Upload
trandung
View
233
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Terapi Intravena
2.1.2 Definisi
Terapi intravena (IV) merupakan terapi medis yang dilakukan secara invasif
dengan menggunakan metode yang efektif untuk mensuplay cairan, elektrolit,
nutrisi dan obat melalui pembuluh darah (Potter & Perry, 2006). Sedangkan
menurut Dougherty (2008) mengatakan bahwa terapi intravena adalah penyediaan
akses yang bertujuan untuk pemberian hidrasi intravena atau makanan dan
administrasi pengobatan. Kanula biasanya dimasukkan untuk terapi jangka
pendek maupun untuk injeksi bolus atau infus singkat dalam perawatan di rumah
ataupun di unit rawat jalan.
2.1.3 Anatomi
Banyak vena dapat digunakan untuk terapi intravena (IV), tapi kemudahan akses
dan potensi bahaya berbeda diantara tempat-tempat ini. Vena di ekstremitas
dipilih sebagai lokasi perifer dan pada mulanya merupakan tempat satu-satunya
yang digunakan oleh perawat. Karena vena ini relatif aman dan mudah dimasuki,
vena-vena di ekstremitas atas paling sering digunakan. Vena lengan dan tangan
diperlihatkan pada gambar 1. Vena-vena kaki sangat jarang, kalaupun pernah,
digunakan karena resiko tinggi terjadi tromboemboli, vena ini merupakan cara
terakhir dan dapat dilakukan hanya sesuai dengan program medik dokter. Tempat -
tempat tambahan untuk dihindari termasuk vena di bawah infiltrasi vena
10
11
sebelumnya atau di bawah area yang plebitis, vena yang sklerotik atau
bertrombus, lengan dengan pirai arteriovena atau fistula, atau lengan yang
mengalami edema, infeksi, bekuan darah, atau kerusakan kulit. Selain itu, lengan
pada sisi yang mengalami mastektomi dihindari karena aliran vena balik yang
terganggu.
Gambar 1 Lokasi Pemasangan Infus Sumber Dougherty, dkk (2010)
12
Vena sentral yang sering digunakan oleh dokter termasuk vena subklavia dan
vena jugularis interna, adalah memungkinkan untuk mengakses (mengkanulasi)
pembuluh darah yang lebih besar ini bahkan ketika vena perifer sudah kolaps, dan
vena ini memungkinkan pemberian larutan dengan osmolar tinggi. Meskipun
demikian bahayanya jauh lebih besar dan mungkin termasuk penusukan yang
kurang hati-hati masuk ke dalam arteri atau rongga pleura.
Idealnya, kedua lengan dan tangan harus di inspeksi dengan cermat sebelum
tempat pungsi vena spesifik dipilih. Lokasi harus dipilih yang tidak mengganggu
mobilisasi. Untuk alasan ini, fosa antekubital dihindari, kecuali sebagai upaya
terakhir. Tempat yang paling distal dari lengan atau tangan umumnya digunakan
pertama kali sehingga IV yang berikutnya dapat dilakukan ke arah yang atas. Hal-
hal berikut menjadi pertimbangan ketika memilih tempat penusukan vena:
a. Kondisi vena
b. Jenis cairan atau obat yang akan diinfuskan
c. Lamanya terapi
d. Usia dan ukuran pasien
e. Riwayat kesehatan dan status pasien sekarang
f. Ketrampilan tenaga kesehatan
Vena harus dikaji dengan palpasi dan inspeksi. Vena harus teraba kuat, elastis,
besar dan bulat, tidak keras, datar, atau bergelombang. Karena arteri terletak dekat
vena dalam fosa antekubital, pembuluh darah harus dipalpasi terhadap pulsasi
13
arteri (bahkan dengan terpasangnya turniket) dan dihindari pemasangan kanul
pada pembuluh darah yang berpulsasi (Smeltzer & Bare, 2002).
2.1.4 Tujuan
Pilihan untuk memberikan larutan intravena tergantung pada tujuan spesifik untuk
apa hal itu dilakukan. Umumnya, cairan intravena diberikan untuk mencapai satu
atau lebih tujuan berikut ini:
a. Untuk menyediakan air, elektrolit, dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari
b. Untuk menggantikan air dan memperbaiki kekurangan elektrolit
c. Untuk menyediakan suatu medium untuk pemberian obat secara intravena
(Smeltzer & Bare, 2002).
2.1.5 Prosedur
Prosedur Pemasangan Infus (Perry & Potter, 2006).
a. Persiapan
1) Observasi tanda dan gejala yang mengindikasikan ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit.
2) Pelajari kembali program penggantian terapi yang ditetapkan dokter
3) Siapkan peralatan yang dibutuhkan untuk memulai pemasangan selang
intravena (larutan yang benar, jarum yang sesuai, set infus yang sesuai, selang
intravena, alkohol dan swab pembersih yodium-povidon, turniket, papan
penyangga lengan, kassa atau balutan transparan dan larutan atau salep
14
yodium-povidon, plester, handuk untuk diletakkan dibawah lengan, tiang IV,
sarung tangan sekali pakai, gown IV).
