Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO)
Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO) merupakan upaya
meningkatkan kesadaran masyarakat dan sekaligus mencerdaskan masyarakat
dalam berperilaku sehat, khusunya terkait dengan obat. Secara nasional
gerakan ini merupakan yang pertama kali dilakukan oleh profesi apoteker di
Indonesia walaupun sebenarnya upaya meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang obat telah banyak dilakukan baik secara individu oleh apoteker maupun
institusi terkait. Dengan demikian gerakan ini merupakan akumulasi dinamika
profesi apoteker yang menyadari pentingnya melakukan gerakan secara
nasioanl untuk mempercepat tercapainya kondisi masyarakat yang sadar dan
selanjutnya menjadi cerdas serta mampu secara mandiri melakukan perilaku
sehat dan bertanggung jawab, khususnya terkait dengan obat (PP IAI, 2014).
Salah satu upaya yang dapat dialkuakan untuk meningkatkan kesadaan
masyarakat terhadap obat adalah dengan melakukan penyuluhan Gerakan
Keluarga Sadar Obat. Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO) adalah program
yang dicanangkan oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) yang merupakan
upaya bersama untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap obat
melalui sosialisasi DAGUSIBU (Dapatkan, Gunakan, Simpan, Buang) obat
yang benar. Sehingga masyarakat terhindar dari dampak buruk akibat
penggunaan obat yang tidak tepat (Satrio, Mulia, Qamariah, 2016).
Menurut Pedoman Pelaksanaan Gerakan Sadar Obat (2014) dalam
pelaksanaannya tentu kegiatan ini tidak lepas dari hal-hal yang bersifat
hambatan baik internal (kelemahan) maupun eksternal (ancaman) serta hal-hal
yang bersifat dukungan baik internal (kekuatan) maupun eksternal (peluang).
Secara garis besar perkiraan keadaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kelemahan
a. Kurangnya kesadaran apoteker untuk menjadi enaga profesi yang menjamin
keamanan, kemanfaatan, dan kualitas obat.
9
b. Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO) merupakan gerakan nasional baru yang
melihatkan dan menuntut komitmen tinggi seluruh tenaga kesehatan khususnya
apoteker, sehingga memerlukan proses sosialisasi.
c. Sedikitnya tenaga apoteker yang berada di pelosok desa.
2. Ancaman
a. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap obat sehingga komoditi kesehatan
yang juga dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan pengobatan.
b. Lemahnya dukungan infrastruktur kesehatan terhadap profesi apoteker sebagai
tenaga kesehatan yang bertanggung jawab terhadap keamanan, kemanfaatan
dan kualitas obat.
c. Banyaknya informasi tentang obat yang hanya mengutamakan aspek bisnis
sehingga meninggalkan fungsi edukasi bagi masyarakat.
d. Krisis ekonomi, sosial, politik dan budaya di Indonesia memperburuk/
memperlemah kondisi masyarakat sehingga mudah dipengaruhi oleh hal-hal
yang tidak rasional.
3. Kekuatan
a. Jumlah pendidikan tinggi farmasi dan lulusan apoteker sudah cukup banyak.
b. Sistem sertifikasi profesi dapat menjadi pendorong bagi apoteker untuk secara
aktif terlibat dalam gerakan Gerakan Keluarga Sadar Obat.
4. Peluang
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang berasaskan pada upaya prefentif
serta promotif berhubungan secara bermakna dan sejalan dengan Gerakan
Keluarga Sadar Obat.
Adapun tujuan dari Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO) yaitu:
tercapainya pemahan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya obat
sebagai komoditi kesehatan, tercapainya kemandirian masyarakat dalam
menilai dan memilih informasi yang beredar di masyarakat terkait obat,
tercapainya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap DAGU PIPI SIBU
(Dapatkan, Gunakan, Pilih-Pilih, Simpan dan Buang), serta tercapainya
kemandirian masyarakat dalam menjauhkan diri dari obat dan bahan
berbahaya, obat palsu dan sebagainya (PP IAI, 2014).
10
B. DAGUSIBU (Dapatkan,Gunakan,Simpan dan Buang)
DAGUSIBU (Dapatkan, Gunakan, Simpan dan Buang) adalah program
yang dibuat oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dalam rangka pelaksanaan
Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO). DAGUSIBU berupa kegiatan
pemberian pemahan dan keterampilan kepada masyarakat agar dapat
memperlakukan obat dengan baik, kegiatan ini sudah banyak dilakukan guna
mempercepat terwujudnya GKSO (PP IAI, 2014). Salah satu cara pengolahan
obat yang baik dan benar adalah DAGUSIBU, cara ini menjelaskan tatacara
pengolahan dari awal mereka mendapatkan hingga saat obat sudah tidak
dikonsumsi lagi dan akhirnya dibuang (Puspasari, Harida, Fitriyani, 2018).
Saat ini, akses masyarakat terhadap obat-obatan semakin mudah. Namun,
hal tersebut tidak disertai dengan pemahaman yang benar terhadap obat-obatan.
Akibatnya, hal tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah terkait obat
seperti penyalahgunaan sampai dengan pembuangan obat secara sembarangan.
Oleh karena itu, masyarakat perlu diberi pengetahuan dan keterampilan yang
benar tentang cara mendapatkan, menggunakan, menyimpan dan membuang
obat (DAGUSIBU) (Sinulingga, dkk, 2019).
Karena kenyataannya masih banyak yang belum mengetahui cara
mendapatkan, menggunakan, menyimpan dan membuang obat yang benar.
Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai Dagusibu (Depkes, 2008; BPOM,
2015).
1. Cara Mendapatkan Obat
Masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan dan obat dari
sarana resmi seperti: rumah sakit, puskesmas, pustu dan poskesdes atau
membeli obat sendiri di apotek atau toko obat berizin.
Pada waktu menerima obat dari petugas kesehatan di rumah sakit,
puskesmas, apotek, atau toko obat, diwajibkan melakukan pemeriksaan fisik
obat dan mutu obat yang meliputi :
a. Jenis dan jumlah obat
b. Kemasan obat
c. Kadaluarsa obat
d. Kesesuaian etiket meliputi nama, tanggal, dan aturan pakai.
