166
1 BAB I PENDAHULUAN Penelitian yang berjudul PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT: Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah, menjadi sangat menarik dan penting untuk dilakukan. Akhir-akhir ini, istilah hukum adat, masyarakat hukum adat, hukum lokal (local law) 1 dan kearifan lokal (local wisdom) 2 telah kerap kali muncul. Ketiga istilah tersebut secara konseptual sungguh berbeda, tetapi para penulis dalam berbagai kajian hukum, khususnya hukum adat dan pendekatan sosio- legal tampak menjadi campur aduk. Dalam beberapa literatur asing, seperti di Amerika, Australia, Kanada dan Inggris penggunaan istilah hukum lokal merupakan peraturan daerah yang disyahkan oleh pemerintahan negara-negara bagian bersifat umum. Secara tegas di Negara-negara tersebut memisahkan hukum lokal dari hukum kebiasaan (customary law) dan hukum kanonik (canonic law). Ciri utama hukum lokal adalah peraturan daerah yang disyahkan oleh lembaga legislatif dan pemerintah daerah sebagai akibat adanya aspirasi dari berbagai suku dan nilai-nilai budaya dan keagamaan tertentu. 3 Kekeliruan penggunaan istilah hukum adat dengan hukum lokal dijumpai dalam beberapa tulisan ilmiah. Naskah desertasi tentang Sumber Daya Air, dan kearifan lokal. Dalam desertasi itu, dikemukakan bahwa hukum adat adalah hukum lokal, sementara kearifan lokal adalah bagian dari hukum adat. Padahal sudah amat jelas, 1 Konsep Hukum Lokal semula dipergunakan oleh para ahli antropologi hukum yang memaparkan tentang realita politik lokal berusaha mengakomodir kehendak sebagian masyarakat untuk membuat Perda-perda yang berjiwakan hukum adat melalui mekanisme lembaga legislatif di berbagai daerah. Noubert Roland, 1994, Legal Anthropology, London, The Athlone Press, Hlm : 313-315 2 Lihat Sulistriyono, dalam karyanya “Sumber Daya Air: Tinjauan Terhadap Regulasi Pengaturan Sumber Daya Air “, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, UGM 2011. 3 Lihat beberapa contoh hukum lokal di berbagai Negara dengan sistem hukum common law.

PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

1

BAB I

PENDAHULUAN

Penelitian yang berjudul PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT: Studi

Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah, menjadi sangat menarik

dan penting untuk dilakukan. Akhir-akhir ini, istilah hukum adat, masyarakat hukum

adat, hukum lokal (local law)1 dan kearifan lokal (local wisdom)

2 telah kerap kali

muncul. Ketiga istilah tersebut secara konseptual sungguh berbeda, tetapi para

penulis dalam berbagai kajian hukum, khususnya hukum adat dan pendekatan sosio-

legal tampak menjadi campur aduk. Dalam beberapa literatur asing, seperti di

Amerika, Australia, Kanada dan Inggris penggunaan istilah hukum lokal merupakan

peraturan daerah yang disyahkan oleh pemerintahan negara-negara bagian bersifat

umum. Secara tegas di Negara-negara tersebut memisahkan hukum lokal dari hukum

kebiasaan (customary law) dan hukum kanonik (canonic law). Ciri utama hukum

lokal adalah peraturan daerah yang disyahkan oleh lembaga legislatif dan pemerintah

daerah sebagai akibat adanya aspirasi dari berbagai suku dan nilai-nilai budaya dan

keagamaan tertentu.3

Kekeliruan penggunaan istilah hukum adat dengan hukum lokal dijumpai dalam

beberapa tulisan ilmiah. Naskah desertasi tentang Sumber Daya Air, dan kearifan

lokal. Dalam desertasi itu, dikemukakan bahwa hukum adat adalah hukum lokal,

sementara kearifan lokal adalah bagian dari hukum adat. Padahal sudah amat jelas,

1 Konsep Hukum Lokal semula dipergunakan oleh para ahli antropologi hukum yang memaparkan tentang realita politik lokal

berusaha mengakomodir kehendak sebagian masyarakat untuk membuat Perda-perda yang berjiwakan hukum adat

melalui mekanisme lembaga legislatif di berbagai daerah. Noubert Roland, 1994, Legal Anthropology, London, The

Athlone Press, Hlm : 313-315 2 Lihat Sulistriyono, dalam karyanya “Sumber Daya Air: Tinjauan Terhadap Regulasi Pengaturan Sumber Daya Air “,

Kabupaten Sleman, Yogyakarta, UGM 2011. 3 Lihat beberapa contoh hukum lokal di berbagai Negara dengan sistem hukum common law.

Page 2: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

2

bahwa hukum lokal adalah peraturan-peraturan daerah yang proses dan mekanisme

pembuatannya menggunakan institusi lembaga legislatif daerah, (DPRD bersama

Kepala Daerah, Gubernur untuk tingkat provinsi, Bupati dan Wali Kota untuk tingkat

kabupaten). Penggunaan istilah yang rancu ini perlu dihindari dengan harapan

pemahaman penelitian berguna dalam menjelaskan suatu pengetahuan komprehensif,

baik terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan adat secara khusus maupun

perkembangan ilmu hukum pada umumnya. Realitas sosial menujukan bukti bahwa

perda-perda berbasis hukum adat telah tumbuh dan berkembang tidak dapat dicegah

meskipun pro-kontra di kalangan akademisi masih berlangsung.

Para pengajar hukum adat belum sepakat untuk menindakan lanjuti gagasan

tentang pentingnya pembentukan peraturan perundang-undangan yang melindungi

keberadaan hukum adat dan keberadaan masyarakat hukum adat secara tertulis

bersifat unifikatif. Mereka tidak setuju berdasarkan pada argumentasi bahwa

formalisasi hukum adat, dapat menghilangkan jati diri hukum adat itu sendiri.4

Hukum adat terdiri dari kaidah-kaidah, dan pedoman yang menuntun anggota

masyarakat untuk berpikir, bertingkah laku antara sesamanya dengan mengedepankan

pola interaksi sosial harmonis. Jika kemudian, masyarakat hukum adat di berbagai

daerah berkewajiban untuk mematuhinya peraturan hukum adat yang tertulis dan

unifikatif, ada kekhawatiran bahwa fungsi hukum adat ke depan menjadi lebih sempit

dan tidak fleksibel.

Pandangan pertama terdapat berbagai kelamahan, usulan memformalisasikan

hukum adat ke dalam suatu peraturan hukum tertulis terus berlangsung suatu

perdebatan. Meskipun proses formalisasi hukum adat dipandang telah bertentangan

4 Lihat beberapa pandangan para pengajar hukum adat, dalam suatu seminar Nasional “Urgensi Peraturan Perundang-Undangan

Hukum Adat”. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2007.

Page 3: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

3

dengan keempat asas dalam hukum adat, seperti magis religious, kongkrit, kontan

dan fleksibel (mulur mungkret)5. Penggunaan istilah formalisasi atau positivisasi

sebagai wujud mengakomodir nilai-nilai dan kaidah-kadiah yang berlaku dalam

masyarakat ke dalam suatu sistem peraturan hukum moderen menuntut terpenuhi

syarat-syarat juridis formal. Praktek pembentukan Perda-perda Adat, selama ini tidak

jauh berbeda dengan pembuatan perda-perda lainnya. Usul inisiatif diajukan oleh

Pemerintah daerah atau Dewan Perwakilan Daerah (Provinsi atau Kabupaten/Kota),

dan diproses dengan mekanisme dan proedur beradasarkan UU No 12/2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan adanya unifikasi terhadap

hukum adat, maka kecenderungan hukum adat yang berbhineka tersebut akan

mengalami pergeseran atau bahkan hilang dari kehidupan masyarakat.

Mereka percaya jika kedudukan hukum adat harus dipahami sebagai nilai-nilai

luhur dan norma-norma yang seharusnya menjiwai peraturan-peraturan tertulis

tersebut. Sebagaimana halnya UU No 5 Tahun 1960, tentang Pokok-Pokok Hukum

Agraria yang hingga kini tetap aktual dan berlaku. Karena itu, tidak mengherankan

jika banyak pihak yang menolak usulan perubahan atas UUPA tersebut. Padahal,

bukan tanpa argumen yang memadai ketika DPD RI mencoba mengusulkan

perubahan muatan materi UUPA tersebut. Upaya untuk menciptakan masyarakat

yang agraris sebagai tujuan UUPA tersebut tidak terwujud. Banyaknya petani yang

semakin kehilangan tanah garapannya karena berpindah kepada petani berdasi, dan

hilangnya status tanah-tanah adat, seperti tanah ulayat di Minangkabau dan tanah

tembawang di Kalimantan Barat adalah persoalan kelemahan internal UUPA

menyandarkan pembentukan pada hukum adat.

5 Beberapa pandangan tentang-tentang asas-asas dalam hukum adat yang dijadikan ciri utama yang membedakan dari sistem

hukum lainnya. Lihat pandangan Djojodiguno, Iman Sudiyat, Moh Koesnoe dan Hilman, Pengantar Hukum Adat,

Bandung.

Page 4: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

4

Salah satu sebab terpinggirkannya hukum adat dan masyarakat hukum, di zaman

pemerintahan Orde Baru adalah disebabkan karena sistem pemerintahan pusat yang

sentralistik. Keberadaan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,

dipandang oleh banyak pihak sebagai instrumen hukum yang menimbulkan

ketidakpuasan masyarakat. Disatu pihak, UU tersebut berupaya membuat

penyeragaman pemerintahan desa. Dipihak lain, justru UU tersebut telah

menimbulkan pemusnahan atas lembaga-lembaga adat. Karena itu, tidak

mengherankan jika Pemerintah Orde Baru telah memperlakukan masyarakat hukum

adat di berbagai daerah secara tidak adil6.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, judul penelitian ini bukan saja

menarik untuk diteliti dalam pendekatan antropologi hukum (alasan subyektif),

melainkan secara obyektif diperlukan dalam upaya menjelaskan kedudukan perda-

perda hukum adat dalam sistem hukum nasional, utamanya sejak terjadinya

reformasi politik dan hukum tahun 1998.

Alasan obyektif, bahwa penelitian terkait dengan perda-perda berbasis hukum

adat perlu dilakukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut. Pertama, secara

nasional kebutuhan untuk merumuskan hukum adat ke dalam bentuk formalisasi

hukum telah merupakan fakta sosial dan hukum yang tidak dapat dihindari. Asosiasi

Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI terus

memperjuangkan lahirnya RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Tidak

mungkin membiarkan hukum adat termarjinalkan, sebagai akibat dominasi sistem

pemerintahan yang sentralistik dan sistem hukum nasional yang abai terhadap

6 Konsep Keadilan tidak saja dimaksudkan sebagai putusan kebijakan dari badan-badan negara tingkat pusat ke Pemerintah

Daerah yang berkesesuian dengan hak-haknya, serta kewajibannya sesuai peraturan hukum. Dalam implementasinya,

keadilan menuntut prasyarat kesetaraan, kebenaran, keseimbangan dan kepuasan, baik secara individual, sosial atau

komunal dan bahwa juga kepuasan secara spiritual.

Page 5: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

5

keberadaan hukum adat. Secara teoritis, kajian hukum adat cenderung mulai bergeser

dari sifatnya hukum adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law),

ke arah hukum positif yang sifatnya tertulis. Di beberapa tempat, tahun 1994, tercatat

bahwa Marbo Law, keputusan Mahkamah Agung di New South Wales Australia

memutuskan untuk mengakui kedudukan tanah-tanah adat masyarakat Aborigin.7

Fakta tersebut telah mendapatkan perhatian khusus di berbagai Universitas terkenal di

Eropa seperti Oxford University dan Manchester University, Amerika Serikat,

Harvard University, dan Monash University di Melbourne, Australia. Formalisasi

tersebut lebih menegaskan adanya kepastian hukum oleh karena dukungan dari

Konvensi Hukum Internasional, terkait dengan hak-hak masyarakat pribumi

(indigenous people rights) 1996 yang mewajibkan semua Negara untuk memberikan

perlindungan dan perlakukan yang seksama dan berkeadilan8.

Kedua, penelitian ini menjadi relevan oleh karena secara konstitusional

formulasi hukum adat ke dalam suatu peraturan daerah telah dijamin oleh Pasal 18B

ayat (2) UUD 1945, bahwa hukum adat diakui dan dihormati sepanjang masih

berlaku, tidak bertentangan dengan NKRI dan diatur dengan peraturan perundang-

undangan.9 Sejalan dengan itu, pemerintah Indoesia secara konsisten telah

mengejowantahkan amanah konstitusionalitas tersebut tidak kurang dua belas (12)

UU sektoral seperti UU Kehutanan, UU Sumber daya Alam, UU Pertambangan, UU

Mineral dan Batubara, dan UU Sumber Daya Air. Adapun juridis yang relevan

adalah Pasal 18 ayat 5 yang memberikan Hak Konstitusional bagi daerah-daerah

untuk melakukan pembangunan seluas-luasnya.

7 Lihat Introduction toward Australian Legal Systems. Sydney, Butterwoths. 1986. 8 Lihat Convention on International Labour Organization 1984. 9 Lihat Draft “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat”. Jakarta. DPD RI. 2009.

Page 6: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

6

Namun, dalam implementasinya belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat

hukum adat sebagaimana mestinya. Inkonsistensi antara perintah UUD 1945 dan UU

Sektoral umumnya terjadi realisasi kebijakan pemerintahan pusat dalam bidang

pertambangan di daerah-daerah. Selain itu, inkonsistensi juga dapat terjadi sebagai

akibat tumpang tindih pengaturan dan kewenangan dan konflik kepentingan antara

kementerian yang satu dengan yang lain.

Ketiga, secara sosiologis dan antropologis di Indonesia, bentuk formalisasi

hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat bukan hanya sekedar diperdebatkan

oleh para ahli dan pengajar hukum adat, tetapi telah menjadi fakta hukum atau norma

hukum empirik dalam bentuk perda-perda hukum adat. Kegagalan untuk

memperjuangkan UU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di tingkat nasional,

justru banyak Peraturan-Peraturan Daerah berbasis hukum adat lahir di berbagai

daerah, baik Perda Adat yang disyahkan di tingkat Pemerintahan Provinsi maupun

Pemerintahan Kabupaten /atau Kota. Terjadinya kebangkitan dan berbagai

persekutuan masyarakat hukum adat, maupun kebangkitan hukum keagamaan di

daerah-daerah, menunjukkan geliat pembangunan hukum lokal (Peraturan-Peraturan

Daerah yang dijiwai semangat hukum yang hidup dalam masyarakat) di berbagai

daerah10

.

Sejak tahun 1999 sd 2009, tidak kurang dari 106 Perda-perda adat telah disahkan

hampir 27 provinsi di seluruh Indonesia. Persoalan menarik dalam studi ini bukan

sekedar persoalan apakah lahirnya perda-perda berbasis adat ini didasarkan kepada

perintah dari suatu undang-undangan tertentu. Ataukah perda-perda adat tersebut

lahir disebabkan karena adanya kekosongan hukum sebagai akibat undang-undang

10 Konsep Hukum Lokal semula dipergunakan oleh para ahli antropologi hukum yang memaparkan tentang realita politik lokal

berusaha mengakomodir kehendak sebagian masyarakat untuk membuat Perda-perda yang berjiwakan hukum adat

lokal. Noubert Roland, 1994, Legal Anthropology, London, The Athlone Press, hlm 313-315.

Page 7: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

7

sektoral tidak mengatur dengan tegas bagaimana pengakuan dan penghormatan secara

kongkrit melainkan karena kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan daerah tidak

berfungsi memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional masyarakat

hukum adat. Apakah dengan lahirnya perda-perda adat tersebut telah berfungsi efektif

dalam memberikan kepastian hukum dan kamanfaatan bagi masyarakat ataukah justru

lebih dari itu telah menimbulkan dampak negatif terhadap aspek pembangunan

nasional, di berbagai daerah. Ketiga, dari segi kemanfaatan, penelitian ini penting

karena terbatasnya informasi akademik terkait dengan bagaimana pertumbuhan

hukum adat yang telah berkembang. Dari pengkajian awal, sejak tahun 1999 sampai

dengan 2011, tidak kurang dari 106 Perda-perda adat yang telah dibuat disekitar 27

Provinsi dan puluhan Kabupaten. Beberapa Provinsi yang banyak menerbitkan Perda

adat antara lain Sumatera Barat, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,

Lampung, dan Sulawesi Selatan.

Maksud dan alasan lain yang mendorong lahirnya perda-perda adat yaitu,

masyarakat di daerah merasa khawatir akan kehilangan nilai-nilai adat yang selama

ini dipandang sebagai norma-norma yang paling dipatuhi, juga akibat transformasi

sosial dan politik. Gregory Acciaioli mengakui bahwa gelombang Perda Adat terkait

dengan dorongan otonomi daerah mendorong timbulnya legislasi daerah untuk

wilayah hukum adat. 11

Berbagai perda adat yang diklaim sebagai hukum lokal antara

lain ada empat (4) kelompok Perda adat, (1) Perda adat yang terkait dengan hak-hak

adat, (2) Perda Perlindungan Hak atas Tanah Ulayat, (3) Perda tentang Lembaga

Adat, dan (4) Perda tentang Pelestarian Lembaga Adat dan Peradilan Adat. Bahwa di

beberapa daerah di Papua, keberadaan hukum pidana tidak berlaku kecuali pencurian.

11 “Land claims by The Customary Society Movement”. Greg Acciaioli. Ground of Conflict, Idioms of Harmony : Custom,

Religion and Nationalism in Violence Avoidance at The Lindu Plain, Central Sulawesi. Indonesia 27 October 2010.

Page 8: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

8

Sebab, kasus-kasus pembunuhan umumnya diselesaikan secara adat12

. Selain itu,

yang tidak menggembirakan menurut Endang S, pembuatan Perda Adat tidak sesuai

dengan yang diharapkan. Perda yang ada, sepertinya menuliskan kembali apa yang

selama ini telah berlaku. Padahal yang diperlukan dari Perda tersebut adalah

melindungi dan memperkuat pemberlakuannya, tanpa ada duplikasi UU lainnya13

.

1.1. Rumusan Masalah

Dari landasan pemikiran tersebut di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk

menjawab rumusan masalah sebagai berikut.

1) Mengapa jaminan perlindungan juridis konstitusional terkait dengan

pengakuan dan penghormatan masyarakat hukum adat sebagaimana tercantum

dalam Pasal 18B ayat (2) dan Undang-undangn sektoral lainnya belum

berhasil diimplementasikan dalam masyarakat hukum adat?

2) Apakah pertumbuhnya hukum lokal yang mengemuka dalam peraturan-

peraturan daerah berbasis hukum adat di berbagai daerah di Indonesia

merupakan bentuk formalisasi dan sekaligus kompensasi atas kekosongan

hukum akibat pengakuan dan penghormatan sebagaimana diatur dalam UU

sektoral belum inkonsisten dengan implementasi kebijakan pembangunan

nasional yang direalisasikan di berbagai daerah ?

3) Bagaimana bentuk formalisasi hukum yang hidup (living law) dalam

masyarakat yang dijowantahan dalam perda-perda berbasis hukum adat telah

berkesesuaian dengan mekanisme dean prosedur yang diatur dalam Undang-

12 Hasil diskusi dari Prof. DR. Endang Sumiarni. SH., MH. 13 Hasil diskusi informal dan kajian awal pengusul dengan mahasiswa dan CLDS FH UII.

Page 9: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

9

undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan di Indonesia??

1.2. Maksud dan Tujuan

Program penelitian pustaka ini dilakukan dengan maksud dan tujuan sebagai

berikut :

1) Memperoleh pengetahuan komprehensif tentang formalisasi hukum yang

hidup (living law) dalam masyarakat menjadi peraturan-peraturan daerah,

sebagai bentuk kompensasi atas kekosongan peraturan hukum yang

inkonsisten dengan kebutuhan masyarakat hukum adat.

2) Untuk mengidentifikasi berbagai faktor pengaruh belum efektifnya

perlindungan hak-hak konstitusional terhadap pengakuan dan penghormatan

masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan UU

sektoral lainnya.

3) Melakukan penilaian terhadap mekanisme dan prosedur lahirnya hukum lokal

yang terdiri dari Perda-Perda berbasis hukum adat (perlindungan atas hukum

adat, lembaga hukum adat, pelestarian hukum adat dan masyarakat hukum

adat) yang berkesesuaian dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

1.3. Kerangka Teori dan Konsep

Untuk mencapai maksud dan tujuan di atas, penelitian ini menggunakan

kerangka teori dan konsep yang dipandang memiliki keterkaitan dengan persoalan

yang akan dijelaskan dalam penelitian ini.

Page 10: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

10

Pertama, konsep hukum adat dan masyarakat hukum adat. Hukum adat dalam

penelitian ini dimaksudkan sebagai kaidah-kaidah, atau hukum hukum kebiasan

(cutomary rules), terdiri dari putusan-putusan kepala adat, yang tumbuh dan

berkembang dari kesadaran masyarakat, yang sebagian besar tidak tertulis, dipatuhi

dan mengikat masyarakat dibarengi dengan sanksi-sanksi sosial. Dalam

pertumbuhannya hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang didukung oleh

semangat zaman suatu masyarakat (volkgeist) dan ditempatkan dalam sistem hukum

suatu negara, atau lebih dikenal sebagai hukum non-negara (non-state law). Sifat atau

karakter dari hukum adat sebagai living law tersebut, selain norma-norma tersebut

tumbuh dan dari proses internalisasi masyarakar lokal, seperti hukum kebiasaan

(customary law) atau hukum adat (Indonesia), dan juga suatu norma hukum

keagamaan tertentu, yang mengikat masyarakat dan tidak dibentuk oleh lembaga

formal dan tidak wujudkan secara tertulis (unwritten law) hal ini juga tidak terlepas

dari ketidak pedulian hakim-hakim di pengadilan atas hukum yang hidup dalam

masyarakat14

.

Kedua, masyarakat hukum adat adalah sekumpulan masyarakat yang hidup di

suatu tempat didasarkan kepada adanya kesamaan garis ketuturunan (geneologis) dan

kesamaan wilayah (geografis), diatur oleh suatu hukum kebiasaan yang mengikat,

dipimpin oleh suatu kepala adat yang kharismatik, dan mampu menyelesaikan

sengketa adat yang dihadapi masyarakatnya. Karena itu, Van Vollen Hoven, Ter

Haar dan Joyodiguno menegaskan bahwa hukum adat merupakan cabang hukum

mandiri (an independent branch of law) yang ditandai oleh adanya kehidupan

bersama, atas dasar kesamaan leluhur (genekologis), memiliki tujuan bersama yang

14 Justice Louis D. Brandels, The Living Law, www. cardozolawreview.com/index.php?option=com_content

Page 11: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

11

diatur oleh hukum tidak tertulis. Karena itu, setidaknya keberadaan masyarakat

hukum adat di Indonesia terdiri dari 19 persekutuan hukum adat seperti Gayo, Karo

dan lainnya15

.

Ketiga, hukum lokal (Local Law) adalah peraturan-peraturan yang dibuat

berdasarkan prosedur dan mekanisme birokrasi pemerintahan di tingkat daerah

dimana lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan masyarakat mengusulkan dan

menyepakati adanya kebijakan politik dan hukum yang diwujudkan dalam bentuk

Perda, tetapi muatan materinya dipengaruhi oleh adanya hukum yang hidup dalam

masyarakat, baik berupa hukum kebiasaan setempat atau hukum adat maupun hukum

suatu agama tertentu. Karena itu, Perda-perda tidak akan dapat disebut sebagai

hukum lokal manakala isunya tidak mengandung unsur-unsur, baik nilai maupun

norma hukum adat yang ada disuatu daerah. Adapun cakupannya bisa aspek perdata

atau pidana adat yang ada disuatu daerah. Adapun cakupannya bisa aspek perdata

atau pidana adat. disebagian daerah di Indonesia, pengadilan mencoba menjadikan

hukum adat sebagai sumber hukum material bagi kasus-kasus yang bersifat

keperdataan. Tentu saja hal tersebut sangat tergantung kesadaran hukumnya.

Sebagaimana halnya hukum adat yang berlaku di Afrika Selatan. Diakui bahwa

terdapat bukti konkrit apakah adat dapat diadopsi pengadilan mendasarkan pada

keahlian hukum adat Xhosa. Pengadilan mengakui bahwa hukum adat tumbuh dan

berkembang selama dua dekade membolehkan hukum adat dijadikan sumber hukum

bagi putusan di pengadilan, khususnya dalam hukum keluarga16

Keempat, formalisasi hukum adalah cara memformulasikan kaidah-kaidah

hukum kebiasaan ke dalam peraturan hukum tertulis, yang berlaku di suatu daerah

15Ter Haar, The Adat Law, Netherland, The Hauge, 1974. 16 Lihat Joan Church, The Place of Indegenous Law in a Mixed Legal System and a Society in Tranfsormation : A South Africa

Experience. ANZLH – Journal, 2005, 103.

Page 12: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

12

tertentu, dibuat dan disyahkan pemerintah daerah bersama DPRD guna menciptakan

kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilaan berdasarkan UU No 12 tahun 2011

untuk menjawab persoan-persoalan hukum yang dihadapi masyarakat setempat di era

otonomi daerah. Kepastian hukum dalam arti adanya suatu peraturan hukum dalam

bentuk Perda Hukum Adat yang dapat dijadikan pedoman untuk mengatur tingkah

laku masyarakat dan sekaligus pedoman bagi penegak hukum ketika terdapat

sengketa. Adapun unsur keadilan dalam perda berbasis hukum mencakup adanya

kebebasan (liberty) keberimbangan (fairness), adanya kesamaan peluang dan

kesempatan (equal opportunity), peraturan yang mengandung kebenaran (what is the

right to do)17

. Adapun kemanfaatan hukum adalah bahwa peraturan daerah tersebut

mengandung parameternya terpenuhinya kepuasan atau kebahagiaan untuk sebagian

besar sebagian besar warga (the greatest happiness for the greatest number).

Dengan demikian, maka penelitian ini akan menjelaskan fenoena perda-perda

berbasis hukum adat sesuai kerangka teori, konsep dan definisi operasional tersebut

di atas, untuk mengukur kesesuaian antara hukum yang hidup (living law) dalam

masyarakat, sebagai hukum lokal yang diformalisasikan ke dalam Perda-Perda Adat

sesuai asas-asas pembentukan peraturan hukum sebagaimana diatur leh UU no 12

tahun 2011.

1.4. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini kualitaif dengan cara mengumpulkan bahan-bahan dan

metode penelitian sebagai berikut :

17 John Rawlls. Theory of Justice, Cambridge, Harvard University Press. 1972. Lihat juga, Michael Sandel, Justice: What’s The

right Thing To do, New York, United States of America, Farrar, Straus and Girox, 2009.

Page 13: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

13

1) Metode Pengumpulan bahan-bahan hukum Primer dan Sekunder Penelitian

ini dilakukan dengan melakukan menelusuran informasi dan keterangan dari

bahan-bahan hukum di Perpustakaan (Library Research). Adapun obyek

yang ditelusuri adalah berbagai pengumpulan informasi dan dan keterangan

tentang hukum adat dan masyarakat hukum adat berdasarkan pada dokumen

hukum antara lain UUD 1945, HAM dan Peraturan Perundang-undangan, dan

peraturan relevan sejenis lainnya. Melakukan pelacakan seluas mungkin

terhadap berbagai Perda Adat melalui internet, khususnya website di Tingkat

Provinsi, Kabupaten dan Kota.

2) Pendekatan Socio-Legal (Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum)

Pencarian informasi dan keterangan melalui berbagai karya tulis dari para ahli

hukum yang tersedia di perpustakaan dan memberikan tambahan kekayaan

keterangan atas hubungan antara hukum adat sebagai living law menuju pada

penjelasan adanya perubahan pemikiran ke mahzab hukum yang berorientasi

pada ajaran hukum positivisme. Suatu fenomena baru yang menujukan mulai

adanya kesadaran baru akan pentingnya Negara mengakui adanya hukum di

luar hukum masyarakat yang diakomodir menjadi system hukum yang

positivistik.

3) Analisis Data. Adapun keterangan atau data akan dianalisis berdasarkan

kepada ketiga rumusan masalah tersebut dengan melakukan analisis terhadap

norma-norma hukum dan teori yang memayunginya Perda-Perda yang muatan

materinya perlindungan terhadap hukum adat, institusi masyarakat hukum

adat, dan pelestarian hukum adat dan pranata sosial lainnya. Selain itu,

analisis dilakukan terhadap peran institusi-institusi hukum di tingkat daerah

Page 14: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

14

dan seberapa jauh masyarakat daerah memberikan respon positif terhadap

produk hukum lokal yang telah disepakati tersebut. Terakhir, analisis akan

ditujukan kepada fenomena bagaimana sikap respon Pemerintah Pusat baik

bentuk positif (memberikan dukungan) atau negatif (membatalkan) terhadap

perkembangan dan pertumbuhan hukum lokal.

Page 15: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

15

BAB II

PERLINDUNGAN DAN PENGAKUAN MASYARAKAT HUKUM

ADAT DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM

NASIONAL

Dalam bab ini akan dijelaskan tentang prinsip-prinsip hukum umum yang relevan

dipergunakan sebagai pedoman utama dalam mengarahkan proses pembentukan RUU-

PHMA. Dalam hal ini, prinsip-prinsip hukum atau asas-asas hukum bukanlah norma-

norma kongkrit, melain kan merupakan pikiran-pikiran dasar bersifat umum dan

merupakan latar belakang dari peraturan hukum yang kongkrit yang terdapat dalam setiap

sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim

yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum

dalam peraturan kongkrit tersebut18.

Sedangkan kerangka teori dimaksudkan sebagai preposisi-preposisi tentang

kebenaran akademik yang merupakan hasil pengujian antara hipotesis dengan fakta-fakta

yang medukung atau menolak, yang dapat dipergunakan sebagai kaca mata, atau

instrumen untuk memberikan pengukuran atas adanya fakta-fakta yang terjadi di

lapangan. Apakah teori yang dipergunakan tersebut berkesesuaian dan konsisten,

misalnya terkait dengan hubungan sebab akibat, atau keajegan-keajegan sosial yang

dijadikan pegangan atau pedoman dalam pembangunan suatu masyarakat19.

Beberapa prinsip hukum yang relevan dikemukakan dan menjadi landasan utama

dalam merumuskan norma-norma hukum kongkrit dalam pengaturan perlindungan hak-

hak masyarakat adat antara lain adalah sebagai berikut.

18 Lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta, Liberty. 1986:33. 19 Jawahir Thontowi, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung.PT. 2007:33

Page 16: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

16

2.1. MHA Dalam Hukum Internasional

Istilah masyarakat adat mulai mendunia, setelah pada tahun 1950-an ILO, sebuah

badan dunia di PBB mempopulerkan isu “indigenous peoples”. Setelah dihembuskan

oleh ILO sebagai isu global di lembaga PBB, World Bank (Bank Dunia) juga mengadopsi

isu tersebut untuk proyek pedanaan pembangunan di sejumlah negara, melalui kebijakan

OMP (1982) dan OD (1991), terutama di negara-negara ketiga, seperti di Amerika Latin,

Afrika, dan Asia Pasifik. Mencuatnya isu masyarakat adat berawal dari berbagai gerakan

protes masyarakat asli “native peoples” di Amerika Utara yang meminta keadilan

pembangunan, setelah kehadiran sejumlah perusahaan trans-nasional di bidang

pertambangan beroperasi di wilayah kelola mereka, dan pengembangan sejumlah wilayah

konservasi oleh pemerintah AS dan Kanada20.

Sementara itu, di Indonesia sendiri, pengertian dan istilah masyarakat adat sudah

sejak lama dikenal dalam realitas kehidupan sosial-budaya. Bahkan sejak Van

Vollenhoven membagi Indonesia dalam 19 (sembilan belas) lingkungan hukum adat,

kendati pembagian ini diragukan keabsahannya, namun tetap saja memperlihatkan bahwa

di lingkungan masyarakat Indonesia tradisionil telah dikenal adanya komunitas

kehidupan kemasyarakatan yang disebut sebagai masyarakat adat.

Sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang pernah di gagas oleh seorang pujangga

Kerajaan Majapahit, Empu Tantular dan kemudian diimplementasikan oleh Patih Gadjah

Mada dalam mempersatukan wilayah Nusantara, menunjukkan bahwa identitas dan

keberadaan Masyarakat Adat memang telah mewarnai pola kehidupan masyarakat

Indonesia tradisionil. Dengan demikian, jauh hari sebelum ILO mempopulerkan isu

20 Azmi Siradjudin AR, Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional dalam

http://www.ymp.or.id/content/view/107/35/

Page 17: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

17

“indigenous peoples” di Indonesia sudah dijumpai masyarakat adat dengan berbagai

ragam corak kehidupan sosial budayanya.

Jika ditinjau dari aspek kemunculannya, maka sumber keberadaan masyarakat

adat ini dapat dirunut berdasarkan pandangan Aristoteles yang mengemukakan bahwa

manusia adalah zoon politicon. Manusia akan selalu mencari manusia yang lain untuk

hidup bersama dan berorganisasi. Bagi manusia hidup bersama itu merupakan gejala

yang biasa. Disamping keinginan kodrati untuk hidup bersama tersebut, manusia juga

mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok seperti mahluk hidup yang lain.

Menurut Maslow sebagaimana dikutip oleh Bimo Walgito, kebutuhan manusia

itu sifatnya hirarkhis. Artinya suatu kebutuhan akan timbul bila kebutuhan yang lebih

rendah telah terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan yang ada pada manusia itu adalah :

a. The physiological needs, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisiologis, dan

kebutuhan-kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang paling kuat di antara

kebutuhan-kebutuhan lain.

b. The safety needs, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan hubungan rasa aman.

c. The belongingness and love needs, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan hubungan

dengan orang lain. Merupakan kebutuhan sosial.

d. The esteem needs, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan penghargaan, termasuk

rasa harga diri, rasa dihargai.

e. The needs for self-actualization, yaitu kebutuhan untu mengaktualisasikan diri,

kebutuhan untuk ikut berperan21

.

Dari pandangan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa kebutuhan-kebutuhan

manusia pada dasarnya dapat digolongkan menjadi :

21 Bimo Walgito, 2002, Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Ed. 1. Cet.1. Yogyakarta: Andi Offset, hlm. 2.

Page 18: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

18

a. Kebutuhan yang bersifat fisologis, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan

dengan jasmaniah, kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk mempertahankan

eksistensinya sebagai makhluk hidup misalnya kebutuhan akan makan, minum,

seksual, dan udara segar.

b. Kebutuhan yang bersifat psikologik, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan segi

psikologis, misalnya kebutuhan rasa aman, rasa pasti, kasih sayang, harga diri

dan aktualisasi diri.

c. Kebutuhan yang bersifat sosial, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan interaksi

sosial, kebutuhan akan berhubungan dengan orang lain, misalnya kebutuhan

berteman dan kebutuhan bersaing.

d. Kebutuhan yang bersifat religi, yaitu kebutuhan-kebutuhan untuk berhubungan

dengan kekuatan-kekuatan yang ada di luar diri manusia. Kebutuan untuk

berhubungan dengan sang Pencipta.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas tidaklah berdiri sendiri-sendiri, melainkan

saling berkait antara satu dengan yang lain. Setiap kebutuhan-kebutuhan tersebut tentu

memerlukan pemenuhan. Berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia tersebut di

atas, maka keberadaan masyarakat adat berkaitan dengan kebutuhan fisologis (kebutuhan

yang bersifat jasmaniah yakni kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk

mempertahankan eksistensinya sebagai mahluk hidup), kebutuhan psikologis (kebutuhan

rasa aman, rasa pasti, harga diri, dan aktualisasi diri), kebutuhan sosial (berteman dan

bermasyarakat), kebutuhan religi (didasari oleh kepercayaan sesuai dengan ajaran agama

atau religiusitas yang dianut oleh indvidu yang bersangkutan).

Dari kebutuhan-kebutuhan inilah manusia sebagai individu juga membutuhkan

individu lain untuk saling menguatkan dan saling memenuhi. Agar tidak terjebak dalam

Page 19: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

19

konsep Homo homini lupus sebagaimana pernah diungkapkan oleh Thomas Hobbes maka

masyarakat harus terikat dengan kesepakatan sosial ”social contract”. peraturan hukum,

Dalam tingkat sederhana kontrak sosial ini merupakan basis lahirnya peraturan hukum

yang bilamana dikaitkan dengan fungsi kenegaraan disebut konstitusi. Peraturan hukum

dasar yang menajdi acuan warga negara dan negara dalam menentukan lahirnya suatu

negara, pendirian lembaga-lembaga pemerintahan, hak dan keajiban warga negara dan

pemerintahan Dalam konstitusi juga secara umum diatur tentang hak-hak dasar dan

kebebasan dasar masyarakat. Oleh karena konstitusi, sebagai The Supreme Law of The

Land, memuat ketentuan bersifat umum dan tidak rinci, maka setiap pasal memerlukan

penjabaran lebih rinci dalam peraturan lebih rendah yaitu undang-undang. Dalam konteks

inilah UU Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat diperlukan terkait dengan amanah

yang ada dalam pasal 18/b UUD 1945.

Harus diakui dan tidak dapat diragukan lagi bahwa mayoritas penduduk di

Negara Republik Indonesia terdiri dari masyarakat adat, yang tersebar di seluruh penjuru

nusantara. Mereka sudah ada ribuan tahun jauh sebelum Negara RI lahir dan terdiri dari

beraneka ragam suku, sub suku, bahasa, adat istiadat, serta hukum adat, yang berbeda

satu sama lain disetiap komunitasnya. Mereka juga telah mempunyai dan menguasai

wilayah-wilayah adat dengan nama yang berbeda-beda, misal: Mukim di Aceh, Nagari di

Sumatera Barat, Wanua di Katu, Lembang di Toraja, dan lain sebagainya. Untuk

mengatur hubungan timbal balik antar sesama warganya mereka telah mempunyai aturan

berikut sanksi yang harus dipatuhi oleh segenap warganya. Secara struktural, masyarakat

adat ini juga telah memiliki kelembagaan adat yang relatif mapan dan mampu

mengontrol seluruh aspek kehidupan warga di dalam komunitasnya masing-masing,

dengan nama dan gelar yang sangat beragam, misalnya: Mangku, Patih, Rangkai,

Page 20: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

20

Patinggi, Demung, Kecik, Sei Batin, Singa, Timanggong, dan lain sebagainya. Dengan

demikian, setiap komunitas masyarakat adat telah “berdaulat” atas wilayah adatnya

masing-masing22.

Dari pendekatan historis dan budaya Von Savigny dan Eugene Ehrlich,

mengelompokkan fenomena hukum seperti itu sebagai Living Law (hukum yang hidup

dalam masyarakat) yang merupakan fenomena dunia23. Sehingga bilamana kajian naskah

akademik ini hanya mengacu pada kerangka teoritik paham positivisme, maka yang

terjadi bukan harmonisasi, tetapi kontradiksi. Sebab, upaya untuk membuat kebijakan

terhadap kajian hukum adat sesungguhnya tidak sejalan dengan karakter hukum adat

yang tidak tertulis (unwritten law) bukankah upaya tersebut diandang sebagai pelecehan

terhadap hukum adat24.