4) Identifikasi klien dan jelaskan prosedur.
5) Atur peralatan di atas meja yang terpasang disamping tempat tidur atau meja
yang disediakan.
6) Identifikasi vena yang dapat diakses untuk tempat pemasangan jarum IV atau
kateter.
b. Pelaksanaan
1) Cuci tangan
2) Buka kemasan steril dengan menggunakan teknik steril
3) Periksa larutan dengan menggunakan lima benar pemberian obat.
4) Buka set infus, pertahankan sterilitas di kedua ujungnya
5) Tempatkan klem yang dapat digeser tepat di bawah bilik tetesan dan gerakkan
klem penggeser ke posisi penghentian aliran infus.
6) Masukkan set infus ke dalam kantung cairan
7) Isi selang infus
8) Pilih vena distal untuk digunakan
9) Apabila di tempat insersi jarum terdapat banyak bulu badan, gunting bulu-
bulu tersebut.
10) Apabila memungkinkan, letakkan ekstremitas pada posisi dependen (dalam
keadaan ditopang sesuatu).
11) Pasang turnikuet 10 sampai 12 cm di atas tempat insersi.
12) Pilih vena yang berdilatasi dengan baik
15
13) Kenakan sarung tangan sekali pakai
14) Bersihkan tempat insersi dengan kuat, terkonsentrasi dan dengan gerakan
sirkular dari tempat insersi ke daerah luar dengan menggunakan larutan
yodium-povidon. Biarkan sampai kering. Apabila klien alergi gunakan
alkohol 70% selama 30 detik.
15) Lakukan pungsi vena. Fiksasi vena dengan menempatkan ibu jari di atas vena
dan dengan meregangkan kulit berlawanan dengan arah insersi 5-7 cm, dari
arah distal ke tempat pungsi vena.
16) Lihat aliran balik melalui selang jarum kupu-kupu atau bilik aliran balik
darah di ONC, yang mengindikasikan bahwa jarum telah memasuki vena.
Rendahkan jarum sampai hampir menyentuh kulit. Masukkan lagi kateter
sekitar seperempat inci ke dalam vena dan kemudian longgarkan stylet
(bagian pangkal jarum yang dimasukkan ke vena). Lanjutkan memasukkan
kateter yang fleksibel atau jarum kupu-kupu sampai hub berada di tempat
pungsi vena.
17) Stabilkan kateter dengan salah satu tangan, lepaskan turniket dan lepaskan
stylet dari ONC.
18) Hubungkan adapter jarum infus ke hub ONC atau jarum. Jangan sentuh titik
masuk adapter jarum atau bagian dalam hub ONC.
19) Lepaskan klem penggeser untuk memulai aliran infus dengan kecepatan
tertentu untuk mempertahankan kepatenan selang intravena.
20) Fiksasi kateter IV atau jarum dengan menempelkan plester kecil di bawah
hub kateter dengan sisi perekat ke arah atas dan silangkan plester di atas hub.
16
Berikan sedikit larutan atau salep yodium-povidon pada tempat pungsi vena.
Biarkan larutan mengering sesuai dengan kebijakan. Tempelkan plester kecil
kedua, langsung silangkan ke hub kateter. Letakkan balutan transparan di atas
tempat pungsi vena, dengan mengikuti petunjuk pabriknya. Fiksasi selang
infus ke kateter dengan sepotong plester berukuran 2,5 cm.
21) Tulis tanggal, waktu pemasangan selang IV, ukuran jarum, dan tanda tangan
serta inisial perawat pada balutan IV.
22) Atur kecepatan aliran untuk mengoreksi tetesan per menit.
23) Buang sarung tangan dan persediaan yang digunakan dan cuci tangan
24) Observasi klien setiap jam untuk menentukan responsnya terhadap terapi
cairan
25) Tulis di catatan perawat tentang tipe cairan, tempat insersi, kecepatan aliran,
ukuran dan tipe kateter IV atau jarum, dan waktu infus dimulai. Catat rens
terhadap cairan IV, jumlah yang diinfuskan, dan integritas serta kepatenan
sistem IV.
2.1.6 Komplikasi
Terapi intravena menimbulkan kecenderungan berbagai bahaya, termasuk
komplikasi lokal maupun sistemik. Komplikasi sistemik lebih jarang terjadi tetapi
seringkali lebih serius dibandingkan komplikasi lokal dan termasuk kelebihan
sirkulasi, emboli udara, reaksi demam, dan infeksi.
