Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan menguraikan panduan teoritis yang menjadi dasar
dari penelitian ini yaitu mengenai stigma negatif, dukungan sosial,
stress kerja dan kinerja.
2.1. Stigma Negatif
2.1.1. Pengertian Stigma
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), „Stigma‟
diartikan sebagai “ciri negatif yang menempel pada pribadi
seseorang karena pengaruh lingkungannya. Sedangkan pada kamus
Oxford, „stigma‟ dimaknai dengan “a mark of disgrace associated
with particularcircumstances, quality, or person” (suatu cap keaiban
yang berkenaan dengan keadaan, mutu atau seseorang). Dalam
tesaurus bahasa Indonesia, sinonim kata stigma antara lain aib,
cemar, noda cap, ciri, nama buruk. Sedangkan pengertian dan
penjelasan kata stigma yang dikutip dari Wikipedia yakni :
“Stigma dari bahasa Yunani (στιγμα: "tanda" atau "bercak"; majemuk:
stigmata, στιγματα) mengandung beberapa arti. Istilah ini berasal dari
tanda-tanda yang dimiliki seseorang pada tubuhnya (bekas bakaran atau
torehan) yang antara lain menandakan bahwa orang itu adalah budak,
penjahat, atau pengkhianat. Ia adalah orang yang cacat moralnya dan
karena itu harus dihindari, khususnya di tempat umum. Di dalam sejarah
Gereja Khatolik, istilah ini kemudian bisa mengandung dua arti, yaitu
tanda-tanda fisik yang diyakini berasal dari Tuhan (misalnya tonjolan
pada kulit), dan acuan medis kepada tanda-tanda keagamaan ini sebagai
petunjuk adanya cacat fisik. Contohnya, St. Fransiskus dari Asisi
http://id.wikipedia.org/wiki/Yunanihttp://id.wikipedia.org/wiki/Budakhttp://id.wikipedia.org/wiki/Tuhanhttp://id.wikipedia.org/wiki/St._Fransiskus_dari_Asisi
2
dipercayai mempunyai stigmata, tanda-tanda pada tubuhnya yang sama
seperti tanda-tanda bekas luka karena penyaliban pada diri Yesus. Kata
"stigma" juga dipergunakan dalam istilah "stigma sosial", yaitu tanda
bahwa seseorang dianggap ternoda dan karenanya mempunyai watak yang
tercela, misalnya seorang bekas narapidana yang dianggap tidak layak
dipercayai dan dihormati.” (http://id.wikipedia.org/wiki/Stigma).
Dari beberapa definisi tersebut, jelas tergambar bahwa kata
„stigma‟ secara inheren selalu bersifat negatif (terkecuali istilah
stigmata dalam sejarah Gereja Khatolik, disini kata Stigmata
mengandung nuansa positif dan kudus). Kata „stigma negatif‟
merupakan bentuk gaya bahasa pleonasme, yaitu kata-kata yang
berlebihan untuk menggambarkan sesuatu hal.
2.1.2 Stigma Negatif Terhadap PNS
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan,
fungsi pegawai negeri sipil (PNS) berperan utama sebagai ujung
tombak pelaksana pelayanan publik. Akan tetapi dalam
kenyataannya, PNS dalam melaksanakan tugas-tugas umum
pelayanan publik tersebut, seringkali mendapatkan kesan berbeda
dari pandangan masyarakat. Salah satu persoalan mendasar dalam
sistem kepegawaian adalah pekerjaan tempat Pegawai Negeri Sipil
(PNS) mengabdi saat ini belum dipandang sebagai sebuah profesi
yang mulia, harus dihormati, dijaga, dan dijadikan dasar dalam
berbagai kebijakan dan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM).
PNS sebagai abdi negara dan abdi masyarakat tidak dianggap
sebagai aset negara, bahkan kadang-kadang dipandang menjadi
beban negara. Akibatnya kebijakan-kebijakan dan manajemen
http://id.wikipedia.org/wiki/Yesushttp://id.wikipedia.org/wiki/Narapidanahttp://id.wikipedia.org/wiki/Stigma
3
kepegawaian yang disusun semata-mata untuk mengakomodir
kepentingan-kepentingan politik yang kadangkala justru menjadikan
PNS semakin tersisih. (Rudita, 2014). Akibatnya, aparatur negara
selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi
perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan
publik).