Dalam konstruksi yang demikian itu, pemerintah kolonial, baik Belanda, Inggris

dan Jepang yang pernah memerintah/menjajah negeri-negeri nusantara ini tidak pernah

berani mengusik kedaulatan masyarakat adat di wilayah adatnya masing-masing. Bahkan

pemerintah kolonial juga telah memberi otonomi seluas-luasnya kepada Masyarakat

Adat25. Sehubungan dengan hal ini, Amrah Muslimin mengungkapkan bahwa

sungguhpun Pemerintah Belanda terutama menjalankan dekonsentrasi akan tetapi dalam

daerah kesatuan-kesatuan yang berdasarkan hukum adat, telah berjalan otonomi asli,

yaitu :

1. Daerah-daerah Swapraja, yaitu daerah-daerah yang diperintah oleh raja-raja yang

telah mengakui kedaulatan Pemerintah Belanda atas daerah-daerah mereka, baik

22 H. Nazarius, Bentuk dan Keberadaan Institusi Adat, Makalah disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan oleh ICRAF

dalam rangka Konggres II AMAN II di Lombok, tanggal 21 September 2003. hlm. 1. 23 Kajian Intensif tentang The Living Law Theory dapat dibaca dalam karya Roger Cotterrell, Introduction to Sociology of Law,

Sydney Butterworth, 1973:115 24 Abdurrahman, Kertas Kerja Beberapa Pemikiran tentang Rancangan UU Hukum Adat. Seminar Sehari tentang Relevankah

Hukum Adat Dituangkan dalam UU. Diselenggarakan oleh Bagian Hukum Adat, Magister Kenotariatan FH UGM,

Selasa 19 Desember 2006 25 Ibid.

Page 21: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

21

atas dasar kontrak panjang (Kasunanan Solo, Kasultanan Yogyakarta dan Deli),

maupun atas dasar pernyataan pendek (Kasultanan Goa, Bone, dsb);

2. Desa, Marga, Huta, Kuria, Nagari dan sebagainya, yakni suatu kesatuan hukum

adat yang mengurus rumah tangga sendiri berdasarkan hukum adat26.

Persoalan otonomi komunitas masyarakat adat bukanlah persoalan baru. Kajian

Parsudi Suparlan tentang Orang Sakai pada masa Kerajaan Siak Indrapura dan studi Selo

Soemardjan tentang masyarakat desa di dalam Kesultanan Yogyakarta menunjukkan

bahwa dalam era kesultanan dan kerajaan-kerajaan masa lampau persoalan otonomi

komunitas masyarakat adat ini telah disadari oleh pemerintahan sultan dan raja-raja pada

masa itu. Hal ini tentu berkaitan erat dengan soal keutuhan wilayah dan masyarakat

dalam kesultanan dan kerajaan bersangkutan27.

Menurut ajaran catur praja Van Vollenhoven, otonomi mencakup aktivitas

membentuk perundangan sendiri (zelfwetgeving), melaksanakan sendiri (zelffuitvoering),

melakukan peradilan sendiri (zelfrechtspraak), dan melakukan tugas kepolisian sendiri

(zelf-politie)28. Dalam pemahaman catur praja inilah eksistensi teori otonomi bagi

masyarakat adat dapat dilihat dari nilai-nilai yang terdapat dalam komunitas hidup

mereka. Contohnya nilai yang masih tetap dianut oleh seluruh anggota komunitas Ngata

Toro. Dalam komunitas Ngata Toro dikenal adanya lembaga Dan Hintuvi Ngata di Batak

Sumatera Utara, yaitu kelembagaan tertinggi yang merepresentasikan seluruh kelompok

kepentingan dalam Ngata dan oleh karena itu harus menaungi seluruh Ngata secara adil.

Ukurannya adalah seluruh keputusan Hintuvu Libu Ngata menyangkut hajat hidup

seluruh Ngata harus dilakukan dalam sebuah musyawarah bersama seluruh masyarakat

26 Amrah Muslimin, dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Otonomi Daerah, Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah,

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1998, hlm. 45. 27 Jopi Peranginangin, Mengukur Kekuatan Untuk Merebut Kedaulatan Masyarakat Adat, dalam

http://www.ymp.or.id/content/view/221/1/. 28 Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 6.

Page 22: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

22

Ngata Toro. Karena itu pula dalam penggambaran oleh masyarakat Toro, Hintuvu Libu

Ngata dilukiskan sebagai atap rumah dan seluruh isi rumah adalah struktur pelaksana

keputusan yang telah diambil oleh Hintuvu Libu Ngata29.

Jika pendapat ini kita letakkan dalam kontek masyarakat adat, maka prinsip

otonomi bagi komunitas masyarakat ini dapat diterangkan. Pertama; membentuk

perundangan sendiri. Komunitas Masyarakat adat ini dalam kenyataannya telah ribuan

tahun mampu membentuk perundangan sendiri (hukum) atau aturan hidup bersama,

walau pada umumnya bersifat tidak tertulis, yakni hukum adat. Ini pula menunjukkan

kecenderungan bahwa norma-norma adat yang dapat dibuat dan disepakati tidak ada

larangan untuk ditulis dan tampaknya sangat tergantung pada kemampuan masyarakat

untuk mengaktualisasikan norma tersebut pada tahap lebih kongkrit.

Terbentuknya hukum adat yang berlaku bagi suatu komunitas masyarakat adat

tentunya melalui proses panjang, yakni dari kebiasaan yang berlaku di masyarakat adat

dan dilakukan secara terus menerus. Kemudian dalam kondisi tertentu kebiasaan yang

dilakukan berulang-ulang ini meningkat menjadi tradisi, dan pada akhirnya tradisi

tersebut mendapatkan muatan religious magis sehingga mengikat dan jika tidak dipatuhi

akan terkena sanksi adat. Disinilah hukum adat bagi komunitas masyarakat adat

menampakkan eksistensinya. Lebih tegas, ketika tidak ada pembedaan antara dimensi

rasional, sekuler dengan dimensi rasa, rohaniah dan spiritual.30

Kedua; melaksanakan sendiri. Dalam pemahaman seperti ini, masyarakat adat

melaksanakan seluruh aturan-aturan hidup bersama yang tidak tertulis dan dipatuhi

sebagai sesuatu yang mengikat dalam rangka kehidupan bersama untuk mencapai

ketertiban. Oleh karena kehidupan masyarakat adat itu masih lintas wilayah dan daerah

29 Jopi Peranginangin, Op.Cit. 30 Retno Lukito, Hukum Sekuler dan Hukum Sakral, 2008

Page 23: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

23

yang berdekatan maka kepatuhan dan kesadaran masyarakat akan peraturan-peraturan

tersebut sangat tinggi. Proses internalisasi nilai-nilai dan norma dalam ranah waktu,

tempat, dan anggota masyarakat berada dalam satu ikatan yang utuh. Ketiga; melakukan

peradilan sendiri, nampak dari adanya peradilan adat yang pada umumnya

mengejawantah dalam bentuk musyawarah (di Jawa sering disebut rembug desa) di

dalam masyarakat adat jikalau terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum adat, dan

musyawarah ini dipimpin oleh pemuka-pemuka masyarakat adat yang bersangkutan.

Selain di Jawa ada rembug desa, juga adat badamai di Kalimantan Selatan, rungun di

Karo Batak, abadji atau madeceng di Bugis Makasar adalah bentuk-bentuk institusi adat

yang masih berlaku.

Keempat, melakukan tugas kepolisian sendiri. Di dalam pemahaman seperti ini,

arti kepolisian tidak harus disamakan dengan Kepolisian yang dikenal selama ini.

Kepolisian disini mengandung makna sebagai aparat adat yang memiliki tugas menjaga

ketertiban dan keamanan komunitas masyarakat adat, salah satu contoh yang dapat dilihat

sampai saat ini adalah keberadaan Pecalang di Bali atau Jogoboyo di Jawa.

Dari deskripsi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat

memang sejak semula sudah menerapkan teori otonomi. Dan penerapan teori otonom ini

semakin nyata ketika komunitas masyarakat adat mempergunakan hak-hak komunitas

dalam pengelolaan berbagai sumber daya alam seperti hak ulayat. Dengan demikian, jika

otonomi daerah kemudian diterjemahkan dalam pengertian kemandirian, maka bagi

masyarakat adat kemandirian ini telah tertanam dalam kearifan-kearifan lokal yang telah

mereka miliki selama bertahun-tahun.

Kendatipun demikian, Sebuah studi kolaboratif antara Aliansi Masyarakat Adat

Nusantara (AMAN), ICRAF dan Forest Peoples Programme pada 2002 – 2003

Page 24: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

24

menemukan juga beberapa persoalan penting dalam hal hubungan antara masyarakat adat

dan Negara, khususnya dalam hal tanah dan sumber daya alam. Temuan-temuan dalam

studi ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:

(a) dalam soal pengakuan oleh Negara terhadap keberadaan masyarakat adat

ditekankan perlunya pengakuan atas wilayah adat;

(b) adanya self-governance bagi komunitas-komunitas masyarakat adat, dalam

konteks perluasan Otonomi Daerah menjadi Otonomi Komunitas khususnya

berkaitan dengan sistem pemerintahan dan peradilan;

(c) Otonomi komunitas ini tetap berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

(d) perlunya perluasan otonomi dalam beberapa sektor seperti pendidikan yang perlu

memberi ruang yang lebih luas bagi penerapan sistem pendidikan lokal dengan

segala muatan kearifan lokalnya31.

Memperhatikan temuan-temuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa

konsep teori otonomi dalam prinsip hukum perlindungan hak-hak masyarakat adat, pada

hakikatnya juga dapat merujuk pada pandangan Leopold Pospisil yang mengatakan

bahwa hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai

dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai

yang hidup di dalamnya32. Eigen Eirlich mengawali tinjauannya tentang “The Living

Law” hukum dari aspek sejarah dan kebudayaan masyarakat masa lalu mematuhi, aturan-

aturan, yang kebiasaan, tradisi dan daya ikat tanpa tertulis tetapi ia hidup dalam

masyarakat.Penegasan ini menunjukkan bahwa pembentuk hukum (termasuk di

dalamnya adalah UU) diwajibkan untuk senantiasa memandang hukum yang hidup di

dalam masyarakat sebagai referensi utama.

Hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, bersumber pada apa yang

dikemukakan oleh Von Savigny filsuf aliran hukum historis dengan sebutan volksgeist

(jiwa bangsa) yang dimanifestasikan dalam nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh

31 Jopi Peranginangin, ibid. 32 Mochtar Kusumaatmadja, 2006, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, hlm. 79.

Page 25: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

25

masyarakat bangsa itu sendiri. Jika pandangan seperti ini diterapkan dalam konteks

otonomi masyarakat adat di Indonesia, maka volksgeist itu jelas berbeda antara kelompok

masyarakat adat yang satu dengan lainnya. Pencerminan volksgeist ini, nampak jelas

dalam hukum adat sebagai perwujudan kristalisasi nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk

Indonesia. Dengan demikian, seharusnya pembentukan sistem hukum Indonesia tentu

bersumber dari “roh” otonomi masyarakat adat tersebut. Seiring dengan itu, pandangan

Von Scholten menjadi relevan untuk dijadikan tolok ukur pemikiran hukum di Indonesia.

Sebab, hukum bukan sekedar hasil karya logika manusia semata, tetapi juga ada unsur-

unsur ruhaniyah yang menentukan kepatuhan masyarakat terhadap hukum33.

Dalam Keputusan Konggres Masyarakat Adat No. 2/KMAN/1999 tentang

Deklarasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), antara lain menyatakan :

1. Adat adalah sesuatu yang bersifat luhur dan menjadi landasan kehidupan

Masyarakat Adat yang utama;

2. Adat Nusantara ini sangat majemuk, karena itu tidak ada tempat bagi kebijakan

negara yang berlaku seragam sifatnya;

3. Jauh sebelum negara berdiri, Masayarakat Adat di Nusantara telah terlebih dahulu

mampu mengembangkan suatu sistem kehidupan sebagaimana yang diinginkan

dan dipahami sendiri. Oleh sebab itu negara harus menghormati kadaulatan

Masyarakat Adat ini.

4. Masyarakat Adat pada dasarnya terdiri dari mahluk manusia, oleh sebab itu warga

Masyarakat Adat juga berhak atas kehidupan yang layak dan pantas menurut

nilai-nilai sosial yang berlaku. Untuk itu seluruh tindakan negara yang keluar dari

kepatutan kemanusiaan universal dan tidak sesuai dengan rasa keadilan yang

dipahami oleh Masyarakat Adat harus segera diakhiri.

5. Atas dasar rasa kebersamaan senasib sepenanggungan, Masyarakat Adat

Nusantara wajib untuk saling bahu membahu demi terwujudnya kehidupan

Masyarakat Adat yang layak dan berdaulat.34

Keputusan Konggres tersebut di atas, menunjukkan bahwa teori otonomi yang

dimaksud dalam konteks kehidupan Masyarakat Adat tidak lain adalah kedaulatan atau

33 Lihat Van Scholten dalam Ilmu Hukum, Karya Terjemahan Arief Sirdharta, Bandung Alumni, 1987. 34 Rosnidar Sembiring, Kedudukan Hukum Adat Dalam Era Reformasi, dalam http://library.usu. ac.id/download/ fh/perdata-

rosnidar.pdf

Page 26: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

26

kemandirian dalam mengelola suatu sistem kehidupan sebagaimana yang diinginkan dan

dipahami sendiri oleh suatu komunitas Masyarakat Adat.

Menurut penelusuran Azmi Siradjudin35, jika ditinjau dari realitas sosial-budaya

yang ada di Indonesia, secara garis besar entitas masyarakat adat dapat dikelompokkan ke

dalam 4 (empat) tipologi; Pertama, adalah kelompok masyarakat lokal yang masih kukuh

berpegang pada prinsip “pertapa bumi” dengan sama sekali tidak mengubah cara hidup

seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lainnya. Bahkan mereka tetap

eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak luar, dan mereka memilih menjaga

kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya dengan kearifan tradisonal mereka.

Entitas kelompok pertama ini, bisa dijumpai seperti komunitas To Kajang (Kajang

Dalam) di Bulukumba, dan Kanekes di Banten.

Kedua, adalah kelompok masyarakat lokal yang masih ketat dalam memelihara

dan menerapkan adat istiadat, tapi masih membuka ruang yang cukup bagi adanya

hubungan “komersil” dengan pihak luar, kelompok seperti ini bisa dijumpai, umpamanya

pada komunitas Kasepuhan Banten Kidul dan Suku Naga, kedua-duanya berada di Jawa

Barat.

Ketiga, entitas masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam (hutan, sungai,

gunung, laut, dan lain-lain), dan mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya alam

yang unik, tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun

pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan dengan masyarakat pada kelompok pertama

dan kedua tadi. Komunitas masyarakat adat yang tergolong dalam tipologi ini, antara lain

Dayak Penan di Kalimantan, Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, Dani dan Deponsoro

di Papua Barat, Krui di Lampung, dan Haruku di Maluku.

35 Azmi Siradjudin, Op.Cit.

Page 27: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

27

Keempat, entitas masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan

sumberdaya alam yang “asli” sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang

ratusan tahun. Masuk dalam kategori ini adalah Melayu Deli di Sumatra Utara. Dalam

konteks ini masyarakat Dayak di dataran pulau Kalimantan khususnya Kalimantan Barat

merupakan contoh yang relevan tentang tatanan kehidupan masyarakt suku Dayak yang

harmonis antara lain karena mereka mengandalkan pola hidup mereka pada hutan, air dan

sungai. Sehingga pemikiran mereka masih menggunakan pola peladang yang sebagian

masih berpindah-pindah.

Berdasarkan 4 (tipologi) entitas masyarakat adat tersebut di atas, maka substansi

(isi) otonomi bagi masing-masing entitas masyarakat adat tersebut meliputi otonomi

dalam bidang pengelolaan dan pelestarian lingkungannya dengan kearifan lokal,

memelihara dan menerapkan adat istiadat secara ketat, dan pengembangan sistem

pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian, walaupun ditinjau dari tipologi

Masyarakat Adat tersebut dijumpai adanya perbedaan antara satu dengan yang lain,

namun tetap saja dapat ditarik kesimpulan bahwa otonomi masyarakat adat ini tidak lain

adalah kemandirian komunitas masyarakat adat dalam mengatur dan mengurus berbagai

aspek kehidupan sosial kemasyarakatan yang sudah sejak lama melekat dan membeku

yang keberadaannya tidak atas dasar pemberian (toekennen) tetapi sesuatu yang dibiarkan

tumbuh (toelaten) atau diberi pengakuan (erkennen)36.

Sementara itu Masyarakat Adat Indonesia yang tergabung dalam Aliansi

Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memberikan definisi Masyarakat Adat sebagai

komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun temurun yang hidup di wilayah

geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi ekonomi, politik, budaya dan

36 Bandingkan dengan Bagir Manan, Suatu Kaji Ulang Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, Majalah Pro Justitia No. 2

Tahun IX April 1991, hlm. 18.

Page 28: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

28

sosial yang khas37. Sedangkan menurut ahli hukum adat Ter Haar, masyarakat hukum

adat merupakan masyarakat yang memiliki kesamaan wilayah (territorial), keturunan

(geneologis), serta wilayah dan keturunan (territorial-geneologis), sehingga terdapat

keragaman bentuk masyarakat adat dari suatu tempat ke tempat lain38.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat ditarik pemahaman bahwa

karakteristik otonomi yang berada dalam lingkup Masyarakat Adat tidak lain

menyangkut kesamaan sistem nilai yang di dasarkan pada aspek kewilayahan maupun

keturunan, sehingga mengakibatkan substansi dari otonomi masyarakat adat tersebut

berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Lahirnya UU PHMA, selain beruapaya untuk

memberikan kepatuhan hukum atas perlindungan kelangsungannya juga berupaya untuk

memelihara kebhinekaannya di tingkat lokal.

Akhir-akhir ini kata adat dan masyarakat adat sering dikaitkan dengan isu

konflik sosial baik yang terjadi antar sesama warga (horizontal conflict) atau dengan

pengusaha dan penguasa daerah (vertical conflict). Konflik cenderung semakin

menguat ketika Masyarakat Hukum Adat (MHA) tergusur dari tanah-tanah ulayat,

sebagai hak milik kolektif mereka. Situasi konflik yang derita MHA ini menjadi

menarik oleh karena hukum yang sejajar dengan hukum agama (Islam), sebagai

sumber hukum nasional. Tetapi perlakuan yang disediakan pemerintah pusat tidak

sama sebagaimana cabang hukum agama.

Hukum adat yang sejajar dengan hukum Islam dan hukum warisan Belanda

yang berlaku di Indonesia, terakomodir dalam hukum nasional. Menurut pandangan

Karl Von Verbach, hukum adat merupakan jiwa bangsa atau volkgeist, dan

merupakan bagian dari perkembangan sejarah dan karakter budaya suatu masyarakat.

37 http://www.aphi-net.com/konflik_lisman_v115/pdf/_300masy-FINALE.pdf 38 Ibid.

Page 29: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

29

Seminar nasional yang diselenggarakan BPHN dan Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada pada tahun 1997, menyimpulkan bahwa hukum adat adalah hukum

Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik

Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama39

. Iman Sudiyat,

mendefinisikan keberadaan hukum adat yang bersifat kongkrit tersebut dibuktikan

dengan peraturan-peraturan desa, surat-surat perintah Raja, adalah keseluruhan

peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum

(dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (macht and authority) serta pengaruh yang

dalam pelaksanaanya berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi sepenuh hati.40

Namun perkembangan hukum adat tidak seiring dengan nasib cabang hukum

lainnya. Di berbagai tempat, nasib masyarakat adat terbukti telah terpinggirkan

(marginalized). Hal ini bukan karena tidak adanya pengakuan formal dari segi UUD

1945 dan UU Sektoral lainnya, melainkan justru karena tidak adanya pedoman utama

terkait prosedur dan mekanisme penghormatan dan pengakuan MHA secara lebih

operasional di lapangan. Pada saat ini, konflik sosial timbul dimana masyarakat adat

yang memiliki tanah-tanah ulayat telah terampas. Pemerintah pusat dan pemerintah

daerah, telah mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada investor, namun

kebijakan tersebut telah menjadi pemicu timbulnya konflik tersebut.

Investor yang telah memilik izin usaha pertambangan (IUP), terkadang

umumnya akomodatif dengan nilai-nilai masyarakat setempat. Dalam situasi tersebut,

masyarakat adat seringkali tersinggung ketika pembukaan lahan tanpa memberitahu

masyarakat adat, sikap investor kurang perduli dengan nilai-nilai masyarakat adat

atau kearifan lokal, karena investor telah memiliki IUP dan bukti-bukti formal

39 Hilman Hadikusumah, 2003, Pengantar Hukum Adat 40 Sudiyat Iman 2000, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta, Liberty, hlm : 34.

Page 30: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

30

lainnya tetapi juga tidak adanya koordinasi antara investor, pemerintah daerah dengan

masyarakat adat di lapangan. Tidak sedikit, tanah-tanah adat yang tumpang tindih

dengan tanah perkebunan dan kehutanan yang berakhir dengan konflik..

Mulai dari kasus Freeport di Papua, kasus konflik tanah di Mesuji termasuk

protes masyarakat di Pelabuhan Sape di Bima Nusa Tenggara Barat sekitar Januari

2012, ada kaitannya dengan penguasaan tanah adat dan lembaga adat. Sebagai suatu

hasil penelitian kepustakaan (library research) tulisan ini memfokuskan pada status

MHA dan model pengakuan serta penghormatannya sebagaimana dilakukan di

Australia dan New Zealand

Untuk menjawab persoalan tersebut, perlu dirumuskan persoalan sebagai

berikut. Apakah keberadaan MHA mendapatkan perlindungan dalam hukum

internasional,HAM, dan UUD 1945 di Indonesia? Kedua, mengapa perlindungan

terhadap MHA dan hak-hak tradisionalnya tidak efektif? Ketiga, bagaimana

pengalaman praktis perlindungan MHA di New Zealand dan Australia dapat

dijadikan model bagi pemerintah Indonesia?

Tulisan ini diasumsikan bahwa MHA tidak pernah akan dapat berfungsi

efektif sebagai subyek hukum pemegang hak dan kewajiban, jika jaminan

konstitusional dan yuridis formal tidak di dukung oleh mekanisme dan prosedur

dilakukan oleh institusi yang berwenang dan legitimit dalam mengeluarkan putusan

tentang status hukum MHA.

2. 2. MHA Dalam Hukum Nasional

Keberadaan MHA sangat bergantung pada pemenuhan unsur-unsur dalam

hukum adat mencakup adanya wilayah adat, penduduk yang memiliki hubungan

Page 31: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

31

kekerabatan (geologis), adanya pemimpin, kepala adat, atau aturan tidak tertulis yang

di patuhi, dan tersedia forum penyelesaian sengketa adat.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah hak-hak Masyarakat Hukum Adat adalah (1) kewenangan atas wilayah

masyarakat hukum adat, dan hak milik atas tanah yang berasal dari hak adat

dibuktikan melalui (a) secara tertulis, surat tanah, surat waris, peta, laporan sejarah,

dokumen serah terima, (b) alat pembuktian lisan (pengakuan masyarakat secara lisan

tentang kewenangan atas wilayah adat tertentu/kepala adat, (c) alat pembuktian

secara fisik (kuburan nenek moyang, teras sering bekas usaha tani, bekas perumahan,

kebun buah-buahan, tumbuhan exotic hasil budidaya, peninggalan sejarah dunia,

gerabah dan prasasti.

Sedangkan Kewenangan Kelembagaan Adat dilakukan dengan beberapa

kemungkinan (a) pengakuan masyarakat adat oleh masyarakat adat itu sendiri (b)

pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat oleh lembaga yudikatif berdasarkan

berdasarkan keputusan pengadilan (c) pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh

suatu Dewan Masyarakat Adat yang dipilih oleh Masyarakat Adat. (3) Kewenangan

atas pola pengelolaan sumber daya hutan didasarkan pada pengetahuan asli yang ada

dan tumbuh di masyarakat dengan segala norma-norma yang mengatur batasan-

batasan dan sanksi.

Keberadaan MHA tidak luput dari perlindungan hukum yang selalu

berkembang sesuai dengan konstitusi yang hidup (living constitution) dalam

masyarakat. Suatu konstitusi atau hukum dasar yang benar-benar hidup dalam

masyarakat tidak hanya terdiri dari naskah yang tertulis saja, akan tetapi juga meliputi

Page 32: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

32

konvensi-konvensi. Undang-undang Dasar 1945 menganut paham ini41

dan selalu

dapat mengikuti perkembangan zaman. Karena UUD tersebut selain dapat dilakukan

perubahan, revisi juga penyempurnaan sebagaimana kedudukan dan fungsi hukum

adat dengan jelas diakui keberadaan dalam Hukum Dasar di Indonesia sebagai hukum

dasar tidak tertulis.

Sadar atau tidak, Indonesia mengakui adanya sistem hukum adat, sistem

hukum Islam dan sistem hukum warisan Belanda, menjadi sumber hukum nasional.

Keanekaragaman hukum (legal pluralism), secara substantif pluralisme hukum secara

umum didefinisikan sebagai suatu situasi dimana dua atau lebih sistem hukum

bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama.

Keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan

sosial, menjadikan adanya sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial.

Sejak tahun 1998, semangat era reformasi telah berdampak positif terhadap

posisi tawar Masyarakat adat. Karena itu, Konggres Asosiasi Masyarakat Adat

Nusantara (AMAN) tidak setuju untuk menyamakan masyarakat Hukum Adat

sebagai masyarakat terasing atau penebang liar. Menurut mereka masyarakat adat

adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik,

budaya, sosial, dan wilayah sendiri (AMAN 1999)42

. Kecenderungan masyarakat adat

sebagaimana tertuang dalam resolusi KMN, lahir sebagai adanya perubahan-

perubahan besar dalam sistem kekuasaan pemerintahan daerah yang desentralistik.

41 Living constitution dalam UUD 1945, dapat dilihat dalam tulisan Amir Siregar, diakses dari

http://amisiregar.multiply.com/journal/item/29/Politik_Hukum 42 Acciaioli Gregory, 2001, Memberdayakan kembali Kesenian Totua, Revitalisasi Adat Masyarakat To Lindu di Sulawesi

Tengah. Antroplogi Indonesia, hlm : 61.

Page 33: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

33

Tuntutan gerakan masyarakat adat, status dan kewenangan telah jelas tertuang dalam

Pasal 18 B ayat (2) dan 28 I ayat (3).

Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan secara jelas “Negara mengakui

dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionilnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat

dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang”.

Dan di pihak lain, untuk kepentingan ke depan, pengakuan dan penghormatan

terhadap otonomi komunitas (desa) dimaksudkan untuk menjawab masa depan

terutama merespon proses globalisasi, yang ditandai oleh proses liberalisasi

(informasi, ekonomi, teknologi, budaya, dan lain-lain) dan munculnya pemain-

pemain ekonomi dalam skala global.

Definisi Pasal 18 B ayat (2) secara lebih lengkap dikemukakan bahwa

masyarakat hukum adat adalah (1) sekumpulan warga memiliki kesamaan leluhur

(geneologis), (2) tinggal di suatu tempat (geografis), (3) memiliki kesamaan tujuan

hidup untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai dan norma-norma, (4)

diberlakukan sistem hukum adat yang dipatuhi dan mengikat (5) dimpimpin oleh

kepala-kepala adat (6) tersedianya tempat dimana administrasi kekuasaan dapat

dikoordinasikan (7) tersedia lembaga-lembaga penyelesaian sengketa baik antara

masyarakat hukum adat sesama suku maupun sesama suku berbeda

kewarganegaraan.43

Adapun Pasal 28 I ayat (3) menegaskan bahwa Identitas budaya

dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan

peradaban.

43 Jawahir Thontowi, Hukum Adat sebagai Living Law dalam Masyarakat Indonesia, Makalah disampaikan dalam Seminar

Sehari, Bagian Hukum Adat dan Program Notariat FH UGM, Yogyakarta, 19 Desember 2006.

Page 34: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

34

Lebih dari sepuluh (10) UU nasional bersifat sektoral telah memberikan

jaminan akan pengakuan terhadap masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya,

termasuk di dalamnya hak ulayat tanah, hak ulayat air, hak ulayat hutan, hak ulayat

atas temat mengembala, dan hak-hak tradisional lainnya. Adapun UU tersebut adalah

(1). UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, (2). UU

No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, (3). UU No 5 Tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, (4). UU No 7

Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, (5). UU No 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, (6). UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan (7). UU

No 24 Tahun 2003 tentang MK, (8). UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman, (9). UU No 14 Tahun 1985 tentang MA RI, dan (10). UU No 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hampir kesemua UU Sektoral memberikan

perlindungan bersifat “copy paste” dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Tampak

berbeda, jaminan tersebut adalah yang termaktub dalam Pasal 63 ayat (1), UU No.32.

tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup. “Pemerintah bertugas dan

berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan

masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait

dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan diikuti Pasal 63 ayat

(2), untuk tingkat proinsi, ayat (3) untuk tingkat pemerintah kabupaten/kota44

.

2. 3. Kelemahan MHA di Tingkat Nasional

Sepanjang perundang-undangan yang mengatur tentang masyarakat hukum

adat belum ada ataupun belum jelas diatur dalam UU, maka perlu disiapkan peraturan

44 Purba Bantu. 2011:3, Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat Suku Sakai, Desertasi

Doktor Pasca Sarjana, FH UII.

Page 35: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

35

daerah yang dapat menyelesaikan permasalahan hak-hak Masyarakat Adat di

wilayahnya secara sementara. Adapun peraturan daerah yang harus dipersiapkan

bersifat pengakuan, pembenaran atau penerimaan sehingga peran yang selama ini

dijalankan oleh Departemen Kehutanan harus dikosongkan dari wilayah masyarakat

adat. Begitu pula peraturan provinsi dan kabupaten tersebut harus dapat memberikan

hak pemajuan kepada msayarakat adat sehingga masyarakat tidak ”dikonservasikan”

tetapi tetap diterima sebagai masyarakat adat yang mempunyai hak untuk

menentukan arah pemajuan hidupnya secara dinamis.

Asep Yunan Firdaus, justru pesimis untuk melihat keberadayaan masyarakat

hukum adat. Disatu pihak, dia mengakui bahwa pemerintah telah mengeluarkan

berbagai peraturan perundang-undangan yang mengakui keberadaan masyarakat

hukum adat dan hutan adat, tapi tidak merumuskan syarat dan tata cara yang singkat

dan sederhana untuk keperluan pengakuan keberadaan hak masyarakat lokal. UU

tersebut hanyalah mempertahankan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebelumnya.

Apabila diminta untuk mengakui keberdaan hutan adat, Departemen Kehutanan

selalu berdalih bahwa proses harus didahului oleh pengakuan keberadaan masyarakat

hukum adat oleh Pemda. Melihat model pengaturan dalam perundang-undangan

dalam dampak-dampak penerapan peraturan pada sektor kehutanan, nampak jelas

bahwa sebenarnya keberadaan masyarakat (hukum) adat serta hak ulayat yang

dimiliknya sudah dikebiri45

.

Pelemahan status dan fungsi MHA tersebut tidak lepas dari persyaratan yang

diamanahkan oleh Pasal 18 B (1) UUD 1945, bahwa pengakuan dan penghormatan

terhadap MHA dapat dilakukan jika masih berlaku, tidak bertentangan dengan nilai-

45 Firdaus Asep Yunan. ’Hak-Hak Masyarakat Adat’ (Indegeneous People’s Rights) 2007

Page 36: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

36

nilai NKRI. Hingga kini, upaya pemerintah pusat untuk mengatur perlindungan MHA

melalui UU tidak pernah ada. Sekiranya UU sektoral memberikan jaminan, itupun

sebatas peraturan hukum dalam teks semata. Rikardo Simarmata justru melihat

berbagai faktor penghambat pengimplementasian dari adanya pengakuan

perlindungan hak-hak dasar masyarakat adat. (1), menonjolnya simbolisasi terutama

dalam kancah politik, lembaga adat, upacara, pakaian, dan gelar adat mendominasi

simbol masyarakat adat. (2) penyelesaian konflik atas tuntutan pengembalian tanah-

tanah adat, tidak bisa dilakukan karena kelompok yang menuntut belum dapat

ditetapkan sebagai masyarakat hukum adat, (3). Pemda tidak melakukan pengukuhan

tanah ulayat dan masyarakat hukum adat karena tidak mengalokasikan anggaran

tersendiri. Peniadaan anggaran ini memang disengaja karena takut resiko dikritik,

dipersoalkan bahkan digugat oleh kelompok masyarakat, (4) bagi sebagian

pemerintah, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dikonotasikan sebagai

gerakan pemisahan diri46

.

Namun, sayang kesemua UU tersebut belum secara operasional memberikan

jaminan bagi kelangsungan dan pelestarian MHA di berbagai daerah. Menurut Greg

Acciaioli pengaturan dan penghormatan MHA dalam berbagai UU tidak pernah

terealisasi secara konkret. Selain tidak ada peraturan pelaksana seperti peraturan

pemerintah, juga pedoman dan mekanisme pengakuan MHA tidak pernah dibuat.

Kecenderungan tersebut membiarkan MHA tanpa prosedur dan mekanisme yang jelas

adalah upaya membiarkan MHA tidak memiliki kedaulatan yang semestinya.47

46 Ricardo Simarmata. Perlindungan Hak-Hak Dasar Masyarakat Adat Dalam Per-UU Nasional: Catatan Kritis. Dosen

Pengajar HAM di Indonesia. PUSHAM UII, kerjasama dengan Norsk Senter for Menneskerettigehetr Norwegian Centre for Human Rights. Yogyakarta, 21-24 Agustus 2007

47 Acciaioli Gregory L. Loc.Cit, hlm : 61.

Page 37: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

37

Nasib masyarakat hukum adat sampai saat ini belum mengalami perubahan

signifikan. Pertama, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat

sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 1945 belum

dapat diimplementasikan, dan karena itu MHA belum memperoleh manfaat nyata.

Kedudukan MHA subyek hukum (legal standing) bukan saja tidak memiliki

kewenangan untuk menguasai sesuatu hak milik, tetapi juga mereka tidak dapat

berperkara di pengadilan. Padahal, UU No 24 tahun 2002 tentang Mahkamah

Konstitusi memberikan peluang pada MHA untuk dapat berperkara di Mahkamah

Konstitusi RI. Dalam beberapa kasus, MHA mengajukan pengujian materiel (judicial

review) UU terhadap UUD 1945 pada MK RI. Namun tidak satupun ada yang

diterima usulan uji materiel mereka). Bukan saja unsur-unsur hukum adat antara yang

satu dengan yang lain tidak mudah dipersatukan, juga belum ditemukan metode

penentuan MHA apakah secara komulatif seluruh syarat wajib dipenuhi atau wajib

alternatif, hanya sebagian syarat yang terpenuhi.

Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI mengatakan bahwa sukarnya

menentukan MHA sebagai legal standing karena tidak adanya satu kesatuan

pemahaman karena sifat hukum adat, disebabkan tiap daerah berbeda-beda. Jika

dalam suatu kasus, misalnya, unsur-unsur MHA dipandang telah memliki syarat yang

ditentukan, belum tentu syarat-syarat yang telah dibuat tersebut memiliki kecocokan

dengan kasus yang ada di tempat lain. Sampai saat ini, menentukan syarat-syarat

MHA, sebagai subyek hukum masih mengalami kesulitan.

Peluang lahirnya 109 Perda-Perda Adat di berbagai daerah di Indonesia

memang terkesan menggembirakan mengingat semangat otonomi daerah tidak

sekedar berkaitan dengan peningkatan peran pemerintahan daerah dalam aspek politik

Page 38: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

38

dan ekonomi atau keuangan daerah. Tetapi juga berimbas pada lahirnya Peraturan-

Peraturan Daerah, baik secara umum maupun secara khusus yang berbasis hukum

adat. Dalam beberapa kasus Perda Adat tentang Kedudukan Masyarakat Baduy di

Kecamatan Cikeusik, kabupaten Pandeglang Provinsi Banten, dan Perda tentang

Tanah Toa, di Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan juga terlindungi secara efektif.

(Terdapat Perda-Perda Adat yang dapat berlaku efektif di berbagai daerah masing-

masing, namun kondisi demikian ini hanya berlaku terbatas pada wilayah-wilayah

yang luas tanah dan jumlah pendudukanya tidak begiktu banyak.

Namun, Perda-Perda Adat yang tumbuh berkembang di sekitar 27 Provinsi

bukan sekedar tidak dapat berfungsi efektif memberikan kepuasan bagi upaya

mensejahterakan masyarakat daerah, tetapi justru Perda-Perda Adat kontra-produktif.

Tidak sedikit dari sebagian masyarakat adat menolak penggunaan tanah-tanah yang

telah diberikan izin Kuasa Pertambangan (KP) dari Menteri Kehutanan. Konflik

antara masyarakat adat dengan pemerintah daerah di Provinsi Lampung, akibat para

investor yang telah memiliki KP tidak dapat menggunakan karena mendapatkan

hadangan dari sebagian oknum masyarakat. Dalam suatu diskusi di bulan Ramadhan

6 Jumat, Agustus 2011 di Universitas Negeri Lampung, Bandar Lampung, Bapak

Gubernur menyampaikan persoalan pelik agar para akademisi dapat membantu

memecahkan persoalan atas klaim beberapa kepala adat yang menghambat

penggunaan dan pemanfaatan lahan untuk kepentingan usaha pertambangan batubara

dan lainnya.

Adapun beberapa faktor yang menghambat aktualisasi MHA antara lain

sebagai berikut. Pertama, Aktualisasi bukan sekedar membangkitkan sesuatu nilai

atau norma adat yang sudah usang dan kuno, tapi lebih pada upaya untuk

Page 39: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

39

mengembalikan menyegarkan kembali peran dan fungsi masyarakat hukum adat ke

dalam jati dirinya, dengan mencegah kepunahan nilai-nilai adat melalui upaya

formalisasi nilai-nilai dan norma-norma adat ke dalam peraturan hukum tertulis

sebatas persoalan pengakuan dan penghormatan.48

Kedua, reaktualisasi dalam bentuk pengakuan diberikan oleh pemerintah

pusat secara konkrit. Dengan konsistensi dan komitmen untuk menindak lanjuti teks

yuridis ke dalam upaya mengakomodir adanya mutual simbiosis antara kepentingan

atau manfaat negara terhadap masyarakat hukum adat, sebagai basis lahirnya negara-

bangsa Indonesia. Sedangkan bentuk penghormatan terhadap masyarakat hukum adat

wajib dianugrahkan sebagaimana jaminan negara untuk tidak memperlakukan

masyarakat hukum adat diskriminatif, melainkan patuh pada asas equality before the

law, meskipun masyarakat hukum adat tergolong minoritas.

Untuk memberdayakan MHA, tidak lain harus dilakukan identifikasi

terhadap berbagai faktor filosofis, sosiologis, historis, politis, dan juga yuridis yang

dapat menetapkan MHA sebagai subyek hukum (legal standing) yang dapat

menguasai dan melakukan tindakan hukum di pengadilan dan beracara di MK RI.

Upaya untuk mereaktulisasikan MHA telah mendapatkan dukungan dari masyarakat

internasional melalui kebijakan meratifikasi Konvensi internasional ke dalam sistem

hukum nasionalnya dari tingkat Hukum Dasar. Sehingga negara melalui UU

diwajibkan mengakomodir perlindungan hak-hak masyarakat adat. Sebagaimana

halnya, tanah Hak Ulayat Nagari di Minangkabau49

, dan sejenisnya di tempat lain.

48 Acciaioli Gregory Minako Sakai, Regional Responses To Resrgence of Adat Movements in Indonesia. In Beyond Jakarta:

Regional Autonomy and Local Societies in Indonesia. Minako Sakai (ed), Crawford House Publishing. Adelaide. 2002

49 Akmal, 2007, Eksistensi, Hak dan Dasar Hukum Masyarakat Hukum Adat Provinsi Sumatra Barat., dalam Mengurai

Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi-Perspektif). Kata Pengantar Artidjo Alkostar, Yogyakarta, Penerbit

Pusham UII, hlm: 446.

Page 40: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

40

Namun, dorongan tersebut belum cukup memadai untuk mengaktualisasikan MHA

jika prosedur dan mekanisme pengakuan dan penghormatan tidak legitimit.

Pertumbuhan Perda-Perda Adat kontroversial sebagai terobosan hukumdan

sejenisnya tidak dapat dicegah. Adanya kekosongan peraturan perundang-undangan

di tingkat pusat, berakibat pengakuan dan penghormatan terhadap MHA dalam

tingkat implementasi sangat lemah. Sehingga mendorong hadirnya nilai-nilai

demokrasi (partisipasi membuat perda adat) di tingkat daerah. Namun, karena

kurangnya koordinasi dan sinkronisasi, perda-perda yang lahir menimbulkan masalah

baru. Perda-Perda Bermasalah, baik karena kaburnya muatan materinya Perda atau

karena persoalan prosedur dan mekanisme yang tidak dipatuhi secara tepat dan

benar50

.