11
Setiap obat yang beredar selalu memiliki informasi tentang obat yang
menyertainya pada kemasan obat dan brosur atau leaflet. Yang harus
diperhatikan pada saat membeli obat adalah memperhatikan isi dari penandaan
diantaranya:
a. Nama obat
Nama obat pada kemasan terdiri dari nama dagang dan nama zat aktif yang
terkandung didalamnya. Contoh: nama dagang (Panadol), nama zat aktif
(Parasetamol/ Acetaminophen)
b. Komposisi obat
Informasi tentang zat aktif yang terkandung didalam suatu obat, dapat
merupakan zat tunggal atau kombinasi dari berbagai macam zat aktif dan
bahan tambahan lain.
c. Indikasi
Informasi mengenai khasiat obat untuk suatu penyakit. Pastikan indikasi obat
yang tercantum dalam kemasan tidak luntur.
d. Aturan pakai
Informasi mengenai cara penggunaan obat yang meliputi waktu dan berapakali
obat tersebut digunakan.
e. Peringatan perhatian
Tanda peringatan yang harus diperhatikan pada setiap kemasan obat bebas dan
obat bebas terbatas.
f. Tanggal kadaluwarsa (Expiry Date)/ED
Tanggal yang menunjukkan berakhirnya masa kerja obat. Batas waktu jaminan
produsen terhadap kualitas produk.
g. Nama produsen
Nama Industri Farmasi yang memproduksi obat.
h. Nomor batch/lot
Nomor kode produksi yang dikeluarkan oleh Industri Farmasi.
i. Harga eceran tertinggi
Harga jual obat tertinggi yang diperbolehkan oleh pemerintah.
j. Nomor registrasi
Adalah tanda ijin edar absah yang diberikan oleh pemerintah.
12
Berikut ini hal yang harus diingat dalam pemilihan obat:
a. Alergi atau reaksi yang tidak diinginkan yang pernah dialami terhadap obat
tertentu.
b. Wanita dalam kondisi hamil atau merencanakan untuk hamil, karena beberapa
obat dapat mempengaruhi janin sehingga dapat menyebabkan cacat pada bayi.
c. Wanita yang sedang menyusui, sebab beberapa obat dapat masuk ke dalam air
susu ibu dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada bayi.
d. Diet yang sedang dilakukan misalnya minum obat diet, atau diet rendah garam,
atau diet rendah gula, mengingat selain mengandung bahan berkhasiat obat
juga mengandung bahan tambahan lain seperti pemanis.
e. Sedang minum obat lain.
2. Cara Menggunakan Obat
Obat pada dasarnya merupakan bahan yang hanya dengan dosis
tertentu, dan dengan penggunaan yang tepat, dapat dimanfaatkan untuk
mendiagnosa, mencegah penyakit, menyembuhkan atau memelihara kesehatan.
(Depkes, 2008).
Penggunaan obat berpedoman kepada penggunaan obat rasional yang
mengacu prinsip :
a. Ketepatan diagnosa.
b. Ketepatan indikasi penggunaan obat.
c. Ketepatan pemilihan obat.
d. Ketepatan dosis, cara dan lama pemberian.
e. Ketepatan pemberian informasi kepada pasien mengenai cara
f. penggunaan obat dan penyimpanannya.
g. Cara pemberian informasi obat kepada pasien/masyarakat harus mudah
h. dimengerti, singkat tetapi jelas.
Informasi yang harus diketahui oleh kader kesehatan untuk disampaikan
kepada pasien, adalah :
a. Cara minum obat sesuai anjuran yang tertera pada etiket atau brosur.
Penggunaan obat tanpa petunjuk langsung dari dokter hanya boleh untuk
penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas serta untuk masalah kesehatan
yang ringan.
13
b. Waktu minum obat , sesuai dengan waktu yang dianjurkan :
1) Pagi, berarti obat harus diminum antara pukul 07.00 - 08.00 WIB.
2) Siang, berarti obat harus diminum anara pukul 12.00 -13.00 WIB.
3) Sore, berarti obat harus diminum antara pukul 17.00-18.00 WIB.
4) Malam, berarti obat harus diminum antara pukul 22.00-23.00 WIB.
c. Aturan minum obat yang tercantum dalam etiket harus di patuhi.
Bila tertulis :
1) 1 (satu) kali sehari, berarti obat tersebut diminum waktu pagi hari atau malam
hari, tergantung dari khasiat obat tersebut.
2) 2 (dua) kali sehari, berarti obat tersebut harus diminum pagi dan malam hari.
3) 3 (tiga) kali sehari, berarti obat tersebut harus diminum pada pagi, siang dan
malam hari.
4) 4 (empat) kali sehari, berarti obat tersebut haus diminum pada pagi, siang,
sore dan malam hari.
5) Minum obat sampai habis, berarti obat harus diminum sampai habis, biasanya
obat antibiotika.
d. Penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas tidak dimaksudkan untuk
penggunaan secara terus – menerus.
e. Hentikan penggunaan obat apabila tidak memberikan manfaat atau
menimbulkan hal–hal yang tidak diinginkan, segera hubungi tenagakesehatan
terdekat.
f. Sebaiknya tidak mencampur berbagai jenis obat dalam satu wadah.
g. Sebaiknya tidak melepas etiket dari wadah obat karena pada etiket tersebut
tercantum cara penggunaan obat dan informasi lain yang penting.
h. Bacalah cara penggunaan obat sebelum minum obat, demikian juga periksalah
tanggal kadaluarsa.
i. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama.
j. Tanyakan kepada apoteker di apotek atau petugas kesehatan di poskesdes untuk
mendapatkan informasi penggunaan obat yang lebih lengkap.
Pada saat dilakukan pengobatan dengan menggunakan dosis yang normal,
sering timbul efek samping yang tidak diinginkan. Efek samping ini terjadi
setelah beberapa saat minum obat. Efek samping ini dapat terjadi pada saluan
14
pencernaan berupa rasa mual, diare, perut sembelit, dapat juga terjadi pada
kulit, berupa bercak merah, gatal, rasa panas pada kulit, selain itu juga dapat
menyebabkan wajah menjadi bengkak, sesak nafas dan sebagainya. (Depkes,
2008).
Efek samping obat adalah setiap respon obat yang merugikan akibat
penggunaan obat dengan dosis atau takaran normal. Beberapa hal yang perlu
diketahui tentang efek samping obat adalah sebagai berikut :
a. Biasanya efek samping obat terjadi setelah beberapa saat minum obat.
b. Perhatikan kondisi pasien, misalnya ibu hamil, ibu menyusui, lansia, anakanak,
penderita gagal ginjal, jantung dan sebagainya. Pada penderita tersebut harus
lebih berhati-hati dalam memberikan obat.
c. Informasi tentang kemungkinan terjadinya efek samping obat, biasanya terdapat
pada brosur kemasan obat, oleh karena itu bacalah dengan seksama kemasan
atau brosur obat, agar efek samping yang mungkin timbul sudah diketahui
sebelumnya, sehingga dapat dilakukan rencana penanggulangannya (Depkes,
2008).