17
a. Komplikasi sistemik
1) Kelebihan beban cairan
Membebani sistem sirkulasi dengan cairan intravena yang berlebihan akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah dan tekanan vena sentral, dispnea berat
dan sianosis. Tanda dan gejala tambahan termasuk batuk dan kelopak mata yang
membengkak. Penyebab yang mungkin termasuk infus larutan IV yang cepat atau
penyakit hati, jantung, atau ginjal. Hal ini terutama mungkin terjadi pada pasien
dengan gangguan jantung dan disebut dengan kelebihan beban sirkulasi.
2) Emboli udara
Bahaya emboli udara selalu ada meskipun tidak sering terjadi. Emboli udara
paling sering berkaitan dengan kanulasi vena-vena sentral. Adanya embolisme
udara dimanifestasikan dengan dispnea dan sianosis, hipotensi, nadi yang lemah,
cepat, hilangnya kesadaran, dan nyeri dada, bahu, dan punggung bawah.
Pengobatan komplikasi ini adalah dengan segera mengklem kateter,
membaringkan pasien miring ke kiri dalam posisi Trendelenburg, mengkaji tanda-
tanda vital dan bunyi napas, dan memberikan oksigen. Emboli udara dapat
dicegah dengan menggunakan adapter Luer-lok pada semua jalur IV. Komplikasi
embolisme udara termasuk syok dan kematian. Jumlah udara yang dibutuhkan
untuk menyebabkan kematian pada manusia tidak diketahui; meskipun demikian,
kecepatan masuknya udara mungkin sama pentingnya dengan volume aktual
udara yang masuk.
18
3) Septikemia
Adanya substansi pirogenik baik dalam larutan infus atau alat pemberian dapat
mencetuskan terjadinya reaksi demam dan septikemia. Dengan reaksi semacam
ini, perawat dapat melihat kenaikan suhu tubuh mendadak segera setelah infus
dimulai, sakit punggung, sakit kepala, peningkatan nadi dan frekuensi pernafasan,
mual dan muntah, diare, demam dan menggigil, malaise umum, dan jika parah,
kolaps vaskular. Penyebab septikemia termasuk kontaminasi pada produk IV dan
kelalaian pada teknik asepsis, terutama pada pasien yang mengalami penurunan
sistem imun. Pengobatan bersifat simptomatik dan termasuk melakukan kultur
kateter IV, selang, atau larutan jika dicurigai dan melakukan tempat penusukan IV
yang baru untuk pengobatan dan atau pemberian cairan.
4) Infeksi
Infeksi beragam dalam keparahannya mulai dari keterlibatan lokal dan tempat
penusukan sampai penyebaran sistemik organisme melalui aliran darah, seperti
pada septikemia. Tindakan untuk mencegah infeksi merupakan hal yang penting
pada saat melakukan pemasangan IV dan sepanjang periode pemberian infus.
b. Komplikasi lokal
1) Infiltrasi
Pergeseran jarum dan infiltrasi lokal dari larutan ke dalam jaringan subkutan
bukanlah hal yang jarang terjadi. Infiltrasi ditunjukkan dengan edema disekitar
tempat penusukan, ketidaknyamanan dan rasa dingin di area infiltrasi, dan
penurunan kecepatan aliran yang nyata. Jika larutan yang dipergunakan bersifat
19
mengiritasi, kerusakan jaringan dapat terjadi. Pemantauan ketat terhadap tempat
penusukan menunjukkan hal penting untuk mendeteksi infiltrasi sebelum hal ini
menjadi parah.
Infiltrasi mudah dikenali jika penusukan lebih besar dari tempat yang sama di
ekstremitas yang berlawanan. Meskipun demikian, infiltrasi tidak selalu senyata
itu. Suatu konsep yang salah adalah bahwa aliran balik darah ke selang
membuktikan bahwa kanul berada di dalam pembuluh darah. Meskipun demikian,
jika ujung kateter menembus dinding pembuluh darah, cairan intavena akan
merembes ke jaringan dan juga mengalir ke dalam vena. Suatu cara yang lebih
dipercaya untuk memastikan infiltrasi adalah dengan memasang turniket di atas
atau di daerah proksimal dari tempat pemasangan infus dan mengencangkan
turniket tersebut secukupnya untuk menghentikan aliran vena. Jika infus terus
menetes meskipun ada obstruksi vena, terjadi infiltrasi.
2) Plebitis
Plebitis didefinisikan sebagai inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi
kimia maupun mekanik. Hal ini dikarakteristik dengan adanya daerah yang
memerah dan hangat di sekitar daerah penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau
rasa lunak di daerah penusukan atau sepanjang vena, dan pembengkakan. Insidens
plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komposisi
cairan atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan
tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya
mikroorganisme pada saat penusukan.