Keberadaan masyarakat hukum adat ini dapat dinilai sangat strategis. Untuk

meningkatkan pemberdayaannya, perlu kiranya diadakan inventarisasi secara

nasional. Meskipun UU Pemerintah daerah telah mengakui penentuan masyarakat

hukum adat tidak terlalu tepat memberikan kewenangan itu kepada pemerintah

daerah tanpa pedoman substantif yang dapat dijadikan pegangan menyeluruh. Jika

mati hidup suatu masyarakat hukum adat sepenuhnya diserahkan kepada regulasi

setingkat kabupaten dan kota tanpa rambu-rambu yang jelas, tentulah cukup besar

resikonya. Tanpa adanya pedoman substantif yang menyeluruh dapat terjadi

diskriminasi terhadap masyarakat adat hanya karena pembedaan penafsrian yang

dilakukan pemda51

.

50 Zuhroh Siti dan Eko Prasojo, 2010, Kisruh Peraturan Daerah: Mengurai Masalah dan Solusinya . Ombak, Jogyakarta dan

The Habibie Center. 51 Asshiddiqie Jimly, Op.Cit, hlm : 821.

Page 41: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

41

BAB III

PROSEDUR DAN MEKANISME FORMALISASI PERDA ADAT

Dalam bab ini akan dikemukakan tentang prosedur mekanisme formalisasi

peraturan daerah berdasarkan hukum adat. Adapun maksud dan tujuan dari bab ini

adalah memberikan jawaban atas perumusan masalah ketiga, yaitu bagaimana

formalisasi hukum adat menjadi suatu peraturan daerah yang memiliki status

sederajat dengan sistem hukum nasional, hukum Islam dan hukum warisan Belanda.

Dari 109 Perda Adat tersebut, maka pembahasannya dikelompokan menjadi

(1) Hak inisiatif perda adat; (2) Jenis-jenis perda adat; (3) Perda adat tanah ulayat dan

hak-hak adat; (4) Perda lembaga adat; (5) Perda pemberdayaan adat, dan (7) Perda

adat penanganan sengketa.

3. 1. Prosedur, Mekanisme dan Pengesahan Perda Adat

Sejak era reformasi bergulir pada tahun 1998, banyak peraturan perundang-

undangan yang lahir untuk mengakui keberadaan dan hak-hak Masyarakat Hukum

Adat (MHA) dan pengaturan terhadap hak-hak tradisional adat. Pengaturan dan

pengakuan terhadap hukum adat tersebut, tertuang dalam UU Kehutanan, UU

Pertambangan, UU SDA dan UU Perkebunan. Namun, prosedur dan mekanisme

pengakuan sehingga masyarakat adat dapat berfungsi dan memainkan peranan atas

hak-hak tradisionalnya, tampaknya belum ada. Sebagaimana halnya UU tentang

Perlindungan Masyarakat Adat barulah sekedar wacana. Namun, diberbagai daerah

terbukti telah berkembang pengaturan tentang Peraturan daerah tentang adat.

Page 42: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

42

Sejak tahun 1999 sampai dengan 2011, terdapat sekitar 109 perda adat.

Keterlibatan penuh dari masyarakat dari saat proses perumusan/perancangan hingga

tahap pengesahan dan implementasi suatu peraturan daerah terkait pengakuan hukum

atas hak-hak tradisional masyarakat adat menjadi sangat menarik. Dalam

pembentukan perda adat, komunitas MHA diberi kesempatan dan terlibat langsung

serta memberikan pengawasan, tidak sekedar dalam bentuk sosialisasi maupun public

hearing, tetapi juga secara aktif dilibatkan dalam menentukan muatan materinya.

Untuk sampai pada tujuan pembuatan perda adat, dibutuhkan kebersamaan dan

kekuatan masyarakat yang kuat nan solid untuk senantiasa mengawal kebijakan-

kebijakan. termasuk implementasi pengakuan hukum hak-hak MHA yang

dimaksudkan sebagai upaya meredam dinamika negatif persekutuan antara Negara

dengan Pengusaha.

Pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat,

tidak dapat dilepaskan dari pengaturan hukumnya. Polemik mengenai keberadaan

MHA ditenggarai bersumber karena tidak adanya produk hukum atau peraturan

perundangan yang mengatur mengenai keberadaan MHA tersebut. Produk hukum

perundang-undangan yang mengatur mengenai adat ini, hanya tampak sebagai

minoritas dari sistem hukum yang tamak dan tidak berpihak kepada MHA. Atau

dalam kata lain, keberadaan masyarakat adat sebagai masyarakat asli suatu daerah

menjadi terpinggirkan dan semakin tergerus keberadaannya.

Pengaturan tentang MHA telah tertuang dalam Pasal 18B ayat (2), pengakuan

bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya dan juga dalam BAB XA tentang Hak Azasi Manusia

pada pasal 28I ayat (3) tentang pengakuan identitas budaya dan hak masyarakat

Page 43: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

43

tradisional. Pasal-pasal tersebut tampak adanya pengakuan atas keberadaan

Masyarakat Adat dan tatanan adatnya dan memberikan peluang bahwa sangat

dimungkinkan pengaturannya melalui undang-undang. Namun, dalam tingkat

implementasinya belum tampak adanya kemauan politik dari Pemerintah Pusat untuk

memperjuangkan eksistensinya, MHA memerlukan perangkat hukum atau produk

perundangan untuk menjadi bukti nyata pengakuan hak-hak tradisionalnya. Sebagai

pengesahannya, perwujudan dari pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan

MHA di Indonesia, dibentuklah Peraturan Daerah Adat, yang secara khusus mengatur

mengenai kebiasaan, tradisi, hak-hak adat, serta kebudayaan adat secara lokal dari

setiap MHA di Indonesia.

Di tingkat lapangan, proses pembuatan Peraturan Daerah Adat tersebut,

hampir kebanyakan menemukan kendala. Ketidakpedulian wakil rakyat untuk

menyuarakan hak dan kepentingan masyarakat adat adalah seperti dalam proses

pembuatan Peraturan Daerah tentang Hak Ulayat Kabupaten Sintang. DPRD

setempat berargumentasi bahwa ketiadaan dana menjadi alasan, sebagaimana halnya

keraguan akan kepastian hukum setelah adanya perda. Hak-hak masyarakat atas tanah

yang didasarkan atas hak ulayat belum ada jaminan kepastian hukum dan jaminan

keadilan. Hal ini menjadi berbahaya, mengingat Perda tersebut adalah kebutuhan

kekinian52

.

Diakui bahwa perkembangan masyarakat desa hutan dewasa ini sebagai

dampak interaksi sosial, ekonomi dan budaya dengan berbagai pihak; juga berakibat

pada perubahan tata nilai dan perilaku, dimana sebagian diantaranya dirasa tidak lagi

mencerminkan tata nilai dan perilaku masyarakat hukum adat. Akibat perubahan

52 Victor Emanuel. Akademisi : Pemerintah Tidak Serius Garap Perda Ulayat, diakses dari http://www.kalimantan-

news.com/berita.php?idb=11149

Page 44: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

44

status masyarakat adat juga dapat menimbulkan berbagai persoalan yang bermuara

pada terjadinya konflik-konflik sosial, baik konflik horisontal maupun konflik

vertikal. Karena itu, Forum diskusi sepakat untuk mendesak pemerintah, baik

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah agar segera mengeluarkan peraturan

pelaksana yang mengatur tentang kepastian dan kejelasan keberadaan masyarakat

hukum adat beserta hak ulayatnya. Misalnya, kepastian status dan fungsi suatu

kawasan hutan serta peran dan kedudukan setiap stakeholder dalam kegiatan

pengelolaan hutan perlu diatur secara tegas.

Terdapat beberapa contoh proses pembentukan Perda Adat dengan hak

inisiatif DPRD yang antara lain :

a) Inisiatif pengajuan perda oleh Kesatuan Adat Banten Kidul dibantu Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sukabumi mengenai Konflik

Taman Nasional Gunung Halimun dan Salak (TNGHS) dan masyarakat adat di

Kabupaten Sukabumi53

. Dalam kasus ini, organisasi MHA di Banten Kidul

telah memainkan peranan dalam menginisiasi Perda Adat. Tentu saja, peran

DPRD dan Pemerintah tidak dapat diabaikan.

b) 10 Rancangan Peraturan Adat (Perdat) Kabupaten Kampar, diusulkan oleh

Lembaga Adat Kabupaten Kampar. Rancangan Perda Adat tersebut, (1)

Ranperda tentang musik acara pesta pernikahan, (2) tempat makan acara

pernikahan, (3) wajib berpakaian muslim dalam acara pesta pernikahan, (4)

harus pulang mamak bagi orang luar yang akan menikah, (5) wajib berjilbab

dan haram bercelana ketat bagi kaum perempuan, (6) minuman keras, (7) wirid

persukuan disetiap kenegeraian, (8) surat hak ulayat sebelum terbit SKT desa,

53 Warga Adat Terus Perjuangkan Hak Ulayat, diakses dari

http://www.dishut.jabarprov.go.id/?mod=detilBerita&idMenuKiri=&idBerita=1286

Page 45: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

45

(9) bangunan Pemda atau swasta harus melambangkan ciri khas adat Kampar,

serta (10) memfungsikan kembali hukum adat dan denda adat di masyarakat54

.

Dari sepuluh Perda Adat di Kabupaten Kampar, peran lembaga adat tidak saja

terbatas pada kepentingan MHA dan budaya lokal seperti kesenian, tetapi juga

tampak jelas terkait dengan upaya mengartikulasikan kebutuhan perlindungan

terhadap hukum Islam. Menariknya, baik DPRD maupun Bupati tidak menolak,

justru memberikan persetujuan atas lahirnya Perda-perda adat tersebut.

c) Di Kutai Barat, inisiasi pembuatan Perda No. 18 Tahun 2002 Tentang

Kehutanan Kabupaten Kutai Barat datang dari masyarakat bersama pemda.

Pemda dalam hal ini betul-betul melibatkan publik dengan membentuk tim

penyusun yang tergabung dalam Kelompok Kerja Pembangunan Kehutanan

Daerah (KK-PKD) yang terdiri atas anggota perwakilan dinas-dinas pemda,

ornop, akademisi, tokoh masyarakat, dan tokoh adat.55

Sedangkan dalam proses

pembentukan atas lahirnya Perda adat di Kabupaten Kutai Barat, berpangku

pada empat pilar. Selain peran masyarakat adat, akademisi dan Ornop, juga

DPR dan jajaran aparat Pemerintah daerah.

Mengacu pada kenyataan penyusunan Raperda yang dilakukan selama ini,

keterlibatan publik atau masyarakat jelas merupakan suatu keharusan, meski bukan

merupakan kewajiban hukum. Jika pun ada pelibatan publik, hal tersebut cenderung

hasil dari pendekatan dan terkadang ‘tekanan’ dari publik – baik itu ornop maupun

masyarakat yang berkepentingan langsung terhadap peraturan tersebut. Namun

demikian, dalam pelibatan publik ini masih belum ada jaminan apa yang menjadi

aspirasi masyarakat akan tertulis dalam produk final Perda dapat diimplementasikan.

54 Lembaga Adat Rancang 10 Perda, diakses dari http://pekanbaru.tribunnews.com/2010/11/02/lembaga-adat-rancang-10-perda 55 Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek. Manual PHR oleh Q-Bar, LBBT, RMI, PPSHK Kalbar,

Komite HAM Kaltim, LP2S, YBJ Bantaya, ptPPMA, HuMa. Dikutip dari http://www.huma.or.id

Page 46: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

46

Penyusunan peraturan daerah yang lebih menekankan pada proses teknisnya, dan

bukan pada substansi sehingga kepentingan yang dibawa oleh Perda tersebut belum

tentu bermanfaat. Pihak-pihak yang seharusnya dilibatkan malah tidak diikutkan

sebagai indikator timbulnya pertentangan. Hal ini pada akhirnya tidak jarang

melahirkan konflik yang berkepanjangan dan berakibat menjadi penghambat dalam

pengimplementasiannya.

Ketidakpaduan pandangan terkait dengan rancangan Perda adat antara

lembaga adat dan pihak terkait lainnya, timbul bukan saja disebabkan karena

ketidakpahaman masyarakat (meskipun partisipasi masyarakat telah diatur dalam UU

No 10 Tahun 2009). Tetapi juga disebabkan oleh kemampuan yang minim dan

elitisme pembuat peraturan di tingkat daerah turut menyumbang sempitnya ruang

partisipasi bagi publik. Penyelenggaraan dengan birokrasi model lama masih

mendominasi, sehingga proses penyusunan peraturan yang seharusnya dimungkinkan

melibatkan publik lebih terbuka, tetapi justru tidak terjadi. Karena itu, tidak jarang

jika isi raperda tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

Konsekuensi dari lemahnya pemahaman masyarakat adat dan pemerintah

daerah dalam memahami UU No 10 tahun 2009, berakibat dalam setiap pembuatan

perda tidak memiliki Naskah Akademik, perumusan teknis ke dalam Pasal, serta

prosedur uji publik dan proses pengesahannya tidak mengikuti prosedur yang

seharusnya. Dengan demikian, hak inisiatif pembuatan Perda Adat pada dasarnya

bervariasi. Akan tetapi peran MHA atau lembaga-lembaga adat tampak dominan.

Keberhasilan pembentukan perda tidak luput selain dari DPRD, Bupati, juga

organisasi LSM. Hadirnya dukungan tersebut juga ditentukan oleh motif-motif terkait

kepentingan (hutan, ajaran agama, dan lainnya).

Page 47: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

47

3. 2. Jenis Perda-perda Adat

Dari 109 Perda berkaitan dengan pengaturan adat, (1) Peraturan Daerah Adat

yang dibuat Pemerintah tingkat Provinsi sebanyak 20 Perda (18.34%); (2) Perda Adat

oleh Pemerintah tingkat Kabupaten sebanyak 85 Perda (77.98%); dan 4 Perda

(3.66%) dibuat oleh Pemerintah tingkat Kota.

Tabel 1. Pembuatan Perda Adat Provinsi, Kabupaten dan Kota.

No Regio Pemerintahan Perda Jumlah Perda Persentase

1 Provinsi 20 18.34%

2 Kabupaten 85 77.98%

3 Kota 4 3.66%

Total 109

Adapun Pemerintah daerah provinsi sebagai penyumbang Perda adat

terbanyak (1) Sumatera Barat sebanyak 19 Perda (17.59%); (2) Provinsi Kalimantan

Tengah dengan jumlah 9 Perda (8.33%); (3) Provinsi Lampung dengan jumlah 8

Perda (7.41%); (4) Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Sulawesi Selatan dengan

jumlah masing-masing 7 Perda Adat (6.48%); (5) Provinsi Jambi, Provinsi Maluku

dan Provinsi Papua dengan jumlah masing-masing 6 Perda Adat (5.56%), Provinsi

Sumatera Selatan dengan menerbitkan 5 Perda Adat (4.63%); dan (6) Provinsi NAD

dan Kepulauan Bangka Belitung dengan 4 Perda Adat (3.70%). Provinsi Jawa Barat

dan Nusa Tenggara Timur dengan 3 Perda Adat (2.78%). Provinsi Riau, Bengkulu,

Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan

Provinsi Maluku Utara dengan diterbitkannya masing-masing sebanyak 2 Perda Adat

(1.85%). (7) Sedang Provinsi yang paling minim memberlakukan Perda Adat adalah

Page 48: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

48

Provinsi Jawa Timur, Banten, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi

Barat, dan Provinsi Papua Barat dengan besaran pemberlakuan Perda Adat masing-

masing 1 Perda (0.93%).

Tabel 2. Perda Adat berdasarkan Regio Provinsi diundangkan.

Interval Regional Perda Jumlah Perda Persentase

I Sumatera Barat 19 17.59%

II

Kalimantan Tengah

Lampung

9

8

8.33%

7.41%

III

Kalimantan Timur

Sulawesi Selatan

Jambi

Maluku

Papua

7

7

6

6

6

6.48%

6.48%

5.56%

5.56%

5.56%

IV

Sumatera Selatan

NAD

Kep. Bangka Belitung

Jawa Barat

Nusa Tenggara Timur

5

4

4

3

3

4.63%

3.70%

3.70%

2.78%

2.78%

V

Riau

Bengkulu

Jawa Tengah

Nusa Tenggara Barat

Kalimantan Barat

2

2

2

2

2

1.85%

1.85%

1.85%

1.85%

1.85%

Page 49: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

49

Kalimantan Selatan

Maluku Utara

Jawa Timur

Banten

Bali

Sulawesi Tengah

Sulawesi Tenggara

Sulawesi Barat

Papua Barat

2

2

1

1

1

1

1

1

1

1.85%

1.85%

0.93%

0.93%

0.93%

0.93%

0.93%

0.93%

0.93%

VI Sumatera Utara

Kepulauan Riau

DKI Jakarta

D. I. Yogyakarta

Sulawesi Utara

Gorontalo

0

0

0

0

0

0

0%

0%

0%

0%

0%

0%

TOTAL 109 Perda

Hasil Penelitian Februari 2012

Berdasarkan pada 6 (enam) interval kelompok Provinsi yang mengeluarkan

Perda adat, telah mengindikasikan pada lahirnya karakter masyarakat yang masih

memiliki komitmen tinggi dan bahkan terendah terhadap kesadaran hukum adat.

Pertama, Provinsi Sumatera Barat tergolong daerah yang memiliki kesadaran

hukum adat tertinggi menunjukan bahwa pemahaman masyarakat terhadap kaidah

adat Basandi Sara dan Syara bersandi Kitabullah masih tetap relevan. Tentu saja

meskipun penelitian ini belum sampai pada melihat terjadinya perubahan, atau

pengaruh budaya modern. Keterlibatan masyarakat, pemerintah daerah, DPRD dalam

Page 50: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

50

pembuatan perda adat merupakan bukti pengejawantahan dari kesadaran adat

tersebut.

Fakta bahwa hilangnya peran Nagari, tergesernya kepemilikan hak tanah

ulayat, dan lainnya menunjukan hubungan korelasi dengan kemungkinan Masyarakat

Minangkabau untuk mengembalikan peran adat dalam konteks masyarakat dan

pemerintahan modern. Tuntutan agar aparat Nagari menjadi Pegawai Negeri Sipil

membuktikan kecenderungan MHA di Sumatera Barat untuk di modernisasikan.

Kedua, kelompok interval kedua provinsi yang banyak mengeluarkan Perda

Adat yaitu Kalimantan Tengah dan Lampung. Di kedua provinsi ini, perda ada yang

disahkan bukan saja timbul merupakan hasil dari kesadaran masyarakat adat,

pemerintah daerah, Gubernur dan DPRD, tetapi juga masyarakat dan kelompok LSM

lainnya. Muatan materi yang terkait dengan obyek hukum adat, lembaga adat dan

kewenangannya, juga terkait dengan pengelolaan hutan (hutan adat), tanah ulayat

atau tanah tembawang, juga dengan tradisi seni budaya merupakan ciri-ciri utama

yang berfungsi mencegah terjadinya pemusnahan atas obyek-obyek adat yang

cenderung tergeser oleh proses modernisasi. Krisis penebangan hutan di Kalimantan

Tengah dan di Lampung akibat tanah-tanah digunakan kelapa sawit merupakan fakta

yang dapat menggusur hilangnya hak-hak adat atas tanah.

Ketiga, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Jambi, Papua dan Maluku

tergolong daerah-daerah yang memiliki komitmen menengah (moderate) terhadap

hukum adat. Komitmen tersebut ditandai oleh adanya kesepahaman masyarakat,

pemerintah daerah dan LSM terhadap hukum adat, juga karena mereka merasa bahwa

sebagian nilai-nilai adat masih perlu dipertahankan dalam upaya mencegah

modernisasi dan demobilisasi. Tentu saja selain obyek yang dilindungi oleh Perda

Page 51: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

51

Adat terkait dengan nilai-nilai budaya lokal, tanah dan hutan, juga masalah moralitas

menjadi kepedulian masyarakat di Sulawesi dengan tradisi Siri’nya (budaya malu),

peran perda adat dapat melindungi terlestarikannya nilai-nilai adat. Sebagaimana

halnya di Jambi dan Kalimantan Timur, hak ulayat tanah dan hutan menjadi ciri dari

perda adat.

Keempat dan kelima, tergolong daerah-daerah yang menempatkan perda adat

tetap penting untuk diadakan dalam upaya mencegah timbulnya pengikisan adat,

tradisi dan budaya lokal, yang obyek-obyeknya tersebut berkesesuaian dengan

kategori pertama, kedua dan ketiga. Namun, moderniasasi yang terjadi di daerah-

daerah tersebut tampaknya telah menjadi faktor penting dalam memudahkan

masyarakat terhadap nilai-nilai adat. Tiadanya klaim tanah adat, hukum adat,

termasuk lembaga-lembaga adat adalah memberikan pembenaran teoritis, akan

pentingnya perangkat nilai modern dipergunakan dalam kehidupan masyarakat.

Misalnya, masyarakat Bali, Jawa Timur dan Banten tergolong provinsi yang

mengesahkan Perda-perda adat. Hal ini sama dengan Sulawesi Tengah, Papua Barat,

Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Namun, dapat dipahami mengapa keempat

provinsi ini rendah komitmennya terhadap persoalan hukum adat, mengingat sistem

pemerintahan belum berlangsung lama, sehingga tidak dapat dipandang nilai-nilai

modern di keempat provinsi tersebut telah menggeser nilai-nilai adat atau boleh jadi

nilai-nilai adat masih terasa kuat peranannya, sehingga pengaruh nilai modern belum

dirasakan dampaknya terhadap masyarakat adat dan hukum adat lainnya.

Pada interval terakhir, dimana tidak ada pembentukan Perda adat yaitu

Provinsi Sumatera Utara, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, D.I.Yogyakarta, Sulawesi

Utara, dan Gorontalo. Kekosongan terkait persoalan hukum adat tidak berarti

Page 52: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

52

Provinsi-provinsi tersebut mengacuhkan keberadaan masyarakat adatnya. Sebagai

contoh, di Provinsi D.I.Yogyakarta kebaradaan masyarakat hukum adat ada dan

masih hidup didalam kehidupan bermasyarakat. Namun, hukum adat yang berlaku

adalah sebatas hukum adat tidak tertulis. Selain itu, tidak terlepas pula dari

tergerusnya keberadaan masyarakat adat seperti yang terjadi pada masyarakat adat

Betawi, sebagai masyarakat asli di DKI Jakarta.

Tabel 3. Perda Adat berdasarkan Tahun diundangkan

Interval Tahun Perda Jumlah Perda Persentase

I 2000 dan 2001 28 24.35%

II 2008 19 16.52%

III 2007 14 12.17%

IV 2003 dan 2006 6 5.22%

V 2009 4 3.48%

VI 1998-1999, 2002, 2004, dan 2005

2010 dan 2011

2

1

1.74%

0.87%

Total 109 Perda

Berdasarkan produktivitas diundangkannya Peraturan Daerah di 27 Provinsi di

Indonesia, dengan merujuk pada interval tertinggi pemberlakuan Perda Adat adalah

Tahun 2000 sebanyak 28 Perda Adat (24.35%) dengan regio tingkat pembentukan

adalah 25 Perda tingkat Kabupaten, 1 Perda tingkat Provinsi, dan 1 Perda tingkat

Kota. Trend tertinggi adalah pemberlakuan Perda Adat mengenai Pelestarian Adat

Istiadat dan Lembaga Adat. Kecenderungan meningkatnya pemberlakuan Perda Adat

tersebut tidak lain karena timbulnya sengketa adat yang timpang tindih. Melalui

Page 53: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

53

pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat yang hidup dan

berkembang demi mewujudkan masyarakat hukum adat yang berbudaya dan

sejahtera. Selain itu, agar kultur kebudayaan dan sejarah yang sudah ada seperti

negara-negara yang sudah maju tetap terjaga dan terlestarikan dengan baik.56

Pemberlakuan dengan interval tertinggi juga dapat dilihat di tahun 2001

sebanyak 28 Perda Adat (24.35%) mengacu pada pembuatan 27 Perda tingkat

Kabupaten dan 1 Perda tingkat Provinsi. Kecenderungan tingginya produktivitas

pemberlakuan Perda Adat di tahun 2001 ini adalah masih mengenai Pelestarian Adat

Istiadat dan Lembaga Adat, pengaturan mengenai Pemerintahan Nagari, Lembaga

Adat Kebudayaan Aceh, dan Kademangan di Kabupaten Kapuas. Serta tidak kalah

pentingnya diberlakukan pada tahun tersebut mengenai pemberlakuan Perda

Kabupaten Lebak Banten mengenai Hak Ulayat Masyarakat Adat Baduy, dan Perda

Provinsi Kalimantan Tengah tentang Penanganan Dampak Konflik Etnik yang terjadi

akibat terjadinya konflik sosial antar suku di Kalimantan.

Di tingkat interval menengah pemberlakuan Perda Adat di Indonesia, adalah

tren meningkatnya kembali jumlah pemberlakuan Perda Adat di tahun 2008 dengan

jumlah total sebanyak 19 Perda Adat (16.52%). Sebanyak 5 Perda Adat tingkat

Kabupaten, 12 Perda Adat tingkat Provinsi, dan 2 Perda Adat tingkat Kota. Tren

meningkatnya pemberlakuan Perda Adat di tahun tersebut adalah diterbitkannya

beberapa Perda Adat di Provinsi Papua, sebagai imbas dari adanya Otonomi Khusus

Provinsi Papua dengan diberlakukannya Perda tentang Hak Ulayat, Perda tentang

peradilan adat di papua, tentang pelaksanaan tugas dan wewenang Majelis Rakyat

Papua (MRP), dan Perda mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban MRP. Di pihak

56 Lihat http://buanasumsel.com/dewan-pemangku-adat-dan-pembina-dilantik/

Page 54: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

54

lain, pemberlakuan mengenai pemanfaatan tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat,

pemberlakuan beberapa Perda Adat mengenai Pemerintahan Nagari di Kabupaten

Provinsi Sumatera Barat dan Kota Ambon. Namun, pada tahun tersebut

pemberlakuan Perda Adat juga masih didominasi Perda Adat mengenai

pemberdayaan, pelestarian, dan perlindungan adat istiadat dan lembaga adat.

Peningkatan tren pemberlakuan Perda Adat pada tahun 2008 tersebut, tidak

terlepas dari banyaknya pemberlakuan Perda Adat pada tahun 2007 dengan sebanyak

14 Perda Adat (12.17%). Pada tahun 2007, sebanyak 13 Perda tingkat Kabupaten dan

1 Perda tingkat Provinsi diberlakukan. Tren pemberlakuan Perda Adat didominasi

tentang Pemerintahan Nagari, Kelembagaan Adat Marga, Kademangan, dan Lembaga

Adat Melayu Jambi. Timbulnya berbagai permasalahan adat dalam pengelolaan

sumber daya alam dan eksistensi masyarakat adat di Sumatera Barat, menjadi dasar

yang kuat atas tumbuhnya Perda-perda Nagari tersebut.

Perkembangan Perda Adat yang cenderung mengalami kenaikan dan

penurunan selama masa reformasi ini, ditunjukan dengan minimnya dan jaraknya

interval antara produktivitas pemberlakuan Perda Adat disetiap tahunnya. Sejak

meningginya tren pemberlakuan Perda Adat pada tahun 2000-2001, berikutnya tidak

diikuti dengan perkembangan positif dalam perkembangan Perda Adat di Indonesia.

Tahun 2002 hingga 2006, perkembangan Perda Adat di Indonesia cenderung

menurun drastis dibanding tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari grafik yang

statis antara tahun tersebut, dengan maksimal pemberlakuan Perda Adat sebanyak 2

Perda (1.74%) dan 6 Perda (5.22%).

Penurunan angka tersebut juga terjadi sejak tahun 2009 hingga 2011.

Meskipun tidak banyak diberlakukan, sebanyak 4 Perda Adat (3.48%) diundangkan

Page 55: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

55

pada tahun 2009. Namun, tren tersebut tidak dapat dilanjutkan dengan baik pada

tahun berikutnya dengan maksimal diundangkan Perda Adat sebanyak 1 Perda

(0.87%) antara tahun 2010-2011. Sebuah kemunduran yang sangat drastis bagi

perlindungan dan pengakuan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia, suatu telaah

hukum dan kemanusiaan yang sudah seharusnya menjadi ciri ke-bhinekaan bangsa

Indonesia mengingat keragaman budaya dan juga masyarakat lokal yang tidak

terlindungi oleh produk perundang-undangan.

Tabel 4. Perda Adat berdasarkan Jenisnya.

No Kategori Perda Jumlah Perda Persentase

3 Pelestarian, Pengembangan, dan

Pemberdayaan Adat Istiadat.

52 47.71%

2 Lembaga Adat. 35 32.11%

5 Pengaturan Perangkat dan Tata

Lembaga Adat.

10 9.17%

1 Hak-hak Adat dan Tanah Ulayat. 9 8.26%

4 Prosesi Perkawinan, Pernikahan dan

Rumah Adat.

2 1.83%

6 Penyelesaian Sengketa Adat 1 0.92%

Total 109

Kajian mengenai Peraturan Daerah (Perda) mengenai Adat di Indonesia

dikategorikan menjadi 6 bagian. Pertama, Peraturan Daerah yang mengatur mengenai

Pelestarian, Pengembangan dan Pemberdayaan Adat Istiadat menjadi Perda yang

bernuansa Adat terbanyak dengan jumlah 52 Perda (47.71%). Kedua, Perda tentang

Page 56: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

56

pengaturan Lembaga Adat sebanyak 35 Perda (32.11%). Ketiga, Perda tentang

pengaturan Tata Pemerintahan Adat sebanyak 10 Perda (9.17%). Keempat, Perda

tentang pengaturan Hak-hak Adat dan Tanah Ulayat sebanyak 9 Perda (8.26%).

Kelima, Perda mengenai Prosesi Perkawinan dan Rumah Adat dengan 2 Perda

(1.83%), dan Perda mengenai penyelesaian sengketa adat sebanyak.

Hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh sebanyak 9 Perda (8.26%)

dari 109 Perda adat yang berkaitan dengan pengaturan tanah ulayat dan hak-hak adat

selama masa Reformasi (1998 – sekarang) di Indonesia. Tanah ulayat adalah bidang

tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.

Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat

hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana

kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber

daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.

Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan

batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut

dengan wilayah yang bersangkutan57

.

3. 3. Perda Adat di Tingkat Provinsi.

3. 3. 1. Hak Ulayat dan Hak Perorangan MHA di Papua.

Di Papua selain mengatur tentang hak ulayat bersama, juga diatur hak atas

tanah untuk perorangan. Hak tersebut diatur dengan Perda Khusus Papua No 23

Tahun 2008, bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan

warga masyarakat hukum adat atas tanah memiliki keterbatasan. Selama ini,

57 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_ulayat

Page 57: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

57

pemanfaatannya telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan

struktur penguasa, pemilikan dan penggunaan, kurangnya daya dukung lingkungan,

peningkatan konflik dan kurang diperhatikannya kepentingan masyarakat adat/lokal

dan kelompok masyarakat rentan lainnya. Adapun Pengakuan, penghormatan,

perlindungan, pemberdayaan dan pengembangan hak ulayat masyarakat hukum adat

dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah merupakan suatu

keniscayaan. Namun, implementasi dari penghormatan dan pengakuan tersebut

kurang jelas. Karena itu, pengakuan dan penghormatannya perlu dituangkan dalam

Peraturan Daerah khusus tentang hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak

perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah.

Dalam pengaturannya, Hak Ulayat dan Hak Perorangan warga masyarakat

hukum adat dijelaskan secara terpisah dalam Perda Khusus ini. Hak ulayat atas

kepemilikan tanah lebih khusus adalah sebagai hak persekutuan yang dipunyai

masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan

lingkungan hidup para warganya yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah

beserta segala isinya.58

Sedangkan pengertian Hak Perorangan warga masyarakat

hukum adat dalam kepemilikan atas tanah adalah hak yang dipunyai oleh warga

masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan

lingkungan hidupnya yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah beserta segala

isinya.

Untuk mendapatkan pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat

dan atau hak perorangan di Provinsi Papua, dilakukan yaitu oleh Panitia Peneliti

terdiri dari Para pakar hukum adat, Lembaga adat/tetua adat atau penguasa adat yang

58 Pasal 1 ayat (6) Peraturan Daerah Khusus Papua No 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak

Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.

Page 58: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

58

berwenang atas hak ulayat dan atau hak perorangan warga dari masyarakat hukum

adat yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Pejabat dari Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Pejabat dari Bagian Hukum Kantor

Bupati/Walikota dan Pejabat dari instansi terkait lainnya. Panitia tersebut ditetapkan

berdasarkan oleh Keputusan Bupati/Walikota atau oleh Keputusan Gubernur untuk

sebuah penelitian hak ulayat yang meliputi lintas kabupaten/kota59

.

Penelitian mengenai keberadaan tanah hak ulayat atau hak perorangan warga

masyarakat adat tersebut meliputi:

a. Tatanan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat hukum adat yang

bersangkutan serta stuktur penguasa adat yang masih ditaati oleh

warganya;

b. Tata cara pengaturan, penguasaan dan penggunaan hak ulayat masyarakat

hukum adat atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah

berdasarkan hukum adat asli masyarakat hukum adat yang bersangkutan;

c. Penguasa adat yang berwenang mengatur peruntukan dan penggunaan

serta penguasaan hak ulayat masyarakat hukum adat atau hak perorangan

warga masyarakat hukum adat atas tanah;

d. Batas-batas wilayah yang diakui sebagai hak ulayat masyarakat hukum

adat atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah

ditentukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan60

.

Kemudian berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan tersebut,

bupati/walikota atau gubernur menetapkan ada atau tidaknya hak ulayat masyarakat

hukum adat atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah melalui

keputusan bupati/walikota atau gubernur. Pengakuan terhadap hak ulayat belum

didasarkan pada penetapan bidang tanah, lebih didasarkan pada pengakuan hak ulayat

oleh masing-masing suku sehingga berpotensi timbulnya dualisme pengakuan hak

tanah ulayat pada bidang tanah yang sama. Sebagai konsekuensi dari pemberian

59 Lihat Victor Mambor, Mengakui atau Menihilkan Masyarakat Adat?, diakses dari http://tabloidjubi.com/arsip-edisi-

cetak/jubi-utama/3730-mengakui-atau-menihilkan-masyarakat-adat 60 Lihat Sulasi Rongiyati, 2007, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Investasi di Provinsi Papua, Jakarta, Pusat Pengkajian

Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, hlm : 11.

Page 59: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

59

otonomi khusus Papua yang menempatkan penghargaan pada masyarakat adatnya,

maka peraturan dan mekanisme pengakuan terhadap hak tanah ulayat rakyat Papua

harus dilakukan secara tegas dan jelas. Terkait dengan kepastian hukum, pemerintah

juga perlu mengedepankan upaya sertifikasi hak tanah ulayat di Papua.

Dalam Perda Khusus Provinsi Papua tersebut, diatur mengenai penyelesaian

sengketa hak ulayat. Penyelesaian yang dipergunakan atas sengketa tanah adalah

dengan menggunakan penyelesaian secara adat, penyelesaian sengketa melalui forum

penyelesaian sengketa masyarakat adat, dan terakhir melalui pengadilan atau diluar

pengadilan (arbitrase, negosiasi, maupun mediasi).61

Mengenai penyelesaian sengketa

adat melalui hukum adat, maka diselesaikan berdasar pada hukum adat setempat. Jika

para pihak yang bersengketa tunduk pada hukum adat berlainan dan memilih

penyelesaian secara hukum adat, maka penyelesaian tersebut dilakukan oleh forum

penyelesaian sengketa antar masyarakat hukum adat dan atau melibatkan para ahli

mengenai hukum-hukum adat kedua belah pihak62

. Secara umum, penyelesaian

sengketa melalui peradilan adat dilaksanakan secara musyawarah melibatkan tokoh-

tokoh adat setempat dengan harapan dicapai penyelesaian terbaik dan adil. Mengingat

dalam prakteknya upaya penyelesaian melalui pengadilan jarang memenangkan

tuntutan masyarakat (ulayat) karena dasar hukum dan alat bukti yang dimiliki oleh

mereka lemah.63

61 Peraturan Daerah Khusus Papua No 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga

Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Op.Cit, Pasal 14. 62 Peraturan Daerah Khusus Papua No 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga

Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Op.Cit, Pasal 14. 63 Sulasi Rongiyati, Op.Cit, hlm : 14.

Page 60: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

60

3. 3. 2. Perlindungan dan Pembinaan Kebudayaan Asli Papua.

Peraturan Daerah Provinsi Papua No 16 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan

Pembinaan Kebudayaan Asli Papua, diundangkan sebagai akibat dari timbulnya

pergeseran dan perubahan nilai akibat transformasi budaya luar yang masuk dan tidak

selaras dengan nilai-nilai adat budaya asli Masyarakat Hukum Adat Papua.

Beragam karya seni budaya asli masyarakat Papua belakangan ini mulai

terancam punah. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan pada suatu saat nanti seni

budaya masyarakat Papua itu hilang begitu saja karena tidak adanya regenerasi.

Dalam perkembangan masyarakat, sebagian sub kebudayaan tersebut telah mengalami

akulturasi dan inkulturasi. Ada beberapa budaya asli Papua yang mengalami

pergeseran. Contohnya, di Genyem Kabupaten Jayapura, warga asli Papua telah

mengubah pola makan papeda dengan tahu. Bahkan, ketika digelar Festival Danau

Sentani di Jayapura, kelihatan pelaku kesenian dan gelar budaya warga Papua adalah

orang-orang tua yang sudah uzur usianya64

. Oleh karena kebudayaan asli Papua

merupakan kekayaan bangsa Indonesia, maka harus ada upaya sistimatis dan terencana

untuk melakukan perlindungan, pembinaan dan pengembangan terhadap

kebudayaan tersebut.

Propinsi Papua memiliki keaneka ragaman budaya yang merupakan suatu

potensi yang besar selain potensi alamnya, untuk itu perlu perhatian baik dari segi

pembinaan maupun segi pelestariannya. Dengan memahami hakekat kebudayaan orang

asli Papua serta menyadari perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin pesat

maka untuk melindungi dan membina kebudayaan asli Papua diundangkan Peraturan

64 Lihat Ami Herman, Karya Seni Budaya Papua Terancam Punah. Diakses dari http://taadeers.blogspot.com/2011/03/karya-

seni-budaya-papua.html

Page 61: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

61

Daerah Provinsi Papua No 16 Tahun 2008 Tentang Perlindungan dan Pembinaan

Kebudayaan Asli Papua.

Penjelasan secara khusus yang terdapat dalam muatan Perda Provinsi Papua

tersebut diantaranya adalah :

1. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia

yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan atau orang yang

diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.

2. Kebudayaan asli Papua adalah hasil cipta, karsa dan karya orang asli Papua

yang hidup dan berkembang secara turun temurun dalam lingkungan

masyarakat adat.

3. Perlindungan kebudayaan adalah upaya untuk menjaga, memelihara

dan menegakkan kebudayaan asli Papua.

4. Pembinaan kebudayaan adalah upaya untuk mempertahankan dan

melestarikan kebudayaan orang asli Papua.

5. Pengembangan kebudayaan adalah upaya untuk menumbuhkembangkan

dan menyebarluaskan kebudayaan orang asli Papua sesuai dengan

perkembangan masyarakat65

.

Didalam ketentuan Perda Provinsi Papua dipaparkan bahwa upaya perlindungan

atas kebudayaan asli papua diberikan oleh Pemerintah Daerah. Kebudayaan asli Papua

merupakan hasil cipta, karsa dan karya orang asli Papua, perlindungan atas

kebudayaan asli Papua dilakukan terhadap :

a. Bahasa dan sastra.

b. Sistem peralatan hidup dan teknologi.

c. Sistem mata pencaharian hidup.

d. Organisasi sosial dan sistem kekerabatan.

e. Sistem pengetahuan.

f. Kesenian.

g. Kepercayaan66

.

