22
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana 1. Pengertian KUHP yang saat ini berlaku di Indonesia bersumber dari hukum kolonial Belanda (wetboek van Strafrecht) yang dalam praktiknya sudah tidak sesuai dengan kondisi keadaan masyarakat Indonesia sekarang. Pasca kemerdekaan, baik pada masa demokrasi terpimpin maupun orde baru, KUHP warisan Belanda ini masih tetap berlaku termasuk pula hatzaai artikelen (pasal-pasal penyebar kebencian) terhadap pemimpin politik, pejabat atau golongan etnis. 1 Penjelasan diatas menunjukkan bahwa kondisi perubahan hukum yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kemudiam secara tegas dijelaskan dalam konsideran Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang menyatakan bahwa materi hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Selanjutnya tujuan penyusunan hukum pidana dinyatakan sebagai perwujudan upaya pembaharuan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang 1 Barda Nawari Arief, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2009, hal.28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembaharuan Hukum Pidana

1. Pengertian

KUHP yang saat ini berlaku di Indonesia bersumber dari hukum

kolonial Belanda (wetboek van Strafrecht) yang dalam praktiknya sudah

tidak sesuai dengan kondisi keadaan masyarakat Indonesia sekarang.

Pasca kemerdekaan, baik pada masa demokrasi terpimpin maupun orde

baru, KUHP warisan Belanda ini masih tetap berlaku termasuk pula

hatzaai artikelen (pasal-pasal penyebar kebencian) terhadap pemimpin

politik, pejabat atau golongan etnis.1

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa kondisi perubahan hukum

yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari nilai-nilai yang

ada dalam masyarakat kemudiam secara tegas dijelaskan dalam

konsideran Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU

KUHP) yang menyatakan bahwa materi hukum pidana nasional harus

disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan

kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Selanjutnya tujuan

penyusunan hukum pidana dinyatakan sebagai perwujudan upaya

pembaharuan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang

1 Barda Nawari Arief, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum

Pidana Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2009, hal.28

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

18

berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta untuk

menghormati dan menjungjung tinggi hak asasi manusia.

Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana (penal

reform) di Indonesia sejalan dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976

tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. isi

dari kongres tersebut menyebutkan bahwa hukum pidana yang selama ini

diberbagai negara berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada

umumnya telah asing dan tidak adil (obsolete and unjustice) serta tidak

sesuai dengan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded adn

unreal) karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada

diskrepansi dengan aspirasi masyarajat serta tidak responsif terhadap

kebutuhan sosial masa kini.2

Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna,

suatu upaya untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali sesuai

dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural

masyarakat indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal

dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.3

Untuk selanjutnya para ahli memberikan pengertian tentang

pembaharuan hukum yaitu :

2 Barda Nawawi Arief, Ibid. hal.29.

3 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, PT. Kencana

Prenada Media Group, Jakarta. Hal 30.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

19

a. Sudarto

Politik hukum adalah kebijaksanaan dari Negara dengan perantaraan

badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-

peraturan yang dikehendak, yang diperkirakan bsa digunakan untuk

mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk

mencapai apa yang di cita-citakan. Politik hukum pidana berarti

usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana

yang sesuai dengan keadaan dan situasi waktu dan masa-masa yang

akan datang (ius constituendum)

b. Padmo wahjono menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan

dasar menentukan arah,bentuk, maupun isi hukum yang akan

dibentuk.4

c. Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa “legal policy atau garis

(kebijakan) remi tentang hukum yang akan di berlakukan baik

dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum

lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. “Dengan demikian,

politik hukum merupakan pilihan tentang hukum- hukum yang akan

diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan

dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan

untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum didalam

pembukaan UUD 1945.5

4 Padmo Wahjono, Indonesia Beradasarkan Asas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1986), Cet

II, hlm. 160.

5 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Grafindo Persada,2014), Cet 6,

hlm 1.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

20

d. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana harus

dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada

hakikatnya ia hanya merupakan langkah kebijakan “policy” (yaitu

bagian dari politik hukum /penegakan hukum, politik hukum pidana,

politik kriminal, dan politik sosial). Didalam setiap kebijakan

(policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena

itu,pembaharuan hukum pidaana harus pula berorientasi

padapendekatan nilai.

