Upload
phungkiet
View
219
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Rabies
Rabies atau penyakit anjing gila merupakan salah satu penyakit yang berbahaya
karena dapat menyebabkan kematian. Rabies bersifat akut dan dapat menular melalui gigitan.
Penularan rabies dapat terjadi melalui gigitan dari HPR (hewan pembawa rabies) yang
terinfeksi ke hewan sehat dan manusia (Dharmojono, 2001).
Kasus kejadian rabies pada anjing di Kabupaten Tabanan dilaporkan sebanyak 257
ekor dari total populasi anjing pada saat itu sebanyak 33.384. Kasus kejadian rabies pada
manusia di Kabupaten Tabanan pertama kali terjadi di Desa Buahan (12 Agustus 2009)
dengan total manusia yang meninggal sebanyak 18 orang dan selanjutnya terus menulari
Desa Kediri, Desa Timpang dan menyebar hingga menulari 13 Desa di Kabupaten Tabanan
(Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan, 2011)
2.2 Etiologi Penyakit Rabies
Rabies merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dari famili Rhabdoviridae,
genus Lyssavirus (Consales dan Bolzan, 2007), bentuk virus rabies menyerupai peluru,
tersusun atas RNA, protein, lemak, karbohidrat. Virus rabies berukuran 180 nm, diameter 75
nm, pada permukannya terlihat bentuk-bentuk paku (spikes) yang panjangnya sekitar 9 nm
(Dietzschold et al., 2005; Consales dan Bolzan, 2007). Virus rabies dapat menginfeksi hewan
berdarah panas, misalnya : anjing dan bahkan manusia dan dapat menyebabkan kerusakan
pada sistem saraf pusat. Hewan berdarah panas yang dapat tertular dan menularkan rabies
adalah anjing, kucing, monyet, kelelawar penghisap darah, rakun, bahkan sapi (McColl et al.,
2000; Aguilar-Setién et al., 2005; Muller et al., 2006).
Amplop virus rabies tersusun atas lemak sehingga virus tersebut peka terhadap zat
pelarut lemak (Wunner et al., 1984). Virus mudah mati oleh sinar matahari dan ultraviolet,
HgCl2, keadaan asam dan basa, kloroform, air sabun serta pelarut lemak lainnya (Rupprecht
dan Gibbons, 2004; Bleck, 2006). Hal yang penting diketahui dari virus rabies adalah sifat
virus itu sendiri, yaitu kemampuan untuk hidup di dalam bangkai hewan yang tertular rabies.
Virus rabies juga relatif tahan terhadap pemanasan sampai dengan derajat panas tertentu.
Pada pemanasan 56oC, virus dapat tahan sampai 30 menit dan pemanasan kering sampai
dengan 100oC masih dapat tahan hidup selama 2-3 menit. Apabila disimpan di dalam gliserin
50%, virus dapat tahan hidup sampai satu tahun. Di dalam gliserin yang tidak diencerkan,
5
virus dapat bertahan hidup beberapa lama dalam suhu kamar dan tahan berbulan-bulan dalam
temperatur 4oC (Aguilar-Setién et al., 2003). Dalam keadaan kering beku dengan
penyimpanan 4oC virus dapat tahan sampai bertahun-tahun, dan penyimpanan suhu -70oC
virus tahan sampai waktu tak terbatas. Di dalam air liur dengan suhu udara panas, virus dapat
tahan selama 24 jam (Tepsumethano et al., 2004). Waktu paruh rabies ±4 jam pada
temperatur 40oC, dan 30 detik pada temperatur 60oC (Dharmawan, 2009).
2.3 Patogenesis Rabies
Penularan rabies terjadi melalui gigitan hewan pembawa rabies ke hewan berdarah
panas lain termasuk manusia. Virus rabies masuk kedalam tubuh melalui luka gigitan dan
luka terbuka yang terkena saliva yang mengandung virus rabies. Selain itu virus rabies juga
dapat ditularkan melalui jilatan HPR pada membran mukosa, bahkan vaksin rabies inaktif
yang menyebabkan infeksi rabies juga pernah dilaporkan. Virus yang masuk ke dalam tubuh
akan bereplikasi dalam otot atau jaringan ikat dan kemudian di dalam tubuh penderita, virus
rabies akan menyebar melalui sistem saraf dan kelenjar ludah kemudian menuju sistem saraf
pusat (Childs dan Real, 2002; Hemachuhdha et al., 2013).