Aspek-aspek kebudayaan tersebut di atas melambangkan jati diri orang asli

Papua dan tersebar mengikuti wilayah geografis Tanah Papua meliputi : zona

ekologi pesisir pantai, hutan bakau dan rawa, zona ekologi dataran rendah, zona ekologi

65 Lihat Ketentuan Umum Peraturan Daerah Provinsi Papua No 16 Tahun 2008 Tentang Perlindungan dan Pembinaan

Kebudayaan Asli Papua. 66 Ibid, Pasal 2 ayat (2)

Page 62: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

62

kaki gunung dan zona ekologi pegunungan. Atas dasar zona-zona tersebut,

kebudayaan asli Papua dikelompokan dalam 7 (tujuh) wilayah sub kebudayaan yaitu:

1. Kebudayaan Saireri.

2. Kebudayaan Tabi.

3. Kebudayaan La Pago.

4. Kebudayaan Me Pago.

5. Kebudayaan Bomberai.

6. Kebudayaan Anim Ha.

7. Kebudayaan Doberai67

.

Upaya perlindungan, pembinaan dan pengembangan dimaksud menjadi

kewajiban dari pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat adat,

dan orang-perorangan serta penduduk di Provinsi Papua. Upaya perlindungan

sebagaimana dimaksud pada ayat dilakukan melalui :

a. inventarisasi dan dokumentasi;

b. Pengakuan

c. Pendaftaran

d. Legalisasi

e. Pengumuman

f. litigasi68

.

Upaya pembinaan kebudayaan asli Papua, seperti yang dipaparkan di

dalam Perda Provinsi Papua antara lain dilakukan dengan cara :

a. Pesta budaya.

b. Festival seni.

c. Lomba-lomba.

d. Karnaval.

e. Pameran dan pergelaran budaya.

f. Penyuluhan kebudayaan.

g. Pelatihan kebudayaan.

h. Temukarya kebudayaan.

i. Penampilan nuansa budaya Papua pada fasilitas umum milik pemerintah,

swasta dan masyarakat.

j. Pemuatan materi kebudayaan asli Papua dalam kurikulum muatan

lokal pada semua jenjang pendidikan, dan

67 Lihat Peta Suku Bangsa di Tanah Papua, Kerjasama Dinas Kebudayaan Provinsi Papua, Jurusan Antropologi Universitas

Cendrawasih, Summer Institute of Linguistic (SIL), Dewan Adat Papua (DAP), dan Badan Pusat Statistik (BPS),

Jayapura, Desember 2008, hlm : 12. 68 Op.Cit, Pasal 2 ayat (2)

Page 63: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

63

k. Kegiatan upaya pembinaan lainnya69

.

Sedangkan kegiatan dan upaya dalam melakukan pengembangan kebudayaan

asli Papua dilakukan melalui :

a. Pusat-pusat kebudayaan.

b. Sanggar-sanggar kebudayaan.

c. Sanggar-sanggar seni.

d. Penetapan dalam muatan kurikulum lokal pada semua jenjang

pendidikan.

e. Pelatihan, seminar dan lokakarya.

f. Latihan-latihan dan kursus-kursus kebudayaan.

g. Media massa.

h. Misi kebudayaan.

i. Perfilman.

j. Pasar seni, dan

k. Kegiatan upaya pengembangan lainnya70

.

Upaya perlindungan, pembinaan dan pengembangan kebudayaan asli Papua

tersebut, tidak dapat dilepaskan dari peran serta masyarakat. Masyarakat yang

meliputi orang-perorangan, masyarakat adat, seniman, budayawan, pihak swasta dan

lembaga masyarakat lainnya turut berperan serta baik secara mandiri maupun

difasilitasi oleh Pemerintah Daerah. Peranan masyarakat dalam upaya-upaya

tersebut sesuai pengaturannya dalam Perda Provinsi Papua ini mencakup :

a. Pemeliharaan benda-benda budaya.

b. Penguatan kebudayaan asli.

c. Seleksi transformasi kebudayaan luar.

d. Penyediaan informasi dan data, dan

e. Bentuk lainnya71

.

Sebagai timbal balik atas upaya perlindungan, pembinaan dan

pengembangan kebudayaan asli Papua, apresiasi positif yang dilakukan Pemerintah

69 Op.Cit, Pasal 4 ayat (3). 70 Op.Cit, Pasal 5 ayat (2). 71 Op.Cit, Pasal 9 ayat (2).

Page 64: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

64

Daerah dilakukan dengan memberikan penghargaan kepada setiap orang, kelompok

atau lembaga yang berjasa dalam upaya-upaya berkaitan kebudayaan asli Papua.

Orang, kelompok atau lembaga yang berjasa antara lain adalah :

a. Pencipta lagu-lagu daerah.

b. Penata tari daerah.

c. Pemerhati serta pelaku seni dan budaya yang berjasa terhadap

pengembangan kebudayaan asli Papua.

d. Orang yang berjasa dalam upaya perlindungan, pembinaan dan

pengembangan kebudayaan asli Papua72

.

Dalam pengaturannya, Pemerintah Daerah dan masyarakat melakukan

pengawasan dan pengendalian terhadap perlindungan, pembinaan dan

pengembangan kebudayaan asli Papua. Selain itu, diatur pula mengenai larangan dan

sanksi pidana. Larangan-larangan yang termuat dalam Perda Provinsi Papua tersebut

mencakup :

a. Melakukan pembiaran, menghilangkan dan merusak benda cagar budaya

dan benda budaya lainnya.

b. Menghilangkan dan atau merusak nilai-nilai budaya asli, dan

c. Menyediakan informasi dan data palsu terkait dengan perlindungan,

pembinaan dan pengembangan kebudayaan.

Ketentuan sanksi pidana atas pelanggaran yang terjadi terkait upaya

perlindungan, pembinaan, dan pengembangan kebudayaan asli Papua seperti yang

termuat dalam Perda Provinsi Papua tersebut antara lain :

a. Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 19 huruf a diancam pidana

kurungan paling lama 5 (lima) bulan atau denda paling banyak Rp

20.000,000,- (dua puluh juta rupiah).

b. Barangsiapa melanggar ketentuan Pasal 19 huruf b diancam pidana

kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.

15.000.000,- (lima belas juta rupiah).

c. Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 19 huruf c diancam pidana

72 Lihat Penjelasan Pasal 12 ayat (1) Perda Provinsi Papua No 16 Tahun 2008.

Page 65: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

65

kurungan paling lama 2 (dua) bulan dan denda paling banyak Rp

10.000,000,- (sepuluh juta rupiah)73

.

3. 3. 3. Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya di Sumatera Barat.

Perda No 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya disahkan

pada tanggal 1Juli 2008. Adapun intinya tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat

hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan pemanfaatannya berdasarkan pada

ketentuan hukum adat setempat yang berlaku di Provinsi Sumatera Barat.

Pengertian mengenai hak ulayat yang diatur dalam Perda Adat tersebut adalah

sebagai hak penguasaan dan hak milik atas bidang tanah beserta kekayaan alam yang

ada diatas dan didalamnya dikuasai secara kolektif oleh masyarakat hukum adat di

Propinsi Sumatra barat. Sedangkan mengenai pengertian tanah ulayat adalah tanah

pusaka beserta sumber daya alam yang terdapat diatasnya yang diperoleh secara turun

temurun merupakan hak masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.74

Hak-

hak tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat tidak hanya mencakup pada tanah, hutan,

dan sungai, termasuk pertambangan. Di Minangkabau (Sumatera Barat) terdapat

aturan tentang pengelolaan ulayat termasuk pertambangan yang harus dipatuhi oleh

orang-orang yang ingin memanfaatkan ulayat sumberdaya tambang. Aturan adat

dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA) tersebut berbunyi : Karimbo Babungo

Kayu, Ka Sungai Babungo Pasia, Kaladang Babungo Ampiang, Katanah Babungo

Ameh. Pepatah adat ini menggariskan bahwa setiap pemanfaatan SDA dalam teritorial

Minangkabau harus memberikan kontribusi kepada masyarakat adat setempat75

.

73 Op.Cit, Pasal 20, 21, dan 22. 74 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Pasal 6 dan 7. 75 Refles, 2012, Kegiatan Pertambangan Emas Rakyat dan Implikasinya Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di

Kenagarian Mundam Sakti Kecamatan IV Nagari, Kabupaten Sijunjung, Artikel Pasca Sarjana Universitas Andalas,

hlm : 7-8.

Page 66: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

66

Jenis-jenis dan pembagian tanah ulayat sesuai yang diatur didalam Perda

tersebut terbagi menjadi (1) Tanah Ulayat Nagari, (2) Tanah Ulayat Suku, (3) Tanah

Ulayat Rajo, dan (4) Tanah Ulayat Kaum.76

Sedangkan beberapa istilah adat yang

penting lainnya adalah Penghulu, Mamak Kepala Waris, dan Kerapatan Adat Nagari

sebagai unsur terpenting dalam budaya adat di Sumatera Barat sebagai tokoh-tokoh

adat yang memiliki kewenangan dalam urusan-urusan adat.

Adapun proses penyerahan hak ulayat sebagai proses pemindahan atau

pengalihan hak penguasaan atas sebidang tanah adat, melalui musyawarah dan

mufakat yang dilakukan oleh Ninik Mamak, Penghulu-penghulu Suku, Mamak

Kepala Waris, dan anak kemenakan. Kesepakatan tersebut mengikat pihak-pihak bila

sesuai dengan ketentuan hukum adat yang dituangkan dalam perjanjian yang dibuat

oleh Pejabat Negara Pembuat Akta Tanah.

Manfaat pengaturan tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat adalah dengan

tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat, dengan kaidah saling

menguntungkan dan berbagi resiko yang disebut adat diisi limbago dituang.

Sedangkan tujuan dari pengaturan tanah ulayat tersebut adalah untuk melindungi

keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat Minangkabau serta mengambil manfaat

untuk kelangsungan hidup masyarakat adat secara berkesinambungan turun temurun

dan tidak terputus77

.

Menyangkut penyelesaian sengketa yang terjadi atas tanah ulayat di Provinsi

Sumatera Barat tersebut, diselesaikan oleh KAN berdasarkan ketentuan adat

bajanjang naiak batanggo turun dan dengan jalan perdamaian melalui musyawarah

mufakat. Dalam hal penyelesaian melalui keputusan KAN tidak dapat diterima oleh

76 Op.Cit, Pasal 8, 9, 10, dan 11. 77 Ibid, Pasal 3.

Page 67: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

67

pihak yang bersengketa, dapat diteruskan perkaranya ke Pengadilan Negeri. Dalam

putusannya di tingkat Pengadilan Negeri, keputusan KAN dapat dijadikan

pertimbangan atau pedoman bagi hakim78

.

Mamak Waris adalah nama jabatan dalam suatu kaum yang bertugas

memimpin seluruh anggota kaum dan mengurus, mengatur, mengawasi serta

bertanggung jawab atas hal-hal pusaka kaum. Kedudukan Mamak Kepala Waris

dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Mamak kepala waris mempunyai kewenangan untuk mengurus,

mengatur, mengawasi dan bertanggungjawab atas harta pusaka tinggi

kaum. Dalam konteks ini seorang mamak dalam kedudukannya selaku

Mamak Kepala Waris yang akan mengelola atau mengatur pengelolaan

harta pusaka kaumnya, misalnya saja jika ada tanah pusaka yang tidak

terpelihara, maka kepala waris menganjurkan supaya tanah-tanah itu

dapat dimanfaatkan, begitu juga jika keadaan masih memungkinkan

mamak kepala waris mengajak anak kemenakannya untuk menaruko guna

mendapatkan tanah baru sebagai penambah tanah-tanah yang telah ada.

Selain itu seorang Mamak Kepala Waris juga mengatur hasil dari harta

pusaka dan menjaga kelestariannya dan berdaya upaya untuk

memanfatkannya bagi anggota kaum.

b. Seorang mamak kepala waris dapat mewakili kaum urusan keluar dan

bertindak kedalam untuk dan atas nama kaum, demikian juga pengertian

segala sesuatu adalah ditangan mamak kepala waris.

c. Sebagai pemimpin kaum yang bertanggung jawab sepenuhnya atas

keselamatan dan kesejahteraan anggota kaum dengan pemanfaatan harta

pusaka tinggi tersebut.

d. Sebagai penengah dan orang yang akan menyelesaikan suatu pertikaian

yang terjadi di antara anggota kaum baik masalah pribadi dalam

pergaulan sehari-hari maupun masalah harta pusaka.

e. Wakil kaum dalam peradilan, umpama sebagai tergugat atau sebagai

penggugat.

f. Wakil kaum dalam melakukan transaksi atas tanah pusaka kaum setelah

dapat persetujuan dari semua anggota kaum umpama menjual dan

menggadaikan tanah pusaka.

g. Wakil kaum dalam hal pendaftaran tanah pusaka, karena tanah pusaka itu

harus didaftarkan atas nama mamak kepala waris.

h. Wakil kaum dalam kerapatan suku.

78 Ibid, Pasal 12 ayat (1,2, dan 3).

Page 68: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

68

i. Penanggung jawab keluar dalam upacara adat dalam kaum.

j. Penganggung jawab atas pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB)

atas tanah pusaka kaum79

.

3. 3. 4. Penyelenggaraan Kehidupan Adat di Aceh.

Ketentuan tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat diundangkan dalam

rangka mengisi keistimewaan Aceh, dan melakukan pembinaan, pengembangan dan

pelestarian terhadap penyelenggaraan kehidupan adat diatur dalam Peraturan Daerah

Provinsi Daerah Istimewa Aceh No 7 Tahun 2000. Perda tersebut wajib dijadikan

pegangan dan pedoman dalam penyelenggaraan Hukum Adat dan Adat Istiadat di

Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam Perda tersebut selain ditegaskan mengenai

obyek adat, hak dan kewajiban, juga diatur tentang tujuan, fungsi dan

implementasinya.

Fungsi umum Adat Istiadat adalah mewujudkan hubungan yang harmonis

dalam kehidupan masyarakat berlandaskan kepada Adat Bak Po teu Meurehom,

Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putro Phang, Resam bak Laksamanan, Hukum

ngon Adat lagee Zat ngon Sifeut. Arti dari istilah tersebut adalah adat dipegang Raja,

hukum yang berkaitan dengan keagamaan mengikuti fatwa yang diputuskan ulama

Syiah Kuala, kanun dipegang oleh Putro Phang (maksudnya adalah perempuan,

istilah tersebut merujuk pada istri Sultan Iskandar Muda yang berasal dari Pahang),

reusam dari Laksamana, adat dengan syariat atau adat dengan hukum, diibaratkan

bagai zat dengan sifat80

.

79 Lihat Harmita Shah, 2006, Kedudukan Mamak Kepala Waris dalam Harta Pusaka Tinggi: Studi di Nagari Matur Mudiak

Kecamatan Matur Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro,

hlm : 110-111. 80 Diartikan dari beberapa sumber online.

Page 69: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

69

Beberapa istilah yang terdapat dalam Peraturan Daerah Aceh tersebut antara

lain. (1) Mukim adalah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah

Istimewa Aceh yang terdiri dari beberapa Gampong yang mempunyai batas-batas

wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, (2) Imum Mukim adalah Kepala

Mukim dan Pemangku Adat di Kemukiman, (3) Tuha Lapan adalah suatu Badan

Kelengkapan Gampong dan Mukim yang terdiri dari unsur Pemerintah, unsur Agama,

unsur Pimpinan Adat, Pemuka Masyarakat, unsur cerdik pandai, unsur

pemuda/wanita dan unsur Kolompok Organisasi Masyarakat, (4) Gampong adalah

suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat

yang terendah dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, (5) Keuchik

adalah orang yang dipilih dan dipercaya oleh masyarakat serta diangkat oleh

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk memimpin Pemerintahan Gampong, (6)

Tuha Peut adalah suatu badan kelengkapan Gampong dan Mukim yang terdiri dari

unsur Pemerintah, unsur Agama, unsur Pimpinan Adat, unsur Cerdik Pandai yang

berada di Gampong dan Mukim yang berfungsi memberi nasehat kepada Keuchik dan

Imum Mukim dalam bidang Pemerintahan, Hukum Adat, Adat Istiadat dan

kebiasaan-kebiasan masyarakat serta menyelesaikan segala sengketa di Gampong dan

Mukim, (7) Imum Meunasah adalah orang yang memimpin kegiatankegiatan,

masyarakat di Gampong yang berkaitan dengan bidang agama Islam dan pelaksanaan

Syariat Islam, (8) Keujruen Blang adalah orang yang membantu Keuchik di bidang

pengaturan dan penggunaan irigasi untuk persawahan, (9) Panglima Laot adalah

orang yang memimpin Adat Istiadat kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di bidang

penangkapan ikan di lain termasuk mengatur tempat/areal penangkapan ikan, dan

Penyelesaian sengketa, (10) Peutua Seuneubok adalah orang yang memimpin dan

Page 70: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

70

mengatur ketentuan-ketentuan tentang pembukaan dan Penggunaan lahan untuk

perladangan/perkebunan, (11) Haria Peukan adalah orang yang mengatur ketertiban,

keamanan dan kebersihan pasar serta mengutip retribusi pasar gampong, dan (12)

Syahbanda adalah orang yang memimpin dan mengatur tambatan kapal/perahu, lalu

lintas keluar dan masuk kapal perahu di bidang angkutan laut, danau dan sungai.

Tujuan diundangkannya Perda ini adalah untuk membakukan, mendorong,

menunjang dan meningkatkan partisipasi masyarakat guna kelancaran

penyelenggaraan adat istiadat dan hukum adat di daerah. Selain itu, tujuan adat

pemberlakuan Perda Adat ini adalah untuk membentuk manusia berakhlak mulia,

bermartabat dan berbudaya.81

Fungsi kehidupan Adat guna melaksanakan dan

mengefektifitaskan adat istiadat dan hukum adat untuk membina kemasyarakat82

.

Didalam perkembangannya hukum adat di Aceh, tidak dapat terlepaskan dari

ajaran Agama Islam. Hal ini dapat ditinjau pada pengertian falsafah Adat bersendi

syara’, syara’ bersendi adat, yang menunjukkan bahwa perilaku kehidupan

masyarakat mengacu pada tatanan hukum adat dan ajaran agama Islam. Keduanya

tidak boleh dipisahkan karena begitu melekat dalam jiwa nasionalis masyarakat Aceh.

Pada umumnya penyelenggaraan Peradilan adat dilakukan oleh Lembaga Gampong

dan Mukim. Penyelenggara peradilan adat tersebut pelaksanaannya diserahkan

kepada Keuchik, Imeum Meunasah, Tuha Peuet, dan Ulee Jurong. Peradilan pada

tingkat Mukim merupakan upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan dalam

Jurisdiksi adat di Aceh. Perkara-perkara pidana berat atau sengketa-sengketa yang

tidak dapat diselesaikan pada tingkat Mukim, akan diselesaikan oleh lembaga

Peradilan Negara sesuai dengan ketentuan undang-undang dan peraturan yang

81 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No 7 Tahun 2000. Pasal 7. 82 Ibid, Pasal 8.

Page 71: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

71

berlaku.Jenis penyelesaian sengketa dan sanksi : Nasehat, Teguran, Pernyataan maaf

di hadapan orang banyak di Meunasah atau Masjid diikuti dengan acara Peusijuk,

Denda, Ganti kerugian, Dikucilkan oleh masyarakat Gampong, Dikeluarkan dari

masyarakat Gampong, Pencabutan Gelar Adat, dan lain-lain bentuk sanksi sesuai adat

setempat83

.

Selain mengatur mengenai penyelesaian sengketa dalam kehidupan adat,

dalam Perda Adat Aceh tersebut juga mengatur mengenai metode pemberdayaan adat

83 Ibid. Pasal 19.

Page 72: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

72

istiadat dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :Penataran Adat bagi Pemerintahan

Gampong dan Mukim, Memasukkan kehidupan adat dalam Kurikulum Pendidikan

Dasar dan Pendidikan Menengah, Mempelajari dan menghormati dasar-dasar adat

Aceh dan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat bagi Aparat Pemerintah yang

berasal dari luar daerah dan bertugas di Aceh84

.

Implementasi pelaksanaan kehidupan adat yang berkembang di Aceh selalu

berbarengan dengan ajaran Islam. Adat Aceh ada disebabkan adanya hukum Islam

yang mulai diterapkan di Aceh. Hukum Islam di sini cenderung bersifat fiqhiyyah,

yaitu sebuah syara’ yang diterjemahkan sehingga aplikasinya benar-benar nyata. Dan

ini menjadi sebuah hukum positif yang berfungsi untuk menjaga dan mengatur

tatanan kehidupan individual dengan Tuhan dan sesama masyarakat. Hukum positif

ini tetap bernuansa religi, sehingga ketundukan terhadap hukum ini juga ketundukan

terhadap Allah.

Kemudian adat yang notabene dikuasai oleh Sultan juga mengatur perilaku

individu dengan Tuhan dan bersosialisasi ke dalam strata sosial lain. Posisinya tetap

berada dalam ruang lingkup hukum positif di mana pelakunya selain harus tunduk

kepada Tuhan juga harus tunduk kepada hukum itu sendiri (Sultan). Selama hukum

adat tidak menyimpang dari hukum Islam, hukum adat itu tetap dipergunakan oleh

masyarakat Aceh.

Dengan diberlakukannya Perda Adat tentang Kehidupan Adat Aceh tersebut,

diharapkan bahwa penyelenggaraan kehidupan adat di Aceh dapat terus terselenggara

dengan baik. Selain diharapkan pula bahwa keberagaman adat istiadat dalam

kehidupan adat masyarakat Aceh dapat terus eksis dan berkembang.

84 Ibid, Pasal 22, 23, dan 24.

Page 73: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

73

3. 3. 5. Perda Prosesi Perkawinan Adat dan Pakaian Penganten Adat Belitong.

Kebudayaan yang istimewa dari Masyarakat Adat Belitung untuk

melestarikan dan menjaga tradisi adat istiadat diatur dalam Peraturan Daerah

Kabupaten Belitung No 3 Tahun 2003 tentang Prosesi Perkawinan dan Pakaian

Penganten Adat Belitong.

Upacara adat biasanya di dasari oleh sebuah kepercayaan, upacara yang

dilakukan oleh masyarakat adat di Indonesia dimaksudkan untuk mendapatkan

sebuah kebaikan atau menghindarkan diri dari malapetaka dalam kehidupan

masyarakat yang melakukannya. Dalam kajian berikut ini, dibahas mengenai

Peraturan Daerah yang mengatur mengenai Prosesi Perkawinan secara Adat. Sebagai

bahan kepustakaan, Kajian penelitian ini bersumber dari Peraturan Daerah Kabupaten

Belitung No 3 Tahun 2003 Tentang Prosesi Perkawinan dan Pakaian Penganten Adat

Belitong.

Kata Perkawinan Adat Belitong terdiri dari 3 (tiga) kata, yaitu : Perkawinan,

Adat, dan Belitong. Kata Perkawinan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia

(KUBI) mempunyai pengertian Pernikahan. Sedangkan kata Adat mempunyai

pengertian aturan, perbuatan, dan sebagainya yang lazim diturut atau dilakukan sejak

dahulu kala dan kata Belitong berasal dari Belitung yang merupakan sebuah

Kabupaten. Jadi perkawinan adat Belitong dapat diartikan sebagai pernikahan yang

lazim diturut atau dilakukan sejak zaman dahulu di Belitung. Selain itu, yang menjadi

kajian menarik dari keistimewaan prosesi pernikahan adat bukan hanya karena hanya

Perda Kabupaten Belitung saja yang diakui dalam hukum tertulis, tetapi juga karena

pada pelaksanaannya dikenal sistem kekerabatan Parental dimana kebiasaan umum

Page 74: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

74

pada pernikahan secara adat ditempat lainnya (lelaki meminang perempuan) dapat

dilakukan sebaliknya menurut adat Belitong.

Isi dan muatan dari perda tersebut menerangkan secara rinci mengenai

mekanisme pelaksanaan upacara perkawinan adat. Tata urutan pelaksanaan

pernikahan adat Belitong antara lain sebagai berikut :

1. Meminang. Berdasarkan sistem kekeluargaan, masyarakat Belitung

menganut sistem kekeluargaan bilateral atau Parental, artinya keluarga

tersebut siapa saja orangnya yang memiliki keturunan dan kelahiran

dengan ibu atau dengan ayah, termasuk keluarga besar ibu dan ayah.

Sehingga meminang dalam adat Belitung dapat dilakukan oleh pihak laki-

laki ataupun pihak perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa adanya

keluwesan dalam menentukan peminangan pada masyarakat adat

Belitung.

2. Panitia Gawai, adalah panitia yang secara adat menyelenggarakan

upacara perkawinan. Terdiri dari : Tukang ngundang (pengundang),

Tukang nerimak tamu (orang yang menerima tamu), Tukang tanak nasik

(orang yang memasak nasi), Tukang masak aik (orang yang memasak

air), Tukang ngambik aik (orang yang mengambil air), Tukang perikse

sajian (orang yang memeriksa hidangan), Tukang ngelepaskan sajian

(orang yang meletakan hidangan), Tukang nyuci piring (orang yang

mencuci piring), Tukang berebut lawang (orang yang berebut

lawang/pintu), Tukang jage jajak (orang yang menjaga kue), Tukang

ngantar makanan penganten (orang yang mengantar makanan pengantin),

Tukang bearak (orang yang mengantar pengantin), Tukang ngambelek

Page 75: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

75

penganten/umak bapak penganten (orang yang menjemput pengantin/ibu

bapak pengantin), Panggong (kepala juru masak pada waktu hajatan

perkawinan), dan Mak Inang (perias pengantin).

3. Selamatan Gawai, tata cara adat ini diadakan pada hari kamis sebelum

hari pelaksanaan, dilakukan oleh Dukun kampong dengan maksud agar

pelaksanaan berjalan lancar.

4. Akad Nikah. Menurut adat Belitong, prosesi ini dilakukan pada malam

Jum’at di rumah pihak perempuan. Calon mempelai laki-laki dibawa oleh

keluarganya ke pihak mempelai perempuan dengan diarak.

5. Khatam Al-Qur’an, upacara ini dimulai oleh Dukun kampong yang

pelaksanaannya dilakukan sebelum upacara pernikahan dilakukan.

6. Berebut Lawang, adalah prosesi yang harus dilalui pihak laki-laki

sebelum menemui mempelai perempuan. Prosesi ini berlaku tiga tahap

(diantara tiga pintu/lawang), pertama kepada Tukang tanak nasik dengan

maksud filosofis bahwa seorang lelaki yang hendak berumah tangga

harus sudah siap memberi makan istrinya. Kedua, kepada Pengulu gawai,

yang bermakna seorang lelaki yang hendak berumah tangga, selain siap

memberi nafkah istri juga harus siap mengatur rumah tangganya. Ketiga,

kepada Mak inang memiliki makna bahwa selain memberi nafkah istri,

mengatur rumah tangga, juga harus sudah siap untuk memberi pakaian

istrinya. Dari prosesi ini, dapat dimaknai bahwa seorang lelaki yang

sudah siap berumah tangga harus sudah siap untuk memberi sandang,

pangan dan papan bagi istrinya.

Page 76: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

76

7. Bejamu, maksud dari prosesi ini adalah menjamu, atau jamuan yang

dilakukan kepada rombongan dari mempelai laki-laki yang terdiri dari

kedua orang tua dan sanak saudara berserta handai taulan. Acara bejamu

ini seringkali disertai dengan kesenian tradisional Belitung seperti

beregong, beripat, betiong, berinai, begambus, dan lainnya.

8. Mandik Besimbor. Prosesi mandik besimbor adalah prosesi siraman

terhadap kedua mempelai, yang diikuti dengan prosesi melangkahi tujuh

lembar benang sebanyak tiga kali, dan prosesi menginjak telur.

9. Beranjuk dan Mulangan Runut. Kedua prosesi tersebut adalah bagian

dari upacara adat dimana acara penganten beranjuk dimaksudkan dengan

menyelenggarakan pesta pernikahan di kediaman pihak laki-laki.

Sedangkan prosesi mulangan runut adalah prosesi yang dilakukan selepas

tiga hari setelah pelaksanaan prosesi beranjuk, kedua orang tua penganten

lelaki mengantarkan kedua penganten ke rumah orang tua penganten

perempuan.

10. Nyembah atau Silaturahmi Keluarga. Secara garis besar, prosesi ini

dimaksudkan sebagai perkenalan silaturahmi kepada keluarga besar

masing-masing. Tujuan dari prosesi ini agar kedua pengantin saling

mengenal seluruh anggota keluarga yang sebelumnya kurang dikenal,

mempererat persaudaraan, dan rasa menghormati kepada keluarga yang

lebih tua.

Selain mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan upacara perkawinan

secara adat, dalam perda tersebut juga berisikan pemaparan mengenai pakaian adat

yang digunakan dalam upacara perkawinan adat Belitung. Menurut Masyarakat

Page 77: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

77

Hukum Adat Belitong, kata Pakaian diartikan sebagai barang apa saja yang dipakai

(baju, celana, dan sebagainya). Kata Penganten diartikan sebagai orang yang

melangsungkan perkawinannya. Dengan demikian Pakaian Penganten Adat Belitong

dapat diartikan sebagai barang yang dipakai pada saat mempelai melangsungkan

prosesi perkawinan yang lazim diturut atau dilakukan sejak zaman dahulu di

Belitung.

Pakaian penganten adat Belitong yang dijabarkan dalam Perda Adat tersebut

antara lain :

1. Pakaian Upacara Akad Nikah,

2. Pakaian Mandik Berias,

3. Pakaian Betangas atau Mandik Uap,

4. Pakaian Bepacar Inai,

5. Pakaian Khatam Al-Qur’an,

6. Pakaian Penganten Besanding,

7. Pakaian Bejamu,

8. Pakaian Mandik Besimbor,

9. Pakaian Beranjuk85

.

Prosesi Perkawinan Adat Belitong yang diatur menjadi Perda Adat mencakup

seluruh rangkaian kegiatan perkawinan secara berurutan berdasarkan Adat Belitong.

Kebiasaan adat yang dituangkan dalam Peraturan Daerah No 3 Tahun 2003 tersebut,

dijadikan pedoman dan landasan hukum bagi setiap pelaksanaan Prosesi Perkawinan

dan Pakaian Penganten masyarakat Adat Belitong.

3. 3. 6. Perda Lembaga Adat Melayu Jambi di Provinsi Jambi

Perda Provinsi Jambi No 5 Tahun 2007 menjadi dasar eksistensi Masyarakat

Adat Melayu yang selama ini telah ada dan berkembang didalam kehidupan

masyarakat mendapatkan jaminan kepastian hukum dari Pemerintah daerah.

85 Lihat Lampiran Peraturan Daerah Kabupaten Belitung No 3 Tahun 2003 tentang Prosesi Perkawinan dan Pakaian Penganten

Adat Belitong.

Page 78: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

78

Berdasarkan hasil kajian dari Perda Provinsi Jambi tersebut, muatan perda

tersebut mendefiniskan sebagai berikut :

1. Adat istiadat Melayu Jambi adalah seperangkat nilai, kaidah dan

kebiasaan yang tumbuh dan berkembang sejak lama bersamaan dengan

pertumbuhan masyarakat dalam Provinsi Jambi yang merupakan bagian

dari Rumpun Melayu.

2. Lembaga Adat Melayu Jambi adalah suatu organisasi kemasyarakatan

yang dibentuk oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan,

mempunyai wilayah tertentu, dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan

berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal

yang berkaitan dengan adat istiadat Melayu Jambi86

.

Dalam pelaksanaannya, Lembaga Adat Melayu Jambi diselenggarakan

berdasarkan pada asas Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 dan nilai-nilai agama yaitu adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan

Kitabullah yang dijunjung tinggi dalam masyarakat. Selain itu, Lembaga Adat

Melayu Jambi bertujuan :

a. membina kerukunan dan rasa aman dalam hidup dan kehidupan

masyarakat di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.

b. menghimpun dan mendayagunakan potensi adat istiadat untuk membantu

penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam pelaksanaan pembangunan.

c. mengembangkan dan meneruskan nilai-nilai luhur adat istiadat kepada

generasi penerus melalui ketahanan keluarga.

d. mengkaji sejarah dan hukum adat dalam rangka memperkaya khazanah

budaya daerah serta membantu penyusunan sejarah dan pembinaan

hukum nasional87

.

Susunan organisasi lembaga adat, terbagi dalam tingkat Provinsi,

Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan di tingkat Desa/kelurahan. Dalam memberikan

putusan, Lembaga Adat Melayu Jambi yang lebih tinggi tingkatannya menjadi

pedoman bagi lembaga yang lebih rendah beserta perangkat bawahannya dengan

mendasarkan pada adat istiadat setempat.

86 Peraturan Daerah Provinsi Jambi No 5 Tahun 2007 tentang Lembaga Adat Melayu Jambi, Pasal 1 butir i dan k. 87 Ibid, Pasal 3

Page 79: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

79

Dalam pelaksanaannya, Lembaga Adat Melayu Jambi sesuai tingkatannya

memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut :

a. menggali dan mengembangkan adat istiadat Melayu Jambi dalam upaya

melestarikan kebudayaan daerah Jambi guna memperkaya khasanah

kebudayaan bangsa.

b. mengurus dan mengelola hal-hal yang berkaitan dan berhubungan dengan

adat istiadat Melayu Jambi.

c. menyelesaikan perselisihan dan perkara adat sepanjang tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. menginventarisir, mengamankan, memelihara dan mengurus serta

memanfaatkan sumber kekayaan yang dimiliki oleh Lembaga Adat

Melayu Jambi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

e. membantu pemerintah dalam melaksanakan dan memelihara hasil

pembangunan pada segala bidang, terutama pada bidang sosial

kemasyarakatan dan sosial budaya.

f. memberi kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang

menyangkut harta kekayaan masyarakat hukum adat pada setiap tingkat

Lembaga Adat Melayu Jambi berkenaan dengan perselisihan dan perkara

adat;

g. melaksanakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat isdiadat

Melayu Jambi dalam rangka memperkaya, melestarikan dan

mengembangkan kebudayaan daerah pada khususnya dan kebudayaan

nasional pada umumnya;

h. menjaga, memelihara dan memanfaatkan ketentuan-ketentuan adat

istiadat Melayu Jambi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat

untuk kesejahteraan masyarakat88

.

Berbeda dengan pengaturan dalam Perda regional dibawahnya (merujuk pada

Perda Kabupaten Bungo tentang masyarakat adat Datuk Sinaro Putih), dalam Perda

Provinsi Jambi ini tidak dijelaskan secara rinci mengenai bentuk kelembagaan adat.

Sehingga dapat ditarik suatu simpulan bahwa kelembagaan adat melalui tingkat

provinsi di Jambi, tidak diatur dengan pasti bentuk kelembagaannya.

88 Ibid, Pasal 5 dan 6.

Page 80: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

80

3. 3. 7. Perda Kedamangan di Kalimantan Tengah

Masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah memiliki kesadaran yang

tinggi terkait erat dengan tanggung jawab untuk tetap memelihara, melestarikan,

mengembangkan, memberdayakan dan menjunjung tinggi Hukum Adat, adat-istiadat

dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang mengandung nilai-nilai positif sebagai

budaya warisan leluhur. Kesadaran tersebut dimaksud sebagai upaya memperkuat

karakter, identitas, jati diri, harkat dan martabat dalam bingkai Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Kesadaran tersebut tidak lain merupakan jawaban tepat atas fenomena, bahwa

kesetiaan terhadap hukum adat, adat-istiadat dan kebiasaan dalam masyarakat,

kenyataannya cenderung memudar sebagai akibat kuatnya terpaan arus modernisasi

dan globalisasi. Apabila fenomena ini dibiarkan, maka dikuatirkan dapat melemahnya

karakter, goyahnya jati diri, kaburnya identitas, turunnya harkat dan martabat dan

tercabutnya akar budaya.

Lembaga Kedamangan sebagai lembaga adat Dayak yang ada sejak lama, kini

tetap sebagai lembaga sentral atau lembaga utama yang ada di garis depan dalam

mengayomi masyarakat. Dalam Perda tersebut dijabarkan pengertian Kedamangan

sebagai suatu Lembaga Adat Dayak yang memiliki wilayah adat, kesatuan

masyarakat adat dan hukum adat dalam wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang

terdiri dari himpunan beberapa desa / kelurahan / kecamatan / Kabupaten dan tidak

dapat dipisah-pisahkan89

.

Maksud dan Tujuan Kedamangan antara lain :

1. untuk mendorong upaya pemberdayaan Lembaga Adat Dayak agar

mampu membangun karakter Masyarakat Adat Dayak melalui upaya

89 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah,

Pasal 1 ayat (25).

Page 81: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

81

pelestarian, pengembangan dan pemberdayaan adat istiadat, kebiasaan-

kebiasaan dan menegakkan hukum adat dalam masyarakat demi

mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat,

menunjang kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan dan kelangsungan

pembangunan serta meningkatkan Ketahanan Nasional dalam bingkai

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. upaya pemberdayaan Lembaga Adat Dayak mampu mendorong,

menunjang dan meningkatkan partisipasi Masyarakat Adat Dayak guna

kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan,

dan pembinaan masyarakat di daerah, terutama di desa/kelurahan

sehingga Masyarakat Adat Dayak setempat merasa dihargai secara utuh

sehingga terpanggil untuk turut serta bertanggung jawab atas rasa

keadilan, kesejahteraan dan kedamaian hidup masyarakat dan

lingkungannya90

.

Secara berjenjang, Kelembagaan Kedamangan Adat Dayak di Kalimantan

Tengah diselenggarakan dengan tugas dan fungsi sebagai berikut :

a. Lembaga adat dayak tingkat nasional adalah Majelis Adat Dayak

Nasional yang merupakan Lembaga Adat Dayak tertinggi, yang

mengemban tugas sebagai lembaga koordinasi, sinkronisasi, komunikasi,

pelayanan, pengkajian dan wadah menampung dan menindaklanjuti

aspirasi masyarakat dan semua tingkat Lembaga Adat Dayak;

b. Lembaga adat dayak tingkat provinsi adalah Dewan Adat Dayak Provinsi

dengan tugas pokok melaksanakan program kerja sebagai tindak lanjut

program kerja Majelis Adat Dayak Nasional, menjalankan fungsi

koordinasi dan supervisi terhadap seluruh Dewan Adat Dayak Kabupaten/

Kota di wilayah Kalimantan Tengah;

c. Lembaga adat dayak tingkat kabupaten/kota adalah Dewan Adat Dayak

Kabupaten/ Kota dengan tugas pokok melaksanakan program kerja

sebagai tindak lanjut program kerja Dewan Adat Dayak Provinsi,

menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap seluruh Dewan

Adat Dayak Kecamatan dan lembaga Kedamangan di wilayahnya;

d. Lembaga-lembaga adat dayak tingkat kecamatan adalah :

1. Dewan Adat Dayak Kecamatan dengan tugas pokok melaksanakan

program kerja sebagai tindak lanjut program kerja dewan Adat Dayak

Kabupaten/Kota serta menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi

terhadap seluruh Dewan Adat Dayak tingkat Desa/Kelurahan.

2. Kedamangan yang dipimpin oleh Damang Kepala Adat sekaligus

sebagai Ketua Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat tingkat

kecamatan

90 Ibid, Pasal 2 (ayat 1 dan 2).

Page 82: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

82

e. Lembaga-lembaga adat dayak tingkat desa/kelurahan adalah :

1. Dewan Adat Dayak Desa/Kelurahan dengan tugas pokok dan fungsi

melaksanakan program kerja Dewan Adat Dayak Kecamatan.

2. Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat Desa/Kelurahan91

.

Adat Dayak bersama seluruh kearifan lokalnya. Bahkan dalam mengemban

tugas berat namun mulia tersebut didukung penuh oleh Masyarakat Adat Dayak

melalui Dewan Adat Dayak provinsi, kabupaten/ kota, kecamatan, desa/kelurahan.