Efek samping yang biasa terjadi :
a. Pada kulit, berupa rasa gatal, timbul bercak merah atau rasa panas.
b. Pada kepala, terasa pusing.
c. Pada saluran pencernaan, terasa mual, dan muntah, serta diare.
d. Pada saluran pernafasan, terjadi sesak nafas.
e. Pada jantung terasa dada berdetak kencang (berdebar-debar).
f. Urin berwarna merah sampai hitam.
Hal yang harus dilakukan apabila timbul efek samping obat :
a. Hentikan minum obat.
b. Mencari pertolongan ke sarana kesehatan, puskesmas/rumah sakit/dokter
terdekat.
3. Cara Menyimpan Obat
Dalam upaya pengobatan suatu penyakit, perlu diberikan beberapa jenis
obat yang saling berbeda baik bentuk sediaannya maupun kemasannya.
15
Apabila hal ini terjadi di suatu rumah tangga, maka perlu dipikirkan cara
menyimpan obat. Bila cara penyimpanan obat tidak memenuhi persyaratan cara
menyimpan obat yang benar, maka akan terjadi perubahan dari sifat obat
tersebut, sampai terjadi kerusakan obat (Depkes, 2008).
Cara penyimpanan obat di rumah tangga sebagai berikut:
Umum:
a. Jauhkan dari jangkauan anak-anak.
b. Simpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup rapat.
c. Simpan obat ditempat yang sejuk dan terhindar dari sinar matahari langsung
atau ikuti aturan yang tertera pada kemasan.
d. Jangan tinggalkan obat di dalam mobil dalam jangka waktu lama karena suhu
yang tidak stabil dalam mobil dapat merusak sediaan obat.
e. Jangan simpan obat yang telah kadaluarsa.
Khusus:
a. Tablet dan kapsul
Jangan menyimpan tablet atau kapsul ditempat panas dan atau lembab.
b. Sediaan obat cair
Obat dalam bentuk cair jangan disimpan dalam lemari pendingin (freezer) agar
tidak beku kecuali disebutkan pada etiket atau kemasan obat.
c. Sediaan obat vagina dan ovula
Sediaan obat untuk vagina dan anus (ovula dan suppositoria) disimpan di
lemari es karena dalam suhu kamar akan mencair.
d. Sediaan Aerosol/Spray
Sediaan obat jangan disimpan di tempat yang mempunyai suhu tinggi karena
dapat menyebabkan ledakan.
Cara Mengetahui Obat Rusak:
a. Tablet
Terjadi perubahan pada warna, bau dan rasa, timbul bintik–bintik noda,
lubang-lubang, pecah, retak, terdapat benda asing, menjadi bubuk dan lembab.
b. Tablet Salut
Terjadi perubahan salutan seperti pecah, basah, lengket satu dengan lainnya
dan terjadi perubahan warna.
16
c. Kapsul
Cangkang kapsul menjadi lembek, terbuka sehingga isinya keluar, melekat satu
sama lain, dapat juga melekat dengan kemasan.
d. Puyer
Terjadi perubahan warna, timbul bau, timbul noda bintik-bintik, lembab sampai
mencair.
e. Salep/Krim/Lotion/Cairan
Terjadi perubahan warna, bau, timbul endapan atau kekeruhan, mengental,
timbul gas, memisah menjadi 2 (dua) bagian, mengeras, sampai pada kemasan
atau wadah menjadi rusak rusak.
4. Cara Membuang Obat
Obat sisa yang tidak digunakan untuk pengobatan lagi, sebaiknya
disimpan di suatu tempat obat yang terpisah dari penyimpanan barang-barang
lain dan tidak mudah dijangkau oleh anak-anak. Tetapi apabila obat tersebut
sudahrusak, sebaiknya dibuang saja, agar tidak digunakan oleh orang lain yang
tidak mengetahui mengenai masalah obat (Depkes, 2008).
a. Cara pembuangan obat
Pembuangan obat dapat dilakukan apabila obat rusak akibat penyimpanan yang
lama atau kadaluwarsa. Obat yang rusak dibuang dengan cara :
1) Penimbunan di dalam tanah
Hancurkan obat dan timbun di dalam tanah.
2) Pembuangan ke saluran air
Untuk sediaan cair, encerkan sediaan dan buang kedalam saluran air.
b. Cara Pembuangan Kemasan Obat
1) Wadah berupa botol atau pot plastik
Terlebih dahulu lepaskan etiket obat, dan tutup botol, kemudian dibuang di
tempat sampah, hal ini untuk menghindari penyalah gunaan bekas wadah obat.
2) Boks/dus/Tube
Gunting dahulu baru dibuang.
17
C. Obat
1. Definisi Obat
Obat merupakan zat yang digunakan untuk pencegahan dan penyembuhan
penyakit serta pemulihan dan peningkatan kesehatan bagi penggunanya. Setiap
obat punya manfaat, namun juga mempunyai efek samping yang merugikan.
Oleh karena itu, gunakanlah obat sesuai dengan aturan pakai (BPOM, 2015).
Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 tentang
kesehatan obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.
2. Penggolongan Obat
Golongan obat adalah penggolongan yang dimaksud untuk peningkatan
keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri
dari obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropika dan narkotika.
(Anief, 2010).
Obat dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu: (BPOM, 2015; Depkes, 2008)
a. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa
resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah
lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: Parasetamol
Gambar 2.1 Penandaan Obat Bebas
b. Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras
tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai
dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas
terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: CTM
18
Gambar 2.2 Penandaan Obat Bebas Terbatas
Gambar 2.3 Peringatan Obat Bebas Terbatas
c. Obat Keras dan Psikotropika
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep
dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran
merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: Asam Mefenamat
Gambar 2.4 Penandaan Obat Keras
Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku. Contoh: Diazepam, Phenobarbital
c. Obat Narkotika
Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Contoh: Morfin, Petidin
19
Gambar 2.5 Penandaan Obat Narkotika
B. Kortikosteroid
1. Definisi Kortikosteroid
Obat kortikosteroid merupakan bentuk sintetis dari hormon steroid.