Bahwa dapat disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana

sebagai berikut yaitu :

1. Dilihat dari sudut pendekatan-pendekatan :

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi

masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam

rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan

masyarakat dan sebagainya)

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan

masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum , pembaharuan

hikum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya

memperharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka

mengefektifkan penegak hukum

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

21

2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai :

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya

melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan

reevaluasi) nilai-nilai sosiopolitik,sosiofilosofis, dan sosiokultural yang

melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan susbtantif

hukum pidana yang di cita-citakan. (misalnya , KUHP baru sama saja

dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP

lama atau Wvs).6

Pembaharuan hukum pidana merupakan salah satu amanat yang penting

dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Didalam nya terdapat

agenda ntuk melakukan penataan kembali institusi hukum dalam ruang

lingkup sistem peradilan pidana, pembaharuan terhadap perangkat peraturan

perundang-undangan, dan pembaharuan terhadap sikap, cara berpikir dan

berbagai perilaku masyarakat. Dengan kata lain agenda pembaharuan hukum

pidana tercakup pengertian pembaharuan kelembagaan hukum pidana (legal

structure reform), pembaharuan substansi hukum pidana (legal substance

reform) dan pembaharuan budaya hukum (legal culture reform).

Dalam pelaksanaan pembaharuan terhadap hukum pidana merupakan hal

yang tidak mudah, karena terdapat berbagai permasalahan hukum pidana

yang dihadapi oleh Indonesia. Oleh karena itu, pendekatan untuk usaha

6 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan

Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta, 2010, hal 28-29.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

22

melakukan pembaharuan hukum pidana harus terpadu dan intergral sekaligus

rasional.7

2. Politik Hukum Pidana

Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “Policy”

(Inggris) atau “politiek” (Belanda), beranjak dari istilah bahasa asing

tersebut yang artinya adalah kebijakan hukum pidana atau biasa disebut juga

dengan politik hukum pidana, dalam berbagai kepustakaan asing istilah

politi hukum pidana dikenal dengan berbagai antara lain “Penal Policy”,

“criminal law policy, “straftrechtpolitiek”.

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari

politik hukum maupun kriminal. Menurut Prof. Sudarto Politik Hukum

ialah:

a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaaan dan situasi pada suatu saat.8

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan

busa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.9

Selanjutnya pengertian politik hukum pidana menurut Marc Ancel yang

menjelaskan bahwa politik hukum pidana merupakan suatu ilmu sekaligus seni

7 Barda Nawawi Arief, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNDIP-Beberapa Aspek

Pengembangan Ilmu Hukum Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 2007, hal 2.

8 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung,Alumni,1981, hal 159.

9 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, 1983, hal.20

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

23

yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan

secara lebih baik.

Menurut A. Mulder, Strafrechtpolitiek ialah garis kebijakan untuk

menentukan :10

a. Seberapa jauh ketentuan yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana

c. Cara bagaimana penyidikan,penuntutan,peradilan dan pelaksanaan

pidana.

Dalam melaksanakan politik hukum pidana dengan salah satunya membuat

kebijakan formulasi dimana tahap paling strategis dari keseluruhan proses

operasional/fungsionalisasi dan konkretisasi hukum pidana. Kebijakan

formulasi yang diberikan dalam suatu rancangan undang-undang

merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana.

Melaksakan politik hukum pidana berarti mengusahakan mewujudkan

peraturan perundangan-perundangan pidana yang sesuai dengan keadaan

dan situasi pada suatu waktu dan masa-masa yang akan datang sekaligus

melakukan pembaharuan terhadap hukum pidana. Pembaharuan hukum

pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena pada

hakikatnya pembaharuan itu hanya merupakan bagian dari suatu langkah

kebijakan

10 Barda Nawawi Arief , 2010, hal 26-27

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

24

3. Kriminalisasi dan Dekriminalisasi

Kriminalisasi merupakan suatu objek studi hukum pidana materiil yang

membahas suatu perbuatan dapat dikatan sebagai tindak pidana dengan

diancam dengan pidana atau sanksi tertentu. Perbuatan tercela yang

sebelumnya tidak dikualifikasi sebagai bentuk perbuatan terlarang

dijustifikasi sebagai tindak pidana dan diancam dengan sanksi pidana.

menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau

penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh

nasyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan

yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu

perbuatan menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh

pemerintah.11

Kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai bentuk penetapan terhadap

suatu perbuatan seseorang yang semula tidak diatur sebagai tindak pidana

menjadi perbuatan pidana, sehingga proses ini diakhiri dengan terbentuknya

undang-undang baru untuk mengancam perbuatan orang tersebut dengan

saksi pidana.12

Dekriminalisasi adalah proses dimana dihilangkan sama sekali sifat

dapat dipidananya suatu perbuatan yang semua diancam pidana. proses ini

berakhir dengan dicoretnya ketentun yang bersangkutan dari perundang-

undangan atau dapat disimpulkan Dekriminalisasi merupakan bentuk yang

11 Soekanto Soerjono, Kriminologi : Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1981, Hal. 62.

12 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung. 1986. Hal 31

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

25

dianggap sebelumnya dikualifikasi sebagai tindak pidana sehingga menjadi

tidak termasuk dalam bentuk tindak pidana.

Berhubungan dengan masalah kriminalisasi, Muladi mengingatkan

mengenai beberapa ukuran secara doktrinal harus diperhatikan sebagai

pedoman, yaitu sebagai berikut :

1. Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan overkriminalisasi

yang masuk kategori the misuse of crimnal sanction

2. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc

3. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban victimizing baik

aktual maupun potensial

4. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan

prinsip ultimum remedium

5. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang enforceable

6. Kriminalisasi harus mampu memperoleh dukungan publik

7. Kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitet mengakibatkan

bahaya bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali

8. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap

peraturan pidana membatasi kebabsan rakyat dan memberikan

kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang

kebebasan itu.13

13 Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang,

1995, hal 256.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

26

Menurut Sudarto, khusus mengenai kriteria kriminalisasi dan

dekriminaisasi, Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional

1980 perlu diperhatikan kriteria umum :

1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena

merugikan,mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban

2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan

dicapai artinya cost pembuatan undang-undang,pengawasan dan

penegakan hukum serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku dan

pelaku kejahatan sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum

yang akan dicapai

3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang

tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan

yang dimilikinya

4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau mengahalangi cita-

cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan rakyat.

Menurut Djoko Prakoso, yang perlu mendapat perhatian adalah masalah

kriminalisasi. Bentuk perbuatan bagaimana yang patut dikriminalisasikan perlu

melihat beberapat kriteria penting, yaitu14:

1. Ditetapkan terlebih dahulu bahwa perbuatan itu tidak dikehendaki atau

lebih tepat bertentangan dengan norma atau nilai yang hidup di

masyarakat. Ukuran untuk ini antara lain adalah perbuatan merugikan

atau mendatangkan korban.

14 Ibid.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

27

2. Harus diperhatikan cost benefit principle, artinya usaha untuk

mengkriminalisasikan suatu perbuatan harus seimbang dengan hasilnya

3. Kriminalisasi menambah beban aparat penegak hukum, lebih-lebih alat

penyidikan.

B. Tindak Pidana Penghinaan

1. Pengertian

Secara harafiah, penghinaan berasal dari Bahasa Belanda

“Belediging” atau dalam Bahasa Inggris “Offence” yang secara historis

memiliki makna sebagai tindakan sengaja merusak martabat seseorang

termasuk nama baik, kehormatan dan sebagainya.15 KUHP tidak mengatur

secara tegas apa yang dimaksud dengan penghinaan, namun secara normatif

tindak pidana penghinaan dimaknai sebagai tindak pidana yang menyerang

hak seseorang berupa merusak nama baik atau kehormatan seseorang.16

Untuk melengkapi pemahaman mengenai apa yang dimaksud tindak pidana

penghinaan, dapat dilihat pendapat beberapa sarjana hukum sebagai berikut:

a. R. Soesilo R. Soesilo secara spesifik menyatakan bahwa tindak pidana

menghina ditujukan pada kehormatan dan nama baik saja, sedangkan

penghinaan kehormatan dalam konteks seksual tidak tercakup ke

dalamnya. “Menghina” adalah menyerang kehomatan dan nama baik

seseorang. Yang diserang itu biasanya merasa malu. Kehormatan yang

15 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris,

Jakarta: PT. Aneka Ilmu, 1997, hal 128

16 Leden Marpaung, Tindak Pidana terhadap Kehormatan: Pengertian dan Penerapannya,

Jakarta: PT, Grafindo Persada, 2007, hal 9.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

