. Penjahat sejak umur muda tipe ini ia melakukan kejahatan semenjak dia

kanak-kanak berawal dari kenakalan anak.10

2. Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tindak pidana

dibedakan 2 (dua) jenis, yaitu: Pengulangan tindak pidana yang dibedakan

berdasarkan cakupannya antara lain:

1) Pengertian yang luas yaitu meliputi orang-orang yang melakukan suatu

rangkaian kejahatan tampa diselingi suatu penjatuhan pidana/comdemnation

2) Dalam pengertian yang lebih sempit yaitu bila sipelaku telah melakukan

kejahatan yang sejenis (homologus recidivism) artinya ia menjalani suatu

pidana tertentu dan ia mengulangi perbuatan itu lagi dalam rentang waktu

10

Friendric Stumpl,1997, Pemikiran Hukum Pidana Di Dalam Teori Dan Praktik, Refika

Aditama, Bandung,Hlm.161.

10

tertentu misalnya 5 (lima) tahun semenjak terpidana menjalani semua atau

sebagian hukuman yang telah dijatuhkan padanya.

Selain kepada bentuk di atas, pengulangan tindak pidana juga dapat di

bedakan atas;

1) Accidentale recidive,yaitu pengulangan tindak pidana yang

dilakukan merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan

menjepitnya.

2) Habituele recedive, yaitu pengulangan tindak pidana yang dilakukan

karena sipelaku memang sudah mempunyaiinner criminal situation

yaitu tabiat jahat sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa

baginya.11

A. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Residivis, Yaitu:

Seseorang melakukan perilaku yang terlarang karena hati nurani, atau

superego-nya begitu lemah atau tidak sempurna sehingga ego-nya (yang berperan

sebagai suatu penengah antara superego dan id) tidak mampu mengontrol

dorongan-dorongan dari id (bagian dari kepribadian yang mengandung keinginan

dan dorongan yang kuat untuk di puaskan dan di penuhi).12

Residivis merupakan seseorang hasil dari suatu gejala sosial yang dapat

timbul dari prilaku jahat nya dan menjadi kebiasaan dari pelaku suatu tindak

pidana itu, dalam pembinaan narapidana salah satu tujuan nya adalah untuk

menekan tingkat angka residivis setelah mereka kembali ketengah-tengah

11

Ibid,Friendric Stumpl,Hlm164. 12

Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa,2011,Kriminologi,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,Hlm.51.

11

masyarakat. Selain dari kesalahan penerapan pembinaan narapidana ada banyak

faktor yang menjadi pendukung terjadinya pengulangan perbuatan pidana

diantaranya dari lingkungan masyarakat tempat kembalinya.

1. Lingkungan Masyarakat

Didalam masyarakat orang yang kelakuannya menyimpang atau menyalahi

norma yang telah disepakati maka akan menimbulkan akibat yang beragam ada

yang berakibat positif dan ada juga akibat yang negatif. Diantara akibat itu kalau

yang berbentuk positif maka akan menimbulkan suatu perubahan dan gejala sosial

dan ini dapat memancing timbulnya kreatifitas manusia untuk menanggulanginya

dan mencari penyelesaian yang sesuai dengan norma yang dilanggar itu,

sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan dari prilaku yang menyimpang itu

akan menyebabkan terancamnya ketenangan dan ketentraman serta akan

menimbulkan tidak terciptanya ketertiban dalam masyarakat dan ini jelas akan

menimbulkan respon dari masyarakat karena mereka merasa terancam karena

penyimpangan itu.

Salah satu respon dari masyarakat yang merasa terancam ketenangan

lingkungan dan ketertiban masyarakat kemudian menimbulkan stigmatisasi

terhadap individu yang melakukan perilaku yang menyimpang tersebut.