20
Perawatan termasuk menghentikan IV dan memulai di daerah lain, dan
memberikan kompres hangat dan basah di tempat yang terkena. Plebitis dapat
dicegah dengan menggunakan teknik asepsis selama pemasangan, menggunakan
ukuran kateter dan ukuran jarum yang sesuai untuk vena, mempertimbangkan
komposisi cairan dan medikasi ketika memilih daerah penusukan, mengobservasi
tempat penusukan akan adanya komplikasi apapun setiap jam, dan menempatkan
kateter atau jarum dengan baik.
3) Tromboplebitis
Tromboplebitis mengacu pada adanya bekuan ditambah peradangan dalam vena.
Hal ini dikarakteristik dengan adanya nyeri yang terlokalisasi, kemerahan, rasa
hangat,dan pembengkakan disekitar tempat penusukan atau sepanjang vena,
imobilisasi ekstremitas karena rasa tidak nyaman dan pembengkakan, kecepatan
aliran yang tersendat, demam, malaise, dan leukositosis. Perawatan termasuk
menghentikan IV, memberikan kompres hangat, meninggikan ekstremitas dan
memulai jalur IV di ekstremitas yang berlawanan. Dengan adanya tanda dan
gejala tromboplebitis, seseorang tidak seharusnya tidak mencoba melakukan
irigasi jalur IV. Tromboplebitis dapat dicegah dengan menghindarkan trauma
pada vena pada saat IV dimasukkan, mengobservasi tempat penusukan setiap jam,
dan mencek tambahan pengobatan untuk kompabilitas.
4) Hematoma
Hematoma terjadi sebagai akibat dari kebocoran darah ke jaringan di sekitar
tempat penusukan. Hal ini dapat disebabkan karena pecahnya dinding vena yang
21
berlawanan selama penusukan vena, jarum bergeser ke luar vena, dan tekanan
yang tidak sesuai yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau kateter
dilepaskan. Tanda dan gejala dari hematoma termasuk ekimosis, pembengkakan
segera pada tempat penusukan, dan kebocoran darah pada tempat penusukan.
Perawatan termasuk melepaskan jarum atau kateter dan memberikan tekanan
dengan kassa steril, memberikan kantong es selama 24 jam ke tempat penusukan
dan kemudian memberikan kompres hangat untuk meningkatkan absorpsi darah,
mengkaji tempat penusukan, dan memulai kembali jalur di ekstremitas yang lain
jika diindikasikan. Hematoma dapat dicegah dengan memasukkan jarum secara
hati-hati dan menggunakan perawatan yang baik jika pasien mempunyai kelainan
perdarahan, jika pasien menerima antikoagulan, atau mempunyai penyakit hati
yang sudah parah.
5) Bekuan (clotting)
Bekuan pada jarum merupakan komplikasi lokal yang lain. Hal ini disebabkan
karena selang IV yang tertekuk, kecepatan aliran yang terlalu lambat, kantong IV
yang kosong, atau tidak memberikan aliran setelah pemberian obat atau larutan
intermiten. Tanda dan gejalanya adalah penurunan kecepatan aliran dan aliran
darah kembali ke selang IV. Jika terjadi bekuan, jalur IV harus dihentikan.
Perawatan terdiri dari tidak mengirigasi atau melakukan pemijatan pada selang,
tidak mengembalikan aliran dengan meningkatkan kecepatan atau menggantung
larutan lebih tinggi, dan tidak melakukan aspirasi bekuan dari kanul. Bekuan pada
jarum mungkin dicegah dengan tidak membiarkan katong IV menjadi kosong,
penempatan selang untuk mencegah tertekuknya selang, mempertahankan
22
kecepatan aliran yang adekuat dan memberikan aliran pada selang setelah
pemberian medikasi atau larutan intermiten. Pada beberapa kasus, urokinase
(Abbokinase) disuntikkan ke dalam kateter untuk membersihkan bekuan yang
diakibatkan oleh fibrin atau bekuan darah.
2.1.7 Prinsip Pengendalian Infeksi
Terapi infus merupakan tindakan invasif yang dapat menimbulkan infeksi jika
perawatan tidak dilakukan secara adekuat. Menurut Hart (1999, dalam Hindey,
2004), mengatakan bahwa untuk meminimalkan resiko infeksi, perawat harus
menyadari bahwa pasien adalah orang yang rentan terjadi infeksi dan faktor yang
berhubungan dengan infeksi, seperti usia yang ekstrim, adanya infeksi, penurunan
daya tahan tubuh, kehilangan integritas kulit, prosedur invasif multipel, terapi
antibiotik dan nutrisi yang kurang. Untuk mencegah terjadinya infeksi maka
teknik pemasangan kanula intravena, persiapan kulit, pengelolaan balutan atau
dresing, pengelolaan set infus, dan penggantian kanula intravena harus dilakukan
sesuai standar (Alexander, et al., 2010; Hindley, 2004; Gabriel, 2008).
Hand Hygiene (HH) merupakan tehnik pengendalian infeksi yang paling penting.