28

diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”,

bukan kehormatan dalam lapangan seksuil, kehormatan yang dapat

dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam

lingkungan nafsu birahi kelamin. Perbuatan yang menyinggung

kehormatan dalam lapangan seksuil ini tidak termasuk dalam kejahatan

“penghinaan” akan tetapu masuk kejahatan “kesopanan”, atau

kejahatan “kesusilaan” yang tersebut dalam Pasal 281 sampai dengan

pasal 302 KUHP.” 17

b. Wirjono Prodjodikoro Pemaknaan terhadap tindak pidana penghinaan

menurut Wirjono Prodjodikoro harus dikembalikan kepada ketentuan

pidana mengenai penghinaan, yaitu pasal 310 KUHP yang mengatur

bahwa penghinaan adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama

baik seseorang. “Tindak pidana menista (smaad) menurut pasal 310

KUHP dirumuskan sebagai “dengan sengaja menyerang kehormatan

atau nama baik orang dengan jalan menuduh ia melakukan suatu

perbuatan tertentu (bepaald feit) dengan tujuan yang nyata (kennelijk

doel) untuk menyiarkan tuduhan itu kepada khalayak ramai

(ruchtbaarhedi geven). Kini disebut suatu perbuatan berupa “dengan

sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang”, sedangkan

kata-kata selanjutnya dapat dianggap merupakan pengkhususan sifat

dari tindak pidana penistaan (smaad).18

17 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar Lengkap Pasal demi

Pasal, Bogor: Politeia, 1996, hal 117.

18 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT. Refika,

2002), hal 96.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

29

c. Moch. Anwar menegaskan pada distingsi antara tindakan penghinaan

dengan tindakan menista. Untuk dapat memahami pengertian dari

tindak pidana penghinaan, Moch. Anwar melakukan interpretasi otentik

atas pasal 310 KUHP sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa

penghinaan adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik

seseorang. “Pengertian penghinaan tidak ditafsirkan, hingga harus

dihubungkan dengan pasal 310. Dalam pasal 310, perbuatan yang

dilarang dalam penistaan adalah dengan sengaja melanggar kehormatan

atau nama baik orang. Dengan demikian, penghinaan harus ditafsirkan

sebagai perbuatan dengan sengaja yang melanggar kehormatan atau

nama baik. Perbedaan antara penistaan dan penghinaan terletak dalam

cara melakukannya, yaitu penistaan dimaksudkan dengan menuduh

orang lain dengan suatu perbuatan tertentu, sedangkan penghinaan

biasa dilakukan dengan kata-kata atau perbuatan, asal tidak dengan

tuduhan melakukan suatu perbuatan tertentu.” 19

2. Tindak Pidana Umum

Tindak pidana penghinaan ini adalah tindak pidana penghinaan yang

ditujukan kepada orang biasa, sebagaimana diatur dalam Bab XVI KUHP

dalam pasal 310-321 tentang Penghinaan. Tindak pidana ini terdiri dari

19 H. A. K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus: KUHP Bagian II, Jilid I, Bandung,

PT. Citra Aditya Bakti, 1994, hal 52.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

30

penghinaan lisan, penghinaan dengan tulisan, fitah, laporan atau aduan palsu,

sangkaan palsu, dan penghinaan tergadap orang mati. 20

Delik-delik dalam kelompok ini merupakan delik penghinaan

terhadap pribadi-pribadi orang atau bersifat individu sehingga jelas siapa

subjek sasaran dan jelas siapa yang berhak mengadukan kejahatan yang

dialaminya. Individualias ini nampak dari ukuran terserang atau tidaknya

kehormatan seseorang yang digantungkan pada perasaan orang yang

bersangkutan. Bisa saja dengan hinaan yang sama, seseorang akan merasa

biasa saja sedangkan orang lain akan merasa tersinggung. Ukuran subjektif

ini menyebabkan penghinaan tidak bisa digeneralisasi antara orang yang

satu dengan yang lain. Sebagai konsekuensi logis, diberikan hak bagi

korban atau ahli waris korban untuk mengadukan kejahatan yang terjadi.