Stigmatisasi sebagai mana yang telah dijelaskansebelumnya merupakan proses

pemberian cap oleh masyarakat melalui tindakan-tindakan yang dilakukan dalam

proses peradilan bahwa ia adalah orang yang jahat. Lebih lanjut dan lebih dalam

lagi pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hukum yang bersangkutan, lebih

besar kemungkinan ia menghayati dirinya sebagai benar-benar pelanggar hukum

12

yang jahat dan pada gilirannya yang lebih besar lagi penolakan masyarakat

terhadap yang bersangkutan sebagai anggota masyarakat yang tidak dapat di

percaya. 13

Pada dasarnya jika kita lihat stigmatisasi ini muncul disebabkan karena rasa

ketakutan dari masyarakata terhadap mantan terpidana karena ada kekhawatiran ia

akan mempengaruhi orang lain dan membawa orang itu untuk juga melakukan

perbuatan melanggar hukum.

2. Dampak dari Prisonisasi

Prisonisasi bukanlah hal yang baru dalam sisitem pemasyarakatan yang

diartikan sebagai sesuatu hal yang buruk menjadi pengaruh negatif terhadap

narapidana dimana pengaruh itu berasal dari nilai dan budaya penjara. Pada

saat dicetuskannya sistem pemasyarakatan pada tahun 1963 oleh Sahardjo salah

satu asumsi yang dikemukakan adalah bahwa negara tidak berhak membuat

orang lebih buruk atau jahat sebelum dan di penjara, asumsi ini secara langsung

menunjukkan pengakuan terhadap pemenjaraan secara potensial dapat

menimbulkan dampak negatif.14

2.2 Efektivitas Pidana Penjara

Menurut Dwidja Priyanto, efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua

aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat meliputi

tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan

keseimbangan masyarakat (antara lain menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa

13

Didin Sudirman,2006,Masalah-Masalah Actual Tentang Pemasyarakatan,Pusat Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia,Gandul Cinere Depok,Hlm.52. 14

Didin Sudirman,2006,Masalah-Masalah Actual Tentang Pemasyarakatan,Pusat Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia,Gandul Cinere Depok,Hlm.54.

13

aman, memperbaiki kerugian/kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat

kembali nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat); sedangkan yang dimaksud

dengan aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan, antara lain melakukan

rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari

perlakuan sewenang-wenang di luar hukum.15

2.2.1 Efektivitas Pidana Penjara Di Lihat Dari Aspek Perlindungan

Masyarakat

Di lihat dari aspek perlindungan/kepentingan masyarakat maka suatu pidna di

katakana efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau

mengurangi kejahatan.Jadi kriteria efektivitas di lihat dari seberapa jauh frekuensi

kejahatan dapat di tekan. Dengan kata lain, kriterianya terletak pada seberapa jauh

efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah

warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan.16

2.2.2 Efektivitas Pidana Penjara Di Lihat Dari Aspek Perbaikan Si

Pelaku

Di lihat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektivitas terletak pada

aspek pencegahan khusus (special prevention) dari pidana.Jadi ukurannya terletak

pada masalah seberapa jauh pidana itu (penjara) mempunyai pengaruh terhadap si

pelaku/terpidana. Ada dua aspek pengaruh pidana terhadap terpidana, yaitu aspek

pencegahan awal (deterent aspect)dan aspek perbaikan (remormative aspect).

Aspek pertama (deterent aspect), biasanya di ukur dengan menggunakan

indikator residivis. Berdasarkan indikator inilah maka suatu pidana adalah efektif

apabila si pelanggar tidak di pidana lagi dalam suatu periode tertentu. Selanjutnya

15

Dwidja Priyanto,2009,Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia Cet Kedua,PT Refika Aditama,Bandung,Hlm.83. 16

Ibid,Dwidja Priyanto,Hlm.83.

14

di tegaskan, bahwa efektivitas adalah suatu pengukuran dari perbandingan antara

jumlah pelanggar yang di pidana kembali dan yang tidak di pidana kembali.