Dipaparkan pula mengenai tugas dan fungsi Dewan Adat Dayak, antara lain

sebagai berikut :

1. Menegakkan hukum adat dan menjaga wibawa lembaga adat

Kedamangan.

2. Membantu kelancaran pelaksanaan eksekusi dalam perkara perdata yang

mempunyai kekuatan hukum tetap, apabila diminta oleh pejabat yang

berwenang.

3. Menyelesaikan perselisihan dan atau pelanggaran adat, dimungkinkan

juga masalah-masalah yang termasuk dalam perkara pidana, baik dalam

pemeriksaan pertama maupun dalam sidang penyelesaian terakhir

sebagaimana lazimnya menurut adat yang berlaku.

4. Berusaha untuk menyelesaikan dengan cara damai jika terdapat

perselisihan intern suku dan antara satu suku dengan suku lain yang

berada di wilayahnya.

5. Memberikan pertimbangan baik diminta maupun tidak diminta kepada

pemerintah daerah tentang masalah yang berhubungan dengan tugasnya.

6. Memelihara, mengembangkan dan menggali kesenian dan kebudayaan

asli daerah serta memelihara benda-benda dan tempat-tempat bersejarah

warisan nenek moyang.

7. Membantu pemerintah daerah dalam mengusahakan kelancaran

pelaksanaan pembangunan di segala bidang, terutama bidang adat

istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat.

8. Mengukuhkan secara adat apabila diminta oleh masyarakat adat setempat

para pejabat publik dan pejabat lainnya yang telah dilantik sebagai

penghormatan adat.

9. Dapat memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-

hal yang menyangkut adanya persengketaan atau perkara perdata adat jika

diminta oleh pihak yang berkepentingan.

10. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat Dayak,

dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan

91 Ibid, Pasal 4 ayat (1 dan 2)

Page 83: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

83

kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Dayak pada

khususnya.

11. Mengelola hak-hak adat, harta kekayaan adat atau harta kekayaan

Kedamangan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kemajuan

dan taraf hidup masyarakat ke rah yang lebih baik.

12. Menetapkan besarnya uang sidang, uang meja, uang komisi, uang jalan,

dan lap tunggal dalam rangka pelayanan /penyelesaian kasus dan atau

sengketa oleh Kerapatan Mantir Perdamaian Adat, baik tingkat

kecamatan maupun tingkat desa/kelurahan.

13. Mengurus, melestarikan, memberdayakan dan mengembangkan

adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, hukum adat dan lembaga

kedamangan yang dipimpinnya.

14. Menegakkan hukum adat dengan menangani kasus dan atau sengketa

berdasarkan hukum adat dan merupakan peradilan adat tingkat terakhir.

15. Sebagai penengah dan pendamai atas sengketa yang timbul dalam

masyarakat berdasarkan hukum adat92

.

Selain mengatur tentang mekanisme pemilihan, penetapan, dan masa kerja

Kedamangan di Kalimantan Tengah tersebut, dalam Perda Adat ini juga dijelaskan

pengaturan mengenai pengertian :

1. Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah

Kedamangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai

berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan dengan

luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik

bersama yang keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat.

2. Tanah Adat milik bersama adalah tanah warisan leluhur turun temurun

yang dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama oleh para ahli waris

sebagai sebuah komunitas, dalam hal ini dapat disejajarkan maknanya

dengan Hak Ulayat.

3. Tanah adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi yang diperoleh

dari membuka hutan atau berladang, jual beli, hibah, warisan, dapat

berupa kebun atau tanah yang ada tanam tumbuhnya maupun tanah

kosong belaka.

4. Hak-hak adat di atas tanah adalah hak bersama maupun hak perorangan

untuk mengelola, memungut dan memanfaatkan sumber daya alam dan

atau hasil-hasilnya, di dalam maupun di atas tanah yang berada di dalam

hutan di luar tanah adatmenjadi tanah adat bersama, dan tanah adat

perorangan93

.

92 Ibid, Pasal 8 dan Pasal 9. 93 Lihat penjelasan tersebut dalam Pasal 1 ayat (19, 20, 21, dan 22)

Page 84: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

84

Organisasi adat seperti Kerapatan Mantir/Let94

yang bermakna sebagai

perangkat adat pembantu Damang, Organisasi Barisan Pertahanan Masyarakat Adat

Dayak95

sebagai organisasi masyarakat adat Dayak mempertahankan eksistensinya,

serta membantu Damang dalam menegakkan hukum adat.

Dibahas pula dalam Perda Adat Kedamangan tersebut mengenai

pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat istiadat, kebiasaan adat, hukum

adat, dan lembaga adat. Beserta penyelesaian sengketa dan pemberlakuan sanksi adat

bagi pelanggar hukum adat Dayak96

.

Dalam penyelesaian sengketa adat yang telah diputuskan oleh Damang Kepala

Adat melalui Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan adalah bersifat

final dan mengikat para pihak, namun apabila para pihak sepakat berkehendak untuk

mencari keadilan melalui peradilan umum atau hukum nasional (undang-undang),

maka itu menjadi hak para pihak, tetapi Keputusan Peradilan Adat yang telah diambil

dapat menjadi bahan pertimbangan hakim.

Adapun, beberapa jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Kerapatan

Mantir/Let Perdamaian Adat baik di tingkat Desa/Kelurahan maupun di tingkat

Kecamatan adalah sebagai berikut :

1. Nasehat/teguran secara lisan dan/atau tertulis.

2. Pernyataan permohonan maaf secara lisan dan /atau tertulis.

3. Singer (nama lain) untuk denda maupun ganti rugi.

94 Kerapatan Mantir Adat atau Kerapatan Let Adat adalah perangkat adat pembantu Damang atau gelar bagi anggota Kerapatan

Mantir Perdamaian Adat di tingkat kecamatan dan anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat desa/kelurahan,

berfungsi sebagai peradilan adat yang berwenang membantu Damang Kepala Adat dalam menegakkan hukum adat

Dayak di wilayahnya. Lihat Pasal 1 ayat 26. 95 Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak adalah sub-organisasi Majelis Adat Dayak Nasional, Dewan Adat Dayak

Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa/Kelurahan yang mempunyai tugas khusus untuk mengawal perjuangan

Masyarakat Adat Dayak mempertahankan keberadaannya, membantu tugas Damang dalam menegakkan hukum adat dan mengantisipasi gangguan terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di daerah perbatasan. Lihat

Pasal 1 ayat 33. 96 Dalam perda tersebut, yang dimaksud dengan Hukum Adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati

nurani masyarakat dan tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat istiadatnya dan pola-pola sosial

budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Lihat penjelasan arti Hukum Adat Dayak dalam Pasal

1 ayat 17.

Page 85: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

85

4. Dikucilkan dari masyarakat adat desa/kelurahan, yaitu pihak pelanggar

adat tidak diperbolehkan ikut dalam seluruh kegiatan adat untuk jangka

waktu tertentu.

5. Dikeluarkan dari masyarakat Desa, yaitu memutuskan semua hubungan

sosial dan adat antara masyarakat adat dengan pihak pelanggar dalam

jangka waktu tidak terbatas.

6. Pencabutan gelar adat.

7. Dan lain-lain bentuk sanksi sesuai dengan hukum adat setempat97

.

Tata cara penyelesaian sengketa dan tata cara menjatuhkan sanksi adat oleh

Damang Kepala Adat melalui Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat, dilakukan

sesuai dengan hukum adat Dayak yang berlaku di wilayah kedamangan masing-

masing.

3. 3. 8. Perda Pakraman Bali

Desa Pakraman yang telah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad di

Provinsi Bali, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang dijiwai oleh ajaran

agama Hindu dan nilai-nilai budaya yang hidup di Bali. Keberadaan Desa Pakraman,

diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 Tentang Desa

Pakraman.

Keberadaan Desa Pakraman98

telah memberikan kontribusi berharga terhadap

kelangsungan kehidupan masyarakat adat dan pembangunan di segala bidang

terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan. Sehingga

keberadaannya perlu untuk dilesetarikan dan diberdayakan.

Pembahasan mengenai kelembagaan adat yang hidup berkembang didalam

masyarakat adat Bali, didasarkan pada pola kehidupan bermasyarakat yang menganut

97 Ibid, Pasal 32. 98 Pengertian DesaPakraman adalah kesatuan masyarakat hokum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata

krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan

desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Lihat Ketentuan Umum Perda No 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman, Pasal 1 ayat 4.

Page 86: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

86

ajaran agama Hindu. Beberapa pengertian dan istilah adat dalam budaya masyarakat

Bali seperti :

1. Awig-awig, adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau

krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan

Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa

pakraman dan banjar pakraman masing-masing.

2. Prajuru Desa Pakraman, adalah pengurus desa pakraman dan banjar

pakraman di Provinsi Bali.

3. Banjar Pakraman, adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian

desa pakraman.

4. Krama desa/Krama Banjar, adalah mereka yang menempati karang desa

pakraman/karang banjar pakraman dan atau bertempat tinggal diwilayah

desa/banjar pakraman atau ditempat lain yang menjadi warga desa

pakraman/banjar pakraman.

5. Krama pengempon/pengemong adalah krama desa pakraman/karma

banjar pakraman yang mempunyai ikatan lahir dan batin

terhadap kahyangan yang berada di wilayahnya serta bertanggung

jawab terhadap pemeliharaan, perawatan, dan pelaksanaan kegiatan-

kegiatan upacara di kahyangan tersebut.

6. Krama penyungsung adalah krama desa pakraman/krama banjar pakraman

yang mempunyai ikatan batin terhadap suatu kahyangan dan atau ikut

berpartisipasi dalam pemeliharaan, perawatan, dan pelaksanaan kegiatan-

kegiatan upacara berupa dana punia.

7. Palemahan desa pakraman adalah wilayah yang dimiliki oleh desa

pakraman yang terdiri atas satu atau lebih palemahan banjar pakraman

yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

8. Tanah ayahan desa pakraman adalah tanah milik desa pakraman yang

berada baik di dalam maupun di luar desa pakraman.

9. Paruman desa/banjar pakraman adalah paruman permusyawaratan atau

permufakatan krama desa pakraman/banjar pakraman yang

mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam desa pakraman/banjar pakraman.

10. Paruman alit adalah sidang utusan prajuru desa pakraman sekecamatan

yang mempunyai kekuasaan tertinggi di kecamatan.

11. Paruman madya adalah sidang utusan paruman prajuru desa pakraman

se kabupaten/kota yang mempunyai kekuasaan tertinggi di kabupaten/kota.

12. Paruman agung adalah sidang utusan prajuru desa pakraman se-Bali yang

mempunyai kekuasaan tertinggi di Propinsi.

13. Pacalang adalah satgas (satuan tugas) keamanan tradisional masyarakat

Bali yang mempunyai wewenang untuk menjaga keamanan dan ketertiban

wilayah, baik ditingkat banjar pakraman dan atau di wilayah desa

Page 87: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

87

pakraman99

.

Desa Pakraman mempunyai tugas :

a. Membuat Awig-awig.

b. Mengatur krama desa.

c. Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa.

d. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala

bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan

kemasyarakatan.

e. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka

memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan mengembangkan

kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada

khususnya, berdasarkan "paras-paros, sagilik-saguluk, salunglung-

sabayantaka" (musyawarah-mufakat);

f. mengayomi krama desa100

.

Selain memiliki fungsi tugas tersebut diatas, Desa Pakraman memiliki

kewenangan antara lain :

a. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya

dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai

dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat.

b. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan

pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri

Hita Karana.

c. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman101

.

Dalam menjalankan keberadaan desa pakraman, pelaksanaannya dilakukan

oleh pemimpin adat yang disebut prajuru. Seorang prajuru dipilih dan ditetapkan

oleh krama desa pakraman menurut aturan yang ditetapkan dalam awig-awig desa

pakraman masing-masing. Tugas-tugas prajuru antara lain :

a. Melaksanakan awig-awig.

b. mengatur penyelenggaraan upacara keagamaan di desa pakraman, sesuai

dengan sastra agama dan tradisi masing-masing.

c. mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa adat;

99 Ibid, Ketentuan Umum Pasal 1 100 Ibid, Pasal 5. 101 Ibid, Pasal 6.

Page 88: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

88

d. mewakili desa pakraman dalam bertindak untuk melakukan perbuatan

hukum baik di dalam maupun di luar peradilan atas persetujuan paruman

desa;

e. mengurus dan mengatur pengelolaan harta kekayaan desa pakraman;

f. membina kerukunan umat beragama dalam wilayah desa pakraman.

Selain mengatur mengenai fungsi dan wewenang Desa Pakraman, dalam

produk perundangan tersebut juga menjelaskan dan merincikan mengenai :

1. Harta kekayaan desa pakraman adalah kekayaan yang telah ada maupun

yang akan ada yang berupa harta bergerak dan tidak bergerak, material

dan inmaterial serta benda-benda yang bersifat religious magis yang

menjadi milik desa pakraman.

2. Pengelolaan harta kekayaan desa pakraman dilakukan oleh prajuru

desa sesuai dengan awig-awig desa pakraman masing-masing.

3. Setiap pengalihan/perubahan status harta kekayaan desa pakraman harus

mendapat persetujuan paruman.

4. Pengawasan harta kekayaan desa pakraman dilakukan oleh krama

desa pakraman.

5. Tanah desa pakraman dan atau tanah milik desa pakraman tidak dapat

disertifikatkan atas nama pribadi.

6. Tanah desa pakraman dan tanah milik desa pakraman bebas dari pajak bumi

dan bangunan102

.

Kelembagaan adat lain adalah Majelis Desa Pakraman, yang merupakan

sarana perkumpulan antar Desa Pakraman di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, dan

provinsi. Majelis Desa Pakraman mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :

a. Mengayomi adat istiadat.

b. Memberikan saran, usul dan pendapat kepada berbagai pihak baik

perorangan, kelompok/lembaga termasuk pemerintah tentang masalah-

masalah adat.

c. Melaksanakan setiap keputusan-keputusan paruman sesuai dengan aturan-

aturan yang ditetapkan.

d. Membantu penyuratan awig-awig.

e. Melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.

102 Ibid, Pasal 9.

Page 89: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

89

f. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah adat

dan agama untuk kepentingan desa pakraman.

g. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat diselesaikan

pada tingkat desa.

h. Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan,

kabupaten/kota dan provinsi103

.

Dalam pembahasan ini, tidak dapat dilupakan pula keberadaan dan fungsi

Pacalang atau Langlang menjalankan tugas-tugas keamanan di wilayah kehidupan

desa pakraman dalam hubungan pelaksanaan tugas adat dan agama. Keberadaan

Pacalang diangkat dan diberhentikan oleh Desa Pakraman berdasarkan Paruman desa.

Penyelesaian sengketa adat dan agama Hindu didalam masyarakat adat Bali

diselesaikan melalui suatu lembaga peradilan desa pakraman yang disebut Sabha

Kertha. Sengketa-sengketa adat meliputi sengketa perkawinan, perceraian, waris,

pengangkatan anak. Lembaga peradilan adat (Sabha Kertha) tersebut diadakan secara

berjenjang yaitu :

a. Penyelesaian sengketa pada tingkat pertama dilakukan oleh Kertha Desa

(pelaksanaan pada tingkat desa/kelurahan/kecamatan), terdiri dari 3

sampai 5 orang hakim perdamaian desa yang dipilih melalui paruman.

b. Penyelesaian sengketa pada tingkat kedua dilakukan oleh Kertha Madya

(pelaksanaan pada tingkat kabupaten/kota), terdiri dari 7 sampai 9 orang

hakim perdamaian Madya yang dipilih melalui paruman.

c. Penyelesaian sengketa pada tingkat terakhir dilakukan oleh Kertha Agung

(pelaksanaan pada tingkat provinsi dan keputusannya bersifat mengikat

dan harus dijalankan), terdiri dari 9 sampai 11 orang hakim perdamaian

Agung yang dipilih melalui paruman.

103 Ibid, Pasal 16.

Page 90: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

90

Hakim perdamaian pada masing-masing tingkatan dipilih dari para prajuru,

tokoh adat/agama dan tokoh masyarakat lainnya yang memahami hukum adat dan

hukum agama.

Pemahaman Desa Pakraman sebagai pengemban fungsi keagamaan disamping

pengemban fungsi adat dan kebudayaan adalah sangat penting, selalu mengingatkan

kita semua agar ajaran Agama Hindu di Bali senantiasa dijadikan nilai yang utama

dalam kehidupan dan pelaksanaan sistem adat. Upaya perlindungan terhadap tanah

adat pada masyarakat desa pakraman di Bali, telah dijabarkan sebelumnya dalam

Pasal 9 ayat (5) bahwa tanah desa pakraman dan atau tanah milik desa pakraman

tidak dapat disertifikasikan atas nama pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa

pengambilalihan atas pemanfaatan tanah adat di Bali tidak dapat dilakukan oleh pihak

asing.

Penguatan hubungan antara desa adat dengan tanahnya itu, kemudian

dibuatkan aturan yang kemudian disuratkan dalam awig-awig yang melarang adanya

pengalihan hak atau jual beli tanah druwe (milik) desa kepada orang yang bukan

sebagai krama desa setempat, juga dilarang untuk menggunakan tanah dimaksud,

kecuali dipergunakan sesuai dengan tujuan (petisi) seperti yang tercantum dalam

awig-awig dan memperoleh persetujuan melalui paruman desa104

.

Tanah dalam kebudayaan Bali merupakan pelaba pura. Artinya, tanah

merupakan dana abadi untuk membiayai keberlanjutan tempat suci pura. Dengan

menjual tanah, orang Bali pada akhirnya kehilangan tanah. Juga kehilangan tradisi

adat, kebudayaan, bahkan upacara keagamaan.

104 I Made Suwitra, 2010, Dampak Konversi dalam UUPA Terhadap Status Tanah Adat di Bali, Jurnal Hukum UII No 1 Vol 17,

hlm : 103-118.

Page 91: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

91

Kenyataannya saat ini, semakin banyak terdapat tanah-tanah adat yang telah

berpindah kepemilikan kepada orang asing. Kecenderungan yang terjadi ketika

pengalih fungsian penguasaan atas tanah adat, lebih dikarenakan krama tamiu (warga

pendatang) tidak melakukan upaya komunikasi (rembug) dan tanpa sepengetahuan

desa adat, namun perizinannya telah diterbitkan oleh Pemda setempat. Perda No 3

Tahun 2001 ini memberi celah bagi krama tamiu (warga pendatang) mendapat hak

atas pawongan dan palemahan, tanpa kewajiban parahyangan. Padahal, logika

hukum adat Bali justru mempersyaratkan kewajiban memikul tanggung jawab

parahyangan-lah yang menyebabkan seseorang sebagai warga adat berhak atas

pawongan dan palemahan, bukan sebaliknya sebagaimana logika dari Perda No 3

Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman105

. Selain itu ketidak jelasan status hukum tanah

komunal mendorong terjadinya pengalihan kepemilikan tanah, sehingga memicu

terjadinya konflik. Beberapa contoh konflik pertanahan di Bali antara lain :

1. Kasus konflik pertanahan di Desa Sumber Klampok Kecamatan

Gerokgah Kabupaten Buleleng.

2. Kasus konflik tanah Desa Selasih Kabupaten Tingkat II Gianyar.

3. Kasus konflik tanah di Desa Pecatu Kabupaten Badung.

4. Kasus konflik tanah pembangunan Garuda Wisnu Kencana.

5. Kasus konflik tanah Bali Nirwana Resort.

6. Kasus konflik tanah pembangunan Pulau Serangan.

7. Kasus pembangunan Kawasan Nusa Penida.

8. Kasus tanah Setra di Bandara Ngurah Rai.

9. Kasus konflik Tanah Sawangan106

.

Pemberlakuan Perda Adat Bali tersebut, lebih dimaksudkan sebagai upaya

pembangunan budaya Bali, mewujudkan pelestarian kebudayaan, sehingga

terciptanya kebudayaan yang mampu menyaring secara selektif nilai-nilai budaya

asing. Sekiranya akan sangat penting mengingat dilain sisi Provinsi Bali tidak lagi

105 Gde Widyatmika, Direktur LBH Denpasar, Majalah Gumi Bali SARAD. 106 Lihat Sukri Abdurrachman, Konflik Pertanahan Vertikal Pada Kawasan Pariwisata di Bali,

Page 92: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

92

menjadi Provinsi dengan homogenitas suku tertentu, melainkan saat ini sudah terdiri

dari bermacam-macam suku yang datang. Dilain itu pengaruh kebudayaan asing dari

luar yang tidak selalu sejalan dengan kebudayaan bangsa timur, akan menjadi salah

satu faktor mengikis dan menyurutnya kebiasaan-kebiasaan adat yang telah lama

hidup dalam masyarakat.

3. 3. 9. Perda Pemberdayaan, Pelestarian, dan Pengembangan Adat Istiadat.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh sebanyak 52

Perda (47.71%) dari 109 Perda adat yang berkaitan dengan pelestarian,

pengembangan, dan pemberdayaan adat istiadat selama masa Reformasi (1998 –

sekarang) di Indonesia.

Adat istiadat atau hukum adat sebenarnya masih sangat kental mewarnai

kehidupan masyarakat desa. Bahkan masyarakat atau komunitas tertentu di kota-

kotapun banyak yang masih membawa kebiasaan dan menerapkan adat istiadat dari

desa atau kampung halaman mereka masing-masing. Sampai di kota atau daerah

perantauan ikatan kekerabatan dalam budaya yang dimiliki masih dipertahankan107

.

Namun, kecenderungan terkikisnya keberadaan adat istiadat dan kelembagaan adat

menjadi pemicu diterbitkannya payung hukum untuk melestarikan, melindungan dan

mengembangkan keberadaan adat istiadat dan lembaga adat di seluruh Indonesia.

107 Lihat Abraham Raubun, Menggelitik Adat Istiadat dan Nilai Budaya Sosial dalam Pembangunan Masyarakat dan Desa,

TERPADU, Media Komunikasi Pembangunan Desa Terpadu, Vol 1, 2011.

Page 93: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

93

3. 3. 10. Pelestarian, Pengembangan, dan Pemberdayaan Adat Istiadat di

Provinsi Jawa Barat

Munculnya penerapan Perda Pelestarian, Pengembangan dan Pemberdayaan

Adat Istiadat di Region Jawa Barat diawali dari diundangkannya Peraturan Daeah

Kabupaten Cianjur No 15 Tahun 2000 Tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta

Pengembangan Adat Istiadat Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat.

Perda tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan peranan nilai-nilai adat

istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat dalam menunjang

kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, kelangsungan pembangunan dan

peningkatan ketahanan nasional serta turut serta dalam upaya mendorong

kesejahteraan warga masyarakat. Selain daripada itu, penerapan Perda Kabupaten

Cianjur tersebut adalah untuk meningkatkan sumber daya manusia dan membentuk

suatu organisasi kemasyarakatan yang mengarah kepada tatanan kehidupan suatu

masyarakat yang tidak merubah nilai, kaidah dan kepercayaan untuk menunjang

pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat.

Beberapa istilah dan pengertian yang termuat dalam Perda Kabupaten Cianjur,

antara lain :

1. Adat istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah dan keyakinan sosial

yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan

perkembangan masyarakat desa dan atau kesatuan masyarakat lainnya serta

nilai atau norma lain yang masih dihayati dan dipelihara masyarakat

sebagaimana terwujud dalam berbagai pola kelakuan yang merupakan

kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat setempat.

2. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat adalah pola-pola kegiatan atau perbuatan

yang dilakukan oleh para warga masyarakat yang merupakan sebuah kesatuan

hukum tertentu yang pada dasarnya dapat bersumber pada hukum adat atau

adat istiadat sebagaimana diakui keabsahannya oleh warga masyarakat

tersebut dan oleh warga masyarakat lainnya.

3. Lembaga adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan baik yang sengaja

dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam

Page 94: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

94

sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum

adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam

hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus

dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan

mengacu kepada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.

4. Wilayah adat adalah wilayah satuan budaya tempat adat istiadat itu tumbuh,

hidup dan berkembang sehingga menjadi penyangga keberadaan adat istiadat

yang bersangkutan.

5. Hak adat adalah hak untuk hidup di dalam memanfaatkan sumber daya yang

ada dalam lingkungan warga masyarakat yang berdasarkan hukum adat yang

berlaku dalam masyarakat atau persekutuan hukum adat tertentu108

.

Tidak dijelaskan secara spesifik bentuk kelembagaan adat dalam Perda

Kabupaten Cianjur tersebut. Lembaga adat berkedudukan sebagai wadah organisasi

permusyawaratan/permufakatan kepala adat/pemangku adat/tetua adat dan pemuka-

pemuka adat lainnya yang berada di luar susunan organisasi pemerintah. Dalam

pelaksanaannya, lembaga adat yang dimaksud dalam Perda Kabupaten Cianjur

mempunyai tugas antara lain :

a. Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada Pemerintah serta

menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan

kebiasaan-kebiasaan masyarakat.

b. Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat dan

kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah

serta memberdayakan masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan

Pemerintah, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan masyarakat.

c. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif antara

kepala adat/pemangku adat dan pimpinan atau pemuka adat dengan aparat

Pemerintah di daerah109

.

Kedudukan organisasi kelembagaan adat berdasarkan Perda Kabupaten

Cianjur tersebut, ditetapkan oleh Kepala Desa dengan persetujuan Badan Perwakilan

Desa. Lembaga adat di Kabupaten Cianjur adalah sebagai mitra Pemerintahan Desa.

108 Lihat Ketentuan Umum Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur No 15 Tahun 2000 Tentang Pemberdayaan dan Pelestarian

serta Pengembangan Adat Istiadat Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat. 109 Ibid, Pasal 5 ayat (2).

Page 95: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

95

Pada region yang sama (Provinsi Jawa Barat), sejak diundangkannya Perda

Kabupaten Cianjur tersebut, diikuti pula oleh penerapan Peraturan Daerah Kabupaten

Garut No 22 Tahun 2000 Tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta

Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat.

Namun, muatan perda tersebut identik dengan muatan dalam Perda Kabupaten

Cianjur. Kecenderungan lahirnya perda-perda identik di Indonesia ini, dapat dijumpai

dalam pembahasan mengenai Perda Pelestarian, Pemberdayaan dan Pengembangan

Adat Istiadat berdasarkan hasil dari penelitian ini.

3. 3. 11. Pelestarian, Pengembangan, dan Pemberdayaan Adat Istiadat Provinsi

Lampung

Pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dapat ditemui

Peraturan Daerah Provinsi Lampung No 2 Tahun 2008 Tentang Pemeliharaan

Kebudayaan Lampung. Masyarakat adat Lampung yang terdiri dari Ruwa Jurai yaitu

Jurai Adat Pepadun dan Jurai Adat Saibatin. Prinsip-prinsip dalam kehidupan sehari-

hari menunjukkan suatu corak keaslian yang khas dalam hubungan sosial

antarmasyarakat Lampung yang disimpulkan dalam 5 prinsip yakni :

1. Piil Pesenggiri, berasal dari bahasa Arab fiil yang berarti perilaku, dan

pesenggiri maksudnya keharusan bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri,

serta tahu kewajiban. Pada filsafat piil tampak nilai-nilai yang tersirat begitu

luhur seperti tercantum dalam kitab hukum adat Kuntara Abung dan Kuntara

Raja Niti, kedua kitab tersebut banyak berisi aturan perikelakuan seseorang,

cara berpakaian, aturan perkawinan, serta hukum pidana adat dan hukum

perdata adat.

2. Sakai Sambayan, mengandung makna dan pengertian yang luas, termasuk

diantaranya tolong menolong, bahu membahu, dan saling memberikan sesuatu

kepada pihak lain yang memerlukan dalam hal ini tidak terbatas pada sesuatu

yang sifatnya materi saja, tetapi juga dalam arti moral termasuk sumbangan

tenaga, pemikiran, dan lain sebagainya.

Page 96: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

96

3. Nemui Nyimah, berarti bermurah hati dan ramah tamah terhadap semua pihak

baik terhadap orang dalam satu klan maupun di luar klan dan juga terhadap

siapa saja yang berhubungan dengan mereka. Jadi selain bermurah hati

dengan memberikan sesuatu yang ada padanya kepada pihak lain, juga sopan

santun dalam bertutur kata terhadap tamu mereka.

4. Nengah Nyappur, adalah tata cara pergaulan masyarakat Lampung dengan

sikap membuka diri dalam pergaulan masyarakat umum, agar berpengetahuan

luas dan ikut berpartisipasi terhadap segala sesuatu yang sifatnya baik dalam

pergaulan dan kegiatan masyarakat yang dapat membawa kemajuan dan selalu

bisa menyesuaikan diri terhadap perkembangan zaman.

5. Bejuluk Beadek, adalah didasarkan kepada titei gemattei yang diwarisi secara

turun temurun secara adat dari zaman nenek moyang dahulu, tata cara

ketentuan pokok yang selalu dipakai diikuti (titei gemattei) diantaranya adalah

ketentuan seseorang selain mempunyai nama juga diberi gelar sebagai

panggilan terhadapnya dan bagi seseorang baik pria maupun wanita jika sudah

menikah diberi adek (beadek) yang biasanya pemberian adek ini dilakukan

atau dilaksanakan didalam rangkaian upacara atau waktu pelaksanaan

perkawinan/pernikahan110

.

Pengembangan dan perlindungan adat yang dimaksud dalam Perda Adat

Lampung tersebut lebih menekankan pada budaya yang meliputi :

1. Bahasa daerah adalah bahasa Lampung yang disesuaikan dengan wilayah

keadatannya yang digunakan sehari-hari sebagai sarana komunikasi dan

intcraksi antar anggota masyarakat dari suku-suku atau kelompok-kelompok

etnis di daerah-daerah dalam wilayah Provinsi Lampung.

2. Sastra daerah adalah sastra yang diungkapkan dalam bahasa daerah baik lisan

maupun tulisan.

3. Aksara daerah adalah aksara Lampung Khaganga yaitu sistim ortografi hasil

masyarakat daerah yang meliputi aksara dan sistim pengaksaraan untuk

menuliskan bahasa daerah.

4. Kesenian adalah kesenian tradisional masyarakat adat Lampung yaitu nilai

estetika hasil perwujudan kreatifitas daya cipta, rasa, karsa dan karya yang

hidup secara turun-temurun dalam mayarakat Lampung.

5. Kepurbakalaan adalah semua tinggalan budaya masyarakat masa lalu yang

bercorak pra sejarah, Hindu-Budha, Islam maupun kolonial.

6. Tinggalan budaya adalah semua benda bergerak dan tidak bergerak yang

menjadi warisan budaya.

7. Kesejarahan adalah dinamika peristiwa yang terjadi di masa lalu dalam

berbagai aspek kehidupan dan hasil rekonstruksi peristiwa-peristiwa tersebut,

110 http://t-indonesia.com/kolom/wforum.cgi?no=3306&reno=3290&oya=3290&mode=msgview&list=new

Page 97: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

97

serta peninggalan-peninggalan masa lalu dalam bentuk pemikiran ataupun

teks tertulis dan tradisi lisan.

8. Nilai tradisional adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang amat

penting dan berguna dalam hidup dan kehidupan manusia yang tercermin

dalam sikap dan perilaku yang selalu berpegang teguh pada adat istiadat.

9. Museum adalah lembaga yang menyelenggarakan pengumpulan,

penyimpanan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia, alam dan

lingkungannya.

10. Lembaga Adat adalah Lembaga Adat Lampung yaitu organisasi

kemasyarakatan yang karena kesejarahan atau asal usulnya memuliakan

hukum adat dan mendorong anggota-anggotanya untuk melakukan kegiatan

pelestarian serta pengembangan adat budaya Lampung.

11. Pakaian Daerah adalah pakaian Adat Lampung yaitu perangkat Pakaian Adat

serta baju telukbelanga dan pakaian yang memberikan corak nilai-nilai

kebesaran budaya Lampung.

12. Budaya Daerah adalah budaya masyarakat Lampung yaitu sistem nilai yang

dianut oleh komunitas/kelompok masyarakat Daerah, yang diyakini akan

dapat memenuhi harapan-harapan warga- masyarakatnya dan di dalamnya

terdapat nilai-nilai, sikap serta tata cara masyarakat yang diyakini dapat

memenuhi kehidupan warga masyarakatnya111

.

Perda Adat Provinsi Lampung dibuat bertujuan untuk mendayagunakan secara

optimal nilai-nilai budaya Lampung, dan bertujuan melindungi, melestarikan dan

mengembangkan nilai-nilai dan keberadaan kebudayaan daerah. Selain itu,

pemeliharaan kebudayaan dimaksudkan untuk meningkatkan kepedulian dalam

melindungi, melestarikan, menghargai budaya, dan meningkatkan ketahanan sosial

dan budaya masyarakat adat Lampung.

Peran serta masyarakat dalam usaha pemeliharaan, pembinaan dan

pengembangan seluruh aspek kebudayaan Lampung juga menjadi muatan

perundangan tersebut. Selain kelembagaan adat yang bersumber dari organisasi

kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang telah tumbuh dan

berkembang di dalam masyarakat.

111 Lihat Ketentuan Umum Peraturan Daerah Provinsi Lampung No 2 Tahun 2008 Tentang Pemeliharaan Kebudayaan

Lampung.

Page 98: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

98

Lembaga adat dalam Perda Provinsi Lampung adalah sebagai wadah

organisasi permusyawaratan/permufakatan kepala adat/pemangku adat/petua-petua

adat/pemuka-pemuka adat lainnya baik yang ada maupun yang berkedudukan diluar

organisasi Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan

Kelurahan/Desa atau Tiuh, Pekon112

dan Kampung. Lembaga adat tersebut memiliki

tugas antara lain sebagai berikut :

a. Menampung dan menyalurkan aspifasi/pendapat masyarakat kepada

Pemerintah.

b. Menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul dalam masyarakat yang

berkenaan dengan hukum adat dan adat istiadat.

c. Melestarikan, mengembangkan dan memberdayakan Kebudayaan Lampung

pada umumnya dan khususnya hal-hal yang berkenaan dengan adat istiadat

Lampung.

d. Memberdayakan masyarakat dalam rangka menunjang peningkatan

penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat

di daerah.

e. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara

kepala adat/pemangku adat/petua-petua adat/pemuka-pemuka adat lainnya

dengan aparatur pemerintahan di daerah113

.

Selain itu, kelembagaan adat dalam pengaturannya di Perda Provinsi

Lampung memiliki kewenangan dan kewajiban yaitu :

a. Mewakili masyarakat adat keluar apabila menyangkut hal-hal yang berkenaan

dengan kepentingan masyarakat adat;

b. Mengelola hak-hak adat dan atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan

kemajuan dan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan;

c. Menyelesaikan berbagai perselisihan yang menyangkut perkara-perkara adat

istiadat sepanjang penyelesaian dimaksud tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Menunjang pemerintah daerah dalam peningkatan penyelenggaraan

pemerintahan daerah. pembangunan dan kesejahteraan masyarakat serta

pemeliharaan kebudayaan Lampung;

112 Pekon adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dengan Sistem Pemerintahan

Nasional dan beberapa di Daerah Kabupaten. Lihat penjelasannya dalam ketentuan umum Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat No 14 Tahun 2000 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga

Adat. 113 Op.Cit, Pasal 19.

Page 99: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

99

e. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya adat istiadat dan

kemajemukan adat istiadat serta kebudayaan daerah;

f. Menegaskan makna dan hakekat adat dan budaya sebagai kekuatan lokal yang

hidup seeara dinamis dasn menciptakan kondisi yang dapat inenjamin tetap

terpeliharanya kebhinekaan masyarakat adat dalam memperkokoh persatuan

dan kesatuan bangsa114

.

Dalam Perda Provinsi Lampung ini juga diatur mengenai penjatuhan sanksi

administratif dan ketentuan pidana sebagai upaya penegakan hukum atas

perlindungan, pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan di Provinsi Lampung.

Penjatuhan sanksi administratif diberikan apabila suatu bangunan publik, gedung

yang sudah ada maupun yang akan dibangun tidak menggunakan ornamen khas

lampung berupa siger115

, jung kain kapal, dan tugu. Sanksi administratif dapat

berupa:

a. Teguran lisan.

b. Peringatan tertulis.

c. Penundaan pemberian layanan publik116

.

Sedangkan penjatuhan sanksi pidana diberikan apabila terjadi pelanggaran

oleh masyarakat yang tidak mendaftarkan, dalam hal ini menyimpan atas temuan

kepurbakalaan dan benda tinggalan budaya. Penjatuhan pidana dengan pidana penjara

paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima

puluh juta rupiah,-)117

.

Mengenai produk juridis terkait pelestarian, pengembangan dan

pemberdayaan adat istiadat di Provinsi Lampung. Sejak tahun 2000, telah

diundangkan beberapa Perda di tingkat Kabupaten. Hasil yang didapat selama

114 Ibid, Pasal 21. 115 Siger adalah topi adat pengantin wanita Lampung. Menara Siger berupa bangunan berbentuk mahkota terdiri dari sembilan

rangkaian yang melambangkan sembilan macam bahasa di Lampung. Menara Siger berwarna kuning dan merah,

mewakili warna emas dari topi adat pengantin wanita. Bangunan ini juga berhiaskan ukiran corak kain tapis khas Lampung.

116 Op.Cit, Pasal 27 ayat (2). 117 Op.Cit, Pasal 28 ayat (2).

Page 100: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

100

penelitian menunjukan beberapa Perda tingkat kabupaten telah diundangkan jauh

sebelum diundangkannya Perda Provinsi, beberapa Perda terkait yang diperoleh

selama penelitian ini antara lain :

1. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat No 14 Tahun 2000 Tentang

Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga

Adat.

2. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Tengah No 11 Tahun 2000 Tentang

Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga

Adat.

3. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur No 32 Tahun 2000 Tentang

Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga

Adat Kabupaten Lampung Timur.

4. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Utara No 13 Tahun 2000 Tentang

Pelestarian, Pengembangan dan Pemberdayaan Adat Istiadat dan Lembaga

Adat.

5. Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus No 28 Tahun 2000 Tentang

Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga

Adat.

6. Peraturan Daerah Kabupaten Way Kanan No 35 Tahun 2000 Tentang

Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat serta Lembaga Adat.

7. Peraturan Daerah Kabupaten Tulang Bawang No 16 Tahun 2001 Tentang

Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga

Adat.

8. Peraturan Daerah Provinsi Lampung No 2 Tahun 2008 Tentang Pemeliharaan

Kebudayaan Lampung118

.

Namun, seperti halnya produk hukum Kabupaten Cianjur yang telah

dipaparkan sebelumnya. Kecenderungan produk hukum bermuatan identik antara satu

dengan lainnya tetap terjadi di Regional Lampung. Hal tersebut adalah sebagai upaya

penyeragaman dan sebagai penguatan keberadaan adat istiadat di Provinsi Lampung.

118 Hasil penelitian dan pengkajian data peneltian CLDS FH UII 2012.

Page 101: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

101

3. 3. 12. Pelestarian, Pengembangan, dan Pemberdayaan Adat Istiadat di

Provinsi Jambi.

Pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat

dimotori dengan terbitnya Perda Kabupaten Jabung Barat No 7 Tahun 2001. Dalam

Perda Adat tersebut dipaparkan bahwa ditujukan untuk pengembangan sumber daya

manusia, pelestarian kebudayaan, dan menciptakan kebudayaan daerah yang

menunjang kebudayaan nasional, serta peningkatan peran lembaga adat dalam

kehidupan bermasyarakat.

Dalam Perda Kabupaten Jabung Barat No 7 Tahun 2001 tersebut, mengatur

mengenai mekanisme pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan

lembaga adat, yang dilakukan bersama-sama dengan Organisasi atau Lembaga Adat

oleh :

a. Bupati Tanjung Jabung Barat.

b. Camat di wilayah Kecamatan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

c. Kepala Desa/Kepala Kelurahan di wilayah Desa/Kelurahan Kabupaten

Tanjung Jabung Barat.

d. Kepala Adat/Pemangku Adat/Tetua Adat atau Pemimpin/Pemuka-pemuka

Adat di wilayah adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat119

.