Hal tersebut yang kemudian menjadikan kejahatan dalam Bab XVI KUHP

tentang penghinaan merupakan delik aduan. Pengaduan di sini harus

dibedakan dengan laporan. Laporan adalah pemberitahuan semata yang

dapat dilakukan oleh siapa saja sedangkan pengaduan adalah syarat yang

mutlak bagi penuntutan atas kerugian yang dialami seseorang, yang hanya

bisa dilaporkan oleh orang-orang dengan kualifikasi tertentu.21

20 Justitia Avila Veda, Penerapan Pasal 134 KUHP Tentang Penghinaan Terhadap Presiden

dan Wakil Presiden di Indonesia (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tahun 1998-2013), Skripsi 2015,

Hal 31.

21 Ibid.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

31

3. Tindak Pidana Khusus

Kelompok penghinaan khusus terdiri dari kejahatan penghinaan

yang tersebar di luar Bab XVI KUHP tentang Penghinaan. Pasal-pasal

tersebut mengatur penghinaan dengan variasi objek dan cara-cara

melakukan kejahatan yang berbeda. Masing-masing pasal pun memiliki ciri

khas, berbeda dengan kelompok penghinaan umum yang memiliki satu ciri

sama. Meskipun begitu, ada satu kesamaan di antara seluruh kejahatan

penghinaan yang ada, yaitu hakikat objek penghinaan yang berupa harga

diri atas kehormatan atau nama baik seseorang. Jenis-jenis objek

penghinaan dalam kelompok penghinaan khusus tidak hanya sebatas pada

orang sebagai korban. Pemegang-pemegang jabatan tertentu seperti

Presiden dan/atau wakil Presiden turut menjadi objek penghinaan dalam

kelompok khusus ini. Selain itu, benda mati seperti bendera negara dan

lambang negara juga diakui sebagai sasaran penghinaan oleh hukum pidana

Indonesia.22

Tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden Tindak

pidana penghinaan Presiden adalah tindak pidana dengan sengaja

menyerang kehormatan atau nama baik Presiden dan Wakil

Presiden.Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 134 KUHP sebagai pasal

umum, Pasal 136 bis KUHP mengatur apabila penghinaan dilakukan tanpa

kehadiran korbannya, dan Pasal 137 KUHP ayat (1) mengatur tentang

penghinaan secara tertulis serta ayat (2) mengatur tentang penghinaan yang

22 Ibid. Hal 43

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

32

dilakukan selama masa pencaharian. Secara umum, tindak pidana

penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini mencakup juga tindakan smaad

(menista lisan), smaadschrift (menista dengan tulisan), laster (fitnah),

eenvoudige beledigin (penghinaan biasa), dan lastrlijke aanklacht

(pengaduan atau laporan palsu).23

C. Presiden Sebagai Kepala Negara

Perubahan UUD 1945 yang cukup signifikan dan mendasar bagi

penyelenggaraan demokrasi yaitu pemilihan presiden yang dilaksanakan

secara langsung. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat melalui

pemilihan umum atau disingkat dengan pemilu. Pemilihan secara langsung

presiden dan wakil presiden akan memperkuat ligitimasi seorang presiden

sehingga presiden diharapkan tidak mudah untuk diberhentikan di tengah jalan

tanpa dasar memadai, yang mempengaruhi stabilitas politik dan

pemerintahaaan secara aktual.24

Presiden dalam melaksanakan tugas dan wewenang nya dibantu oleh

seorang wakil presiden. Presiden merupakan lembaga negara yang memegang

kekuasaan dibidang eksekutif. Seiring dengan perubahan UUD 1945, saat ini

kewenangan presiden diteguhkan hanya sebatas pada bidang kekuasaan

23Lihat Soesilo , KUHP, Politea,,Bogor, hal. 121. Lihat juga pendapat NoyonLangemeijer dalam

Lamintang (1987), Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan terhadap Kepentingan Umum

Negara, Sinar Baru, Bandung, hlm. 268. Lihat juga pendapat Prof. Mardjono dalam Putusan MK

No. 013-022/PUU-IV/2006.

24 Hidayat Nur Wahid, Lembaga Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, artikel Legalitas, 2006, diambil dari http://www.legalitas.org/?q=node/75,

akses 11 Januari 2019.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

33

dibidang pelaksanaan pemerintahan negara. Namun demikian, dalam UUD

1945 juga diatur mengenai ketentuan bahwa presiden juga menjalankan fungsi

yang berkaitan dengan bidang legislatif maupun yudikatif.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar, Presiden mempunyai tugas

dan jabatan sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan

Indonesia. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar pulalah, yang

menyebutkan bahwa seorang Presiden haruslah warga negara Indonesia yang

sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain.