Bentuk struktur kimianya menyerupai hormon steroid alami yang secara
normal dihasilkan tubuh melalui bagian luar dari kelenjar anak ginjal ( kortex
kelenjar adrenal). Produksi puncak kortikosteroid alami berkisar antara pukul 7
hingga pukul 9 pagi. Fungsi kortikosteroid meliputi metabolisme makronutrien
(karbohidrat, protein, lemak), mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit
tubuh, mempengaruhi kerja sistem peredaran darah, sistem imun, sistem kerja
otot dan tulang, serta syaraf (Aprianto, 2016).
Menurut Aprianto (2016) Dalam hal terjadi gangguan penyakit,
dibutuhkan steroid dari luar untuk menambah ketersediaan steroid dalam
tubuh, karena itu dibuatlah bentuk sintetiknya. Kortikosteroid yang beredar
dipasaran meliputi deksametashon, metilprednisolon, prednison, hidrokortison,
betametason, mometason, triamsinolon, dan lain-lain. Perbedaan antara
kortikosteroid sintetik dan alami yaitu cara memproduksi yaitu secara ilmiah
oleh tubuh dan sintesis senyawa-senyawa kimia, sehingga efek obat dapat
ditingkatkan berkali-kali lipat dari alaminya.
Kondisi paling sering memerlukan obat kortikosteroid adalah kondisi
peradangan, semisal nyeri sendi, radang pada kulit (dermatitis), peradangan
asma, peradangan di telinga, peradangan di mata, peradangan saluran
pencernaan dan reaksi alergi. Kondisi kelainan sistem imun atau penyakit
autoimun, misalnya rhematoid arthtitis, sindrom nefrotik, dan lain lain
(Aprianto, 2016).
Obat ini dapat diperoleh hanya memalui resep dokter, sehingga sangat
penting untuk tidak membeli tanpa pengawasan dokter. Ketika kortikosteroid
akan digunakan untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal
20
yang masih efektif, kemudian secara bertahap ditingkatkan, dan diturunkan
secara bertahap pula. Sedangkan untuk terapi mengatasi keadaan kronis , dosis
awal harus besar, dan dapat ditingkatkan dua kali lipat bila efek belum terlihat.
Sedangkan untuk keadaan yang mengancam jiwa, dapat diberikan dosis yang
besar dan waktu yang singkat (Aprianto, 2016).
2. Mekanisme Kerja Kortikosteroid
Obat steroid merupakan antiinflamasi yang sangat kuat. Karena Obat-obat
ini menghambat enzim phospholipase A2 sehingga tidak terbentuk asam
arakidonat. Asam arakidonat tidak terbentuk hal tersebut menyebabkan tidak
terbentuknya Cycloxygenase (COX) dan Lipoxygenase. COX terdiri dari COX
1 dan COX 2 yang mana COX 1 menginduksi prostaglandin yang berperan
dalam melindungi mukosa lambung (mucosa protector) serta menginduksi
tromboksan yang berperan sebagai agen platelet (pembekuan darah).
Sedangkan, enzim COX 2 berfungsi menginduksi prostaglandin sebagai
mediator inflamasi. Dan begitu juga pada lipoxygenase tidak akan terbentuk
sehingga leukotrien yang menyebabkan vasokontriksi dan bronkokontriksi pun
tidak terbentuk (Sudewa dan Budiarta, 2017).
21
Sumber: Sudewa dan Budiarta, 2017
Gambar 2.6 Jalur pembentukan prostanoid dan tempat kerja obat-obatan
yang menghambat jalur ini.
3. Indikasi Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan luas untuk mengobati berbagai penyakit, seperti:
a. Penyakit-penyakit rheumatik
b. Penyakit ginjal (sindrom nefrotik, glomelurusnephritis membranous)
Glukokortikoid (Prednisone) pada sindrom nefrotik sangat efektif dan banyak
digunakan.
c. Penyakit-penyakit alergi
Kortikosteroid memiliki onset selama (6-12 jam) karena itu pada reaksi alergi
yang berat seperti reaksi anafilaksis yang terpenting adalah pemberian larutan
ephinephrine.
22
d. Asma Bronkial
Pada asma bronkial selain pemberian secara sistemik, pemberian diberikan
juga secara inhalasi terutama pemberian jangka lama.
e. Infeksi
Meskipun berlawanan dengan efek immunosupresi glukokortikoid masih
digunakan pada keadaan-keadaan tertentu dengan perlindungan antibiotika.
Seperti meningitis, AIDS, TBC Pericard dan TBC Peritoneum.
f. Penyakit-penyakit mata
Pemberian topikal dapat meningkatkan tekanan intraokular, oleh karena itu
perlu pengawasan tekanan intraokular pada pemakaian lokal lebih dari dua
minggu.
g. Penyakit kulit
pemberian kortikosteroid topikal harus tetap hati-hati karena dapat memberikan
efek yang tidak diinginkan. Pemberian dengan pemakaian yang lama dapat
menyebabkan atropi, dan sebagainya.
h. Penyakit gastrointestinal seperti kolitis ulseratif kronis
i. Penyakit hati seperti Hepatitis kronik
j. Pada kelainan-kelainan hematologi dan onkologi
Kortikosteroid dipakai pada kelainan hematologi seperti Trombositopenia
Purpura Idiopatik (ITP), anemia aplastik dan Autoimune Hemolytic Anemia
(AIHA).
k. Transplantasi Organ
Diberikan bersama dengan immunosupresif lain.
l. Udema Otak
dengan meperbaiki sawar darah otak dengan cara mencegah pemecahan asa
lemak tidak jenuh oleh radikal bebas dan menghambat aktivitas Phospolipase
A2, sehingga pembentukan prostaglandin bisa dicegah.
m. Penyakit lainnya seperti Sarcodiosis, sindroma Guillain Barre
Kondisi paling sering memerlukan obat kortikosteroid adalah kondisi
peradangan, semisal nyeri sendi, radang pada kulit (dermatitis), peradangan
asma, peradangan di telinga, peradangan di mata, peradangan saluran
pencernaan dan reaksi alergi. Kondisi kelainan sistem imun atau penyakit
23
autoimun, misalnya rhematoid arthtitis, sindrom nefrotik, dan lain lain. (Aziz,
2006)
4. Penggolongan Kortikosteroid
Golongan Kortikosteroid: (Tjay, Rahardja, 2007)
a. Golongan Kortison
1). Hidrokortison (HC, Kortisol, 17 alfa-kortikosteron, Solu-Cortef)
Hormon adrenal utama ini (1952) terutama berkhasiat terhadap
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak, serta relatif ringan terhadap
metabolisme mineral dan air. Hormon ini terutama digunakan pada terapin
substitus, misalnya penyakit Addison. Secara lokalbanyak dipakai dalam
salep/krim 1-2% (asetat) atau 0,1% (butirat), juga dalam tetes mata dan telinga
1% (asetat). Pada dosis biasa tidak menimbulkan efek samping.