Implementasi atas upaya pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat

istiadat yang dilakukan diatas, dituangkan dalam kebijakan dan atau langkah-langkah

berbentuk Keputusan Bupati Tanjung Jabung Barat dan Peraturan perundang-

undangan lain yang berdaya guna dan berhasil guna dengan berpedoman kepada

Peraturan Daerah ini setelah dimusyawarahkan dengan Pemimpin atau pemuka adat.

119 Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat No 7 Tahun 2001 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan

Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Pasal 2.

Page 102: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

102

Upaya pemberdayaan dan pelestarian serta pengembangan terhadap adat-

istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan Lembaga Adat dalam Perda Kabupaten

Tanjung Jabung Barat ini, diarahkan menuju terciptanya :

a. Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya melalui penyelenggaraan

pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan Kemasyarakatan

yang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku.

b. Terwujudnya pelestarian Kebudayaan Daerah, baik dalam upaya memperkaya

Kebudayaan Daerah maupun dalam rangka memperkaya khasanah

Kebudayaan Nasional.

c. Terciptanya Kebudayaan Daerah yang menunjang Kebudayaan Nasional yang

mengandung nilai-nilai luhur dan beradab sehingga mampu menyaring secara

selektif terhadap nilai-nilai budaya asing yakni menerima yang positif dan

menolak yang negatif.

d. Terkondisinya suasana yang dapat mendorong peningkatan peranan dan

fungsi adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan Lembaga Adat

dalam upaya:

1) Meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia dalam memperkuat

jati diri dan kepribadian bangsa.

2) Meningkatkan sikap kerja keras, disiplin dan tanggung jawab sosial,

menghargai prestasi, berani bersaing, maupun bekerja sama dan

menyesuaikan diri serta kreatif, untuk memajukan diri pribadi secara

sosial dan memajukan masyarakat.

3) Mendukung dan berpartisipasi aktif dalam menunjang kelancaran

penyelenggaraan pemerintah, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan

kemasyarakatan pada semua tingkatan Pemerintah di Daerah terutama di

Desa/Kelurahan120

.

Pengertian yang terkandung didalam Perda Kabupaten Tanjung Jabung Barat

terkait Lembaga Adat adalah, sebuah organisasi Kemasyarakatan, baik yang sengaja

dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang didalam sejarah

masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu

dalam wilayah hukum dan hak atau harta kekayaan didalam wilayah hukum tersebut,

serta berhak dan berwenang untuk mengatur mengurus dan menyelenggarakan

120 Ibid, Pasal 5.

Page 103: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

103

berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan mengaju pada adat istiadat

dan hukum adat yang berlaku. Dengan tugas sebagai berikut :

a. Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah serta

menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan

kebiasaan-kebiasaan masyarakat;

b. Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat-istiadat dan

kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah

serta memberdayakan masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan

Pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan Kemasyarakatan;

c. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara

Kepala Adat/Pemangku Adat/Tetua Adat dan Pimpinan atau Pemuka Adat

dengan Aparat Pemerintah di daerah.

Terkait dengan susunan organisasi kelembagaan adat, terdiri dari :

1. Pembina

2. Penasehat.

3. Pengurus, yang terdiri dari :

a. Ketua dan wakil ketua.

b. Sekretaris umum dan wakil sekretaris.

c. Bendahara dan wakil bendahara.

d. Seksi-seksi, yaitu :

- Seksi Organisasi dan kaderisasi

- Seksi Sejarah dan Kepurbakalaan

- Seksi Hukum Adat

- Seksi Pembangunan

- Seksi Pengerahan Sarana

- Seksi Lingkungan hidup, Pelestarian Sumber Daya Alam dan

Keluarga Berencana

- Seksi Kesenian dan Kebudayaan

- Seksi Peranan Wanita

- Seksi Kesejahteraan Rakyat dan Pembinaan Agama121

.

121 Ibid, Pasal 9. Jumlah seksi yang terdapat dalam struktur organisasi kelembagaan adat tersebut, dapat ditambah atau dikurangi

sesuai kebutuhan.

Page 104: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

104

Ketua Lembaga Adat berdasar pada Perda Tanjung Jabung Barat, dipilih

setiap 5 (lima) tahun sekali dan dapat dipilih kembali untuk masa jabatan lima tahun

berikutnya. Pemilihan Ketua Lembaga Adat dilakukan oleh Musyawarah Adat Desa

dengan Pengesahan Bupati melalui rekomendasi Lembaga Adat Kecamatan. Ketua

Lembaga Adat memiliki kewajiban untuk memberikan laporan kerja setiap tahun

kepada Pemerintah Kabupaten, dan memberikan laporan pertanggung jawaban sekali

dalam lima tahun kepada Bupati. Bila dalam pelaksanaan kerja Ketua Lembaga Adat

tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik maka atas usulan para anggota adat

dengan persetujuan Bupati, dapat diberhentikan. Hal-hal lain yang menjadi alasan

pemberhentian Ketua Lembaga Adat :

a. Meninggal dunia;

b. Sakit keras berkepanjangan;

c. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku dan atau norma yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat adat122

.

Sejalan dengan diterapkannya Perda Kabupaten Tanjung Jabung Barat terkait

pembinaan dan pengembangan adat istiadat, di Kabupaten Batang Hari diterbitkan

Peraturan Daerah Kabupaten Batang Hari No 6 Tahun 2008 Tentang Pembinaan dan

Pengembangan Adat dan Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam. Dengan

berfalsafah pada Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (Adat yang

bersendikan pada Syara’, dan Syara’ yang bersendikan pada Kitabullah), penerapan

Perda Kabupaten Batang Hari ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan

adat dan lembaga adat Bumi Serentak Bak Ragam dalam menunjang kelancaran

122 Ibid, Pasal 12.

Page 105: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

105

kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta memperkuat

ketahanan nasional.

Adat Bumi Serentak Bak Regam adalah seperangkat nilai-nilai, kaidah-kaidah

dan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang sejak lama bersamaan dengan

pertumbuhan masyarakat dalam Kabupaten Batang Hari123

. Adat Bumi Serentak Bak

Regam yang tumbuh dan berkembang sepanjang masa tersebut telah memberikan ciri

khas bagi suatu daerah yang dalam skala lebih besar telah memberikan identitas pula

bagi Bangsa Indonesia.

Dalam muatan Perda Kabupaten Batang Hari tersebut, pengertian Lembaga

Adat Serentak Bak Regam adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang dibentuk

oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, mempunyai wilayah tertentu dan

harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus

serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan Adat Bumi Serentak Bak Regam

Kabupaten Batang Hari124

. Seperti halnya beberapa Perda-perda terkait pada

pembahasan sebelumnya, perda mengenai pemberdayaan, pelestarian dan

pengembangan Adat Bumi Serentak Bak Regam ini tidak menjabarkan lembaga adat

dan bentuk penyelesaian konflik/perkara adat. Melainkan secara identik memiliki

muatan sama dengan Perda-perda pelestarian, perlindungan dan pengembangan adat

istiadat lainnya.

Pembinaan dan Pengembangan Adat dan Lembaga adat Bumi Serentak Bak

Regam bertujuan :

a. Membina kerukunan dan rasa aman dalam hidup dan kehidupan masyarakat di

Bumi Serentak Bak Regam;

123 Lihat Ketentuan Umum Peraturan Daerah Kabupaten Batang Hari No 6 Tahun 2008 Tentang Pembinaan dan Pengembangan

Adat dan Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam. 124 Ibid, Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (9).

Page 106: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

106

b. Menghimpun dan menghidupkan potensi adat untuk membantu pemerintah

dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan;

c. Mengembangkan dan meneruskan nilai-nilai luhur adat kepada generasi

penerus melalui ketahanan keluarga;

d. Menggali sejarah dan hukum adat dalam rangka memperluas khazanah

budaya daerah serta membantu penyusunan sejarah dan pembinaan hukum125

.

Kedudukan dan wilayah Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam :

a. Lembaga Adat Serentak Bak Regam tingkat berkedudukan di ibukota

Kabupaten Batang Hari dan merupakan Lembaga Adat tertinggi dalam

Kabupaten Batang Hari.

b. Lembaga Adat Serentak Bak Regam tingkat Kecamatan/Kelurahan

berkedudukan di Kecamatan/Kelurahan dan merupakan Lembaga Adat

tertinggi di Kecamatan/Kelurahan yang bersangkutan.

c. Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam tingkat Desa berkedudukan di

Desa dan merupakan Lembaga Adat Tertinggi di Desa yang bersangkutan126

.

Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam mempunyai tugas :

a. Menggali dan mengembangan adat bumi serentak bak regam dalam upaya

melestarikan kebudayaan daerah Kabupaten Batang Hari guna memperkaya

khasanah kebudayaan bangsa;

b. Mengurus dan mengelola hal-hal yang berkaitan dan berhubungan dengan

adat serentak bak regam;

c. Menyelesaikan perkara-perkara perdata adat di daerah Kabupaten Batang Hari

sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

belaku; dan

d. Mengiventarisir, mengamankan, memelihara dan mengurus serta

memanfaatkan sumber-sumber kekayaan yang dimiliki oleh lembaga adat

bumi serentak bak regam untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat127

.

Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam mempunyai fungsi :

a. Membantu pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pembangunan di

segala bidang, terutama dibidang sosial kemasyarakatan dan sosial budaya.

b. Memberi kedudukan hukum menurut adapt terhadap hal-hal yang menyangkut

harga kekayaan masyarakat hukum adat di tiap-tiap tingkat lembaga adat

bumi serentak bak regam guna kepentingan hubungan keperdataan adat, juga

dalam hal adanya persengketaan atau perkara perdata adat dan pidana adat.

125 Ibid, Pasal 3. 126 Ibid, Pasal 4. 127 Ibid, Pasal 5.

Page 107: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

107

c. Melaksanakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat istiadat bumi

serentak bak regam di daerah Kabupaten Batang Hari, dalam rangka

memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah pada

khususnya dan kebudayaan nasional pada umumnya.

d. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan ketentuan-ketentuan adat Kabupaten

Batang Hari yang hidup dan berkembang dalam masyarakat untuk

kesejahteraan masyarakat128

.

Mengacu pada kenyataan bahwa Adat Bumi Serentak Bak Regam yang telah

tumbuh dan berkembang sepanjang zaman tersebut ternyata dapat memberikan andil

yang cukup besar terhadap kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara, baik dalam masa perjuangan mencapai kemerdekaan maupun dalam

mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Bagi Daerah Kabupaten Batang Hari hal

ini antara lain tercermin dari fungsi dan peranan yang telah dilaksanakan oleh

Lembaga-Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam di Marga, Mendapo dan

Kampung.

Walaupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah tidak mengatur adanya Marga, Mendapo dan Kampung, akan tetapi mengakui

adanya kesatuan masyarakat hukum adat, Adat yang masih hidup dalam masyarakat

sepanjang dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Adat

Bumi Serentak Bak Regam telah memberikan ciri bagi suatu daerah dan dapat

menjadi salah satu soko guru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut

perlu dibina, dipelihara dan dilestarikan sebagai upaya memperkaya khasanah budaya

bangsa, memperkuat ketahanan nasional dan untuk mendukung kelangsungan

pembangunan nasional, khususnya pembangunan di Kabupaten Batang Hari. Untuk

itu dipandang penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Batang Hari tentang

Pembinaan dan Pengembangan Adat Bumi Serentak Bak Regam, diharapkan dapat

128 Ibid, Pasal 6

Page 108: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

108

diperoleh dasar hukum yang kuat bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan

pembinaan dan pengembangan adat istiadat Bumi Serentak Bak Regam.

3. 3. 13. Qanun Aceh No 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat

dan Adat Istiadat

Kehidupan adat pada masyarakat Aceh telah berlangsung sejak lama, dan

berkembang dalam kehidupan masyarakatnya hingga sekarang dengan nilai-nilai

budaya, norma adat, dan Syariat Islam. Pembinaan dan pengembangan kehidupan

adat tersebut, perlu dilaksanakan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi

berikutnya sehingga dapat memahami nilai-nilai adat dan budaya yang berkembang

dan hidup dalam masyarakat adat Aceh. Sebagai implementasi dari pembinaan

kehidupan adat istiadat tersebut, maka diundangkanlah Qanun Aceh No 9 Tahun

2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.

Beberapa istilah dalam pemaparan Qanun Aceh tersebut antara lain adalah :

1. Wali Nanggroe adalah pemimpin lembaga adat Nanggroe yang independen

sebagai pemersatu masyarakat, berwibawa dan berwenang membina dan

mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat dan adat

istiadat, pemberian gelar/derajat dan pembina upacara-upacara adat di Aceh

serta sebagai penasehat Pemerintah Aceh.

2. Adat adalah aturan perbuatan dan kebiasaan yang telah berlaku dalam

masyarakat yang dijadikan pedoman dalam pergaulan hidup di Aceh.

3. Hukum Adat adalah seperangkat ketentuan tidak tertulis yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat Aceh, yang memiliki sanksi apabila dilanggar.

4. Adat-istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi

pendahulu yang dihormati dan dimuliakan sebagai warisan yang sesuai

dengan Syariat Islam.

5. Kebiasaan adalah sikap dan perbuatan yang dilakukan secara berulang kali

untuk hal yang sama, yang hidup dan berkembang serta dilaksanakan oleh

masyarakat.

6. Pemangku Adat adalah orang yang menduduki jabatan pada lembaga-lembaga

adat.

Page 109: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

109

7. Reusam atau nama lain adalah petunjuk-petunjuk adat istiadat yang berlaku di

dalam masyarakat.

8. Upacara adat adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan

norma adat, nilai dan kebiasaan masyarakat adat setempat129

.

Berbeda dengan mayoritas corak kehidupan adat di Indonesia, masyarakat

adat Aceh memiliki corak kehidupan adat yang berpedoman pada nilai-nilai Islami.

Hal tersebut didasarkan pada asas :

a. Keislaman,

b. Keadilan,

c. Kebenaran,

d. Kemanusiaan,

e. Keharmonisan,

f. Ketertiban dan keamanan,

g. Ketentraman,

h. Kekeluargaan,

i. Kemanfaatan,

j. Kegotong-royongan,

k. Kedamaian,

l. Permusyawaratan, dan

m. Kemaslahatan umat.130

Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat, dimaksudkan

untuk membangun kehidupan harmonis dan seimbang yang diridhoi oleh Allah SWT,

dalam hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, dan rakyat

dengan pemimpinnya. Selain itu, pembinaan dan pengembangan kehidupan adat

bertujuan untuk :

a. Menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis.

b. Tersedianya pedoman dalam menata kehidupan bermasyarakat.

c. Membina tatanan masyarakat adat yang kuat dan bermanfaat.

d. Memelihara, melestarikan dan melindungi khasanah-khasanah adat, budaya,

bahasa-bahasa daerah dan pusaka adat.

e. Merevitalisasi adat, seni budaya dan bahasa yang hidup dan berkembang di

Aceh, dan

f. Menciptakan kreativitas yang dapat memberi manfaat ekonomis bagi

kesejahteraan masyarakat131

.

129 Ketentuan Umum Qanun Aceh No 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. 130 Ibid, Pasal 3. 131 Ibid, Pasal 5.

Page 110: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

110

Didalam pelaksanaannya, tanggung jawab untuk memelihara,

mengembangkan, melindungi, dan melestarikan kehidupan adat tersebut dilakukan

oleh Wali Nanggroe. Majelis Adat dan lembaga-lembaga adat lainnya melakukan

pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat sesuai dengan Syariat

Islam.132

Hal tersebut untuk menjamin agar pelaksanaan adat dan adat istiadat tidak

bertentangan dengan nilai-nilai Syariat Islam. Pelaksanaan pembinaan dan

pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat, dilaksanakan melalui :

a. Lingkungan keluarga.

b. Jalur pendidikan.

c. Lingkungan masyarakat.

d. Lingkungan kerja, dan

e. Organisasi sosial kemasyarakatan133

.

Kegiatan-kegiatan adat yang termasuk dalam lingkup pembinaan,

pengembangan dan pelestarian adat antara lain dalam hal :

a. Tatanan adat dan adat istiadat.

b. Arsitektur Aceh.

c. Ukiran-ukiran bermotif Aceh.

d. Cagar budaya.

e. Alat persenjataan tradisional.

f. Karya tulis ulama, cendikiawan dan seniman.

g. Bahasa-bahasa yang ada di Aceh.

h. Kesenian tradisional Aceh.

i. Adat perkawinan.

j. Adat pergaulan.

k. Adat bertamu dan menerima tamu.

l. Adat peutamat dareuh (Khatam Al-Quran).

m. Adat mita raseuki (berusaha).

n. Pakaian adat.

o. Makanan/pangan tradisional Aceh.

p. Perhiasan-perhiasan bermotif Aceh.

132 Ibid, Pasal 8. 133 Ibid, Pasal 9 ayat (2)

Page 111: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

111

q. Kerajinan bermotif Aceh.

r. Piasan tradisional Aceh, dan

s. Upacara-upacara Adat lainnya134

.

Terkait dengan sengketa adat, penyelesaian dilaksanakan dan diselesaikan

terlebih dahulu secara adat di Gampong. Gampong dilaksanakan oleh tokoh-tokoh

adat yang terdiri atas Keuchik, Imeum Meunasah, Tuha Peut, Sekretaris Gampong,

dan Ulama, Cendekiawan dan tokoh adat lainnya di Gampong. Sengketa/perselisihan

adat dan adat istiadat meliputi:

a. Perselisihan dalam rumah tangga;

b. Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;

c. Perselisihan antar warga;

d. Khalwat meusum;

e. Perselisihan tentang hak milik;

f. Pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);

g. Perselisihan harta sehareukat;

h. Pencurian ringan;

i. Pencurian ternak peliharaan;

j. Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;

k. Persengketaan di laut;

l. Persengketaan di pasar;

m. Penganiayaan ringan;

n. Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);

o. Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;

p. Pencemaran lingkungan (skala ringan);

q. Ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan

r. Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat135

.

Sanksi adat yang dapat dijatuhkan dalam penyelesaian sengketa adat antara

lain :

a. Nasehat.

b. Teguran.

c. Pernyataan maaf.

d. Sayam136

.

e. Diyat.

f. Denda.

134 Ibid, Pasal 12 ayat (1). 135 Ibid, Pasal 13 ayat (1). 136 Sayam adalah perdamaian persengketaan/perselisihan yang mengakibatkan keluar darah (roe darah) yang diformulasikan

dalam wujud ganti rugi berupa penyembelihan hewan ternak dalam sebuah acara adat. Lihat Penjelasan Qanun Aceh.

Page 112: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

112

g. Ganti kerugian.

h. Dikucilkan oleh masyarakat gampong.

i. Dikeluarkan dari masyarakat gampong.

j. Pencabutan gelar adat, dan

k. Sanksi lain sesuai dengan adat setempat137

.

Aturan khusus lainnya dalam pelaksanaan sanksi adat adalah bahwa keluarga

pelanggar adat ikut bertanggung jawab atas terlaksananya sanksi adat yang dijatuhkan

kepada anggota keluarganya. Dan pemberlakuan Qanun Aceh ini tidak mengubah

ketentuan-ketentuan juridis terdahulu sepanjang tidak bertentangan, sesuai dengan

ketentuan peralihan yang terkandung didalam Qanun Aceh No 9 Tahun 2008.

3. 3. 14. Perda Penanganan Sengketa Adat (Konflik Etnik)

Dilatar belakangi konflik di tahun 2001, sejarah konflik yang terjadi antara

warga Dayak dan Madura hingga menimbulkan kerusuhan dan tragedi besar di bumi

Kalimantan. Pertikaian tersebut timbul karena disatu sisi timbulnya kesenjangan

sosial antara warga pendatang (Madura) dengan warga adat asli (Dayak).

Konflik yang timbul bermuara pada ‘pembangunan’ yang dipromosikan rejim

Suharto selama tiga puluh tahun lebih. Sumber-sumber daya alam, termasuk hutan

dan tambang Kalimantan diberikan kepada elite bisnis yang berkuasa sebagai konsesi.

Pemilik adat - masyarakat adat Dayak - secara sistematis ditolak hak-haknya atas

tanah dan sumber daya alam. Mereka tidak punya jalan untuk menempuh langkah

hukum dalam mempertahankan hak-hak mereka karena, berdasarkan undang-undang

Indonesia, hutan merupakan milik negara138

.

Akibat dari konflik yang terjadi itu mengakibatkan lebih dari 500 korban jiwa,

dengan lebih dari 100.000 warga pendatang (Madura) kehilangan tempat

137 Ibid, Pasal 16 ayat (1). 138 Down To Earth (DTE) Nr 49, Mei 2001.

Page 113: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

113

tinggalnya.139

Tidak diragukan lagi bahwa imbas dari konflik yang terjadi akan

semakin meluas jika tidak segera ditindak lanjuti dan diselesaikan, walaupun

benturan budaya antara warga pendatang dan warga asli.

Adanya rasa aman dan nyaman merupakan kebutuhan dasar bagi umat

manusia. Kebutuhan ini mendorong semua unsur masyarakat untuk

memperjuangkannya dengan cara dan peran masing-masing. Maka menciptakan rasa

aman adalah tugas semua unsur masyarakat. Tetapi bila terjadi ”perebutan peran” dan

sering memakai kekerasan dengan akibat warga masyarakatlah yang menjadi korban

di tengah perseteruan dan inilah cikal bakal terjadi atau terulangnya konflik140

.

Pembahasan mengenai pengaturan dampak konflik dari Perda ini, terdiri dari

mekanisme penanganan penduduk akibat dampak konflik etnik, rekonsiliasi sebagai

pemulihan keadaan dampak konflik, rehabilitasi bagi penduduk dampak konflik, serta

pengertian istilah adat dan kelembagaannya.

Berdasar pada falsafah adat Belum Bahdat141

dan falsafah dimana bumi

dipijak, disitu langit dijunjung, sebagai dampak dari adanya konflik antar etnis yang

terjadi. Maka diperlukan dasar hukum kuat untuk mengembalikan dan menstabilkan

kehidupan secara berdampingan antara masyarakat secara damai. Dalam

pelaksanaannya, mekanisme rehabilitasi dan rekonsiliasi dampak konflik etnik di

Kalimantan Tengah dilakukan oleh pemerintah setempat dengan pertimbangan

Damang (Kepala Adat) dilakukan secara bertahap.

139 Lihat id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Sampit 140 Ahmad Ridwan, Refleksi Sepuluh Tahun Konflik Sambas.

Lihat : http://achmadridwan.blogspot.com/2009/01/tiga-waktu-tiga-peristiwa.html 141 Falsafah hidup masyarakat Kalimantan Tengah yang bermakna bahwa manusia itu hidup berada pada suatu tempat

menjunjung tinggi etika dan estetika antara adat istiadat masyarakat setempat. Lihat Profile Provinsi Kalimantan

Tengah, diakses dari http://www.depdagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/62/kalimantan-tengah

Page 114: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

114

Pemberlakuan Perda Penanganan Dampak Konflik Etnik ini, ditujukan untuk

menciptakan kembali kehidupan antara masyarakat adat Dayak dengan Suku Madura

secara damai. Selain mencegah timbulnya kembali konflik etnik di Kalimantan

Tengah, maka pemberlakuan Perda ini juga menjadi payung hukum yang kuat atas

keberlangsungan kehidupan secara damai.

Beberapa pengaturan istilah yang terkandung didalam Peraturan Daerah

Provinsi Kalimantan Tengah No 9 Tahun 2001 Tentang Penanganan Penduduk

Dampak Konflik Etnik, antara lain sebagai berikut :

a. Penanganan Penduduk Dampak Konflik Etnik adalah Upaya normalisasi

kehidupan penduduk daerah, yang terkena dampak konflik etnik baik secara

langsung maupun tidak langsung untuk menciptakan kehidupan secara

harmonis dan sejahtera.

b. Rekonsiliasi adalah kesepakatan kedua pihak berkonflik untuk memulihkan

keadaan agar kembali dapat hidup rukun dan damai, saling menghargai dalam

suasana kebersamaan.

c. Rehabilitasi adalah pemulihan keadaan semula dalam bentuk pelayanan sosial,

pembinaan mental dan bantuan penyediaan pemukiman kembali (Relokasi)

dan transmigrasi bagi penduduk dampak konflik.

d. Damang Kepala Adat adalah Pimpinan Adat dari satu Kedamangan yang

diangkat/pilih berdasarkan hasil pemilihan, oleh beberapa

Desa/Kelurahan/Kecamatan yang termasuk wilayah Kedamangan.

e. Kedamangan adalah kesatuan masyarakat adat dalam Propinsi Kalimantan

Tengah yang terdiri dari himpunan beberapa Desa/Kelurahan/Kecamatan yang

mempunyai wilayah tertentu, yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

f. Adat Istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah dan keyakinan

sosial yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbahan dan

perkembangan masyarakat Desa dan satuan masyarakat lainnya serta nilai

atau norma lain yang masih dihayati dan dipelihara masyarakat sebagaimana

terwujud dalam berbagai pola nilai kelaluan yang mempertahankan kebiasaan

- kebiasaan dalam kehidupan masyarakat setempat.

g. Majelis Adat adalah Dewan Adata yang mengemban tugas tertentu dibidang

pemberdayaan dan pelestarian serta pengembangan adat istiadat, kebiasaan-

kebiasaan masyarakat, Lembaga Adat dan Hukum Adat di daerah.

h. Masyarakat Adat adalah masyarakat Kalimantan Tengah yang menggunakan

norma adat sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat.

i. Hukum Adat adalah Hukum Adat Dayak di Kalimantan Tengah.

j. Penduduk adalah penduduk Kalimantan Tengah.

Page 115: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

115

k. Etnik adalah etnik Dayak, etnik Madura dan etnik lainnya sebagai penduduk

Kalimantan Tengah142

.

Dalam Perda Provinsi Kalimantan Tengah tersebut diatur mengenai

mekanisme pengembalian penduduk akibat konflik etnik, diantaranya melalui

pendataan dan pendaftaran penduduk. Proses pengembalian penduduk dilakukan

berdasarkan pada syarat-syarat yang tercantum dalam Perda tersebut sebagai berikut :

a. Sanggup hidup rukun, berdampingan secara damai.

b. Diakui dan diterima keberadaannya oleh masyarakat lingkungannya dan

Masyarakat Adat.

c. Wajib dan sanggup mentaati nilai-nilai budaya serta adat istiadat setempat dan

meninggalkan budaya kekerasan143

.

Terkait pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan pengembalian

penduduk akibat dampak konflik etnik, kegiatan tersebut diatur melalui Keputusan

Gubernur dan bertujuan untuk menjaga kelancaran mobilisasi penduduk di daerah.

Penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan Peraturan Daerah Provinsi

Kalimantan Tengah ini, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Pengecualian terhadap pelanggaran falsafah Belum Bahadati

dan falsafah dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung dikenakan sanksi sesuai

hukum adat144

.

Dengan diundangkannya Perda Provinsi Kalimantan Tengah ini, diharapkan

mampu menciptakan kembali suasana aman kedua belah pihak yang terlibat dalam

konflik etnik. Serta, penerapan payung hukum ini merupakan manifestasi dalam

142 Lihat Ketentuan Umum Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 9 Tahun 2001 Tentang Penanganan Penduduk

Dampak Konflik Etnik. 143 Ibid, Pasal 8 ayat (2) 144 Ibid, Pasal 13 ayat (1 dan 2).

Page 116: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

116

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-undang Dasar 1945.

3. 3. 15. Perda Nagari di Sumatera Barat

Sejak diberlakukan pertama kali di Kabupaten Solok pada tahun 2001 dengan

lahirnya Perda Kabupaten Solok No 4 Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari,

kehidupan masyarakat di Sumatera Barat kembali kepada sistem pemerintahan

terendah yang bernama Pemerintahan Nagari. Perubahan nagari ke desa, dan

sekarang kembali lagi ke nagari, adalah sebuah perubahan yang memperlihatkan

dinamika dari perkembangan sejarah pemerintah di tingkat bawah yang terjadi di

Ranah Minang, Sumatera Barat. Perubahan nagari ke desa dan kemudian kembali ke

nagari bukan hanya sekadar perubahan nama, tetapi juga sistem, orientasi, dan

filosofinya145

. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintahan desa sebagai

pengganti pemerintahan nagari ternyata tidak dapat melaksanakan fungsi-fungsinya

dengan baik. Kinerja pemerintahan desa dinilai kurang memuaskan dan jauh dari

harapan. Masyarakat misalnya mengalami kesulitan berurusan dengan aparat

pemerintahan desa karena jam kantor dan kehadiran aparatnya tidak teratur,

administrasi pemerintahan sering terbengkalai, dan pemerintahan desa dinilai kurang

mampu menggerakan potensi yang ada di Nagari146

.

Adanya otonomi daerah memunculkan ide untuk mengembalikan sistem

pemerintahan di Sumatera Barat kepada sistem pemerintahan nagari. Sehingga di

daerah Sumatera Barat timbul suatu istilah yang dikenal dengan konsep “kembali ke

145 Pemikiran Mochtar Naim, anggota DPD RI Sumatera Barat, dalam Kembali ke Sistem Pemerintahan Nagari, diakses dari

http://www.cimbuak.net/content/view/346/7/ 146 Online Library, Institut Pertanian Bogor, hlm : 62. Diakses dari

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/40612/Bab%203%202006asm.pdf?sequence=4

Page 117: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

117

nagari”. Disebut dengan “kembali” karena memang di Sumatera Barat pernah

menggunakan suatu sistem pemerintahan nagari yang pernah jaya dan memiliki

kesatuan dengan nilai sistem yang demokrasi dengan musyawarah dan mufakat

“bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” serta didasari oleh falsafah “Adat

Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam

Takambang Jadi Guru”147

.

Dalam penelitian ini, didapat hasil yang menunjukan sebagai pioneer lahirnya

Perda-perda Pemerintahan Nagari di beberapa kabupaten dan termasuk Perda

Provinsi di Sumatera Barat selama era Reformasi (1999-2011), yaitu :

1. Peraturan Daerah Kabupaten Solok No 4 Tahun 2001 Tentang

Pemerintahan Nagari.

2. Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman No 16 Tahun 2001 Tentang

Pemerintahan Nagari.

3. Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No 17 Tahun 2001 Tentang

Pemerintahan Nagari.

4. Peraturan Daerah Kabupaten Solok Selatan No 4 Tahun 2005 Tentang

Pemerintahan Nagari.

5. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 2 Tahun 2007 Tentang

Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari.

6. Peraturan Daerah Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung No 5 Tahun 2007

Tentang Pemerintahan Nagari.

7. Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman No 8 Tahun 2007 Tentang

Pemerintahan Nagari

8. Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan No 8 Tahun 2007 Tentang

Pemerintahan Nagari.

9. Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota No 10 Tahun 2007

Tentang Pemerintahan Nagari.

10. Peraturan Daerah Kabupaten Agam No 12 Tahun 2007 Tentang

Pemerintahan Nagari.

11. Peraturan Daerah Kabupaten Dharmasraya No 2 Tahun 2008 Tentang

Pemerintahan Nagari.

12. Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No 4 Tahun 2008 Tentang

Nagari.

147 Online Library Universitas Sumatera Utara, hlm : 1-2. Diakses dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17737/4/Chapter%20I.pdf

Page 118: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

118

13. Peraturan Daerah Kabupaten Dharmasraya No 4 Tahun 2009 Tentang

Pembentukan dan Penataan Nagari.

14. Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman No 5 Tahun 2009 Tentang

Pemerintahan Nagari148

.

Berdasarkan kajian kepustakaan, beberapa istilah yang menjadi unsur-unsur

Pemerintahan Nagari adalah :

1. Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-

batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau

(Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan

asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera

Barat.

2. Pemerintahan Nagari adalah penyelenggaraan urusan Pemerintahan

yang dilaksanakan oleh Pemerintah Nagari dan Badan Permusyawaratan

Nagari berdasarkan asal usul Nagari di wilayah Propinsi Sumatera Barat

yang berada dalam sistim Pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

3. Wali nagari adalah pimpinan Pemerintahan Nagari.

4. Jorong atau dengan nama lain yang setingkat dan terdapat dalam Nagari

adalah bagian dari wilayah Nagari.

5. Badan Permusyawaratan Nagari yang selanjutnya disebut BAMUS

NAGARI adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam

penyelenggaraan pemerintah nagari sebagai unsur penyelenggaraan

Pemerintahan Nagari.

6. Lembaga Kemasyarakatan adalah lembaga yang dibentuk oleh

masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra Pemerintahan

Nagari dalam memberdayakan masyarakat.

7. Kerapatan Adat Nagari yang selanjutnya disebut KAN adalah Lembaga

Kerapatan dari Ninik Mamak yang telah ada dan diwarisi secara turun

temurun sepanjang adat dan berfungsi memelihara kelestarian adat serta

menyelesaian perselisihan sako dan pusako.

8. Anak Nagari adalah warga masyarakat yang ada di nagari dan di rantau.

Inilah anak-nagari nan dari rantau.

9. Harta Kekayaan Nagari adalah harta benda yang telah ada atau yang

kemudian menjadi milik dan kekayaan nagari baik bergerak maupun tidak

bergerak.

10. Ulayat Nagari adalah harta benda dan kekayaan nagari diluar ulayat

kaum dan suku yang dimanfaatkan untuk kepentingan anak nagari.

148 Hasil penelitian dan pengolahan data peneliti CLDS FH UII, 2012.

Page 119: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

119

11. Wilayah Nagari, meliputi wilayah hukum adat dengan batas-batas

tertentu yang sudah berlaku secara turun temurun dan dan diakui

sepanjang adat.

12. Badan Perwakilan Nagari yang selanjutnya disebut dengan BPN adalah :

Badan Perwakilan yang terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat yaitu

Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai dan Bundo Kanduang serta

Pemuda yang ada di Nagari yang berfungsi sebagai Badan Legislatif

Nagari.

13. Majelis Tungku Tiga Sajarangan adalah Lembaga permusyawaratan

permufakatan Adat dan syarak yang berfungsi memberikari pertimbangan

kepada Pemerintahan Nagari supaya tetap kansisten menjaga dan

memelihara penerapari “Adat Basamdi Syarak, Syarak Basandi

Kitabullah” di Nagari149

.

Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas

wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam

sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia150

. Saat ini terdapat 648

Nagari yang tersebar di Sumatera Barat, antara lain :

1. Kabupaten Agam terdiri dari 16 kecamatan dan 82 nagari.

2. Kabupaten Dharmasraya terdiri dari 11 kecamatan dan 52 nagari.

3. Kabupaten Lima Puluh Koto terdiri dari 13 kecamatan dan 79 nagari.

4. Kabupaten Padang Pariaman terdiri dari 17 kecamatan dan 60 nagari.

5. Kabupaten Pasaman terdiri dari 12 kecamatan dan 32 nagari.

6. Kabupaten Pasaman Barat terdiri dari 11 kecamatan dan 19 nagari.

7. Kabupaten Pesisir Selatan terdiri dari 12 kecamatan dan 76 nagari.

8. Kabupaten Sijunjung terdiri dari 8 kecamatan dan 60 nagari dan 1 desa.

9. Kabupaten Solok terdiri dari 14 kecamatan dan 74 nagari.

10. Kabupaten Solok Selatan terdiri dari 7 kecamatan dan 39 nagari.

11. Kabupaten Tanah Datar terdiri dari 14 kecamatan dan 75 nagari151

.

Setiap Nagari di Provinsi Sumatera Barat sesuai pengaturannya diharuskan

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

149 Istilah-istlah terkait Pemerintahan Nagari tersebut, dapat dilihat pada Ketentuan Umum Peraturan Daerah Provinsi Sumatera

Barat No 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari, dan Peraturan Daerah Kabupaten Solok No 4

Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari.

150 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Nagari 151 Armen Zulkarnain, Daftar Nagari di Sumatera Barat, hasil rangkuman diakses dari

http://armenzulkarnain.wordpress.com/2010/08/17/daftar-nagari-di-sumatera-barat-2,

Page 120: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

120

a. Merupakan kesatuan masyarakat Hukum Adat.

b. Mempunyai beberapa suku.

c. Mempunyai batas-batas wilayah yang jelas.

d. Mempunyai harta kekayaan sendiri152

.

Syarat-syarat tersebut diatas juga dijadikan bahan acuan suatu Nagari dihapus

atau digabungkan dengan Nagari lainnya. Hal ini dilakukan berdasarkan Keputusan

Bupati setelah mendapatkan persetujuan DPRD, dengan mempertimbangkan usulan

dari Wali-wali Nagari yang merupakan aspirasi masyarakat. Mengenai pemekaran

Nagari, hal tersebut dapat dilakukan dengan berdasarkan pada syarat-syarat sebagai

berikut:

a. Penduduk berjumlah paling sedikit 3500 (tiga ribu lima ratus) jiwa atau

mempunyai 700 (tujuh ratus) Kepala Keluarga.

b. Mempunyai batas-batas wilayah yang jelas.

c. Luas wilayah yang terjangkau secara berdaya guna untuk memberikan

pelayanan kepada masyarakat yang memungkinkan untuk dilakukan

komunikasi antar Jorong yang ada.

d. Tersedianya sarana dan prasarana untuk sebuah Nagari.

e. Tersedianya sumber-sumber ekonomi untuk mata pencaharian

masyarakat153

.

Disamping memenuhi syarat-syarat diatas untuk mencapai kehidupan

bernagari berdasarkan falsafah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah,

pembentukan harus memenuhi faktor-faktor sebagai berikut:

a. babalai-bamusajik;

b. balabuah-batapian;

c. basawah-baladang;

d. babanda-babatuan;

e. batanaman nan bapucuak;

152 Peraturan Daerah Kabupaten Solok No 4 Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari, Pasal 2. 153 Ibid, Pasal 5.

Page 121: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

121

f. mamaliaro nan banyao;

g. basuku-basako;

h. niniak mamak nan ampek suku;

i. baadat-balimbago;

j. bapandam pakuburan;

k. bapamedanan;

l. kantua nagari.

Kewenangan Nagari mencakup :

a. Urusan Pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Nagari.

b. Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang

diserahkan pengaturannya kepada Nagari.

c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan atau

Pemerintah Kabupaten/Kota.

d. Urusan Pemerintahan lainnya yang oleh Peraturan Perundang-undangan

diserahkan kepada Nagari154

Sesuai pengaturannya dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 2

Tahun 2007 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari, struktur Pemerintah Nagari

terdiri dari Wali Nagari dan Perangkat Nagari yang mencakup Sekretaris Nagari dan

perangkat lainnya155

. Sedangkan pengaturan di dalam Peraturan Daerah Kabupaten

Solok No 4 Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari, ditambahkan bahwa yang

dimaksud sebagai perangkat lainnya adalah unsur staf (unsur pelayanan) disebut

Sekretariat Nagari, unsur pelaksana teknis lapangan, dan unsur wilayah disebut

Kepala Jorong.

Dalam menjalankan Pemerintahan Nagari, seorang Wali Nagari memiliki

tugas dan kewajiban antara lain :

a. Memimpin penyelenggaraan Pemerintah Nagari.

b. Membina kehidupan masyarakat Nagari.

154 Ibid, Pasal 8. 155 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari, Pasal 6.

Page 122: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

122

c. Membina perekenoinian Nagari.

d. Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Nagari.

e. Mendamaikan perselisihan masyarakat di Nagari.

f. Mewakili Nagarinya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk

kuasa hukumnya.

g. Mengajukan Rancangan Peraturan Nagari dan bersama Badan Perwakilan

Nagari.

h. Menetapkannya sebagai Peraturan Nagari.

i. Mendukung kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di

Nagari yang bersangkutan156

.

Wali Nagari dipilih langsung oleh dan dari Anak Nagari warga Negara

Republik Indonesia yang memenuhi pesyaratan dengan masa jabatan 6 (enam) tahun

dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Wali

Nagari pada dasarnya bertanggung jawab pada rakyat Nagari yang prosedur

pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati melalui Camat. Kepada BPRN,

Wali Nagari wajib memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban dan kepada

rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabanya, namun tetap

memberikan peluang kepada masyarakat melalui BPRN untuk menanyakan dan/atau

meminta keterangan lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban

dimaksud.