2.4 Masa Inkubasi
Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi tergantung jenis inang yang diserangnya,
pada anjing kurang lebih 2 minggu, namun dapat pula mulai dari 10 hari hingga 8 minggu.
Pada manusia umumnya terjadi selama 2 sampai 3 minggu dan paling lama selama 1 tahun.
Lamanya masa inkubasi ini tergantung dari beberapa faktor, yaitu tergantung jumlah virus
yang masuk melalui luka, dalam tidaknya gigitan luka, banyaknya luka tunggal atau jamak,
dan tergantung pula pada dekat atau jauhnya luka dengan susunan sistem saraf pusat
(Dharmawan, 2009).
2.5 Gejala Klinis
2.5.1 Gejala Klinis pada Anjing
Gejala klinis pada anjing pada tahap prodromal, anjing akan menghilang dari
pemiliknya selama 2-3 hari. Pada tahap prodromal ini akan terjadi perubahan perilaku pada
anjing yang terinfeksi rabies, yaitu anjing berubah menjadi agresif.
Pada tahap prodromal akan diikuti dengan dua sindrom rabies yaitu rabies ganas atau
rabies jinak. Gejala klinis dari rabies jinak akan terlihat lebih cepat, namun akan
menyebabkan kematian sekitar 3-7 hari setelah tahap prodromal. Anjing yang terinfeksi
rabies tersebut kulitnya akan sangat sensitif, terutama apabila mengalami rangsangan
sentuhan.
Pada anjing yang mengalami rabies ganas cenderung aktif, tidak mampu berbaring atau
duduk pada satu tempat dalam jangka waktu sebentar, dan selalu berputar-putar di satu
tempat. Pupil mata anjing yang mengalami rabies ganas akan mengalami dilatasi, dan akan
kehilangan reflek pada kornea, Selanjutnya anjing tersebut akan menggigit-gigit kandangnya,
benda-benda, dan menyerang benda yang bergerak. Pada hari ke 1-4 selanjutnya, anjing yang
terinfeksi rabies tersebut akan mengalami ataksia, konvulsi, kemudian mengalami paralisis
yang akhirnya menimbulkan kematian.
2.5.2 Gejala Klinis Pada Manusia
Gejala klinis rabies pada manusia terdapat 5 fase, yaitu fase prodromal, fase neurologik
akut, fase furious, fase paralitik, dan koma. Masa inkubasi rabies pada manusia sangat
bervariasi antara kurang dari satu minggu sampai lebih dari satu tahun. Namun beberapa ahli
juga menyebutkan, bahwa masa inkubasi rabies juga dapat mencapai waktu sampai 5 tahun.
Masa inkubasi ini dipengaruhi oleh kedalaman gigitan, jarak gigitan dengan susunan saraf
pusat, dan jumlah virus yang masuk ke dalam luka. Tahap-tahap gejala klinis rabies pada
manusia dijabarkan sebagai berikut (Yousaf et al., 2012) :
1. Tahap Prodromal
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah perasaan
gelisah dan demam. Secara umum pasien yang mengalami tahap prodromal rabies diliputi
perasaan tidak enak, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh
lemah, dan rasa sakit. Selain itu pasien juga akan merasa nafsu makan menurun, mual atau
muntah, atau rasa sakit perut.
2. Tahap Sensoris
Pada tahap sensoris, penderita merasa nyeri, rasa panas dan kesemutan di daerah yang
pernah digigit oleh Hewan Penular Rabies (HPR) disertai dengan kesemutan pada tempat
bekas luka yang kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap
rangsangan sensoris.
3. Tahap Eksitasi
Pada umumnya pasien yang telah mengalami tahap eksitasi akan meninggal dunia
dalam waktu satu minggu sejak dari awal stadium prodromal. Pada tahap eksitasi pasien akan
mengalami ketakutan yang berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya
(photofobia), takut terhadap tiupan angin (aerofobia), atau takut terhadap suara keras. Selain
itu pasien juga mengalami demam yang tinggi. Pasien umumnya juga akan menjadi bingung,
gelisah, rasa tidak nyaman, dan ketidak beraturan. Kebingungan akan menjadi semakin hebat
dan berkembang menjadi agresif, halusinasi, ketakutan, tubuh gemetar atau kaku kejang.