Resorpsinya dari usus buruk, maka tidak digunakan peroral tetapi sebagai
injeksi (i.m. atau intra-artikuler).dalam darah terikat 95% pada globulin.
Plasma-t1/2-nya 1,5-2 jam, tetapi efek maksimalnya baru tercapai sesudah 6-8
jam. Ekskresinya berlangsung lewat kemih sebagai metabolit 17-keto yang
mudah larut. Dosis: i.m./i.v. semula 100-500 mg larutan Na-suksinat, bila perlu
diulang setiap 2-10jam, maksimal 8 g sehari. Rektal pada wasir: suppos/salep
1-2 dd 5mg, pada colitis: klisma 100 mg.
2). Kortison (F.I)
Kortison merupakan derivat-keto sintetis dari hidrokortiosn yang
resorpsinya dari usus lebih baik dan cepat. Sendirinya tidak aktif, tetapi dalam
hati diubah menjadi kortisol. Pemberian i.m k.l. 20% lebih efektif walaupun
penyerapan kedalam darah agak lambat (bahaya kumulasi). Tidak dapat
digunakan lokal atau intra-artikuler, karena dikulit dan sendi tidak terjadi
perubahan enzimatis menjadi kortisol. Penderita gangguan hati sebaiknya
jangan diberikan kortisol oral. Dosis: pada insufiensi oral 3 dd 25-50 mg
(asetat). Perbandingan efeknya: 25 mg kortisonasetat = 20 mg hidrokortison.
24
b. Golongan Prednison
1). Prednison (Hostacortin)
Derivat-keto ini (1954) baru aktif setelah diubah dalam hati menjadi
derivat-hidronya prednisolon. Khasiat dan penggunaannya sama, hanya tidak
digunakan secara lokal dan intra-artikuler karena tidak dihidrogenasi di kulit,
mukosa mata dan sendi. Tidak dianjurkan bagi pasien hati. Dosis: oral semula
1 dd 5-60 mg pagi hari, pemeliharaan 5 mg sehari.
2). Prednisoslon (delta-hidrokortison)
Delta-steroid sintetis ini (1955) dengan ikatan ganda pada C1-2 berdaya
k.l. 5x lebih kuat dari pada kortisol dengan efek mineralokortikoida yang lebih
ringan. Kerjanya juga lebih panjang (t1/2 = 3 jam ). Berhubung dengan sifat-
sifatnya, obat ini banyak digunakan untuk terapi sitematis, begitu pula dengan
prednison. Kadar puncaknya dalam darah baru tercapai sesudah 6-8 jam
(peroral). Sifat merangsangnya ringan, maka sering digunakan untuk injeksi
intra-artikuler dan tetes mata (0,25% - 5%), juga pada klisma pada colitis.
Dosis: oral semula 1 dd 5-60 mg pagi hari, berangsur-angsur dalam waktu
4 minggu diturunkan sampai 5 mg sehari atau 10 mg setiap 2 hari; i.m./ i.v. 25-
75 mg diNa-phospat atau Na-suksinat. Perbandingan efek: 5 mg prednisolon =
20 mg hidrokortison.
3). Metilprednisolon (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Urbason)
Berdaya k.l. 20% lebih kuat dari prednisolon (1956) dengan berbagai cara
penggunaan oral dan parenteral. Dosis: oral semula 2-60 mg/hari, pemeliharaan
4 mg sehari. Pada rema, MS, dan LE 1 g sehari selama 3-10 hari atau lebih
lama.
4). Budesonida (Pulmicort, Rhinocort, Symbicort)
Merupakan derivat (1980) yang khusus digunakan secara topikal sebagai
salep/krem. Juga sebagai spray inhalasi (bersama β2 mimetikum) pada asma.
Efek yang dihasilkan kuat dan cepat, bahaya efek sistemik ringan karena pesat
di inaktifkan oleh hati. Plasma-t1/2-nya k.l. 3 jam. Dosis: Tracheal 2-4 dd 1
puff dari 200 mcg, begitu pula pada intranasal rhinitis.
25
c. Golongan Derivat 3-Alfa-Fluor
Zat-zat ini sering mengakibatkan myopathy (otot menyusut dan nyeri)
pada penggunaan oral, terutama bila digunakan lama dengan dosis tinggi, juga
menekan adrenal agak kuat. Senyawa-senyawa ini praktis tidak memiliki efek
mineralokortikoida.
1). Triamsinolon ( Kenacort)
Banyak digunakan oral, intra-artikuler, i.m/i.v, rektal dan dermal (1956).
Secara dermal hanya aktif sebagai asetonidanya: salep/krem 0,05%- 0,1 %.
Perbandingan efeknya 4 mg triamnisolon = 20 mg hidrokortison. Halsinonida
(Halog, Halciderm) adalah triamnisolon tanpa ikatan ganda antara C1 dan C2
(Derivat Kortisol). Digunakan dalam krem 0,1%.
2). Deksametason (Oradexon, Fortecortin, Dexatopic)
Deksametason k.l 6x lebih kuat dari kortisol (1956). Zat ini menekan
adrenal relatif kuat, maka risiko insufisiensi juga agak besar. Dexametason
sering digunakan sebagai zat diagnostik untuk menetukan hiperfungsi adrenal
(tes-supresi deksametason). Secara topikal digunaan sebagai tetes mata/ tetes
telinga (fosfat 0,1%), juga dikombinasi dengan antibiotik. Perbandingan
efeknya: 0,65 mg deksametason = 20 mg hidrokortison.
Dosis: oral semua 0,5- 9 mg sehari sesudah makan pagi, pemeliharan 0,5-
1 mg sehari. Pada shock i.v. 100-300 mg larutan Na-fosfat. Desoksimetason
(Esperson, Topicorte, Denomix) adalah Deksametason tanpa gugus OH pada
C17 (1965). Efek lokalnya k.l. 2x juga dikombinasi dengan antibiotik.
3). Betametason (Celestone, Celestoderm)
Betametason merupakan stereoisomer dari dexametason (1961), dimana
gugus metil pada C16 berada dalam posisi beta. Daya antiradang pada
penggunaan lokal lebih ringan. Zat ini digunakan dalam tetes mata sebagai
diNa-fosfat 0,1 % dan dalam salep sebagai valerat 0,1 % atau dipropionat yang
2x lebih kuat: 0,05% (Diprosone). Dosis: 0ral 0,5-8 mg sehari sesudah makan
pagi.