Aspek kedua yaitu aspek perbaikan (remormative aspect), berhubungan

dengan masalahperubahan sikap dari terpidana, masih merupakan masalah yang

belum dapat di jawab secara memuaskan. Hal ini di sebabkan adanya beberapa

problem metodologis yang belum terpecahkan dan belum ada kesepakatan,

khususnya mengenai:

a. Apakah ukuran untuk menentukan telah adanya “tanda-tanda perbaikan

atau adanya perubahan sikap pada diri si pelaku; ukuran recidivism rate

atau reconviction rate masih banyak yang meragukan

b. Berapa lamanya periode tertentu untuk melakukan eveluasi terhadap ada

tidaknya perubahan sikap setelah terpidana menjalani pidana penjara.17

2.3 Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan

kepada narapidana dan anak didik pemasyarakatan (Kamus Hukum : 240).18

Selama ini Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) identik dengan tempat

penghukuman para pelaku kejahatan dan pelakunya di sebut sebagai

penjahat.Secara berbeda, Josias Simon mengatakan tidak ada kejahatan tanpa

penjahat, sebaliknya tak ada penjahat tanpa kejahatan.Kejahatan bila hanya di

tengok dari sisi kacamata hukum pidana menyerupai “hukum tanpa kepala” tak

jelas pandangan kemasyarakatannya. Seorang kriminal atau narapidana ada,

17

Ibid,Dwidja Priyanto,Hlm.84. 18

Kamus Hukum,Citra Umbara,Bandung,Hlm.240.

15

bukan di bentuk secara lahiriah tapi merupakan produk kondisi sosial ekonomi

politik dimana ia berada.

Seringkali praktisi lembaga pemasyarakatan mengungkapkan

penghukuman pada tataran awal, mulanya di lakukan polisi, jaksa, dan hakim

namun fungsi penghukuman lanjut menjadi tanggung jawab lembaga

pemasyarakatan (Lapas).Di sini Lapas menjadi lembaga yang di bebani peran

untuk melayani kepentingan masyarakat terutama memberikan dampak

penghukuman. Lapas di haruskan menimbulkan efek jerah atau fungsi preventif,

dan di harapkan bisa memenuhi harapan atau tuntutan dari pihak korban

kejahatan beserta keluarnga.

Lapas sebagai institusional tentu memiliki keterbatasan-keterbatasan fisik dan

organisatoris. Untuk meneliti ke dalam Lapas, seorang peneliti harus memperoleh

ijin pihak berwenang untuk bisa masuk dan mengamati dari dalam Lapas. Lapas

tidak saja dibatasi batas-batas fisik tapi juga batas-batas sosial. Tidak di pungkiri,

akses masuk untuk meneliti dan berinteraksi dengan masyarakat di balik tembok

Lapas sangat terbatas.Batas fisik seperti pagar, tembok, jeruji, diberlakukan bagi

terhukum agar tidak berinteraksi secara bebas layaknya masyarakat diluar Lapas.

Batasan atas ruang ini di laksanakan sesuai aturan penghukuman yang di buat para

ahli hukum yang berada di luar penjara (para legislator dan eksekutif).Para

terhukum sebagai bagian dari masyarakat penjara, mempunyai control kecil

terhadap determinasi batas-batas fisik dan social dalam lapas. Berbeda dengan

petugas, mempunyai control besar terhadap pengelolaan batas-batas ini. Jika

batas-batas fisik dapat diamati secara kasat mata, maka batas-batas social berjalan

16

rutin dalam lapas. Dalam praktek batas-batas social dan pengaturannya diciptakan

dan di miliki bersama oleh para aktor petugas dan narapidana. Batas-batas fisik

dan social mendasari timbulnya kesepakatan-kesepakatan tertentu diantara

petugas dan narapidana untuk saling bekerja sama menafsirkan penggunaan dan

pemanfaatan batas-batas tersebut sesuai kebutuhan dan kepentingan masing-

masing.19

2.3.1 Sistem Pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan merupakan sistem baru pengganti sistem penjara

yang dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1964. Sistem pemasyarakatan ini

berbeda dengan sistem kepenjaraan dimana tujuannya sistem pemasyarakatan

adalah memasyarakatkan narapidana dengan memperlakukan narapidana sebagai

manusian dan menjunjung tinggi martabat manusia.

“Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta

cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pansasila yang

dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk

meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,

dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.20

Sistem Pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan

hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari

pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan.

19

A. Josias Simon R,2012,Budaya Penjara Pemahaman Dan Implementasi,CV Karya Putra Darwati,Bandung,Hlm.3. 20

Dwidja Priyanto,2009,Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia Cet Kedua,PT Refika Aditama,Bandung,Hlm.105.

17

Sistem pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan

Pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan untuk melindungi masyarakat

terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan

Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari

nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga

keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan

maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan

yang telah selesai menjalani pidananya.