Selain gejala tersebut diatas, pasien yang mengalami tahap eksitasi juga akan
mengalami gejala stimulasi saraf otonom termasuk peningkatan saliva, air liur berbuih,
mengeluarkan banyak keringat, lakrimasi, abnormalitas pupil dan piloereksi. Pada setiap
penderita ensefalitis rabies, pasien akan mengalami aerofobia (takut akan tiupan angin) dan
hidrofobia (takut air). Gejala ini dapat diidentifikasi dengan mencoba menghembuskan nafas
atau meniupkan angin di wajah atau bagian dada, dan dicoba dibujuk untuk meneguk air,
akan terlihat reaksi menghindar dan menolak.
4. Tahap Paralisis
Biasanya pasien yang mengalami rabies akan meninggal pada tahap eksitasi. Namun
terkadang ditemukan pula kasus tanpa gejala eksitasi, melainkan terjadi paresis otot-otot yang
bersifat progresif. Hal ini dikarenakan terjadi gangguan sumsum tulang belakang yang
memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan. Pada tahap paralisis akan terlihat
perubahan patologis yang dijumpai pada bagian terendah dari medula oblongata, dimana
saraf tulang belakang berasal (Soeharsono, 2002).
2.6 Teknik Diagnosa
Teknik diagnosis kasus rabies pada anjing dengan menemukan adanya badan negri
(negri bodies) pada otaknya. Pemeriksaan ini memerlukan preparat sentuh dari jaringan otak
hewan yang telah menggigit atau menunjukkan gejala klinis rabies dengan menggunakan
metoda Seller (Chhabra et al., 2005). Dan pemeriksaan lain dapat digunakan dengan metode
IFAT (Indirect Fluorescent Antibody Technique) atau inokulasi hewan percobaan
(Soeharsono, 2002; WHO, 2004). Selanjutnya, apabila dari dua metode di atas tidak
menemukan hasil maka akan dilakukan uji biologik (Webster et al., 1976; OIE, 2012).
Pemeriksaan biologik memerlukan waktu yang lama, yaitu antara 4-21 hari. Teknik
tersebut telah diterapkan pada anjing diduga rabies di Kabupaten Tabanan. Kini diagnosis
rabies juga dilaporkan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik monoklonal antibodi
pada anjing penderita rabies (Astawa et al., 2010).
Selain menggunakan metode di atas, metode lain yang bisa digunakan yaitu teknik
diagnose lapangan yang diduga kuat rabies dan teknik ini dapat dilakukan dengan melihat
indikasi gigitan hewan ke manusia :
a. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 1 orang tanpa
provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif rabies 25%.
b. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 2 orang tanpa
provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positis rabies 50%.
c. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 3 orang tanpa
provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif rabies 75%.
d. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 4 orang tanpa
provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif rabies 100%.
Rabies di Tabanan lebih tepatnya berasal dari Kuta Selatan daerah Semenanjung Bukit
hal ini disebabkan oleh kurangnya program penanganan rabies sehingga pada tahun 2009
rabies menimbulkan korban jiwa manusia dan hal ini mungkin terjadi karena perpindahan
anjing dari kawasan Semenanjung Bukit menuju Desa – Desa di Kabupaten Tabanan. Di
Kabupaten Tabanan sendiri terdapat 18 kasus meninggal dunia dan rabies pertama kali
ditemukan di Desa Buahan (12 Agustus 2009) dan selanjutnya terus menulari Desa Kediri,
Desa Timpang dan menyebar hingga menulari 13 Desa di Kabupaten Tabanan (Mediana,
2010)
2.7 Penyebaran Rabies
Rabies tersebar hampir diseluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies
seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay,
Chili, Papua Nugini, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia rabies pertama kali dilaporkan oleh
Penning tahun 1890 pada anjing dan pada manusia yaitu pada tahun 1894 di Cirebon, Jawa
Barat (Sudardjat, 1991).
Jumlah Kasus Rabies pada hewan Anjing dari tahun 2008 sampai 2010 telah menulari
281 desa dari 722 Desa yang ada di Propinsi Bali (Iffandi et al., 2013). Jumlah kematian
manusia akibat rabies di Propinsi Bali yang dilaporkan dari tahun 2008 sampai dengan
September 2011 adalah 133 orang. Kasus kematian tertinggi terjadi di tahun 2010 dengan
kasus sebanyak 82 orang, dengan proporsi insidensi 2,1 per 100.000 populasi (Nugroho et al,
2013) (Tabel 2.1).