Badan Permusyawaratan Rakyat Nagari (BPRN)/Badan Perwakilan Nagari

atau dengan nama lain BAMUS Nagari berfungsi menetapkan Peraturan Nagari

bersama Wali Nagari, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Disamping

itu BPRN mempunyai fungsi :

a. Mendukung kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di

Nagari yang bersangkutan sepanjang menunjang kelancaran

pembangunan.

b. Legislasi yaitu, merumuskan dan menetapkan Peraturan Nagari.

156 Op.Cit, Pasal 37.

Page 123: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

123

c. Pengawasan yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan

Nagari, anggaran pendapatan dan belanja Nagari serta Keputusan Wali

Nagari.

d. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, yaitu menangani dan

menyalurkan aspirasi yang diterima dari masyarakat kepada pejabat atau

instansi yang berwenang157

.

Kerapatan Adat Nagari berkedudukan sebagai lembaga perwakilan

permusyawaratan masyarakat adat tertinggi yang telah ada dan diwarisi secara turun

temurun sepanjang adat. Dalam pelaksanaannya, KAN mempunyai tugas antara lain :

a. memberikan pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah Nagari dan

BPRN dalam melestarikan nilai-nilai adat basandi syara’, syara’ basandi

kitabullah di Nagari.

b. memberikan pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah Nagari dan

BPRN dalam penyusunan dan pembahasan Peraturan Nagari.

c. membentuk lembaga-lembaga unsur masyarakat adat yaitu Unsur Alim

Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang dan Pemuda.

d. mengurus, membina dan menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan

adat sehubungan dengan sako, pusako dan syara’.

e. mengusahakan perdamaian dan memberikan nasehat-nasehat hukum

terhadap anggota masyarakat yang bersengketa terhadap sesuatu yang

dipersengketakan dan pembuktian lainnya menurut sepanjang adat dan

atau silsilah keturunan/ranji.

f. mengusahakan perdamaian dan memberikan nasehat-nasehat hukum dan

keputusan yang sifatnya final terhadap anggota masyarakat yang

bersengketa terhadap sako dengan pembuktian menurut sepanjang adat

dan atau silsilah keturunan/ranji.

g. membentuk majelis penyelesaian sengketa sako, pusako dan syara’ yang

bersifat ad hock.

h. membuat kode etik, yang berisikan pantangan, larangan, hak dan

kewajiban Niniak Mamak sesuai dengan adat salingka nagari.

i. mengembangkan kebudayaan anak Nagari dalam upaya melestarikan

kebudayaan Daerah dalam rangka memperkaya khasanah kebudayaan

nasional.

j. membina masyarakat hukum adat Nagari menurut adat basandi syara’,

syara’ basandi kitabullah.

k. melaksanakan pembinaan dan mengembangkan nilai-nilai adat

minangkabau dalam rangka mempertahankan kelestarian adat Nagari.

l. bersama Pemerintahan Nagari menjaga, memelihara dan memanfaatkan

kekayaan Nagari untuk kesejahteraan masyarakat Nagari158

.

157 Op.Cit, Pasal 79.

Page 124: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

124

Selain itu, KAN juga mempunyai fungsi yang antara lain:

a. Sebagai lembaga penyelenggara urusan adat di Nagari.

b. Sebagai lembaga yang mengurus dan mengelola adat salingka Nagari.

c. Sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan adat di Nagari.

d. Sebagai lembaga pembinaan, pengembangan, perlindungan terhadap

unsur Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, Pemuda Nagari dan

unsur lainnya di salingka Nagari.

e. Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang

menyangkut harta kekayaan masyarakat guna kepentingan hubungan

keperdataan adat, juga dalam hal adanya persengketaan sako, pusako dan

syara’ di Nagari.

f. Bersama Pemerintahan Nagari meningkatkan kualitas hubungan perantau

dengan Nagari159

.

Anggota Majelis Tungku Tigo Sajarangan adalah terdiri Niniak Mamak, unsur

KAN Alim ulama dan cadiak pandai. Keanggota Majelis Tungku Tigo Sajarangan

ditentukan atau dipilih oleh Wali Nagari dan Badan Perwakilan Nagari serta

Kerapatan Adat Nagari (KAN). Keanggotaan Majelis Tungku Tigo Sajarangan

disahkan secara administratif dengan Keputusan Bupati atas usul Wali Nagari dan

Hasil kesepakatan Wali Nagari dengan Badan Perwakilan Nagari serta KAN.

Selain mengatur mengenai kelembagaan/organisasi pada Pemerintahan

Nagari, dipaparkan pula mengenai Harta Kekayaan Nagari yang meliputi :

a. Pasar nagari.

b. Tanah lapang atau tempat rekreasi nagari.

c. Balai, Mesjid dan/atau Surau nagari.

d. Tanah, hutan, sungai, kolam dan /atau laut yang menjadi ulayat nagari.

e. Bangunan yang dibuat oleh Pemerintah Nagari dan atau anak nagari

untuk kepentingan umum.

f. Harta benda dan kekayaan lainnya160

.

Harta kekayaan Nagari yang dikelola oleh pihak lain, setelah masa

pengelolaannya berakhir dikembalikan kepada Nagari. Sedangkan Harta Kekayaan

Nagari yang dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah

158 Op.Cit, Perda Kabupaten Solok No 4 Tahun 2001, Pasal 87. 159 Op.Cit, Pasal 88. 160 Op.Cit, Perda Provinsi Sumatera Barat No 2 Tahun 2007, Pasal 16.

Page 125: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

125

Kabupaten/Kota dapat diatur kembali pemanfaatannya dengan memperhatikan

kepentingan nagari.

Dengan diberlakukannya kembali pemerintahan nagari di Sumatera Barat, dan

ditegaskan pula didalam Perda Provinsi Sumatera Barat No 2 Tahun 2007 Tentang

Pokok-pokok Pemerintahan Nagari. Maka dengan itu keberadaan Pemerintahan Desa

dan Kelurahan yang berada di Kabupaten, harus segera menyesuaikan menjadi sistim

Pemerintahan Nagari selambat-lambatnya adalah rentang waktu 2 (dua) tahun setelah

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat ini diundangkan.

3. 4. Perda Adat di Tingkat Kabupaten dan Kota

3. 4. 1. Tanah Ulayat di Kabupaten Kampar.

Hak dan tanah ulayat di Kabupaten Kampar diatur melalui Perda Kabupaten

Kampar No 12 Tahun 1999 tentang Tanah Ulayat di Kabupaten Kampar. Pengertian

Masyarakat Adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki harta

ulayat secara turun temurun di Daerah, berbentuk persekutuan, nagari, perbatinan,

desa, kepenghuluan dan kampung. Sedangkan Hak Tanah Ulayat, yaitu merupakan

salah satu harta milik bersama suatu masyarakat adat, yang mencakup suatu kesatuan

wilayah berupa lahan pertanahan, tumbuhan yang hidup secara liar dan binatang yang

hidup liar diatasnya161

.

Beberapa istilah adat yang penting dijelaskan dalam Perda Adat Kampar. (1)

Kerapatan Adat, yaitu suatu wadah atau organisasi persidangan para ninik mamak

atau warga yang dituahkan dan ditauladani secara turun temurun dalam suatu

masyarakat adat.162

(2) Pemangku Adat (Ninik Mamak, Batin), yaitu orang yang

161 Pasal 1 butir (g dan h) Perda Kabupaten Kampar No 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah Ulayat. 162 Ibid, Pasal 1 butir (i).

Page 126: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

126

dinobatkan atau diangkat oleh persukuannya dan atau kaumnya untuk memimipin

persukuan atau kaumnya sendiri, yang telah dikukuhkan atau dinobatkan secara sah

oleh persekutuannya sesuai dengan hukum adat setempat.163

(3) Penghulu suku atau

Pemangku Adat yang menguasai Tanah Ulayat adalah para Penghulu Suku yang

memegang Hak Tanah Ulayat masing-masing164

.

Perda Adat juga mengatur tentang Hak dan Fungsi Tanah Ulayat sebagai

berikut :

- Hak Tanah Ulayat dan Hak-hak serupa dari Masyarakat-masyarakat

Hukum Adat sepanjang Hak tersebut menurut kenyataannya masih ada,

harus sedemikian rupa menurut ketentuan Hukum Adat yang berlaku di

setiap tempat.

- Fungsi Hak Tanah Ulayat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

anggota persekutuan dan masyarakat yang bersifat sosial dan

ekonomis165

.

Dalam pengaturan hak ulayat tersebut, dijelaskan mengenai tata cara

penggunaan, kepemilikan dan larangan dalam mengelola tanah ulayat. Bahwa tanah

ulayat dalam penggunaan dan pemanfaatannya, diatur oleh Kerapatan Adat melalui

suatu keputusan pengelolaan tanah ulayat. Ketetapan Kerapatan Adat dibuat

merupakan hasil kesepakatan musyawarah bersama seluruh anggota Kerapatan Adat,

yang berlaku mengikat kepada semua masyarakat adat166

.

Hak penguasaan atas tanah ulayat, dibuat atas nama Gelar Pemangku Adat

yang berhak untuk itu dan sesuai dengan ketentuan hukum adat setempat. Sedangkan

sertifikasi hak kepemilikan tanah ulayat diproses sesuai dengan ketentuan hukum

yang berlaku167

.

163 Ibid, Pasal 1 butir (j). 164 Ibid, Pasal 1 butir (k). 165 Ibid, Pasal 2 ayat (1 dan 2). 166 Ibid, Pasal 5 ayat (1,2, dan 3). 167 Ibid, Pasal 6 ayat (1 dan 2).

Page 127: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

127

Selain mengatur mengenai tata cara pengelolaan dan penguasaan atas tanah

ulayat di Kabupaten Kampar, juga diatur mengenai larangan dalam kepemilikannya.

Misalnya, tanah ulayat adat dilarang untuk dipindah hak kepemilikannya kecuali

untuk kepentingan pembangunan di daerah. Perpindahan hak tersebut adalah

kehendak dari seluruh warga masyarakat adat berdasarkan ketentuan hukum adat

yang berlaku. Pengecualian terhadap larangan perpindahan kepemilikan tanah ulayat

tersebut, hanya berlaku berdasarkan ketetapan Kerapatan Adat.168

Kewajiban

pengawasan terhadap penggunaan dan kepemilikan tanah ulayat, dilakukan oleh

setiap Pemangku Adat dan warga masyarakat adat169

.

Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kampar No 12 Tahun 1999 Tentang Hak

Tanah Ulayat menjelaskan pula pengertian kelembagaan dan pemangku adat.

Penghulu Suku dalam hal tugas, fungsi dan wewenangnya dalam pengelolaan hak

tanah ulayat di Kabupaten Kampar. Penghulu Suku, memiliki tugas pokok untuk

menyelenggarakan pemerintahan, kesejahteraan dan keamanan di dalam masing-

masing persekutuan di bidang hukum adat. Selain berfungsi membantu pemerintah

dalam bidang kemasyarakatan, Penghulu Suku juga berfungsi mengurus dan

mengatur urusan dalam hukum adat, mengatur ketentuan hukum adat menyangkut

tanah ulayat dalam persekutuan guna kepentingan keperdataan adat, juga Penghulu

Suku bertugas menjaga, memelihara, dan memanfaatkan tanah ulayat untuk

kesejahteraan anggota persekutuan170

.

Tanah adat yang disebut Tanah Soko mempunyai kedudukan penting dalam

masyarakat adat Kampar. Tanah adat tersebut tidak boleh diperjualbelikan atau

digadaikan secara mudah, mengingat Tanah Soko digunakan sebagai tempat mengadu

168 Ibid, Pasal 7 ayat (1 dan 2). 169 Ibid, Pasal 8. 170 Ibid, Bab III Pasal 9, 10, dan 11.

Page 128: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

128

keluarga yang satu perut, baik itu laki-laki maupun perempuan. Selain itu, tanah soko

adalah tanah yang ditinggalkan oleh nenek untuk cucu, terutamanya cucu perempuan

(mengacu sistem kekerabatan matrilinial). Berdasarkan hukum adat Kampar, tanah

soko baru dapat diperjual belikan atau digadaikan dengan mengacu pada empat pasal.

Pertama, mayat artinya orang sakit keras yang lama dan tidak ada dana untuk

mengobatinya. Kedua, mendanai anak perempuan yang lambat menikah. Ketiga

dandang pamboli nyangou, paghampe pamboli joghio yang artinya membayar denda

anak kemenakan yang melakukan kejahatan. Dan keempat rumah besar yang

ketirisan, maksudnya adalah memperbaiki atau membuat rumah tempat berkumpul

semua keluarga. Ketentuan adat tersebut wajib berdasar musyawarah dan mufakat

antara Mamak Soko dan semua keluarga dalam garis keturunan ibu, dan diketahui

Penghulu Suku serta empat Penghulu Suku171

.

Ketentuan menyangkut hak tanah ulayat di Kabupaten Kampar yang sedang

dalam proses pengalihan kepemilikannya diterbitkan sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan dan hukum adat yang berlaku. Dalam hal ini meliputi

inventarisasi tanah ulayat masing-masing masyarakat adat, dan sertifikasi atau

pemutihan kepemilikan tanah ulayat172

.

Mengenai penyelesaian sengketa dalam kasus kepemilikan tanah ulayat di

Kabupaten Kampar ini, dibentuk Badan Penyelesaian Permasalahan dan Pemutihan

Tanah Ulayat Daerah. Lembaga tersebut beranggotakan Pihak Pemerintah Daerah,

dan Pemangku Adat dan Tokoh Masyarakat Adat173

. Peraturan Daerah Kabupaten

171 Lihat Kedudukan Tanah Soko dalam Adat Kampar, akses dari http://bidikonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id=644&Itemid=42 172 Op.Cit, Pasal 14 ayat (1 dan 2). 173 Op.Cit, Pasal 15 ayat (1 dan 2).

Page 129: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

129

Kampar No 12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat ini mulai berlaku diundangkan

sejak tanggal 28 Februari 2002.

3. 4. 2. Perda Tanah Ulayat di Masyarakat Hukum Adat Baduy.

Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No 32 Tahun 2001 Tentang Perlindungan

Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy merupakan ketentuan hukum adat yang khusus.

Kekhususan perda tersebut utamanya ditentukan oleh dua ciri utama. Pertama, Perda

Adat Baduy mengatur tanah adat Baduy yang mencakup satu desa Baduy Dalam.

Sedangkan ciri kedua, perda tersebut mengatur hubungan antara penduduk satu desa

Baduy Dalam dengan berbagi pemilikan masyarakat atas tanah, lingkungan, tata nilai

dan adat istiadatnya. Karena itu, Perda Adat Baduy berbeda sekali dengan Perda adat

yang berlaku dibeberapa tempat lain, seperti Sumatera Barat dan Aceh.

Pembahasan mengenai Perda ini dijadikan pembahasan tersendiri mengingat

keberadaan Masyarakat Adat Baduy yang memang memiliki corak spesial dalam

bingkai kesatuan Negara Republik Indonesia. Masyarakat Adat Baduy terikat oleh

tatanan hukum, suatu persekutuan hukum yang mengakui dan menerapkan ketentuan

hukum dalam kehidupan. Memiliki sifat ulayat serta memiliki hubungan dengan

wilayahnya tersebut. Hak Ulayat dalam Perda Adat Kabupaten Lebak adalah

kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat, atas

wilayah tertentu, merupakan lingkungan hidup para warganya, untuk mengambil

manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi

kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul akibat hubungan, secara lahiriah

dan batiniah, turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut

Page 130: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

130

dengan wilayah yang bersangkutan.174

Sedangkan Tanah Ulayat adalah bidang tanah

yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.

Hutan adat dalam masyarakat Baduy dibedakan menjadi empat jenis meliputi :

leuweung kolot (hutan tua), leuweung ngora (hutan muda), leuweung reuma (semak

belukar lebat bekas huma), dan jami (semak belukar).175

Tanah adat ulayat Suku

Baduy mencakup wilayah yang terbagi untuk pemukiman, lahan pertanian dan hutan

lindung. Wilayah yang dipergunakan sebagai pemukiman seluas 24.5 ha, lahan

pertanian seluas 2.585 ha terbagi menjadi lahan produktif dan lahan tidur (bera).

Sedangkan wilayah hutan lindung seluas 2.492 ha176

.

Ladang pertanian masyarakat Baduy dibedakan menjadi enam jenis yakni :

1. Huma Serang merupakan ladang yang dianggap suci yang ada di wilayah

Baduy Dalam. Hasil pertanian pada huma ini hanya dipergunakan untuk

kepentingan upacara adat.

2. Huma Puun merupakan ladang yang diperuntukan khusus milik puun

Baduy Dalam.

3. Huma Tangtu adalah ladang yang dikelola oleh warga masyarakat Baduy

Dalam.

4. Huma Tuladan adalah ladang komunal di Baduy Luar yang hasilnya untuk

keperluan desa.

5. Huma Panamping adalah ladang yang dikelola oleh warga masyarakat

Baduy Luar.

6. Huma Urang Baduy yaitu ladang di luar wilayah Baduy yang dikerjakan

orang Baduy Luar dan hasilnya diambil untuk kepentingan keluarga

masing-masing177

.

Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Desa

Kanekes Kedamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak yang mempunyai ciri

kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum. Keberadaan

174 Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Pasal 1

ayat (4). 175 Garna, J, Tangtu Telo Jaro Tujuh : Kajian Struktural Masyarakat Baduy di Banten Selatan Jawa Barat Indonesia, Ph.D

Thesis, Bangi : University Kebangsaan Malaysia, 1987. 176 Lihat Suripto, Mengatasi Bahaya Global Warming. Studi Kasus : Kearifan Lokal Suku Badui – Banten – Indonesia, hlm : 6. 177 Ibid, hlm : 7-8.

Page 131: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

131

mereka sebagai masyarakat hukum adat telah berlangsung lama secara turun temurun,

dengan melestarikan kehidupan masyarakatnya secara adat. Penduduk masyarakat

Baduy berjumlah 10.879 jiwa, laki-laki 5.465 jiwa dan perempuan 5.414, berdasarkan

Data Sensus Penduduk Desa Kanekes tanggal 28 Pebruari 2008. Dilihat dari tahun-

tahun sebelumnya, pertumbuhan penduduk sangat pesat sebesar 1.79 % per tahun.

Seiring pertumbuhan warga yang pesat, perubahan lahan tempat tinggal (teritorial)

pun terus menerus berkembang meluas. Dalam Peraturan Daerah No. 23 Tahun 2001

berdasarkan posisi, dalam dan luar, tempat tinggal warga, secara administratif

masyarakat Baduy dibagi menjadi dua: Baduy Dalam dan Baduy Luar. Masyarakat

Baduy Dalam yang berjumlah 1.053 jiwa menempati tanah yang didiami tiga

kampung: Cikeusik, Cikertawa dan Cibeo. Masyarakat Baduy Luar yang berjumlah

9.826 jiwa menempati tanah yang didiami 57 kampung dan 5 babakan (pemekaran

kampung)178

.

Penetapan mengenai Wilayah Hak Ulayat Masyarakat Baduy dibatasi

terhadap tanah-tanah di wilayah Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten

Lebak. Wilayah Hak Ulayat Masyarakat Baduy tersebut dituangkan dalam peta dasar

pendaftaran tanah dengan mencantumkan suatu tanda kartografi yang sesuai. Dalam

fungsi peruntukannya, lahan terhadap hak ulayat Masyarakat Baduy diserahkan

sepenuhnya kepada Masyarakat Baduy.179

Adapun pemimpin tertinggi pada

masyarakat Baduy disebut Puun, yakni Puun Sahadi, Puun Kiteu dan Puun Kiasih,

setelah Puun pemimpin berikutnya adalah Jaro, Jaro terbagi atas dua yakni Jaro Adat

dan Jaro Pamarentah, Jaro Adat ada 7 yang disebut dengan Jaro Tujuh, secara

178 Lihat Maskur Wahid, 2010, Sunda Wiwitan Baduy : Agama Penjaga Alam Lindung di Desa Kanekes Banten, Banjarmasin,

Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke – 10, hlm : 3. 179 Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, Op.Cit,

Pasal 2, 3, dan 4.

Page 132: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

132

hierarki Jaro Adat Baduy dalam lebih tinggi kedudukannya dari pada Jaro

Pamarentah dalam kepemimpinan adat. Sedangkan Jaro Pamarentah adalah Jaro

yang dipilih oleh Puun dan para pemuka adat, baik Baduy dalam maupun Baduy

Luar, adalah sebagai penghubung antara masyarakat Baduy dengan Pemerintah

Daerah yang manyangkut masalah-masalah kependudukan, pemerintahan, adat

istiadat dan kelestariannya, maupun hal lain yang menyangkut kepentingan

pemerintah maupun kepentingan masyarakat Baduy180

.

Terdapat beberapa pengecualian terhadap Hak Ulayat Masyarakat Baduy

Dalam dan Baduy Luar, yaitu meliputi bidang-bidang tanah yang sudah dipunyai oleh

perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut UUPA; dan

merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi

Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan yang berlaku.

Sanksi hukum untuk pelanggaran atas tindakan atau kegiatan yang

menggangu, merusak dan menggunakan lahan ulayat Masyarakat Baduy diancam

dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda maksimal Rp.

5.000.000,-(lima juta rupiah). Selain itu, kewenangan dalam penyidikan atas

pelanggaran terhadap tanah ulayat Masyarakat Baduy dilaksanakan oleh Pejabat

Pegawai Negeri Sipil tertentu di Pemerintah Daerah.

Sebagai wujud dari pengakuan atas hak Masyarakat Hukum Adat Baduy dan

untuk menghindari perselisihan hak ulayat tersebut, maka tanah ulayat tersebut tidak

diperkenankan upaya pensertifikasian atas kepentingan perorangan. Hal ini

dimaksudkan karena tanah ulayat tidak dapat dimiliki oleh perorangan, melainkan

180 Lihat Drs. Abdullah, Sepintas Tentang Masyarakat Baduy : Perjalanan ke Tanah Leluhur – Badui. Diakses dari

http://hlasrinkosgorobogor.wordpress.com/tag/budaya-baduy/

Page 133: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

133

untuk kepentingan seluruh masyarakat adat Baduy, dalam hal ini sebagai lahan

beraktivitas (bertani).

3. 4. 3. Perda Masyarakat Adat Datuk Sinaro Putih di Kabupaten Bungo.

Pengakuan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten se-Provinsi Jambi,

yaitu adanya pengakuan terhadap Lembaga Adat Melayu Jambi dan Masyarakat

Hukum Adat Datuk Sinaro Putih Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo diatur dalam

Peraturan Daerah No 3 Tahun 2006. Peraturan Daerah ini dibentuk, guna

memgukuhkan keberadaan masyarakat hukum adat dimaksud. Peraturan Daerah ini

mencakup tentang bentuk dan kedudukan masayarakat hukum adat, kelembagaan

masyarakat adat, wilayah adat, pola kekerabatan, sistim pewarisan, prinsip-prinsip

dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, serta kewenangan masyarakat

hukum adat.

Keberadaan masyarakat hukum adat ini tidak hanya dilaksanakan dalam hal

pelaksanaan upacara-upacara perkawinan atau keagaamaan saja, namun juga dalam

kehidupan kehari-hari yang meliputi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam

desa.

Pemberlakuan lembaga adat di Provinsi Jambi tersebut, berdasarkan pada

adanya nilai-nilai dan kearifan tradisional yang melekat kuat dalam aktivitas

kehidupan sehari-hari sebagai sebuah komunitas masyarakat hukum adat, yang

pemberlakuannya didasarkan pada Perda Kabupaten Bungo No 3 Tahun 2006.

Keberadaan masyarakat hukum adat Datuk Sinato Putih, adalah sebuah ikatan

kesatuan masyarakat hukum adat secara turun temurun. Ikatan kemasyarakatan

tersebut, sesuai dengan falsafah adat seinduk bak ayam seumpun bak serei (Satu

Page 134: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

134

induk laksana ayam, satu rumpun bagaikan serai). Clifford Geerz mendefinisikan

ikatan primordial tersebut sebagai “perasaan yang lahir dari yang dianggap ada dalam

kehidupan sosial, sebagian besar dari hubungan langsung dan hubungan keluarga,

tetapi juga meliputi keanggotaan dalam lingkungan keagamaan tertentu, bahasa atau

dialek tertentu, serta kebiasaan-kebiasaan sosial tertentu181

.

Kelembagaan masyarakat hukum adat Datuk Sinaro Putih terdiri dari :

1. Pimpinan adat dan perangkatnya,

2. Tuo Negeri, adalah perangkat kelembagaan masyarakat hukum adat

yang bertugas menyelesaikan masalah-masalah ditingkat masyarakat.

3. Pegawai Syara’, adalah perangkat kelembagaan adat yang bertugas

melaksanakan syari’at Islam dalam Kesatuan Adat Datuk Sinaro Putih.

4. Tuo Tengganai, adalah perangkat kelembagaan adat yang secara turun

temurun bertugas di bidang kesehatan dan bencana dalam wilayah

Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih.

5. Dubalang, adalah perangkat kelembagaan adat yang mengurusi hal-

hal yang berkaitan dengan masalah keamanan masyarakat hukum adat.

6. Monti rajo, adalah perangkat kelembagaan adat yang bertugas

membantu melakukan komunikasi dan menyampaikan informasi

kepada masyarakat.

7. Manggung/jonang, adalah perangkat kelembagaan adat yang bertugas

untuk melakukan pelayanan dalam acara-acara adat

8. Rumah godang tigo taipah182

.

Struktur kelembagaan tersebut, dipimpin oleh seorang pemimpin adat

tertinggi dengan istilah adat setempat Datuk Sinaro Putih, dibawahi oleh :

1. Datuk Rangkayo Mulio, adalah Nenek Moyang Masyarakat Desa

Baru Pelepat dan Dusun Lubuk Telau yang diberikan kewenangan

untuk menjadi pimpinan Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih

dalam wilayah Desa Baru Pelepat dan Dusun Lubuk Telau, Datuk

Rangkayo Mulio berkedudukan di Desa Baru Pelepat, kekuasaanya

diwariskan secara turun temurun sampai generasi saat ini.

2. Tiang Panjang, adalah nenek moyang masyarakat Desa Batu Kerbau

yang diberi kewenangan oleh Datuk Sinaro putih untuk memegang

kekuasaan sebagai pimpinan adat di bagian wilayah desa batu kerbau,

181 Lihat Musri Nauli, Makna Pemberian Gelar Adat Melayu Kepada SBY, diakses dari

http://www.jambiekspres.co.id/opini/20838-makna-pemberian-gelar-adat-melayu-kepada-sby.html 182 Peraturan Daerah Kabupaten Bungo No 3 Tahun 2006 tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih Kecamatan

Pelepat Kabupaten Bungo. Pasal 1 dan Pasal 5.

Page 135: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

135

kedudukan sebagai Datuk tiang panjang diwariskan secara turun

temurun sampai generasi saat ini183

.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, pimpinan adat dan perangkatnya

mempunyai wewenang sesuai hukum adat yang berlaku dalam masyarakat hukum

adat Datuk Sinaro Putih. Kewenangan tersebut mencakup kewenangan dalam

mengatur keseluruhan wilayah hukum adat, meliputi ilir lubuk tekalak, mudik muara

sikapeh kecil184

.

Pola kekerabatan yang terdapat dalam kelembagaan adat Datuk Sinaro Putih,

terbagi dalam kelompok kecil yang disebut suku. Suku-suku yang terdapat dalam

masyarakat adat tersebut antara lain :

1. Suku Tanjung.

2. Suku Jambak.

3. Suku Sikumbang.

4. Suku Melayu.185

Keberadaan suku-suku yang diakui tersebut dapat berubah sesuai waktu dan

perkembangan masyarakat adat dimasa mendatang.186

Suku-suku yang terdapat dalam

masyarakat hukum adat Datuk Sinaro Putih, ditarik berdasarkan garis keturunan

pihak perempuan. Representasi kaum perempuan tersebut terwujud dari kelembagaan

Bundo Kanduang, dimana kaum perempuan dalam masyarakat adat Datuk Sinaro

Putih wajib dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan adat.187

Mengenai pola

pewarisan secara adat di Datuk Sinaro Putih, terdiri dari :

1. Harta Pusaka Tinggi, adalah harta yang dimiliki secara komunal oleh

kaum, suku atau semua masyarakat hukum adat dan diwariskan secara

kolektif oleh dan kepada masyarakat hukum adat.

183 Ibid, Pasal 1 dan Pasal 5. 184 Ibid, Pasal 15. 185 Ibid, Pasal 24 ayat (2). 186 Ibid. Pasal 24. 187 Ibid. Pasal 25.

Page 136: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

136

2. Harta Pusaka Rendah, adalah harta yang dimiliki oleh perseorangan

atau individu dalam masyarakat hukum adat dan diwariskan dengan

menggunakan sistem pewarisan dalam ketentuan Syari’at Hukum

Islam188

.

Dalam masyarakat hukum adat Datuk Sinaro Putih, tidak hanya para

pemimpin adat yang memiliki kewenangan. Tetapi juga, bagi masyarakat adatnya itu

sendiri antara hak dan kewajibannya sebagai bagian dari masyarakat hukum adat,

meliputi :

1. Hak melakukan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di wilayah

adat sesuai hukum adat yang berlaku.

2. Hak melakukan pemungutan atas pemanfaatan sumberdaya alam yang

ada di wilayah desanya sesuai hukum adat yang berlaku untuk

keperluan pembangunan desa (ka ayik babungo pasir, ka daerk

babungo kayu).

3. Hak mendapatkan perlindungan terhadap adat dan hukum adat yang

berlaku.

4. Kewajiban kampung ba tuo, antau badatuk, alam barajo (kehidupan

desa diatur sesuai dengan tingkat pemerintahan adat yang berlaku di

desa).

5. Kewajiban menyelesaikan perselisihan (kusuik diselesaikan, keruh

diperjernih).

6. Kewajiban memelihara dan melestarikan adat istiadat dan hukum adat

(dak lapuk dek hujan, dak lekang dek paneh)189

.

Selain pengaturan mengenai kelembagaan adat dan tata adatnya, dalam

masyarakat adat Datuk Sinaro Putih juga menerima asimilasi masyarakat luar untuk

menjadi masyarakat adat sepenuhnya dengan cara adat Malokok. Proses malokok

dilakukan dengan prosesi yang disebut “nasi putih kuah kuning” yang dihadiri oleh

ninik mamak nan salapan. Hal ini memungkinkan semua orang yang berasal dari luar

masyarakat adat untuk mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti halnya

masyarakat keturunan Datuk Sinaro Putih.

188 Ibid, Pasal 27 dan 28. 189 Ibid, Pasal 29 dan 30.

Page 137: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

137

Dalam masyarakat adat Datuk Sinaro Putih, dikenal adanya Peradilan Adat.

Prinsip dari pemberlakuan peradilan adat tersebut adalah kusuik diselesaikan, keruh

dijernihkan, mangapiang sampai katampulu, berenang sampai katapian, boruok

dirimbo disusukan, anak dipangku dilepaskan, nan bona indak diasak, layu dibubuik

mati, induk posoko bona, bapak posoko koreh. Arti dari prinsip peradilan adat

tersebut adalah semua permasalahan harus diselesaikan seadil-adilnya melalui

musyawarah mufakat190

.

Lembaga adat dalam masyarakat Datuk Sinaro Putih, dikenal dengan

Musyawarah Adat Dusun (MAD) atau Kerapatan Adat Dusun (KAD) atau Lembaga

Adat Dusun (LAD). Lembaga ini dibentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat untuk

menghidupkan nilai-nilai adat dalam masyarakat. Lembaga ini berfungsi sebagai

Peradilan Adat Dusun191

.

Hukum adat yang berlaku terdiri dari 4 (empat) tingkatan, yaitu :

- Tingkat Nan Duo Boleh

- Tingkat Pucuk Nan Duo Boleh Tapak Nan Duo Lapan

- Nan Duo Lapan Ditengah, dan

- Pucuk Nan Duo Lapan.192

Dalam penyelesaian sengketa adat, sidang adat dilakukan sebagai upaya

penyelesaiannya. Sidang adat tersebut dipimpin oleh Tuo Negeri, dengan

mengumpulkan Ninik Mamak, Cerdik Pandai, Alim Ulama, Tuo Tengganai, dan

Pemimpin untuk menyelesaikan permasalahan adat yang terjadi.193

Peradilan adat

190 Ibid, Pasal 31 ayat (1 dan 2). 191 Pembentukan lembaga ini sesuai dengan ketentuan Pasal 211 UU No 32 Tahun 2004. Lihat Hasantoha Adnan, et al., 2008,

Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi (ed), Center for International Forestry Research (CIFOR), hlm : 148.

192 Ibid, Pasal 32 ayat (1). 193 Ibid, Pasal 33 ayat (3 dan 4).

Page 138: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

138

Datuk Sinaro Putih mengenal pembedaan kasus Pidana, didasarkan atas kasus

pertengkaran, menghina didepan umum, pencemaran nama baik, pembunuhan, hamil

diluar nikah, dan berzina.

Keputusan penyelesaian tersebut menghasilkan musyawarah yang diputuskan

oleh majelis adat. Pelaksanaan dan implementasi putusan atas sengketa adat tersebut,

dilaksanakan selambatnya 7 (tujuh) hari sejak diputuskan, dengan masa pertimbangan

tertentu selama 14 hari. Dan jika dalam masa selama tersebut tidak dapat

dilaksanakan, maka penyelesaiannya diserahkan kepada hukum formal yang

berlaku194

.

Dengan berlakunya perda adat tersebut, secara juridis masyarakat hukum adat

Datuk Sinaro Putih mendapatkan pengakuan atas eksistensinya. Hal ini tentunya

sangat baik, mengingat kearifan lokal dan budaya asli masyarakat adat sudah

selayaknya mendapatkan jaminan atas eksistensinya dalam bingkai kenegaraan

Indonesia.

3. 4. 4. Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga

Adat di Kabupaten Banggai

Pemberdayaan, pelestarian, pengembangan adat istiadat di Banggai

didasarkan pada pelaksanaan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Adat istiadat dan lembaga adat diakui keberadaannya dan mempunyai peranan dalam

kehidupan masyarakat luas dan tumbuh berkembang di daerah. Peraturan Daerah

Kabupaten Banggai No 1 Tahun 2008 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian,

Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Banggai menjadi sumber hukum

194 Ibid, Pasal 34 dan Pasal 35.

Page 139: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

139

daerah. Muatan dan penjelasan yang terkait adat istiadat dan lembaga adat Banggai

yaitu :

1. Adat Banggai adalah adat banggai yang meliputi adat banggai, adat

balantak dan adat saluan serta adat lainnya yang telah ada dan diakui

oleh masyarakat adat.

2. Kebiasaan – kebiasaan masyarakat adalah pola kegiatan atau perbuatan

yang dilakukan oleh masyarakat, merupakan sebuah kesatuan hukum

tertentu yang pada dasarnya dapat bersumber pada hukum adat atau

adat istiadat sebagaimana diakui keabsahannya oleh warga masyarakat

tersebut dan oleh masyarakat lainnya.

3. Lembaga Adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan baik yang

sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan

berkembang didalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau

dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum

dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut,

serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan

enyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan

dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku195

.

Pengundangan Perda Kabupaten Banggai ini dimaksudkan dalam upaya

pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat yang adalah untuk

meningkatkan peran nilai-nilai adat istiadat dalam menunjang kelancaran

penyelenggaraan pemerintahan, kelangsunagn pembangunan dan peningkatan

ketahanan nasional serta mendorong kesejahteraan masyarakat setempat. Selain itu,

dipaparkan pula tujuan pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat

dalam Perda Kabupaten Banggai yang antara lain :

a. Pemberdayaan adat istiadat bertujuan untuk meningkatkan sumber daya

manusia dengan membentuk suatu wadah lembaga yang mengarah pada

peningkatan tatanan kehidupan suatu masyarakat dengan tidak merubah

nilai, kaidah atau norma dan kegiatan sosial.

b. Pelestarian adat istiadat bertujuan untuk mempertahankan nilai-nilai,

kaidah atau norma-norma dan kegiatan sosial yang telah mengakar

dalam suatu masyarakat dan dapat menunjang kelangsungan

Pembangunan dan Ketahanan Nasional.

195 Lihat Ketentuan Umum Peraturan Daerah Kabupaten Banggai No 1 Tahun 2008 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian,

Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat.

Page 140: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

140

c. Pengembangan adat istiadat bertujuan untuk meningkatkan peran dan

fungsi Lembaga adat serta dapat melestarikan adat istiadat di desa guna

menunjang kelancaran pembangunan dan ketahanan nasional196

.

Pengaturan lembaga adat dalam Perda Kabupaten Banggai ini, juga tidak jauh

berbeda keidentikannya dengan beberapa pembahasan Perda terkait pelestarian adat

istiadat yang telah dipaparkan dibagian awal. Kelembagaan adat Banggai adalah

sebagai wadah atau organisasi permusyawaratan / permufakatan Adat yang berada

diluar organisasi Pemerintahan serta mempunyai tugas :

a. Menampung dan Menyalurkan aspirasi masyarakat adat kepada

Pemerintah.

b. Menyelesaikan permasalahan adat istiadat dan kebiasaan – kebiasaan

masyarakat di wilayahnya.

c. Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat serta

kebiasaan-kebiasaan masyarkat.

d. Menciptakan hubungan yang demokratis, harmonis dan ojektif antara

masyarakat, perangkat adat dengan aparat Pemerintah Daerah197

.

Adapun perangkat adat sebagaimana tersebut diatas dipimpin oleh seorang

ketua adat dengan sebutan Tomundo dan dibantu perangkat adat kecamatan yang

dipimpin oleh Bosanyo/Bosano atau sebutan lain serta perangkat adat desa/kelurahan

di Pimpin oleh Kapitan/Tonggol atau sebutan lain.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya, lembaga adat mempunyai fungsi

melaksanakan kegiatan-kegiatan pendataan dalam rangka membantu pemerintah

menyusun kebijaksanaan dan strategi untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan

pemerintahan dan pembinaan kemasyarakatan. Selain itu, diatur pula mengenai hak

dan wewenang lembaga adat di Kabupaten Banggai, antara lain :

a. Mewakili masyarakat adat keluar, yakni dalam hal-hal yang

menyangkut kepentingan dan mempengaruhi adat.

b. Mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat198

untuk

meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat adat kearah yang

196 Ibid, Pasal 6. 197 Ibid, Pasal 8.

Page 141: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

141

lebih layak dan lebih baik sepanjang tidak bertentangan dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

c. Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut masalah adat istiadat

dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku199

.

Kelembagaan adat sesuai pengaturannya dalam Perda Kabupaten Banggai

berkewajiban untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Membantu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam

pemanfaatan hak-hak adat dan harta kekayaan lembaga adat dengan

memperhatikan kepentingan adat setempat.

b. Memelihara Stabilitas Nasional yang sehat dan dinamis serta dapat

membantu aparat pemerintah, terutama pemeritah Desa / Kelurahan

dalam rangka melaksanakan tugas-tugas pembinaan kemasyarakatan.

c. Menciptakan Suasana yang dapat menjamin terpeliharanya

kebhinekaan masyarakat adat dalam rangka persatuan dan kesatuan

bangsa200

.

Dalam usaha melestarikan adat istiadat serta memperkaya khasanah budaya

masyarakat, Aparatur Pemerintah pada semua tingkatan mempunyai kewajiban untuk

membina dan mengembangkan adat istiadat yang hidup dan bermanfaat dalam

Pembangunan dan Ketahanan Nasional.

3. 4. 5. Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) Kabupaten Aceh Tengah

dan Qanun Aceh No 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat.