HH harus dilakukan sebelum dan segera setelah pelaksanaan prosedur klinik, atau
sebelum memakai atau melepas sarung tangan (RCN, 2005). Tujuan HH adalah
untuk melindungi baik pasien maupun tenaga kesehatan terhadap kontaminasi
sumber-sumber infeksi (CDC, 2011). HH harus dilakukan perawat pada waktu-
waktu berikut:
23
a. Sebelum dan setelah kontak dengan pasien
b. Sebelum kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien lain
c. Setelah melepas sarung tangan pelindung
d. Setelah menggunakan toilet
e. Sebelum keluar area perawatan pada saat waktu istirahat
f. Sebelum dan sesudah melakukan prosedur invasif
g. Sebelum makan
h. Diantara tindakan bersih dan kotor pada pasien yang sama.
Pada saat pemasangan kanula intravena, hal-hal yang harus diperhatikan adalah
mencuci tangan dengan air mengalir dan menggunakan desinfektan atau
melakukan hands scrub menggunakan alkohol atau cairan desinfektan,
menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan, dan memakai celemek
plastik disibel (jika perlu), terutama saat menangani pasien yang mempunyai
penyakit menular seperti penyakit HIV/AIDS, setiap rambut yang berlebihan
harus digunting atau dicukur dengan alat cukur. Selain itu juga harus diperhatikan
lokasi tempat penusukan harus didesinfektan dengan larutan antibakteri, dan
biarkan kering terlebih dahulu, tidak menyentuh kulit area yang sudah
didesinfektan, diusahakan tidak menggunakan lagi kanul atau kateter yang sudah
digunakan (akibat kegagalan menembus vena).
Penggunaan balutan harus dilakukan dengan teknik steril, terutama pada area
insersi kanula. Balutan yang menggunakan kassa dan plester harus diganti setiap
48 jam, sedangkan jika menggunakan transparant harus diganti maksimal sampai
24
7 hari, dan pertahankan supaya tetap kering. Set infus harus diganti setiap 72-96
jam sekali, begitu juga lokasi tempat insersi harus dipindah setiap 72-96 jam
sekali dengan menggunakan alat yang baru (INS 2006a, dalam Alexander, et al.,
2010).
2.2 Plebitis
2.2.1 Definisi
Plebitis adalah inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik
(Smeltzer & Bare, 2002). Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah,
nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. Insiden plebitis
meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan
atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula
dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme
pada saat penusukan (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) plebitis adalah peradangan pada tunika
intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian
terapi infus. Peradangan didapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada
endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan tombosit pada area tersebut. Plebitis
merupakan infeksi nosokomial yaitu infeksi oleh mikroorganisme yang dialami oleh
pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit diikuti dengan manifestasi klinis
yang muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam (Darmadi, 2008).
25
Plebitis adalah peradangan vena yang disebabkan oleh kateter atau iritasi kimiawi
zat aditif dan obat-obatan yang diberikan secara intravena. Tanda dan gejalanya
meliputi nyeri, peningkatan temperatur kulit di atas vena, dan pada beberapa
kasus timbul kemerahan di tempat insersi atau sepanjang jalur vena (Potter &
Perry, 2006).
2.2.2 Klasifikasi plebitis
Pengklasifikasian plebitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ada empat
kategori penyebab terjadinya plebitis yaitu kimia, mekanik, agen infeksi, dan post
infus (INS, 2006).
a. Chemical Plebitis (Plebitis kimia)
Kejadian plebitis ini dihubungkan dengan bentuk ren yang terjadi pada tunika
intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi
peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan
material kateter yang digunakan.
PH darah normal terletak antara 7,35 – 7,45 dan cenderung basa. PH cairan yang
diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti adalah netral. Ada
kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah
terjadinya karamelisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi larutan
yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa digunakan dalam
nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik.
26
Osmolalitas diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan atau jumlah partikel
yang larut dalam suatu larutan. Pada orang sehat, konsentrasi plasma manusia
adalah 285 ±10 mOsm/kg H20 (Sylvia, 1991). Larutan sering dikategorikan
sebagai larutan isotonik, hipotonik atau hipertonik, sesuai dengan osmolalitas total
larutan tersebut dibanding dengan osmolalitas plasma. Larutan isotonik adalah
larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar 280-310 mOsm/L, larutan yang
memiliki osmolalitas kurang dari itu disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi
disebut larutan hipertonik. Tonisitas suatu larutan tidak hanya berpengaruh
terhadap status fisik klien akan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima
pembuluh darah. Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian
larutan hiperosmoler yang mempunyai osmolalitas lebih dari 600 mOsm/L.