4). Fluormetolon (Flumetolon, FML, liquidfilm)
Merupakan derivat 9-alfa-fluor (1959) khusus digunakan dalam tetes mata
dengan kadar 0,1 %.
26
d. Golongan Derivat 6-Alfa-Fluor
Senyawa-senyawa ini memiliki atom fluor pada C6 dalam posisi alfa.
1). Fluokortolon (Ultralan)
Rumusnya mirip dengan deksametason, hanya letak atom fluor tidak pada
C9 tetapi pada C6 dan tanpa gugus OH pada C17 (1976). Zat ini khusus
digunkaan dalam salpe sebagai kapronat atau trimetilasetat 0,5%. Flunisolida
(Syntaris) merupakan derivat fluokortolon (1978) yang khusus digunakan
sebagai spay hidung 0,025%.
e. Golongan Derivat Di-Fluor
Dengan dita,bahkannya atom fluor kedua, zat-zat ini diperkuat khasiat
antiradangnya dan pada penggunaan dermal.
1). Fluosinonida (fluosinolon-asetonida Synalar, Topsyne).
Memiliki rumus triamnisolon dengan atom fluor ekstra pada C6 dengan
khasiat 5x lebih kuat ( 1961). Khusus digunakan dalam salep/krem 0,025%.
2). flumetason (Locacorten)
Merupakan deksametason dengan atom fluor kedua pada C6 (1963). Efek
lokalnya juga pada k.l. 5 x lebih kuat. Digunakan khusus dalam salep/krem/
pasta 0,02% pivalat, juga dalam kombinasi dengan asam salisilat 3%. Begitun
pula dalam tetes telinga. Diflukortolon (Nerisona) adalah flukortolon dengan
atom flor kedua pada C9 dan efek lokal yang 5x lebih kuat. Digunanakan
dalam salep/krem 0,1%, juga terkombinasi dengan zat antiseptik klorkinaldol
1%.
3). Flutikason (Cultivate, flixotide)
Merupakan derivat tri-fluor dengan belerang pada C20 (-CO-S-CH2-F).
Digunakan sebagai krem 0,05% (propionat) dan Salep 0,0005%, juga sebagai
inhalasi (Flixotide) dan spray hisung dengan 50 mcg/dosis (Flixonase).
f. Golongan Derivat-Klor
1). Beklometason (Cleniderm, Becotide, Berconase)
Memiliki struktur betametason dimana atom –F pada C9 diganti dengan
atom –Cl. Ester dipropionatnya (C17 dan C21) berdaya k.l. 300 kali lebih kuat
dari kortisol. Plasma –t1/2- nya singkat sekali., hanya 9 menit, secara lokal k.l. 2
menit. Disamping sebagai krem 0,025%, terutama digunakan sebagai inhalasi
27
pada asma (bersama β2 mimetika). Dosis : inhalasi 3-4 dd 2 puff 50 mcg
(dipropionat)., intranasal pada rhinitis 2-4 dd 50 mcg disetiap lubang hidung.
Aklometason (Perderm, Alclosone) adalah isomer dengan atom klor pada
C6 sebagai ganti C8. Kerjanya agak kuat sampai kuat. Digunakan sebagai
salep/krem 0,5 mg/g (dipropionat) selama 3-5 hari, kemudian 1 x sehari dan
setelah terjadi perbaikan 2-3 x seminggu.
2). Mometason (Elocon)
merupakan derivat diklor (C9,C21), yang khusus digunkan sebagai salep
0,1%. Risiko akan alergi kontak pada obat ini kecil seperti pada Flutikason.
g. Golongan Derivat Klor-Fluor
Kombinasi dari dua atom halogen didalam molekul memperkuat kerja
antiradangnya, maka zat-zat ini terhitung glukokortikoida yang terkuat.
Penggunaanya dibagian kulit sensitive harus dengan sangat berhati-hati,
misalnya dimuka, ketiak, bagian paha dan alat kelamin.
1). Klobetasol (Dermovate)
Merupakan betametason dimana OH pada C21 diganti dengan klor.
Penetrasinya kedalam kult baik sekali, juga pda penyakit psoriasis. Klobteasol
berkhasiat antiradang, vasokontriksi dan antimitosis yang paling kuat dari
semua fluorkortikoida. Maka zat ini hanya dicadangkan untuk gangguan berat
yang kurang bereaksi seperti psoriasis, lupus discoid, dan hipertrofi parut.
Tersedia salep/krem dengan 0,05% propionat. Klobetason (Emovate) adalah
derivat 17-keto dari klobetasol dengan khasiat lebih ringan , penetrasinya juga
kedalam kulit juga kurang. Digunakan dalam salep/krem 0,05% butirat.
2). Flukorolon (Topilar-N)
Merupakan derivat difluorklor yang khasiat lokalnya kuat dan digunakan
sebagai krem 0,025% (asetonida). Halometason (Sicorten) merupakan derivat
difluorklor pula, yang khasiat lokalnya mendekati klobetasol, daya kerjanyapun
panjang. Berdaya antimitotis kuat dengan efek atrofia ringan. Digunakan
sebagai salep/krem 0,05%.
28
Tabel 2.1 Daya Relatif atas dasar berat dari kortikoida alamiah dan sintetis
(Sumber : obat-obat penting, 2007; 727)
Daya
Mineralokortikoida
Daya
Glukokortikoida Mara paruh (t 1/2)
Hidrokortison 1 1 1,5-2 j
Kortison 0,8 0,8 0,5-2 j
Prednison/olon 0,7 4 2,5-3
6-alfa-metil-
prednison 0,5 5 3,5
Triamsinolon 0 5 >5
Deksametason 0 >30 3-4,5
Betametason 0 >35 -
Aldosteron 3000 0,3 -
Kortikosteron 15 0,35 -
Desoksikortison 40 0 -
Fludrokortison 800 10 0,5
4. Efek Samping Kortikosteroid
a. Peningkatatan gula darah: disebabkan rneningkatnya pembentukan glukosa
(gula) dan protein. Pembentukan yang berlebihan menyebabkankan kadar gula
dalam darah tinggi. Hal ini sangat bereiiko bila dikonsumsi oleh pasien
diabetes, pasien dengan berat badan berlebih, dan wanita hamil yang memiliki
riwayat keluarga diabetes.