Para pegawai negeri sipil didalam menyelenggarakan
tugas pemerintahan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan
pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-
belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan
pelayanan aparatur pemerintahan.
Stigma atau citra negatif terlanjur melekat pada PNS dan
bahkan bisa dianggap sebuah fenomena. Stigma tersebut
kemungkinan juga diperkuat oleh kecenderungan orang untuk
melakukan “over-generalization” yaitu penggunaan satu-dua kasus
untuk mendukung argumen yang bersifat umum, dan itu adalah
suatu bentuk kesalahan berpikir (Fallacy of Dramatic Instance).
Kesalahan berfikir dari beberapa kasus yang didapati pada beberapa
oknum PNS, misalnya: ada PNS dipilih dan diangkat melalui jalur
KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), oportunis, memanfaatkan
posisi, menyalahgunakan wewenang dan jabatan, tidak disiplin, suka
belanja di mall atau pasar saat jam kerja, lebih banyak nongkrong,
baca koran, main catur bahkan ngerumpi di tempat kerja. Kasus-
kasus yang seperti itulah yang nampaknya mendukung terbangunnya
citra negatif tersebut dan digeneralisir pada semua Aparatur Sipil
Negara.
4
Pembuktian akan adanya stigma negatif terhadap PNS
tersebut mudah sekali di temui pada pemberitaan pada media berita
online. Cukup hanya dengan mengetik „kinerja buruk PNS‟ pada
laman penelusuran google akan ditemukan ribuan hasil pencarian
yang berisikan berita, opini, maupun pembahasan mengenai citra
buruk PNS.
Beberapa opini dari masyarakat yang mewakili penilaian
negatif terhadap PNS/Aparatur Sipil Negara salah satunya dapat
ditemui pada rubrik kompasiana dengan judul „Rendahnya Kinerja
PNS Pemda‟:
...PNS pemda banyak memiliki kinerja yang rendah. Seharusnya
jam kerja dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk bekerja
namun malah digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Dalam jam kerja PNS banyak berkeliaran di pasar, mall atau
ditempat lainnya. Pulang tidak tepat waktu, Jadwal yang
seharusnya pulang jam 4 sore tidak dipatuhi, mereka pulang siang
sekitar jam 1 dan banyak yang tidak kembali lagi ke kantor.
Sungguh sangat memprihatinkan, sebagai abdi negara memakan
gaji buta. Tugas melayani masyarakat disia-siakan. Sebelum
menjadi PNS masyarakat berbondong-bondong mengikuti tes PNS,
bahkan sampai menyogok puluhan juta untuk menjadi PNS.
Namun setelah diangkat, kedudukan yang diperoleh tidak
dipergunakan dengan sebaik mungkin”.
(http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/08/rendahnya-kinerja-
pns-pemda-475413. html) .
Mengutip berita yang bersumber dari beritasatu.com hari
Minggu, 02 November 2014, Menteri Pemberdayaan Aparatur
http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/08/rendahnya-kinerja-pns-pemda-475413.%20htmlhttp://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/08/rendahnya-kinerja-pns-pemda-475413.%20html
5
Negara dan Reformasi Birokrasi juga menyampaikan bahwa kinerja
PNS dinilai masih negatif oleh publik.
Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB), Yuddy Chrisnandi
meminta setiap daerah menerapkan revolusi mental guna
mereformasi birokrasi dan untuk menghilangkan penilaian
negatif terhadap kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Yuddy
melakukan kunjungan ke beberapa daerah, termasuk
bertemu Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Sabtu (1/11),
guna mengampanyekan gerakan revolusi mental reformasi
birokrasi. Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan
kesan negatif di publik, terkait kinerja PNS yang buruk
selama ini.
"Kesan di publik saat ini, kinerja PNS lambat, masuk siang,
pulang cepat, jam 4 sudah di mal, dan di kantor hanya baca
koran," katanya, Bogor, Sabtu (1/11).