Di Bali keberadaan anjing dikenal sangat dekat dengan manusia. Anjing tidak hanya
dianggap sebagai hewan peliharaan ataupun hewan penjaga rumah, namun juga dianggap
sebagai sahabat manusia. Peranan anjing di Bali tidak hanya penting untuk menjaga rumah
atau kebun, tetapi juga sebagai sarana dalam berburu dan sarana upacara agama hindu di Bali
misalnya upacara mecaru adat bhuta yadnya (anjing bangbungkem) yang mengorbankan
anjing cokelat dan bermoncong dalam rangkaian upacara (Dharmawan 2009).
Tabel 2.1 Jumlah kasus gigitan anjing di Bali dari tahun 2008-2011
Kab/Kota 2008 2009 2010 2011 Jumlah
Denpasar 126 2931 2696 737 6530
Badung 327 2918 5207 1848 10300
Gianyar 650 1691 5482 2208 10031
Bangli - 258 3737 1000 4995
Klungkung - 214 2709 803 3726
Karangasem - 1635 7061 1104 9800
Tabanan - 3164 4414 755 8333
Jembrana - 137 1146 289 1572
RSUP Sanglah - 7940 17849 2949 28738
Total 1103 20888 50301 11693 84025
2.8 Kerangka Konsep
Rabies merupakan penyakit zoonosis yang sangat berbahaya dan memberikan dampak
kerugian yang sangat besar baik dari aspek ekonomi, psikologi, maupun pariwisata. Rabies
adalah salah satu penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Di Bali kematian manusia
sendiri hingga Februari 2011 mencapai 122 orang (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2011).
Jumlah kasus rabies pada anjing dari tahun 2008 sampai 2010 telah menulari
sebanyak 281 desa dari 722 Desa yang ada di Propinsi Bali. Dan kejadian ini sangat
menghawatirkan karena penyebaran penyakit ini tergolong sangat cepat dengan tingkat kasus
gigitan anjing yang cukup tinggi (Iffandi et al.,2013)
Di Bali keberadaan anjing dikenal sangat dekat dengan manusia. Anjing tidak hanya
dianggap sebagai hewan peliharaan ataupun hewan penjaga namun juga dianggap sebagai
sahabat manusia. Anjing di Bali mempunyai peranan penting untuk menjaga rumah atau
kebun, sarana berburu, dan sarana upacara adat dan ritual misalnya upacara adat bhuta
yadnya (mecaru) yang mengorbankan anjing (Dharmawan, 2009)
Sejak resmi Bali diumumkan sebagai daerah Rabies, daerah semenanjung Bukit
badung secara resmi terlokalisir sekitar enam bulan. Selanjutnya menyebar ke kabupaten
Tabanan, Gianyar, Karangasem, Bangli, dan Kabupaten Buleleng. Hal ini mengakibatkan
upaya penanggulangan Rabies di Propinsi Bali menjadi lebih sulit (Nasution et al.,2011)
Kasus kejadian rabies di Kabupaten Tabanan lebih tepatnya berasal dari Kuta Selatan
daerah Semenanjung Bukit hal ini disebabkan kurang mobilisasi dan suksesnya program
penanggulangan rabies sehingga pada tahun 2009 rabies menimbulkan korban jiwa manusia.
Hal ini mungkin terjadi karena perpindahan anjing dari kawasan Semenanjung Bukit menuju
desa – desa di Kabupaten Tabanan.
Rabies menulari Bali pada akhir 2008 dan hingga Februari 2011, kasus rabies terus
menyebar di Bali dan menyebabkan 133 orang meninggal dunia. Di Kabupaten Tabanan
sendiri terdapat 18 kasus orang meninggal dunia. Hewan Penular Rabies (HPR) di Tabanan
yaitu anjing, dan rabies pertama kali ditemukan di Desa Buahan (12 Agustus 2009) dan
selanjutnya terus menulari Desa Kediri, Desa Timpang dan menyebar hingga menulari 13
Desa di Kabupaten Tabanan. Setelah rabies masuk ke Kabupaten Tabanan bagi sebagian
masyarakat anjing berubah menjadi salah satu hewan yang ditakuti dan anjing anjing yang
hidup liar selalu dikejar-kejar petugas Dinas Peternakan bahkan terancam mati diracun
(Mediana, 2010).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran rabies di Kabupaten Tabanan
dari tahun 2009-2014 secara kewilayahan (spasial). Data yang dikumpulkan berasal dari
instansi terkait, kemudian disusun, ditabelkan, dan selanjutnya dipetakan sehingga dapat
diketahui korelasi kejadian rabies pada anjing dengan manusia.