Kenaikan gula darah tersebut bersifat sementara dan dapat sembuh ketika
dosis obat korkosteroid diturunkan atau dihentikan. Selain itu perlu pengaturan
karbohidrat.
b. Peningkatan berat badan: penggunaan steroid meningkatkan nafsu makan dan
penumpukan lemak tubuh ditempat tertentu, semisal wajah (moon face›, leher
bagian belakang (buffalo hump), dan perut. Diminimalkan dengan diet rendah
lemak dan makan kecil (buah-buahan. sayur, produk makanan dan minuman
rendah lemak, gula) diantara makan besar.
29
c. Peningkatan resiko hipertensi: steroid menyebabkan peningkatan retensi garam
(natrium). Dimana peningkatan natrium sebanding dengan peningkatan
volume darah. volume darah yang meningkat menyebabkan hipertensi.
Dimodifikasi dengan mengurangi dan menghindari konsumsi garam dapur dan
minuman bersoda.
d. Osteoporosis: setiap hari sel-sel tulang yang lama akan mati dan digantikan
dengan sel tulang yang baru. Pembentukan tulang sendiri dikarakteristik oleh
protein.
Kortikosteroid mempercepat kematian sel tulang dan menurunkan sintesis
protein yang berdampak kepada penurunan kepadatan tulang. Mencegah
osteoporosis makan makanan kaya kalsium (1500 rng/hari). Produk makan
kaya kalsium seperti susu rendah lemak. lobak. brokoli, suplemen kalsium.
atau konsumsi vitamin D (800 mg/hari).
Gangguan pencernaan: dosis tinggi kortikosteroid menyebabkan iritasi
pada saluran pencernaan bagian atas. Pada kasus ringan dapat dimodifikasi
dengan mengkonsumsi bersama makan atau sesaat setelah makan, atau dapat
mempertimbangkan konsumsi ranitidin.
f. Gangguan sistem kekebalan tubuh: kortıkosteroid dapat berdampak
menurunkan sistem kekebalan tubuh. Bila tubuh da1am kondis ini, maka akan
rentan terinfeksi virus, bakteri, dan jamur. Pada kondisi ini hindari lingkungan
yang tidak bersih.
g. Gejala putus obat: umum dikaitkan dari penggunaan obat ini, terutama pada
pasien yang memperoleh dosis besar dan penggunaan dalam jangka waktu
lama seperti pasien yang menderita Lupus, Rhematoid Artritis, Sindrom
Nefrotik, dan lain-lain. Ketika tubuh memperoleh kortikosteroid sintetis maka
tubuh akan mengkompensasi menurunkan produksi kortikosteroid alami.
Penghentian obat tiba-tiba menyebabkan ketersediaan hormon steroid
tubuh berkurang dan timbul efek-efek yang tak diingınkan. Meskipun obat
kortikosteroid memiliki efek saınping yang serius, bukan berarti kita tidak
boleh sama sekaIi menggunakan obat ini.
Tentunya harus dipertimbangkan kerugian dan keuntungan (risk and
benefid) dari obat tersebut. Keuntungan akan lebih besar terutama untuk
30
kondisi penyakit kronis, contohnya Lupus, Rhematoid Artritis, Sindrom
Nefrotik, dan Iain-lain, karena mengkonsumsi obat kortikosteroid dapat
menurunkan gejala penyakit dan meningkatkan kualitas hidup.
Namun perlu diupayakan untuh meminimalkan efek samping dengan jalan
menggunakan sesuai dengan resep dan anjuran dokter, dan selama konsumsi
dalam pemantauan dokter, untuk menghindari efek samping sistemik, bisa
digunakan steroid yang beraksi lokal, sepeni bentuk inhalasi (dihirup), atau
disemprot (misal: semprot hidung)
Hindari konsumsi obat steroid tanpa indikasi yang kuat, dosis berlebih
atau lebih lama dari yang diresepkan dokter. Hindari pula penghetian obat
secara mendadak. karena konsumsi steroid dalam waktu lama dapat
menyebabkan penekanan produksı steroid endogen oleh tubuh. Sehingga ketika
obat dihentikan tiba-tiba, tubuh belum siap memproduksi steroid lagi dan dapat
mengalami gejala gejala kekurangan steroid. (Aprianto, 2016)
5. Perhatian
Pada beberapa paisen selama penghentian steroid oral mungkin mengalami
gelaja penghentian terapi aktif dengan steroid sistemik (Seperti: sakit sendi
atau otot, lelah, depresi) tanpa mempengaruhi fungsi efek pada dosis
pemeliharaan atau perawatan.
Kortikosteroid merupakan obat yang termasuk kedalam obat golongan
tapering off yaitu penurunan dosis obat-obat tertentu ketika obat hendak
dihentikan penggunaannya. Tujuannya adalah agar tubuh tidak menyadari
secara langsung bila dosis obat tersebut telah dikurangi dan akhirnya
dihentikan.
Pada kortikosteroid, obat ini menstimulasi produksi kortisol yang
merupakan hormon antiradang yang diproduksi kelenjar adrenal. Produksi
kortisol ini dikontrol dengan mekanisme “timbal balik” yang rumit antara
kelenjar adrenal, kelenjar pituitari, dan otak yang disebut juga HPAA (aksis
hipotalamus-pituitasi-kelenjaradrenal). Penggunaan kortikosteroid dalam dosis
besar atau kecil dalam jangka waktu yang lama akan menurunkan fungsi
HPAA ini, oleh karen itu penggunaan obat ini tidak dapat dihentikan secara
mendadak (Aziz, 2006).