Terlebih lagi pada saat pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh vena yang
kecil. Cairan isotonik akan menjadi lebih hiperosmoler apabila ditambah dengan
obat, elektrolit maupun nutrisi (INS, 2006). Vena perifer dapat menerima
osmolalitas larutan sampai dengan 900 mOsm/L. Semakin tinggi osmolalitas
(makin hipertonis) makin mudah terjadi kerusakan pada dinding vena perifer
seperti plebitis, tromboplebitis, dan tromboemboli. Pada pemberian jangka lama
harus diberikan melalui vena sentral, karena larutan yang bersifat hipertonis
dengan osmolalitas >900 mOsm/L, melalui vena sentral aliran darah menjadi
cepat sehingga tidak merusak dinding.
Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu penyebab utama
kejadian plebitis. Pada pemberian dengan kecepatan rendah mengurangi iritasi
pada dinding pembuluh darah. Penggunaan material kateter juga berperan pada
27
kejadian plebitis. Bahan kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietelin
(teflon) mempunyai resiko terjadi plebitis lebih besar dibanding bahan yang
terbuat dari silikon atau poliuretan (INS,2006).
Partikel materi yang terbentuk dari cairan atau campuran obat yang tidak
sempurna diduga juga bisa menyebabkan resiko terjadinya plebitis. Penggunaan
filter dengan ukuran satu sampai dengan lima mikron pada infus set, akan
menurunkan atau meminimalkan resiko plebitis akibat partikel materi yang
terbentuk tersebut (INS, 2006).
b. Mechanical Plebitis (plebitis mekanik)
Plebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau penempatan
kateter intravena. Penempatan kateter pada area fleksi lebih sering menimbulkan
kejadian plebitis, oleh karena pada saat ekstremitas digerakkan kateter yang
terpasang ikut bergerak dan menyebabkan trauma pada dinding vena. Penggunaan
ukuran kateter yang besar pada vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding
vena (The Centers for Disease Control and Prevention, 2002).
c. Backterial Plebitis (Plebitis Bakteri)
Plebitis bacterial adalah peradangan vena yang berhubungan dengan adanya
kolonisasi bakteri. Berdasarkan laporan dari The Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) tahun 2002 dalam artikel intravaskuler catheter- related
infection in adult and pediatric kuman yang sering dijumpai pada pemasangan
kateter infus adalah stapylococus dan bakteri gram negative, tetapi dengan
epidemic HIV/AIDS infeksi oleh karena jamur dilaporkan meningkat. Adanya
28
bakterial plebitis bisa menjadi masalah yang serius sebagai predisisi komplikasi
sistemik yaitu septikemia. Faktor-faktor yang berperan dalam kejadian plebitis
bakteri antara lain:
1) Teknik cuci tangan yang tidak baik.
2) Teknik asepsis yang kurang pada saat penusukan.
3) Teknik pemasangan kateter yang buruk.
4) Pemasangan yang terlalu lama (INS, 2002)
Cuci tangan merupakan hal yang penting untuk mencegah kontaminasi dari
petugas kesehatan dalam tindakan pemasangan infus. Dalam pesan kewaspadaan
universal petugas kesehatan yang melakukan tindakan invasif harus memakai
sarung tangan. Meskipun telah memakai sarung tangan, teknik cuci tangan yang
baik harus tetap dilakukan dikarenakan adanya kemungkinan sarung tangan robek,
dan bakteri mudah berkembang biak di lingkungan sarung tangan yang basah dan
hangat, terutama sarung tangan yang robek (CDC, 1989). Tujuan dari cuci tangan
sendiri adalah menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan
kulit dan mengurangi jumlah mikroorganisme sementara. Cuci tangan
menggunakan sabun biasa dan air, sama efektifnya dengan cuci tangan
menggunakan sabun anti mikroba (Pereira, Lee dan Wade, 1990).
Selama prosedur pemasangan atau penusukan harus menggunakan teknik aseptic.
Area yang akan dilakukan penusukan harus dibersihkan dahulu untuk
meminimalkan mikroorganisme yang ada, bila kulit kelihatan kotor harus
dibersihkan dahulu dengan sabun dan air sebelum diberikan larutan antiseptic.
29
Lama pemasangan kateter infus sering dikaitkan dengan insidensi kejadian
plebitis. May, dkk (2005) melaporkan hasil, di mana mengganti tempat (rotasi)
kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas
plebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh
Webster disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari
72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and
Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi
potensi infeksi (Darmawan, 2008).
d. Post Infus Plebitis
Plebitis post infus juga sering dilaporkan kejadiannya sebagai akibat pemasangan
infus. Plebitis post infus adalah peradangan pada vena yang didapatkan 48-96
jam setelah pelepasan infus. Faktor yang berperan dengan kejadian plebitis post
infus, antara lain:
1) Teknik pemasangan kateter yang tidak baik.
2) Pada pasien dengan retardasi mental.
3) Kondisi vena yang tidak baik.
4) Pemberian cairan yang hipertonik atau terlalu asam.
5) Ukuran kateter terlalu besar pada vena yang kecil.