Perubahan ketentuan mengenai persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden

dimasudkan untuk mengaomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan

tuntutan zaman serta agar sesuai dengan perkembangan masyarakat yang

makin demokratis, egaliter dan berdsarkan rule of law yang salah satu cirinya

adalah pengakuan kesederajatan didepan hukum bagi setiap warga negara.25

Hal ini juga konsisten dengan paham kebangsaan Indonesia yang berdasarkan

kebersamaan dengan tidak membedakan warga negara atas dasar

keturunan,ras, dan agama. Kecuali itu, dalam perubahan ini juga terkandung

kemauan politik untuk lebih memantapkan ikatan kebangsaan Indonesia.

Selanjutnya, sebagai perwujudan negara hukum dan checks and balances

system, dalam UUD diatur mengenai ketentuan tentang periode masa jabatan

Presiden dan Wakil Presiden serta adanya ketentuan tentang tata cara

pemberhentian Presiden dan wakil Presiden serta adanya ketentuan tentang

cara pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.

25 Ibid.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

34

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa jabatan presiden dapat dikontrol

lembaga negara lainnya, dengan demikian akan terhindar dari kesewenang-

wenangan dalam penyeleggaraan tugas kenegaraan.26

Berkaitan dalam melaksanakan prinsip checks and balances system serta

hubungan kewenangan antara Presiden dengan lembaga negara lainnya, antaea

lain mengenai pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi yang semula

menjadi hak prerogratif Presiden sebagai kepala negara, saat ini dalam

menggunakan kewenangannya tersebut haru dengan memperhatikan

pertimbangan negara lain yang memegang kekuasaan sesuai dengan

wewenangnya sebagaimana yang telah di jelaskan dalam konstitusi27

D. Wakil Presiden

Wakil presiden dan menteri sama-sama bertindak untuk membantu presiden

dalam menjalankan penyelenggara negara, namun wakil presiden adalah orang

pertama kali menggangtikan presiden apabila presiden berhalangan hadir dalam

melaksanakan tugas atau sesuatu dalam lingkup pemerintahan sehingga

kedudukan nya lebih tinggi bila dibandingkan dengan para menteri, selain itu,

kedudukan seorang wakil presiden juga tidak dapat dipisahkan dengan presiden

sebagai satu kesatuan pasangan jabatan karena dipilih secara langsung melalui

pemilihan umum (PEMILU). Selanjutnya seorang wakil presiden memiliki tugas

nya yaitu mendampingi Presiden menjalankan tugas-tugas kenegaraan di negara

lain, membantu presiden menjalankan tugas sehari-hari, menjalankan tugas

26 Harjono, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Artikel,

Legalitas,2007,http://www.legalitas.org, akses 11 Januari 2019. 27 Op.Cit, Hidayat Nur Wahid

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

35

presiden apabila berhalangan untuk hadir, memperhatikan secara khusus,

menampung segala masalah-masalah dan mengusahakan pemecahan yang perlu,

menyangkut bidang tugas kesejahteraan rakyat dan melakukan pengawasan

pembangunan operasional dengan bantuan-bantuan departemen-departemen.28

E. Kebebasan Berpendapat

Manusia terlahir ke dunia oleh Tuhan dikaruniai sesuatu yang orang lain

tidak dapat mengusiknya, yaitu yang lebih dikenal dengan Hak Asasi Manusia

(HAM). Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

disebutkan bahwa: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat

pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa

dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan

dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan

serta perlindungan harkat dan martabat manusia” Kebebasan berpendapat

merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang fundamental. Selain

memperoleh pengakuan secara internasional melalui Deklarasi Universal HAM

(DUHAM) Tahun 1948 atau Universal Declaration of Human Right, juga secara

nasional Indonesia sangat tegas mencantumkan penghargaan kebebasan

berpendapat dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). 29

Dalam Pasal 19 Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945)

menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat atau

28 Guru PPKN , Tugas , Fungsi dan Wewenang Presiden dan Wakil Presiden, dalam

http://guruppkn.com , akses 12 Januari 2019.

29 Arniansi Utami Akbar, Skripsi, Implikasi Hukum Kebebasan Berpendapat di Jejaring Sosial

dalam Wujudnya Delik Penghinaan, Makassar , Universitas Hasanudin, 2013, hal 20.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

36

mengeluarkan pendapat. Hak itu meliputi kebebasan mempertahankan pendapat

dengan tanpa gangguan, serta mencari, menerima, dan meneruskan segala

informasi dan gagasan, melalui media apapun dan tanpa memandang batas”.

Kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat adalah prinsip universal

dalam negara demokratis. Negara atau pemerintah menciptakan kondisi yang

baik dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Kebebasan untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat adalah prinsip

universal di dalam negera demokratis. Dalam perkembangannya, prinsip ini

mengilhami perkembangan demokrasi di negara-negara yang berkembang,

bahwa pentingnya menciptakan kondisi baik secara langsung maupun melalui

kebijakan politik pemerintah atau negara yang menjamin hak publik atas

kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat sebagai salah satu baromoter

penegakan demokrasi dalam masyarakat suatu bangsa. Kebebasan berpendapat

merupakan hak dasar setiap manusia. 30

Kebebasan ini merupakan wujud penyampaian ekspresi baik secara lisan

maupun tulisan melalui media apa saja tanpa kekangan dari pihak manapun.

Seiring perkembangan teknologi, kebebasan berpendapat melalui media tidak

hanya mencakup media cetak dan media penyiaran saja, tapi juga melalui media

online. Kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat sebagai salah satu

bagian dari demokrasi di era reformasi ini bukan tanpa batas, tetapi dibatasi juga

oleh hak asasi orang lain serta oleh undang-undang. Hal ini dimaksudkan

semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

30 Ibid

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

37

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam

suatu masyarakat demokratis. Kebebebasan dasar untuk berekspresi dan

mengeluarkan pendapat tidak dapat didefinisikan atau ditafsirkan oleh seseorang

yang dapat menghilangkan atau mengaburkan makna dari semangat

pelaksanaannya. Artinya, kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat

yang mengandung unsur-unsur kekerasan adalah pelanggaran terhadap prinsip

itu sendiri. Misalnya, kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat

melalui aksi membakar rumah, gedung pusat pembelanjaan, penjarahan,

mengancam dengan senjata tajam dan lainnya. Dari aspek hak asasi, tindakan-

tindakan seperti tersebut tergolong tindakan yang melanggar hak atas kebebasan

dari orang lain, karena, disamping menganggu ketertiban umum juga membatasi

hak atas keamanan orang lain dalam masyarakat. Sementara dari aspek hukum,

merupakan tindak pidana yang dapat dituntut pertanggungjawabannya lewat

pengadilan. Media semakin berkembang luas dan internet hadir sebagai ajang

untuk menyampaikan pendapat, maka pemerintah berusaha ikut campur untuk

mengaturnya. Di satu sisi, pemerintah berdalih bahwa pemerintah harus

melindungi kepentingan publik yang cukup heterogen dari terpaan negatif

media, namun di sisi lain pemerintah juga mengekang kebebasan berpendapat

yang dimiliki publik. Internet, telah menjadi salah satu media alternatif bagi

publik untuk mengutarakan pendapatnya secara bebas. Kebebasan berpendapat

sendiri di Indonesia memang memiliki aturan yang terbatas. Selama ini koridor

mengenai kebebasan berpendapat hanya diatur melalui Undang-undang Nomor

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembaharuan Hukum Pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/BAB II.pdfMenurut Prof. Sudarto Politik Hukum ialah: a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan

38

40 Tahun 1999 tentang Pers, yang notabene lebih banyak mengatur mengenai

pers cetak. Undang-undang ini belum akomodatif untuk media penyiaran dan

media massa lainnya. Dapat dikatakan bahwa media online belum mempunyai

aturan mengenai kebebasan pers. Selain itu di berbagai instrumen seperti

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dijelaskan bahwa

kebebasan berpendapat merupakan ruh dari kebebasan pers. Bebas untuk

mencari, mengola dan menulis serta menyampaikan berita melalui media cetak

atau elektronik serta media online (internet) sekalipun. Kebebasan

mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan merupakan hak semua

orang. Setiap individu yang hidup dalam suatu negara hukum, mempunyai

kebebasan yang sama dalam berpendapat. Namun ketika diterapkan dalam setiap

media, kebebasan berpendapat ini akan mempunyai implikasi yang berbeda,

tergantung sifat medianya. Namun, bukan berarti hal ini akan menjadi alasan

untuk mengekang kebebasan berpendapat dalam masyarakat.31

31 Ibid, hal 21.