Yuddy menilai sudah saatnya PNS menjadi pelayan
masyarakat. "Intinya puaskan dulu masyarakat. Terkait
regulasi akan segera dikeluarkan. Bila ditanya kapan,
segera," terangnya. (http://www.beritasatu.com/pelayanan-
publik/222082-menpan-dan-rb-penilaian-pns-kita-buruk-di-
publik.html)
Menurut Adnan (2013) kesan atau citra negatif terhadap
birokrasi karena birokrasi selama ini kurang merespon keinginan
warga masyarakat. Birokrasi yang selama ini bekerja lambat, sangat
6
berhati-hati dan cara kerjanya sulit diterima oleh masyarakat yang
memerlukan layanan cepat, efisien, tepat waktu dan sederhana.
Menurut Sarundajang, 2005 (dalam Adnan, 2013) ada sejumlah
kelemahan birokrasi yang dihadapi oleh pemerintah daerah, yaitu :
1.) Struktur organisasi dan tata kerja yang dibuat oleh masing-
masing Pemerintah Daerah hanya sekedar menampung personil
dalam suatu jabatan struktural; 2.) Partisipasi masyarakat masih
rendah; 3.) Transparansi belum berjalan; 4.) Mekanisme kerja dan
pembagian tugas yang tumpang tindih menyulitkan kalangan
internal dan masyarakat dalam berurusan dengan pemerintah daerah;
5.) Politisasi PNS masih menggejala; 6.) Sistem karir tidak sehat
membuat persaingan tidak sehat; 7.) Belum siapnya aparatur
birokrasi menghadapi tuntutan perubahan. Dwiyanto,et.al 2006,
(dalam Adnan, 2013) mengatakan bahwa birokrasi memang belum
mampu mewujudkan nilai-nilai akuntabilitas dan efisiensi dalam
pelayanan publik. Citra negatif atau stigma negatif terhadap kinerja
aparatur negara menjadi salah satu alasan segera dilakukannya
reformasi birokrasi (Adnan,2013).
Menurut Daryanto (2007) ada beberapa indikator yang
mencerminkan buruknya potret kinerja aparat pelayanan publik
/PNS, antara lain ditunjukkan oleh pelayanan yang bertele-tele dan
cenderung birokratis; biaya yang tinggi (high cost economy);
pungutan-pungutan tambahan, perilaku aparat yang lebih bersikap
sebagai pejabat ketimbang abdi masyarakat; pelayanan yang
diskriminatif; mendahulukan kepentingan pribadi, golongan atau
kelompok (termasuk kepentingan atasannya ketimbang kepentingan
publik); adanya perilaku malas dalam mengambil inisiatif di luar
7
peraturan; masih kuatnya kecenderungan untuk menunggu petunjuk
atasan; sikap acuh terhadap keluhan masyarakat; lamban dalam
memberikan pelayanan; kurang berminat dalam mensosialisasikan
berbagai peraturan kepada masyarakat.
2.2. Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan informasi verbal dan non verbal
berupa suatu tindakan yang didapat dari keakraban sosial atau
karena kehadiran orang yang mendukung dimana hal ini bermanfaat
secara emosional bagi pihak yang menerima dukungan sosial
(Gotlieb, 1983 dalam Lestari, 2003). Menurut Bakhri (2011)
dukungan sosial merupakan transaksi interpersonal yang melibatkan
satu atau lebih aspek yang terdiri dari dukungan emosional,
penghargaan, instrumental dan informasi; hal tersebut memiliki
manfaat emosional atau efek perilaku bagi penerima, sehingga dapat
membantu individu dalam menjalani kehidupannya atau ketika
dalam menghadapi masalah yang dihadapinya.
Dukungan sosial sangat diperlukan oleh individu dalam
berhubungan dengan orang lain demi melangsungkan hidupnya
ditengah masyarakat. Dengan adanya dukungan sosial akan
membuat individu merasa dicintai, diperhatikan, dihargai dan
menjadi bagian dari kelompok; dan dukungan sosial tersebut dapat
diperoleh dari berbagai sumber (Bakhri, 2011). Pendapat senada
disampaikan oleh Muhaimin et.al. (2013) bahwa dukungan sosial
yang didapat oleh seseorang dapat berupa pemberian informasi,
bantuan tingkah laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan
8
sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan,
bernilai dan dicintai.