2.2.3 Diagnosa dan Pengenalan tanda Plebitis
Plebitis diklasifikasikan sesuai dengan faktor penyebabnya. Skala plebitis yang
direkomendasikan oleh Infusion Nursing Standard of Pactice (2006a), terdiri dari
30
5 dengan skala 0 sampai dengan 4, dimana skala 0 menunjukkan tidak terjadinya
plebitis dan skala 4 menunjukkan plebitis berat. Berikut adalah tabel yang
menunjukkan skala plebitis berdasarkan Infusion Nursing Standard of Practice:
Tabel 2.1 Skala Plebitis
Skala Kriteria Klinis
0 Tidak ditemukan gejala klinis
1 Eritema pada daerah insersi dengan atau tanpa nyeri
2 Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema dan/atau edema
3 Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema, pembentukan lapisan,
dan/atau pengerasan sepanjang vena.
4 Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema, pembentukan lapisan,
pengerasan sepanjang vena sepanjang > 1 inci, dan/atau keluaran purulen
Sumber: Infusion Nurse Society: Standard of Practice, (2006a) dalam Alexander, et.al (2010)
Skala plebitis berdasarkan skor visual telah dikembangkan oleh Andrew Jackson
(1998) dan RCN (2005) dalam Dougherty (2008) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Skor Visual Plebitis
SKOR KEADAAN AREA PENUSUKAN PENILAIAN
0 Tempat suntikan tampak sehat Tak ada tanda plebitis
1 Salah satu dari berikut jelas a. Nyeri area penusukan
b. Adanya eritema di area penusukan
Mungkin tanda dini plebitis
2 Dua dari berikut jelas; a. Nyeri area penusukan
b. Eritema
Stadium dini plebitis
c. Pembengkakan
3 Semua dari berikut jelas;
a. Nyeri sepanjang kanul
b. Eritema
c. Indurasi
4 Semua dari berikut jelas;
a. Nyeri sepanjang kanul
b. Eritema
c. Indurasi d. Venous chord teraba
5 Semua dari berikut jelas;
a. Nyeri sepanjang kanul
b. Eritema
c. Indurasi
d. Venous chord teraba
e. Demam
Stadium Moderat Plebitis
Stadium lanjut atau awal
thromboplebitis.
Stadium lanjut
thromboplebitis
31
Daugherty (2008) mengatakan bahwa untuk mendeteksi adanya plebitis, maka
semua pasien yang terpasang infus harus diobservasi terhadap tanda plebitis
sedikitnya 1x24 jam. Observasi juga dilakukan ketika memberikan obat intravena,
mengganti cairan infus dan terhadap perubahan kecepatan tetesan infus.
2.3 Kepatuhan
2.3.1 Definisi Kepatuhan
Patuh adalah sikap positif individu yang ditunjukkan dengan adanya perubahan
secara berarti sesuai dengan tujuan yang ditetapkan (Nurbaiti,2004). Kepatuhan
adalah istilah yang menggambarkan pelaksanaan suatu prosedur atau suatu
tindakan sesuai dengan petunjuk atau kesepakatan yang telah ditetapkan bersama
(Yayasan Spritia, 2006). Kepatuhan adalah ketaatan dalam pelaksanaan
pemasangan infus yang telah dibuat. Latenier dan Levine (2002, dalam Hastuti,
2011) mendefinisikan ketaatan merupakan suatu kekuatan yang selalu
berkembang di tubuh para pekerja yang membuat mereka dapat mematuhi
keputusan dan peraturan – peraturan yang telah ditetapkan.
Kepatuhan merupakan modal dasar bagi seseorang dalam berperilaku. Pada
awalnya individu mematuhi instruksi atau anjuran tanpa kerelaan untuk
melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari sangsi atau
hukuman jika dia tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan
apabila dia mematuhi anjuran tersebut. Tahap ini disebut tahap kepatuhan
(compliance). Biasanya perubahan yang terjadi pada tahap ini hanya bersifat
sementara, artinya bahwa tindakan itu akan dilakukan selama masih ada
32
pengawasan. Tetapi begitu pengawasan itu hilang atau mengendur, maka perilaku
itupun akan ditinggalkan.
Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang
pentingnya perilaku yang baru, dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda
jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan tokoh yang
menganjurkan perubahan tersebut (change agent). Perubahan perilaku individu
baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui proses
internalisasi dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri
individu itu sendiri (Hidayat, dkk, 2011).
2.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan
Menurut Lomba (dalam Hasan, 2002), ketaatan kerja dipengaruhi oleh faktor-
faktor yaitu:
a. Faktor individu misalnya kebutuhan tumbuh, kebutuhan sosial, latar belakang
kebudayaan, ketepatan tujuan.
b. Faktor Organisasi misalnya struktur organisasi, teknologi yang diterapkan
dalam organisasi.
c. Faktor kesehatan pekerjaan misalnya pekerjaan yang bervariasi, kejelasan
tugas, otonomi, adanya umpan balik.