Perda Lembaga Adat Kebudayaan (LAKA) di Aceh diatur dengan Perda

Kabupaten Aceh Tengah No 33 Tahun 2001. Perda tersebut menjelaskan bahwa

Lembaga Kebudayaan dan Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang

dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu, mempunyai wilayah tertentu

198 Harta kekayaan adat adalah termasuk didalamnya benda-benda cagar budaya berupa benda-benda bergerak atau tidak

bergerak, merupakan peninggalan yang mewakili masa gaya / kekhasan dari adat banggai misalnya peninggalan bidang

kesenian dan situs budaya yang mempunyai nilai sejarah serta perlu dijaga kelestarianya. Lihat penjelasan Perda Kabupaten Banggai No 1 Tahun 2008.

199 Ibid, Pasal 10. 200 Ibid, Pasal 11.

Page 142: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

142

dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan

mengurus yang berkaitan dengan Adat Gayo.201

LAKA adalah suatu badan

independent yang melaksanakan tugas kebudayaan, dan sebagai mitra Pemerintah

Daerah dan DPRD. LAKA di Kabupaten Aceh Tengah mempunyai tugas untuk

memberi masukan, pertimbangan dan nasehat dalam setiap pembentukan kebijakan

daerah sesuai Syariat Islam dan Adat. Sesungguhnya, LAKA, sebagai lembaga adat

tidak sekedar menjadi lembaga adat, tetapi juga berkaitan dengan upaya untuk

melindungi ajaran Islam di Kabupaten Aceh Tengah.

Seperti halnya LAKA di Kabupaten Aceh Tengah, pada tahun 2008 secara

keseluruhan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menerbitkan Qanun Aceh No 10

Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Dengan maksud membina nilai-nilai budaya,

norma adat, dan aturan sesuai dengan nilai Islami. Pemberlakuan Qanun Aceh

tersebut juga sebagai wujud dari pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan Aceh di

bidang adat istiadat yang didasarkan pada UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pengertian Qanun di Aceh, sama pengertiannya dengan Perda LAKA

Kabupaten Aceh Tengah. Dengan kata lain, LAKA merupakan pengejawantahan dari

Perda Provinsi Aceh disebut Qanun. Qanun Aceh yang memaparkan beberapa istilah-

istilah kelembagaan adat seperti :

1. Majelis Adat Aceh, adalah sebuah majelis penyelenggara kehidupan

adat di Aceh yang struktur kelembagaannya sampai tingkat gampong.

2. Lembaga Wali Nanggroe, adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai

pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya.

3. Mukim, adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang

terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas

201 Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Tengah No 33 Tahun 2001 tentang Lembaga Adat Kebudayaan (LAKA) Kabupaten Aceh

Tengah. Pasal 1 butir b

Page 143: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

143

wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum mukim atau nama lain dan

berkedudukan langsung di bawah camat.

4. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang

berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain

yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.

5. Imeum Mukim, adalah kepala Pemerintahan Mukim.

6. Imeum Chik, adalah imeum masjid pada tingkat mukim orang yang

memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di mukim yang berkaitan

dengan bidang agama Islam dan pelaksanaan syari’at Islam

7. Keuchik atau nama lain merupakan kepala persekutuan masyarakat

adat gampong yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan

gampong, melestarikan adat istiadat dan hukum adat, serta menjaga

keamanan, kerukunan, ketentraman dan ketertiban masyarakat.

8. Tuha Peut Gampong atau nama lain adalah unsur pemerintahan

gampong yang berfungsi sebagai badan permusyawaratan gampong.

9. Tuha Peut Mukim atau nama lain adalah alat kelengkapan mukim yang

berfungsi memberi pertimbangan kepada imeum mukim.

10. Tuha Lapan atau nama lain adalah lembaga adat pada tingkat mukim

dan gampong yang berfungsi membantu imeum mukim dan keuchik

atau nama lain.

11. Imam Meunasah atau nama lain adalah orang yang memimpin

kegiatan-kegiatan masyarakat di gampong yang berkenaan dengan

bidang agama Islam, pelaksanaan dan penegakan syari’at Islam

12. Keujruen Blang atau nama lain adalah orang yang memimpin dan

mengatur kegiatan di bidang usaha persawahan.

13. Panglima Laot atau nama lain adalah orang yang memimpin dan

mengatur adat istiadat di bidang pesisir dan kelautan.

14. Peutua Seuneubok atau nama lain adalah orang yang memimpin dan

mengatur ketentuan adat tentang pembukaan dan penggunaan lahan

untuk perladangan/perkebunan.

15. Haria Peukan atau nama lain adalah orang yang mengatur ketentuan

adat tentang tata pasar, ketertiban, keamanan, dan kebersihan pasar

serta melaksanakan tugas-tugas perbantuan.

16. Syahbanda atau nama lain adalah orang yang memimpin dan mengatur

ketentuan adat tentang tambatan kapal/perahu, lalu lintas keluar dan

masuk kapal/perahu di laut, danau dan sungai yang tidak dikelola oleh

Pemerintah.

17. Pawang Glee atau Pawang Uteun atau nama lain adalah orang yang

memimpin dan mengatur adat-istiadat yang berkenaan dengan

pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan202

.

202 Qanun Aceh No 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. Bab I, Pasal 1 ayat (10 – 27).

Page 144: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

144

Sedikit perbedaan muatan LAKA berdasar Perda Kabupaten Aceh Tengah

dengan Qanun Aceh adalah terdapatnya unsur Dewan Paripurna Adat yang bertugas

memonitor, merumuskan usulan pertimbangan, bimbingan, nasehat serta saran

kepada Pemerintah Daerah dan DPRD melalui ketua LAKA, serta menetapkan Fatwa

dibidang Hukum Adat Istiadat dan Kebudayaan.203

Dewan Paripurna LAKA terdiri

dari Cendikiawan Muslim dan Ahli Adat Gayo dengan beranggotakan sebanyak-

banyaknya 9 (sembilan) orang.204

Selain itu, LAKA juga terdiri dari beberapa Komisi

antara lain :

1. Komisi Fatwa Hukum Adat, Adat Istiadat dan Kebiasaan.

2. Komisi Penelitian, Pengembangan, Pendidikan dan Pengajaran.

3. Komisi Pemberdayaan Perempuan, Keluarga dan Pengembangan

Generasi Muda, Lingkungan Hidup.

4. Komisi Sosial dan Publikasi.205

Lembaga Adat, sesuai dalam Qanun Aceh No 10 Tahun 2008 antara lain

memiliki kewenangan sebagai berikut :

1. Menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban

masyarakat.

2. Membantu Pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan.

3. Mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat.

4. Menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang tidak

bertentangan dengan syari’at Islam.

5. Menerapkan ketentuan adat.

6. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan.

7. Mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat. dan

8. Menegakkan hukum adat206

.

203 Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Tengah No 33 Tahun 2001 Tentang Lembaga Adat Kebudayaan (LAKA) Aceh Tengah.

Pasal 14. 204 Ibid, Pasal 15 ayat (1 dan 2). 205 Ibid, Pasal 18. 206 Qanun Aceh No 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. Op.Cit, Pasal 4.

Page 145: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

145

Lembaga adat Aceh berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam

penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan

penyelesaian masalah atau perkara sosial kemasyarakatan.207

Seperti halnya LAKA di

Kabupaten Aceh Tengah, Lembaga Adat yang diatur dalam Qanun Aceh tersebut

juga bersifat otonom dan independen sebagai mitra pemerintah sesuai tingkatannya.

Selain itu, lembaga-lembaga adat di Aceh dapat berperan serta dalam proses

perumusan kebijakan pemerintah setempat yang sesuai dengan wewenang masing-

masing lembaga adat.

3. 4. 6. Perda Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat

Kesultanan Ternate.

Nilai-nilai adat istiadat Kesultanan Ternate sebagai kepribadian bangsa dan

daerah yang perlu diberikan pengakuan, perlindungan dan pelestarian sekaligus

diberdayakan diatur dalam Peraturan Daerah Kota Ternate No 13 Tahun 2009

Tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan

Ternate. Kedudukan masyarakat adat Kesultanan Ternate sebagai masyarakat adat

terikat oleh tatanan sebagai warga perlu menerapkan ketentuan persekutuan

hukumnya.

Adapun isi dan muatan tercantum dalam Peraturan Daerah Kota Ternate No

13 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat

Kesultanan Ternate. Dalam Perda tersebut obyek yang diatur tidak sekedar mengenai

hak-hak ulayat semata, tetapi juga peran Sultan Ternate dalam proses dan mekanisme

pembabatan dan pembukaan hutan. Obyek materi yang diatur adalah sebagai berikut :

207 Qanun Aceh No 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. Op.Cit, Pasal 2 ayat (1).

Page 146: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

146

1. Pengaturan Hak Ulayat adat sebagai hak adat dimana disepakati oleh

masyarakat setempat dan diakui oleh sultan.

2. Cucatu adalah pemberian oleh sultan atas sebidang tanah mengingat

pengabdian masyarakat /soa atau orang yang mengabdi pada sultan.

3. Jurami adalah bekas tanah olahan oleh masyarakat atau perorangan yang

diakui hak pemiliknya.

4. Rubah Banga adalah proses pembukaan lahan baru yang dilakukan oleh

masyarakat atau perorangan yang diakui hak pemiliknya.

5. Benda-benda bersejarah / benda pusaka adalah benda peninggalan yang

masih dipelihara yang memiliki nilai historis.

6. Tolagumi adalah proses pembukaan lahan baru yang diberikan dengan

tanda ikatan tali pada pohon dimana diakui keberadaan oleh masyarakat

setempat sebagai hak milik masyarakat atau perorangan yang membuka

lahan tersebut208

.

Berdasarkan pemberlakuan Perda keberadaan hak-hak adat masyarakat adat

Ternate diakui dan dilindungi Pemerintah Daerah ditingkat Kota Ternate. Pengakuan

dan perlindungan sebagaimana dimaksud, berdasarkan adat istiadat yang hidup

berkembang di Kesultanan Ternate.

Gencarnya pembangunan dan membanjirnya investasi lokal dan nasional,

keberadaan hak-hak ulayat terutama kepemilikan tanah-tanah adat tersebut

tersingkirikan secara sistematis. Masyarakat adat bahkan tidak dilibatkan dalam

pengambilan keputusan penting berkaitan dengan esksitensi hak-hak ulayat tersebut.

Dalam konteks seperti ini, pelanggaran dan pemenuhan hak-hak dasar sebagai warga

negara adalah salah satu titik yang paling bermasalah dalam pelaksanaan

pembangunan. Hingga saat ini hak-hak ulayat berupa tanah-tanah adat yang ada di

wilayah kesultanan Ternate tidak mendapat pengakuan secara legal formalisitik oleh

pemerintah daerah. Salah satu indikatornya ialah, hingga saat ini belum ada peraturan

daerah (Perda) yang mengatur secara jelas kesatuan hukum masyarakat adat di

208 Peraturan Daerah Kota Ternate No 13 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat

Kesultanan Ternate. Pasal 1.

Page 147: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

147

wilayah kesultanana Ternate. Akibatnya masyarakat adat selalu berada dalam posisi

dilematis dan lemah dalam memperjuangkan hak-hak mereka209

.

Adat istiadat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat hukum adat

Kesultanan Ternate, antara lain adalah :

1. Adat se Atorang merupakan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku secara

turun temurun yang membentuk tata nilai yang dilaksanakan oleh

masyarakat;

2. Istiadat se Kabasaran merupakan kebiasaan-kebiasaan masyarakat

dihormati dan dijunjung tinggi nilai-nilai kebesarannya;

3. Ghalib se Lukudi merupakan pengakuan eksistensi manusia sebagai

makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan ia tidak bisa hidup seorang

diri namun sebagai makhluk sosial yang saling berhubungan satu sama

lain;

4. Cing se Cingari merupakan sikap dan perbuatan itu harus ditaati dan

dipelihara untuk kepentingan bersama;

5. Bobaso se Rasai merupakan tenggang rasa dan saling menghormati satu

sama lain dan menyadari sebagai makhluk ciptaan Tuhan;

6. Ngale se Cara merupakan sikap dan perbuatan yang memberikan manfaat

baik pada diri sendiri maupun kepada sesama manusia;

7. Sere se Duniru merupakan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam bentuk

kesenian tradisional yang dipelihara secara turun temurun210

.

Selain mengenai adat istiadat, diatur pula mengenai kedudukan Pemangku

Adat tertinggi yaitu Kolano atau Sultan. Segala keputusan (Idin Sultan) ditaati dan

dituruti secara turun temurun oleh masyarakat adat. Kedudukan Sultan Ternate dalam

struktur kekuasaan pemerintahan adalah sebagai raja atau penguasa. Puncak hirarki

ditempati oleh Sultan yang memiliki hak otoritas tradisional yang telah diterimanya

sebagai hak turun temurun. Pribadi raja adalah sebagai pemilik kekuasaan di seluruh

209 Lihat King Faisal Marsaoly, Adat Se-Atorang; Bukan Pepesan Kosong. Diakses dari

http://hukumodanpemerintahan.blogspot.com/2009/04/adat-se-atorang-bukan-pepesan-kosong_30.html?zx=dbb4ca54010423be

210 Peraturan Daerah Kota Ternate No 13 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat

Kesultanan Ternate . Op.Cit, Pasal 3.

Page 148: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

148

kesultanan, tercermin dalam struktur administrasi dengan sistem politik

patrimonial211

.

Tanah-tanah yang dikuasai oleh perorangan memberikan kewenangan perdata

kepada yang menguasainya. Oleh karena itu proses pendaftaran hak-hak atas tanah

tersebut ditempuh melalui konversi hak (penegasan hak) jika memiliki cucatu, dan

tanah-tanah yang dikuasai tanpa memiliki cucatu diproses melalui pengakuan hak.

Selain itu, perorangan, baik secara individu maupun bersama-sama, dimungkinkan

sebagai subyek hak atas tanah, sehingga tidak menimbulkan persoalan dalam

pengaturan penguasaan hak atas tanah oleh perorangan. Pada kenyataannya, telah

banyak tanah-tanah Kesultanan Ternate yang diberikan kepada Pemerintah Daerah

Maluku Utara dan Pemerintah Kota Ternate, oleh karena itu penyelesaian hak atas

tanah tersebut perlu dilakukan sesuai ketentuan Hukum Tanah Nasional yang berlaku.

Demikian pula terhadap tanah-tanah yang diberikan oleh Kedaton Ternate kepada

perorangan212

.

Dalam Perda Adat Kota Ternate, juga mengatur mengenai tanah adat sebagai

tanah masyarakat adat Kesultanan Ternate yang diakui dan dilindungi dan diakui

sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Hak-hak atas tanah tersebut, terdiri dari :

1. Raki Kolano adalah sebidang tanah yang umumnya ditanami sagu dan

bambu. Pemanfaatannya atas izin Sultan, tidak dapat dimiliki secara

pribadi dimaksudkan untuk kepentingan bersama warga213

2. Raki Jo Ou adalah hak penguasaan tanah yang diberikan/dikuasai khusus

oleh keluarga/keturunan Sultan.214

211 Lihat Sejarah Sosial Kesultanan Ternate, 2010, Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Lektur

Keagamaan, Jakarta, hlm : 238. 212 Lihat Masyhud Asyhari, Status Tanah-tanah Kesultanan Ternate dalam Perspektif Tanah Nasional. Mimbar Hukum Vol 20

No 2. Juni 2008. hlm : 193-410. 213 Ibid. hlm : 356. 214 Lihat Rinto Taib, Endriatmo Soetarto, dan Fredian Tonny, 2010, Transformasi Identitas Gerakan dari “Petani” menjadi

“Masyarakat Adat” : Upaya Memahami Konflik Pembangunan Bandara Sultan Babullah di Ternate Maluku Utara,

Solidaty : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, hlm : 6.

Page 149: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

149

3. Aha Kolano adalah hak kepemilikan atas tanah Kolano (Sultan),

penguasaannya hanya bersifat publik, oleh karenanya Sultan tidak

mempunyai tanah secara pribadi215

.

4. Aha Jo Ou.

5. Kaha Soa (hak marga) adalah hak bersama (ulayat) yang diberikan kepada

suatu komunitas yang secara hukum tata negara adat diakui wilayah

hukum dan teritorial Soa (kelompok kekerabatan).

6. Kaha Cocato adalah bidang tanah yang diperoleh karena pemberian

langsung Kolano (Sultan). Hak penguasaan tanah ini diberikan kepada

orang-orang yang telah berjasa dalam menjalankan tugas-tugas kerajaan.

7. Kaha Jorame adalah hak seseorang atau sebidang tanah yang pernah

diusahakan dan telah ditanam dengan tanaman musiman seperti kacang,

jagung, ubi, pisang, dll. Hak penguasaan tanah ini terjadi karena orang

yang membuka lahan telah meninggalkan atau tidak melakukan

penanaman dan menyebabkan tumbuhnya pohon-pohon diatas

tanah/lahan.216

Penting juga dicatat bahwa selain mengatur mengenai tanah adat, diatur pula

mengenai perlindungan terhadap bangunan dan benda-benda bersejarah Kesultanan

Ternate. Pemeliharaan, perlindungan dan pengakuan keberadaannya oleh Pemerintah

Daerah dilindungi dalam Perda Adat ini sebagai aset bersejarah Kesultanan Ternate.

Dalam Perda adat Ternate tersebut, mekanisme dan pengaturan mengenai

perselisihan sengketa atas pengelolaan sumber daya alam, termasuk tanah adat,

bangunan dan benda-benda bersejarah tidak dirujuk dalam sebuah forum

penyelesaian. Konflik atau persengketean yang timbul sesuai aturan dalam perda

tersebut diselesaikan berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan

memperhatikan hukum adat yang berlaku217

.

Ringkasnya bahwa segala bentuk kebudayaan, adat istiadat, dan

keanekaragaman budaya dalam Masyarakat Hukum Adat Kesultanan Ternate, Perda

Adat ini diakui dan dilindungi Pemerintah Kota Ternate. Serta dilestarikan dan

215 Masyhud Asyhari, Op.Cit, hlm : 355-356. 216 Rinto Taib, Endriatmo Soetarto, dan Fredian Tonny, Op.Cit, hlm : 6-7. 217 Peraturan Daerah Kota Ternate No 13 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat

Kesultanan Ternate . Op.Cit, Pasal 6.

Page 150: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

150

dikembangkan dalam setiap bentuk kegiatan kebudayaan yang berlaku pada

masyarakat adat Kesultanan Ternate.

Page 151: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

151

BAB IV

PENUTUP

4. 1. Kesimpulan

Sebagaimana telah dibahas di depan dalam menjawab permasalahan, maka

penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

a. Masyarakat hukum adat yaitu sekelompok/sekumpulan masyarakat yang

memiliki kesamaan asal usul keluarga (genealogis) dan kesamaan wilayah

(geologis) yang tinggal di suatu tempat dengan tujuan yang sama didukung

oleh adanya hukum adat, lembaga adat, pemimpin dan forum penyelesaian

sengketa adat.Pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat

(MHA) telah dijamin dalam UUD NRI 1945 Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28

I ayat (3). Eksistensi MHA tersebut diperkuat ketika UU Sektoral seperti UU

No. 5 tahun 1960 tentang UUPA, UU pertambangan, UU sumber daya alam.

Namun sebagaimana dirumuskan Snouck Hurgronje dan Ter Haar, MHA yang

terdiri dari sembilan belas (19) komunitas terbukti mengalami perkembangan

mengingat beberapa hasil penelitian terbukti MHA begitu banyak jumlahnya

sebagaimana ditemukan di daerah provinsi Lampung, juga dalam penjelasan

UUD 1945 sebelum di amandemen.

b. Formalisasi hukum adat sebagai hukum yang hidup (living law) dalam

masyarakat Indonesia telah menjadi realitas sosial yang telah berlangsung

lama. Disatu pihak, ada pandangan yang melihat bahwa hukum adat sebagai

suatu sistem hukum tidak perlu menjadi hukum resmi, atau diformulasikan.

Sebab, jika hukum adat diformulasikan secara tertulis akan berakibat kontra

Page 152: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

152

produktif akan berakibat mengurangi kesadaran masyarakat terhadap hukum

adat. Di pihak lain, ada pandangan yang melihat pentingnya hukum adat

diformulasikan secara tertulis, melalui mekanisme dan prosedur lembaga

legislatif daerah (DPRD), baik tingkat pemerintah provinsi maupun

pemerintah kabupaten dan kota mengingat kondisi hukum adat yang saat ini

cenderung termarjinalkan oleh hadirnya peraturan hukum, baik yang

berbentuk undang-undang maupun perda yang berbenturan dengan hak-hak

tradisional masyarakat hukum adat. Formulasi hukum adat ke dalam peraturan

tertulis terjadi seiring dengan tuntutan otonomi daerah melalui prosedur dan

mekanisme sebagaimana diatur dalam UU No. 10 tahun 2004 juncto UU No.

12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ada

sekitar 109 Perda Adat di tingkat provinsi dan kabupaten serta kota

merupakan bukti formalisasi hukum adat secara tertulis yang obyek normanya

terdiri dari perlindungan, pelestarian hukum adat sebagai wujud dan

penghormatan serta pengakuan terhadap obyek-obyek dan lembaga-lembaga

adat. Hal ini ditandai dengan mekanisme hak inisiatif DPRD dan/atau

pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, dan juga masyarakat hukum adat

dan LSM yang peduli pada persoalan MHA dan Hak-hak konstitusionalnya.

c. Efektivitas Perda baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota

telah memiliki daya ikat yang dipatuhi dan telah menjadi dasar hukum yang

digunakan penegak hukum di tingkat daerah. Ada perbedaan antara perda

tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, adalah bahwa Perda- perda di

tingkat provinsi, obyek pengaturannya tidak terbatas pada aspek-aspek hukum

perdata dan juga hukum publik. Perda atau Qanun di Aceh terkait norma adat

Page 153: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

153

dan kesusilaan, serta perda adat di Kalimantan Barat terkait dengan

penyelesaian konflik suku membuktikan adanya perbedaan dengan prinsip

dasar NKRI. Namun, hal ini dipandang sebagai upaya untuk mengakomodir

keanekaragaman hukum termasuk adanya kekhususan dan perbedaan di

beberapa komunitas masyarakat hukum adat. Sementara itu, perda-perda adat

di tingkat kabupaten/kota, umumnya lebih berkaitan dengan obyek hukum

adat bersifat kebendaan, tanah, pakaian adat, upacara adat, dan lembaga adat.

Posisi perda adat di tingkat kabupaten dan kota tampak lebih kuat mengingat

obyek pengaturannya telah berkesesuaian dengan prinsip-prinsip NKRI.

Hanya saja perda-perda tersebut tampak tumpang tindih mengingat formulasi

norma tersebut seharusnya lebih menguatkan pada upaya-upaya memberikan

perlindungan atas keberadaan hukum adat yang begitu banyak jumlahnya di

berbagai daerah di Indonesia.

4. 2. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penelitian ini merekomendasikan

sebagai berikut. Pertama, penting untuk ditindak lanjuti adanya penelitian yang

lebih mengarahkan dan tajam pada upaya menjawab status MHA sebagai legal

standing yang lejitimit, diakui dan dihormati sebagai subyek hak. Selama ini

kedudukan mengapa MHA belum dikategorikan sebagai badan hukum (legal

standing ) yang legitimit karena tidak adanya kepastian hukum tentang syarat-

syarat yang wajib dipenuhi, termasuk tidak adanya lembaga atau badan negara

yang secara authority mengeluarkan putusan hukum yang legitimit terhadap

MHA. Kedua, tidak kalah pentingnya adalah merekomendasikan agar adanya

kepastian hukum dalam membuat pedoman stnadar pembentukan Perda berbasis

Page 154: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

154

adat yang nantinya berfungsi tidak saja dapat mensingkronkan antara produk

perda adat dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi juga

berupaya agar Perda-perda adat ke depan berfungsi menguatkan tegaknya

prinsip-prinsip NKRI.

Ketiga, penting untuk ditindaklanjuti penelitian terkait Perda-perda adat yang

lahir dan dibentuk melalui prosedur dan mekanisme legislatif daerah

merupakapan hukum pengganti yang memenuhi kepastian hukum minimum

masyarakat lokal mengingat sampai hari ini amanah Pasal 18 ayat (2) UUD 1945

belum terwujud, yakni MHA wajib diatur dengan undang-undang.

Page 155: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

155

Daftar Pustaka

Abdurrachman, Sukri, Konflik Pertanahan Vertikal Pada Kawasan Pariwisata di

Bali.

Abdurrahman, Kertas Kerja Beberapa Pemikiran tentang Rancangan UU Hukum

Adat. Seminar Sehari tentang Relevankah Hukum Adat dituangkan dalam

UU. Diselenggarakan oleh Bagian Hukum Adat, Magister Kenotariatan FH

UGM, Selasa 19 Desember 2006.

Acciaioli, Greg, Ground of Conflict, Idioms of Harmony : Custom, Religion and

Nationalism in Violence Avoidance at The Lindu Plain, Central Sulawesi.

Jurnal Internasional, Indonesia 27 October 2010.

Acciaioli Gregory L. Memberdayakan kembali Kesenian Totua, Revitalisasi Adat

Masyarakat To Lindu di Sulawesi Tengah. Antroplogi Indonesia. Tahun

XXV. No 65. Mei Agustus 2001. hal 61)

Acciaioli Gregory Minako Sakai, Regional Responses To Resrgence of Adat

Movements in Indonesia. In Beyond Jakarta: Regional Autonomy and

Local Societies in Indonesia. Minako Sakai (ed), Crawford House

Publishing. Adelaide. 2002

Acciaiolli Gregory. ”From Acknowledgment to Oprationalization of Indegeneous

Sovereignty: Reconceptualizaing The Scope and Significance of

Masyarakat Adat in Contemporary Indonesia)

Adnan, Hasantoha, et al., Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era

Desentralisasi (ed), Center for International Forestry Research (CIFOR),

2008.

Page 156: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

156

Asshiddiqie Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Op-cit 2008. Hal: 821

Asyhari, Masyhud, Status Tanah-tanah Kesultanan Ternate dalam Perspektif Tanah

Nasional. Mimbar Hukum Vol 20 No 2. Juni 2008.

Bosko, Rafael Edy, Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber

Daya Alam, ELSAM, Jakarta, 2006.

Caportorti, B, Study on The Rights of Persons Belonging to Ethnic, Religious and

Linguistic Minorities of 1977, UNP Sales No. E. 91. XIV. 2, 1977.

Church, Joan, The Place of Indegenous Law in a Mixed Legal System and a Society in

Tranfsormation : A South Africa Experience. ANZLH – Journal, 2005,

103.

Down To Earth (DTE) Nr 49, Mei 2001.

Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perlindungan Hukum

Masyarakat Adat, Jakarta, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

(DPD RI), 2009.

Firdaus Asep Yunan. ’Hak-Hak Masyarakat Adat’ (Indegeneous People’s Rights)

2007

Friedman, Lawrence, Sistem Hukum, Budaya Hukum dalam Major Legal System,

1982.

Garna, J, Tangtu Telo Jaro Tujuh : Kajian Struktural Masyarakat Baduy di Banten

Selatan Jawa Barat Indonesia, Ph.D Thesis, Bangi : University

Kebangsaan Malaysia, 1987.

Hadikusuma Hilman. Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat, Alumni,. Bandung,

1980

Haar, Ter, The Adat Law, Netherland, The Hauge, 1997.

Page 157: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

157

Handoyo, B Hestu Cipto, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi

Manusia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1998.

Kolig Erich. Romancing Culture: Policies of Recongnition and Indigeneous People in

Australia and New Zealand. 50th

Anniversary Symposium, Perth,

December 2006. hal: 17

Martua Sirait, Chip Fay, dan A Kusworo. “Bagaimana Hak-Hak Masyarakat Hukum

Adat Dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur?”. Makalah

disampaikan dalam Acara Seminar Perencanaan Tata Ruang Secara

Patisipatif oleh WATALA dan BAPPEDA, 11 Oktober di Bandar

Lampung.

Nazarius, H, Bentuk dan Keberadaan Institusi Adat, Makalah disampaikan dalam

Seminar yang diselenggarakan oleh ICRAF dalam rangka Konggres II

AMAN II di Lombok, 21 September 2003.

Penelitian Akmal. Eksistensi, Hak dan Dasar Hukum Masyarakat Hukum Adat

Provinsi Sumatra Barat., dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi

Manusia (Kajian Multi-Perspektif). Kata Pengantar Artidjo Alkostar.

Penerbit Pusham UII. Yogyakarta. 2007. hal: 446 ),

Peta Suku Bangsa di Tanah Papua, Kerjasama Dinas Kebudayaan Provinsi Papua,

Jurusan Antropologi Universitas Cendrawasih, Summer Institute of

Linguistic (SIL), Dewan Adat Papua (DAP), dan Badan Pusat Statistik

(BPS), Jayapura, Desember 2008.

Purba Bantu. 2011:3, Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Konstitusional

Masyarakat Hukum Adat Suku Sakai, Desertasi Doktor Pasca Sarjana, FH

UII.

Page 158: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

158

Raubun, Menggelitik Adat Istiadat dan Nilai Budaya Sosial dalam Pembangunan

Masyarakat dan Desa, TERPADU, Media Komunikasi Pembangunan Desa

Terpadu, Vol 1, 2011.

Rawlls, John, Theory of Justice, Cambridge, Harvard University Press, 1972.

Refles, Kegiatan Pertambangan Emas Rakyat dan Implikasinya Terhadap Kondisi

Sosial Ekonomi Masyarakat di Kenagarian Mundam Sakti Kecamatan IV

Nagari, Kabupaten Sijunjung, Artikel Pasca Sarjana Universitas Andalas,

2012.

Rongiyati, Sulasi, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Investasi di Provinsi Papua,

Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat

Jenderal DPR RI, 2007.

Rouland, Norbert, Legal Anthropology, London, The Athlone Press, 1994.

Sandel, Michael, Justice: What’s The right Thing To do. United States of America,

New York, Farrar, Straus and Girox, 2009.

Sejarah Sosial Kesultanan Ternate, Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan

Diklat, Puslitbang Lektur Keagamaan, Jakarta 2010.

Shah, Harmita, Kedudukan Mamak Kepala Waris dalam Harta Pusaka Tinggi: Studi

di Nagari Matur Mudiak Kecamatan Matur Kabupaten Agam Provinsi

Sumatera Barat, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro,

2006.

Simarmata Ricardo. Perlindungan Hak-Hak Dasar Masyarakat Adat Dalam Per-UU

Nasional: Catatan Kritis. Dosen Pengajar HAM di Indonesia. PUSHAM

UII, kerjasama dengan Norsk Senter for Menneskerettigehetr Norwegian

Centre for Human Rights. Yogyakarta, 21-24 Agustus 2007

Page 159: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

159

Suripto, Mengatasi Bahaya Global Warming. Studi Kasus : Kearifan Lokal Suku

Badui – Banten – Indonesia.

Sudiyat Iman Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar Liberty, Yogyakarta. 2000.

hal 34.)

Usop, H.K.M.A. M, Perubahan UUD 1945 tentang Kebudayaan dan Adat sebagai

Dasar bagi RUU Adat, Jakarta, 20 Januari 2007.

Wahid, Maskur, Sunda Wiwitan Baduy : Agama Penjaga Alam Lindung di Desa

Kanekes Banten. Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke – 10.

Banjarmasin 2010.

Watson, Alan, Society and Legal Change, Edinburgh, Scotish Academic Press.

Widyatmika, Gde, Direktur LBH Denpasar, Majalah Gumi Bali SARAD.

Zuhroh Siti dan Eko Prasojo. Kisruh Peraturan Daerah: Mengurai Masalah dan

Solusinya . Ombak, Jogyakarta dan The Habibie Center 2010

Makalah

Thontowi, Jawahir, Hukum Adat sebagai Living Law dalam Masyarakat Indonesia,

Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari, Bagian Hukum Adat dan

Program Notariat FH UGM, Yogyakarta, 19 Desember 2006.

_______,Urgensi Undang-Undang Masyarakat Adat, Yogyakarta, 2007.

Disampaikan dalam Rapat Pandangan Rancangan Undang-Undang

Perlindungan Hukum Masyarakat Adat, DPD RI, Jakarta, 2007.

Page 160: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

160

Jurnal Ilmiah

Suwitra, I Made, Dampak Konversi dalam UUPA Terhadap Status Tanah Adat di

Bali, Jurnal Hukum UII No 1 Vol 17, 2010.

Taib, Rinto, Endriatmo Soetarto, dan Fredian Tonny, Transformasi Identitas Gerakan

dari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat” : Upaya Memahami Konflik

Pembangunan Bandara Sultan Babullah di Ternate Maluku Utara,

Solidaty : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi

Manusia, Agustus 2010.

Thonowi, Jawahir, Komunitas Hukum Lokal Perspektif HAM dan Hukum Nasional,

UNISIA No. 57/XX/VIII/III/2005:237-253.

Penelitian

Thontowi, Jawahir, Penelitian Antropologi Budaya Tentang Pengembangan Sumber

Daya Manusia di Pusat Pengembangan Perbatasan di Kecamatan

Sajingan Besar, Kabupaten Sambas. Kalimantan Barat, diselenggarakan

berkat kerjasama CLDS FH UII dengan Bappeda Kabupaten Sambas.

2008.)

Naskah Akademik

Naskah Akademik, Rancangan Undang-undang Perlindungan Hukum Masyarakat

Adat

Page 161: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

161

Website :

Ahmad Ridwan, Refleksi Sepuluh Tahun Konflik Sambas. Diakses dari

http://achmadridwan.blogspot.com/2009/01/tiga-waktu-tiga-peristiwa.html

Ami Herman, Karya Seni Budaya Papua Terancam Punah. Diakses dari

http://taadeers.blogspot.com/2011/03/karya-seni-budaya-papua.html

Armen Zulkarnain, Daftar Nagari di Sumatera Barat. Diakses dari

http://armenzulkarnain.wordpress.com/2010/08/17/daftar-nagari-di-sumatera-barat-2,

Brandels, Justice Louis D, The Living Law. Dalam

http://www.cardozolawreview.com/index.php?option=com_content

Drs. Abdullah, Sepintas Tentang Masyarakat Baduy : Perjalanan ke Tanah Leluhur –

Badui. Diakses dari http://hlasrinkosgorobogor.wordpress.com/tag/budaya-baduy/

http://buanasumsel.com/dewan-pemangku-adat-dan-pembina-dilantik/

http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Sampit

http://id.wikipedia.org/wiki/Nagari

http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_ulayat

http://tindonesia.com/kolom/wforum.cgi?no=3306&reno=3290&oya=3290&mode=msgview&list=ne

w

Kedudukan Tanah Soko dalam Adat Kampar. Diakses dari

http://bidikonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id=644&Itemid=42

King Faisal Marsaoly, Adat Se-Atorang; Bukan Pepesan Kosong. Diakses dari

http://hukumodanpemerintahan.blogspot.com/2009/04/adat-se-atorang-bukan-pepesan-

kosong_30.html?zx=dbb4ca54010423be

Lembaga Adat Rancang 10 Perda. Diakses dari

http://pekanbaru.tribunnews.com/2010/11/02/lembaga-adat-rancang-10-perda

Page 162: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

162

Mochtar Naim, anggota DPD RI Sumatera Barat, dalam Kembali ke Sistem

Pemerintahan Nagari. Diakses dari http://www.cimbuak.net/content/view/346/7/

Musri Nauli, Makna Pemberian Gelar Adat Melayu Kepada SBY. Diakses dari

http://www.jambiekspres.co.id/opini/20838-makna-pemberian-gelar-adat-melayu-kepada-

sby.html

Online Library Universitas Sumatera Utara. Diakses dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17737/4/Chapter%20I.pdf

Online Library, Institut Pertanian Bogor. Diakses dari

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/40612/Bab%203%202006asm.pdf?

sequence=4

Peranginan, Jopi, Mengukur Kekuatan Untuk Merebut Kedaulatan Masyarakat Adat,

Dalam http://www.ymp.or.id/content/view/221/1.

Profile Provinsi Kalimantan Tengah. Diakses dari http://www.depdagri.go.id/pages/profil-

daerah/provinsi/detail/62/kalimantan-tengah

Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek. Manual PHR oleh Q-

Bar, LBBT, RMI, PPSHK Kalbar, Komite HAM Kaltim, LP2S, YBJ

Bantaya, ptPPMA, HuMa. Diakses dari http://www.huma.or.id

Sembiring, Rosnidar, Kedudukan Hukum Adat dalam Era Reformasi, Dalam

http://library.usu.ac.id/download/fh/perdata-rosnidar.pdf

Siradjudin AR, Azmi, Pengakuan Masyarakat Adat dalam Instrumen Hukum

Nasional. Dalam http://www.ymp.or.id/content/view/107/35/

Victor Emanuel. Akademisi : Pemerintah Tidak Serius Garap Perda Ulayat. Diakses

dari http://www.kalimantan-news.com/berita.php?idb=11149

Page 163: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

163

Victor Mambor, Mengakui atau Menihilkan Masyarakat Adat?. Diakses dari

http://tabloidjubi.com/arsip-edisi-cetak/jubi-utama/3730-mengakui-atau-menihilkan-

masyarakat-adat

Warga Adat Terus Perjuangkan Hak Ulayat. Diakses dari

http://www.dishut.jabarprov.go.id/?mod=detilBerita&idMenuKiri=&idBerita=1286

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat

http://amisiregar.multiply.com/journal/item/29/Politik_Hukum

F.von Benda-Beckmann, 1999:6 (http://www.gudangmateri.com/2011/06/pluralisme-

hukum-dalam-pandangan.html)

IWGIA, 2008, “Indigenous Issues”, diakses pada tanggal 27 November 2008 dari

http://www.iwgia.org/sw153.asp

Peraturan Perundang-undangan :

Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Tengah No 33 Tahun 2001 tentang Lembaga Adat

Kebudayaan (LAKA) Kabupaten Aceh Tengah.

Peraturan Daerah Kabupaten Banggai No 1 Tahun 2008 Tentang Pemberdayaan,

Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat.

Peraturan Daerah Kabupaten Batang Hari No 6 Tahun 2008 Tentang Pembinaan dan

Pengembangan Adat dan Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam.

Peraturan Daerah Kabupaten Belitung No 3 Tahun 2003 tentang Prosesi Perkawinan

dan Pakaian Penganten Adat Belitong.

Peraturan Daerah Kabupaten Bungo No 3 Tahun 2006 tentang Masyarakat Hukum

Adat Datuk Sinaro Putih Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo.

Page 164: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

164

Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur No 15 Tahun 2000 Tentang Pemberdayaan dan

Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat Kebiasaan-kebiasaan

Masyarakat dan Lembaga Adat.

Peraturan Daerah Kabupaten Kampar No 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah Ulayat.

Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat No 14 Tahun 2000 Tentang

Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga

Adat.

Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas

Hak Ulayat Masyarakat Baduy.

Peraturan Daerah Kabupaten Solok No 4 Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari.

Peraturan Daerah Kabupaten Solok No 4 Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari.

Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat No 7 Tahun 2001 Tentang

Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga

Adat di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Peraturan Daerah Khusus Papua No 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat

Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas

Tanah.

Peraturan Daerah Kota Ternate No 13 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hak-hak

Adat dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan Ternate.

Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman.

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No 7 Tahun 2000.

Peraturan Daerah Provinsi Jambi No 5 Tahun 2007 tentang Lembaga Adat Melayu

Jambi.

Page 165: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

165

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 Tentang

Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah.

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 9 Tahun 2001 Tentang

Penanganan Penduduk Dampak Konflik Etnik.

Peraturan Daerah Provinsi Lampung No 2 Tahun 2008 Tentang Pemeliharaan

Kebudayaan Lampung.

Peraturan Daerah Provinsi Papua No 16 Tahun 2008 Tentang Perlindungan dan

Pembinaan Kebudayaan Asli Papua.

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-pokok

Pemerintahan Nagari.

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-pokok

Pemerintahan Nagari.

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat

dan Pemanfaatannya.

Qanun Aceh No 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat.

Qanun Aceh No 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat

Istiadat.

Page 166: PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT - Studi Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah

166

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pembuatan Perda Adat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Tabel 2. Perda Adat Berdasarkan Regio Provinsi diundangkan

Tabel 3. Perda Adat Berdasarkan Tahun diundangkan

Tabel 4. Perda Adat Berdasarkan Jenisnya