Konsep dukungan sosial dapat dibedakan berdasarkan bentuk
dan sumber dukungan (House,1978 dalam Lestari 2003).
Berdasarkan bentuk, dukungan sosial dapat terdiri dari : a)
Dukungan Emosional; perilaku dalam memberi bantuan dalam
bentuk sikap memberi perhatian, mendengarkan dan simpati pada
orang lain. Dukungan ini terlihat dari sikap menghargai, percaya,
peduli dan tanggap terhadap individu yang didukungnya. Bentuk
dukungan emosional paling sering terlihat dalam interaksi antar
individu. b) Dukungan Instrumental; merupakan bentuk dukungan
berupa bantuan nyata dalam merespon kebutuhan yang khusus
seperti pelayanan barang dan bantuan finansial. c) Dukungan
Informasi; berupa saran, nasehat atau berupa feed back individu
yang mendukungnya. d) Dukungan Penilaian; dukungan dalam
bentuk penilaian yang berisi penghargaan positif, dorongan maju
atau persetujuan terhadap gagasan yang positif, dorongan maju atau
persetujuan terhadap gagasan atau perasaan pada individu yang
lainnya.
Berdasarkan sumber dukungan, dukungan sosial dapat
bersumber dari pasangan hidup (suami/istri), keluarga, rekan kerja
dan atasan. Dukungan dari atasan dan rekan kerja dapat mereduksi
beban yang diterima dalam pekerjaan, sedangkan dukungan dari
pasangan hidup dan keluarga lebih berperan dalam bentuk dukungan
emosional (Lestari, 2003).
9
2.3. Stress Kerja
2.3.1. Pengertian Stress Kerja
Perkataan stress berasal dari bahasa latin Stringere, yang
digunakan pada abad XVII untuk menggambarkan kesukaran,
penderitaan dan kemalangan. Kata stres seringkali digunakan untuk
menunjuk gejala atau fakta yang kadang tidak sama atau bahkan
beda sama sekali. Misal, bagi sebagian orang kata stres digunakan
untuk menunjuk pada suatu keadaan fisis yang tengah dilanda
berbagai tekanan yang tidak tertahankan dan melampaui batas
ketahanannya. Sementara bagi yang lain digunakan untuk menunjuk
gejala yang menghasilkan tekanan-tekanan itu. Bagi sebagian orang,
stres adalah suatu kesatuan fisis yang berkait dengan perubahan-
perubahan yang terjadi didalamnya, sedang bagi sebagian yang lain
stres dianggap sesuatu yang bersifat subyektif dan hanya
berhubungan dengan kondisi psikologis dan emosional seseorang.
Di kalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat
dan kesamaan persepsi tentang batasan stres (Margiati, 1999).
Hariandja, 2002 (dalam Tunjungsari, 2011) mendefinisikan
stress sebagai ketegangan atau tekanan emosional yang dialami
sesesorang yang sedang menghadapi tuntutan yang sangat besar,
hambatan-hambatan, dan adanya kesempatan yang sangat penting yang
dapat mempengaruhi emosi, pikiran dan kondisi fisik seseorang.
Menurut Handoko (2001) stress adalah suatu kondisi
ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi
seseorang. Hasilnya, stress yang terlalu besar dapat mengancam
kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan, yang akhirnya
10
mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya dan berarti mengganggu
prestasi kerjanya.
Luthans (2013) mendefinisikan stress sebagai respon adaptif
terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik,
psikologis, dan atau perilaku pada anggota organisasi. Secara
konseptual dan praktik, konflik dan stress adalah sama terutama dalam
tingkat individu.
2.3.2 Penyebab dan Gejala Stress Kerja
Mangkunegara (2008) berpendapat bahwa: “Penyebab stress
kerja, antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja
yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja
yang tidak sehat, otoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan
dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antara karyawan
dengan pemimpin yang frustasi dalam kerja”. (dalam Tunjungsari,
2011).