Menurut Saputra yang dikutip dari Niven (2008) disebutkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat kepatuhan, yaitu :
33
a. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan klien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa
pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.
b. Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian klien yang
dapat mempengaruhi kepatuhan adalah jarak dan waktu.
c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial
Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman,
kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan
terhadap program pengobatan. Lingkungan yang harmonis dan positif akan
membawa dampak yang positif.
d. Perubahan model terapi
Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin sehingga klien
terlihat aktif dalam pembuatan program pengobatan (terapi).
e. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan klien
Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan klien adalah suatu hal
penting untuk memberikan umpan balik pada klien setelah memperoleh
34
infomasi tentang diagnosis. Suatu penjelasan penyebab penyakit dan
bagaimana pengobatan dapat meningkatkan kepatuhan.
f. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu obyek tertentu (Notoatmodjo, 2007).
Semakin tinggi tingkat pengetahuan, semakin baik pula tingkat kepatuhan
klien terhadap program pengobatan.
g. Usia
Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan
berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Semakin dewasa
seseorang, maka cara berfikir semakin matang.
h. Dukungan sosial keluarga
Dukungan sosial keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat
dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa tentram dan senang
apabila mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena dengan
dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi
atau mengelola penyakitnya dengan lebih baik serta penderita mau menuruti
saran-saran yang diberikan keluarga untuk menunjang pengelolaan
penyakitnya.
Ketaatan kerja dan perilaku individu dipengaruhi sedikitnya tiga variabel yaitu:
variabel individu, variabel psikologis dan variabel organisasi (Gibson dalam
Hasan, 2002).
35
a. Variabel individu yang terdiri atas kemampuan, ketaatan, serta latar belakang
demografis.
b. Variabel psikologis yang terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan
motivasi.
c. Variabel organisasi yang terdiri dari imbalan jasa, kondisi kerja, dan
kebijakan.
2.3.3 Kriteria Kepatuhan
Depkes RI (2004) dalam Murdani (2010) juga menyebutkan tentang kriteria
kepatuhan yaitu :
a. Patuh adalah suatu tindakan yang taat baik terhadap perintah ataupun aturan
dan semua aturan maupun perintah tersebut dilakukan dan semuanya benar, >
50%.
b. Tidak patuh adalah suatu tindakan mengabaikan atau tidak melaksanakan
perintah dan aturan sama sekali, < 50%.
Susanti (2008) menyebutkan bahwa kriteria kepatuhan dibagi menjadi dua yaitu :
a. Patuh adalah tingkat ketaatan dan kedisiplinan klien terhadap program
pengobatan yang diberikan.
b. Tidak patuh adalah ketidaktaatan dan ketidaksiplinan klien terhadap program
pengobatan yang diberikan.
36
2.3.4 Hubungan Kepatuhan Perawat Melaksanakan Prinsip Pemberian
Terapi Cairan Intravena dengan Kejadian Plebitis
Plebitis adalah inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik
(Smeltzer & Bare, 2002). Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya plebitis
seperti faktor kimia, mekanik, bakteri dan faktor yang berpengaruh setelah dilakukan
pemasangan infus. Menurut Hart (1999, dalam Hindey, 2004), mengatakan bahwa
untuk meminimalkan resiko infeksi, perawat harus menyadari bahwa pasien
adalah orang yang rentan terjadi infeksi dan faktor yang berhubungan dengan
infeksi, seperti usia yang ekstrim, adanya infeksi, penurunan daya tahan tubuh,
kehilangan integritas kulit, prosedur invasif multipel, terapi antibiotik dan nutrisi
yang kurang. Untuk mencegah terjadinya infeksi maka teknik pemasangan kanula
intravena, persiapan kulit, pengelolaan balutan atau dresing, pengelolaan set infus,
dan penggantian kanula intravena harus dilakukan sesuai standar (Alexander, et
al., 2010; Hindley, 2004; Gabriel, 2008).
Kepatuhan adalah istilah yang menggambarkan pelaksanaan suatu prosedur atau
suatu tindakan sesuai dengan petunjuk atau kesepakatan yang telah ditetapkan
bersama (Yayasan Spritia, 2006). Kepatuhan perawat dalam melaksanakan prinsip
asepsis pemasangan infus memberikan dampak yang besar terhadap angka
kejadian plebitis pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit. Penelitian yang
dilakukan oleh Nuryati Eti dengan judul hubungan kepatuhan perawat melakukan
cuci tangan dengan kejadian infeksi nosokomial di RS Awal Bros Tangerang.
Hasil penelitiannya menunjukkan ada hubungan antara kepatuhan cuci tangan
37
dengan infeksi nosokomial dengan variabel kepatuhan cuci tangan pada kategori
tidak patuh 40% dan kejadian infeksi sebesar 20%.
38