31
C. Kerangka Teori
Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan, maka penulis menggambarkan
dalam bentuk kerangka teori sebagai berikut:
(Sumber: Depkes, 2008; PP IAI, 2014; BPOM, 2015)
Gambar 2.7 Kerangka Teori
Obat
Bebas
Obat Bebas
Terbatas
Karakteristik Sosio-Demografi
a. Jenis Kelamin
b. Usia
c. Tingkat Pendidikan d. Status Pekerjaan
e. Status Pernikahan
DAGUSIBU
Gerakan Keluarga
Sadar Obat
(GKSO)
Dapatkan Gunakan Buang Simpan
Kortikosteroid
Psikotropika
Narkotika
Obat
Obat
Keras
Darimana seharusnya
obat kortikosteroid
didapatkan
Bagaimana seharusnya
obat kortikosteroid
digunakan
Bagaimana seharusnya
obat kortikosteroid
disimpan
Bagaimana seharusnya
obat kortikosteroid
dibuang
a. Rumah Sakit
b. Puskesmas
c. Apotek
d. Klinik
a. Indikasi
b. Aturan Pakai
c. Lama penggunaan
d. ESO saat
Penggunaan
a. Cara Penyimpanan
b. Tempat Penyimpanan
Cara Pembuangan
32
D. Kerangka Konsep
Gambar 2.8 Kerangka Konsep
Gambaran Dagusibu
Kortikosteroid pada Masyarakat di
Desa Ogan Lima Kecamatan
Abung Barat Lampung Utara pada
Tahun 2020
a. Darimana seharusnya obat
kortikosteroid didapatkan
b. Bagaimana seharusnya obat
kortikosteroid digunakan
c. Bagaimana seharusnya obat
kortikosteroid disimpan
d. Bagaimana seharusnya obat
kortikosteroid dibuang
Karakteristik Sosio-Demografi
a. Jenis Kelamin b.Usia
c. Tingkat Pendidikan
d.Status Pekerjaan
e. Status Pernikahan
33
E. Definisi Operasional
Tabel 2.2 Definisi Operasional
No Variabel Penelitian Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Skala Ukur
1
Karakteristik Responden
A. Jenis Kelamin
Pengelompokkan
berdasarkan gender
responden, yaitu
perempuan atau laki-laki
Wawancara
Kuesioner
1. Laki-Laki
2. Perempuan
Nominal
B.Usia
Lamanya waktu hidup
responden yang dihitung
dari tanggal lahir sampai
sekarang yang
dikelompokkan
berdasarkan WHO tahun
2009
Wawancara
Kuesioner
1. 0-11 Tahun
2. 12- 25Tahun
3. 26-45 T ahun
4. 46-65 Tahun
5. >65 Tahun
Ordinal
C. Pendidikan
Tingkat pendidikan yang
telah ditempuh,
berdasarkan ijazah
terakhir yang dimiliki
Wawancara
Kuesioner
1. SD
2. SMP
3. SMA
4. Perguruan
Tinggi
5. lainnya
Ordinal
D. Pekerjaan
Jenis pekerjaan sehari-
hari yang dilakukan oleh
responden
Wawancara
Kuesioner
1. IRT (Ibu Rumah Tangga)
2. Swasta
3. PNS
4. Petani
5. Lainnya
Nominal
E. Status Pernikahan
Status Pernikahan
Responden
Wawancara
Kuesioner
1. Menikah
2. Belum Menikah
Nominal
2 Obat Kortikosteroid
yang digunakan
Jenis obat yang
digunakan oleh
responden yang memiliki
khasiat terapi.
Wawancara Kuesioner 1. Deksametashon
2.Metylprednisolon
3. Prednison
4. Hydrokortison
5. Lainnya
Nominal
34
3
Ketepatan dalam
mendapatkan
Kortikosteroid
Ketepatan dalam
mendapatkan
Kortikosteroid dilihat
berdasarkan sumber dan
cara mendapatkan
kortikosteroid
Wawancara
Kuesioner
1. Tepat
2. Tidak Tepat
Ordinal
Sumber seharusnya
kortikosteroid
didapatkan
Sumber seharusnya obat
kortikosteroid
didapatkan. Tepat jika
responden mendapatkan
kortikosteroid dari
fasilitas kesehatan yang
resmi seperti: Rumah
sakit, puskesmas, klinik
maupun apotek.
Wawancara Kuesioner 1. Rumah Sakit
2. Puskesmas
3. Klinik
4. Apotek
5. Lainnya
Ordinal
Cara Mendapatkan
Obat Kortikosteroid
yang benar
Cara mendapatkan obat
yang benar adalah
dengan menggunakan
resep dokter karena
kortikosteroid termasuk
dalam golongan obat
keras yang harus
menggunakan resep.
Wawancara Kuesioner 1. Resep
2. Tanpa Resep
Ordinal
4
Bagaimana
Kortikosteroid
digunakan
Bagaimana seharusnya
penggunaan
kortikosteroid yang
benar berdasarkan
indikasi penggunaan,
aturan pakai, lama
penggunaan, serta efek
samping obat yang
dialami
Wawancara
Kuesioner
1. Tepat
2. Tidak Tepat
Ordinal
Indikasi
Kortikosteroid
Responden menggunkaan
obat kortikosteroid sesuai
indikasi pada literatur
obat-obat penting dan
medscape seperti:
peradangan, alergi, dll
Wawancara
Kuesioner
1. Tepat
2. Tidak tepat
Ordinal
35
Aturan pakai
aturan pakai yaitu waktu
penggunaan obat
kortikosteroid. Tepat
berarti responden
mengkonsumsi obat
sesudah makan karena
obat dapat mengiritasi
lambung.
Wawancara
Kuesioner
1. Tepat
2. Tidak tepat
Ordinal
Lama Penggunaan Lama penggunaan obat
dilihat dari berapa hari
responden
mengkonsumsi
kortikosteroid. Tepat jika
penggunaan 1-7 hari
untuk penyakit yang
umumnya menggunakan
kortikosteroid.
Wawancara Kuesioner 1. Tepat
2. Tidak tepat
Ordinal
Efek Samping Obat
efek samping yang
ditimbulkan pada dosis
yang digunakan selain
efek farmakologi.
Wawancara
Kuesioner
1. Mengalami
2. Tidak
Mengalami
Nominal
5
Ketepatan Cara
Penyimpanan
Penyimpanan obat
kortikosteroid yang
dilakukan responden,
baik dari cara maupun
tempat menyimpan obat
kortikosteroid
Wawancara
Kuesioner
1. Tepat
2. Tidak tepat
Ordinal
Cara responden
menyimpan obat
Cara penyimpanan obat
kortikosteroid yang
benar, tepat berarti
responden melakukan
penyimpanan seperti
syarat penyimpanan pada
Departemen Kesehatan
tahun 2008 seperti jauh
dari jangkauan anak-
anak, terhindar dari sinar
matahari secara
wawancara Kuesioner 1. Tepat
2. Tidak tepat
Ordinal
36
langsung, dan sebagainya
Tempat
penyimpanan
Melihat gambaran
penyimpanan yang ada
pada masyarakat,
contohnya seperti:
penyimpanan pada kotak
obat, lemari tertutup, dan
sebagainya
Wawancara Kuesioner 1. Kotak Obat
2. Lemari tertutup
3. Kulkas
4. Tas
5. Lainnya
Ordinal
6
Ketepatan Cara
Pembuangan
Cara responden
membuang obat
kortikosteroid yang
benar, tepat berarti
responden membuang
obat memenuhi syarat
seperti pada literatur
Departemen Kesehatan
tahun 2008, seperti:
dilarutkan, dikubur, atau
dibakar.
Wawancara
Kuesioner
1. Tepat
2. Tidak tepat
Ordinal