Handoko (2001) mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah
kondisi kerja yang sering menyebabkan stress bagi para karyawan ,
diantaranya adalah: Beban kerja yang berlebihan, tekanan atau desakan
waktu, kualitas supervisi yang jelek, iklim politis yang tidak aman,
umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai,
kemenduaan peranan, frustasi, konflik antar pribadi dan antar
kelompok, perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan,
berbagai bentuk perusahaan. Menurut Doelhadi (1997) salah satu hal
yang menyebabkan stres adalah faktor situasi, yaitu keadaan yang
mengandung tuntutan yang berat dan mendesak. Apabila individu tidak
merasakan tuntutan dari lingkungan sebagai stresor, maka individu
tersebut tidak mengalami stres.
11
Kondisi tertentu dalam lingkungan merupakan sumber potensial
bagi munculnya stres. Bagaimana bentuk stres yang dihayati tergantung
dari karakteristik yang unik dari individu yang bersangkutan serta
penghayatannya tehadap faktor-faktor dari lingkungan yang potensial
memunculkan stres padanya, walaupun hampir setiap kelompok orang
dihadapkan pada jenis atau kondisi stress yang serupa, tetapi hal ini
akan menghasilkan reaksi yang berbeda, bahkan dalam menghadapi
jenis stress atau kondisi yang sama setiap individu dapat berbeda-beda
pola reaksinya (Tunjungsari, 2011). Sarafino,1990 (dalam Solihat,
2009) mengatakan bahwa stress bersumber dari tiga hal, yaitu dari diri
individu (sources within the person); dari keluarga (sources in the
family); dari lingkungan dan masyarakat (sources in the community and
society). Luthans (2013) berpendapat penyebab stress bisa dari luar
dan dalam organisasi, dari kelompok yang dipengaruhi karyawan dan
dari karyawan itu sendiri.
Gambar 2.1 Model stress kerja versi Cartwright dan Cooper
(Sumber : http://setabasri01.blogspot.co.id/2011/01/job-stress-dan-job-
satisfaction.html, di unduh 15/10/2015)
Dilihat dari model Cartwright and Cooper diatas, ada
beberapa gejala stress kerja : (1) Gejala Individual : tekanan darah
http://setabasri01.blogspot.co.id/2011/01/job-stress-dan-job-satisfaction.htmlhttp://setabasri01.blogspot.co.id/2011/01/job-stress-dan-job-satisfaction.html
12
naik, depressed mood, makan-minum berlebih, iritabilitas, dada
nyeri; (2) Gejala Organisasi : sering bolos, keluar masuk kerja,
hubungan kerja tidak baik, kendali kualitas buruk.
Gambar 2.2 Model of Stressors, Stress, and Outcomes versi Ivancevich,
Konopaske dan Matteson, Organizational, Behavior and Management Eight
Edition, 2008 (dalam Lindawati, 2014)
Sumber : Lindawati, 2014
Dilihat dari Skema pada Gambar 2.2 Model of Stressors,
Stress, and Outcomes versi Ivancevich, Konopaske dan Matteson,
gejala perilaku yang dihasilkan oleh stres kerja adalah
ketidakhadiran dan pergantian pegawai. Gejala kognitif yang
dihasilkan oleh stres kerja seperti salah dalam mengambil keputusan,
kurang konsentrasi dalam bekerja dan mudah tersinggung, apatis dan
frustasi. Sedangkan gejala fisiologis yang dihasilkan oleh stres kerja
seperti naiknya tekanan darah dan penyakit jantung koroner. Model
tersebut menyatakan bahwa hubungan antara stres dan hasil
(individu dan organisasi) tidak selalu secara langsung, demikian juga
dengan hubungan antara stresor dan stres. Hubungan ini mungkin
dipengaruhi oleh moderator stres. Perbedaan individu seperti usia,
13
mekanisme dukungan sosial, dan kepribadian diperkenalkan sebagai
moderator potensial. (Lindawati, 2014).
Gejala stres menurut Braham (dalam Harianto et. al. 2008)
dapat berupa tanda-tanda sebagai berikut :
Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur lidak teratur, sakit kepala, sulit
buang air besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit
gatal-gatal, punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher
terasa tegang, keringat berlebihan, berubah selera makan, tekanan
darah tinggi atau serangan jantung, kehilangan energi.
Emosional, yaitu marah-marah mudah tersinggung dan terlalu
sensitif gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah,
sedih, mudah menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang
lain dan mudah bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan
mental.
Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat
menurun, sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan,
pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja .
Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain,
kepercayaan pada orang lain menurun, mudah mengingkari janji
pada orang lain, sering mencari kesalahan orang lain atau
menyerang dengan kata-kata, dan mudah menyalahkan orang lain..
14
2.4. Kinerja
Prawirosentono, 2006 (dalam Supriadi 2013) mengartikan
kinerja sebagai hasil kerja yang dapat dicapai oleh pegawai atau
sekelompok pegawai dalam suatu organisasi, sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam upaya
mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak
melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika. Sejalan
dengan pendapat tersebut, Harbani Pasolong, 2007 (dalam Supriadi,
2013) mengatakan kinerja pegawai adalah hasil kerja perseorangan
dalam suatu organisasi.
Menurut Keputusan Lembaga Administrasi Negara Republik
Indonesia Nomor: 598/IX/6/X/1999 tentang Pedoman Penyusunan
Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, kinerja adalah
gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan /
program / kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi
dan visi suatu organisasi.
Menurut pendapat Hasibuan (dalam Supriadi 2013), kinerja
pegawai dapat dikatakan baik atau dapat dinilai dari beberapa hal :
a) Kesetiaan; seorang pegawai dikatakan memiliki kesetiaan jika ia
melakukan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh
tanggung jawab terhadap amanah yang diberikan organisasi.
b) Prestasi kerja; merupakan hasil kerja yang dicapai pegawai dalam
melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Pada umumnya
prestasi kerja seorang pegawai dipengaruhi oleh kecakapan,
keterampilan, pengalaman dan kesanggupan pegawai dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya. Namun demikian prestasi
kerja seorang pegawai tidak hanya tergantung dari kemampuan
15
dan keahlian yang bersangkutan untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan.
c) Kedisiplinan; sejauh mana pegawai dapat mematuhi peraturan-
peraturan yang ada dan melaksanakan instruksi yang diberikan
kepadanya. Disiplin dapat diartikan melaksanakan apa yang telah
disetujui bersama antara pimpinan dengan para pegawai baik
persetujuan tertulis, lisan ataupun berupa peraturan-peraturan dan
kebiasaan-kebiasaan.
d) Kreatifitas; yaitu kemampuan pegawai dalam mengembangkan
ide-ide dan mengeluarkan potensi yang dimiliki dalam
menyelesaikan pekerjaannya sehingga pegawai dapat bekerja
dengan lebih berdaya guna dan berhasil guna.
e) Kerjasama; yaitu kemampuan pegawai untuk bekerja sama
dengan pegawai lain dalam menyelesaikan suatu tugas yang
ditentukan, sehingga hasil pekerjaannya akan semakin baik.
f) Kecakapan; dapat diukur dari tingkat pendidikan pegawai yang
disesuaikan dengan pekerjaan yang menjadi tugasnya.
g) Tanggungjawab; adalah kesanggupan seorang pegawai
menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan
sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani menerima
resiko pekerjaan yang dilakukan.
Pengakuan sosial juga bisa menjadi salah satu pendorong
untuk meningkatkan kinerja, sebagaimana dikatakan oleh Luthans
(2013) bahwa memberikan penghargaan non finansial berupa
umpan balik kinerja dan perhatian/pengakuan sosial bisa menjadi
salah satu metode yang efektif untuk meningkatkan kinerja
karyawan.
16
2.5. Dampak Stigma Negatif Terhadap Perilaku Kerja (Stress
Kerja dan Kinerja)
Berbagai bentuk stigma negatif terhadap PNS seperti misalnya
PNS loyalitasnya masih rendah, tidak disiplin, malas bekerja, (lihat
sinarharapan.co/news/read/23298/menguji-loyalitas-pns), kinerja PNS
lambat (lihat http://www.beritasatu.com/pelayanan-publik/222082-
menpan-dan-rb-penilaian-pns-kita-buruk-di-publik.html), dan bentuk
stigma negatif terhadap PNS lainnya diduga berdampak terhadap stress
kerja dan berdampak terhadap kinerja para pegawai di Pemerintah
Kota Salatiga, karena dimungkinkan berbagai tudingan tersebut bisa
memunculkan rasa frustasi dalam diri PNS. Sebagaimana pendapat
Handoko (2001), bahwa sejumlah kondisi kerja yang salah satunya
adalah frustasi bisa menyebabkan stress kerja bagi karyawan.