Sistem pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan

Pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan untuk melindungi masyarakat

terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan

Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari

nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Untuk melaksanakan sistem

pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga keikutsertaan masyarakat, baik dengan

mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia

menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani

pidananya.

“Tujuan diselenggarakannya Sistem Pemasyarakatan dalam rangka

membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia

seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi

tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan

masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan

dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab

(Pasal 2 UU No.12/1995)”.

18

“Yang dimaksud dengan ‘agar menjadi manusia seutuhnya’ adalah upaya

untuk memulihkan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kepada

fitrahnya dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan

pribadinya, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan

lingkungannya (Penjelasan Pasal 2 UU No.12/1995)”.

“Fungsi sistem pemasyarakatan menyiapkan Warga Binaan

Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat,

sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas

dan bertanggungjawab.Yang dimaksud dengan ‘berintegrasi secara sehat’

adalah pemulihan kesatuan hubungan Warga Binaan Pemasyarakatan

dengan masyarakat (Pasal 3 UU No. 12/1995)”.21

2.3.2 Fungsi Lembaga Pemasyarakatan

Aturan hukum, bukanlah poros dari sebuah keputusan yang berbobot. Aturan

tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan yang kompleks. Lagi pula,

kebenaran yang riil, bukan terletak dalam undang – undang, tapi pada kenyataan

hidup.

Aturan-aturan hukum, hanya menjadi slah satu faktor yang patut

dipertimbangkan dalam keputusan yang berbobot. Faktor moral, soal

kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan sosial misalnya, menjadi faktor yang

tidak kalah penting dalam mengambil keputusan yang berisi. Jadi bukan sebuah

pantangan, jika demi putusan yang fungsional dan kontekstual, aturan resmi

terpaksa di singkirkan (lebih-lebih jika menggunakan aturan itu justru berakibat

buruk).22

Tujuan utama dari lembaga pemasyarakatan adalah melakukan pembinaan

bagi warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara

21

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 22

Jonaedi Efendi,2010,Mafia Hukum Mengungkap Praktik Tersembunyi Jual Beli Hukum & Alternatif Pemberantasannya Dalam Perspektif Hukum Progresif,PT. Prestasi Pustakaraya,Jakarta,Hlm.68-69.

19

pembinaan sebagai bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam system peradilan

pidana. Di dalam lembaga pemasyarakatan di persiapkan berbagai program

pembinaan bagi para narapidana sesuai dengan tingkat pendidikan, jenis kelamin,

agama, dan jenis tindak pidana yang di lakukan narapidana tersebut. Program

pembinaan bagi para narapidana di sesuaikan pula dengan lama hukuman yang

akan di jlani para narapidana dan anak didik, agar mencapai sasara yang di

tetakan, yaitu agar merekamenjadi warga yang baik di kemudian hari.23

Program-program pembinaan narapidana dan anak didik yang di tetapkan

pemerintah sesuai undang-undang bertujuan agar para naraidana dan anak didik

kembali ke masyarakat dan dapat berpartisipasi membangun bangsa. Namun

kehadiran mereka di masyarakat tidak semudah yang kita banyangkan, karena

masyarakat sadar pada saat narapidana dan anak didik di penjara terjadi

prisonisasi yaitu pengambil-alihan atau peniru tentang tata cara, adat istiadat dan

budaya para narapidana dan anak didik pada saat melakuka tindak pidana.

Lembaga pemasyarakatn sebagai instansi terakhir dalam pembinaan narapidana

harus memperhatikan secara sungguh-sungguh hak dan kepentingan narapidana

(warga binaan yang bersangkutan). Peran serta lembaga pemasyarakatan dalam

membina warga binaan sangat stategis dan dominan, terutama dalam memulihkan

kondisi warga binaan pada kondisi sebelum melakukan tindakan pidana, dan

melakukan pembinaan di bidang kerohanian dan keterampilan seperti

pertukangan, menjahit dan sebagainya.

23

C.Djisman Samosir,2012,Sekelumit Tentang Penologi Dan Pemasyarakatan,Nuansa Aulia,Bandung,Hlm.128.