Dalam teori peran (role theory) ditegaskan bahwa stress dapat
mengurangi kinerja, karena stress dapat merusak perilaku seseorang
(pshychological well-being) (Keaveney et.al. 1992 dalam Lestari,
2003). Meskipun stress berpotensi menurunkan kinerja, ada
pandangan lain yang berpendapat jika stress juga bisa berpotensi
meningkatkan kinerja; sebagaimana pendapat Dientsbier (1989)
kinerja pegawai justru akan menurun jika mereka merasakan tingkat
stress yang rendah atau tidak ada sama sekali, karena mereka tidak
merasa tertantang atau terdorong untuk mencapai kinerja yang
tinggi. Sebaliknya stress yang terlalu tinggi akan mendorong
pegawai hanya terfokus pada usaha untuk mengatasi stress tersebut
dibandingkan dengan usahanya untuk meningkatkan kinerja. Pada
tingkatan moderat, stress dapat mendorong pegawai untuk bekerja
http://www.beritasatu.com/pelayanan-publik/222082-menpan-dan-rb-penilaian-pns-kita-buruk-di-publik.htmlhttp://www.beritasatu.com/pelayanan-publik/222082-menpan-dan-rb-penilaian-pns-kita-buruk-di-publik.html
17
lebih baik tanpa harus mencurahkan energinya untuk mengatasi
stress (dalam Lestari, 2003).
Doelhadi (1997) berpendapat bahwa salah satu hal yang
menyebabkan stress adalah faktor situasi, yaitu keadaan yang
mengandung tuntutan yang berat dan mendesak. Akan tetapi
sebaliknya apabila individu tidak merasakan tuntutan dari
lingkungan sebagai stresor, maka individu tersebut tidak mengalami
stress. Dari hasil penelitian Daniel, et.al. 2005 menunjukkan bahwa
apresiasi kepada pegawai bisa membantu meningkatkan semangat
kerja, stress yang lebih rendah, menurunkan ketidakhadiran dan
perputaran, dan meningkatkan produktivitas (dalam Mardalis et.al.,
2012).
Menurut pendapat Lestari (2003) terdapat hubungan langsung
antara variabel-variabel stress dengan variabel-variabel hasil kerja,
namun dukungan sosial dapat mempengaruhi hubungan tersebut
dengan mengubah sikap pegawai dalam bereaksi terhadap stress
yang berkaitan dengan situasi-situasi tertentu.
2.6 Pengembangan Hipotesis
Berdasar latar belakang permasalahan dan landasan pemikiran
yang telah diuraikan, maka hipotesis dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Stigma negatif berpengaruh terhadap stress kerja PNS di
Pemerintah Kota Salatiga;
Dukungan sosial berperan sebagai variabel moderasi dalam
hubungan stigma negatif terhadap stress kerja PNS di Pemerintah
Kota Salatiga;
18
Stress kerja berpengaruh terhadap kinerja PNS di Pemerintah
Kota Salatiga;
2.7 Kerangka Pemikiran Teoritis
Berdasarkan telaah teoritis yang dilakukan pada bagian
awal, selanjutnya dibentuk sebuah model penelitian yang akan
menjadi kerangka penelitian dan panduan bagi pemecahan masalah
yang diajukan dalam penelitian ini. Penelitian ini memiliki beberapa
variabel, diantaranya variabel stigma negatif (X1), variabel
dukungan sosial sebagai variabel moderasi (X2), variabel stress kerja
(Y1), dan variabel kinerja (Y2). Model dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.4 Model Kerangka Pemikiran
X1 Y1 Y2
X2
H1 : Stigma negatif berpengaruh terhadap stress kerja PNS di
Pemerintah Kota Salatiga;
STIGMA NEGATIF STRESS KERJA KINERJA
DUKUNGAN SOSIAL
19
H2 : Dukungan sosial berperan sebagai variabel moderasi dalam
hubungan stigma negatif terhadap stress kerja PNS di
Pemerintah Kota Salatiga
H3 : Stress kerja berpengaruh terhadap kinerja PNS di Pemerintah
Kota Salatiga